BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masuk dan berkembangnya Kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia pada sekitar abad IV sampai pada akhir abad XV M, telah meninggalkan begitu banyak peninggalan arkeologis. Sumber data arkeologis terdiri dari tiga macam, yaitu artefak, ekofak dan fitur. Artefak adalah semua tinggalan arkeologi yang dibuat oleh manusia. Ekofak adalah benda-benda yang tidak dibuat oleh manusia namun mempunyai hubungan yang erat dan membantu kelangsungan hidup manusia. Fitur adalah hasil kegiatan manusia atau alam yang tidak mungkin diambil tanpa mengalami perubahan (Haryono, 1984 dalam Sudaryadi, 1997). Salah satu artefak yang banyak ditemui di Indonesia adalah arca.
Arca
merupakan artefak yang dibentuk menyerupai manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, atau bentuk lain yang dibuat secara tiga dimensi. Arca dapat dihasilkan melalui teknik bentukan tangan, pahat, cetak, dan ukir. Bahan yang digunakan dalam pembuatan arca dapat berupa batu, kayu, tanah liat atau logam (Junus, 2009: 2). Dalam agama Hindu maupun Budha, arca bukan hanya merupakan sebuah karya seni semata, namun arca memiliki peranan yang penting dalam kegiatan peribadatan dan diikat oleh sejumlah ketentuan-ketentuan aliran agama yang bersangkutan. Secara etimologis arca berasal dari bahasa Sanskerta arca atau bera vigraha, yang dalam bahasa Yunani disebut eikon atau ikon yang berarti penggambaran dewa
1
2
(Banerjea: 1941 dalam Prasanti: 1987). Pada umumnya arca dipergunakan sebagai alat pemujaan pada dewa. Pengarcaan tersebut dalam seni keagamaan diikat oleh sejumlah ketentuan agama atau aliran yang bersangkutan. Beberapa kitab agama di India memuat aturan-aturan pengarcaan dewa sampai kepada perincian ukuran. Ketentuan-ketentuan tersebut dapat berkaitan dengan cara-cara pelaksanaan pengarcaan maupun dengan pelambangan pengertian-pengertian tertentu ke dalam bentuk-bentuk perwujudan tertentu. Oleh sebab itu arca tak dapat dibuat dengan sembarangan (Sedyawati, 1985: 8). Melihat fungsi arca yang dibuat berdasarkan aturan-aturan tertentu sesuai dengan sifat yang dimiliki oleh arca tersebut. Antara arca satu dengan yang lain dapat dibedakan dengan melihat ciri-ciri khususnya. Untuk mengetahui ciri-ciri tersebut, di dalam ilmu arca dikenal istilah ikonologi. Ikonologi adalah ilmu yang mempelajari kesenian termasuk arca secara menyeluruh meliputi latar belakang, kegunaan maupun ciri-ciri khusus dan hubungannya dengan benda lain. Ikonologi mempunyai beberapa cabang ilmu yang lain yaitu ikonografi dan ikonometri. Ikonografi mempelajari makna yang melatarbelakangi pembuatan sebuah arca. Ikonometri mempelajari tentang ukuran arca dalam kaitannya untuk menentukan baik buruknya sebuah arca. Dalam pantheon Hindu terdapat hirarki kedewataan yaitu dewa utama dan dewa pariwara. Dewa utama terdiri dari dewa-dewa yang dianggap memiliki kedudukan yang paling tinggi, yaitu dewa Trimurti. Trimurti terdiri dari tiga dewa yaitu Brahma sebagai pencipta, Siwa sebagai perusak dan Wisnu sebagai pemelihara dunia. Ketiga sifat kekuasaan kedewataan tersebut pada hakikatnya adalah satu
3
(Liebert, 1976: 302 dalam Kasiyati, 1993: 14). Dewa pariwara merupakan dewa yang mendampingi dewa utama. Dewa pariwara ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu pariwara besar dan pariwara kecil. Pariwara besar adalah dewa yang memiliki hubungan kekerabatan tertentu dengan dewa utama, antara lain Durga, Ganesha, Agastya. Pariwara kecil adalah tokoh kedewataan yang ditonjolkan sebagai kelompok tanpa nama diri yang jelas, antara lain Kinnara, Gandhara, dan Gana (Nastiti, 1982: 51-52). Dewa utama memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada dewa pariwara. Oleh karena itu biasanya pakaian maupun perhiasan yang dipakai oleh dewa utama lebih raya dibandingkan dewa pariwara. Tidak semua arca memiliki ciri-ciri yang sama. Ada beberapa arca yang memiliki ciri khas berbeda dari ketentuan pembuatan arca. Ketentuan dalam pembuatan arca tentu saja suatu hal yang suci karena berhubungan dengan masalah peribadatan. Kecenderungan suatu ciri arca untuk dapat berubah merupakan kebebasan dari seniman pembuat arca. Keterikatan ketentuan tersebut dalam kata lain merupakan patokan pembuatan arca. Patokan ini merupakan sebuah tradisi yang telah turun temurun digunakan sebagai panduan pembuatan arca. Patokan tersebut dicantumkan sebagai ketentuan-ketentuan tertulis, namun mungkin ada patokan yang diajarkan secara lisan dari guru ke murid atau yang terjadi karena kebiasaan, pengamatan dan peniruan (Sedyawati, 1985: 9). Ketat atau tidaknya ketentuan-ketentuan pengarcaan tersebut berbeda antar masyarakat yang satu dengan yang lain. Perbedaan wilayah dan perbedaan zaman menjadi salah satu penyebab perbedaan tersebut. Hal ini
4
mungkin dikarenakan sumber daya ataupun pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat dari wilayah atau zaman tesebut berbeda dengan masyarakat wilayah dan zaman yang lain. Keberadaan sebuah arca seringkali dikaitkan dengan bangunan candi. Dalam sebuah candi yang berfungsi sebagai tempat pemujaan, apabila di dalam biliknya tidak terdapat arca, maka candi tersebut dianggap tidak berfungsi dengan baik (Soekmono, 1974: 305). Namun tidak semua arca dapat dikaitkan dengan candi, karena terdapat pengelompokan arca menurut fungsi maupun kedudukannya. Arca yang ditempatkan di dalam bilik candi untuk dipuja oleh masyarakat umum disebut gramadewata. Arca yang dipuja untuk keluarga adalah kuladewata, sedangkan arca yang dipuja secara pribadi atau perorangan disebut istadewata (Atmosudiro dkk, 2002: 80). Pada kompleks percandian
Dieng ditemukan sejumlah arca yang kini
sebagian besar disimpan di Museum Kailasa dan Museum Nasional. Semua arca yang ditemukan di Situs Dieng berlatar belakang Agama Hindu dan tak ada satupun arca yang berlatar Agama Budha. Keletakan masing-masing arca sulit diketahui asalnya karena tercampur antara arca dari candi satu dengan yang lainnya. Arca yang berada di Museum Kailasa Dieng diletakkan pada dua tempat, yaitu di bagian display dan bagian storage. Arca yang diletakkan di bagian display merupakan arca yang memiliki nomor inventaris sedangkan bagian storage merupakan arca yang belum di inventarisasi. Arca yang berada di bagian display beberapa dalam keadaan yang sangat utuh dan bagus namun ada juga yang sangat aus
5
dan tidak utuh. Hal ini sebetulnya sangat disayangkan, karena arca yang berada pada bagian storage banyak yang masih bagus dan utuh dibandingkan dengan beberapa arca pada bagian display. Arca-arca yang terdapat pada Museum Kailasa antara lain Arca Siwa Nandisavahanamurti 3 buah, Siwa Trisirah 2 buah, Siwa Mahadewa 2 buah, SiwaParvati 1 buah, Hari-Hara 1 buah, Wisnu-Sakti 1 buah, Ganesha 6 buah, Durga Mahisasuramardhini 3 buah, Agastya 3 buah, Nandiswara 1 buah, mahakala 1 buah, Dwarapala 1 buah, arca penjaga pintu 1 buah, arca dewa 4 buah, arca dewi 1 buah. Arca Dieng yang sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta antara lain berupa arca Surya, Siwa, Durga, Visnu, Agastya, Ganesa, Siwa-Parvati, Dwarapala dan Mahakala. Berdasarkan pengamatan yang telah diakukan ada sejumlah arca yang menarik dan cukup berbeda. Arca tersebut adalah Siwa Nandisavahanamurti. Penggambaran tokoh arca tersebut ialah tokoh Nandi duduk bersila dengan tokoh Siwa duduk diatas bahu Nandi. Melihat tokoh Siwa Nandisavahanamurti tersebut tampak bahwa Situs Dieng memiliki suatu arca yang unik. Hal ini menimbulkan ketertarikan untuk meneliti lebih lanjut mengenai arca-arca pada Kompleks Percandian Dieng. Seperti diketahui bahwa pembuatan arca menggunakan ketentuanketentuan tertentu yang mengacu pada kitab-kitab India, baik ukuran, bentuk, bahan,. Aturan-aturan tersebut dalam ikonografi disebut laksana, yaitu tanda-tanda khusus yang dimiliki oleh seorang dewa yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi identitas dewa tertentu. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
6
ciri khas yang dimiliki oleh arca-arca di situs Dieng. Dalam penelitian ini ditekankan bahwa penelitian yang dilakukan tidak khusus pada Arca Siwanandhisawahanamurti, namun lebih kepada keseluruhan arca yang berada di Dieng.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, permasalahan yang diajukan yaitu: 1. Apakah karakteristik arca pada kompleks percandian Dieng? 2. Apakah latar belakang munculnya bentuk pengarcaan pada kompleks percandian Dieng?
C. TUJUAN PENELITIAN Sesuai dengan permasalahan yang diajukan , maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui ciri khas arca pada kompleks percandian Dieng 2. Mengetahui penyebab munculnya karakteristik arca pada kompleks percandian Dieng
7
D. KEASLIAN PENELITIAN Penelitian mengenai situs Dieng sudah banyak dilakukan oleh beberapa ahli. Namun sebagian besar penelitian yang dilakukan belum pernah ada yang membahas mengenai gaya pengarcaan pada Situs Dieng secara mendalam dan spesifik. Beberapa tulisan yang sedikit menyinggung tentang arca di kompleks percandian Dieng antara lain adalah Claire Holt. Holt menyinggung sedikit tentang bentuk arca teriantropik pada kompleks percandian Dieng, arca ini berupa manusia berkepala lembu yang memanggul dewa Siwa. Kemudian oleh Claire Holt arca Nandi itu disebutnya sebagai “Dieng Style”, namun tanpa penjelasan lebih lanjut. Tulisan Sri Suyatmi Satari (1975), yang berjudul “Seni Rupa dan Arsitektur Jaman Klasik di Indonesia” pada majalah Kalpataru I juga menyinggung sedikit mengenai bentuk teriantropik pada nandi di kompleks percandian Dieng tersebut, namun juga tanpa penjelasan lebih lanjut. Endang Prasanti (1987), dalam skripsinya yang berjudul Latar Belakang Penggambaran Teriantropik pada Arca dan Relief di Jawa mengkelompokkan arca dan relief terianthropik di Jawa berdasarkan jenis binatangnya. Setelah itu data tersebut dipisahkan berdasarkan bentuk teriantropik menurut konsep Hindu dan bentuk teriantropik yang merupakan unsur Indonesia asli. Hery Suyamto (1997), dalam skripsinya yang berjudul Karakteristik Candi Bima di Dieng (Tinjauan Berdasarkan Data Arsitektural) membahas mengenai ciri khas dari Candi Bima berdasarkan ciri-ciri fisik arsitektural. Selain itu juga sedikit
8
menyinggung temuan-temuan di Situs Dieng beserta arcanya. Beberapa arca tersebut dideskripsikan namun tanpa penjelasan lebih lanjut. Pada tahun 2000, Indah Purnastuti juga melakukan penelitian di Dieng dengan judul “Periodesasi Percandian Dieng Berdasarkan Arsitektur”. Penelitian tersebut membahas
mengenai
periode
pembangunan
percandian
Dieng
berdasarkan
arsitekturnya. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah pertanggalan relatif percandian Dieng sekitar abad VIII-IX M (732-850 M). Bernet Kempers dalam bukunya yang berjudul Ancient Indonesian Art (1959). Penelitian yang dilakukan adalah memaparkan hasil kesenian Indonesia kuno termasuk arca mulai dari Masa Prasejarah sampai dengan Masa Islam. Pada arca Masa Klasik, Bernet Kempers membagi seni arca menjadi dua yaitu gaya seni arca masa periode Jawa Tengah dan gaya seni arca periode Jawa Timur. Menurutnya arca pada periode Jawa Tengah masih kental pengaruh unsur-unsur India, sedangkan arca periode Jawa Timur unsur Indonesia asli sudah mulai nampak (Kempers :1959). Buku ini dapat digunakan untuk mengetahui ciri-ciri arca periode Jawa Timur dan Jawa Tengah. Skripsi Petrus Citra Triwahwoto (1994) yang berjudul Gaya Seni Arca Masa Singhasari: Telaah atas ciri-ciri dan penyebab munculnya berusaha memaparkan ciri khas dari arca-arca Masa Singhasari dengan membandingkan dengan arca Masa Majapahit. Penelitian ini dapat digunakan untuk membantu dalam klasifikasi komponen arca.
9
Endang Prasanti (1987), dalam skripsinya yang berjudul Latar Belakang Penggambaran Teriantropik pada Arca dan Relief di Jawa mengkelompokkan arca dan relief teriantropik di Jawa berdasarkan jenis binatangnya. Setelah itu data tersebut dipisahkan berdasarkan bentuk teriantropik menurut konsep Hindu dan bentuk teriantropik yang merupakan unsur Indonesia asli. Penelitian tersebut menyinggung mengenai beberapa arca teriantropik di Dieng salah satunya arca siwa nandisavahanamurti, namun tanpa penjelasan yang mendetil mengenai ikonografinya. Kurnia Titisari (2010) dalam skripsinya yang berjudul Pengarcaan Kartikeya di Jawa (suatu kajian ikonografi dan ikonometri) mengkaji tentang ciri-ciri ikonografi dan ikonometri dari arca-arca Kartikeya di Jawa, serta membahas kedudukan Kartikeya di Jawa. Skripsi ini berguna sebagai referensi dalam mengkaji ciri-ciri ikonografi arca-arca Dieng. Supriagung (1991) dalam skripsinya yang berjudul Pengarcaan Manjusri pada Masa Mataram Kuno di Jawa Tengah membahas tentang ciri-ciri ikonografi arca Manjusri berdasarkan perbedaan wilayah budaya dan peranan seniman dengan penguasa terhadap gaya seni arca. Skripsi ini berguna untuk mengetahui latar belakang muncunya ciri-ciri arca Dieng.
E. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini metode yang akan digunakan adalah metode penalaran induktif. Metode ini digunakan untuk menjelaskan suatu masalah dengan melihat gejala-gejala yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan secara umum.
10
Metode penalaran induktif ini menjadi dasar penelitian yang mengutamakan pengkajian data sebagai dasar penyimpulan (Tanudirjo, 1988-1989:34). Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai suatu fakta atau gejala tertentu yang diperoleh dalam penelitian (Tanudirjo, 1988-1989:34). Dalam penelitian ini yang akan menjadi kajian penelitian adalah arca-arca dari Museum Kailasa Dieng dan Museum Nasional Jakarta. Arca yang akan digunakan dalam penelitian berjumlah 30 buah dengan rincian 20 buah arca dari Museum Kailasa dan 10 buah arca dari Museum Nasional. Adapun tahap-tahap penelitian yang akan dilakukan yaitu: 1. Pengumpulan data Penelitian ini menggunakan dua buah data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung di Museum Kailasa Dieng dan Museum Nasional, yaitu dengan mengumpulkan data-data baik pengamatan, pencatatan, pendokumentasian, penggambaran, dan pengukuran terhadap arca yang akan diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini adalah kajian pustaka, penelitian mengenai arca-arca Dieng, skripsi-skripsi tentang Dieng, kajian ikonografi dan ikonometri terhadap arca-arca, hasil dokumentasi arca, karya ilmiah, dan data-data lain yang dapat digunakan untuk membantu penelitian yang akan dilakukan. 2. Pengolahan Data
11
Pada tahap ini data-data yang telah dikumpulkan akan diolah dalam dua fase yaitu deskripsi arca dan klasifikasi
a. Deskripsi Pada fase ini 30 arca yang menjadi obyek penelitian akan dideskripsikan berdasarkan panduan dari Edi Sedyawati. Pendeskripsian tersebut tidak sepenuhnya mengikuti panduan namun lebih mengikuti data yang diperoleh supaya lebih fleksibel. Dalam artian hanya komponen arca yang paling sering muncul saja yang nantinya akan digunakan. b. Klasifikasi Pada
tahap
ini
30
arca
yang
telah
dideskripsikan
dilakukan
pengelompokan arca berdasarkan golongannya, termasuk golongan Dewa Utama atau Dewa Pariwara. Setelah itu, dilakukan klasifikasi berdasarkan komponen-komponen arca yang sudah dipilih dan dideskripsikan. 3. Analisis Tahap analisis merupakan tahap dimana rumusan masalah pada penelitian ini akan dijawab. Analisis yang akan dilakukan adalah analisis ikonografi. Analisis ikonografi dilakukan dengan cara
menjabarkan hasil dari
pengolahan data yang telah dilakukan. Berdarkan hasil penjabaran tersebut, akan diketahui karakteristik dari arca yang telah diteliti. Setelah itu dilakukan interpretasi terhadap karakteristik arca yang muncul.
12
Interpretasi dilakukan untuk mengetahui faktor penyebab muncunlya karakteristik tersebut. 4. Kesimpulan Penarikan kesimpulan dilakukan setelah melakukan tahap analisis data dan interpretasi data. Pada tahap ini diharapkan dapat digambarkan ciri khas arca-arca di Dieng dengan jelas dan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gaya arca tersebut.