BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara yang berpenduduk Muslim terbanyak di dunia yakni sekitar 200 juta lebih. Dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 240 juta sebanyak 88% masyarakat Indonesia beragama Islam, 10% umat kristiani, Hindu, Budha dan lainnya sekitar 2%. Kenyataan jumlah umat Islam itu menjadi unik karena para pendiri republik ini tidak memilih Islam sebagai dasar negara.1 Sebagian para pendiri bangsa Indonesia yang beragama Islam ternyata lebih memilih Pancasila sebagai dasar Negara dan sekaligus sebagai pedoman dalam penyelenggaraan
kekuasaan
Negara.
Meskipun
diklaim
sebagai
Negara
berpenduduk muslim terbanyak di dunia namun the founding father (para pendiri) republik ini yang umumnya Muslim- tidak memilih Islam sebagai dasar Negara. Mereka ternyata lebih memilih Pancasila sebagai dasar Negara dan sekaligus sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara. Pilihan dasar Negara itu didasarkan integrasi antara Negara dan agama tidaklah mudah diwujudkan, karena persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan di masa modern ini begitu kompleks.2
1
Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam untuk Sekularisme-Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya . Jakarta, Grasindo PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010, hlm, 18 2 Ibid.
Mereka ternyata lebih memilih Pancasila sebagai dasar Negara yang digunakan untuk mengatur persoalan dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara. Kenyataan itu tebukti dari rapat PPKI tahun 1945.
Lembaga tersebut
melegitimasi keberadaan Pancasila yang digunakan sebagai dasar Negara sampai sekarang. Proses perdebatan Pancasila dalam perjalanan sejarah Indonesia sampai pada pendapat Muhammmad Hatta yang dikenal sebagai seorang demokrat sejati menunjukkan bahwa beliau mengemukakan pandangannya secara terus terang dan jujur. Menurut Hatta, sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Prinsip spiritual dan etik ini memberikan bimbingan kepada semua yang baik bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Sejalan dengan prinsip dasar ini, sila kedua” kemanusiaan yang adail dan beradab”, adalah kelanjutan dari sila pertama dalam praktik. Begitu juga dengan sila ketiga dan keempat sedangkan sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, menjadi tujuan akhir dari pancasila. Dengan menempatkan sila” Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama ini, Negara memperoleh landasan moral yang kukuh. Dalam kenyataannya, dasar filosofis yang terkandung di dalam Pancasila tersebut memang telah teruji di dalam sejarah kehidupan masyarakat bangsa. Dengan Pancasila tersebut, bangsa Indonesia yang berbagai latar belakang dapat merenda kehidupan yang berdasar atas pluralitas dan multikulturalitas. Para pendiri bangsa memilih Pancasila sebagai dasar Negara dan sekaligus sebagai pedoman dalam menyelenggarakan kekuasaan Negara. Pilihan itu tentu saja
bukan tanpa alasan dan bukan pilihan yang mudah. Pilihan tersebut tentu merupakan pilihan rasional mengingat integrasi antara agama dan Negara sulit diwujudkan, mengingat persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kenegaraan di zaman modern ini cenderung kompleks. Dengan demikian Pancasila sebagai dasar Negara sudah menjadi kesepakatan bersama. Para penyelenggara Negara atau masyarakat Indonesia pada umumnya tinggal bagaimana mengimplementasikan sila-sila yang ada di dalamnya, yang berisi tentang ketuhanan kemanusiaan yang adil dan beradab dan lain sebagainya. Kenyataan tersebut diperjelas dengan fenomena Abdurahaman Wahid yang dikenal dengan sapaan Gusdur. Beliau dikenal sebagai tokoh Muslim Indonesia yang mengakui bahwa Pancasila sebagai konsensus di antara semua golongan yang ada di Indonesia dan perlu dipelihara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk dalam kehidupan beragama dan berketuhanan Yang Maha Esa. Fenomena Gusdur sebagai tokoh agama dapat berperan dalam memahami Pancasila sebagai fonomena politik. Beliau tidak memilih Islam sebagai bentuk dan dasar Negara secara formal, walaupun beliau adalah tokoh muslim Indonesia yang pernah memimpin Organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama yaitu organisasi terbesar di Indonesia yang memiliki anggota hampir 40 juta lebih. Pemikiran-pemikiran Abdurahman Wahid sering diikuti oleh para pengikut baik di kalangan pesantren atau organisasi NU dan dijadikan salah satu sumber dalam mengkaji hubungan agama dan Negara di Indonesia. Karena konsisten dalam
menjaga dan memelihara integritas bangsa, Abdurahman Wahid ini dikenal sebagai bapak Pluralisme. Sebagaimana diungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada acara pemakamannya. Keunikan tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian pemahamahan Pancasila menurut Abdurahman Wahid. Ketertarikan penulis dalam penelitian ini adalah adanya pilihan dari Abdurahman sebagai tokoh Muslim Indonesia untuk menjadikan dan memelihara Pancasila sebagai dasar Negara. Padahal banyak tokoh-tokoh muslim lainnya menginginkan Islam sebagai bentuk negara, termasuk beberapa kelompok muslim pada pasca reformasi berupaya merubah kembali Pembukaaan Undang-undang Dasar menjadi Piagam Jakarta yang memuat kata ” Syariat Islam” di dalamnya. Fenomena Pemikiran Abdurahman Wahid mengenai Pancasila menimbulkan masalah penelitian sehingga perlu dikaji. Masalah penelitian itu adalah Bagaimana Pemikiran Abdurahman Wahid sebagai tokoh Organisasi Islam terbesar di Indonesia memahami Pancasila? Masalah penelitian ini berupaya memahami konsep kenegaraan menurut Tokoh Agama Islam. Dengan kata lain penelitian ini mencoba memahami konsep dasar negara menurut tokoh Agama. Pemahaman dan tokoh agama merupakan bagian dari unsur-unsur agama. Hal ini relevan dengan kajian keberagamaan (religious studies), karena penelitian ini mengkaji agama sebagai gejala budaya berupa pemahaman dari subyek penelitian sebagai penganut atau pemimpin agama. Sebagaimana Capps ungkapkan, “Simply put, religious studies provides training and practice (each an essential quality of a discipline) in directing and conducting inquiry regarding the
subject-fields) utilizes prscribed modes and techniques of inquiry to make the subject of religion intelligible. This is its twofold task: to discover as well as to elicit its subject‟s intelligibility.”3 Alasan lainnya adalah karena penelitian ini termasuk kajian agama dengan cara dideskripsikan dan difungsikan oleh penganut agama atau tokoh agama. Sebagaimana lebih lanjut Capps uraikan, “We have identified four basic questions, and three others that have special enduring relationships with religious studies. The four basic questions are: (1) What is religion? (2) How did religion come into being? (3) How shall religion be described? and (4) What is the function or purpose of religion?”4 Gambaran ini termasuk unsur-unsur agama dapat berperan dalam kehidupan atau gejala sosial dan politik. Fenomenanya dapat dilihat dari tulisan-tulisan Abdurahman Wahid sebagai tokoh Islam Indonesia yang memahami Pancasila. Lebih lanjut kajian mengenai pemikiran dari tokoh agama merupakan bagian dari kajian Ilmu Perbandingan Agama. Sebagaimana Ninian Smart seorang ahli studi agama mengungkapakan bahwa agama sebagai organisme yang memiliki multidimensi, seperti doktrin (doctrine), mitologi (mythology), etika (ethics), ritual (ritus), institusi sosial (sosial institution) dan pengalaman keagamaan (religious experience).5Menyadari hal tersebut perlu diketahui atau dikaji makna Pancasila menurut Pemahaman Abdurahman Wahid sebagai tokoh muslim Indonesia.
3
Walter H. Capps, Religious Studies: The Making of a Discipline (USA: Fortress Press Minneapolis, 1995), p. xiv. 4 Ibid.p.xvii. 5 Ibid, p. 308.
B. Rumusan Masalah Perhatian dalam penelitian ini terfokus pada pemahaman atau pemikiran dari Abdurahman Wahid mengenai Pancasila. Fokus penelitian ini cenderung pada deskripsi analisis mengenai persepsi atau nilai-nilai dibalik pemahaman yang diungkapkan Abdurahman Wahid dalam berbagai tulisan. Kajian ini termasuk kajian agama sebagai pemahaman,6 dan kajian agama sebagai sistem budaya yang memiliki simbol,7 di dalamnya terdapat beberapa hal berupa ”kata-kata”,” kesan”, ”institusi” dan ”prilaku”. Pemikiran Abdurahman Wahid memiliki nilai agama, karena beliau merupakan salah satu tokoh muslim Indonesia yang memahami Pancasila sebagai ideologi negara. Deskripsi analisis penelitian mengenai pemikiran Abdurahman Wahid tentang Pancasila ini dinyatakan dalam tiga rumusan pertanyaan. Ketiga rumusan pertanyaan itu adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kronologis riwayat hidup Abdurahman Wahid, termasuk pendidikan dan karya-karya yang telah dibuatnya? 2. Bagaimana posisi dan fungsi Pancasila dalam kehidupan beragama dan aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut Pemikiran Abdurahman Wahid? 3. Bagaimana implikasi pemahaman Pancasila menurut Abdurahman Wahid dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
6
Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama (Bandung: Pustaka Setia. 2000), cet. ke-1, hlm.72. 7 Clifford Geertz, From the Native’s Point of View: On the Nature of Anthropological Understanding, Paul Rabinow dan Wiliam M Sulivan (Ed.), Interpretive Sosial Science A Reader (California: University of California Press. 1979), p. 228.
C. Guna dan Tujuan Penelitian Kegiatan penelitian ini merupakan proses pencarian nilai pengetahuan berdasarkan tulisan-tulisan yang dibuat Abdurahman Wahid dalam memahami Pancasila. Kegiatan ini diharapkan memenuhi kepentingan-kepentingan dan tujuan tertentu yaitu untuk kepentingan akademik (academic goal), kepentingan dialog (dialogical goal) dan berupaya mengatasi persoalan (soteriological goal). Secara akademis penelitian ini memiliki keterkaitan dengan relevansi, unik, penting dan menambah pustaka. Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah pustaka atau referensi dalam kajian agama dari penganutnya yang berupa tulisan-tulisan mengenai konsep dasar Negara. Fenomena agama khususnya ide Islam memiliki orientasi nilai spiritual di satu sisi, dan di sisi lain Pancasila sebagai produk pemikiran mengenai norma kekuasaan. Keduanya dapat dipahami dalam pemikiran Abdurahman Wahid mengenai Pancasila. Kajian pemikiran Abdurahman Wahid sebagai tokoh Muslim Indonesia tentang Pancasila ini jarang terpublikasikan sehingga perlu diteliti guna menambah informasi. Untuk menambah wawasan akademik, dan memelihara integritas kebangsaan berdasarkan pemahaman keberagamaan, penelitian ini menjadi penting. Penelitian ini relevan dengan jurusan Perbandingan Agama, karena Ilmu Perbandingan Agama memiliki unsur kajian diantaranya pemahaman, doktrin, ritual dan tokoh agama atau umat. Sebagaimana menurut Joachim Wach bahwa
pengalaman keberagamaan dapat diungkapkan dalam bentuk pemikiran, peribadatan dan kelompok sosial.8 Dampak globalisasi yang berwujud konflik sosial dapat terjadi pula di berbagai wilayah yang mendapatkan akses teknologi informasi, termasuk bangsa Indonesia. Karena Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman sosial dan budaya yang dinamis, maka potensi pertentangan akan selalu ada pada setiap aspek budayanya. Kemajemukan masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan persoalan-persoalan aspek budaya terutama politik, ekonomi dan agama memiliki potensi yang dapat menimbulkan pertentangan (disosiatif). Beberapa peristiwa konflik telah dialami bangsa ini pada era setelah jatuhnya Soeharto. Peristiwaperistiwa itu diantaranya, kasus gerakan separatisme terjadi di Timor-Timur, Aceh, Papua Barat; Kerusuhan Muslim dan masyarakat Kristen di Maluku dan Sulawesi, Kekerasan antar etnik di Kalimantan, kekerasan anti Cina, perilaku kekerasan Muslim yang bersifat militeristik dan geng-geng pemuda.9 Pertentangan di kalangaan umat beragama pun terjadi terutama hubungan antar penganut Islam dan Kristen. Pertentangan kedua penganut ini telah terjadi di Indonesia sejak lama. Persaingan kedua penganut agama ini menyangkut masalah bantuan asing, penyebaran agama dan pendirian tempat ibadah. Salah satu persoalan sikap keberagamaan yang menyangkut sikap intoleransi banyak terjadi
8
Joachim Wach, 1978. Ilmu Perbandingan Agama. Terjemahan Djamannuri (Ed), Jakarta: PT. Rajawali Press, Cet. Ke-5, hlm, VIII. 9 David Brown and Ian Wilson. Ethnicized Violence in Indonesia: The Betawi Brotherhood Forum in Jakarta (Asia Research Center-Perth Western Australia:Working Paper No.145 July 2007), hlm.2.
di daerah Jawa Barat. Sebagaimana hasil temuan Wahid Institut10 bahwa sepanjang tahun 2009 wilayah yang sering munculnya kasus-kasus intoleransi; Jawa Barat 32 kasus (34 %), Jakarta 15 kasus (16 %), Jawa Timur 14 kasus (15 %), dan Jawa Tengah 13 kasus (14 %). Menurut lembaga ini bahwa di Jawa Barat, isu yang paling mengancam kehidupan beragama adalah isu yang termasuk dalam kategori penyebaran kebencian yang ditujukan kepada agama tertentu seperti Yahudi dan Kristen, atau kelompok dan individu yang diduga sesat. Penelitian tentang pemahaman Pancasilia menurut KH. Abdurahman Wahid masih terbatas kajiannya terutama di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, sehingga dengan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang cara memandang dasar Negara menurut tokoh Muslim yang memiliki pengikut lebih dari 40 juta orang. Apabila terdapat penelitian-penelitian lain yang berkaitan dengan tema tersebut telah dilakukan peneliti lain, penelitian ini dapat menambah informasi yang sudah ada terutama dalam aspek pemahaman keberagamaan dan konsep dasar negara. Penelitian ini diharapkan juga memberi pengetahuan keherensi dan konvergensi antara pemahaman teori, khususnya Ilmu Perbandingan Agama (religious studies) melalui pendekatan makna filosofis dari gejala teks. Secara dialog keberagamaan, penelitian ini dapat memberi kontribusi informasi dalam dialog keberagamaan, karena terdapat model interaksi agama. Model interaksi itu tidak hanya interaksi institusi agama dengan politik, tetapi juga interaksi keberagamaan yaitu kelompok muslim dengan muslim, dan 10
Annual Report Kebebasan Beragama dan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2009 (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), hlm. 14.
kelompok muslim dengan non muslim. Dialog keberagamaan ini diharapkan dapat berdampak pada tanggung jawab manusia dalam memelihara integritas nasional yang menjadi bagian tak tepisahkan dengan tanggung jawab global. Sebagaimana beberapa konsep Global Responsibility yang diungkapkan Hans Kung diantaranya; pertama, dunia tidak akan bertahan tanpa adanya etika dunia (No survival without a world ethic); kedua, tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian keberagamaan (No world peace without religious peace); ketiga, tidak ada perdamaian keberagamaan tanpa dialog keberagamaan (No religious peace without religious dialogue); keempat, tidak ada dialog keberagamaan tanpa mempelajari dasar agama-agama (No religious dialogue without investigating the foundation of the religions).11 Secara soteriologi (mengatasi problem sosial), penelitian ini relevan dengan konteks pembangunan atau reformasi di Indonesia. Dilihat dari keberadaan Abdurahman Wahid sebagai tokoh muslim Indonesia menunjukkan upaya-upaya mengintegrasikan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya tersebut dianggap penting, dan perlu mendapat perhatian, karena upaya tersebut relevan dengan upaya memelihara integrasi bangsa yang plural termasuk isu-isu agama. Dengan mengkaji Pancasila menurut tokoh muslim Indonesia ini, diharapkan dapat memelihara integritas kebangsaan atau mencegah terjadinya konflik terutama diakibatkan dari proses globalisasi, karena proses globalisasi sering dinilai memiliki potensi konflik dan tindakan kekerasan, terutama di 11
Hans Kung, Global Responsibility in Search of A New World Ethic (New York: Crossroad.1991), Translated John Bowden, p. vii-xii.
wilayah yang memiliki perbedaan identitas budaya dan Agama. Perilaku kekerasan dan konflik sosial terutama bernuansa agama yang dilakukan sebagian masyarakat dapat menjadi potensi disintegrasi, karena ancaman disintegrasi masyarakat akan muncul jika salah satu dari unsur-unsur masyarakat tidak berjalan dengan baik. Beberapa analisis dikemukakan para ahli bahwa peristiwa kekerasan dan konflik sosial ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, akar sejarah dan budayanya, perbedaan ekonomi, peran politik negara yang patrimonial dan pemaksaan. Ada pula yang mengatakan bahwa gabungan dari beberapa faktor itu merupakan penyebab timbulnya kekerasan tersebut. Konflik-konflik yang diramalkan sebelumnya oleh Jacques Delors sebagaimana dikutip Samuel P. Huntington lebih disebabkan oleh faktor-faktor budaya daripada faktor-faktor ekonomi atau pun ideologi. Lebih Jelas Huntington tunjukkan bahwa sudah berpuluh tahun adanya garis pemisah antara kebudayaan tirai besi bangsa Eropa atau Kristen Barat di satu pihak dengan umat Islam dan kelompok ortodoks di pihak lain.12 Di samping itu keberadaan Abdurahman Wahid sebagai tokoh muslim Indonesia memiliki peran penting sesuai dengan identitasnya. Di satu sisi keberadaan Abdurahman Wahid sebagai pemimpin yang pernah mengurus masyarakat muslim tradisional yang jutaan warganya, ternyata memiliki pemikiran mengenai Pancasila. Pemikiran dan sikap Abdurahman Wahid tersebut mengakibatkan dia dikenal sebagai tokoh pluralisme. Pengenalan orang terhadap dia sebagai bapak pluraslisme tidak akan pernah lenyap, walaupun dia telah 12
Samuel P.Hutington, Benturan Antar Peradaban (Yogyakarta: Qalam. 2000), Terjemahan M. Sadat Ismail, hlm. 10-11.
meninggal. Sebagaimana Bellah13 ahli sosologi agama jelaskan bahwa masyarakat tradisional yang memiliki arti yang berbeda-beda dalam setiap peristiwa tertentu, tidak pernah lenyap, meskipun selalu mendapat gangguan, karena masyarakat tradisional itu sendiri bagian dari kompleksitas masyarakat. Di sisi lain keberadaan masyarakat beragama terutama masyarakat muslim dengan
pola
pemahaman
dan
tindakannya
sangat
diperlukan
untuk
mengembangkan stabilitas nasional dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang merupakan prasyarat untuk melaksanakan perubahan. Karena peran masyarakat muslim sebagai masyarakat mayoritas dalam pelaksanaan perubahan itu dianggap penting, maka perilaku kebiasaan masyarakat muslim yang mengarah pada upaya integrasi bangsa dianggap penting pula dalam program pembangunan nasional yang berlandaskan norma-norma pluralisme dan multikulturalisme atau Bhineka Tunggal Ika. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan menjadi salah satu referensi yang berguna untuk melihat isu keberagamaan secara lebih terbuka, proporsional dan kultural. Selanjutnya, berkaitan dengan perumusan masalah, fokus, dan unit analisis, maka penelitian ini memiliki
tujuan pemahaman, bukan pengetahuan.
Sebagaimana menurut Joachim Wach bahwa mempelajari agama atau bagian agama adalah dengan maksud to understand meaning, bukan to know. Terdapat tiga tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk memahami, 1. Kronologi riwayat hidup Abdurahman Wahid, termasuk pendidikan dan karya-karya yang telah dibuatnya. 13
Robert N Bellah, Beyond Belief –Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern (Jakarta: Paramadina. 2000), Terjemahan Rudi Harisyah Alam, cet. ke-1, hlm. 222.
2. Posisi Pancasila dalam kehidupan beragama dan aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut Pemikiran Abdurahman Wahid 3. Fungsi Pancasila dalam kehidupan beragama dan aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut Pemikiran Abdurahman Wahid.
D. Studi Pustaka Terdapat beberapa buku yang memuat pembahasan pemikiran Abdurahman Wahid mengenai ke-Islam-an, ke-Indonesia-an dan kemanusiaan. Buku-buku itu dianggap dapat membantu penulis dalam penelitian mengenai “Makna Pancasila menurut Pemikiran Abdurahman Wahid”. Buku-buku tersebut diantaranya, tulisan makalah berjudul “Pancasila sebagai ideologi dalam kaitannya dengan kehidupan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa” dalam buku “Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara” disunting oleh Oetojo Oesman dan Alfian. Di dalam tulisan itu Abdurahman Wahid menjelaskan posisi dan fungsi Pancasila. Di dalam buku “Muslim di Tengah Pergumulan” yang diterbitkan Lappenas, Abdurahman Wahid menjelaskan peran Muslim dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di buku ini beliau menjelaskan peran muslim dalam proses pembangunan. Di buku “Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan” yang diterbitkan Desantara, Abdurahman Wahid menjelaskan pemikiran, dan peran Muslim Indonesia dalam konteks Negara dan kebudayaan.
Di buku “Gusdur Diadili Kyai”, Abdurahman Wahid menjelaskan berbagai alasan atau argumentasinya mengenai pemikiran, sikap dan perilakunya yang berbeda dengan kyai dan tokoh muslim pada umumnya. Di buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Agama Masyarakat Negara Demokrasi) yang disunting oleh M. Syafi‟i Anwar dan diterbitkan The Wahid Institute tahun 2006, Abdurahman Wahid menulis berbagai pemikiran mengenai agama, masyarakat, dan Negara di Indonesia.
E. Kerangka Pemikiran Penelitian ini diawali dengan penemuan penulis mengenai masalah substantif. Masalah substantif dalam penelitian ini adalah pemikiran Abdurahman Wahid tentang Pancasila. Abdurahman Wahid dipahami sebagai gejala Agama, karena beliau pernah menjadi pemimpin organisasi kemasyarakatan yang berbasis keagamaan (ke-Islaman), sehingga beliau dikenal sebagai tokoh agama. Organsasi yang dimaksud adalah Nahdlatul Ulama dan memiliki pemahaman tertentu mengenai Ke-Islaman, ke-Indonesia-an dan kemanusiaan. Organisasi ini memiliki pengikut sekitar 40 juta orang. Sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat mengatur kehidupan beragama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setelah penulis menemukan masalah substantif tersebut, penulis mendisain penelitian ini dengan beberapa pertanyaan untuk dicari jawaban-jawabannya. Upaya untuk mencari jawaban tersebut penulis menggunakan kerangka teoritis atau teori-teori yang dikerangkakan (constructed).
Rumusan teoritis yang digunakan untuk memahami pemikiran pemikiran Abdurahman Wahid mengenai Pancasila adalah teori akomodasi dan integrasi bangsa. Secara teoritis, akomodasi dapat dipahami sebagai keadaan dan proses14. Akomodasi sebagai keadaan menunjuk pada adanya keseimbangan dalam interaksi anatara individu dan kelompok sehubungan dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Sedangkan akomodasi sebagai proses menunjuk kepada usaha-usaha manusia untuk meredakan pertentanganpertentangan atau usaha-usaha untuk mencapai kestabilan interaksi sosial. Selain itu secara teoritis integrasi bangsa merujuk pada pemahaman integrasi sosial yaitu pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat; pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan dalam suatu sistem sosial. Integrasi bangsa akan tercapai bila terdapat kesamaan latar belakang sejarah, pengalaman serta perjuangan yang sama dalam mencapai hasrat untuk bersatu. Para ahli menyebutkan beberpa faktor pendorong integrasi sosial,15 diantaranya, Pengorbanan yaitu tidak terlalu mementingkan perasaan dan keinginan diri pribadi, adanya toleransi di dalam kelompok sosial, adanya kesediaan untuk mencapai suatu konsensus, mengidentifikasi akar persamaan di antara kulturkultur etnis yang ada, bekemampuan segenap kelompok yang ada untuk berperan secara bersama-sama dalam kehidupan budaya dan ekonomi, mengakomodasi timbulnya kebangkitaa etnis, adanya upaya upaya yang kuat dalam melawan prasangka dan diskriminasi, dan menghilangkan pengkotak-kotakan kebudayaan.
14
Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat (Jakarta: Rajagrafindo Persada. 1993), hlm, 76. 15 Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). hlm 56.
Dengan demikian kerangka teori dalam penelitian ini berperan sebagai persfektif. Ia berfungsi untuk menyelami proses penelitian, sebagai cara pandang dan untuk menafsirkan atau memahami pola pemikiran Abdurahman Wahid tentang Pancasila. Pemahaman kerangka teori ini sesuai dengan peran teori sebagai persfektif atau paradigma yang dijadikan sebagai sudut pandang untuk memahami atau menafsirkan dan memaknai setiap fenomena, baik benda, tulisan maupun orang dalam rangka membangun konsep. Adapun paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma content analisis atau analisis tekstual yang didukung dengan paradigma fenomologis dan filosofis.16 Penelitian dengan menggunakan analisis tekstual ini digunakan karena bersentuhan langsung dengan teks, dan analisis isi yang melibatkan pertimbangan fenomena di dalam teks.17 Melalui paradigma fenomena penulis berusaha menemukan makna Pancasila di balik tulisan-tulisan yang dibuat Abdurahman Wahid. Melalui paradigma filosofis, penulis dalam melakukan penelitian ini bertujuan untuk memahami (understanding) posisi dan fungsi Pancasila menurut Abdurahman Wahid berdasarkan tulisan-tulisan yang dibuatnya.
F. Metodologi Penelitian Metodologi penelitian sebagai prosedur penelitian digunakan untuk menghasilkan data deskriptif dan menjelaskan bagaimana cara yang digunakan penulis dalam penelitian ini. Kajian dalam metode penelitian ini mencakup jenis 16
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2001), cet. ke-1, hlm.129. 17 Jane Stokes, How to Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, terjemahan Santi Indra Astuti (Bandung: Bentang, 2006), cet. ke- 1, hlm, 59.
data yang diperlukan, sumber pengambilan data, teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan garis besar penulisan laporan.
1. Jenis Data yang Diperlukan Penelitian makna Pancasila menurut pemikiran Abdurahman Wahid termasuk jenis penelitian kualitatif-naturalistik yang berparadigma filosofis. Paradigma filosofis yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk memahami pandangan hidup seseorang dalam memahami realitas kehidupan. Hal ini sesuai dengan obyek kajian, dan tujuan penelitian. Objek penelitian dalam penelitian ini makna pancasila menurut pemikiran Abdurahman Wahid. Dengan demikian bentuk data dalam penelitian ini berupa ungkapan-ungkapan yang dideskripsikan cenderung melalui kata-kata atau tulisan-tulisan. Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penelitian ini perlu menggunakan pendekatan-pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmu yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sosiologi, Antropologi Budaya dan filsafat yang dijadikan pendukung dalam ilmu Perbandingan Agama. Pendekatan-pendekatan ini dapat digunakan untuk mengkaji pemahaman Abdurahman Wahid mengenai Pancasila dalam bentuk tekstual. Data yang dikumpulkan dipilih dan dipilah adalah data yang benar-benar dapat menjawab rumusan atau fokus permasalahan. Terdapat tiga jenis data yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu data latar belakang Abdurahman Wahid, data pemikiran Abdurahman Wahid tentang Pancasila dan data implikasi pemikiran Abdurahman Wahid tentang Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Data latar belakang diantaranya, asal usul keberadaan Abdurahman Wahid, pendidikan, aktifitas dan hasil karya yang dikerjakan. Data tentang pemikiran Pancasila yaitu posisi dan fungsi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Data Implikasi pemikiran mencakup dampak dari pemikiran Abdurahman Wahid tentang Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 2. Sumber Pengambilan Data Bahan-bahan yang penulis gunakan adalah buku-buku, artikel dan situs Web, termasuk dalam dua kategori. Buku, artikel dan situs Web yang ditulis Abdurahman Wahid sebagai sumber primer, dan buku-buku atau artikel-artikel dan situs web yang ditulis orang lain atau orang tertentu berkaitan dengan pemahaman Abdurahman Wahid mengenai Pancasila sebagai sumber sekunder. Kedua sumber tersebut merupakan bahan yang dikaji untuk menemukan jawabanjawaban dalam penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data, disesuaikan dengan persoalan, paradigma, teori dan metodologi. Penulis menggunakan teknik tinjauan literatur untuk menemukan data-data yang diperlukan. Beberpa langkah dalam pengumpulan data tesebut dilakukan penulis. Pertama, penulis menentukan beberapa buku, artikel dan situs web yang dianggap bermanfaat dan relevan dengan pemahaman Abdurahman Wahid mengenai Pancasila. Kedua, apabila relevan judul buku, artikel dan situs web tersebut dengan data yang diperlukan, maka penulis memindai kandungankandungan bab-bab atau bagian-bagian paragraf. Penulis memilih dan memilah
beberapa kalimat dari kandungan bab-bab tertentu dalam tulisan di buku, artikel dan situs web. Dalam langkah ini penulis juga mencatat judul, penulis dan perincian-perincian lainnya, terutama topik-topik utama yang diliput dan beberapa kalimat mengenai subyek yang berkaitan pertanyaaan penelitian. Ketiga, penulis mengidentifikasi beberapa buku, artikel dan situs web yang dianggap menjawab pertanyaan penelitian. Penulis membaca buku, artikel dan situs web yang telah diidentifikasi sebagai sesuatu yang relevan dan dianggap penting dalam menjawab pertanyaan penelitian.
4. Analisis Data Tahap berikutnya setelah mengumpulkan data adalah analisis data. Tujuan analisis
data
adalah
menyederhanakan
seluruh
data
yang
terkumpul,
menyajikannya dalam suatu susunan yang sistematis, mengolah dan menafsirkan atau memaknai data yang diperoleh. Kegiatan analisis data dalam penelitian ini secara umum dibedakan dalam tiga tahap yaitu pengolahan atau reduksi data, deskriftif analisis dan penafsiran data. Dalam pengolahan data, penulis memeriksa seluruh data yang masuk untuk dipilih dan dipilah berdasarkan sub-sub pokok bahasan dalam rumusan masalah. Transkrif hasil pengumpulan data literatur merupakan informasi data penelitian, dicek kembali kelengkapannya dan teknik penyajiannya. Secara umum, data yang telah diolah dapat diuraikan dengan deskriptif analisis yaitu menggambarkan setiap fenomena penting yang terjadi. Selanjutnya, menguraikan setiap fenomena penting itu dengan mengutamakan bahasa penulis
yang didukung oleh pernyataan para ahli dan kenyataan di lapangan. Bentuk analisis ini cenderung berupa kata-kata bukan angka (non statistik). Penulis berusaha
menguraikan
tentang
makna
Pancasila
menurut
Pemahaman
Abdurahman Wahid kedalam dua hal yaitu posisi dan fungsi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk memahami makna Pancasila menurut pemahaman Abdurahman Wahid dapat dilakukan dengan menganalisa presepsi yang diungkapkan Abdurahman Wahid tersebut. Penulis tidak hanya membaca hasil tulisan Abduraham Wahid tetapi juga mengkonfirmasi dengan tulisan-tulisan orang lain yang berkaitan dengan pemikiran Abdurahman Wahid tersebut, sehingga dari konfirmasi tulisan orang lain tersebut dapat dianalisa dan ditafsirkan menjadi konsep tertentu. Setelah data dianalisis, langkah selanjutnya adalah menafsirkan atau memaknai hasil analisis data tersebut. Penafsiran atau pemaknaan hasil analisis data bertujuan untuk menarik kesimpulan penelitian. Penarikan kesimpulan didasarkan atas rumusan masalah yang difokuskan lebih spesifik yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam proses penafsiran itu berkaitan dengan penggunaan konfirmasi tulisan lain. Setelah penulis melakukan teknik konfirmasi ini, penulis memberi arti subyektif yang berkaitan dengan makna Pancasila menurut pemahaman Abdurahman Wahid berdasarkan buku, artikel dan situs web yang penulis baca. Hasil analisis merupakan jawaban dari persoalan penelitian yang telah ditetapkan. Namun, dalam melaksanakan penafsiran ini, penulis juga perlu memeriksa kembali langkah-langkah yang telah dilaksanakan dalam penelitian.
Langkah-langkah ini berguna untuk melihat ketepatan penafsiran. Apabila semua langkah penelitian telah dilakukan dengan tepat, hasil penafsiran dapat dijamin dan hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi. Dengan demikian penulis bersikap terbuka dan menjelaskan semua langkah yang telah dilakukan sehubungan dengan hasil penelitian yang telah diperoleh tersebut. Karena penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif, maka terdapat empat kriteria yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan keabsahan data. Sebagaimana Moleong18 ungkapkan bahwa keempat criteria tersebut adalah derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability). Untuk menentukan kepercayaan (credibility) data penelitian ini penulis melakukan usaha-usaha diantaranya melakukan penelitian dengan masa observasi yang cukup sejak studi eksplorasi sampai penulisan laporan sekitar 6 bulan, pengamatan secara terus menerus terhadap buku, artikel dan situs web, triangulasi atau upaya pembandingan terhadap data, mendialogkan atau mengkonfirmasi dengan tulisan orang lain, menganalisis kasus negatif, menggunakan bahan referensi dan mengadakan pengecekan anggota (member check). Agar penelitian ini memiliki kemiripan atau keteralihan (transferability) sebagai kemungkinan terhadap situasi-situasi yang berbeda, maka penulis berusaha melakukan uraian rinci (thick description). Kebergantungan (dependability) penelitian ini terletak pada alat ukur yang digunakan. Karena penelitian ini termasuk penelitian kualitatif maka alat ukur 18
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2005), Cet. ke-21, Edisi Revisi, hlm. 327.
yang digunakan adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu teknik tinjauan literature digunakan untuk mengumpulkan data sebanyak mungkin dan mengungkap persoalan yang ingin diperoleh jawaban-jawabannya sehingga desain penelitiannya terus berkembang. Metode auditing yaitu pemeriksaan data yang sudah terpolakan adalah cara yang digunakan untuk mengukur kebergantungan. Agar penelitian ini memperoleh kepastian (confimability)- dalam penelitian kuantitatif disebut objektivitas, maka penulis sebagai peneliti berusaha mengungkapkan temuan-temuan dengan penulisan ilmiah dan mengkonfirmasi hasil temuan data tersebut dengan pembingbing atau tulisan orang lain. Walaupun penulis memiliki pengalaman subjektif, tetapi apabila pengalaman subjektif itu berdasarkan data-data yang tulis oleh subyek penelitian maka pengalaman subjektif itu dapat dianggap objektif atau penelitian ini dapat dianggap memiliki kepastian.
5. Garis Besar Penulisan Laporan Hasil penelitian ini dilaporkan dalam bentuk skripsi sebagai bukti pertanggungjawaban penulis dalam kegiatan penelitian ilmiah. Adapun garis-garis besar penulisan laporan hasil penelitian itu diantaranya; Bab Pertama mengenai Pendahuluan. Uraian dalam bab ini membahas tentang, latar belakang masalah, rumusan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, hipotesis, kerangka teori dan metodologi penelitian. Bab Kedua membahas tentang tinjauan teoritis mengenai Agama dan Pancasia. Di sini penulis menguraikan Agama dan Pancasila secara teoritis. Bab Ketiga tentang
makna Pancasila menurut
pemahaman Abdurahman Wahid. Di sini penulis mendeskripsikan dan menganalisis gagasan Islam yang dipahami oleh Abdurahman Wahid, posisi dan fungsi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bab keempat membahas tentang Kesimpulan dan Saran. Uraian dalam kesimpulan menjelaskan jawaban dari pertanyaan penelitian secara ringkas. Hal-hal yang diungkapkan dalam saran penelitian ini menyangkut hal-hal yang perlu dilakukan oleh peneliti lain dalam penelitian selanjutnya yang belum ditemukan oleh penulis dalam penelitian ini. Selain itu dalam saran penelitian ini penulis mengungkapkan pula beberapa komentar terhadap teori-teori yang digunakan, baik mendukung maupun mengkeritiknya berdasarkan fenomena yang ditemukan penulis dalam tinjauan literatur.
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG AGAMA DAN PANCASILA
Kesadaran
spiritual
manusia
dapat
diwujudkan
dengan
sistem
penyelenggaraan Negara. Pembentukan Negara didasarkan pada pemikiranpemikiran penyelenggara yang memiliki berbagai latar belakang yang berbeda termasuk etnis dan agama. Ungkapan kesadaran spiritual yang berbentuk ide-ide tersebut dapat diungkapkan dalam menyusun kosep dasar Negara sebagai pedoman dalam penyelenggaraan Negara tersebut. Indonesia dikenal sebagai penduduk yang menganut Agama Islam cukup banyak dan memiliki dasar Negara yang bernama Pancasila. Menurut Greg Barton seorang peneliti dari Australia mengatakan bahwa Pancasila berfungsi sebagai kompromi politik yang mengakui kepercayaan mayoritas orang Indonesia kepada Tuhan tetapi juga memberikan suatu model Negara kepada kaum sekular modern (yang bukan merupakan pengikut agama-agama terbesar)19 Dengan demikian tokoh agama dan pemikirannya menjadi hal penting dalam memahami dasar Negara sebagai ungkapan spiritualnya. Pengertian agama, kelasifikasi Agama, fungsi agama, pengertian dan sejarah Pancasila juga hubungan agama dan Pancasila menjadi perlu dideskripsikan secara teoritis. Oleh karena itu dalam bab ini secara teoritis penulis mendeskripsikan kopnsep agama, Pancasila dan hubungan antara agama dengan Pancasila.
19
Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biografhy of Abdurahman Wahid, Terjemahan Lie Hua, LKiS, Yogyakarta, cet. ke-2, 2010, hlm. xxii.
A. Agama 1.
Pengertian Agama Kata “Agama” berasal dari bahasa Sansekerta dan terdiri dari dua suku kata
yaitu hurup “a” yang berarti tidak, dan “gama” berarti kacau atau berantakan. Istilah agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang pengertiannya menunjukan adanya kepercayaan manusia berdasarkan wahyu Tuhan. Agama mengandung arti hidup yang sangat kekal bagi kehidupan manusia.20 Secara sederhana arti kata agama itu adalah tidak kacau atau tidak berantakan. Dengan kata lain arti kata agama itu adalah teratur atau peraturan.21 Pada umumnya di Indonesia digunakan istilah ‘agama’ yang sama dengan artinya dengan istilah asing ‘religie’ atau ‘godsdienst’ (Belanda) atau ‘religion’ (Inggris). Secara istilah kata “agama” memiliki bermacam-macam pengertian. Menurut seorang ahli agama bahwa terdapat 50 definisi agama yang telah dikumpulkan, dan beberapa mahasiswa Fakultas Ushuluddin dari sebuah perguruan tinggi telah berhasil mengumpulkan 98 definisi agama.22 Dengan demikian definisi agama itu berjumlah banyak. Penulis di bab ini hanya menunjukkan beberapa definisi dan fungsi agama menurut beberapa ahli. Untuk memahami istilah agama, sebelumnya perlu juga diketahui bahwa terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan kata agama dari bahasa asing yaitu kata “relegere”, “religion, “religie” atau “religi” dan “din”. Arti
20
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama; Bagian I, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandar Lampung, 1993, hlm. 16. 21 Moenawar Chalil, Definisi dan Sendi Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm.19. 22 Djam‟anuri. (editor), Agama Kita Persfektif Sejarah Agama-Agama Sebuah Pengantar Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta, 2000, cet. ke-1, hlm. 27.
kata “relegere” adalah mengumpulkan dan membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan. Ini terkumpul dalam Kitab Suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata “religere” yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia.23 Kata “religie” berasal dari bahasa Latin. Sedangkan istilah “religi” berasal dari bahasa Belanda dan kata “religion” berasal dari bahasa Inggeris.24 Endang Saipudin Anshari yang dikenal sebagai cendikiawan muslim menjelaskan, Agama, religi dan dien adalah suatu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia, dan suatu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya yang mutlak itu, serta sistem norma (tata kaidah) yang menyatakan hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaktub.25 Di dalam bahasa Inggris istilah agama itu disebut “religion” yang berarti agama, sedang „religious‟ berarti bersifat keagamaan. Dalam bahasa Arab disebut “din” dengan memanjangkan “I”. Atau sempurnanya disebut “ad-Dien”.26 Dengan melihat pemahaman agama di atas, penulis menemukan tiga peristilahan yaitu “agama”, “religi” dan “ad-Dien”. Menurut Endang Saifudin Anshari bahwa dalam arti teknis dan terminologis ketiga istilah tersebut berinti makna yang sama, walaupun masing-masing mempunyai arti etimologis dan
23
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, UI Press, Jakarta, 1984, jilid ke-1, hlm. 10. 24 Endang Saifudin, Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama , Bina Ilmu, Surabaya, 1982, hlm. 124 25 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam Pustaka, Bandung, 1983), hlm, 9. 26 ibid.
sejarahnya sendiri.27 Dengan demikian, walaupun yang berbeda itu hanya latar belakang sejarahnya, namun tentu saja dari perbedaan itu dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang berbeda pula dari masing-masing peristilahan tersebut. Perkataan kata “ad-Dien” berasal dari bahasa Arab atau bahasa Al-Qur‟an yang sendiri berarti “millah”, “madzhab” dan “tadbier”. Muhammad Adnan pun menerjemahkan kata “ad-Dien” itu adalah asy-syari’ah, ath-thoriqoh dan almillah yang dapat disaring dalam perkataan peraturan dari Allah swt.28 Lebih jelas Harun Nasution menjelaskan kata “din” bahwa dalam bahasa Semit kata itu berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata itu mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.29 Dalam ilmu Sharaf (tata bahasa Arab) kata “dien” itu termasuk masdar dari kata kerja daana- yadinu. Secara istilah, kata itu memiliki arti bermacam-macam diantaranya, cara atau adat kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat atau patuh, menunggalkan Tuhan, pembalasan, perhitungan, hari kiyamat, nasihat, dan agama.30 Tetapi secara umum kata “din” itu diartikan dengan undang-undang atau peraturan Tuhan yang mesti ditaati dan dipatuhi oleh manusia. Di dalam Al-Qur‟an pun kata “din” memiliki persamaan dengan kata-kata lainnya diantaranya, kaata shirath (QS. al-fatihah:5), hukum (QS. Yusuf:76), millah (QS. Al-an’am:156), sabil (QS. An-Nahl:125), al-Ibadah (QS. Al-Araf:29).
27
ibid. Muhammad Adnan, Tuntutan Iman dan Islam, Jakarta, 1970, hlm.9. 29 Harun Nasution, hlm. 9 30 Moenawar Chalil, hlm. 13. 28
Secara singkat Harun Nasution menjelaskan bahwa intisari dari pengertian istilah-istilah yang berkaitan dengan agama itu adalah ikatan.31 Menurut Harun, agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Manusia dalam kehidupan sehari-harinya sangat dipengaruhi oleh ikatan tersebut, karena ikatan itu bersumber dari suatu kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia dan kekuatan itu bersifat gaib yang tak dapat dipahami dengan pancaindera manusia. Mungkin ikatan itu cenderung dipahami secara rasional dan keyakinan. Unsur-unsur yang terdapat dalam agama dikemukakan oleh Harun Nasution kekuatan gaib, keyakinan manusia, respon yang bersifat emosionil dari manusia dan paham adanya yang kudus (sacred) dan suci.32 Para ahli agama lain menjelaskan mengenai pengertian agama, termasuk para sarjana agama. Hasbi Ash-shiddieqy mengungkapkan, ….agama adalah suatu kumpulan peraturan yang ditetapkan Allah untuk menarik dan menuntun para umat yang berakal kuat dan patuh akan kebajikan, supaya mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan kejayaan, kesentosaan di akhirat, negeri yang abadi mengecap kelezatan yang tak ada tolok bandingannya serta kekal selama-lamanya.33 Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdo‟a, memuja dan
31
Harun Nasution, hlm. 10. Harun Nasution, Islam …, hlm. 11. 33 Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam I, Bulan Bintang, Jakarta, 1964, hlm. 17. 32
lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya. 34 Asal keyakinan keagamaan itu berpijak pada sesuatu kodrat kejiwaan, yaitu keyakinan kuat atau rapuh kelanjutan hidup sesuatu agama itu tergantung pada masalah tentang berapa dalam dan berapa jauh keyakinan keagamaan itu meresap pada jiwa setiap penganutnya. Kalangan agamawan berpendapat bahwa agama itu berasal dari kodrat maha pencipta, yang memberikan bimbingan kepada manusia pertama mewariskan pada keturunannya, dan kodrat penciptaan itu melahirkan pembaharuan agama.35 Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting, karena saling mempengaruhi antara lembaga budaya dalam tabiat manusia serta sistem nilai, moral dan etika. Agama itu mempengaruhi organisasi kekeluargaan, perkawinan, ekonomi, hukum-hukum dan politik agama tidak terlepas dari suatu intitusi kebudayaan yang menyajikan sesuatu lapangan ekspresi dan implikasi begitu halus agama tersebut.36 Menempatkan tradisi keagamaan dalam bentuk kontekstual dalam dinamika perubahan sosial adalah keniscahayaan yang harus disikapi dengan cara menciptakan wajah baru dari ajaran agama. Dengan demikian agama bukanlah sekedar wacana yang memiliki psikologi dan spiritual semata, melainkan meliputi banyak aspek kehidupan.37
34
Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakara, 2005, hlm 1. 35 Zakiah Drajat, Perbandingan Agama I, Bumi Aksara. Jakarta, 1991, hlm. 1. 36 Joesoef Soy‟eb, Agama-agama Besar di Dunia, PT. Al-Husna Zikra, Jakarta, 1996, hlm. 16. 37 Amin Abdullah, Studi Agama, Pustaka Pelajar Offset, 2000, hlm. 11.
Selain itu Ahmad Abdullah Al-Masdoesi menjelaskan pengertian agama dengan bahasa Inggris, Religion is code of life revealed to mankind from time ever since the appereance of man in this is globe, and is embodied in its final perfect from in the Holly Qur‟an which revealed by God to His last apostle Muhammad Ibn Adb Allah (pease be upon him), a code of life certain clear and complete guidance concerning both the spiritual and the material aspects of life.38 Mukti Ali yang dikenal sebagai ahli Ilmu Perbandingan Agama Indonesia memahami agama sebagai kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum yang diwahyukan kepata utusan-utusan-Nya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Hampir mirip dengan Mukti Ali, Sidi Gazalba mengartikan agama sebagai kepercayaan dan hubungan manusia dengan yang kudus, dihayati sebagai hakikat yang baik, hubungan itu menyatakan diri dalam bentuk serta sistem dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.39 Pengertian agama di dalam kamus pun berbeda-beda. W.J.S. Poerwadarminta menuliskan bahwa agama merupakan segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa dan sebagainya) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.40
Agama menjadi sebuah pengakuan yang
sangat sakral, dalam agama adanya suatu bentuk yang suci, manusia akan insaf dengan adanya suatu agama yang memiliki kekuasaan di atas segalanya.
38
Ahmad Abdullah Al-Masdoosi, Living Religion of The world , Karchi, 1962, p. 7-8. Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Pustaka Antara, Jakarta, 1962), hlm. 22. 40 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia ,Balai Pustaka, Jakarta, 1985), cet. ke-8, hlm. 18. 39
Kekuasaan inilah yang dianggap sebagai asal atau khalik segala yang ada. Manusia memiliki bayangan cara hidup yang lurus.41 Di dalam kamus The Holy Intermediate Dictionary of American English, sebagaimana dikutif oleh Nasruddin Razak bahwa religi dijelaskan sebagai Belief in and worship of God or the super natural.42 Artinya kepercayaan dan penyembahan kepada Tuhan atau kepada Dzat yang Maha Mengatasi. Kamus lainnya yaitu kamus The Advanced learning Dictionary of Current English tercatat bahwa religi adalah Belief in existence of supernatural rulling power the creator and controller of the continues to exist after the death of body.
43
Artinya
agama merupakan kepercayaan terhadap adanya kekuatan kodrat yang maha mengatasi, menguasai, menciptakan dan mengawasi terus menerus keberadaan manusia setelah mati. Dengan menggunakan disiplin psikologi, Hidayat Nataatmaja menjelaskan arti agama sebagai pedoman sempurna agar manusia mampu mengembangkan fitrahnya secara utuh.44 Ogburn dan Nimhoff yang dikenal sebagai ahli psikologi menjelaskan bahwa agama adalah suatu pola kepercayaan, sikap-sikap emosional dan praktek-praktek yang dipakai oleh sekelompok manusia untuk mencoba memecahkan soal-soal “ultimate” dalam kehidupan manusia.45 Pemahaman tersebut di atas menunjukkan kemiripan dengan pemahaman agama menurut Immanuel Kant. Pernyataan Immanuel Kant sebagaimana dikutif
41
Hilman Hadikusuma, Antropologi.., hlm. 123. Nasruddin Razak, Dienul Islam, Al- Ma‟arif, Bandung, 1981, hlm. 60. 43 Ibid., hlm, 61. 44 Hidayat Nataatmaja, Karsa Menegakkan Jiwa Agama, Iqro, Bandung, 1990, hlm. 129. 45 Rasyidi, Empat Kulia Agama Islam di Perguruan Tinggi, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, Cet. ke2, hlm. 50. 42
oleh Hasanudin bahwa agama adalah perasaan kejiwaan manusia yang berdasar dan bersumber pada Tuhan.46 Hal yang mirip juga diungkapkan oleh William James bahwa agama merupakan perasaan dan pengalaman batin insan secara individual yang menganggap bahwa mereka berhubungan dengan apa yang dipandangnya sebagai Tuhan.47 Selain itu dijelaskan pula bahwa agama merupakan suatu kata yang dapat digunakan untuk menjelaskan emosi dan perasaan yang dianggap penting. Seorang ahli ilmu jiwa agama, Zakiah mengungkapkan pendapat ahli ilmu agama lainnya seperti Frazer, James Martineau, dan Mattegart.48 Frazer mengungkapkan bahwa agama adalah kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia, yaitu kekuasaan yang disangka oleh manusia untuk dapat mengendalikan, menahan atau menekan kelancaran alam dan kehidupan manusia. Martineau menjelaskan bahwa agama adalah kepercayaan kepada yang hidup abadi, di mana diakui bahwa dengan fikiran dan kemauan Tuhan, alam ini diatur dan kelakuan manusia diperbuat. Sedangkan Mategart berpendapat bahwa agama adalah suatu keadaan jiwa atau lebih tepat keadaan emosi yang berdasarkan kepercayaan akal kerahasiaan diri kita dengan alam semesta. Thoules menambahkan bahwa ketiga definisi tersebut terdapat dalam pandangan ilmu jiwa umum, karena perasaan itu dapat dibagi tiga segi yakni, tanggapan, emosi dan dorongan. Seorang tokoh lainnya yang berhaluan atheis seperti Karl Mark menyatakan bahwa agama atau religion is the sigh of the pressed creature, the heart of heart less world, just as at is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the 46
A.H. Hasanuddin, Cakrawala Kulia Agama, Al-Ikhlas, Surabaya, 1982, hlm, 81. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1985, hlm. 30. 48 Ibid., hlm. 36. 47
people.49Mark memahami bahwa agama adalah keluh kesah makhluk tertindas, hati nurani dari dunia yang tidak berhati, tepat sebagaimana ia adalah jiwa dari keadaan yang tidak berjiwa. Ia adalah candu masyarakat. Pendapat Mark ini mungkin melihat realitas agama menunjukkan peran yang melegitimasi masyarakat tertindas dalam memasuki dunia modern terutama agama yang dilihatnya di Erofa. Tokoh agama lainnya yaitu Goulson menyatakan bahwa agama adalah hasil dari pengaruh hubungan khusus antara manusia dengan lingkungannya. 50 Begitu pun menurut Khan, agama adalah hasil produksi alam bawah sadar manusia dan bukan merupakan hal yang mempunyai wujud dalam alam nyata.51 Dari pemahaman agama di atas menunjukkan bahwa agama sebagai refleksi dari keyakinan tidak hanya terbatas pada ajaran dan doktrin saja, tetapi juga refleksi dalam tindakan kolektivitas umat. Hal itu dipertegas oleh penjelasan Koentjaraningrat bahwa refleksi cara beragama tidak hanya terbatas pada kepercayaan saja, tetapi juga merefleksi dalam perwujudan tindakan kolektivitas penganutnya atau dimensi religiusitas yang terangkum dalam empat unsur. Pertama, emosi keagamaan, yaitu aspek keagamaan yang mendasar, yang ada dalam lubuk hati manusia, yaitu menyebabkan manusia beragama menjadi religius atau tidak religius. Kedua, sistem kepercayaan, yang mengandung satu sistem keyakinan tentang adanya wujud dan sifat Tuhan, tentang keberadaan alam gaib, makhluk halus, dan kehidupan abadi setelah kematiaan. Ketiga, sistem upacara atau Ritual keagamaan, yang dilakukan oleh para penganutnya, yaitu sistem 49
Karl Mark and F. Engels, On Religion, p. 42. C.A. Goulson, Science and Christian Belief, Moskow, 1970, p. 4. 51 Waheeduddin Khan, Islam Menjawab Tantangan Zaman, Pustaka, 1983, Bandung, hlm. 6. 50
kepercayaan yang bertujuan mencari hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan atau realitas mutlak. Keempat, umat atau kelompok keagamaan, yaitu kesatuan-kesatuan sosial yang menganut suatu sistem kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara keagamaan.52
2.
Fungsi Agama Secara fungsional, agama menjadi sangat penting sehubungan dengan unsur-
unsur pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidakpastian, ketidakberdayaan dan keterasingan yang memang merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia. Dalam hal ini fungsi agama ialah menyediakan dua hal. Pertama, suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh manusia, dalam arti dimana frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Kedua, sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia dalam mempertahankan moralnya.53 Agama bisa dikatakan suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal, untuk memegang peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri supaya mencapai kebaikan kelak hidup di dunia dan akhirat.54
52
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, UI-Press, Jakarta, 1987, hlm. 81. Thomas E. O‟dea, Sosiologi Agama; Suatu Pengenalan Awal, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, hlm. 25-26. 54 Mujahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-agama, PT. Raja Grafindo Presada, Jakarta, 1996, Hlm 3. 53
Bila agama dipandang sebagai pengalaman yang suci manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan alam, tanpak sejumlah fungsi dalam kehidupan manusia baik dalam kehidupan pribadi ataupun kehidupan sosial fungsi-fungsi itu bersifat penjelas dan jawaban atas pertanyaan yang perinsipil yang tampaknya telah mengusik hati manusia sejak zaman purba, agama bersifat sebagai penetram hati, pengasah tradisi, pemandu sosial dan juga sebagai pemandu budaya.55 Menurut Robet. B. Taylor bahwa sifat agama ada lima fungsi dalam kehidupan manusia dan bermasyarakat, fungsi yang paling penting adalah memberi penjelasan (explanation). Agamalah yang menjelaskan keberadaan manusia. Fungsi kedua, adalah memberi ketentraman hati kepada manusia, (reassurance) sebab, manusia lahir untuk susah maka penyembuhan dicari yang ghaib, yaitu melalui agama. Fungsi ketiga, menjelaskan „validation’ terhadap kebiasaan dan nilai dimasyarakat, agama sebagai tumpangan kebudayaan untuk melaksanakan ritual yang sudah terjadi hal-hal itu ditopang, disahkan atau diberi sanksi oleh kepercayaan agama. Fungsi agama yang keempat sebagai pengikat sosial (social integration), agama mengikat masyarakat untuk kerjasama dan perasaan memiliki yang sama, hal itu terutama berlaku pada kebudayaan yang mempunyai seperangkat kepercayaan dan praktik agama yang sama bagi seluruh anggota.56
55
H. A. Hidayat, Pemikir Islam (Tentang Teologi dan Filsafat), CV. Pustaka Setia, Bandung 2006, hlm. 23. 56 Ibid, hlm. 26-27.
Agama dapat dipahami sebagai fakta sosial, karena ia menyangkut nilai dan norma yang menyangkut kepercayaan serta berbagai perakteknya di masyarakat. Agama dalam konteks ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat dimana manusia memiliki berbagai catatan termasuk yang biasa diketengahkan dan di tafsirkan oleh para ahli arkeologi. Dalam masyarakat yang sudah mapan, agama merupakan salah-satu struktur institusional penting yang melengkapi keseluruhan sistem sosial. Akan tetapi masalah agama berbeda dengan masalah pemerintahan dan hukum.57 Agama melukiskan sebagai kebutuhan dasar dan untuk membela diri terhadap segala kekacauan yang mengancam manusia. Hampir seluruh masyarakat mempunyai agama tidak ada bangsa bagaimanapun primitifnya, yang tidak memiliki agama. Agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku kehidupan individu dan kelompok, juga memberi harapan kelanggengan hidup sesudah mati dan mengingkat diri dari kehidupan duniawi yang penuh penderitaan untuk mencapai kemandirian spiritual.58 Demikian pula, agama yang telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime, sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Akan tetapi, agama pula telah di tuduh sebagai penghambat kemajuan manusia dan mempertinggi fanatisme dan sifat tidak toleran, pengacuhan, tahayul (kesia-siaan).59
57
Thomas F. O‟dea, Sosiologi Agama.., hlm.1. Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, PT. Rosdakarya, Bandung, 2000, Hlm 119. 59 Adeng Muhtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2005, Hlm 43. 58
Manusia pada dasarnya percaya akan adanya kekuatan ghaib, yang sangat luar biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap individu atau kelompok sehingga menimbulkan sikap mental, rasa takut, pasrah yang akhirnya akan menimbulkan perilaku berdo‟a, memuja dan bersandar pada agama.60 Dalam agama terdapat peraturan hukum yang harus dipahami oleh manusia. Agama menguasai seseorang hingga membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan cara menjalankan ajaran-ajaran agama untuk mencoba mencari keselamatan.61 Dalam kehidupannya manusia mengalami ketidakpastian, yaitu kematian. Selain tidak bisa diramalkan, kematian juga berada di luar jangkauan kekuatan manusia. Sekalipun mengetahui bahwa kematian merupakan kepastian, namun tidak ada seorang-pun yang mengetahui kapan kematian itu akan terjadi, hal ini membuat manusia kecewa atau cemas. Dalam menghadapi kekecewaan tersebut manusia tidak berdaya, akhirnya manusia menyadarkan diri pada agama.
62
Dengan demikian, agama selain membawa aturan-aturan dan hukum-hukum, juga berfungsi membantu manusia dalam menghadapi masalah hidupnya. Dengan berdasarkan pengalaman sehari-hari, dapat dipastikan bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini, maupun sesudah mati. Jaminan untuk itu mereka temukan dalam agama. Terutama karena agama mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara yang khas untuk mencapai kebahagiaan yang pencapainnya mengatasi kemampuan manusia secara
60
Ibid., hlm. 120. Harun Nasuton, Islam ..., 2008, Hlm 9. 62 Elizabet K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 77. 61
mutlak. Hanya manusia agama (homo religious) dapat mencapai titik itu, entah itu manusia yang hidup dalam masyarakat primitif atau masyarakata modern.63 Joachim Wach menegaskan bahwa setiap manusia memiliki agama atas pengalaman keagamaannya itu sendiri, yang membuat dirinya merasa bermakna, di tengah masyarakatnya. Pengalaman keagamaan adalah suatu perasaan yang didapat manusia pada saat ia berhubungan atau merasa hubungan dengan Yang Maha Mutlak.64
3.
Klasifikasi Agama Agama dapat diklasifikasikan dalam berbagai kelompok berdasarkan kriteria
tertentu. Para ahli agama mengelompokkan agama-agama itu menjadi agamaagama besar – agama kecil, agama wahyu-agama alam, agama konvensional agama modern, agama tinggi – agama rendah dan sebagainya. 65 Selain itu ada pula agama dikelompokkan berdasarkan sifatnya yaitu agama primitif dan agama yang telah meninggalkan fase keprimitifan.66 Agama yang termasuk agama Primitif diantaranya dinamisme, animism dan politeisme. Sedangkan menurut Wach, agama dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian yaitu agama Etnis dan agama Universal.67Agama Etnis menekankan pada pelaksanaan perbuatan itu sendiri. Sedangkan agama Universal memberikan penialian utama pada tujuan perorangan sebagai ukuran dari kemurnian iman. 63
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1984, hlm 39-40. Joachim Wach, Ilmu …, hlm. 34. 65 Djam‟anuri, hlm. 27. 66 Harun Nasution, hlm.11 67 Joachim Wach, Ilmu… hlm.155. 64
Sedangkan Djam‟anuri memilih pengklasifikasian berdasarkan bukan wahyu dan wahyu, atau agama bukan semit dan semit.68 Kelompok agama yang termasuk bukan wahyu atau bukan semit terbagi empat kelompok berdasarkan asal usul bangsanya diantaranya, Bangsa Mongolis melahirkan Konfusianisme, Taoisme, Shintoisme. Bangsa arya memunculkan Hinduisme, Jainisme Sikhisme dan Zoroastrianisme.
Bangsa
Missellaneous
melahirkan
Buddhisme.
Bangsa
Paganisme melahirkan berbagai agama yang dikelompokkan dalam paganisme. Sedangkan kelompok agama yang termasuk agama wahyu atau agama semit diantaranya Islam, Kristen dan Yudaisme. 4.
Agama Islam Karena penulis membahas pemikiran Abdurahman Wahid yang dikenal
sebagai ulama, cendekiawan dan tokoh Muslim, maka agama yang dijadikan bahan pemabahasan dalam skripsi ini termasuk kelompok agama Islam. Agama Islam ini pada masa awalnya memiliki karakteristik yaitu kejayaan dalam bidang politik.69 Kejayaan politik itu menurut Madjid terbukti dalam catatan sejarah bahwa kaum Muslimin dengan kekuatan militernya berhasil melakukan ekspansi sejak periode Nabi di Madinah dan dibawah pimpinan Sahabat Nabi. Dengan mengutip pendapat Rodinson, Madjid menjelaskan bahwa keberadaan Agama Islam ini berbeda dengan agama Kristen dan Buddhisme, karena Islam tidak hanya menampilkan sebagai perhimpunan kaum beriman yang mempercayai kebenaran yang satu dan sama, tetapi juga sebagai masyarakat yang total.
68
Djam‟anuri, hlm. 28. Nurcholish Madjid, Kata Pengantar, dalam buku: Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, LP3ES, Jakarta, Cet. Ke-3, 1996, hlm. xvii. 69
Kata “Islam” berarti “masuk dalam perdamaian” dan orang yang beragama Islam disebut Muslim. Dengan kata lain seorang Muslim merupakan orang yang berusaha berbuat damai dengan Tuhan dan dengan manusia. Hubungan perdamaian manusia dengan Tuhan ditunjukkan dengan sikap tunduk dan patuh secara total kepada kehendak-Nya. Sedangkan hubungan perdamaian dengan manusia tidak hanya meninggalkan pekerjaan jelek dan menyakitkan orang lain, tetapi juga berbuat baik kepada orang lain. Kedua hubungan tersebut merupakan esensi dari agama Islam. Pemahaman lainnya diungkapkan Harun Nasution. Dia memahami bahwa Islam adalah agama dalam pengertian ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.70 Dia menegaskan bahwa Islam pada hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Islam memiliki berbagai aspek, diantaranya aspek moral, mistisisme, falsafat, sejarah, kebudayaan dan sebagainya. Adapun sumber dari ajaran-ajaran tersebut adalah Al-Qur‟an dan Hadits. Dua sumber ini dianggap sebagai sumber asli dari ajaran-ajaran Islam dalam segala aspeknya. Al-Qur‟an sebagai sumber utama dalam Islam, karena ia merupakan Sabda Tuhan atau Kalamullah atau disebut wahyu. Sedangkan Hadits merupakan cerita-cerita yang bersumber dari perkataan, perbuatan dan sikap Muhammad. Terkadang Hadits ini disebut pula Tradisi Islam. Di samping itu ada pula
70
Harun Nasution, hlm. 24.
Kesepakatan (consensus) para ulama dan pendapat ulama dijadikan sebagai sumber hukum Islam. Ajaran Islam yang terpenting adalah ajaran Tauhid. Ajaran Tauhid ini merupakan pengakuan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran Tauhid ini menjadi dasar untuk ajaran-ajaran lainnya seperti masalah kerasulan, wahyu, kitab suci Al-Qur‟an, soal percaya kepada ajaran Nabi Muhammad atau soal Mu‟min dan Muslim, soal yang tidak percaya seperti kafir dan musyrik, hubungan makhluk (manusia) dengan khalik (pencipta), masalah hari akhir (surga dan neraka), dan sebagainya. Dalam tradisi Suni ajaran Islam itu terangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Rukun Iman berkaitan dengan kepercayaan kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan takdir. Sedangkan rukun Islam berkaitan dengan syahadat (kesaksian), shalat, zakat, puasa dan menunaikan ibadah haji. Fenomena Agama Islam secara umum kini terbagi dalam kelompok besar yaitu suni dan syiah. Berbeda dengan klasifikasi dalam Kristen, kelompok Suni dan Syiah ini tetap dianggap Muslim (beragama Islam) oleh kedua kelompok ini. Artinya kelompok ini tidak melahirkan agama, melainkan aliran. Berbeda dengan klasifikasi dalam agama Kristiani, dimana kelompok-kelompoknya melahirkan agama baru. Pembagian kelompok ini cenderung berdasarkan pada nuansa politik yaitu pada saat proses pembentuk kepemimpinan setelah Muhammad meninggal dunia. Kelompok Suni merupakan kelompok yang berorientasi pada pembentukan kepemimpinan berdasarkan musyawarah. Kelompok ini mengakui kepemimpinan
empat sahabat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) setelah Nabi Muhammad meninggal. Sedangkan kelompok Syi’ah merupakan kelompok yang cenderung hanya mengakui kepemimpinan Ali saja sebagai pemimpin mereka. Kaum Suni memahami bahwa kepala Negara tidak mesti dari keturunan Nabi melalui Fatimah dan Ali. Kaum Syi’ah justru memahami dan meyakini bahwa hanya keturunan Nabi yang boleh menjadi kepala Negara. Dari pemahaman ini berkembang pada pemikiran tentang jabatan kepala Negara jaman sekarang. Di satu sisi, jabatan kepala Negara dipahami mempunyai sifat turun temurun dari bapak ke anak. Di sisi lain pengangkatan kepala Negara didasarkan atas kesanggupan serta keahlian dan bukan atas keturunan. Selain itu dalam aspek teologi, Islam memiliki berbagai aliran, seperti aliran bercorak liberal, tradisional, tidak terlalu liberal, dan tidak terlalu tradisional. Dalam aspek hukum Islam atau fiqh terdapat empat kelompok pemahaman mengenai hukum Islam yaitu, Hanafi, Maliki dan Syafi‟i, dan Hambali. Pemahaman-pemahaman terhadap hukum Islam, ada yang menggunakan tekstual atau tradisional dan ada yang bersifat kontekstual yang cenderung menggunakan akal. Pemahaman yang bersifat tekstual yaitu pemahaman yang langsung berdasarkan teks Al-qur‟an dan Hadits. Sedang pemahaman kontekstual yaitu pemahamn yang berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadits, tetapi aplikasinya disesuai dengan konteks masyarakat tertentu. Dalam pemahaman kontekstual AlQur‟an dan Hadits berfungsi sebagai konfirmasi. Salah satu contoh yang cenderung menggunakan tradisional menurut Mukti Ali adalah pengikut-pengikut Ahmad bin Hanbal. Mereka berjuang berabad-abad lamanya menentang
pemikiran-pemikiran yang bebas yang berusaha untuk melampaui pemikiranpemikiran ulama-ulama yang lalu. Mereka pula menentang pemikiran-pemikiran ilmu kalam dan pendekatan agama secara mistis.71 Khusus mengenai Islam di Indonesia, Harun menilai bahwa Islam di Indonesia secara umum dikenal hanya pada aspek teologi dan aspek hukum. Itu juga orang Indonesia melihatnya hanya dari satu kelompok saja. Dalam bidang teologi, hanya aliran tradisionalnya terutama aliran jabariah yang mengajarkan fatalisme. Aliran ini dapat menimbulkan kesalahfahaman bahwa Islam mengajarkan kesenangan materi, karena sorga dan neraka diberi gambaran sebagai kesenangan materi dan kesenangan jasmani. Sedang dalam bidang hukum Islam, hanya mazhab Safi‟i yang banyak dipelajari orang Indonesia. Sehingga Harun berkesimpulan bahwa pengetahun orang Indonesia mengenai Islam tidak sempurna.72 Untuk
menghindari
kesalahfahaman
dan
untuk
menyempurnakan
pengetahuan tentang Islam, Harun mengajukan adanya perubahan dalam memahami pengetahuan Islam.
Beliau mengajukan adanya spesialisasi atau
mengetahui aspek-aspek, dan aliran-aliran lain dalam Islam. Pendapat lainnya Mukti Ali menjelaskan bahwa cara mendekati dan memahami Islam dengan tiga cara, yaitu naqli (tradisional), aqli (rasional), dan kasyfi (mistis).73 Pendekatan-pendekatan ini menurut Mukti Ali sudah ada dalam fikiran Nabi Muhammad Saw dan terus digunakan oleh ulamg-ulama Islam setelah beliau wafat. Pasang surut pendekatan ini sering berganti dan berbeda71
H.A. Mukti Ali, hlm. 9-10. Harun, hlm. 34. 73 H.A. Mukti Ali, hlm. 9. 72
beda dilakukan para ulama hingga sekarang. Namun menurut Mukti Ali terdapat tradisi yang kaku sekarang ini dalam memahami Islam yaitu tradisi yang dilakukan oleh kalangan Wahabiyah di Arab Saudi dan Tariqat As-Sanusiyah di Afrika Utara.74 Di Indonesia menurut Herbert Faith, Islam menjadi kekuatan politik di samping kekuatan lainnya, seperti kelompok nasionalisme, social democrat, Komunisme, dan Tradisionalisme Jawa. Kekuatan Islam berawal tergabung dalam kelompok Masyumi yang terdiri dari kelompok muslim tradisional dan modern. Tetapi setelah tahun 1952 Masyumi pecah dengan keluarnya NU dari kelompok Islam tersebut. NU membuktikan sebagai kekuatan Islam di Indonesia dengan terlibat pada pemilihan umum tahu 1955 yang menempati posisi ketiga setelah PNI dan Masyumi. Sejak saat itu Kekuatan NU menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam politik Indonesia. NU dikenal mewakili kelompok Islam tradisional terbukti dengan adanya unsur heriditas dalam sistem kepemimpinan di organisasi ini. Keluarga Hasyim Asyari merupakan keluarga yang paling diperhitungkan dalam kepemimpinan itu, karena memiliki nilai kualitas. Peran keluarga tersebut telah mewarnai peran NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasyim Asyari sebagai pendiri NU dan penerima gelar Hendratus Syeikh dan Rois Akbar. Wahid Hasyim sebagai pembaharu Islam di Nahdlatul Ulama dan menteri Agama. Abdurahman Wahid dikenal sebagai Ulama, Cendekiawan dan tokoh Muslim yang pernah menempati
74
Ibid.
sebagai anggota DPR, MPR, Presiden RI ke-4, tokoh agama dunia dan Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa.
B. Pancasila 1.
Munculnya Pancasila Istilah “Pancasila” telah dikenal sejak dulu kala termasuk setelah masuknya
agama Hindu dan Buddha ke Nusantara. Dalam konteks sistem pemerintahan Istilah “Pancasila” ditemukan dalam Buku Negarakertagama yang berbahasa Sansekerta pada masa Kerajaan Majapahit. Buku ini ditulis oleh Prapanca yang menjelaskan peristiwa atau catatan sejarah mengenai Kerajaan Majapahit (12961478). Di buku yang berupa syair pujian itu terdapat istilah Pancasila dalam sarga (pupuh) 53 bait ke-2 yang berbunyi, “yatna gegwani pancasila kertasangskahrbhisekaka krama” yang artinya Raja menjalankan dengan setia kelima pantangan (Pancasila) begitu pula upacara-upacra ibadat dan penobatanpenobatan. Menurut Slamet Mulyana,75 pupuh yang ke- 50 sampai dengan ke- 54 menguraikan perburuan di hutan Nandawa. Dia menilai bahwa pupuh-pupuh ini merupakan bagian yang indah sekali karena menguraikan keberadaan Raja Hayam Wuruk sebagai titisan Wisnu yang berhak atas segala hidup.
2.
Pengertian Pancasila Pancasila ini berarti lima prinsip atau dasar. Nilai-nilainya telah ada pada
bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum bangsa Indonesia mendirikan 75
Slamet Mulyana, Tafsir Sejarah Negara Kretagama, LKiS, Yogyakarta, Edisi Khusus, 2011, hlm. 6.
Negara, yang berupa nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan serta nilai-nilai religius. Nilai-nilai tersebut telah ada dan melekat serta teramalkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pandangan hidup, sehingga materi pancasila yang berupa nilainilai tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, sehingga bangsa Indonesia sebagai bangsa kausa materialis Pancasila. Nilai-nilai tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri Negara untuk dijadikan sebagai dasar filsafat dasar Negara Indonesia. Pada saat kerajaan Islam muncul atau setelah Majapahit runtuh masih juga dikenal nilai-nilai lima dasar atau prinsip itu di dalam masyarakat Jawa, yang disebut dengan “lima larangan” atau “ lima Pantangan” yang berkaitan dengan moralitas yaitu, mateni, artinya membunuh, maling artinya mencuri, madon artinya berzina, mabok, artinya meminum minuman keras atau menghisap candu, dan main artinya berjudi. Semua kata itu tersebut diawali dengan hurup “m” atau dalam bahasa Jawa disebut “ma”, sehingga lima prinsip moral tersebut dikenal orang Jawa dengan istilah “ma lima”, atau “M 5” yaitu lima larangan.
3.
Proses Pancasila sebagai Dasar Negara Pada saat menjelang dan pasca kemerdekaan secara formal, para pendiri
bangsa merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara melalui beberapa sidang yaitu sidang BPUPKI pertama, sidang panitia “9”, sidang BPUPKI kedua, dan disyahkan secara hukum sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia. 76
76
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, edisi ketujuh, 2003, hlm. 28.
Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam siding BPUPKI pertama. BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dikenal dalam Bahasa Jepang dengan istilah Badan Dokuritsu Syunbi Tyoosakai terdiri dari satu orang ketua, dua orang ketua muda dan 60 orang anggota. Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat sebagai ketua, Letubangse sebagai Ketua Muda dan R.P Soeroso sebagai Ketua Muda. Adapun keenampuluh anggota berdasarkan data dari sekretariat Negara sebagaimana dikutif Kaelan77 adalah Ir. Soekarno, Mr. Muh. Yamin, Dr. R. Kusumah Atmadja, R. Abdulrahim Pratalykrama, R. Aris, K.H. Dewantara, K. Bagus H. Hadikusumo, M.P.H Bintoro, A.K. Moezakir, B.P.H Peorbojo, R.A.A. Wiranatakoesoema, Ir. R. Asharsoetedjo Moenandar, Oei Tjiang Tjoei, Drs. Muh. Hatta, Oei Tjong Hauw, H.
Agus
Salim,
M.
Soetardjo
Kartohadikusumo,
R.M.
Margono
Djojohadikusumo, K.H. Abdul Halim, K.H. Masjkoer, R. Soedirman, Prof. Dr. P.A.H. Djajadiningrat, Prof. Dr. Soepomo, Prof.Ir. Roeseno. Mr. R.P. Singgih, Mr. Ny. Maria Ulfah Santoso. R.M.T. A.Soejo. R. Ruslan Wongsokusumo, R. Soesanto Tirtoprodjo, Ny. R.S.S. Soemario Mangunpoespito, Dr. R. Boentaran Martoatmodjo, Liem Koen Hian, Mr. J. Latuharhary, Mr. R. Hindronartono, R. Soekardjo Wirjopranoto, Hadji Ahmad Sanoesi, A.M. Asaat, Mr. Tan Eng Hoa, Ir.R.M.P.
Soerachman
Tjokroadisurjo,
R.A.A.
Soemitro
Kolopaking
Poerbonegoro, K.R.M.T.H. Woerjaningrat, Mr.A. Soebardjo, Prof. Dr. R. Djenal Asiki Widjajakoesoema, Abikoesno, Parada Harahap. Mr.R.M. Sartono. K.H. M. Mansoer, K.R.M.A Sosrodiningrat, Mr. Soewandi, K.H.A. Wachid Hasyim, P.F.
77
Ibid., hlm. 37.
Dahler, Dr. Soekiman, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, R. Otto Iskandar Dinata, A. Baswedan, Abdul Kadir, Dr. Samsi, Mr.A.A. Maramis, Mr. Samsoedin, Mr. R. Sastromoeljono. Menurut
Radjiman,
“Badan
Dokuritsu
Syunbi
Tyoosakai”
itu telah
mengadakan sidangnya yang pertama dari tanggal 29 Mei tahun 1945 sampai dengan tanggal 1 Djuni 1945 dan kedua dari tanggal 10 Djuli 1945 sampai dengan tanggal 17 Djuli 1945.” 78 Radjiman Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah pada sidang tersebut. Masalah tersebut adalah tentang suatu rancangan rumusan dasar Negara Indonesia yang akan dibentuk. Dalam sidang tersebut tampil tiga pembicara yaitu Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno. Mr. Muh. Yamin menyampaikan pidato tanggal 29 Mei 1945, Prof. Soepomo menyampaikan pidatonya tanggal 31 Mei 1945 dan Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Muhammad Yamin mengusulkan suatu rumusan dasar Negara sebanyak lima poin secara lisan yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan (permusyawaratan, perwakilan, kebijaksanaan) dan Kesejahteraan Rakyat (keadilan Sosial). Namun dalam naskah yang disampaikan Yamin berbeda dengan yang disampaikan secara lisan. Perbedaan tersebut terletak pada susunannya. Hal tersebut dapat dilihat dari naskah yang disampaikan Yamin yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Persatuan Indonesia dan rasa kemanusian yag adil dan beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
78
Radjiman Wedyodiningrat, Kata Pengantar (1 Djuli 1947), dalam Lahirnya Pancasila, 1960, tanpa Penerbit, Jakarta, hlm. 9.
dalam permusyawaratan perwakilan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.79
Pada tanggal 31 Mei 1945, Soepomo menyapaikan tentang teori-teori Negara yaitu Teori Negara perseorangan, Teori Negara kelas dan Teori Negara integralistik. Teori Negara perorangan dijelaskan Soepomo dengan mengutip pemikiran Thomas Hobbes, Jean Jacques Rousseau, Herbert Spencer dan H.J. Laski. Pada intinya dalam teori perseorangan, Negara merupakan masyarakat hokum (legal Society) yang disusun atas kontrak antara seluruh individu (social contruct). Dalam membahas Teori Negara Kelas, Soepomo mengutip pemikiran Marx, Engels dan Lenin. Dalam teori ini Soepomo menjelaskan bahwa Negara merupakan alat dari satu golongan (suatu klas) untuk menindas kelas lain. Negara Kapitalis merupakan alat dari kaum borjuis. Menurut teori ini untuk meraih kekuasaan, kelompok tertindas dalam melakuan perjuangan atau perlawanan terhadap kelompok yang menindas. Akhirnya teori ini memimpikan kelompok masyarakat yang tidak berkelas. Teori Integralistik dijelaskan Soepomo dengan mengutip pemikiran Spinoza, Adam Muller dan Hegel. Dalam teori ini Soepomo menjelaskan bahwa Negara bukanlah untuk menjamin perseorangan atau golongan, tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai suatu persatuan. Negara dipahami dalam teori ini sebagai susunan masyarakat yang integral, segala golongan, bagian atau anggotanya saling berhubungan erat satu dengan lainnya dan merupakan
79
Kaelan, Pendidikan…hlm. 38.
kesatuan organis. Dalam kehidupan Negara semacam ini terdapat penghidupan bagi seluruh bangsa. Negara tidak memihak kepada golongan yang paling kuat atau yang paling besar. Negara menjamin kepentingan dan keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai suatu persatuan. Selanjutnya Soekarno mengajukan secara formal di dalam rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 bahwa Pancasila sebagai dasar negara. Pidato ini menjadikan dia dikenal sebagai penggagas Pancasila dan tanggal penyampaiannya dijadikan oleh sebagian kelompok sebagai hari lahirnya Pancasila. Soekarno merumuskan Pancasila terdiri atas, Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme
atau
peri-kemanusiaan,
Mufakat
atau
demokrasi,
Kesejahteraan dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Soekarno mengutamakan Kebangsaan dalam rumusan Sila-sila yang lima itu daripada Ketuhanan. Terbukti sila ketuhanan ditempatkan di sila yang kelima dalam rumusan Pancasila tersebut. Beliau menjelaskan lebih pentingnya istilah kebangsaan daripada ketuhanan itu. Bahkan Soekarno yang mengaku beragama Islam mengatakan tentang permohonan maaf kepada pihak Islam dalam menjelaskan pentingnya kebangsaan dalam pidatonya. Ketika Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan,
Mufakat
atau
demokrasi
telah
dijelaskan
dalam
sidang
penyampaian tersebut, maka Soekarno berkata Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sajapun, adalah orang Islam, maaf beribu-ribu maaf, keislaman saja djauh belum sempurna, - tetapi kalau saudara-saudara membuka saja punya dada, dan melihat saja punja hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusjawaratan. Dengan tjara mufakat kita perbaiki
segala hal, djuga keselamatan agama, yaitu dengan djalan pembitjaraan atau permusjawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakjat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bitjarakan di dalam permusjawaratan…80.
Kelima sila itu bisa disederhanakan menurut soekarno menjadi Tri sila yaitu socio-nationalism (Sosio nasionalisme), Socio-democratie (sosio demokrasi) dan Ketuhanan. Sosio- nasionalisme merupakan penyederhanaan dari kebangsaan Indonesia dan Internasionalisme atau peri-kemanusiaan. Sosio demokrasi merupakan penyederhanaan dari sila Mufakat atau demokrasi dan Kesejahteraan. Tri Sila tersebut menurut Soekarno bisa disederhanakan menjadi Eka Sila. Soekarno memberi nama Istilah lain dari Eka Sila itu adalah Gotong Royong. Soekarno menginginkan suatu Negara Gotong Royong. Istilah tersebut pernah dijadikan nama kabinet semasa pemerintahan Megawati yatiu 2002-2004. Dengan menyederhanakan Pancasila menjadi Tri sila dan akhirnya menjadi eka sila menunjukkan pemahaman Pancasila menurut Soekarno cenderung sosiologis. Rumusan soekarno tersebut mendapat kritik dari Raliby terutama tentang konsep ketuhanan. Menurut Raliby sebagaimana dikutif Sayfii81 bahwa, Tuhan dalam Pancasila ialah tuhan yang mati, yang tidak mempunyai pengaruh apa-apa pada keempat sila lainnya. Ia tidak memberikan hukum sama sekali. Malah jika Pancasila itu diperas, Tuhan itu sendiri yang kena hukum dan ia hilang lenyap ditelan oleh gotong royong sebagai Eka Sila, yaitu perasaan dari Pancasila.
80
Soekarno, Lahirnya Pancasila, tanpa Penerbit, Jakarta, 1960, hlm. 33-34. Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, LP3ES, Jakarta, Cet. Ke-3, 1996, hlm. 166. 81
Sejak saat itulah istilah “Pancasila” telah menjadi istilah bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun dalam alinea IV pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah “Pancasila”, namun yang dimaksudkan dasar Negara republik Indonesia adalah disebut dengan istilah“ Pancasila”. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan rumusan dasar Negara, yang kemudian secara spontan diterima oleh peserta sidang secara bulat. Dengan melihat pidato Soekarno itu nampaknya terdapat beberapa hal penting. Pertama, Pancasila digali Soekarno melalui renungan mendalam yang berdasarkan karakter jiwa masyarakat Indonesia. Walaupun istilah Pancasila itu pemberian dari seorang ahli bahasa yang tidak disebutkan kepada Soekarno, tetapi Soekarno dikenal sebagai penggagas pertama secara formal. Secara politik, kelak ideologi masyarakat Indonesia yang menjadi kekuatan itu terangkum dalam tiga kekuatan yaitu Nasionalisme, Agama dan Komunis yang disingkat NASAKOM. Kedua,
isi
dari
Internasionalisme
Pancasila atau
yang
terdiri
Peri-Kemanusiaan,
atas
Kebangsaan
Mufakat
atau
Indonesia, Demokrasi,
Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan menunjukkan sila Kebangsaan dianggap lebih penting daripada sila-sila yang lainnya. Ketiga, Pancasila dapat dijadikan dasar Negara bagi bangasa Indonesia untuk membentuk Negara Gotong Royong yang bersifat sosiologis. Pada tanggal 22 Juni 1945 Soekarno sebagai kelompok panitia kecil dengan anggota BPUPKI yang berjumlah 38 orang mengadakan rapat. Mereka membentuk panitia yang berjumlah sembilan orang. Panitia ini dikenal dengan
istilah “Panitia 9”. Mereka itu terdiri atas, Ir. Soekarno, K.H. A.Wachid Hasyim, Mr. Muh. Yamin, Mr. Maramis, Drs. Moch. Hatta, Mr. Soebardjo, Kyai Abdul Kahar Moedzakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, Haji Agus Salim. Dalam rapatnya panitia sembilan menghasilkan rancangan pembukaan Hukum Dasar yang disampaikan kepada Rapat BPUPKI tanggal 10 Juli 1945. BPUPKI menerima atau menyetujui rancangan yang disusun Panitia Sembilan tersebut. Salah satu kutipan yang menari dari rancangan yang dikenal dengan Preambule Piagam Djakarta tersebut adalah, …. maka disusunlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu dalam suatu hokum dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.82
Dalam sidang BPUPKI kedua diputuskan beberapa hal diantaranya, pada tanggal 10 Juli diputuskan bentuk Negara. Dari 64 suara terdapat 55 orang yang setuju republik, 6 orang meminta kerajaan, meminta bentuk lain 1 orang dan belanko 1 orang dan 1 orang yang tidak hadir. Keputusan lainnya dari sidang BPUPKI sebagaimana Pringgodigdo yang dikutif Kaelan
83
adalah BPUPKI membentuk tiga panitia kecil yaitu panitia
perancang Undang-Undang Dasar yang dipimpin Soekarno, panitia ekonomi dan
82 83
Kaelan, hlm. 41. Ibid., hlm. 42.
keuangan dipimpin Moh. Hatta dan panitia pembelaan tanah air dipimpin Abikoesno Tjokrosoejoso.
Panitia perancang Undang-Undang dan BPUPKI
mengadakan sidang pada tanggal 14 Juli 1945. Dalam sidang itu dilaporkan susunan Undang-undang Dasar yang diusulkan terdiri dari tiga hal yaitu pernyataan Indonesia merdeka, Pembukaan Undang-Undang Dasar yang memuat dasar Negara Pancasila, dan pasal-pasal Undang-Undang Dasar. Pada tanggal 7 Agustus 1945 Pemerintah Jepang mengumumkan akan dibentuknya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dikenal pada saat itu adalah Dokuritu Zyumbi Iinkai. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Kemudian keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mengadakan sidang. PPKI terdiri dari 21 orang anggota ditambah 6 orang anggota tambahan. Keduapuluh satu orang itu adalah Ir. Soekarno sebagai ketua, Moh. Hatta sebagai wakil Ketua, Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, K. Bagus H. Hadikusumo, R. Otto Iskandar Dinata, Pangeran Porbojo, Pangeran Soerjohamodjojo, Soetardjo Kartohadikusumo, Prof. Dr. Soepomo, Abdul Kadir, Drs. Yap Tjwan Bing, Dr. Mohammad Amir, Mr. Abdul Abbas, Dr. Ratulangi, Andi Pangerang, Mr. J. Latuharhary, Mr. Pudja, A.H. Hamidan, R.P Soeroso, K.H.A. Wachid Hasyim, Mr. Mohammad Hassan merupakan anggota. Keenam orang anggota tambahan yaitu Wiranatakoesoema, Ki Hadjar Dewantara, Kasman Singodimejo, Sajuti Malik, Mr. Iwa Kusuma Soemantri dan Mr. Achmad Soebardjo. PPKI mengesyahkan Undang-undang Dasar 1945 termasuk pembukaan UUD 1945 di mana di dalamnya termuat isi rumusan lima prinsip sebagai satu dasar
Negara yang diberi nama pancasila. Terdapat tiga butir ketetapan dalam sidang tanggal 18 Agustus itu. Pertama, mengesahkan Undang-undang 1945 yang meliputi: 1) setelah melakukan beberapa perubahan pada Piagam Jakarta yang kemudian berfungsi sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 2) menetapkan rancangan Hukum Dasar yang telah diteima dari Badan Penyelidik pada tanggal 17 Juli 1945, setelah mengalami berbagai perubahan Karena berkaitan dengan perubahan Piagam Jakarta, kemudian berfungsi sebagai UndangUndang Dasar 1945. Kedua, memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama. Ketiga, menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai badan musyawarah darurat.84 Lebih jelasnya dalam sidang pertama PPKI itu, para peserta sidang mengubah hasil hasil sidang Panitia Sembilan. Beberapa perubahan tersebut diantaranya, istilah “Piagam Jakarta” berubah menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kata “Muqadimah” berubah menjadi pembukaan. Kata Hukum Dasar berubah menjadi Undang-Undang Dasar Negara. Kalima “…dengan berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemelukpemeluknya” berubah menjadi kalimat “….dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kalimat “….menurut dasar kamanusiaan yang adil dan beradab” berubah menjadi kalimat “….kemanusiaan yang adil dan beradab”. Selain itu terdapat perubahan pada beberapa pasal Undang-Undang Dasar 1945. Istilah “Hukum Dasar” diganti dengan istilah “Undang-Undang Dasar 1945”. Kata “dua orang Wakil Presiden” diganti dengan kata “seorang Wakil
84
Ibid., hlm. 46.
Presiden”. Kalimat “Presiden harus orang Indonesia Asli yang beragama Islam” diganti dengan kalimat “Presiden harus orang Indonesia asli. Kalimat “….selama pegang pimpinan perang, dipegang oleh Jepang dengan persetujuan Pemerintah Indonesia‟ dihapus dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian pada bulan nopember 1945 Indonesia mengalami konflik diplomasi dengan Belanda. Cara Indonesia melawan pengaruh Belanda di dunia Internasional dengan mengeluarkan maklumat. Diantara maklumat itu adalah maklumat pada tanggal 14 Nopember 1945 yang intinya mengubah kebinet presidensial menjadi kabinet parlementer berdasarkan asas demokrasi liberal (bukan berdasarkan Pancasila). Akibat dari Konfrensi Meja Bundar (KMB) tanggal 27 Desember 1949 menimbullkan berlakunya konstitusi Republik Indonesia Serikat. Diantara isi konstitusi RIS tersebut adalah bentuk Negara serikat (federalis) yaitu 16 negara bagian (pasal 1 dan 2), sifat pemerintahan berdasarkan asas demokrasi liberal dimana menteri-menteri dan seluruth kebijakan pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen (pasal 118 ayat 2), dan jiwa dan semangat juga isi pembukaan UUD 1945 dan Proklamasi Kemerdekaan terhapus. Kemudian Negara bagian dalam RIS hanya tiga Negara yaitu Negara bagian RI Proklamasi, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur. Kenyataan tersebut berujung pada persetujuan RIS dengan Negara RI yaitu tanggal 19 Mei 1950 dimana seluruh Negara bersatu dalam Negara kesatuan yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara yang berlaku sejak tanggal 17 Agunstus 1950.
Pada masa Undang-Undang Dasar Sementara ini, Negara berasaskan demokrasi liberal, sehingga munculnya multi partai dan pemilihan umum. Pemilihan umum pertama terjadi 1955 yang dikuti berbabagai partai menghasilkan dewan konstituante –semacam DPR sekarang. Dalam sidang Konstituante terjadi perdebatan-perdebatan yang mempertanyakan kembali keberadaan dasar Negara. Padahal perdebatan tersebut tidak diharapkan oleh Pemerintahan Soekarno.Terdapat lima kelompok besar aliran politik Indonesia saat itu yaitu Nasionalis, Islam, Komunis, Sosial democrat dan tradisionalis Jawa. Partai yang termasuk kelompok nasionalis diantaranya PNI, partai yang termasuk kelompok Islam diantaranya Masyumi dan NU, partai yang termasuk kelompok komunis diantaranya PKI, Partai yang termasuk kelompok social democrat diantaranya Partai Sosialis Indonesia, Partai yang termasuk kelompok tradisional Jawa adalah partai-partai kecil yang berbasis di Jawa. Menurut Kaelan walaupun terjadi berbagai penyimpangan atau tidak sesuai dengan Pancasila dalam pelaksanaan Undang-Undang Dasar Sementara, tetapi UUDS 1950 merupakan suatu strategi dari Negara Republik Indonesia Serikat ke arah Negara RI yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.85 Perdebatan di dalam Konstituante dinilai telah menimbulkan ancaman keselamatan Negara oleh Pemerintahan Soekarno. Terbukti pada tanggal 5 Juli 1959 dengan munculnya Dekrit Presiden Soekarno. Dekrit dipahami sebagai suatu putusan dari kepala Negara atau pemerintahan tertinggi yang merupakan perwujudan kehendak yang bersifat sepihak. Dekrit diberlakukan apabila Negara
85
Ibid., hlm. 51.
dalam keadaan darurat, keselamatan bangsa dan Negara terancam oleh bahaya. Secara yuridis, dekrit yang diberlakukan Soekarno pada 5 Juli 1959 itu termasuk Hukum Tatanegara. Menurut Kaelan, Hukum Tatanegara Darurat Subyektif ini merupakan suatu keadaan hukum yang memberi wewenang kepada organ tertinggi untuk bila perlu untuk mengambil tindakan-tindakan hukum bahkan kalau perlu melanggar undang-undang hak-hak azasi rakyat, bahkan kalau perlu Undang-Undang Dasar. Dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan tiga pernyataan penting yaitu, 1). Membubarkan Konstituante, 2). Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya kembali Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. 3). Dibentuknya MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dengan berlakunya kembali UUD 1945 maka Pancasila sebagai dasar Negara yang sila-silanya terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 berlaku kembali juga. Tetapi para politikus Masyumi bereaksi keras terhadap pernyataan Soekarno tersebut dengan mempertanyakan legitimasi adanya dekrit tersebut. Para politikus Masyumi memahami bahwa dengan dibubarkannya Konstituante maka tidak ada lagi harapan untuk mewujudkan suatu Undang-Undang Dasar yang mengakui peran dan otoritas Islam dalam Negara.86 Sebaliknya Partai NU yang merupakan kelompok tradisional Islam bersedia
mengikuti kehendak pemerintahan
Soekarno, sehingga mereka tetap dapat bertahan hidup dan NU tetap menjadi
86
Greg Barton, Gusdur… hlm. 81.
suatu kekuatan politik.87Sedangkan Masyumi pada kelak tahun 1960 dibubarkan oleh Soekarno. Pasca Dekrit atau saat Demokrasi Terpimpin, Kelompok PKI berperan dalam Kabinet. Banyak menteri yang berasal dari PKI menduduki posisi menteri. Partai ini pun menjadi besar saat itu. Dengan pengaruhnya, PKI mampu merancang ideologi Negara yang diupayakan dapat mengganti Ideologi Pancasila. Ideologi yang dirancang PKI itu adalah ideologi Manipol Usdek. Saat itu Soekarno pun mempublikasikan konsep ideologi yang bernama NASAKOM (Nasionalisme Agama dan Komunis). Banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang dianggap mengancam keselamatan pemerintahan Soekarno pada masa itu. Peristiwaperistiwa tersebut diantaranya PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), Kanigoro, Boyolali, Bandar Betsy, pembubaran Masyumi, konfrontasi dengan Malaysia dan G 30 S PKI (Gerakan tiga puluh September PKI)- sebagian kelompok menyebut peristiwa ini dengan Gestok (Gerakan satu Oktober). Peristiwa G 30 S PKI tahun 1965 dipahami oleh sebagian kelompok untuk merebut kekuasaan dengan mengganti ideologi Pancasila oleh Ideologi Komunis. Tetapi usaha-usaha itu gagal. Bagi kelompok tersebut Pancasila telah teruji sehingga pada tanggal 1 Oktober sering dirayakan sebagai hari kesaktian Pancasila oleh pemerintahan Orde Baru. Pada tanggal 11 Maret 1966 terjadi penyerahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto melalui Surat Perintah dari Presiden kepada panglima keamanan waktu itu. Surat Perintah itu dikenal dengan istilah “Super Semar” (Surat Perintah
87
Ibid.
Sebelas Maret). Pergantian kekuasaan diperkuat lagi dengan sidang MPRS yang ditetapkan oleh peserta sidang dengan surat ketetapan no IX/MPRS/1966 yang menyatakan pemberhentian Soekarno sebagai Presiden dan mengangkat Soeharton sebagai Presiden. Pemerintahan Soeharto dikenal dengan Orde Baru. Salah satu misi yang sering dipublikasikan oleh pemerintahan ini adalah “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen” Pada masa pemerintahan ini pada tahun tahun 80-an dengan gencarnya melakukan program “Penataran P4”. Program ini merupakan indoktrinasi ideologi dari pemerintah terhadap masyarakat. Program ini didasarkan pada Tap MPR Nomor II tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang ditandatangani oleh Ketua dan wakil Ketua MPR. Ketua MPR saat itu adalah Adam Malik, sedangkan Mashuri, SH, KH. Masjkur, R. Kartidjo, H. Ahmad Lamo dan Mh. Isnaeni adalah sebagai Wakil Ketua MPR. Ketetapan ini disingkat dengan P4 dan dikenal dengan istilah “Ekaparasetia Pancakarsa”.88
C. Hubungan Agama dan Pancasila Pancasila dapat dipahami sebagai Ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Menurut Dawam Rahardjo, secara sosiologi, ideologi merupakan hasil pemikiran manusia dalam merancang masa depan sebagai respons terhadap suatu kondisi masyarakat.89 Dawam mencontohkan bahwa
88
Proyek Bimbingan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Bagi Umat Beragama, Pedoman Pelaksanaan P4 Bagi Umat Islam, Departemen Agama RI, Jakarta, 1979/1980, hlm. 12. 89 M. dawam Rahardjo, Pembaharuan KH. Abdurahman Wahid, Kompas, Jumat, 19 Januari 2007.
adanya penjajahan dapat menimbulkan nasionalisme, kepincangan sosial ekonomi, dan eksploitasi terhadap manusia menimbulkan sosialisme, kediktatoran menimbulkan demokrasi. Dengan melihat contoh yang dikemukakan Dawam tersebut, nampaknya Pancasila sebagai ideologi timbul akibat adanya imperialisme dan adanya berbagai kekuatan ideologi lainnya yaitu Nasionalisme, Islam, dan Komunisme. Dilihat dari kemunculan Pancasila, karena Indonesia baru melepaskan diri dari Penjajahan, maka dipandang perlu untuk menyusun suatu prinsip-prinsip penting dan norma untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada saat itu para pendiri bangsa belum memikirkan Pancasila sebagai filsafat untuk kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana Selo Soemardjan ungkapkan, Pada waktu Pancasila dirumuskan pada tahun 1945 maka yang dirumuskan adalah suatu filsafat singkat yang dimaksudkan sebagai dasar kehidupan berbangsa dana bernegara bagi masyarakat Indonesia. Pada waktu itu belum sempat difikirkan agar Pancasila menjadi dasar filsafat untuk kehidupan bermasyarakat bagi para warga Negara Republik Indonesia yang baru saja dibentuk pada waktu itu.”90
Natsir dikenal sebagai tokoh Masyumi yang pernah menjadi perdana menteri pada era Soekarno. Sebelumnya Natsir mengajukan Islam sebagai dasar Negara, -bukan Pancasila dalam sidang Konstituane. Tetapi di Fakistan dalam suatu forum
90
Selo Soemardjan, Pancasila dalam Kehidupan Sosial, dalam buku : Oetojo Oesman dan Alfian (penyunting), Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Jakarta BP-7 Pusat, cet. ke-2, 1991hlm. 169.
The Fakistan Institute of Waord Affairs tahun 1952, Natsir mengungkapkan pentingnya Pancasila sebagaimana dikutif Ahmad Safii Maarif,91 Begitu juga Indonesia adalah sebuah negeri Islam karena fakta bahwa Islam diakui sebagai agama rakyat Indonesia, sekalipun dalam konstitusi kami tidak dengan tegas dinyatakan sebagai agama Negara. Tetapi Indonesia tidak mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan. Bahkan ia telah menaruhkan kepercayaan tauhid (monotheistic belief) kepada Tuhan pada tempat teratas dari Pancasila- Lima Prinsip yang dipegang sebagai dasar etik, moral, dan spiritual negara dan bangsa. Muhammad Hatta dikenal sebagai wakil presiden pertama dan dikenal sebagai Muslim yang taat. Menurut Hatta sebagaimana dikutif Ahmad Safii Maarif bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Prinsip ini disebut prinsip spiritual dan etik yang memberi bimbingan kepada semua yang baik bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Mungkin termasuk Tauhid dalam ajaran Islam. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab searah dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa secara praktek. Sila ketiga dan keempat merupakan kelanjutan dari sila kedua. Sila kelima yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesial merupakan tujuan akhir dari ideologi Pancasila. Dengan pemhamaan tersebut Hatta nampaknya memahami fungsi Pancasila sebagai pedoman atau filsafat dalam penyelenggaraan Negara Indonesia bagi keselamatan Negara dan masyarakat, ketertiban dunia dan persaudaraan antar bangsa.92
91 92
Ahmad Safii Maarif, hlm. 156. Ibid., hlm. 158.
Hatta pun menegaskan tentang demokrasi yang berkaitan dengan sila keempat yaitu
Kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmah
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan Perwakilan. Menurut Hatta demokrasi akan langgeng di Indonesia selama Indonesia merdeka. Terdapat tiga sumber nilai secara epistemology yang mewarnai demokrasi di Indonesia. Pertama, nilai-nilai Barat yang menekankan kesadaran pada humanisme. Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Ketiga, nilai-nilai tradisional kolektif yang terdapat di desa-desa di Indonesia.93 Pada masa Orde Baru, Pancasila tidak hanya sebagai dasar Negara tetapi juga diarahkan untuk dihayati dan diamalkan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Melalui Tap MPR Nomor II tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Pemerintah Orde Baru berusaha agar masyarakat termasuk kelompok beragama melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menurut persi pemerintah. Menurut ketetapan MPR itu pasal 1 “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara, dan juga tidak dimaksud menafsirkan Pancasila Dasar Negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Batang Tubuh dan Penjelasannya.” Tetapi menurut ketetapan ini yang tercantum dalam pasal 4 bahwa “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warganegara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga
93
Ibid., hlm. 169.
kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh.” Dalam penjelasann Tap MPR itu menunjukkan bahwa Pancasila sesuai dengan ajaran-ajaran Agama termasuk ajaran Islam. Akibatnya Pemerintah dan DPR pada tahun 1985 membuat Undang-undang yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya azas bagi organisasi Masyarakat termasuk organisasi keagamaan. Tetapi dalam pelaksanaannya, masyarakat termasuk kelompok keagamaan diharuskan melaksanakan Pancasila sesuai dengan yang diinginkan atau dipahami oleh pemerintah. Beberapa kelompok masyarakat termasuk kelompok keagamaan tidak diperkenankan memberi penafsiran dan melaksanakan secara bebas menurut persi masyarakat tersebut. Abdurahman Wahid berusaha mengkritisi pelaksanaan Pancasila yang dipahami dan dilaksanakan oleh pemerintah.
BAB III PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN MAKNA PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN ABDURAHMAN WAHID
Untuk memahami pemikiran Abdurahman Wahid mengenai Pancasila, di dalam bab III ini penulis menguraikan beberapa hal penting. Sesuai dengan rumusan masalah penulis menguraikan riwayat hidup Abdurahman Wahid termasuk pengalaman dan karya-karyanya, pemikiran Pancasila tentang Pancasila dan implikasi pemikiran Abdurahman Wahid mengenai Pancasila dalam gerakan keagamaan.
A. Riwayat Hidup Abdurahman Wahid Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Semula banyak orang mengira bahwa beliau lahir tanggal 4 Agustus, tetapi karena kalendar yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalendar Islam, maka beliau lahir pada 4 Sya‟ban, sama dengan 7 September 1940. Nama yang diberikan oleh orang tuanya bernama Abdurrahman Addakhil. Dalam Bahasa Arab “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. Kata “Addakhil” itu yang disandangnya mengalami perubahan dan diganti dengan nama depan ayahnya yaitu “Wahid”. Selain nama “Abdurahman Wahid” dia pun akrab dipanggail dengan nama panggilan “Gus Dur”. Nama panggilan ini sesuai dengan tradisi kehidupan pesantren. Kata “Gus” adalah panggilan kehormatan khas
pesantren kepada seorang anak kiai yang bermaksud “abang” atau “mas”. Kata “Dur” menunjukkan panggilan singkat untuk “Abdurrahman”. Abdurahman Wahid menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikurnia empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Yenny pernah aktif berpolitik di Partai Kebangkitan Bangsa dan saat ini adalah direktur The Wahid Institute. Untuk mengetahui secara lebih jauh lagi riwayat hidup Abdurahman Wahid penulis akan menguraikan beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan beliau diantaranya, asal usul keluarga, pendidikan, kehidupan karier, keterlibatan dalam Nahdatul Ulama, Pembentukan PKB dan Pernyataan Ciganjur, menjadi Presiden, akhir kekuasaan, aktivitas di PKB, menjelang pemilihan umum 2004, penghargaan dan gelar, meninggal dan karya tulisnya.
1.
Asal Usul Keluarga Di keluarga, Gus Dur adalah putera pertama dari enam bersaudara. Wahid
lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim pesantren di Jawa Timur. Kakek Gusdur atau ayah dari Wahid Hasyim bernama K.H. Hasyim Asyari. Beliau adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sedengkan kakek dari ibu bernama K.H. Bisri Syansuri. Beliau adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas kepada kaum wanita. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim dikenal terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah puteri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Abdurahman Wahid mengaku bahwa beliau keturunan etnis Tionghoa. Jelasnya Gusdur mengaku keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan. Ketika Wahid Hasyim terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan sokongan tentera Jepang yang ketika itu menduduki Indonesia yakni tahun 1944, keluarga Wahid berpindah dari Jombang ke Jakarta. Tetapi setalah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Ketika Wahid Hasyim dilantik sebagai Menteri Agama tahun 1949, Abdurahman Wahid pindah dan belajar di Jakarta. Dia masuk ke Sekolah Dasar (SD) sebelum berpindah ke SD Matraman Perwari. Selama belajar di sekolah Wahid tidak hanya belajar buku agama tetapi Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Walupun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952, Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan di Bandung setelah menghadiri acara NU di Sumedang.
2.
Pendidikan Pada tahun 1954 Wahid meneruskan pendidikan dan masuk ke Sekolah
Menengah Pertama. Menurut keterangan beberapa sumber bahwa pada tahun itu, Gusdur tidak naik kelas. Ibunya kemudian mengirim beliau ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya. Setelah lulus dari SMP tahun 1957, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Gusdur mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pendidikan Wahid dilanjutkan ke Pesantren Tambakberas di Jombang pada tahun 1959. Di sana, Abdurrahman Wahid tidak hanya belajar tetapi juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan kemudian sebagai mudir madrasah. Gus Dur juga pernah bekerja sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya. Pada tahun 1963 Abdurahman Wahid melanjutkan pendidikan di luar negeri setelah Wahid menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Wahid pergi ke Mesir pada November 1963. Walaupun beliau mahir berbahasa Arab, tetapi Gus Dur diberitahu oleh Universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti bahwa dia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas remedial. Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964 selain kegiatan belajar dia juga menonton film Eropa dan Amerika, dan menonton sepak bola. Abdurahman Wahid juga terlibat dengan Persatuan Pelajar Indonesia dan
menjadi jurnalis majalah persatuan tersebut. Pada akhir tahun, Abdurahman Wahid dinyatakan lulus kelas remedial Bahasa Arabnya. Tahun 1965, ketika Abdurahman Wahid memulai belajar tentang Islam dan bahasa Arab. Di Mesir, Wahid pernah bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat itu peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Mayor Jenderal Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan Komunis. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan menulis laporan. Wahid mengalami kegagalan belajar di Mesir. Pada tahun 1966, Wahid diberitahu bahwa beliau harus mengulang belajar. Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universiti Baghdad. Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun beliau lalai pada awalnya, tetapi Wahid dengan cepat dapat menyesuaikan diri dalam cara belajarnya. Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Persatuan Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah Persatuan tersebut. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Wahid ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa kerana pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui. Akibatnya Wahid pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.
3.
Kehidupan Karier Awal Abdurahman Wahid kembali ke Jakarta dengan berharap akan pergi ke luar
negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Tetapi Wahid membuat dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yang terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang disebut Prisma dan Wahid menjadi salah seorang penulis di majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Wahid juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu, pesantren berusaha keras mendapatkan pembiayaan dari pemerintah dengan cara menyesuaikannya dengan kurikulum pemerintah. Wahid merasa prihatin dengan kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan ini. Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren yang dia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk
pesantren
mengyesuaikannya
dengan
kurikulum
pemerintah,
pemerintah juga membujuk pesantren sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Wahid memilih untuk membatalkan niatnya untuk belajar di luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren. Abdurrahman Wahid meneruskan kariernya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah Tempo dan Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan dia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitasnya itu, Wahid memperoleh banyak undangan untuk memberikan kuliah dan sebagai
pembicara pada acara seminar. Akibatnya Wahid harus bulak balik antara Jakarta dan Jombang. Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencarian dan dia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan berdagang kecil-kecilan. Pada tahun 1974, Wahid mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Setahun kemudian, Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam. Pada tahun 1977, Wahid bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Ushuluddin dan Syariah. Wahid ingin mengajar mata kuliah tambahan seperti Tarbiyah, Syariah dan Dakwah. Namun, kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebahagian kalangan universitas dan Wahid mendapat rintangan untuk mengajar mata kuliah tersebut.
4.
Keterlibatan dalam Nahdatul Ulama Abdurahman Wahid diminta untuk memainkan peranan aktif dalam
menggerakkan NU oleh kakeknya KH. Bisri Syansuri. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur sebagai seorang intelektual publik dan dia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Pengurus Suriyah NU. Namun, Wahid akhirnya bergabung dengan pengurus tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga. Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di sana. Sebagai anggota Suriyah, Wahid menunjukkan kiprahnya sebagai seorang pembaharu NU.
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Wahid menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kempennya PPP dengan menangkap orang seperti dirinya. Namun, Wahid selalu berhasil lepas kerana memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jeneral Benny Moerdani. Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi. Setelah berdiskusi, Pengurus Suriyah akhirnya membentuk Kelompok Tujuh (termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan pengurus. Menurut beberapa sumber menyebutkan bahwa pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan meminta agar dia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu Wahid mengatakan bahwa permintaan mundur tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan kemundurannya dan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya . Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai mengambil
langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid menjadi sebahagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Wahid berkonsultasi dengan berbagai tokoh NU dan akhirnya, pada Oktober 1983, dia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Pada saat itu dengan gencarnya Pemerintah sedang melaksanakan program P4 kepada masyarakat termasuk organisasi masyarakat. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari PPP. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam politik. Reformasi Wahid membuatnya sangat popular di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional 1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan Wahid sebagai ketua baru NU. Wahid menerima nominasi ini dengan syarat dia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut. Namun demikian, persyaratannya untuk dapat memilih sendiri para pengurus di bawahnya tidak terpenuhi. Pada hari terakhir Munas, daftar anggota pengurus sedang dibahas persetujuannya oleh para pejabat tinggi NU termasuk Ketua PBNU sebelumnya, Idham Chalid. Wahid sebelumnya telah memberikan sebuah daftar kepada Panitia Munas yang sedianya akan diumumkan hari itu. Namun demikian, Panitia Munas, yang bertentangan dengan Idham, mengumumkan sebuah daftar yang berbeda kepada para peserta Munas.
Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto dan rejim Orde Baru. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985, Suharto menjadikan Gus Dur penatar Pancasila. Pada tahun 1987, Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rejim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar Suharto. Dia kemudian menjadi anggota MPR mewakili Golkar. Meskipun dia disukai oleh rejim, Wahid mengkritik pemerintah kerana proyek Waduk Kedung Ombo yang dibiayai Bank Dunia. Hal ini merenggangkan hubungan Wahid dengan pemerintah, namun saat itu Suharto masih mendapat dukungan politik dari NU. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah umum. Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur tahun 1987, untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU dan untuk mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks Muslim. Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, mulai menarik simpati Muslim untuk mendapat dukungan mereka. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi ini didukung oleh Soeharto, diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie dan di dalamnya
terdapat intelektual Muslim seperti Amien Rais dan Nurcholish Madjid sebagai anggota. Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Gus Dur menolak karena dia menduga ICMI mendukung sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat. Pada tahun itu Wahid melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari pelbagai komunitas religius dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah dan pemerintah menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum legislatif 1992. Pada Maret 1992, Gus Dur mengatur rencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, kenyataannya acara itu dihadiri sekitar 200.000 orang, karena banyak bis lainnya yang berisi warga NU diperintahkan polisi untuk kembali ke daerahnya masing-masing ketika mereka tiba di Jakarta. Setelah selesai acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran. Selama masa jabatan keduanya sebagai ketua NU, ide liberal Gus Dur mulai mengubah banyak pendukungnya menjadi tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur terus mendorong dialog antar agama dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel pada Oktober 1994.
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur dicalonkan menjadi pengurus Besar NU untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi. Menurut beberapa sumber terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilih Gus Dur. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rejim Soeharto. Wahid menasihati Megawati untuk berhati-hati dan menolak dipilih sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Megawati tidak menghiraukannya dan harus membayar mahal ketika pada 27 Juli 1996 markas PDI diambil alih oleh pendukung Ketua PDI yang didukung pemerintah, Soerjadi. Pada November 1996, Wahid dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU dan beberapa bulan berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh pemerintah yang pada tahun 1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur. Pada saat yang sama, Gus Dur membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka dan pada Desember 1996 bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Julai 1997 merupakan awal dari krisis Keuangan Asia. Soeharto mulai kehilangan dukungan dari luar di saat situasi tersebut. Gus Dur didorong untuk melakukan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun dia terkena stroke pada Januari 1998. Dari rumah sakit, Wahid melihat situasi terus memburuk dengan pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden dan protes mahasiswa yang menyebabkan terjadinya kerusuhan Mei 1998 setelah penembakan enam mahasiswa di Universitas Trisakti. Pada tanggal 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama dengan delapan pemimpin penting dari komunitas Muslim, dipanggil ke kediaman Soeharto. Soeharto memberikan konsep Komite Reformasi yang dia usulkan. Sembilan pemimpin tersebut menolak untuk bergabung dengan Komite Reformasi. Gus Dur memiliki pendirian yang lebih moderat dengan Soeharto dan meminta demonstran berhenti untuk melihat apakah Soeharto akan menepati janjinya. Hal tersebut tidak disukai Amien, yang merupakan oposisi Soeharto yang paling kritis pada saat itu. Namun, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.
5.
Pembentukan PKB dan Pernyataan Ciganjur Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah pembentukan partai politik baru.
Di bawah rejim Soeharto, hanya terdapat tiga perti politik: Golkar, PPP dan PDI. Dengan jatuhnya Soeharto, partai-partai politik mulai terbentuk, diantaranya Partai Amanat Nasional (PAN) dipimpin Amien dan Partai Demokrasi IndonesiaPerjuangan (PDI-P) dipimpin Megawati.
Pada Jun 1998, banyak orang dari komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. dIa tidak langsung mengimplementasikan ide tersebut. Namun pada Julai 1998 Gus Dur mulai menanggapi ide tersebut karena mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Wahid menyetujui pembentukan PKB dan menjadi salah satu Deklarator PKB. Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut terbuka untuk semua orang. Pada November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur, bersama dengan Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Peristiwa itu ditindaklanjuti oleh sikap PKB beberpa bulan kemudian tepatnya pada 7 Februari 1999 bahwa PKB secara rasmi menyatakan Gus Dur sebagai calon presiden.
6.
Menjadi Presiden Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB
memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak memiliki mayoritas penuh di DPR, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli, Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai calon ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 7 Oktober 1999, Amien dan Poros Tengah secara rasmi menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban Habibie. Habibie pun mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara. Tidak senang kerana calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur merangkul bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP. Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partai dan TNI juga ada dalam kabinet tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan. Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang dianggap sarang korupsi.
Pada November 1999, Wahid mengunjungi negara-negara anggota ASEAN, Jepang, Amerika Syarikat, Qatar, Kuwait, dan Jorda. Setelah itu, pada bulan Desember, beliau mengunjungi Republik Rakyat China. Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang damai terhadap Aceh dengan mengurangi jumlah anggota tentara di Negeri Serambi Mekah tersebut. Pada 30 Disember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpinpemimpin Papua bahwa dia mendorong penggunaan nama Papua. Selama masa kepemimpinannya Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri. Perajalanan itu dia lakukan untuk mempublikasikan dan menjaga keutuhan Negara dari gangguan eksternal. Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan Gerakan
Aceh
Merdeka
(GAM).
Dua
bulan
kemudian,
pemerintah
menandatangani nota kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2000. Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut. dia juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan pada kelompok Muslim Indonesia. Isu ini diangkat dalam pidato Ribbhi Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, kepada parlimen Palestina tahun 2000. Isu lain yang muncul adalah keanggotaan Gus Dur pada Yayasan Shimon Peres. Baik Gus Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab menentang
penggambaran Presiden Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta agar Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, diganti. Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengaku bahwa ida dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate. Namun secara hukum, Jaksa Agung mengumumkan bahwa skandal tersebut tidak terbukti. Pada September, Gus Dur menyatakan darurat militer di Maluku karena keadaan di sana semakin memburuk. Pada bulan yang sama, bendera Bintang Kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera Bintang Kejora dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Merah Putih. Dia dikritik oleh Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24 Disember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di Jakarta dan beberapa kota lainnya di seluruh Indonesia. Peristiwa pembakaran Gereja-Gereja tersebu kerap menimbulkan saling curiga di kalangan penganut Agama termasuk penganut Islam, Katolik dan Protestan.
Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur lalu mengunjungi Afrika Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji. Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001 ketika dia mengunjungi Australia.
7.
Akhir Kekuasaan Pada akhir tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan
Abdurrahman Wahid. Orang yang paling menunjukkan kekecewaannya adalah Amien Rais. Dukungan Amien terhadap anggota DPR terbukti pada akhir November, 151 DPR menandatangani petisi yang meminta pengunduran Gus Dur. Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Dia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi. Pertikaian tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang Khusus MPR dimana pemberhentian Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk out dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di antara NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor regional Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes tersebut. Gus Dur membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di Pasuruan. Namun, demonstran NU terus menunjukan
dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai presiden hingga mati. Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba menanggapi oposisi dengan mengganti beberapa menteri pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena dia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan dianggap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan, yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam pelantikan penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus. Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2009. Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentera di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan
Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Julai, MPR secara resmi mencabut jabatan Presiden Abdurahman Wahid dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri. Abdurrahman Wahid terus bersikap keras bahwa dia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana Negara selama beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli beliau meninggalkan Istana dengan celana pendek (pakain tidur) dan pergi ke Amerika Serikat untuk mengatasi masalah kesehatannya.
8.
Setelah tidak Menjadi Presiden Setelah tidak menjabat lagi Presiden Gusdur masih menjadi Ketua Dewan
Syuro PKB. Pada April 2004, PKB berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004, memperoleh 10.6% suara. Untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004, di mana rakyat akan memilih secara langsung. PKB memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis sehingga Komisi Pemilihan Umum menolak memasukannya sebagai calon. Pada Agustus 2005, Gus Dur menjadi salah seorang pemimpin koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati. Koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama mengenai pencabutan subsidi BBM yang akan menyebabkan naiknya harga BBM.
9.
Penghargaan dan Gelar Pada tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah
penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori Community Leadership. Wahid dinobatkan sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan Pecinan pada tanggal 10 Maret 2004. Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan penghargaan Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Penghargaan ini diberikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Gus Dur dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur dipilih oleh dewan juri yang terdiri dari budayawan Butet Kertaradjasa, pemimpin redaksi The Jakarta Post yakni Endy Bayuni, dan Ketua Komisi Nasional Perempuan Chandra Kirana. Mereka berhasil menyisihkan 23 kandidat lain. Penghargaan bagi Gus Dur menuai protes dari para wartawan yang hadir dalam acara jumpa pers itu. Seorang wartawan mengatakan bahwa hanya karena upaya Gus Dur menentang RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi, dia menerima penghargaan tersebut. Sementara wartawan lain seperti Ati Nurbaiti, mantan Ketua Umum AJI Indonesia dan wartawan The Jakarta Post membantah dan mempertanyakan hubungan perjuangan Wahid menentang RUU APP dengan kebebasan pers. Gus Dur mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Wahid mendapat penghargaan tersebut karena menurut mereka dia merupakan salah satu tokoh
yang peduli terhadap persoalan HAM. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru. Wahid juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple. Namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study. Gus Dur juga banyak memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga pendidikan: Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000), Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000), Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Prancis (2000). Doktor Kehormatan dari Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000). Doktor Kehormatan dari Universitas Twente, Belanda (2000). Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000). Doktor Kehormatan dari Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002). Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003). Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003). Doktor Kehormatan dari Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003).
10. Meninggal Gus Dur wafat pada hari Rabu, 30 Disember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat dia harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Abdurahman Wahid dimakamkan di komplek pesantren Tebu Ireng Jombang Jawa Timur. Pada saat upacara pemakaman yang dihadiri ribuan orang dari berbagai kalangan termasuk etnis dan agama, dan dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang
Yudoyono,
Presiden
SBY
mengucapkan
selamat
jalan
dan
menyebutkan “Bapak Pluralisme” bagi Abdurahman Wahid.
11. Karya Tulis Tulisan-tulisan Abdurahman Wahid sebagai karya tulisnya telah dibukukan dalam beberapa buku, diantaranya Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Lappenas. 1981; Gusdur Diadili Kyai, Surabaya,1996; Tuhan Tidak Perlu Dibela, Shaleh Isre (ed). LkiS, Yogyakarta, 2000; Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Jakarta: Desantara, 2001; Islamku, Islam Anda, Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, dan banyak lagi tulisan-tulisan yang dimuat di buku-buku lainnya yang berbentuk “Kata Pengantar” dan di surat kabar.
B. Pemikiran Pancasila Menurut Abdurahman Wahid Pada saat pemerintahan Suharto memasuki dua dekade dan setelah Abdurahman Wahid menjabat Ketua PB NU, Abdurahman Wahid mengakui bahwa Pancasila merupakan kesepakatan luhur diantara berbagai golongan yang ada di Indonesia.94Ungkapan tersebut sudah dinyatakan sebelumnya oleh PB NU yaitu 1985 bahwa NU mengakui Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Kesepakatan luhur yang dipahamai Wahid itu merupakan upaya sungguhsungguh yang telah dilakukan oleh para pendiri bangsa Indonesa yang berbeda latar belakang termasuk etnis, agama, kepercayaan dan kelompok sosial politik lainnya dalam merumuskan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara pada saat mendirikan negara Indonesia. Kesepakatan itu melalui proses perdebatan yang cukup dinamis dan memerlukan energi pemikiran yang luar biasa diantara mereka. Upaya untuk merumuskan Pancasila sebagai suatu kesepakatan luhur itu berkaitan dengan upaya menemukan konsep dasar negara yang sesuai dengan kehidupan bangsa Indonesia. Konsep dasar negara yang berbentuk ideologi itu adalah suatu jawaban dari problema kebangsaan di Indonesia yang masih mengalami kekosongan ideologi secara formal di saat pendirian negara. Pilihan Pancasila sebagai ideologi yang dianggap sebagai kesepakatan luhur ini secara istilah berbeda dengan istilah lain
94
Abdurahman Wahid, Pancasila sebagai ideologi dalam kaitannya dengan kehidupan Beragama dan Berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Makalah seminar yang dilaksanakan oleh kelompok studi Pengembangan Pemikiran Pancasila dan UUD 1945 BP-7 Pusat pada tanggal 2426 Oktober 1989 di Jakarta. Dibukukan Oetojo Oesman dan Alfian (penyunting), Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Jakarta BP-7 Pusat, cet. ke-2, 1991. hlm. 163.
yang terdapat di luar Indonesia seperti ideologi Kapitalis, Komunis, dan Monarkis, walaupun diantara perumus Pancasila memiliki ideologi partai seperti nasionalisme, Islamisme, sosial demokrat, komunisme dan tradisionalisme, sehingga pantas kesepakatan itu disebut sebagai kesepakatan luhur. Dengan kata lain, Abdurrahman Wahid memahami Pancasila adalah sebuah kesepakatan
politik
memberi
peluang
bagi
bangsa
Indonesia
untuk
mengembangkan kehidupan nasional yang sehat di dalam sebuah negara kesatuan. Namun, dia masih melihat adanya sejumlah ancaman terhadap konsepsi Pancasila sebagai yang diharapkannya.
1.
Posisi Pancasila Menurut Wahid Pancasila sebagai kesepakatan luhur itu mesti ditempatkan
pada posisi yang jelas. Apabila posisi Pancasila tidak jelas maka Pancasila akan kurang berfungsi bagi masyarakat dan umumnya warga bangsa. Sebagaimana Wahid ungkapkan, Pancasila adalah kesepakatan luhur antara semua golongan yang hidup di tanah air kita. Namun, sebuah kesepakatan seluhur apa pun, tidak akan banyak berfungsi jika tidak didudukan dalam status yang jelas.95
Kemudian Wahid melihat Pancasila dirumuskan sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara. Di satu sisi setiap warga negara terikat secara ketentuan oleh Pancasila. Pancasila dapat mengatur atau referensi pandangan hidup dan sikap warga negara dalam kehidupan berbangsan dan bernegara. Pancasila tidak
95
Ibid.
dipahami secara sepotong-sepotong atau tidak utuh dalam memahami sila-sila yang terdapat dalam Pancasila. Wahid menjelaskan Posisi Pancasila, Karenanya, kesepakatan luhur bangsa kita itu akhirnya dirumuskan sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara. Ideologi bangsa, artinya setiap warga negara Republik Indonesia terikat oleh ketentuan-ketentuannya yang sangat mendasar yang tertuang dalam sila yang lima. Pandangan hidup dan sikap warga negara secara keseluruhan harus bertumpu pada Pancasila sebagai keutuhan, bukan hanya sekedar masing-masing sila. 96
Di sisi lain Wahid melihat Pancasila dipahami sebagai kerangka berfikir. Kerangka berfikir ini digunakan dalam menyusun undang-undang dan berbagai hukum-hukum yang dihasilkan, baik kebijakan pemerintah, wakil rakyat maupun lembaga hukum itu sendiri. Wahid menjelaskan posisi Pancasila itu adalah, Sebagai falsafah negara, Pancasila berstatus sebagai kerangka berfikir yang harus diikuti dalam menyusun undang-undang dan produk-produk hukum yang lain, dalam merumuskan kebijakan pemerintah dan dalam mengatur hubungan formal antara lembaga-lembaga dan perorangan yang hidup dalam kawasan negara ini. Tata pikir seluruh bangsa ditentukan lingkupnya oleh sebuah falsafah yang harus terus menerus dijaga keberadaan dan konsistensinya oleh negara, agar kontinuitas pemikiran kenegaraan yang berkembang juga akan terjaga dengan baik.97
Ketika posisi Pancasila dipahami sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara tersebut, Wahid melihat adanya ketidak-jalasan perannya dalam kehidupan bermasyarakat terutama dalam kehidupan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Wahid melihat adanya cara pandang yang berbeda antara agama dan Pancasila. Di satu sisi Agama memiliki wawasan universal, di sisi lain Pancasila memiliki wawasan hanya dalam lingkup Indonesia (nasional), sehingga
96 97
Ibid. Ibid.
Agama mendapat kesulitan apabila dipahami hanya sebatas lingkup nasional. Sebagaimana Wahid ungkapkan, Justeru dalam status sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara inilah dirasa adanya tumpang tindih antara Pancasila dengan sebagian sisi-sisi kehidupan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memiliki lingkup masing-masing yang berjangkauan universal, berlaku seluruh ummat manusia, sehingga terasa sulit untuk dibatasi hanya pada ”sisi keIndonesia-an” belaka.98
Selain ciri universal, agama juga menurut Wahid memiliki ciri khusus yaitu ekslusivistik. Agama memiliki pemahaman kebenaran mutlak yang berbeda dengan pemahaman lainnya, termasuk dalam masing-masing agama. Setiap agama tidak bisa disamakan dengan agama atau kepercayaan lainnya. Berkaitan dengan sifat agama tersebut Wahid mengungkapkan sebagai berikut, Hal ini langsung tampak dalam upaya Pancasila untuk menekankan sisi kelapangan dada dan toleransi dalam kehidupan antara ummat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jelas setiap agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memiliki visi eksklusivistiknya sendiri, di samping visi universal yang mempersamakan semua agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.99
Dalam tulisan lain Wahid menjelaskan bahwa penghadapan Islam kepada Pancasila adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan, karena menghadapkan sesuatu yang bersifat umum kepada pandangan yang bersifat khusus.” 100 Lebih jauh Wahid menyebutkan, ”Kalau itu diteruskan berarti rasionalitas telah ditiinggalkan, dan hanya emosi yang menendalikan pandangan hidup kita. ”
98
Ibid. Ibid. 100 Abdurahman Wahid, Negara Berideologi Satu, Bukan Dua, dalam Buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, hlm. 90. 99
Wahid mengajukan bahwa Pancasila semestinya membatasi diri dalam batasbatas tertentu dalam pengaturan kehidupan beragama dan berkepercayaan. Sebagaimana Wahid ungkapkan, ”Dalam keadaan demikian banyak kalangan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa melihat adanya keharusan bagi Pancasila untuk membatasi diri dalam batas-batas minimal untuk pengaturan kehidupan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.”101 Secara kongkrit, menurut Wahid posisi Pancasila dapat dipahami sebagai ”polisi lalu lintas kehidupan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Peran pengaturan merupakan peran yang diharapkan untuk menciptakan kondisi yang tertib dalam kehidupan beragama dan berkepercayaan. Tetapi peran tersebut memerlukan pengatur dan aturan yang tegas dan adil. Sebagaimana menurut Wahid ungkapkan, Dengan demikian, Pancasila diharapkan berperan sebagai ”polisi lalu lintas” kehidupan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa belaka. Kesulitan yang dirasakan dalam mempertimbangkan ini adalah kenyataan, bahwa pengaturan lalulintas memerlukan aturan yang disepakati dan ditunduki bersama, dan itu berarti harus ada pihak yang membuat aturan itu.102
2.
Fungsi Pancasila Selanjutnya Wahid menjelaskan fungsi Pancasila dalam kehidupan beragama
dan berkpercayaan. Menurut Wahid Pancasila mesti diwujudkan dalam membuat aturan dalam mengatur kehidupan beragama dan berkepercayaan. Wahid menjelaskan bahwa Pancasila harus mengatur kehidupan bermasyarakat tanpa
101 102
Abdurahman Wahid, Pancasila…, hlm. 164. Ibid.
mengganggu kebebasan kehidupan beragama dan berkepercayaan. Sebagaimana beliau ungkapkan, Fungsi Pancasila lalu jelas harus terwujud juga dalam membuat aturan permainan antara ummat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan ungkapan lain fungsi minimal itupun memerlukan batasan-batasan minimalnya sendiri, yang tidak boleh ditundukkan kepada kehendak agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Tugas kita sebagai bangsa saat ini justeru adalah menemukan garis batas yang jelas, mana yang wewenang Pancasila tanpa mengganggu kebebasan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah contoh dapat dikemukakan dalam hal ini. Agama Islam mengajarkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di sisi Allah. Karenanya, banyak kalangan kaum Muslimin yang tidak dapat menerima adanya persamaan agama (umumnya tertuang dalam pernyataan bahwa ”semua agama adalah sama”). Kalau Pancasila memaksakan persamaan mutlak seperti tergambar dalam pernyataan di atas, tentunya independensi Islam sebagai agama lalu menjadi terganggu. Sebaliknya, jika Pancasila mampu menemukan titik temu dalam pandangan yang saling berbeda itu dengan sendirinya ia berperan menjadi jembatan penghubung tanpa mengganggu kedaulatan theologis masing-masing. Rumusan seperti ”semua agama diperlakukan sama di muka Undang-undang dan diperlakukan sama oleh negara” mungkin akan lebih mengena dalam hal ini . Gambaran posisi Pancasila seperti dikemukakan di atas dengan sendirinya lalu membawakan ketegangan kreatifnya sendiri bagi (dan dalam) kehidupan bangsa kita.103
Wahid menyarankan bahwa apabila Pancasila dapat diterima, apabila hal itu dilakukan, maka perbedaan antara wawasan agama dan kepercayaan dengan Pancasila jangan ditutup-tutupi. Proses penerimaan Pancasila ini di satu sisi menimbulkan konvergensi (tindakan bersatu dalam satu tempat atau waktu) dan di sisi lain adanya divergensi (perbedaan pendapat) dari wawasan kedua pemahaman itu, sehingga menimbulkan ketidakjelasan posisi strategis Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tetapi apabila tidak ditutup-
103
Ibid.
tutupi wawasan Pancasila dan Agama akan menimbulkan titik strategis dalam mengatasi persoalannya. Sebagaimana Wahid ungkapkan, Tidak selayaknya hal itu dicoba untuk ditutup-tutupi dengan rumusan-rumusan kabur yang menjauhkan kita dari inti persoalan adanya perbedaan antara wawasan Pancasila dan Wawasan agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sikap untuk menonjolkan konvergensi wawasan dan menutupnutupi divergensi pandangan antara Pancasila dan agama-agama yang ada dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa justeru akan mengaburkan posisi strategis Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dalam upaya mengenal divergensi pandangan antara Pancasila di satu pihak dan agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa itu, dalam uraian selanjutnya akan dikemukakan beberapa titik strategis yang memerlukan pemecahan. Pengenalan masalah terlebih dahulu harus dilihat dari latar belakang yang berbeda-beda antara agama yang saling berlainan.104
Wahid mencontohkan pengertian kata ”esa” dapat difahami yang berbedabeda oleh masing-masing penganut agama. Sebagaimana Wahid ungkapkan, ”Pengertian kata ”Esa” yang digunakan baik dalam Pancasila maupun dalam Undang-undang Dasar 1945, tentunya akan difahami secara berlainan oleh agama yang saling berbeda itu.”105 Secara lebih jelas Wahid mencontohkan perbedaan pendapat dalam proses penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat dalam kasus di Katolik dan Kristen. Menurut Wahid bahwa, Sisi lain dari masalah ini adalah kenyataan, bahwa titik divergensi antara wawasan Pancasila dan pandangan agamaagama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa ternyata berbeda dari satu ke lain agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bagi agama Nasrani (Katholik dan Kristen), masalah pokok yang dihadapi dalam kaitannya dengan Pancasila terletak pada titik kelembagaan. Benarkah Pancasila merupakan sumber dari segala sumber, dalam artian meniadakan tempat 104 105
Ibid. hlm. 165. Ibid.
gereja sebagai sumber keputusan keagamaan?. Jawabannya tentu tergantung pada hingga dimana batas keputusan keagamaan dapat diterima. Gereja harus menentukan sikap keagamaan, namun yang memiliki dimensi serba bagai (termasuk dimensi politik), tetapi dimanakah dimensi-dimensi itu harus disesuaikan dengan rumusan formal yang dibuat oleh negara, semisal garis-garis besar Haluan Negara (GBHN)?. Karena hal inilah penerimaan kalangan agama Nasrani atas gagasan penerimaan asas tunggal Pancasila yang dilontarkan Presiden/Mandataris MPR-RI dicapai hanya setelah melalui pembahasan sangat alot baik secara internal maupun dengan pihak pemerintah. Masalah pokoknya yurisdiksi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara atas gereja, haruskah ia menghilangkan hak-hak gereja dan ummat untuk menentukan keputusan keagamaannya sendiri?. Setelah para pemimpin gereja yakin dengan tetap utuhnya kedaulatan theologis masing-masing secara internal, barulah penerimaan atas Pancasila sebagai satu-satunya asas dapat dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab.106
Contoh lainnya Wahid memaparkan kasus dalam kelompok muslim. Menurut Wahid dalam proses penerimaan Pancasila di kalangan kelompok Muslim terdapat ketegangan antara kelompok Muslim dan pemerintah. Tetapai setelah adanya kejelasan dari pihak pemerintah mengenai fungsi Pancasila maka kelompok Muslim menjadi paham, sehingga muncullah kesepakantan diantara kedua belah pihak. Sebagaimana Wahid ungkapkan. Islam tidak mengenal pembedaan antara wewenang kenegaraan dan wewenang keagamaan. Karenanya, secara kelembagaan Islam justeru mengundang peranan negara dalam kehidupan kaum muslimin. Semakin banyak soal ummat Islam diurus oleh pemerintah, semakin baik menurut sudut pandangan ini. Masalah yang timbul justeru adalah tentang orientasi yang dimiliki oleh langkah-langkah yang diambil negara. Akankah status Pancasila sebagai ”sumber segala sumber” berarti Pancasila bebas menggantikan ajaran-ajaran agama yang sudah baku dengan sesuatu yang tidak bersesuaian dengan ajaran Islam?. Jika itu terjadi, bukankah berlaku sekuralarisme, sesuatu yang secara mutlak ditolak oleh ajaran Islam?. Ajaran-ajaran Islam telah dikongkretkan menjadi hukum-hukum agama (fiqh), haruskah warisan demikian berharga itu dibuang begitu saja, untuk digantikan oleh Pancasila dengan hal-hal lain yang diambil dari 106
Ibid. 165-166.
‟luar‟?. sedangkan Allah berfirman, ”Barang siapa menghukumkan tidak dengan apa yang diturunkan Allah, orang itu (termasuk kaum) zalim”. Bagaimana tidak langsung sekalipun penggunaan ajaran agama sebagai referensi bagi Pancasila, Islam harus diupayakan menjadi nilai-nilai dasar yang ditarik dari Pancasila dan UUD 1945. Penerimaan atas Pancasila sebagai satu-satunya asas oleh berbagai komponen gerakan Islam baru dapat dilakukan oleh kesemua organisasi, setelah ada kejelasan sikap pemerintah sendiri terhadap Pancasila. Pancasila bukanlah agama, tidak akan diagamakan dan tidak berfungsi menggantikan (kedudukan) agama. Dalam rationale yang diajukan oleh kalangan ulama dijelaskan, bahwa Pancasila secara kualitatif berbeda dari agama, karena ia tidak diturunkan sebagai wahyu. Dengan demikian, ia tidak memiliki dimensi keakthiratan, sehingga semua produk hukum dan tindakan yang didasarkan atas Pancasila hanyalah merupakan sesuatu yang duniawi sematamata. Secara teoritik, status Pancasila sebagai satu-satunya asas, sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara, tidaklah mengancam fupremasi theologis dari kebenaran yang dibawakan oleh agama. Dengan ungkapan lain, Pancasila tidak dapat dibandingkan (baik disejajarkan maupun dipertentangkan) dengan agama, karena ia tidak memiliki sisi keberadaan dirinya sebagai kebenaran mutlak, sesuatu yang dimiliki oleh agama.107
Pada tahun 1984, Pemerintah Orde Baru berprinsip bahwa asas tunggal dijadikan ukuran pokok, termasuk bagi organisasi semacam Nahdlatul Ulama. Menurut Abdurahman Wahid, ”masalahnya sederhana, pemerintah ingin kokohnya negara kesatuan Republik Indonesia ini. Artinya negaranya tegak, pemerintahan kuat, dan tidak banyak terguncang-guncang lagi.”108 Tetapi setelah diterimanya Pancasila oleh para penganut agama tidak berarti bahwa Pancasila tidak ada masalah. Nilai-nilai agama dan kepercayaan yang memiliki nilai universal tidak mungkin diberlakukan semuanya dalam konteks Indonesia. Sebagaimana Wahid ungkapkan dalam sebuah tulisan tentang Islam dan negara,
107
Ibid. hlm. 167. Abdurahman Wahid. Sebuah Dialog Mencari Kejelasan - Gusdur Diadili Kyai. Cet. ke-1. Surabaya, Jawa Pos. 1989, hlm. 93. 108
Walaupun secara sepintas lalu telah tercapai rekonsiliasi definitif antara Islam dan negara, dalam hal ini terutama dengan ideologi Pancasila, namun bukan berarti bahwa permasalahan hubungan antara Islam dan negara di negeri kita telah terselesaikan secara tuntas. Sebuah sisi dari hubungan itu masih memungkinkan timbulnya friksi antara kepentingan kaum muslimin dan kepentingan negara. Sisi itu adalah senjangnya watak yang dimiliki keduanya, Islam sebagai agama memberlakukan nilainilai normatif dalam kehidupan perorangan maupun kolektif para pemeluknya, sedangkan negara seperti Republik Indonesia tidak akan mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara, yang berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan. Dengan kata lain, tidak semua nilai-nilai normatif yang dimiliki oleh Islam dapat diberlakukan dalam kehidupan bernegara kita di negeri ini.109
Pihak Pemerintah dituntut bersikap adil dan dapat dipercaya dalam memahami Pancasila. Wahid mencontohkan ketika munculnya Undang-undang Peradilan Agama yang dapat menimbulkan ketidakadilan di luar kalangan Muslim. Sebagaimana Wahid jelaskan, Pemahaman yang demikian atas status Pancasila dalam kehidupan bangsa sebenarnya merupakan sesuatu yang masih problematik. Dalam kasus perkawinan berlainan agama, misalnya, jelas Islam menentang perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non muslim, sesuai dengan perintah AlQur‟an. Bukanlah Pancasila harus menjawab pertanyaan apa pandangannya tentang keputusan agama seperti itu. Akan dilarang untuk seterusnya, demi mengikuti ajaran yang sudah dibakukan dalam Islam itu, berarti mengabaikan kebutuhan akan pengaturan hal itu secara definitif, mengingat hal itu telah terjadi secara cukup luas dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini. Dengan adanya pengundangan hukum waris Islam melalui Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) yang akan disyahkan tidak lama lagi, lalu timbul kebutuhan akan kepastian hukum anak yang dilahirkan dalam perkawinan campur agama itu akan diselesaikan urusan pewarisannya melalui hukum Islam atau hukum Barat. Dengan demikian akan timbul pula kebutuhan untuk memperkenankan perkawinan antara pasangan yang berlainan agama itu. Dalam keadaan demikian, kaum muslimin akan dihadapkan kepada sesuatu yang sama peliknya dengan apa yang dihadapi para pemimpin gereja ketika harus mengambil keputusan tentang asas Pancasila di tahun 1984-1985 itu.110 109
Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia, Sabtu, 07 September 2002 00:00, WWW. Gusdur. net. 110 Abdurahman Wahid, Pancasila….hlm. 167.
Selain itu Islam model keras merupakan ancaman bagi ideologi Pancasila. Sebagaiman Wahid ungkapkan pada saat itu, ”....pemerintah sangat risau dengan Islam model keras. Ini disebabkan sekarang yang bisa mendongkel Pancasila tinggal Islam saja, PKI sudak tidak ada. Islam gaya keras itu merupakan ancaman kelestarian Pancasila baik jahran au maktuman, ghairu mubasyiron atau mubasyiroh. lainnya tak mungkin lagi. Agama lain jumlahnya kecil, kelompok politik non Islam semua masuk Golkar, dan yang tertinggal sedikit bagian minta sawab saja.111
Contoh lainnya adalah pembentukan ICMI yang didukung penuh oleh pemerintah, sehingga menimbulkan kesan keberpihakan pemerintah pada kelompok muslim yang Mayoritas. Pada proses pendirian ICMI yaitu bulan Desember 1990 Soeharto mendukung kelahiran ICMI. Presiden Soeharto memberi restu bagi berdirinya ICMI.112 Peristiwa ini merupakan peristiwa yang unik. Organisasi ini menghimpun banyak kalangan pegawai pemerintah dan tokoh-tokoh cendekiawan Islam, termasuk beberapa di antara mereka yang sejak dulu sering memberi kritikan tajam kepada Orde Baru dan cara-cara Soeharto menangani masalahmasalah yang berkaitan dengan Islam. Abdurahman Wahid yang dikenal sebagai Tokoh Muslim Indonesia menolak untuk ikut dalam ICMI tersebut. Terdapat dua alasan yang dikemukakan Abdurahman berkaitan dengan ketidak setujuan terhadap berdirinya ICMI. Pertama, Wahid menilai bahwa ICMI merupakan salah satu contoh nyata dari cara rezim orde baru memanipulasi Islam agar memperoleh dukungan dan simpati untuk mengukuhkan legitimasi kekuasaannya. Kedua,
111
Abdurahman Wahid. Sebuah Dialog Mencari Kejelasan …. 1989, hlm. 95. Berita mengenai berdirinya ICMI terdapat dalam Kompas, 7 Desember 1990; Tempo 9 Desember 1990; dan Merdeka, 10 Desember 1990. 112
melalui ICMI para tokoh cendekiawan Islam membiarkan diri mereka dimanipulasi oleh Soeharto agar berpeluang melaksanakan agenda politik mereka sendiri. Untuk mencegah penyalahgunaan Pemerintah dalam menggunakan Pancasila yang menimbulkan ketidak adilan di kalangan warga bangsa, menurut Wahid agama dan Pancasila harus saling berkaitan dan berupaya menemukan nilai-nilai dasar bagi kehidupan bangsa. Dengan melihat apa yang telah dikemukakan, dan mengenal hubungan problematik antara Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara (yang mengejawantah dalam bentuk asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi) di satu pihak dan agamaagama dan kepercayaan yang ada terhadap Tuhan Yang Maha Esa, baru dapat dikembangkan pemikiran untuk mencari nilainilai dasar bagi kehidupan bangsa kita. Sebenarnya sudak tidak relevan lagi untuk melihat, apakah nilai-nilai dasar itu ditarik oleh Pancasila dari agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena ajaran agama-agama juga tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan agama-agama harus memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai ”polisi lalu lintas” yang akan menjamin semua pihak dapat menggunakan jalan raya kehidupan bangsa tanpa kecuali.113
Wahid pun menyarankan bahwa Pancasila semestinya bersikap netral. Pemerintah atau lembaga lainnya harus bersikap adil dalam menggunakan Pancasila diantara kehidupan beragama dan berkpercayaan. Sebagaimana Wahid Ungkapkan, Jika itu yang terjadi, artinya Pancasila bersikap netral dan tidak memenangkan pihak manapun di antara agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berkembang di negeri kita, maka tidak akan muncul persoalan apapun. Namun sebaliknya dapat pula terjadi keadaan rawan jika ada keluhan tentang pemberian konsesi terlalu berlebih kepada satu pihak saja, seperti dirasakan kaum Katolik dan Kristen sehubungan dengan pengajuan RUU-PA (Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama) ke Dewan Perwakilan Rakyat, yang dianggap
113
Abdurahman Wahid, Pancasila…, hlm. 167.
memberikan perlakuan istimewa dan tersendiri kepada kaum muslimin, atas kerugian kaum non-muslim.114
Di samping itu Wahid juga menyarankan kepada pihak agama dan kepercayaan untuk mengembangkan sikap universal. Menurut Wahid hal itu sebagai wujud dari perbedaan secara lembaga dan orientasi kehidupan beragama dan kepercayaan dengan Pancasila. Sikap universal tersebut bermuara pada sikap kejujuran, keikhlasan dan ketulusan dalam tindakan para penganut Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana Wahid sarankan bahwa, Agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa akan tetap saling berbeda, baik secara kelembagaan maupun orientasi kehidupannya. Namun, di balik perbedaan-perbedaan itu secara keseluruhan agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetap mengembangkan sejumlah pandangan yang bersifat universal. Tekanan kepada kejujuran (baik sikap maupun perilaku), keikhlasan dan ketulusan dalam sikap dan tindakan, tekanan pada sisi keakhiratan dan keduniawian dalam porsi cukup seimbang, dan sejumlah hal-hal lain yang mendasar dapat ditarik dari agama-agama yang ada dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini lalu dapat dilakukan inventarisasi sejumlah etos tertentu yang dianggap disepakati bersama, untuk dijadikan landasan seterusnya.115
Walaupun demikian, Wahid menganggap penting dan selalu mempertahankan Pancasila dengan segenap jiwa raganya. Sebagaimana beliau ungkapkan dalam suatu wawancara pada tahun 1992 yang dikutif oleh Douglas bahwa, Pancasila adalah serangkaian prinsip-prisip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa-raga saya, terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak
114 115
Ibid. hlm. 168. Ibid.
jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam.116
C. Implikasi Pemikiran Abdurahman Wahid tentang Pancasila 1. Implikasi dalam Gerakan Keagamaan. Pemikiran Abdurahman Wahid tentang Pancasila searah dengan penerimaan NU terhadap asas tunggal Pancasila pada tahun 1984 dibawah kepemimpinan duet KH Ahmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid merupakan kelanjutan historis dalam sejarah NU. Penerimaan NU terhadap Pancasila tersebut menurut Wahid salah satunya didasarkan para peristiwa sejarah. Dalam Muktamar Nadhlatul Ulama (NU) tahun 1935 di Banjarmasin, peserta forum menyampaikan permintaan fatwa, bagaimana status negara Hindia Belanda dilihat dari pandangan agama Islam, karena ia diperintah oleh pemerintah yang bukan Islam dan orangorang yang tidak beragama Islam? Dari sudut pandang agama Islam, wajibkah ia dipertahankan bila ada serangan luar?117 Menurut Wahid para ulama NU itu menjawab pertanyaan itu bahwa Negara Hindia Belanda wajib dipertahankan dari serangan luar, sebagai kewajiban agama, karena negara tersebut menjamin kebebasan warga negara untuk melaksanakan ajaran agama Islam. Bahan pengambilan atau sumber rujukan yang digunakan adalah Bughyah al-Mustarsyidin, sebuah kitab agama yang dikarang oleh AlHadrami.118
116
Douglas E. Ramage, Pemahaman Abdurrahman Wahid Tentang Pancasila Dan Penerapannya Dalam Era Paska Asas Tunggal, Makalah. 117 Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia, Sabtu, 07 September 2002 00:00, WWW. Gusdur. net 118 Ibid.
Wahid mengungkapkan bahwa jawaban atau Fatwa tersebut berkaitan dengan dua hal penting bagi kehidupan sesuatu bangsa atau masyarakat.119 Pertama, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran agama mereka, sebagai conditio sine qua non bagi penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut, sehingga memberikan tolok ukur yang jelas bagi kaum muslimin dalam kehidupan mereka. Kedua, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politik mereka ditentukan oleh proses sejarah. Kedua hal itu langsung memungkinkan kaum muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan kepada ajaran Islam, di samping kesetiaan kepada negara yang bukan negara Islam. Selain itu Pada tahun 1936 NU menjustifikasi Hindia Belanda sebagai dar alIslam (negeri muslim) karena adanya Lembaga Kepenghuluan (Het Kantoor voor Inlandsche zaken), suatu lembaga yang secara khusus mengurus kepentingan umat Islam, dan umat Islam memiliki kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya sebagai condition sine qua non bagi esksistensi negara. Islam melihat negara sangat penting untuk menghindari terjadinya anarkhi, tetapi Islam tidak mempunyai konsep kenegaraan. Peristiwa lainnya pada tanggal 1 Maret, 1992 di stadion utuma Senayan Jakarta, terjadi sebuah peristiwa penting dalam politik kontemporer Indonesia. Di hari Minggu pagi itu, sekitar 150.000 anggota Nahdlatul Ulama merayakan ulang tahun organisasi mereka yang ke-68. Pertemuan warga NU itu bisa terkesan yang terbesar yang pernah dilakukan oleh organisasi non-pemerintah selama duapuluh
119
Ibid.
lima tahun terakhir. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, perayaan itu sengaja dirancang untuk menyampaikan pesan yang sifatnya khusus yaitu menegaskan kembali kesetiaan NU kepada Pancasila sebagai ideologi Negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Secara khusus Rapat Akbar ini dimaksudkan untuk menegaskan kembali kesetiaan NU kepada Pancasila, konstitusi dan demokrasi.120 Terdapat beberapa alasan diadakannya rapat tersebut. Sebagaimana Douglas ungkapkan bahwa Pertama, Abdurrahman Wahid sedang mencari jalan bagaimana menghindarkan NU dari untuk secara terbuka mengusulkan dicalonkannya kembali Soeharto sebagai presiden untuk masajabatan berikutnya. Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa karena NU sudah bukan lagi sebuah organisasi politik, maka tidak sepantasnya membuat usulan seMaretam itu. Dengan menyatakan kesetiaan kepada Pancasila,usulan seMaretam itu memang bisa dihindari tanpa harus merasa rikuh jangan sampai dianggap mempunyai maksud politik yang aneh-aneh. Kedua, Abdurrahman Wahid sebenarnya sangat gelisah atas pembentukan ICMI yang secara terbuka didukung, kalau bukan diprakarsai, oleh pemerintah.11 Oleh karena itu, ia tergerak untuk menunjukkan bahwa umat Islam, khususnya warga NU, masih berdiri di belakang dan mendukung gagasannya tentang Islam yang sifatnya lebih demokratis dan inklusif. Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, ICMI pada hakikatnya mengabsahkan eksklusivisme Islam dan dapat merendahkan toleransi kaum Muslimin terhadap masyarakat non-Muslim di Indonesia. Jadi, melalui Rapat Akbar itu, Abdurrahman Wahid ingin menunjukkan bahwa NU mendukung proses demokratisasi sejak awal dan tidak akan begitu saja membiarkan dirinya dikooptasi, sebagaimana halnya sekelompok cendekiawan Muslim yang menyandarkan harapannya pada ICMI. Ketiga, Abdurrahman Wahid juga melihat semakin meningkatmya pengaruh sektarianisme dan fundamentalisme di Indonesia, sehingga ia menganggap perlu menekankan adanya Islam yang lebih toleran terhadap kemajemukan, dan tentu saja bersifat non-sektarian, melalui Rapat Akbar itu. Dalam hubungan ini, Abdurrahman Wahid menilai bahwa rumus politik Orde Baru, yang sejak dulu ingin memisahkan agama dan ikatan-ikatan primordial lainnya dari politik massa, kini sedang terancam. Keempat yang terakhir, di samping semua yang sudah dikemukakan di atas, ada juga tujuan lain yang sifatnya lebih ke dalam tubuh NU sendiri. 120
Suara Karya tanggal 2 Maret 1992; Suara Pembaharuan, 1 Maret 1992.
Abdurrahman Wahid ingin menunjukkan bahwa dukungan warga NU kepadanya dapat dibuktian melalui kehadiran dua juta anggota. Hal ini penting, mengingat di kalangan NU sendiri ada pihak-pihak yang kurang begitu setuju dengan cara Abdurrahman Wahid bereaksi terhadap pembentukan ICMI.121
Wahid menyampaikan pesan pidato pada acara tersebut. Salah satu penggalan pidato tersebut sebagaimana dikutif Douglas adalah, ... faham kebangsaan yang dianut NU sesuai dengan Pancasila dan UUD 45. NU menjadi pelopor dalam masalah-masalah ideologis. Padahal seluruh dunia Islam, hal ini masih menjadi persoalan antara Islam dan nasionalisme. Para penulis Saudi Arabia menganggap nasionalisme itu sebagai sekulerisme. Mereka belum mengetahui adanya nasionalisme seperti di Indonesia yang tidak sekuler. Melainkan menghormati peranan agama."122
2.
Implikasi terhadap Pemahaman Negara Pemikiran Abdurahman Wahid berimplikasi terhadap pemahaman Negara.
Wahid dan segenap warga Nahdlatul Ulama memahami bahwa negara Pancasila adalah bentuk final perjuangan umat Islam di Indonesia. Wahid menolak teokrasi (Negara agama) dan sekulerisme. Menurut Wahid, di satu sisi Pancasila sebagai ideologi bangsa menolak dominasi agama maupun kekuasaan anti agama dalam kehidupan bernegara. Di sisi lain bangsa Indonesia perlu mempercayai Pancasila yang menggabungkan Sila Pertama dan sila-sila lain, karena sekularisme dipahami sebagai penolakan terhadap agama.123 Hubungan Islam dan negara Pancasila dirumuskan secara jelas pada tahun 1984 dalam Mukhtamar NU yang dikomandoi oleh KH Ahmad Siddiq dan Gus
121
Douglas. Makalah. Ibid. 123 Abdurahman Wahid, Yang Terbaik Berada di Tengah, dalam buku: Islamku, Islam Anda, Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, hlm. 118 122
Dur.
124
Hal ini dilakukan sebagai jawaban terhadap kebijakan deideologisasi
partai politik Islam yang dilancarkan oleh regim Soeharto yang otoriter. Hal tersebut didasarkan pada keyakinan Wahid bahwa Islam tidak punya konsep negara Islam. Pemahaman Wahid ini sesuai dengan argumen Ali Abdel Raziq dalam bukunya Al-Islam wa Qawa’id al-Sulthanan (Islam dan Sendi-Sendi Kekuasaan). Pertama, dalam Al-Qur‟an tidak pernah ada doktrin. Kedua, perilaku Nabi Muhammad sendiri tidak memperlihatkan watak politis, melainkan moral. Ketiga, Nabi tidak pernah merumuskan secara definitif mekanisme penggantian jabatannya.125 Apabila ada kelompok-kelompok dari umat Islam bersuara untuk menjadikan Islam sebagai ideology Negara dan mengganti Pancasila, maka menurut Wahid, hal tersebut akibat dari penyempitan pandangan mengenai Pancasila yang dipahami hanya menurut yang berkuasa. Wahid mengungkapkan bahwa untuk menafsirkan Pancasila secara benar dibutuhkan lembaga yang legal. Sebagaimana Wahid ungkapkan, ….Sebenarnya yang terjadi bukanlah pertentangan mengenai Pancasila itu sendiri, melainkan soal pengertian Pancasila tersebut. Menurut pandangan kekuasaan, penafsiran yang benar tentang Pancasila adalah apa yang disepakati pemerintah, bukannya kritik terhadap pendekatan yang terasa monolit bagi rakyat itu. Karena dalam pandangan mereka penfsiran pemerintah hanyalah satu dari penafsiran yang ada. Untuk menetapkan mana yang benar, Mahkamah Agung (MA) harus mengemukakan penafsiran legal berdasarkan Undang-undang yang ada. Jadi penafsiran yang tidak sejalan dengan pemerintah, belum tentu salah. Penafsiran legallah yang dijadikan ukuran, bukan penfsiran pemerintah.126 124
Hasil Muktamar NU 1984, PBNU, Jakarta, 1984. AbdurahmanWahid, Islam: Punyakah Konsep Kenegaraan?, dalam Shaleh Isre (ed). Tuhan Tidak Perlu Dibela. LkiS, Yogyakarta, 2000, hlm. 1. 126 Abdurahman Wahid, Negara Berideologi Satu, Bukan Dua, dalam Buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, hlm. 89. 125
Secara tegas pada akhir tulisannya itu berkaitan dengan ideologi Negara, Abdurahman Wahid mengungkapkan, “Menjadi jelas bahwa ideologi Negara kita hanyalah satu, yaitu Pancasila. Pendekatan lain, yaitu menjadikan Islam sebagai ideologi Negara adalah sesuatu yang salah. “127 Imlikasi pemikiran Abdurahman Wahid termasuk mengenai pemikiran Pancasila dapat menyempurnakan pemikiran Islam yang diungkapkan tokoh lainnya. Sebagaimana ungkapan M. Dawam Rahardjo dalam mengomentari sebuah buku yang memuat tulisan-tulisan Abdurahman Wahid berjudul Islamku, Islam Anda dan Islam Kita bahwa buku itu dapat dijadikan sumber pembaharuan pemikiran Islam yang menyempurnakan pemikir seperti
Nurcholish Madjid,
Ahmad Wahib, Djohan Efendi, Harun Nasution dan Munawir Sadjali.128
127 128
Ibid. 91. M. dawam Rahardjo, Pembaharuan KH. Abdurahman Wahid, Kompas, Jumat, 19 Januari 2007.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Adanya gejala sosok Abdurahman Wahid sebagai tokoh nasional yang memiliki pemahaman terhadap Pancasila menjadi fokus dalam penelitian ini. Dalam bab ini penulis menguraikan secara sederhana pemikiran Abdurahman Wahid tentang Pancasila. Terdapat dua sub judul di bab ini yakni kesimpulan dan saran. Di dalam kesimpulan penulis menjawab beberapa pertanyaan yang dirumuskan dalam rumusan masalah. Sedangkan dalam saran, penulis menyampaikan beberapa saran atau rekomendasi kepada peneliti lain yang tertarik untuk mendalami pemikiran Abdurahman Wahid dan Pancasila yang tidak ditemukan penulis selama penulis melakukan penelitian.
A. Kesimpulan Secara sederhana di dalam kesimpulan ini menulis menjawab tiga hal yang telah dirumuskan dalam rumusan penelitian. Pertama, kronologis riwayat hidup Abdurahman Wahid, termasuk pendidikan dan karya-karya yang telah dibuatnya. Kedua, posisi dan fungsi Pancasila dalam kehidupan beragama dan aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut Pemikiran Abdurahman Wahid. Ketiga, implikasi pemahaman Pancasila menurut Abdurahman Wahid dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kronologis riwayat hidup Abdurahman Wahid dapat dipahami sebagai latar belakang pemikiran Abdurahman Wahid diantaranya, kehidupan keluarga,
pendidikan, karakteristik keberagamaan, dan situasi sosial politik saat munculnya pemikiran Abdurahman Wahid mengenai Pancasila. Abdurahman Wahid berasal dari kehidupan Kyai. Keluarga Kyai memiliki status terhormat dan strata tinggi dalam masyarakat Islam Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Dari jalur Bapak Abdurahman Wahid termasuk salah satu cucu dari K.H. Hasyim Asyari, karena Wahid Hasyim yang menjadi Bapak Abdurahman Wahid merupakan anak dari KH. Hasyim Asyari. KH. Hasyim Asyari ini dikenal sebagai salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki jabatan terhormat di NU yaitu Rois Akbar.
Sedangkan jalur dari Ibu, Abdurahman Wahid
merupakan cucu dari K.H. Bisri Syansuri, karena anak KH. Bisri Syansuri yang bernama Solihah adalah ibu kandung dari Abdurahman Wahid. KH. Bisri Syansuri ini dikenal sebagai pendiri pondok pesantren Denanyar di Jombang dan pernah menjadi Rois Syuriah PB NU. Di samping itu Abdurahman wahid mengaku sebagai keturunan dari Raja Jawa yaitu dari Jaka Tingkir. Raja Tingkir ini keturunan dari Raja Mataram Islam dan Majapahit yang berpusat di Jawa. Pengakuan itu diperkuat bahwa Wahid mengaku keturunan etnis Tionghoa yaitu keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Champa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Wahid Hasyim ayah Abdurahman Wahid termasuk salah satu anggota BPUPKI, Panitia Sembilan, dan PPKI yang merancang penyusunan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Negara
menjelang dan pasca Kemerdekaan. Wahid Hasyim pun dikenal sebagai menteri Agama pada era Soekarno. Beliau dilantik sebagai Menteri Agama tahun 1949. Dalam bidang pendidikan Abdurahman Wahid mendapat pendidikan secara tradisional dan modern. Secara tradisional, Wahid belajar di berbagai pesantren di Indonesia. Pesantren mernurut Wahid sebagai sub kebudayaan Indonesia yang telah berperan dalam kehidupan sosial keagamaan dan politik. Wahid pernah pernah belajar di timur tengah seperti Mesir dan Baghdad yang merupakan universitas Islam tertua. Universitas-Universitas itu dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan Islam dan telah banyak mengeluarkan ulama-ulama dan cendekiawan dunia. Walaupun secara formal pernah gagal belajar di Eropa tetapi, Wahid pernah belajar dan hidup di Eropa yang memiliki nuansa modern seperti Belanda, Jerman dan Perancis tahun 1971. Budaya tradisional dan modern menjadi latar kehidupan Wahid yang mewarnai pemikiran-pemikiran keagamaan di Indonesia setelah beliau berperan sebagai cendikiawan di Indonesia. Di satu sisi Wahid termasuk kelompok muslim tradisional karena beliau dibesarkan dari tradisi Nahdlatul Ulama yang berbasis di pesantren, sehingga beliau memelihara dan mencintai kehidupan tradisi Pesantren. Di sisi lain Wahid mengembangkan prinsif-prinsif kehidupan modern, terutama kehidupan demokrasi yang beliau kampanyekan dan perjuangkan dalam setiap pertemuan. Ketika Wahid mengeluarkan pemikiran-pemikiran mengenai Pancasila, situasi sosial politik saat itu berada dalam kondisi pemerintahan yang otoriter. Presiden Soeharto dengan kekuatannya dikritik oleh berbagai elemen bangsa,
karena dituduh menggunakan Militer untuk melanggengkan kekuasaannya, bahkan Pancasila dipahami hanya menurut pemerintah yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru saat itu. Di samping itu, pada saat Wahid melontarkan pemikiran Pancasila, beliau dikenal memiliki berbagai status sosial sesuai profesinya diantaranya, sebagai Kiyai, cendekiawan, pengamat sosial, ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, budayawan dan politikus. Selanjutnya mengenai makna Pancasila, Abdurahman Wahid memahami bahwa Pancasila merupakan kesepakatan luhur di antara kelompok-kelompok yang ada di Indonesia. Kesepakatan luhur itu merupakan upaya sungguh-sungguh yang telah dilakukan oleh para pendiri bangsa Indonesa yang berbeda latar belakang termasuk etnis, agama, kepercayaan dan kelompok sosial politik lainnya dalam merumuskan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara pada saat mendirikan negara Indonesia. Wahid menempatkan posisi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara. Menurut Wahid, ideologi bangsa artinya setiap warga negara Republik Indonesia terikat oleh ketentuan-ketentuannya yang sangat mendasar yang tertuang dalam sila yang lima. Wahid memahami bahwa setiap warga negara terikat secara ketentuan oleh Pancasila. Pancasila dapat mengatur atau berperan sebagai referensi pandangan hidup dan sikap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Wahid sila-sila yang terdapat dalam Pancasila seharusnya tidak dipahami secara sepotong-sepotong atau tidak utuh.
Pancasila sebagai falsafat negara menurut Wahid bahwa, Pancasila berstatus sebagai kerangka berfikir yang harus diikuti dalam menyusun undang-undang dan produk-produk hukum yang lain, dalam merumuskan kebijakan pemerintah dan dalam mengatur hubungan formal antara lembaga-lembaga dan perorangan yang hidup dalam kawasan negara ini.pun memahami Pancasila sebagai kerangka berfikir. Kerangka berfikir ini digunakan dalam menyusun undang-undang dan berbagai hukum yang dihasilkan, baik kebijakan pemerintah, wakil rakyat maupun lembaga hukum itu sendiri. Namun Wahid melihat adanya ketidak-jalasan peran Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat
terutama
dalam
kehidupan
beragama
dan
berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Wahid melihat adanya cara pandang yang berbeda antara agama dan Pancasila. Di satu pihak Agama memiliki pandangan universal, di pihak lain Pancasila memiliki pandangan hanya dalam lingkup Indonesia (nasional), sehingga Agama mendapat kesulitan jika dipahami hanya sebatas lingkup nasional. Secara sederhana Agama lebih bersifat umum dari pada Pancasila, atau Pancasila memiliki sifat khusus. Agama juga menurut Wahid memiliki ciri spesifik yaitu ekslusivistik. Agama memiliki pemahaman kebenaran mutlak yang berbeda dengan pemahaman lainnya, termasuk dalam masing-masing agama. Setiap agama tidak bisa disamakan dengan agama atau kepercayaan lainnya. Wahid menegaskan bahwa posisi Pancasila dapat dipahami sebagai ”polisi lalu lintas kehidupan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Peran pengaturan merupakan peran yang diharapkan untuk menciptakan
kondisi yang tertib dalam kehidupan beragama dan berkepercayaan. Peran tersebut memerlukan pengatur dan aturan yang tegas dan adil. Selanjutnya, Wahid menjelaskan bahwa Pancasila harus difungsikan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat tanpa mengganggu kebebasan kehidupan beragama dan berkepercayaan. Pancasila menurut Wahid berfungsi membuat aturan permainan antara ummat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Fungsi itu memerlukan batasan-batasan minimalnya sendiri, yang tidak boleh ditundukkan kepada kehendak agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Tugas para elit bangsa dan agama adalah menemukan garis batas yang jelas, mana yang wewenang Pancasila tanpa mengganggu kebebasan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Contoh yang dapat dikemukakan dalam hal ini terjadi dalam agama Islam. Agama Islam mengajarkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di sisi Allah. Karenanya, banyak kalangan kaum Muslimin yang tidak dapat menerima adanya persamaan agama (umumnya tertuang dalam pernyataan bahwa ”semua agama adalah sama”). Kalau Pancasila memaksakan persamaan mutlak seperti tergambar dalam pernyataan di atas, menurut Wahid tentunya independensi Islam sebagai agama lalu menjadi terganggu. Sebaliknya, jika Pancasila mampu menemukan titik temu dalam pandangan yang saling berbeda itu dengan sendirinya ia berperan menjadi jembatan penghubung tanpa mengganggu kedaulatan theologis masing-masing. Rumusan seperti ”semua agama diperlakukan sama di muka Undang-undang dan diperlakukan sama oleh negara” mungkin akan lebih mengena dalam hal ini.
Pihak Pemerintah dituntut bersikap adil dan dapat dipercaya dalam memahami Pancasila. Wahid mencontohkan ketika munculnya Undang-undang Peradilan Agama dan pembentukan ICMI pada masa Orde Baru yang dapat menimbulkan ketidakadilan di luar kalangan Muslim. Di dalam orde reformasi ini perlu ditanyakan kembali masih adakah keberpihakan aparat pemerintah dengan menggunakan Pancasila atau atas nama undang-undang dan peraturan lainnya kepada kelompok tertentu yang menimbulkan ketidak adilan bagi kelompok lainnya? Menurut Wahid agama dan Pancasila harus saling berkaitan dan berupaya menemukan nilai-nilai dasar bagi kehidupan bangsa. Hal itu perlu dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan Pemerintah dalam menggunakan Pancasila yang menimbulkan ketidak adilan di kalangan warga bangsa. Wahid menegaskan bahwa Pancasila semestinya bersikap netral. Pemerintah atau lembaga lainnya harus bersikap adil dalam menggunakan Pancasila diantara kehidupan beragama dan berkpercayaan. Akibatnya pemahaman Pancasila menurut Abdurahman Wahid memiliki implikasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dapata dilihat dari penerimaan Pancasila sebagai azas kehidupan berbangsa dan benegara oleh Organisasi NU. Pemikiran-pemikiran Abdurahman Wahid sering diikuti atau dijadikan referensi oleh para pengikut baik di kalangan pesantren atau organisasi NU maupun kelompok lainnya dan dijadikan salah satu sumber dalam mengkaji hubungan agama dan Negara di Indonesia. Karena konsisten dalam menjaga dan memelihara integritas bangsa. Warga NU melalui muktamar tahun 1984
merumuskan Hubungan Islam dan negara Pancasila. Segenap Warga Nahdlatul Ulama bisa memahami dan menjelaskan bahwa negara Pancasila adalah bentuk final perjuangan umat Islam di Indonesia. Kenyataan tersebut sering dinyatakan ulang oleh warga NU melalui tokoh-tokohnya dalam rapat akbar menyambut hari ulang tahun organisasi tersebut. Selain itu sebagian besar warga Indonesia melalui organisasi kemasyarakatan menolak teokrasi (Negara agama) dan sekularisme. Pemikiran Abdurahman Wahid termasuk mengenai pemikiran Pancasila dapat menyempurnakan pemikiran Islam yang diungkapkan tokoh lainnya. Tokoh-tokoh yang dimaksud diantaranya, Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, Djohan Efendi, Harun Nasution dan Munawir Sadjali yang menyatakan penolakan terhadap Negara agama dan Negara sekuler.
B. Saran Setelah
penulis
melakukan
penelitian
makna
Pancasila
menurut
Abdurahman Wahid, penulis menyarankan kepada peneliti lainnya untuk meneliti lanjutan terhadap hal-hal yang belum ditemukan penulis dalam penelitian ini. Penulis menyadari terdapat hal-hal yang belum sepenuhnya penulis deskripsikan secara terperinci dalam penelitian ini. Masih banyak unsur-unsur agama lainnya dalam memahami Pancasila menurut Abdurahman Wahid, contohnya Pancasila menurut doktrin atau ajara Islam dan hubungan Pancasila dengan kehidupan ritual keberagamaan dan berkepercayaan. Kedua hal itu perlu dikaji dengan menggunakan persfekti masing-masing agama dan kepercayaan. Selain itu penulis menyarankan dalam kajian Agama menurut persfektif agama-agama perlu dikaji dengan metode perbandingan yang menggunakan pendekatan eksternalistik yang menggunakan karakter sosial dan historis, agar dapat memperkaya dan mengembangkan kajian keberagamaan.