BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dinamika
Hubungan
Internasional
saat
ini
semakin
menunjukkan
kompleksitas isu-isu domestik di suatu negara seperti permasalahan-permasalahan Keamanan Manusia, Demokratisasi, Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Kerusakan Lingkungan Hidup, hingga Politik Lokal telah menjadi agenda internasional. Hal ini, dapat dilihat pada permasalahan yang terjadi di Papua, permasalahan yang terjadi di Papua tersebut pada awalnya merupakan masalah domestik di Indonesia yang kemudian mendapat sorotan dan perhatian dunia Internasional karena mencuatnya permasalahan pelanggaran Hak Asasi Manusia di wilayah yang kaya sumber daya alam tersebut. Sejak Papua bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1963 hingga saat ini, permasalahan yang dihadapi Papua semakin kompleks dari segi keadilan, kesejahteraan, diskriminasi, genosida, diaspora dan pelanggaran atas hak-hak asasi rakyat Papua serta masih terjadinya konflik-konflik vertikal maupun horisontal di Papua. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap permasalahan Papua nampaknya sudah bukan lagi menjadi permasalahan domestik semata, tetapi sudah merupakan permasalahan Internasional, hal ini permasalahan yang paling kuat dari adanya tekanan Internasional terhadap
1
2
Indonesia yaitu permasalahan pelanggaran Hak Asasi Manusia karena pemerintah Indonesia dianggap telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap rakyat Papua.1 Oleh sebab itu, dukungan Internasional terhadap permasalahan Papua pun terus diserukan dan menjadi upaya internasionalisasi oleh berbagai aktor-aktor internasional. Dukungan internasional terhadap permasalahan di Papua sebenarnya telah ada sebelum dan setelah Papua terintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu pada masa orde lama dan orde baru, namun dukungan tersebut tidak terlihat begitu jelas seperti pasca orde baru (reformasi) dimana dukungan internasional
secara
terang-terangan
dilakukan
oleh
berbagai
aktor-aktor
internasional. Berbagai alasan dukungan internasional sangat kuat pada masa pasca orde baru, hal ini dapat dilihat dari adanya transisi rezim dari orde baru menuju reformasi dimana pemerintahan pada masa reformasi lebih demokratis yang berbeda dengan dengan pemerintahan pada masa orde baru yang lebih otoriter dalam menyikapi dukungan internasional terhadap permasalahan yang terjadi di Papua.2 Selain itu, pemerintahan pada masa reformasi dianggap dapat mengancam kepentingan ekonomi politik perusahaan-perusahaan asing yang ada di Papua seperti PT. Freeport dari Amerika Serikat, Perusahaan energi multinasional dari Inggris, dan perusahaan-
1
Muridan S. Widjojo, 2001, “Di Antara Kebutuhan Demokrasi dan Kemenangan Politik Kekerasan (Konflik Papua Pasca Orde Baru)”, LP3ES dan The Ford Foundation, Hal. 19-21 2 Ibid.
3
perusahaan asing lainnya.3 Dengan adanya dukungan internasional tersebut maka internasionalisasi pun terjadi pada permasalahan di Papua. Internasionalisasi permasalahan Papua dilakukan oleh berbagai aktor internasional yaitu organisasi internasional seperti PBB, LSM Internasional dan negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris serta Australia untuk meninjau kembali penggabungan Papua ke Indonesia, berupa propaganda yang menyatakan Penentuan pendapat rakyat (PEPERA) Papua tahun 1969 sebagai sesuatu yang tidak sah karena dipolitisasi oleh pihak pemerintah Indonesia pada saat itu.4 Selain itu, upaya lain dalam hal internasionalisasi permasalahan Papua dilakukan melalui kampanye-kampanye tentang hak penentuan nasib sendiri rakyat Papua di berbagai forum-forum Internasional seperti yang dilakukan oleh Melanesia Spearhead Group (MSG) dan The West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL).5 Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis melihat bahwa berbagai upaya internasionalisasi terhadap penyelesaian permasalahan di Papua yang dilakukan berbagai pihak yaitu aktor-aktor internasional, maka mendorong penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai proses internasionalisasi yang terjadi pada penyelesaian permasalahan di Papua. Selain itu, penulis juga akan melihat implikasi internasionalisasi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi Papua.
3
Carolyn Marr, 201, “Tanah Papua: Perjuangan yang Berlanjut untuk Tanah dan Penghidupan”, Buletin Down to Earth Edisi Khusus Papua No. 89-90, November 2011, hal 2. 4 Yacob Rambe, 2013, “Upaya internasionalisasi Masalah Papua Tidak Berhenti”, dikutip dari http://news.liputan6.com/read/744079/upaya-internasionalisasi-masalah-papua-tidak-berhenti, diakses pada tanggal 20 Agustus 2014. 5 Ibid.
4
1.2 Rumusan Masalah Mengacu pada adanya proses internasionalisasi penyelesaian permasalahan Papua, penulis mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana implikasi internasionalisasi terhadap penyelesaian permasalahan di Papua pasca Orde Baru?
1.3 Tinjauan Literatur Papua selalu diidentikan dengan konflik dan kekerasan, padahal wilayah ini memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah. Munculnya konflik kekerasan di wilayah tersebut salah satunya terkait dengan permasalahan hak Penentuan nasib sendiri, karena permasalahan ini telah menimbulkan adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap masyarakat Papua yang ingin memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dialami masyarakat Papua terjadi dalam bentuk administratif, pembunuhan karakter, hak harta benda, tenaga kerja, teror publik dan secara fisik (pembunuhan massal). Pelanggaran Hak Asasi Manusia ini mengarah pada intimidasi dan diskriminasi terhadap masyarakat Papua ini menjadi problematis tersendiri bagi pemerintah indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, Socratez Sofyan Yoman meluncurkan buku yang berjudul “Pemusnahan Etnis Melanesia”.6 Ia menjelaskan bahwa orang-orang
6
Socratez Sofyan Yoman, 2007, “Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuhan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat”, Yogyakarta; Galangpress.
5
melanesia di Papua telah menjadi korban kepentingan ekonomi, politik dan keamanan oleh Indonesia, hal ini dikarenakan sumber daya yang dimiliki Papua sangat berlimpah yang dapat dimanfaatkan dengan berbagai macam cara walaupun harus melakukan tindak kekerasan. Jadi, Indonesia dianggap sebagai negara yang telah merampas hak-hak dasar rakyat Papua dengan melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Socratez Sofyan Yoman hanya fokus pada kritik terhadap Indonesia yang melakukan pemusnahan massal (genosida) terhadap rakyat Papua, pelanggaran Hak-Hak terhadap rakyat Papua, mempolitisasi hukum internasional dalam penentuan pendapat rakyat Papua, dan membahas peran gereja tehadap nasib rakyat Papua. Tetapi dalam penelitiannya, beliau belum menjelaskan secara detail tentang pengaruh dan respon internasional terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua, sebaliknya dalam penelitian ini akan dibahas tentang pengaruh internasional dalam merespon pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua. Konflik etnis menurut Baiq L.S.W. Wardhani dalam bukunya yang berjudul “Internasionalisasi Konflik Etnis: Determinan, Difusi dan Eskalasi”,7 menyatakan bahwa konflik etnis yang pada mulanya dianggap sebagai urusan domestik, pada kenyataannya membawa dampak internasional, walaupun tidak bisa dikatakan bahwa semua bentuk konflik etnis mempengaruhi stabilitas regional dan internasional. Baiq dalam
7
bukunya
mengatakan
bahwa
dalam
pengenalan
kajian
tentang
Baiq L.S.W. Wardhani, 2008, “Go Internasional’ Konflik Etnis: Determinan, Difusi dan Eskalasi”, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, FISIP Universitas Parahyangan, Vol.2, No. 4.
6
internasionalisasi konflik etnis kita biasa mengetahui bahwa terdapat beberapa negara yang lebih mudah terintervensi atau diintervensi oleh kekuatan negara lain jika terjadi konflik internal. Dengan beberapa kasus yang terjadi dapat disimpulkan bahwa konflik yang sudah ‘go internasional’ cenderung memperlama dan memperburuk konflik daripada menyelesaikannya. Internasionalisasi konflik, baik itu berwujud difusi maupun eskalasi, merupakan masalah yang cenderung destruktif bagi stabilitas internasional. Oleh karenanya diperlukan pengaturan konflik yang bisa mengurangi dampak merusak. Salah satu cara pengaturan konflik adalah dengan menciptakan mekanisme self-restraint dan/atau institutional restraint, yang mungkin dapat diatur melalui manajemen etnik dalam negeri yang adil dan politik luar negeri yang tidak bersifat non-interventionist. Berbeda dengan Baiq, Muridan dkk mengatakan untuk mengatasi atau bahkan mencegah terjadinya konflik dan kekerasan melalui dari dalam negeri sendiri, seperti pada kasus Papua yaitu dengan membuat Undang-Undang Otonomi Khusus di Papua, namun usaha yang dilakukan belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Muridan S. Widjojo dkk, menuliskan sebuah buku yang berjudul “Papua Road Map Negotiating The Past, Improving The Present, and Securing The Future”.8 Buku ini ditulis dengan tujuan dapat dijadikan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil sikap untuk mengatasi permasalahan Papua, karena jika pemerintah
8
Muridan S. Widjojo, Andriana Elisabeth, dkk, 2010, “Papua Road Map Negotiating The Past, Improving The Present, and Securing The Future”, LIPI, Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV Jakarta.
7
Indonesia gagal mengatasi konflik Papua, cepat atau lambat Indonesia akan dipaksa oleh keadaan untuk mengambil jalan yang sama buruknya dengan jalan Timor Timur. Muridan S. Widjojo dkk, memulai penelitiannya dengan menelusuri akar-akar masalah konflik yang terjadi di Papua terlebih dahulu yang saat ini belum juga terselesaikan. Pendekatan keamanan dan kekerasan Negara yang dilakukan selama 49 tahun menurut mereka telah gagal dalam menyelesaikan masalah politik yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan Papua. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan empat akar permasalahan yang telah membuat Papua terpuruk, diantaranya yakni kegagalan pembangunan, marginalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran Hak Asasi Manusia, serta sejarah dan status politik wilayah Papua yang kurang jelas. Guna mengatasi hal tersebut pemerintah memutuskan untuk membentuk otonomi khusus adalah karena pada saat itu ada penambahan anggaran pembangunan dari Jakarta. Keputusan tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus sebagai instrumen untuk menyelesaikan akar masalah tersebut. Tujuan agar Papua tetap terintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pada saat yang bersamaan, kepentingan masyarakat asli Papua terakomodasi secara adil dan bermartabat. Namun, dalam perjalanannya, menurut Muridan dkk, pembentukan Otonomi khusus tersebut menciptakan dua dunia yang paradoks, dimana disatu sisi terjadi penghamburan uang di kalangan birokrasi. Sedangkan disisi lain, jutaan rakyat yang tinggal di lembah-lembah dan pegunungan,
8
hidup dalam kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, diskriminasi, dan bahkan terkesan terlupakan, sehingga mendorong kelompok-kelompok bersenjata tentara Organisasi Papua Merdeka menjadi agresif, ribuan masyarakat adat di Jayapura dan kota-kota lain bersama Majelis Rakyat Papua melakukan berbagai tindakan dengan mengembalikan status otonomi khusus yang diberikan pemerintah. Sehingga dapat dikatakan bahwa pembentukan otonomi khusus justru menciptakan konflik bukan menyelesaikan konflik. Dengan kondisi seperti itu, internasionalisasi konflik Papua semakin mencuat. Hal ini dapat di lihat di Amerika Serikat, dimana terdapat 50 anggota Kongres Amerika mengangkat kembali masalah Papua kepermukaan. Begitu juga Parlemen dan Pemerintah Republik Vanuatu, negara kepulauan di Samudra Pasifik bagian selatan telah sepakat untuk membawa masalah Papua ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Muridan dkk dalam buku ini menyatakan bahwa internasionalisasi konflik Papua belum sepenuhnya terjadi, jika internasionalisasi atau intervensi internasional terjadi di dalam gejolak Papua, itu disebabkan kegagalan Indonesia yang memberikan peluang untuk intervensi tersebut. Selanjutnya dalam penelitiannya, Muridan dkk menyatakan bahwa di Papua saat ini, kebanyakan kebijakan dan praktik Negara, kecuali program Respek (Rencana Strategi Pembangunan Kampung) dan beberapa program lainnya, justru kontra terhadap legitimasi otonomi khusus di mata rakyat Papua. Pemerintah seolah mengecilkan dan menyederhanakan akar masalah Papua dan otonomi khusus pada
9
persoalan sosial-ekonomi serta menjawabnya dengan peningkatan anggaran pembangunan. Padahal, semangat dasar dari otonomi khusus adalah pemihakan, perlindungan, dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua. Tapi parahnya, semangat itu hanya ada dalam pidato pejabat saja, tidak terwujud di dalam implementasi kebijakan yang nyata. Ketidakpercayaan antara institusi negara di Indonesia dan Papua telah membuat kepemimpinan politik dan praktik pemerintahan di Papua menjadi tidak efektif. Muridan
dkk
dalam
buku
ini
tidak
detail
menjelaskan
tentang
internasionalisasi konflik Papua. Hal inilah yang kemudian menjadi minat penulis untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang internasionalisasi permasalahan Papua, karena menurut penulis internasionalisasi permasalahan Papua sudah terjadi seperti yang telah dijelaskan oleh Baiq. Namun dalam tulisan Baiq dan Muridan dkk tidak dijelaskan tentang bagaimana proses internasionalisasi isu atau permasalahan Papua terjadi. Hal inilah yang kemudian menjadi fokus penulis dalam penulisan tesis ini.
1.4 Kerangka Teoritis 1.4.1 Transnasionalisasi dan Internasionalisasi Transnasionalisasi berkaitan erat dengan Internasionalisasi atau Globalisasi. Transnasionalisasi tidaklah dapat dibahas bila tidak mencoba memahaminya, melalui pemahaman kondisi internasionalisasi atau globalisasi yang sudah lama terdengar sejak berakhirnya perang dingin. Hubungan ketiganya tersebut yang akan digunakan
10
dalam penelitian ini agar dapat menjelaskan fenomena yang terjadi pada implikasi internasionalisasi terhadap penyelesaian permasalahan di Papua. Dalam
hal
ini,
dimulai
dengan
memahami
antara
globalisasi
dan
internasionalisasi, menurut Jan Aart Scholte bahwa globalisasi dilihat dari internasionalisasi yaitu bahwa internasionalisasi menandai adanya peningkatan hubungan interaksi antar negara dan non negara dalam mempertahankan identitas masing-masing, namun negara dan non negara tersebut semakin ketergantungan satu sama lainnya.9 Lain halnya dengan Ludger Pries dalam memahami internasionalisasi, beliau mengatakan setidaknya terdapat tujuh bentuk internasionalisasi, yaitu: Internationalisation (seperti bi atau multi-nationalisation), Supra-nationalisation, Renationalisation, Globalisation, Glocalisation, Diaspora-Internationalisation, dan terakhir Transnationalisation.10 Selanjutnya, Ludger Pries mengatakan bahwa terkait dengan transnasionalisasi sebagai bentuk dari internasionalisasi, maka istilah transnational social space (ruang sosial transnasional) merupakan suatu fenomena massal yang terjadi dalam sebuah hubungan sosial antar aktor internasional. Sebelumnya, bentuk dan hubungan sosial transnasional berupa proses migrasi internasional, aktifitas ekonomi internasional dan gerakan politik internasional, telah menjadi landasan untuk membuka jalan bagi kemunculan ruang sosial transnasional, tetapi saat ini bentuk dan hubungan-hubungan 9
Jan Art Scholte, 2005, “Globalization: A Critical Introduction”, London; Palgrave Macmillan. Hal 54. 10 Ludger Pries, 2002, “The Spatial Spanning of the Social Transnationalism as a challenge and chance for social sciences”. Paper presented at the International Workshop Transnationalism: New Configurations of the Social and the Space, Ruhr-Universität Bochum, 6th and 7th of September 2002. Hal 20
11
sosial transnasional telah mengalami perubahan sosial karena adanya teknologi baru komunikasi dan transportasi serta organisasi transnasional. Begitu pula, keberadaan organisasi media massa global.11 Berdasarkan, Obsatar Sinaga bahwa transnasionalisasi merupakan sebuah konsep
yang
mencakup
aktivitas-aktivitas
dan
fenomena-fenomena
yang
menghubungkan manusia melintasi batas-batas bangsa dan negara. Jika melihat transnasionalisasi merujuk kepada globalisasi dapat dilihat seperti adanya perdagangan bebas, interdependensi, transportasi, dan komunikasi memungkinkan interaksi antar negara dan non negara akan begitu mudah.12 Sedangkan, menurut Richard Falk bahwa Transnasional sebagai perpindahan barang, informasi, dan gagasan melintas batas wilayah negara tanpa pertisipasi atau dikendalikan secara langsung oleh aktor-aktor pemerintah. Interaksi transnasional semakin intensif sejalan dengan tiga macam interaksi yaitu Pertama, ekonomi transnasional dalam hal liberalisasi perdagangan yang menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan antar negara, interdependensi, investasi dan bantuan luar negeri. Kedua, komunikasi transnasional sebagai produk perkembangan teknologi informasi. Ketiga, transportasi transnasional sehingga individu dapat pergi ke tempat manapun yang diinginkannya dengan cepat.13
11
Ibid. hal 25-26 Obsatar Sinaga, 2010, “Konspirasi Transnasional Dalam Kajian Korupsi di Indonesia”, Disampaikan Dalam Seminar Nasional ICMI Se-Indonesia di Batam 23 Oktober 2010. hal 5 13 Ibid. hal 6 12
12
Dampak yang diberikan transnasionalisasi melalui perkembangan kecanggihan teknologi yaitu adanya technotrenic ethnocide yang menggunakan cara yang lebih halus melalui kecanggihan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi internasional. Cepatnya arus informasi karena kemudahan akses yang didapat membuat setiap orang di seluruh dunia dapat mengetahui tren ataupun berita hingga isu-isu dari belahan dunia lain, bahkan mereka sangat terpengaruh oleh keadaan tersebut. Pengaruh yang diberikan oleh informasi dan komunikasi dapat merubah perilaku manusia dari masa ke masa, bahkan sampai meninggalkan nilai-nilai budayanya. Meninggalkan nilai-nilai budaya akan mengakibatkan hilangnya identitas diri suatu bangsa. Inilah yang dimaksud dengan technotrenic ethnocide, dimana teknologi mempunyai peran yang signifikan dalam penyebaran budaya asing dan merubah budaya asli suatu masyarakat atau bangsa.14 Berbeda dengan Robert O. Keohane dan Joseph S. Nye melihat transnasional dalam dimensi yang lebih luas. Beliau mengatakan bahwa Transnasional merupakan proses hubungan internasional yang selama ini dilakukan pemerintah telah diperluas dengan hubungan-hubungan antar individu atau kelompok dan masyarakat yang dapat dan mempunyai konsekuensi penting dalam jalannya suatu kejadian. Sedangkan, hubungan internasional disini menimbulkan dampak terhadap politik antar negara. hubungan internasional mempertinggi tingkat sensitivitas antar
14
Ibid.
13
masyarakat dan negara. hubungan transnasional mempertinggi sensitivitas antar masyarakat dan dengan cara demikian dapat mengubah hubungan antar negara.15 Hubungan transnasional yang begitu dinamis dalam hubungan internasional memungkinkan permasalahan yang berkaitan dengan konflik vertikal maupun horisontal dan adanya pelanggaran hak asasi manusia dapat diidentifikasi adanya proses
internasionalisasi
terhadap
permasalahan
tersebut
karena
untuk
menyelesaikannya butuh melibatkan pihak lain. Dalam hal ini, penyelesaian dengan melibatkan pihak lain menyangkut permasalahan kemanusiaan yang notabene telah menjadi permasalahan bersama dalam interaksi aktor internasional di dunia ini. Seperti yang dikatakan Baiq L.S.W. Wardhani bahwa jika ingin mengidentifikasi dan menguraikan beberapa faktor yang dapat dilihat sebagai ukuran bahwa telah terjadi perubahan sifat sebuah konflik, dari lokal menjadi internasional. Konflik tersebut telah mengalami proses internasionalisasi bila memenuhi sedikitnya kriteria-kriteria yaitu; Pertama, terdapat dukungan dari pihak luar atau eksternal yang berupa ikatan etnis dan negara lain; Kedua, konflik yang terjadi telah menghasilkan pengungsi bagi negara lain; Ketiga, melibatkan organisasi internasional atau PBB dalam penyelesaian konflik tersebut; Keempat, konflik yang terjadi telah berkaitan dengan terorisme internasional dan terdapat elemen iredentisme maupun separatisme.16 Dapat
ditarik
kesimpulan
bahwa
kaitan
antara
transnasionalisasi,
internasionalisasi dan globalisasi telah menciptakan sebuah hubungan interaksi antar 15
Robert O. Keohane and Joseph S. Nye, 1972, “Transnational Relations and World Politics”,Cambridge: Harvard University Press. Hal 22-26 16 Baiq L.S.W. Wardhani, 2008, Op.Cit, hal. 32
14
negara maupun non negara yang telah melintasi batas-batas teritorial sebuah bangsa ataupun negara dalam rangka aktivitas-aktivitas dan penyebaran fenomena-fenomena yang terjadi pada sebuah negara. Dalam proses internasionalisasi terhadap permasalahan di Papua, transnasionalisasi telah memberikan sumbangsih penting dalam
penyebaran
terhadap
permasalahan
yang
dihadapi
Papua
melalui
perkembangan teknologi informasi komunikasi yang begitu cepat, permasalahan yang dihadapi Papua telah menjadi perhatian internasional hal ini disebabkan karena interaksi yang terjadi secara global dan peranan aktor dalam hubungan internasional dalam permasalahan Papua tidak lagi menjadi perhatian aktor-aktor negara saja melainkan talah menjadi perhatian aktor non negara seperti organisasi internasional, LSM internasional dan media massa global.
1.5 Argumen Utama Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis beragumen bahwa implikasi internasionalisasi terhadap penyelesaian permasalahan di Papua dapat dilihat melalui identifikasi pada permasalahan Papua yang telah mengalami perluasan yang awalnya hanya menjadi permasalahan domestik oleh Indonesia tetapi telah menjadi permasalahan Internasional, dengan adanya keterlibatan aktor-aktor internasional selain negara seperti organisasi internasional, LSM internasional, dan Media Massa global permasalahan di Papua telah mengalami proses internasionalisasi. Selain itu,
15
Dengan terjadinya internasionalisasi pada permasalahan di Papua dapat berimplikasi positif maupun negatif bagi Indonesia dan Papua itu sendiri.
1.6 Metode Penelitian Fokus penelitian ini mencakup bahasan tentang proses internasionalisasi permasalahan di Papua. Secara khusus ekspektasi yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih spesifik dan mendalam mengenai seperti apa implikasi internasionalisasi terhadap permasalahan di Papua. Oleh karena itu, aktivitas keilmuan yang akan dilakukan penulis dalam proses penelitian ini termasuk dalam kerangka penelitian kepustakaan. 17 Lebih lanjut berdasarkan permasalahan yang ingin dianalisis, maka penelitian ini termasuk dalam kategori explanatory research yang dirancang untuk menjelaskan hubungan kausalitas beberapa variabel dalam masalah penelitian. Selain itu, Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder akan diperoleh melalui metode telaah pustaka dari berbagai sumber yaitu Buku, Jurnal online maupun cetak, artikel online maupun cetak, surat kabar, majalah dan laporanlaporan seperti organisasi internasional dan lain sebagainya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ilustrative Method,18 yaitu dengan mengaplikasikan teori ke dalam situasi konkret, tatanan sosial, dan pengalaman nyata. Secara esensial melalui metode ini, teori berfungsi sebagai 17
Loreen Wolfer, 2007, “Real Research: Conducting and Evaluating Research in the Social Scienses”, Boston; Pearson Education Inc. Hal. 334 18 Ibid. Hal 489
16
panduan dalam penelitian ini. Peneliti berupaya untuk memberikan penilaian apakah observasi kualitatif yang dilakukan tersebut mendukung atau justru menyangkal teori yang diadopsi dalam penelitian. Proses analisis data seperti inilah yang akan dilakukan dalam penelitian ini yaitu melihat implikasi internasionalisasi terhadap penyelesaian permasalahan di Papua.
1.7 Sistematika Penulisan Penelitian dalam tesis ini terdiri dari lima bab diantaranya Bab I berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan yang akan diteliti, rumusan masalah, tinjauan literatur, kerangka teoritis, argumen utama, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berisikan gambaran yang menjelaskan tentang Internasionalisasi permasalahan di Papua. Bab III merupakan bagian analisis yang menjelaskan tentang implikasi internasional bagi Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan di Papua. Bab IV berisi analisis tentang implikasi internasional bagi Papua. Bab V adalah bagian penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah disampaikan pada keempat bab sebelumnya sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang telah disebutkan dibagian awal penulisan.