BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kualitas anak adalah cermin kualitas bangsa dan cermin peradaban dunia. Indikator kesejahteraan suatu masyarakat atau suatu bangsa salah satunya dapat dilihat dari kualitas hidup anak. Semula perhatian lebih ditujukan kepada daya hidup anak (child Survival) dibanding kualitas hidup anak (quality of life) yang bersifat lebih integral dan komprehensif (Sunarti, 2004). Pemenuhan gizi yang baik akan menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu sehat, cerdas, dan memiliki fisik yang tangguh serta produktif. Namun saat ini masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan dunia yang paling serius dan merupakan kontributor utama kematian anak. Ini semua disebabkan oleh kenyataan bahwa masalah gizi merupakan faktor dasar (underlying factor) dari berbagai masalah kesehatan terutama pada bayi dan anak-anak. Oleh karena itu untuk meningkatkan kualitas anak, gizi harus mendapatkan perhatian serius dari semua pihak (Achadi dalam Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007). Kualitas yang baik pada anak dapat dilakukan dengan upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan, terlebih jika seorang anak mengalami masalah perkembangan seperti autisme, untuk itu optimalisasi tumbuh dan kembang pada penyandang autisme memerlukan perhatian yang khusus.
Secara sederhana masalah atau karakteristik yang sering terdapat pada penyandang autisme adalah, kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi seperti bicara dan berbahasa, terjadi ketidaknormalan dalam hal menerima rangsang melalui panca indera (pendengaran, penglihatan, perabaan dan lain-lain), masalah gerak/motorik, kelemahan kognitif, perilaku yang tidak biasa dan masalah fisik (Sutadi dalam Mashabi dan Tajudin, 2009). Laporan terakhir badan kesehatan dunia (WHO) tahun 2005 memperlihatkan perbandingan anak autisme dengan anak normal di seluruh dunia, termasuk Indonesia telah mencapai 1:100 (Sinung, 2006). Menurut ketua Yayasan Autisme Indonesia Melly Budhiman, di Amerika Serikat saat ini perbandingan antara anak autisme dan normal 1:150, di Inggris 1:100 (Messwati dan Rachmawati, 2008). Sampai saat ini belum ada data resmi mengenai jumlah anak autisme di Indonesia, namun lembaga sensus Amerika Serikat melaporkan bahwa pada tahun 2004 jumlah anak dengan ciri-ciri autisme di Indonesia telah mencapai 475.000 orang (Kompas, 20 Juli 2005 dalam Ginanjar 2007). Dulu autisme dianggap sebagai suatu kondisi yang tanpa harapan dan tidak dapat membaik. Saat ini diketahui, bila dilakukan intervensi secara dini, intensif, optimal dan komperhensif, maka penyandang autisme diantaranya dapat sembuh, yang berarti mereka dapat masuk dan mengikuti sekolah biasa, dapat berkembang dan dapat hidup mandiri di masyarakat, serta tidak tampak gejala sisa (Sutardi, 2003). Tumbuh dan berkembangnya anak secara optimal tergantung pada pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas sesuai dengan kebutuhan anak. Dalam masa
tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi atau asupan makanan pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna. Sering timbul masalah terutama dalam pemberian makan pada anak autisme. Mekanisme pencernaan yang tidak sempurna dalam tubuh anak autisme disebabkan oleh reaksi Opioid. Reaksi opioid adalah suatu reaksi yang paling merusak. Hal itu biasanya mengakibatkan terjadinya kebocoran usus (leaky gut). Sekitar 50% pasien autisme mengalami kebocoran usus sehingga terjadi ketidakseimbangan flora usus (Winarno dan Agustinah, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vogelaar (2000) dalam Lestiani , pada 20 anak autisme menunjukkan bahwa 50% anak autisme memiliki kadar zat gizi yang rendah yaitu vitamin A, B1, B3, B5 dan Biotin, selenium, zinc, dan magnesium serta asam amino esensial yaitu omega 3 dan omega 6. Kekurangan vitamin disebabkan karena flora usus yang tidak normal dan sifat pemilih makanan (picky eater) pada anak autisme, masalah kekurangan vitamin ini dapat diatasi dengan pemberian suplemen secara tepat. Suatu penelitian dengan desain uji buta ganda yang dilakukan oleh Adams (2002) dalam Lestiani, dengan kontrol placebo pada suplementasi multivitamin dan mineral selama 3 bulan pada 16 anak autisme. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar vitamin B6 dan vitamin C meningkat secara bermakna pada anak autisme. Aspek pengaturan pola makan sedemikian penting bagi anak autisme, karena suplai makanan merupakan dasar pembentuk neurotransmitter. Disamping itu anak autisme juga mengalami reaksi alergi dan intoleransi terhadap makanan dengan kadar gizi tinggi. Zat-zat makanan yang seharusnya membentuk neurotransmitter untuk
menunjang kesinambungan kerja sistem syaraf, justru dalam tubuh anak autisme diubah menjadi zat lain yang bersifat meracuni syaraf atau neurotoksin (Wijayakusuma, 2004). Oleh karena itu aspek dalam mengatur pola makan merupakan hal yang sangat penting. Survei yang diadakan oleh Autism Research Institute menyatakan bahwa 66% anak autisme mengalami efek perubahan perilaku yang lebih baik dengan menggunakan metode diet bebas gluten dan kasein, 64% merasa lebih baik dengan menerapkan metode food allergy treatment, 56% lebih baik dengan menerapkan metode candida diet, 51% merasa lebih baik dengan menghilangakan coklat, dan 50% merasa lebih baik dengan menerapkan metode bebas gula (Avenue, 2008). Sangat banyak terapi diet yang dianjurkan oleh para ahli untuk penyembuhan autisme, kesesuaian diet bagi setiap anak autisme juga harus diperhatikan karena diet autisme ini bersifat individual. Diet dan pola pemberian makan pada anak autisme tidak terlepas dari peran seorang ibu dalam menyediakan makanan yang baik serta bergizi dan sesuai dengan kebutuhan bagi anak autisme. Dalam hal ini, seorang ibu sangat dituntut untuk dapat bersikap selektif dalam mengatur pola makan agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara normal, mempercepat proses penyembuhan dan menghindari masalah kekurangan gizi yang dapat menyebabkan bertambah parahnya kondisi penyandang autisme. Penyandang autisme yang semakin meningkat jumlahnya di Indonesia dan di berbagai daerah tentu saja menjadi perhatian bagi pemerintah, khusunya di Kota Binjai. Berdasarkan survei pendahuluan yang saya lakukan di kota Binjai terdapat 2 sekolah negeri yang dibangun pemerintah secara gratis untuk anak-anak
berkebutuhan khusus salah satunya adalah autisme, yaitu Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri Binjai dan Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Binjai. Sekolah ini terletak bersebelahan yaitu di jalan Dewi Sartika, Komplek Handayani Binjai. Selain memiliki 2 sekolah untuk anak berkebutuhan khusus, di Kota Binjai juga terdapat tempat terapi autisme. Tempat terapi ini benama Yayasan Fadira, yang beralamat di jalan Raimuna Raya No.157 Perumahan Berengam Binjai. Pada saat survei pendahuluan peneliti juga melakukan wawancara kepada para ibu di ketiga tempat tersebut, menurut informasi yang didapatkan, para terapis baik disekolah maupun di tempat terapi autisme tidak pernah memberi tahu kepada orang tua bahwa anak autisme mempunyai diet khusus untuk membantu penyembuhannya oleh karena itu dari 9 ibu yang diwawancarai satupun dari mereka tidak tahu bahwasannya anak autisme mempunyai diet/ pola makan khusus. Menurut Ratnadewi (2008), Ibu memiliki peran yang cukup besar dalam memenuhi kebutuhan gizi bagi anak autisme, seorang ibu sangat dituntut untuk memiliki pengetahuan yang baik, melakukan pengawasan yang ketat pada pola makan anak dan mengetahui jenis-jenis makanan yang dapat menyebabkan alergi pada anak. Berdasarkan uraian diatas penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian di sekolah dan tempat terapi autisme di Kota Binjai dengan judul “Perilaku Ibu tentang Pemberian Makan dan Status Gizi Anak Autisme di Sekolah dan Tempat Terapi Autisme di Kota Binjai Tahun 2011”.
1.2. Rumusan Masalah Berdasakan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perilaku ibu tentang pemberian makan dan status gizi anak autisme di sekolah dan tempat terapi autisme di Kota Binjai tahun 2011.
1.3. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perilaku ibu (pengetahuan, sikap dan tindakan) tentang pemberian makan dan status gizi anak autisme di sekolah dan tempat terapi autisme di Kota Binjai tahun 2011.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antaralain : 1. Memberikan masukan dan Informasi kepada Puskesmas Kota Binjai agar lebih meningkatkan penyuluhan tentang pola makan anak autisme pada orang tua baik disekolah luar biasa maupun di tempat terapi autisme yang ada di Binjai. 2. Memberikan masukan kepada pihak sekolah SDLB dan SLB Negeri Binjai serta yayasan Fadira untuk lebih giat memberikan informasi tentang pola makan anak autisme kepada orang tua yang memiliki anak autisme. 3. Sebagai masukan bagi para ibu yang memiliki anak autisme baik disekolah maupun ditempat terapi yang ada di Kota Binjai, mengenai pola pemberian makan dan status gizi anak autisme, sehingga dapat dilakukan upaya-upaya dalam memberikan pola makan yang baik dan benar bagi anak autisme.