BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Penelitian ini bermaksud untuk mengungkap adanya peran diplomasi komersial di balik perkembangan industri pengolahan dan pemurnian hasil tambang, atau yang biasa disebut sebagai smelter, untuk mineral berjenis bauksit di Indonesia. Bauksit dipandang sebagai mineral yang prospektif. Hal ini karena barang jadi dari bauksit yang berupa aluminium, dapat digunakan pada berbagai sektor industri di dunia, mulai dari industri transportasi, telekomunikasi, elektronik, konstruksi, hingga makanan. Hampir seluruh produk yang dihasilkan dari industri tersebut menggunakan komponen yang berbahan dasar aluminium. Seiring dengan semakin tingginya aktivitas industri global, kebutuhan dunia atas aluminium pun semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai salah satu penghasil bauksit terbesar di dunia, Indonesia dapat memperoleh keuntungan yang besar dari prospek bauksit yang demikian. Pemberlakuan Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang berisi tentang larangan ekspor mineral mentah, seakan menjadi suatu momentum bagi Indonesia untuk memaksimalkan keuntungan yang dapat diperolehnya dari bauksit. Dengan mewajibkan bauksit mengalami proses peningkatan nilai tambah terlebih dahulu sebelum diekspor ke negara lain, Indonesia dapat melipatgandakan keuntungan dari hasil ekspor bauksitnya selama ini. Proses 1
peningkatan nilai tambah bauksit dilakukan dengan mengolah bauksit menjadi alumina melalui smelter. Alumina yang merupakan barang setengah jadi dari bauksit, akan memiliki nilai ekspor yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ekspor bauksit. Alumina tersebut untuk selanjutnya akan menjadi bahan baku dalam industri aluminium. Pengembangan industri smelter bauksit di Indonesia ternyata membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Indonesia terpaksa harus melakukan promosi investasi smelter bauksit untuk menarik investasi asing agar dapat membantu memenuhi kebutuhan biaya tersebut. Adanya promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan oleh Indonesia diindikasikan oleh realisasi investasi perusahaan tambang Jepang dan China pada pembangunan smelter bauksit di Indonesia. Jepang dan China itu sendiri adalah dua importir bauksit yang terbesar bagi Indonesia. Keduanya sama-sama membutuhkan bauksit Indonesia dalam jumlah yang besar, sebagai akibat dari tingginya aktivitas industri aluminium di dalam negerinya. Indonesia kemudian memanfaatkan kondisi yang demikian sebagai “senjata” untuk menarik keterlibatan perusahaan tambang Jepang dan China dalam realisasi pembangunan smelter bauksit di Indonesia. Ketika aktivitas ekspor bauksit dari Indonesia ke Jepang mulai dihentikan akibat pemberlakuan UU Minerba, Jepang dituntut untuk menjaga agar ketersediaan alumina di Jepang tetap dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri aluminium di dalam negerinya. Hilangnya pasokan bauksit dari Indonesia dapat menghambat keberlangsungan aktivitas industri aluminium di Jepang jika Jepang tidak sesegera 2
mungkin menemukan eksportir bauksit pengganti Indonesia. Namun, mencari eksportir bauksit bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan karena spesifikasi bauksit di negara penghasil bauksit lainnya terkadang tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh Jepang.1 Sedangkan di sisi lain, produksi aluminium di Jepang harus terus dipacu seiring dengan tingginya aktivitas industri di Jepang yang pada umumnya membutuhkan produk aluminium. Dengan membangun smelter bauksit di Indonesia, ketersediaan alumina di Jepang yang dihasilkan dari bauksit Indonesia dapat kembali terpenuhi meskipun aktivitas ekspor bauksit Indonesia ke Jepang harus dilakukan dalam bentuk alumina. Sementara itu, hal yang sama juga dialami oleh China. Pemberlakuan UU Minerba membuat China harus kehilangan sebagian besar pasokan bauksit yang selama ini diimpornya dari Indonesia untuk diolah menjadi alumina. Padahal, sebagai produsen aluminium terbesar di dunia, industri aluminium di China harus berproduksi dalam skala yang tetap, atau bahkan meningkat, untuk memenuhi kebutuhan industri global atas produk aluminium China.2 Pemberlakuan UU Minerba ini juga telah mengakibatkan terjadinya lonjakan harga bauksit di negara-negara penghasil bauksit lainnya. Harga bauksit dunia menjadi tidak stabil akibat terhentinya aktivitas ekspor bauksit di Indonesia. Jika terus dibiarkan, kondisi demikian dapat menekan keberlangsungan industri aluminium di China.
1
Ali Fauzi. Wawancara Personal, 7 November 2014. Hana. 2014. Bauksit dan China. [Internet]. Terdapat pada http://infotambang.com/bauksit-dan-chinap571-1.htm (Diakses 18 April 2015) 2
3
China sebenarnya telah mengambil langkah antisipatif seperti dengan membatasi ekspansi kapasitas produksi aluminiumnya.3 Pemerintah China beberapa kali mengeluarkan aturan agar proses produksi pada industri aluminium di China tidak dilakukan secara berlebihan. Namun, upaya tersebut selalu gagal karena mendapat tentangan dari pemerintah lokal yang menghendaki peningkatan pertumbuhan ekonomi daerahnya.4 Selain itu, langkah antisipatif lainnya yang juga diambil oleh China adalah dengan mengalihkan eksportir bauksit ke negara penghasil bauksit lainnya untuk menggantikan Indonesia. Akan tetapi, rendahnya harga bauksit Indonesia belum dapat ditandingi oleh negara-negara penghasil bauksit lain di dunia5, serta hasil impor bauksit dari negara-negara tersebut juga belum sepenuhnya dapat menutupi hilangnya pasokan bauksit oleh Indonesia.6 Oleh karena itu, membangun smelter bauksit di Indonesia akan menjadi pilihan yang harus ditempuh oleh China, terlebih karena China juga tengah mengalami inefisiensi industri aluminium akibat naiknya biaya listrik dan kondisi mesin-mesin smelter yang sudah tua. Pada akhirnya, industri smelter bauksit di Indonesia pun dapat berkembang karena seluruh pembangunan smelter bauksit di Indonesia direalisasikan melalui joint venture yang terbentuk antara perusahaan tambang lokal dengan perusahaan tambang asing yang berasal dari Jepang dan China. Mengingat bahwa promosi investasi 3
Siska Amelie Deil. 2014. RI Stop Ekspor Bijih Mineral, Produksi Aluminium China Terancam. [Internet]. Terdapat pada http://bisnis.liputan6.com/read/798708/ri-stop-ekspor-bijih-mineral-produksialumunium-china-terancam (Diakses 18 April 2015) 4 Abdul Malik. 2014. Minerba Indonesia Tekan Industri Alumina Cina. [Internet]. Terdapat pada http://www.tempo.co/read/news/2014/01/31/090549893/Minerba-Indonesia-Tekan-IndustriAluminium-Cina (Diakses 17 April 2015) 5 Ibid. 6 Hana. Op. Cit.
4
merupakan salah satu bentuk aktivitas utama dalam diplomasi komersial, maka terwujudnya promosi investasi smelter bauksit oleh Indonesia ke Jepang dan China yang telah menghasilkan joint venture demikian adalah indikasi bahwa industri smelter bauksit di Indonesia dikembangkan di bawah kerangka diplomasi komersial. Indikasi ini semakin diperkuat oleh adanya kerja sama antara pemerintah dengan perusahaan tambang lokal selaku aktor dalam promosi investasi smelter bauksit tersebut. Keduanya sama-sama memiliki kepentingan atas tercapainya realisasi pembangunan smelter bauksit di Indonesia. Tanpa kerja sama dari keduanya, diplomasi komersial tidak akan terwujud karena esensi dari diplomasi komersial itu sendiri terletak pada hubungan antara pemerintah dengan pelaku bisnis.
I.2 Rumusan Masalah Bagaimana Indonesia mengembangkan industri smelter bauksit di bawah kerangka diplomasi komersial?
I.3 Studi Literatur I.3.1 Konsep Diplomasi Komersial Secara garis besar, interpretasi terhadap konsep diplomasi komersial dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, interpretasi di tingkat makro7, yaitu ketika konsep diplomasi komersial disamaartikan dengan konsep diplomasi
7
H.W. Kopp. 2004. Commercial Diplomacy and the National Interest. Washington: American Academy of Diplomacy/Business Council for International Understanding. Hlm.7
5
ekonomi8, diplomasi perdagangan, maupun diplomasi keuangan9. Interpretasi demikian membuat konsep diplomasi komersial dianggap memiliki cakupan isu yang lebih luas dan bersifat umum, mulai dari persoalan seputar kebijakan ekonomi, tujuan ekonomi, hingga perjanjian perdagangan beserta implementasinya.10 Bahasan mengenai konsep diplomasi komersial dalam interpretasi ini akan selalu dikaitkan dengan aktivitas yang bertajuk negosiasi, konsultasi, dan penyelesaian sengketa perdagangan11, karena ketiga aktivitas tersebut memang diyakini sebagai upaya untuk mempengaruhi kebijakan atau peraturan pemerintah negara lain yang dianggap berkaitan dengan perdagangan dan investasi global.12 Kedua, interpretasi di tingkat mikro, yaitu ketika diplomasi komersial didefinisikan secara lebih spesifik13, khususnya merujuk pada dukungan yang diberikan terhadap sektor bisnis dan keuangan dalam negeri.14 Dukungan ini tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan intensitas perdagangan, tetapi juga memacu investasi ke dalam dan luar negeri,
8
Alexandre Mercier. 2007. “Commercial Diplomacy in Advanced Industrial States: Canada, the UK, and the US”, dalam Discussion Papers in Diplomacy. Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’. 9 a) Maaike Okano-Heijmans. 2010. “Hantering van het Begrip Economische Diplomatie”, dalam Internationale Spectator, Vol.64, No.5, Hlm.73-74. b) Maaike Okano-Heijmans dan Huub J.M. Ruel. 2011. “Commerciele Diplomatie en Internationaal Ondernmen”, dalam Internationale Spectator, Vol.64, No.5, Hlm.463-467. 10 a) G.R. Berridge dan A. James. 2001. A Dictionary of Diplomacy. Basingstroke: Palgrave. Hlm.81 b) Raymond Saner dan Lichia Yiu. 2003. “International Economic Diplomacy: Mutations in Postmodern Times”, dalam Discussion Papers in Diplomacy, No.84. Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’. c) Lennart H. Zuidema. 2011. Explaining Commercial Diplomacy Effectiveness. Tesis Mahasiswa Strata-2. University of Twente. Hlm.4 11 a) G. Curzon. 1965. Multilateral Commercial Diplomacy. London: Michael Joseph. b) Raymond Saner dan Lichia Yiu. Op. Cit. 12 Michel Kostecki dan Olivier Naray. 2007. Commercial Diplomacy and International Business. Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’. Hlm.2 13 Ibid. Hlm.8 14 G.R. Berridge dan A. James. Op. Cit. Hlm.38-39
6
sehingga baik upaya promosi perdagangan maupun promosi investasi, akan dilakukan dalam prioritas yang setara.15 Di antara interpretasi di tingkat makro dan mikro, sebagian besar akademisi maupun praktisi lebih memilih untuk menggunakan interpretasi di tingkat mikro karena dianggap dapat mengidentifikasi ide pokok dari konsep diplomasi komersial itu sendiri, tanpa harus dikaitkan dengan konsep-konsep diplomasi lainnya. Gambaran mengenai konsep diplomasi komersial sebagaimana yang dimaksud oleh interpretasi tersebut dapat merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh Potter, Lee, dan Naray. Potter mendefinisikan diplomasi komersial sebagai penggunaan alat-alat diplomasi untuk membantu mencapai keuntungan komersil melalui promosi ekspor, menarik investasi asing ke dalam negeri, mengembangkan kesempatan investasi ke luar negeri, serta mendorong pemanfaatan alih teknologi.16 Terkait dengan tumpang tindih penggunaan diplomasi komersial dengan diplomasi ekonomi, Potter berpendapat bahwa meskipun konsep diplomasi ekonomi dan diplomasi komersial dapat saling melengkapi, namun kedua konsep tersebut tidak dapat saling menggantikan.17 Sementara itu, Lee mendefinisikan diplomasi komersial sebagai suatu jaringan kerja antara aktor publik dan swasta dalam mengelola hubungan komersial
15
Alexandre Mercier. Op. Cit. Evan H. Potter. 2004. “Branding Canada: The Renaissance of Canada’s Commercial Diplomacy”, dalam International Studies Perspective, Vol.5, No.5, Hlm.3. 17 Ibid. Hlm.55 16
7
dengan menggunakan sarana dan proses diplomatik.18 Untuk menyempurnakan definisi ini, Lee dan Ruel menspesifikasikan negara sebagai aktor publik sedangkan pelaku bisnis sebagai aktor swasta, yang dalam hal ini keduanya saling bekerja sama dalam konteks domestik, regional, dan sistem dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kedua aktor tersebut.19 Sedangkan definisi komersial yang dikemukakan oleh Naray adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh aktor publik dalam kerangka aktivitas diplomasi yang bertajuk promosi bisnis antara home dengan host country. Tujuannya adalah untuk mendorong perkembangan bisnis melalui serangkaian aktivitas promosi dan fasilitasi.20 Dari ketiga definisi tersebut, dapat ditarik suatu benang merah yang mengindikasikan bahwa diplomasi komersial identik dengan aktivitas dukungan diplomasi yang diberikan oleh pemerintah terhadap pelaku bisnis untuk menciptakan dan memperluas kesempatan bisnis di luar batas-batas negara.21 Sebagai bentuk dukungan untuk mengembangkan bisnis dalam skala internasional, diplomasi komersial memiliki esensi yang berupa perpaduan kerja sama antara pemerintah (negara) dengan pelaku bisnis (non-negara) untuk mencapai keuntungan ekonomi.22 Esensi ini ditunjukkan oleh Potter dengan membagi aktivitas diplomasi komersial ke dalam dua kategori berdasarkan kepentingan dan kapasitas
18
Donna Lee. 2005. “The Growing Influence of Business in U.K. Diplomacy”, dalam International Studies Perspective, Vol.5, No.1, Hlm.50-54. 19 Huub J.M. Ruel. 2013. Diplomacy Means Business. Zwolle: Windesheim. Hlm.19 20 Olivier Naray. 2008. Commercial Diplomacy: A Conceptual Overview. The Hagues, Netherlands. 21 Huub J.M. Ruel, Sirp de Boer, dan Wouter ten Haaf. nd. Commercial Diplomacy in Practice: Experiences of International Business Executives and Representatives. University of Twente. Hlm.1 22 Evan H. Potter. Op. Cit.
8
masing-masing aktor.23 Kategori pertama adalah bisnis. Kategori ini terdiri dari lima aktivitas yang dinilai sebagai aktivitas utama dalam diplomasi komersial, yaitu trade promotion, promotion of Foreign Direct Investments (FDIs), co-operation in science and technology, promotion on tourism, dan advocacy for national business community.24 Sedangkan kategori kedua adalah pemerintah. Pemerintah berperan sebagai pihak yang memfasilitasi pencapaian aktivitas utama dengan memberikan empat aktivitas dukungan yang berupa intelligence, networking and public relations, contract negotiator of implementation, dan problem solving.25 Untuk mempermudah pemetaan terhadap keseluruhan aktivitas tersebut, Potter pun mengembangkan kerangka berikut. Gambar 1. Kerangka Diplomasi Komersial
Sumber: E. Potter, 2004. 23
Ana-Maria Boromisa, dkk. 2012. Commercial Diplomacy of the Republic of Croatia or Why Croatia Today Desperately Needs a Strong and Systematic Commercial Diplomacy. Zagreb: Institute for International Relations. 24 Ibid. 25 Michel Kostecki dan Olivier Naray. Op. Cit. Hlm.8
9
Trade Promotion. Promosi perdagangan tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan ekspor, tetapi juga untuk mencari pasar ekspor yang baru bagi suatu negara. Kotabe dan Czintoka membagi aktivitas promosi perdagangan ke dalam dua agenda, yaitu pemberian jasa dan pengembangan pasar.
26
Dalam agenda pertama,
promosi perdagangan dilakukan dengan memberikan layanan bagi para eksportir berupa pengadaan seminar, bimbingan ekspor, pemberian panduan, dan pendanaan ekspor. Sedangkan praktek promosi perdagangan yang termasuk ke dalam agenda kedua di antaranya adalah memasarkan penjualan, berpartisipasi dalam sejumlah pameran luar negeri, menganalisa pasar, dan mengirimkan surat berita ekspor. Promotion of Foreign Direct Investments (FDIs). Promosi investasi umumnya diawali dengan membangun citra positif terkait kondisi perekonomian dalam negeri serta memberikan penawaran yang menarik bagi para investor asing. Kedua hal ini ditujukan untuk menciptakan daya tarik agar para investor asing bersedia menanamkan modalnya di dalam negeri. Kehadiran investasi asing di dalam negeri diyakini dapat membantu pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja, menambah devisa negara, alih teknologi, dan meningkatkan persaingan dalam negeri.27
26
M. Kotabe dan M.R Czinkota. 1992. “State Government Promotion of Manufacturing Exports: A Gap Analysis”, dalam Journal of International Business Studies, Vol.23, No.4, Hlm.637-658. 27 Maria Maher, dkk. 2006. Measuring Restrictions on FDI in Services in Developing Countries and Transition Economies. Switzerland: United Nations Publication.
10
Co-operation in Science and Technology. Kerja sama dalam bidang pengetahuan dan teknologi ini merupakan langkah penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan kapasitas teknis bagi sektor bisnis.28 Hal ini mengingat bahwa kemajuan IPTEK di era kekinian telah menyebar luas ke semua kalangan. Sektor bisnis yang turut terpengaruh oleh kemajuan IPTEK ini pun pada akhirnya dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Selain untuk meningkatkan kapasitas teknis, kerja sama IPTEK juga dibutuhkan untuk menjamin persaingan para pelaku bisnis di pasar internasional yang semakin kompetitif akibat arus liberalisasi. Promotion on Tourism. Promosi pariwisata banyak dilakukan oleh negara yang memiliki banyak tempat wisata yang menarik. Para aktor yang melakukan promosi pariwisata dibekali dengan beragam materi promosi tentang potensi tempat wisata yang dimiliki oleh negaranya. Keindahan dan keunikan yang menjadi ciri khas suatu negara dipresentasikan dengan tujuan untuk membangun persepsi masyarakat asing terhadap keunggulan sektor pariwisata di negara tersebut. Bagi negara yang menggantungkan perekonomiannya dari sektor pariwisata, promosi pariwisata ini dianggap sebagai aktivitas terpenting dalam diplomasi komersial.29 Advocacy for National Business Community. Advokasi sektor bisnis merupakan aktivitas diplomasi komersial yang tengah berkembang. Dalam aktivitas ini, Kostecki menggambarkan bahwa para aktor akan terlibat dalam sejumlah urusan
28 29
Ana-Maria Boromisa, dkk. Op. Cit. Ibid.
11
publik yang dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan nasional maupun bagi asosiasi bisnis, misalnya seperti membentuk kesepakatan dengan host country, parlemen, maupun masyarakat umum.30 Selain itu, advokasi sektor bisnis juga dapat berupa reaksi terhadap proposal host country terkait dengan peraturan dan kesepakatan perdagangan internasional di antara keduanya. Intelligence. Inteligensi meliputi penggalian informasi dan mengurus segala hal yang dibutuhkan dalam membangun hubungan bisnis antara home country dengan host country. Rangkaian agenda dalam aktivitas ini di antaranya adalah memberikan laporan tentang kesempatan bisnis, pengembangan proyek atau kebutuhan perusahaan, informasi terkait peraturan yang mempengaruhi kegiatan bisnis, dan sebagainya.31 Networking and Public Relations. Membangun jaringan bisnis dibutuhkan karena keberadaan mitra bisnis dapat membantu mengembangkan bisnis ke tingkat yang lebih tinggi. Sedangkan membangun hubungan masyarakat merupakan strategi penting bagi promosi investasi, yaitu meliputi pembangunan relasi bisnis dengan pemimpin perusahaan dan menghadiri sejumlah forum bisnis di home atau host country. Contract Negotiator of Implementation. Upaya negosiasi bisnis dilakukan terhadap pemerintah atau perusahaan dari host country. Aktivitas ini penting dalam diplomasi komersial karena tidak hanya menyangkut hubungan antar pelaku bisnis 30
Michael Kostecki. 2005. Business Advocacy in the Global Trading System: How Business Organizations May Shape Trade Policy. Jenewa: ITC. 31 Michael Kostecki dan Olivier Naray. Op. Cit.
12
host country dengan home country, tetapi juga pemerintah host country dengan home country. Problem-solving. Aktivitas penyelesaian masalah bisnis dibutuhkan terkait dengan kebijakan dan peraturan di host country yang dapat merugikan pelaku bisnis dalam negeri, atau untuk menyelesaikan kasus sengketa bisnis.
I.3.2 Perluasan Konsep Diplomasi Komersial Sejak
disamaartikan
dengan
konsep
diplomasi
ekonomi,
diplomasi
perdagangan, maupun diplomasi keuangan, konsep diplomasi komersial seakan tenggelam dari studi diplomasi.32 Tidak banyak penelitian ilmiah, publikasi akademis, atau mata pelajaran yang mengulas lebih jauh tentang konsep diplomasi komersial, mengingat adanya ketumpangtindihan antara konsep tersebut dengan konsep-konsep diplomasi lainnya. Kajian awal terhadap konsep diplomasi komersial hanya berhenti sampai pada intepretasi di tingkat makro, tanpa ada kajian lebih lanjut pada interpretasi di tingkat mikro. Jika ditinjau dari sudut pandang interpretasi di tingkat makro, maka praktek diplomasi komersial sebenarnya sudah dapat dirasakan sejak puluhan tahun silam, bahkan sejak sebelum globalisasi mulai berkembang di awal abad ke-19.33 Perdagangan yang terjadi pada saat itu beserta keterkaitannya dengan aspek diplomasi, disebut-sebut telah mendorong peralihan dari budaya peradaban menjadi 32
Donna Lee dan David Hudson. 2004. “The Old en New Significance of Political Economy in Diplomacy”, dalam Review of International Studies, Vol.30, No.3. 33 Lennart H. Zuidema. Op. Cit. Hlm.1
13
kekuatan ekonomi yang besar.34 Beberapa temuan yang menunjukkan bahwa praktek diplomasi komersial telah dilakukan di masa lampau di antaranya adalah ketika perdagangan dikenal sebagai salah satu aspek penting dalam hubungan internasional oleh masyarakat Mesopotamia35; perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat Maya36 dan Roma37 sebagai bentuk perluasan budaya ke luar batas wilayah mereka; pembentukan kebijakan perdagangan antara AS dan Rusia di tahun 1780 dan 178338; perdagangan antara Inggris dan Jerman yang didukung oleh diplomasi masingmasing negara39; serta perwakilan dari Belanda yang dikirim sebagai duta perdagangan ke China untuk meningkatkan perdagangannya di tahun 165540. Sedangkan kajian terhadap konsep diplomasi komersial untuk interpretasi di tingkat mikro baru berkembang di era globalisasi. Meluasnya sebaran internet, tingginya mobilitas, dan munculnya pusat-pusat aktivitas ekonomi yang baru, telah membuat kebaikan diplomasi komersial kembali direnungkan dan diposisikan oleh kalangan akademisi maupun praktisi41, namun dalam arti yang lebih sempit dibandingkan dengan masa sebelumnya. Selain itu, berbeda dengan perekonomian
34
Huub J.M. Ruel. 2013. Ibid. C. Edens. 1992. “Dynamics of Trade in the Ancient Mesopotamian World System”, dalam American Anthropologist, Vol.94, No.1, Hlm.118-139. 36 R.V. Sidrys. 1976. “Classic Maya Obsidian Trade”, dalam American Antiquity, Vol.41, No.4, Hlm.449-464. 37 O. Brogan. 1936. “Trade Between the Roman Empire and the Free Germans”, dalam The Journal of Roman Studies, Vol.26, No.1, Hlm.97-113. 38 D.M. Griffiths. 1970. “American Commercial Diplomacy in Russia, 1780 to 1783”, dalam The William and Mary Quarterly, Vol.27, No.3, Hlm.379-410. 39 T.H. Lloyd. 1991. England and the German Hanse, 1157-1611: A Study of Their Trade and Commercial Diplomacy. Cambridge: Cambridge University Press. 40 H. Rahusen-de Bruyn Kops. 2002. “Not Such an Unpromising Beginning: The First Dutch Trade Embassy to China, 1655-1657”, dalam Modern Asian Studies, Vol.36, No.3, Hlm.535-578. 41 Olivier Naray. Op. Cit. Hlm.2 35
14
masa lampau yang memandang promosi perdagangan dan promosi investasi sebagai dua hal yang berbeda, perekonomian masa kontemporer lebih memandang keduanya sebagai dua hal yang saling berkaitan42, hingga akhirnya menjadi pijakan bagi diplomasi komersial untuk menyetarakan prioritas kedua aktivitas promosi tersebut. Hal ini sekaligus menandai peran penting diplomasi komersial sebagai suatu orientasi baru dalam mengejar keuntungan ekonomi di era globalisasi. Antusiasme negaranegara terhadap diplomasi komersial pun terlihat dari adanya peningkatan jumlah negara yang memprioritaskan upaya diplomasi komersial43 dalam mencapai tujuan internasionalnya, serta adanya peningkatan pengeluaran negara yang ditujukan untuk pemberian dukungan bisnis44. Di sisi lain, globalisasi juga turut dianggap telah mengubah definisi diplomat komersial secara mendasar.45 Peralihan peran diplomat komersial terjadi akibat adanya penyetaraan prioritas promosi perdagangan dengan promosi investasi dalam praktek diplomasi komersial di era kekinian. Diplomat komersial kontemporer tidak hanya berperan pasif dengan mengumpulkan dan menyalurkan informasi, tetapi juga berperan aktif karena sekaligus memasarkan produk negara dan memasarkan negaranya sebagai lokasi yang menarik untuk investasi.46
42
Alexandre Mercier. Op. Cit. Donna Lee dan David Hudson. Op. Cit. 44 Huub J.M. Ruel, Sirp de Boer, dan Wouter ten Haaf. Op. Cit. Hlm.3 45 Mustafa Ilker Ozdem dan Michael J. Struett. 2009. Government Agencies in Commercial Diplomacy: Seeking the Optimal Agency Structure for Foreign Trade Policy. North Carolina State University. Hlm.8 46 Ibid. Hlm.8 43
15
Jika ditinjau dari sudut pandang interpretasi di tingkat mikro, maka praktek diplomasi komersial dapat ditemukan dalam segala bentuk aktivitas pemerintah yang dinilai dapat memberikan dampak secara nyata bagi perkembangan bisnis dalam negerinya di luar batas-batas negara. Salah satunya dapat dilihat pada tulisan Garten dan Shinn tentang peran diplomat komersial AS di Asia dan manfaatnya bagi perkembangan bisnis AS.47 Tulisan serupa juga ditemukan pada penelitian Potter terhadap Kanada, yang berisi ulasan tentang nilai tambah fungsi diplomat komersial bagi bisnis dalam negeri.48 Sedangkan untuk data kuantitatif dapat merujuk pada tulisan Rose karena ia memaparkan tentang hasil perhitungannya yang membuktikan bahwa angka ekspor akan meningkat sebesar 6-10% bagi negara yang mengirimkan perwakilan diplomatiknya ke negara lain.49 Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Lederman, Olarreaga, dan Payga juga turut melengkapi jajaran bukti atas peran penting pemerintah di balik perkembangan bisnis dalam negeri, yaitu melalui tulisannya yang mengungkap bahwa diplomasi komersial memberikan dampak yang signifikan bagi ekspor nasional, membantu mengurangi hambatan perdagangan di luar negeri, serta membantu meluruskan informasi yang bersifat asimetris berkat peran yang dimainkan oleh seorang diplomat komersial.50
47
Jeffrey Garten dan James Shinn. 1998. Riding the Tigers: American Commercial Diplomacy in Asia. New York: Council on Foreign Relations. 48 Evan H. Potter. Op.Cit. 49 Andrew K. Rose. 2005. The Foreign Service and Foreign Trade: Embassies as Export Promotion. Cambridge: National Bureau of Economic Research. 50 Daniel Lederman, Marcelo Olarreaga, dan Lucy Payton. 2009. “Export Promotion Agencies Revisisted”, dalam World Bank Policy Research Working Paper, No.5125.
16
I.3.3 Signifikansi Diplomasi Komersial bagi Pemerintah dan Pelaku Bisnis Dari beragam kajian terhadap konsep diplomasi komersial untuk interpretasi di tingkat mikro, tidak sedikit penulis yang menekankan bahwa diplomasi komersial merupakan unsur penting yang harus dipertahankan di era globalisasi. Argumen tersebut dikemukakan sebagai respon atas sengitnya persaingan dalam perekonomian global yang kini tengah dihadapi oleh pemerintah dan pelaku bisnis, baik dari negara maju maupun negara berkembang.51 Persaingan sebagaimana yang dimaksud dalam hal ini adalah persaingan dalam kondisi ketika perekonomian dunia menjadi semakin kompleks dengan terbentuknya suatu pasar tunggal52, sebagai akibat dari munculnya peluang sekaligus ancaman pasar global.53 Globalisasi tidak hanya telah membuka peluang munculnya pemain ekonomi baru yang berasal dari segala penjuru dunia, tetapi juga telah menuntut para pemain ekonomi untuk dapat bersaing secara strategis dengan memanfaatkan kebaikan globalisasi dalam hal kemudahan akses informasi dan komunikasi. Kondisi inilah yang harus ditanggapi dengan baik oleh pemerintah maupun pelaku bisnis. Ketidakmampuan pemerintah untuk mengikuti perkembangan perekonomian global tersebut hanya akan menghambat upayanya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menyediakan lapangan kerja, menghasilkan keuntungan, dan memiliki tabungan yang cukup bagi kebutuhan domestik.54 Sedangkan bagi pelaku bisnis,
51
Ibid. Hlm.11 Ibid. Hlm.16 53 Olivier Naray. Op. Cit. Hlm.2 54 E. Garter. 1997. “Business and Foreign Affairs”, dalam Foreign Affairs, Vol.76, No.3. 52
17
seiring dengan semakin kompleksnya perekonomian global, akan semakin besar pula kemungkinan resiko yang ia hadapi ketika mencoba mencari keuntungan dengan mengadu nasibnya di dunia luar.55 Persengketaan akibat hak kekayaan intelektual dan peraturan bisnis yang bersifat diskriminatif adalah dua dari sekian banyak kemungkinan resiko yang bisa saja dihadapi oleh pelaku bisnis tersebut. Dalam kondisi perekonomian global demikian, diplomasi komersial dibutuhkan sebagai suatu kerangka kerja sama yang akan mengakomodasi kepentingan pemerintah dan pelaku bisnis sekaligus. Dalam tulisannya, Wouter ten Haaf mengemukakan bahwa pelaku bisnis membutuhkan peran pemerintah dalam hal liberalisasi perdagangan, melindungi hak kekayaan intelektual, mengurangi hambatan peraturan bisnis, dan mendorong keberlangsungan integrasi ekonomi.56 Terwujudnya diplomasi komersial akan membantu mereka dalam menyediakan commercial intelligence
(pengumpulan
informasi),
memberikan
dukungan
(lobby),
dan
melakukan promosi (advocacy) bisnis baik berupa negosiasi formal maupun informal dalam berbagai macam aktivitas pemerintah.57 Sedangkan manfaat diplomasi komersial
yang
diperoleh
pemerintah
adalah
pertumbuhan
ekonomi
dan
kemakmuran.58 Jika merujuk pada tulisan Kotabe dan Czinkota, manfaat diplomasi komersial bagi pemerintah tersebut dapat lebih dispesifikkan berupa penciptaan
55
Olivier Naray. Op. Cit. Hlm.4 Wouter ten Haaf. 2010. Commercial Diplomacy and the Role of Embassies, from a Target Group Perspective. Tesis Mahasiswa Strata-2. University of Twente. Hlm.16 57 Ibid. Hlm.20 58 Huub J.M. Ruel dan Lennart H. Zuidema. 2012. “The Effectiveness of Commercial Diplomacy”, dalam Discussion Papers in Diplomacy. Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’. Hlm.6 56
18
lapangan kerja, peningkatan pendapatan pajak, integrasi ekonomi, dan stimulasi pertumbuhan ekonomi nasionalnya.59 Melalui diplomasi komersial, kepentingan keduanya akan dapat terpenuhi jika pemerintah bersedia untuk menjalin hubungan diplomatiknya
dengan
negara
lain,
sebagai
upaya
untuk
mewujudkan
internasionalisasi komersial.60 Berbeda dengan Wouter ten Haaf maupun Kotabe dan Czinkota, Naray beserta Ruel dan Zuidema melihat peran penting diplomasi komersial secara lebih terstruktur. Mereka membagi manfaat diplomasi komersial menjadi dua kategori, yaitu menfaat langsung yang dirasakan oleh pelaku bisnis dan manfaat tidak langsung yang dirasakan oleh pemerintah.61 Ruel dan Zuidema merujuk manfaat langsung pada peningkatan nilai tambah bagi perusahaan dalam negeri. Sedangkan Naray menganalisanya secara lebih jauh dengan mengemukakan bahwa manfaat bagi pelaku bisnis tidak hanya semata-mata berupa keuntungan materi dengan adanya internasionalisasi bisnis, tetapi juga dalam hal meminimalisir resiko ketika memasuki arena internasional, perlindungan bagi pengoperasian dan pengembangan bisnis, serta kemudahan dalam peraturan dan jasa berkat negosiasi yang diperankan oleh pemerintah.62 Sementara itu, manfaat tidak langsung sebagaimana yang dimaksud oleh Ruel dan Zuidema adalah peningkatan kemakmuran negara. Agak sedikit berbeda dengan Ruel dan Zuidema, Naray cenderung melihat manfaat tidak langsung 59
M. Kotabe dan M.R. Czinkota. Op. Cit. Wouter ten Haaf. Op. Cit. Hlm.11 61 a) Olivier Naray. Op. Cit. Hlm.4 b) Huub J.M. Ruel dan Lennart H. Zuidema. Op. Cit. Hlm.7 62 Olivier Naray. Op. Cit. Hlm.4 60
19
dari sisi image-building, yaitu berupa peningkatan citra negara di dunia internasional. Citra negara yang positif untuk selanjutnya akan memberikan efek timbal balik bagi pelaku bisnis karena citra perusahaan mereka juga bergantung pada citra negara. 63 Di dalam tulisannya, Ruel juga menekankan beberapa alasan mengapa aktor pemerintah dan pelaku bisnis dapat dan harus bekerja sama dalam memanfaatkan sarana dan saluran diplomatik sebaik mungkin dengan alasan komersial. 64 Pertama, jaringan diplomatik dapat menghasilkan economic intelligence yang tidak dapat diperoleh dengan cara lain. Kedua, aktivitas diplomatik biasanya lebih terlihat di media sehingga dapat menarik perhatian tanpa harus mengeluarkan biaya yang mahal. Dengan kata lain, aktivitas diplomatik secara tidak langsung dapat mengandung unsur pemasaran. Ketiga, jaringan diplomatik pada umumnya dapat memperoleh akses kontak dengan lebih mudah dan lebih berpengaruh terhadap orang-orang penting yang berkaitan dengan dunia bisnis. Keempat, jaringan diplomatik memiliki faktor kepercayaan yang tinggi sehingga lebih mudah menarik para investor asing. Kelima, intelligence yang didapatkan melalui jaringan diplomatik bersifat terpusat, sehingga dapat menciptakan efisiensi bagi sektor bisnis dan juga menjaga stabilitas perputaran bisnis. Kebutuhan untuk melakukan diplomasi komersial di era kekinian semakin meningkat dari hari ke hari. Diplomasi komersial bagaikan suatu elemen kritis bagi peningkatan perdagangan internasional, pertumbuhan ekonomi, dan kemamuran suatu
63 64
Ibid. Huub J.M. Ruel. Op. Cit. Hlm.21
20
negara. Kontrak bernilai jutaan atau bahkan miliaran dolar dapat disepakati berkat adanya peran diplomat komersial yang seakan berhasil membuka gerbang yang sebelumnya masih tertutup rapat.65 Oleh karena itu, melalui serangkaian aktivitas promosi bisnis dan fasilitasi, pemerintah diharapkan dapat mendorong perusahaan untuk mengembangkan bisnis mereka secara internasional. Dari beberapa kajian terhadap diplomasi komersial, Kostecki dan Naray menyimpulkan sejumlah hal yang dianggap sebagai penyebab meningkatnya kebutuhan akan diplomasi komersial dewasa ini.66 Pertama, adanya kebutuhan terhadap akses infomasi bisnis yang netral dan dapat dipercaya. Kedua, dibutuhkan dukungan untuk meningkatkan kredibilitas dan citra bagi para pemain baru di dunia bisnis ketika mereka mulai mencoba memasuki pasar asing. Ketiga, untuk menemukan rekan bisnis yang tepat bagi pelaku bisnis domestik, dalam upayanya melakukan internasionalisasi bisnis. Keempat, peran penting pemerintah dalam menangani konflik yang berkaitan dengan pengembangan bisnis. Kelima, untuk mendukung perwakilan home country, seperti ketika menteri ditemani oleh pelaku bisnis dalam kunjungannya ke suatu negara. Keenam, persoalan strategis, yaitu seperti keterlibatan pemerintah dalam pembuatan kebijakan perdagangan, dukungan terhadap aktivitas Penelitian dan Pengembangan (Research and Development/R&D), atau dalam hal peningkatan akses yang berkaitan dengan pengembangan bisnis dalam negeri.
65 66
Lennart H. Zuidema. Op. Cit. Hlm.1 Michel Kostecki dan Olivier Naray. Op. Cit.
21
Sementara itu, terkait dengan koordinasi antara pemerintah dengan pelaku bisnis, Okano-Heijmans memberikan catatan bahwa di dalam suatu aktivitas diplomasi komersial, peran utama akan dimainkan oleh pelaku bisnis, sementara pemerintah hanya berperan sebagai penyedia fasilitas.67 Dengan kata lain, pelaku bisnis lah yang bertugas untuk menginisiasi dan mengadakan kerja sama bisnis dengan pihak asing, sementara aktor pemerintah bertugas untuk mendukung upaya yang tengah dilakukan oleh pelaku bisnis tersebut. Bentuk dukungan nyata yang dapat diberikan oleh pemerintah dalam hal ini di antaranya adalah ketika diplomat memainkan perannya sebagai humas (hubungan masyarakat) yang bertugas untuk memelihara kontak baik dengan para pelaku bisnis dari negara lain. Dukungan lain juga dapat berupa perlindungan bagi pelaku bisnis home country ketika melakukan konsultasi dengan host country, atau sebaliknya, yang sebagian besar dilakukan secara bilateral.68 Meskipun duta besar dan kementerian luar negeri berperan besar dalam mengorganisir internasionalisasi bisnis, namun kehadiran dan komunikasi pelaku bisnis secara langsung tetap menjadi unsur yang utama.69
I.3.4 Strategi Promosi Investasi Persaingan ekonomi yang meningkat tajam memaksa pemerintah untuk tidak mengabaikan peran investor dan modal, seiring dengan semakin tingginya perhatian
67
Maaike Okano-Heijmans. Op. Cit. Michel Kostecki dan Olivier Naray. Op. Cit. 69 Huub J.M. Ruel. Op. Cit. Hlm.20 68
22
pemerintah terhadap keberlangsungan ekonomi negaranya.70 Kebaikan investasi asing bagi perekonomian suatu negara memang telah mendapatkan pengakuan dari kalangan akademisi maupun praktisi, terbukti dari banyaknya kajian mengenai kontribusi positif investasi asing terhadap host country. Salah satunya dapat ditemukan dalam tulisan Laura Alfaro dkk, yang mengemukakan bahwa investasi asing tidak hanya menguntungkan dari sisi alih teknologi, tetapi juga dari sisi peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara.71 Selain itu, kesetaraan prioritas antara promosi perdagangan dengan promosi investasi dalam diplomasi komersial juga dapat menjadi bukti bahwa manfaat ekonomi yang diperoleh dari investasi asing memang layak untuk disejajarkan dengan hasil ekspor. Sebagai upaya untuk menarik investasi asing, Wells dan Wint menawarkan tiga pendekatan promosi investasi yang terdiri dari image-building, investmentgeneration, dan investment-services.72 Menurut mereka, strategi dalam melakukan promosi investasi terletak pada pemilihan kombinasi di antara ketiga pendekatan tersebut. Image-building ditujukan untuk membangun citra negara sebagai suatu lokasi yang strategis bagi perkembangan bisnis para investor asing. 73 Pendekatan ini dapat digunakan ketika aktor ingin melakukan aktivitas promosi investasi secara umum, yaitu ke semua calon investor asing di semua sektor, tanpa ada kriteria
70
Mustafa Ilker Ozdem dan Michael J. Struett. Op. Cit. Hlm.2 Laura Alfaro, dkk. 2006. How Does Foreign Direct Investment Promote Economic Growth? Exploring the Effects of Financial Markets on Linkages, dalam NBER Working Paper, No.12522. Hlm.1 72 Louis T. Wells dan Alvin G. Wint. 2000. “Marketing a Country: Promotion as a Tool for Attracting Foreign Investment”, dalam FIAS Occasional Paper, No.13, Hlm.22-26. 73 Ibid. Hlm.22 71
23
khusus. Beberapa aktivitas yang termasuk ke dalam pendekatan ini di antaranya adalah pengiklanan di media keuangan; partisipasi pada pameran investasi; pengiklanan pada media yang khusus memuat tentang industri atau sektor bisnis; melakukan misi investasi umum dari home country ke host country atau sebaliknya; dan melakukan seminar informasi umum pada berbagai kesempatan yang berkaitan dengan investasi. Sedangkan investment-generation ditujukan untuk menghasilkan investasi asing secara langsung, dengan mempromosikan investasi suatu sektor tertentu terhadap beberapa calon investor asing yang dibidik berdasarkan kriteria-kriteria khusus.74 Kriteria tersebut meliputi industri; sektor; wilayah geografis; dan keunggulan calon investor jika ditinjau dari kondisi negara asalnya, seperti ukuran, tingkat pertumbuhan ekonomi, intensitas ekspor hasil produksi, serta keunggulan lain yang membuat calon investor tersebut dinilai prospektif.75 Pendekatan ini meliputi sejumlah aktivitas seperti memberikan surat secara langsung atau melakukan kampanye telemarketing; melakukan misi investasi untuk industri atau sektor tertentu dari home country ke host country atau sebaliknya; melakukan seminar untuk informasi yang berkaitan dengan industri atau sektor tertentu; serta melakukan penelitian pada perusahaan tertentu dan diikuti dengan presentasi yang bertajuk penjualan.
74 75
Ibid. Hlm.24 Ibid. Hlm.41-42
24
Sementara itu, investment-services ditujukan untuk menyediakan jasa bagi para calon investor yang prospektif, maupun bagi investor asing yang telah merealisasikan investasinya.76 Beberapa aktivitas yang termasuk ke dalam pendekatan ini adalah menyediakan jasa konseling terkait investasi; mempercepat proses pengajuan dan perijinan; dan menyediakan jasa-jasa lain yang dibutuhkan pasca penanaman investasi. Dari ketiga pendekatan tersebut, Morisset lebih memilih investmentgeneration sebagai pendekatan yang harus dijadikan sebagai orientasi utama oleh setiap negara dalam melakukan promosi investasi.77 Sedangkan Wells dan Wint justru menganggap bahwa kombinasi antara image-building dan investmentgeneration lah yang akan menjadi strategi paling tepat untuk mempromosikan negara sebagai suatu lokasi investasi.78 Menurut mereka, di dalam upaya promosi investasi nanti, kedua pendekatan tersebut akan dikembangkan secara bergantian dalam bentuk siklus. Awalnya pemerintah akan menerapkan pendekatan image-building untuk menunjukkan kepada investor asing bahwa pemerintah mengapresiasi peran investasi asing bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan mengemukakan ajakannya agar mereka bersedia untuk melakukan investasi. Ketika citra negaranya sudah mulai mendapatkan respon positif dari para investor asing, pemerintah pun akan beralih
76
Ibid. Hlm.26 J. Morisset. 2003. “Does a Country Need a Promotion Agency to Attract Foreign Direct Investment?”, dalam World Bank Policy Research Working Paper, No.3028. Hlm.32. 78 Ibid. Hlm.26 77
25
menggunakan pendekatan investment-generation untuk segera merealisasikan ketertarikan investor asing terhadap negaranya.79 Sementara itu, beberapa penulis lain tampak mengunggulkan image-building dibandingkan kedua pendekatan lainnya. Salah satunya adalah Mercier yang memandang image-building sebagai pendekatan yang sesuai untuk mengawali promosi investasi, terlebih bagi negara berkembang.80 Di sisi lain, terdapat tulisan Lederman, Olarreaga, dan Payton yang menyiratkan bahwa image-building merupakan salah satu unsur penting dalam diplomasi komersial.81 Hal serupa juga ditemukan pada tulisan Naray, yaitu dalam pernyataan yang menyebutkan tentang image-building sebagai isu strategis dalam diplomasi komersial.82 Menurutnya, alasan mengapa image-building berperan penting adalah karena bagi para pelaku bisnis yang baru, potensi bisnis mereka bergantung pada citra perusahaan yang kuat, positif, dan dibangun secara internasional.83 Contoh penerapan pendekatan image-building dalam diplomasi komersial salah satunya dapat ditemukan pada tulisan Potter yang mengulas tentang pengalaman Kanada.84 Di antara tiga pendekatan yang dikemukakan oleh Wells dan Wint, Kanada menerapkan image-building sebagai strategi dalam mempromosikan investasinya. Dalam upaya promosi investasi ini, Kanada berusaha membangun citra negaranya sebagai sumber dan lokasi berteknologi tinggi, serta memiliki industri 79
Ibid. Hlm.26-27 Alexandre Mercier. Op. Cit. Hlm.7 81 Daniel Lederman, Marcelo Olarreaga, dan Lucy Payton. Op. Cit. 82 Olivier Naray. Op. Cit. Hlm.5 83 Ibid. Hlm.5 84 Evan H. Potter. Op. Cit. 80
26
dengan nilai tambah yang tinggi.85 Padahal, selama ini Kanada dikenal oleh para investor asing sebagai negara yang perekonomiannya berbasis pada sumber daya yang dimilikinya.86 Apa yang dilakukan oleh Kanada tersebut menunjukkan bahwa dalam suatu upaya promosi investasi, terdapat beberapa hal yang memang dianggap perlu untuk ditonjolkan agar dapat menarik perhatian investor asing. Beberapa tulisan yang membahas mengenai hal ini di antaranya adalah Olins yang berpendapat bahwa promosi investasi harus diawali dengan memaparkan keunggulan terkait ketersediaan tenaga ahli, kecenderungan untuk menjadi rekan bisnis yang dapat dipercaya, serta ketersediaan infrastruktur yang memadai.87 Sedangkan menurut Rose, yang dianggap paling berpengaruh dalam upaya promosi investasi adalah ukuran dan potensi pasar.88
I.4 Kerangka Konseptual Jika diplomasi komersial Indonesia dalam upaya pengembangan industri smelter bauksit dipetakan berdasarkan kerangka diplomasi komersial Potter, maka yang akan menjadi realisasi dari aktivitas utama yang berupa promotion of FDI adalah promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan oleh perusahaan tambang lokal ke perusahaan tambang asing. Selain itu, aktivitas dukungan juga akan turut terrealisasi seiring dengan terrealisasinya aktivitas utama tersebut. Realisasi dari 85
Alexandre Mercier. Op. Cit. Hlm.14 Evan H. Potter. Op. Cit. Hlm.58 87 Wally Olins. 2002. “Branding the Nation – The Historical Context”, dalam Journal of Brand Management, Vol.9, No.4-5. 88 Andrew K. Rose. Op. Cit. 86
27
aktivitas dukungan ini nantinya akan berupa empat dukungan diplomatik pemerintah terhadap promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan oleh perusahaan tambang lokal. Pertama, intelligence, memberikan informasi seputar peluang investasi di bidang pertambangan, dengan memposisikan Indonesia sebagai host country dan negara asal dari perusahaan tambang asing sebagai home country. Kedua, networking and public relations, membangun hubungan bisnis melalui promosi kerja sama ekonomi.
Ketiga,
contract
negotiator
of
implementation,
menegosiasikan
pemberlakuan UU No.4 Tahun 2009 Tentang Minerba yang telah mengakibatkan munculnya larangan ekspor bauksit. Keempat, problem-solving, memberikan solusi atas potensi masalah investasi yang dikhawatirkan oleh perusahaan tambang asing. Sedangkan, jika merujuk pada strategi promosi investasi yang dikemukakan oleh Wells dan Wint, maka strategi promosi investasi yang dapat diterapkan dalam upaya pengembangan industri smelter bauksit di Indonesia akan terdiri dari tiga pendekatan yang dapat saling dikombinasikan satu sama lain. Pertama, pendekatan image-building. Promosi investasi smelter bauksit bukan dirancang untuk menarik investasi perusahaan tambang asing secara langsung, melainkan untuk membangun citra Indonesia sebagai suatu lokasi yang strategis bagi perkembangan bisnis para investor asing. Investasi smelter bauksit dipromosikan sebagai peluang investasi secara umum, untuk menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peluang investasi yang tersebar di seluruh wilayahnya. Kedua, pendekatan investment-generation. Promosi investasi smelter bauksit sengaja dirancang untuk menarik investasi perusahaan tambang asing secara langsung. Investasi smelter bauksit dipromosikan sebagai 28
jawaban atas pemberlakuan UU No.4 Tahun 2009 Tentang Minerba. Ketiga, pendekatan investment-services. Promosi investasi smelter bauksit khusus dirancang untuk menyoroti kelebihan Indonesia dari sisi iklim investasi. Investasi smelter bauksit dipromosikan sebagai peluang investasi yang akan terus mendapatkan perhatian dari pemerintah. Kombinasi pendekatan yang memungkinkan untuk diterapkan sebagai strategi promosi investasi smelter bauksit adalah kombinasi antara pendekatan image-building, investment-generation, dan investment-services, atau hanya pendekatan investment-generation dan investment-services. Jalan cerita dari realisasi aktivitas utama dan aktivitas dukungan dalam diplomasi komersial Indonesia tidak mengalir dengan sendirinya, tetapi diarahkan oleh strategi promosi investasi smelter bauksit yang demikian, sehingga tersusunlah suatu pola perwujudan diplomasi komersial Indonesia. Pola diplomasi komersial Indonesia yang akan terwujud dalam promosi investasi smelter bauksit akan terdiri dari lima tahapan aktivitas diplomasi komersial. Pertama, tahap aktivitas networking and public relations. Kedua, tahap aktivitas intelligence. Ketiga, tahap aktivitas contract negotiator of implementation. Keempat, tahap aktivitas promotion of FDI. Kelima, tahap aktivitas problem-solving.
I.5 Argumen Utama Dalam upayanya untuk mengembangkan industri smelter bauksit di dalam negerinya, Indonesia mewujudkan diplomasi komersial yang berupa promosi investasi smelter bauksit. Promosi investasi smelter bauksit dilakukan oleh 29
pemerintah dan perusahaan tambang lokal melalui suatu pola tahapan aktivitas diplomasi komersial. Dalam konteks Jepang, tahapan aktivitas diplomasi komersial adalah dimulai dari networking and public relations, intelligence, contract negotiator of implementation, promotion of FDI, hingga problem-solving; dan strategi promosi investasi yang diterapkan adalah kombinasi antara pendekatan investment-generation dengan investment-services. Sedangkan tahapan aktivitas diplomasi komersial dalam konteks China adalah dimulai dari networking and public relations, intelligence, promotion of FDI, hingga problem-solving; dan strategi promosi yang diterapkan adalah kombinasi antara pendekatan image-building, investment-generation, dan investment-services. Dari kedua konteks tersebut, terungkap adanya perbedaan pola perwujudan diplomasi komersial Indonesia dan strategi promosi investasi yang diterapkan. Perbedaan pola perwujudan diplomasi komersial Indonesia terletak pada aktivitas contract negotiator of implementation yang tidak terdapat dalam konteks China, tetapi terdapat dalam konteks Jepang. Perbedaan demikian bukan diakibatkan oleh penerapan strategi promosi investasi yang berbeda, melainkan oleh obyek sasaran promosi investasi yang berbeda. Perbedaan sikap antara Jepang dan China terhadap pemberlakuan UU No.4 Tahun 2009 Tentang Minerba telah mengakibatkan Indonesia menerapkan pola perwujudan diplomasi komersial yang berbeda untuk masing-masing obyek sasaran promosi investasi tersebut. Sedangkan perbedaan strategi promosi investasi itu sendiri hanya berdampak pada perbedaan materi promosi investasi yang disampaikan pada aktivitas diplomasi komersial. Perbedaan pola perwujudan diplomasi komersial Indonesia ini sekaligus menandai bahwa 30
Indonesia tidak memiliki pola yang tetap
ketika mewujudkan diplomasi
komersialnya.
I.6 Metode Penelitian Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer akan diperolah dari wawancara yang dilakukan dengan sejumlah pihak terkait, di antaranya yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perindustrian, Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan sejumlah perusahaan tambang lokal. Sedangkan data sekunder akan diperoleh dari buku; artikel dan jurnal; tesis; dokumen dan situs pemerintah; media cetak; dan internet. Melalui kedua data tersebut, penulis akan menggali informasi seputar perkembangan industri smelter bauksit di Indonesia beserta upaya promosi investasi yang telah dilakukan untuk mengembangkannya.
I.7 Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan Garis besar penelitian akan dijelaskan melalui beberapa hal yang tertuang dalam bab ini, yaitu mulai dari latar belakang, rumusan masalah, studi literatur, kerangka konseptual, argumen utama, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
31
Bab II : Perkembangan Industri Smelter Bauksit di Indonesia Awal dari bahasan dalam bab ini akan mengulas tentang latar belakang pengembangan industri smelter bauksit dan signifikansi pembangunan smelter bauksit bagi Indonesia. Sedangkan untuk inti dari bahasan akan mengulas tentang realisasi pembangunan smelter bauksit dan keterlibatan perusahaan tambang asing, yaitu Jepang dan China, dalam realisasi pembangunan smelter bauksit tersebut.
Bab III : Perwujudan Diplomasi Komersial Indonesia Bahasan dalam bab ini akan diawali dengan mengulas tentang aktor diplomasi. Kemudian, bahasan tersebut akan dilanjutkan dengan mengulas tentang tahapan aktivitas diplomasi komersial, yaitu dimulai dari tahap aktivitas networking and public relations, intelligence, contract negotiator of implementation, promotion of FDI, hingga tahap aktivitas problem-solving. Realisasi dari masing-masing tahap aktivitas diplomasi komersial tersebut ditunjukkan dengan mengambil contoh kasus promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan oleh Indonesia ke Jepang dan China.
Bab IV : Perbedaan Pola Perwujudan Diplomasi Komersial Indonesia Awal dari bahasan dalam bab ini akan mengulas tentang pola perwujudan diplomasi komersial Indonesia untuk masing-masing contoh kasus, yaitu konteks Jepang dan konteks China. Sedangkan, untuk mengetahui penyebab dari perbedaan pola perwujudan diplomasi komersial Indonesia di antara kedua konteks tersebut, inti 32
dari bahasan akan mengulas tentang pengaruh strategi promosi investasi terhadap pola perwujudan diplomasi komersial dan pengaruh obyek sasaran promosi investasi terhadap pola perwujudan diplomasi komersial. Akhir dari bahasan akan mengulas tentang relevansi kerangka diplomasi komersial Potter.
Bab V : Kesimpulan Sebagai akhir dari penelitian ini, penulis akan menarik suatu benang merah antara kerangka konseptual, argumen utama, dan data temuan penulis.
33