BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup kompleks di seluruh dunia. Berbagai pandangan seperti kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan hukum, dan kedaulatan rakyat 1 merupakan bagian dari konsep kedaulatan yang timbul akibat dari perkembangan suatu masyarakat dan negara. Pada umumnya di era abad ke-20 ini, lebih berkembang mengenai konsep kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat, atau bahkan menyandingkan antara konsep keduanya seperti yang diterapkan di Indonesia. Indonesia adalah contoh dari negara-negara yang menyandingkan antara konsep kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Tetapi yang paling utama disini adalah Indonesia mengutamakan kedaulatan hukum di dalam negaranya dibandingkan dengan kedaulatan rakyat. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan tersebut bagaimana pelaksanaan kedaulatan rakyat dilaksanakan berdasarkan atas kedaulatan hukum (Undang-Undang Dasar). Menurut teori kedaulatan hukum atau Rechts-souvereiniteit yang memiliki arti bahkan yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum 1
Pengertian kedaulatan yang dimaksud disini adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, yaitu kekuasaan yang bersifat dapat menentukan dalam taraf tertinggi dan terakhir. Lihat dalam Soehino, 2005, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 152-160.
itu sendiri karena baik raja atau penguasa maupun rakyat atau warga negara, dan bahkan negara semuanya tunduk kepada hukum.2 Hukum disinilah yang menjadi landasan utama dalam menjalankan suatu pemerintahan. Kedaulatan hukum ini yang kemudian pada akhirnya menciptakan suatu konsep yang dikenal dengan “Negara Hukum”. Konsep “Negara Hukum” adalah sebuah konsep atau ide yang merupakan basic demand dari sebuah bangsa. Hal ini terlihat bahwa dari seluruh negara yang ada di dunia, tidak ada yang tidak mencantumkan dalam dasar negaranya tentang konsep negara hukum, baik itu negara yang mempunyai basis ideologi komunis, liberal, kebangsaan maupun yang lainnya.3 Secara umum, terdapat lima macam konsep negara hukum yakni, konsep rule of law¸ rechsstaat, socialist legality, nomokrasi Islam dan negara hukum Pancasila.4 Kelima konsep negara hukum tersebut memiliki prinsip dasar dan implementasi yang berbeda-beda dalam penerapannya, begitu juga dengan Indonesia. Konsep nomokrasi Islam bersumber dari Al-Quran, Sunnah dan ra’yu dan bersifat teosentrik (ketuhanan). Sedangkan konsep rechtsstaat, rule of law dan socialist legality bersifat antroposentrik (dipusatkan pada manusia). Kemudian, negara hukum Pancasila itu sendiri bersifat ketuhanan maupun kemanusiaan yang bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
2
Ibid., hlm. 156. Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 3. 4 Muhammad Tahir Azhary, 2007, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana, Jakarta, hlm. 83-84. 3
Sejak awal kemerdekaannya, konsep negara hukum yang dianut Indonesia telah tegas dinyatakan, bahwa “Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (maachstaat)”.5 Sekian puluh tahun kemudian pascareformasi, konsep ini lebih dipertegas lagi melalui amandemen keempat dengan penegasan negara hukum ke dalam batang tubuh konstitusi, yaitu Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yakni “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Berdasarkan konsep kedaulatan hukum dan konsep negara hukum yang dianut oleh Indonesia tersebut, maka sudah sepantasnya negara ini mampu menegakkan hukumnya dengan baik. Dapat dilihat bahwa fungsi minimum yang mutlak perlu diselenggarakan oleh negara adalah melaksanakan penertiban (law and order), untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat maka negara haruslah melaksanakan penertiban.6 Selain itu, Hans Kelsen mengatakan bahwa negara itu sebenarnya adalah suatu tertib hukum yang timbul karena diciptakannya peraturan-peraturan hukum yang menentukan bagaimana orang di dalam masyarakat atau negara itu harus bertanggung-jawab
atas
perbuatan-perbuatannya.7
Hans
Kelsen
juga
menambahkan bahwa tatanan hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk negara, bukanlah sistem norma yang satu sama lain hanya dikoordinasikan, yang
5
Bagian Sistem Pemerintahan Negara.Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Setiap negara, terlepas dari ideologinya, menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang mutlak perlu dilaksanakan yaitu: (1) Melaksanakan penertiban (law and order); untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban; (2) mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya; (3) Pertahanan; (4) Menegakkan keadilan. Dalam Miriam Budiardjo, 1980, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, hlm. 46. 7 Soehino, Op Cit., hlm. 140. 6
berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi, yang pembentukanya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regessus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi yang, menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tatanan hukum yang membentuk satu kesatuan.8 Oleh karena itu, dalam hal menerapkan tanggung jawab negara dalam penegakan hukum, negara haruslah mampu menjaga validitas dari norma-norma hukum tersebut yang tentunya dapat menimbulkan conflict of norm terutama antara norma dasar dengan norma di bawahnya. Untuk itu Hans Kelsen menunjuk hak menguji sebagai mekanisme “guarantees of the constitution”.9
Dengan
demikian,
hak
menguji terhadap norma perundang-undangan menjadi suatu hal yang penting di dalam konsep negara hukum. Satu ciri yang terdapat di kebanyakan negara, baik yang memakai sistem common law maupun civil law, cara negara untuk menjaga validitas dari norma hukum agar tidak menimbulkan conflict of norm ialah hak menguji (toetsingsrecht). Hak menguji dilakukan untuk menemukan apakah peraturanperaturan hukum yang lebih rendah dari undang-undang sesuai atau tidak dengan undang-undang yang bersangkutan.10 Pelaksanaan dari hak menguji atau pelaksanaan dari proses pengujian dapat disebut dengan peninjauan kembali
8
Hans Kelsen, Terjemahan Raisul Muttaqien, 2013, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, , Nusa Media, Bandung, hlm. 179. 9 Ibid., hlm. 180 10 Miriam Budiardjo, Op Cit., hlm. 226.
(review). Peninjauan kembali itu dapat dilakukan melalui badan atau lembaga pemerintah sendiri (executive review), dapat pula melalui proses pengujian legislatif (legislative review), ataupun pengujian yudisial (judicial review).11 Tetapi dalam penerapan peraturan-peraturan konstitusi mengenai pembuatan undang-undang hanya dapat dijamin secara efektif jika suatu badan selain badan legislatif diberi mandat untuk menguji apakah suatu undang-undang (hukum) sesuai atau tidak dengan konstitusi, dan untuk membatalkannnya jika menurut badan ini undang-undang tersebut “tidak konstitusional”. Perlu adanya badan khusus yang dibentuk untuk tujuan ini, misalnya, pengadilan khusus yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional court) untuk melakukan kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang (judicial review) atau juga dapat diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya mahkamah agung (supreme court).12 Maka dari itu, suatu undang-undang yang bertentangan dengan norma dasarnya atau dengan norma yang lebih tinggi tidak dibatalkan dengan cara lain kecuali dengan cara judicial review agar dapat berjalan efektif. Pada dasarnya praktik judicial review muncul terkait pada dua sejarah penting yang terjadi di dunia hukum. Pertama, kasus “Marbury vs. Madison” yang terjadi di Supreme Court Amerika Serikat, yang untuk pertama kalinya menyatakan bahwa keputusan Kongres tidak sah. Hakim Marshall melihat bahwa Section 13 dari Judiciary Act Tahun 1789 yang menjadi dasar gugatan William Marbury dan kawan-kawan tidak dapat dibenarkan karena ketentuan itu sendiri bertentangan
11
Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 102. 12 Hans Kelsen, Op. Cit., hlm. 225.
dengan Article III Section 2 Konstitutsi Amerika Serikat.13 Maka Ketua Mahkamah Agung (Supreme Court), John Marshall ketika itu menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Kedua, keberadaan lembaga baru atas pemikiran Hans Kelsen yakni Mahkamah Konstitusi (verfassungsgerichtshof) yang dibentuk pada tahun 1920 di Austria. Lembaga tersebut dibentuk untuk menguji norma undang-undang terhadap norma dasar konstitusi. Kemudian ide serupa mengenai mencuatnya pelaksanaan proses judicial review muncul juga di Indonesia, ketika di dalam sidang BPUPKI, Yamin mengusulkan adanya kewenangan bagi Mahkamah Agung untuk menguji undangundang jika bertentangan dengan UUD. Namun, pandangan ini ditentang oleh Soepomo karena secara prinsip UUD yang sedang dibahas dan akan diberlakukan di Indonesia tidak menganut trias politica, sementara hak uji materiil terhadap undang-undang itu hanya dijumpai di negara-negara yang menganut teori trias politica. Alasan lain menurut Soepomo karena Indonesia belum memiliki tenagatenaga ahli dan berpengalaman yang diperlukan untuk itu.14 Tetapi meskipun demikian, pada akhirnya Indonesiapun menerapkan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan, terlebih pascaamandemen yang mengalami perubahan cukup signifikan terkait perkembangan penerapan judicial review di Indonesia.
13
Jimly Asshiddiqie, 2010, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 19. 14 Lihat dalam Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Yayasan Prapantja, hlm. 341-342.
Pascaamandemen UUD 1945, terdapat perubahan pada lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dibentuknya lembaga baru, yakni Mahkamah Konstitusi memberikan pengaruh terhadap kewenangan judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kewenangan yang sebelumnya hanya diberikan kepada Mahkamah Agung, kini juga dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Kedua kekuasaan kehakiman tersebut berwenang dalam melakukan pengujian (judicial review) terhadap produk legislasi yang telah diundangkan. Kewenangan Mahkamah Agung dalam melakukan pengujian adalah melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.15 Kemudian menurut Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,16 kewenangan pengujian yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Namun dengan adanya penerapan judicial review secara dua atap di Indonesia, terdapat permasalahan yang cukup serius yang tidak dapat dihindarkan. Pertama, Hubungan dua lembaga kehakiman yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menjadi tidak sinkron di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini dipicu dengan adanya perbedaan putusan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung pada tahun 2009. Melalui Putusan No. 110-111-112-113/PUU15
Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.” 16 Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
VII/2009, Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran yang berbeda dengan Mahkamah Agung, yang sebelumnya telah memutuskan terkait pengujian terhadap norma dalam Undang-Undang tentang Pemilu terkait permohonan pengujian Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009. Dalam Putusan ini, Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir yang berbeda dengan tafsir yang diberikan oleh Putusan Mahkamah Agung No. 15 P/HUM/2009 dan beberapa Putusan Mahkamah Agung lainnya yang menguji Undang-Undang tentang Pemilu tersebut. Bahkan, selain memberikan penafsiran yang berbeda, Mahkamah Konstitusi juga menggugurkan Putusan Mahkamah Agung karena dinilai tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi. Melihat peristiwa hukum tersebut dapat dilihat bahwa terdapat permasalahan penting yakni munculnya dua penafsiran atas suatu ketentuan undang-undang yang sama oleh dua kekuasaan kehakiman. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga terlihat telah menggugurkan putusan Mahkamah Agung. Berdasarkan permasalahan ini tentu dapat memicu ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan lembaga negara pelaksana undang-undang. Hal inilah yang menyebabkan proses penegakan negara hukum di Indonesia akan menjadi sangat terhambat. Kedua, penegakan konstitusi secara integral di dalam seluruh peraturan perundang-undangan menjadi sulit terwujud. Dengan adanya pemisahan kewenangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, pengujian secara menyeluruh terhadap peraturan perundang-undangan menjadi sulit terwujud karena dipisahkan pengujiannya antara undang-undang terhadap undangundang dasar dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang. Kemungkinan yang akan terjadi adalah jika suatu peraturan
perundang-undangan
di
bawah
undang-undang
yang
diduga
bertentangan langsung dengan konstitusi maka peraturan tersebut tidak dapat diuji oleh lembaga kehakiman manapun. Hal ini akan menjadi sulit ketika banyaknya peraturan-peraturan daerah misalnya yang ternyata tidak bertentangan langsung dengan peraturan di atasnya tetapi langsung bertentangan dengan konstitusi. Jika dilihat dari permasalahan tersebut tentu tujuan dari dibentuknya Mahkamah Konstitusi dan harapan para perumus konstitusi terkait judicial review dan kekuasaan kehakiman akan menjadi tidak tercapai. Maka diperlukan suatu analisis yang relevan untuk mengakhiri permasalahan tersebut, yakni dengan gagasan penyatuatapan judicial review dengan menetapkan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan judicial review terhadap seluruh peraturan perundang-undangan sebagaimana praktik yang diterapkan di beberapa negara seperti di Jerman, Austria dan Afrika Selatan. Dengan adanya penerapan demikian diharapkan Indonesia dapat mampu menegakkan prinsip kedaulatan hukum dan juga konsep negara hukum dengan baik. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana penerapan judicial review dua atap di Indonesia? 2. Apakah urgensi dari penerapan judicial review satu atap melalui Mahkamah Konstitusi di Indonesia?
3. Bagaimana Peluang Penerapan judicial review satu atap melalui Mahkamah Konstitusi di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Penulisan ini dilakukan dalam rangka menyelesaikan mata kuliah Penulisan Hukum yang secara subjektif bagi penulis adalah untuk memenuhi syarat akademis dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Selain tujuan subjektif tersebut, penelitian ini memiliki tujuan objektif, yakni Pertama, untuk mengetahui bagaimana penerapan judicial review dua atap yang dilakukan di Indonesia. Kedua, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui urgensi dari penerapan judicial review satu atap di Indonesia. Ketiga, penelitian ini bertujuan untuk menganalisa apakah penerapan model judicial review satu atap dapat diterapkan di negara Indonesia. D. Keaslian Penelitian Penelitian berjudul “Urgensi Penyatuatapan Wewenang Judicial Review Melalui Mahkamah Konstitusi dalam Rangka Penegakan Negara Hukum di Indonesia” sejauh penelusuran penulis belum pernah dilakukan. Selama penelusuran penulis menemukan penelitian hukum yang berkaitan dengan penelitian ini yakni tesis karya Janpatar Simamora yang berjudul “Sinkronisasi Kewenangan Judicial Review di Indonesia”. Pembahasan masalah yang dilakukan oleh Janpatar Simamora terkait dengan hubungan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam pelaksanaan judicial review dan juga upaya
sinkronisasi antara kedua lembaga tersebut dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.17 Perbedaan penulisan hukum ini dengan tesis di atas adalah penulisan hukum yang penulis lakukan lebih mengarah kepada penemuan alasan dari urgensi penerapan judicial review satu atap di Indonesia berikut juga dengan bagaimana penerapan judicial review terhadap seluruh peraturan perundang-undangan ini dapat diserahkan satu atap di Mahkamah Konstitusi. Sedangkan penulisan hukum di atas lebih mengarahkan mengenai sinkronisasi hubungan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam kewenangannya yakni judicial review. Meskipun memilki objek lembaga negara yang sama namun terdapat perbedaan pembahasan yang pokok yakni mengenai sinkronisasi kewenangan judicial review dan urgensi penerapan judicial review satu atap melalui Mahkamah Konstitusi. Tetapi meskipun demikian, penulis tetap menjaga orisinalitas penulisan hukum sesuai dengan etika penyusunan karya ilmiah pada umumnya, dengan mencantumkan setiap kutipan melalui sumber kutipan yang ditulis di dalam catatan kaki. E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi ilmu hukum pada umumnya dan hukum tata negara pada khususnya. Lebih khusus lagi dapat bermanfaat terkait dengan permasalahan yang timbul akibat penerapan proses judicial review yang 17
Janpatar Simamora, 2011, Sinkronisasi Kewenangan Judicial Review di Indonesia, Tesis, Program Magister Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 13.
dilakukan oleh dua lembaga kekuasaan kehakiman. Selain itu, temuan-temuan dalam penulisan hukum ini diharapkan juga dapat memberikan pandangan mengenai pelaksanaan proses judicial review yang ideal bagi Indonesia sehingga dapat mampu ditegakkannya prinsip negara hukum. 2. Dari Segi Praktis Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam konteks proses judicial review di Indonesia dan juga diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pandangan mengenai penerapan kewenangan judicial review satu atap melalui Mahkamah Konstitusi sehingga praktik tersebut dapat diterapkan di kemudian hari pada lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia.