BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jamur tiram merupakan komoditas hortikultura yang kaya akan protein dan saat ini masyarakat lebih memilihnya sebagai sumber nutrisi. Siswono (2003) menjelaskan bahwa jamur tiram merupakan sumber protein nabati yang rendah kolesterol sehingga dapat mencegah penyakit darah tinggi (hipertensi) dan aman bagi mereka yang rentan terhadap serangan jantung. Karena banyak manfaat jamur bagi kesehatan, komoditas ini mulai diminati oleh masyarakat secara luas. Dari tahun ke tahun permintaan masyarakat terhadap jamur tiram terus mengalami peningkatan. Menurut Riyanto (2010), kebutuhan masyarakat terhadap jamur tiram untuk kota Yogyakarta adalah 200 – 250 kg per hari, Semarang 350 kg per hari, Bandung 500 kg per hari, Tasikmalaya 300 kg per hari, Tangerang 3.000 kg per hari. Permintaan akan jamur yang terus meningkat telah memotivasi petani untuk melakukan budidaya jamur termasuk jamur tiram. Namun budidaya jamur tiram mengalami kendala di daerah dengan suhu diatas 22oC. Cahaya et al. (1997) menjelaskan bahwa suhu pertumbuhan jamur tiram pada saat inkubasi lebih tinggi dibandingkan suhu pada saat pertumbuhan tubuh tanaman. Suhu inkubasi berkisar antara 22oC – 28oC, sedang suhu untuk pertumbuhan berkisar antara 16oC – 22oC. Dikatakan lebih lanjut oleh Suriawiria (2001) bahwa jamur tiram akan tumbuh pada daerah dataran tinggi dengan kisaran temperatur 22oC – 28oC sedangkan untuk daerah dataran rendah dengan temperatur diatas 28 oC jamur ini masih
1
dapat tumbuh walaupun agak terhambat dengan hasil produksi yang terbatas. Dengan demikian agar jamur tiram mampu tumbuh dan berproduksi secara optimum, maka harus dibudidayakan pada daerah dataran tinggi berhawa sejuk seperti Kaliurang, Tawang Mangu dan Dieng. Untuk bisa melakukan budidaya jamur tiram di dataran rendah dengan suhu yang relatif panas diperlukan rekayasa iklim mikro pada bangunan pertanian. Pada umumnya jamur tiram dibudidayakan pada sebuah bangunan yang disebut kumbung. Bangunan ini berfungsi untuk melindungi jamur dari cahaya matahari. Selain membutuhkan suhu yang rendah, jamur tiram tidak menyukai cahaya matahari. Cahaya matahari yang sangat kuat dapat menghambat pertumbuhan dan merusak vitamin yang dibentuk oleh jamur (Riyanto, 2010). Kumbung di daerah dataran rendah harus mampu menyediakan iklim mikro yang optimum untuk pertumbuhan jamur. Untuk menciptakan kondisi atmosfer yang sesuai dengan syarat tumbuh jamur, biasanya petani di daerah dataran rendah secara tradisional menyiram lantai, atap dan dinding kumbung. Ada beberapa kelemahan dari metode ini yakni boros air, biaya dan tenaga. Oleh karena itu diperlukan suatu teknologi yang dapat mengatasi kelemahan dari metode ini. Penelitian ini memperkenalkan evaporative cooler sebagai teknologi rekayasa lingkungan bangunan pertanian. Evaporative cooler adalah serangkaian alat yang mampu mempertahankan kelembaban, suhu udara dan dapat menjamin adanya supply oksigen yang cukup di dalam bangunan pertanian seperti kumbung jamur. Teknologi ini sudah banyak dipakai pada usaha peternakan untuk menjaga suhu dan kelembaban dalam kandang sapi, ayam dan ulat sutera. Pada prinsipnya
2
evaporative cooler merupakan alat penguap yang terdiri dari bagian penggerak udara, pad (terbuat dari bahan alami atau kawat kasa) dan air. Udara akan bergerak melewati pad yang basah sehingga terjadi proses perpindahan panas dan massa yang mengakibatkan penurunan suhu dan kenaikan kelembaban di dalam bangunan pertanian. Sibiastika (2007) menggunakan evaporative cooler dengan 1 pad pada kumbung jamur mampu menciptakan kelembaban optimum untuk pertumbuhan jamur. Bahan yang digunakan sebagai media distribusi air (pad) pada penelitian tersebut adalah serabut kelapa. Serabut kelapa merupakan bahan organik yang umur pakainya tidak dapat bertahan lama sehingga pada penelitian ini akan digunakan pad dari bahan kawat kasa karena bahan ini dapat bertahan lama, murah dan praktis. Selain itu perlu dilakukan pengamatan pengaruh penggunaan evaporative cooler pada kumbung jamur dengan bahan kawat kasa terhadap perubahan kelembaban dan suhu agar sesuai dengan syarat tumbuh jamur tiram. Air sebagai media yang akan didistribusikan pada pad mempunyai peranan untuk mendinginkan suhu kumbung. Semakin besar perbedaan antara suhu udara yang akan dilewatkan pada pad dengan suhu air, maka panas yang diserap juga semakin besar. Untuk itu perlu adanya penelitian tentang pengaruh variasi suhu air terhadap penurunan suhu dan kenaikan kelembaban udara dalam kumbung. Selain itu analisa pertumbuhan jamur tiram yang meliputi tinggi dan diameter juga menjadi tujuan penelitian ini. Bagaimanapun pertumbuhan dan produktivitas tanaman sangat dipengaruhi oleh kondisi atmosfer khususnya iklim mikro.
3
1.2.Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa secara matematis penggunaan evaporative cooler dalam kumbung jamur terhadap kinetika kondisi udara dan pertumbuhan jamur yang ada di dalamnya. 1.2.1. Tujuan Khusus 1.
Mengetahui karakteristik iklim mikro (kelembaban dan suhu) pada kumbung yang dilengkapi dengan evaporative cooler yang disertai dengan variasi suhu air.
2.
Mengetahui efisiensi pendinginan udara dalam kumbung oleh evaporative cooler yang disertai dengan variasi suhu air.
3.
Menganalisis kinetika udara (suhu dan kelembaban) pada berbagai variasi suhu air evaporative cooler.
4.
Menganalisis kinetika pertumbuhan jamur pada berbagai variasi suhu air evaporative cooler.
5.
Memprediksi tinggi dan diameter jamur tiram dengan model matematis berdasarkan kinetika udara.
1.3. Batasan Masalah 1.
Baglog yang digunakan dalam penelitian untuk tiap perlakuan dianggap seragam (homogen).
2.
Bangunan kumbung dianggap tertutup sempurna. Artinya tidak ada laju udara yang masuk dari luar kecuali berasal dari evaporative cooler.
4
3.
Kondisi cuaca khususnya ketika terjadi hujan mempengaruhi iklim mikro di dalam kumbung sehingga data pengamatan pada kondisi ini tidak masuk kedalam analisis.
4.
Posisi baglog jamur adalah sama yakni berdiri pada rak untuk semua perlakuan agar memudahkan dalam pengukuran tinggi dan diameter.
1.4. Manfaat Penelitian ini bermanfaat bagi petani maupun dunia ilmu pengetahuan karena memberikan informasi tentang cara memodifikasi iklim mikro (suhu dan kelembaban) agar sesuai dengan syarat tumbuh jamur tiram di dataran rendah.
5