1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk sosial. Dalam menjalankan kodratnya sebagai makhluk sosial, manusia hidup bermasyarakat dan saling membentuk hubungan antara yang satu dengan yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang beraneka ragam. Pemenuhan kebutuhan manusia sebagaimana dimaksud diatas akan dapat tercapai bilamana manusia itu sendiri mengadakan hubungan dimana dalam hubungan ini akan melahirkan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik. Hubungan yang melahirkan hak dan kewajiban sejenis ini disebut dengan hubungan hukum, dalam arti bahwa tiap-tiap hubungan hukum mempunyai dua sisi, pada satu sisi ia merupakan hak dan pada sisi lainnya ia merupakan kewajiban. Dalam keberlakuannya, hubungan-hubungan hukum yang tercipta dalam masyarakat tidak selalu akan berjalan dengan lancar dengan pengertian bahwa hubungan-hubungan hukum sebagaimana dimaksud diatas dalam perjalanannya sangat dimungkinkan akan menimbulkan konflik. Demi terwujudnya prinsip negara hukum yang menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang dijiwai oleh kebenaran dan keadilan, maka dibutuhkan berbagai regulasi yang mengatur mengenai hal tersebut.
2
Dalam tataran yang luas, regulasi-regulasi sebagaimana dimaksud diatas berbentuk Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan sebagainya. Namun hal ini belumlah cukup karena begitu kompleksnya dinamika perkembangan masyarakat serta di sisi lain, sifat pengaturan dari regulasi-regulasi tersebut yang menjangkau secara umum dalam artian sifat pengaturannya tidak melingkupi kebutuhan-kebutuhan para subyek hukum secara perdata. Tidak
diakomodirnya
kebutuhan-kebutuhan
para
subyek
hukum
sebagaimana dimaksud diatas dalam tataran yang lebih sempit dapat dirangkum dan diatur secara individu dalam suatu perjanjian yang dibuat antar subyek hukum tersebut, baik antara orang perseorangan dengan badan hukum, antara sesama orang perserorangan maupun antara sesama badan hukum. Walaupun dibuat secara individu, sejatinya daya ikat suatu perjanjian dapat disamakan dengan undang-undang. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disingkat dengan KUH Perdata) yang mengamanatkan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata didefinisikan sebagai “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Terkait dengan itu, perjanjian menurut namanya dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam, yaitu perjanjian nominaat (bernama) dan perjanjian innominaat (tidak bernama). Perjajian nominaat adalah perjanjian atau kontrak yang dikenal dalam KUH Perdata. Hal-hal yang termasuk dalam
3
perjanjian nominaat ini adalah jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dan lain-lain. Sedangkan perjanjian innominaat adalah perjanjian yang belum diatur dalam KUH Perdata dan perjanjian jenis ini timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. 1 Dalam keberlakuannya, jenis perjanjian yang paling sering ditemui di masyarakat adalah perjanjian jual beli barang dan/atau jasa, baik berbentuk tertulis maupun lisan. “Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan”. 2 Perjanjian jenis ini lumrahnya digunakan bagi obyek perjanjian yang nilai ekonomisnya tinggi, seperti tanah dan bangunan. Sedangkan perjanjian lisan adalah “suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk lisan (cukup kesepakatan para pihak)”. 3 Umumnya perjanjian lisan digunakan sebagai tanda kesepakatan hubungan transaksional para pihak yang berkenaan dengan nilai ekonomis obyek perjanjiannya dalam kisaran menengah ke bawah seperti halnya kendaraan, furniture, dll. Seiring dengan perkembangan informasi dan teknologi yang semakin pesat dewasa ini yang sejalan dengan perkembangan globalisasi telah membawa berbagai dampak positif diantaranya adalah terciptanya internet. Dengan adanya internet tidak dapat dipungkiri membawa berbagai pengaruh pada setiap aspek kehidupan manusia tak terkecuali dalam hal perjanjian itu sendiri yang awalnya 1
H. Salim HS., 2006, Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUH Perdata, RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat H. Salim HS. I), h. 1. 2
H. Salim HS., H. Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, 2008, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding, Ed. I, Cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, h. 16. 3
Ibid.
4
berbentuk konvensional (tertulis dan lisan) kini telah muncul suatu bentuk perjanjian baru, yaitu perjanjian atau kontrak elektronik. Tanpa mengenal batasan ruang dan waktu, para subyek hukum yang berbeda wilayah dalam satu waktu yang sama dapat mengikatkan dirinya dalam konteks hubungan transaksionalnya. Solusi dari perikatan sebagaimana dimaksud adalah
menuangkannya
dalam
bentuk
perjanjian/kontrak
elektronik.
Perjanjian/kontrak elektronik menurut Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (yang selanjutnya disingkat dengan UU ITE) merupakan suatu perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik. Mengenai Sistem elektronik itu sendiri didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 UU ITE yang menyatakan bahwa “Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. Adapun yang menjadi ciri-ciri khusus dari perjanjian/kontrak elektronik adalah “dapat terjadi secara jarak jauh bahkan dapat melampaui batas-batas suatu negara melalui internet dan para pihak dalam perjanjian/kontrak elektronik tidak pernah bertatap muka (faceless nature), bahkan mungkin tidak akan pernah bertemu”. 4 Berkaitan dengan uraian diatas, dalam transaksi jual beli online secara umum kondisinya adalah pihak pembeli tidak dapat melihat maupun mencoba 4
Sukarmi, 2008, Cyber Law : Kontrak Elektronik dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha, Pustaka Sutra, Bandung, h. 140.
5
fisik barang yang menjadi obyek perjanjian secara langsung. Dikatakan demikian karena pada umumnya mekanisme dalam transaksi jual beli online berbasis media internet antara pihak penjual dengan pihak pembeli melakukan transaksi tanpa melalui tatap muka dimana hal ini diawali dengan tindakan pihak pembeli yang melakukan pencarian katalog barang yang diinginkan melalui sebuah situs internet. Setelah itu, bila pihak pembeli telah menentukan pilihan atas barang yang dikehendaki, maka ia akan menghubungi kontak yang tertera pada katalog barang tersebut, baik melalui media telepon, email, Blackberry Messenger, dll., lalu bersepakat untuk melakukan transaksi. Di akhir prosesnya yang biasanya dikarenakan perbedaan tempat antara pihak penjual dan pihak pembeli yang cukup jauh, lumrahnya barang yang telah disepakati akan dikirimkan melalui jasa pengiriman barang (ekspedisi), yang tentunya telah dibayarkan terlebih dahulu oleh pihak pembeli baik melalui transfer rekening antar bank maupun melalui media pembayaran lainnya. Sebagai contohnya adalah dalam situs berniaga.com. Situs ini merupakan situs jual beli online berbasis media internet yang beroperasi di bawah bendera perusahaan PT. 701 Search, sebuah perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan media patungan antara Singapore Press Holdings (SPH) dan Schibsted Classified Media (SCM). Situs ini sudah beroperasi sejak Desember 2009 dan menawarkan jasa penjualan barang secara gratis, seperti properti, kendaraan, furniture, barangbarang elektronik, dan lain-lain, 5 sepanjang barang-barang tersebut adalah barangbarang yang diperbolehkan/tidak dilarang menurut hukum positif Indonesia. 5
Wikipedia, 2014, “berniaga.com”, http://id.wikipedia.org/wiki/berniaga.com, diakses pada tanggal 1 Oktober 2014.
6
Lumrahnya pihak penjual yang menjual barang dagangannya melalui situs ini adalah orang perseorangan yang langsung memiliki barang second hand atau bekas pakai namun kondisinya tetap laik untuk digunakan. Sebagaimana diuraikan diatas, bahwa situs berniaga.com merupakan situs internet yang menawarkan jasa penjualan untuk berbagai jenis barang dimana pada hakikatnya situs ini hanya sebagai perantara pihak penjual dan pihak pembeli dalam hubungan transaksionalnya, dalam artian bahwa situs ini bukanlah situs jual beli online berbasis media internet yang secara langsung melakukan kegiatan perdagangan barang. Dengan kondisi yang sedemikian rupa, dimana pihak penjual dan pihak pembeli yang tidak melakukan tatap muka dalam transaksinya ditambah dengan pihak pembeli yang tidak dapat melihat maupun mencoba fisik barang/obyek perjanjian secara langsung, sangat dimungkinkan menimbulkan permasalahan. Dikatakan demikian, bilamana setelah barang sebagaimana dimaksud diatas diserahkan kepada pihak pembeli ternyata mengandung suatu cacat tersembunyi. Terlebih lagi, dalam melakukan hubungan transaksionalnya, para pihak seakan telah mempercayai satu sama lain sehingga tidak sedetail mungkin merumuskan perjanjian tersebut. Dalam UU ITE sendiri tidak mengatur secara eksplisit mengenai cacat tersembunyi sebagaimana dimaksud diatas dan segala akibat yang dapat ditimbulkan. UU ITE hanya mengatur mengenai keharusan pelaku usaha untuk menyediakan informasi yang lengkap dan benar tentang syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan sebagaimana rumusan Pasal 9 yang menyatakan
7
bahwa “Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”. Dalam Penjelasannya ditentukan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘informasi yang lengkap dan benar’ meliputi: a. Informasi
yang
memuat
identitas
serta
status
subjek
hukum
dan
kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara; dan b. Informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa”. Sebagai peraturan pelaksanaan dari UU ITE, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (untuk selanjutnya disingkat dengan PP PSTE) dalam Pasal 49 ayat (2) mengamanatkan bahwa “Pelaku usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan”. Sedangkan dalam ayat (3) dinyatakan bahwa “Pelaku usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi”. Frasa “informasi yang lengkap dan benar” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU ITE dan frasa “kejelasan informasi tentang penawaran kontrak” dalam ketentuan Pasal 49 ayat (2) PP PSTE sejatinya sama sekali tidak menyinggung tentang cacat tersembunyi itu. Hanya dalam rumusan Pasal 49 ayat (3) PP PSTE
8
ditentukan batas waktu bagi konsumen untuk mengembalikan barang yang mengandung cacat tersembunyi. Dari ketentuan pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada satupun penjelasan yang definitif mengenai cacat tersembunyi. Dalam KUH Perdata sendiri juga tidak dirumuskan secara eksplisit mengenai apa itu cacat tersembunyi. Perumusan cacat tersembunyi dalam KUH Perdata hanya sebatas kewajiban penanggungan pihak penjual terhadap pihak pembeli dimana hal ini senada dengan ketentuan Pasal 49 ayat (3) PP PSTE. Hal ini secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 1491 KUH Perdata yang mengamanatkan bahwa “Penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap si pembeli, adalah untuk menjamin 2 (dua) hal, yaitu pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram; kedua terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut yang tersembunyi, atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya”. Terkait dengan uraian diatas, terdapat frasa “menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya”. Frasa ini sejatinya mengarah pada batalnya perjanjian jual beli (secara elektronik) sebagai akibat dari adanya cacat tersembunyi pada barang/obyek perjanjian. Namun yang menjadi persoalan adalah batalnya perjanjian tersebut dikualifikasikan sebagai apa? Apakah perjanjian yang bersangkutan dapat dibatalkan ataukah perjanjian tersebut batal demi hukum. Karena hal tersebut akan berimplikasi pada klasifikasi cacat tersembunyi itu sendiri sebagai suatu hal yang melanggar atau tidak memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
9
Di sisi lain, sebagaimana perumusan Pasal 9 UU ITE yang telah disebutkan diatas, terdapat frasa “Pelaku usaha”. Frasa ini seakan multitafsir karena tidak jelas siapa yang dimaksud dengan pelaku usaha tersebut. Merujuk pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang selanjutnya disingkat dengan UU PK) menyatakan bahwa “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
baik
sendiri
maupun
bersama-sama
melalui
perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Penjelasan pasal ini mengamanatkan bahwa: “Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, badan usaha milik negara, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain”. Apabila dicermati rumusan Penjelasan pasal diatas, bahwa Pelaku usaha yang dimaksud adalah pelaku usaha yang berskala besar dimana dalam menjalankan
kegiatan
usahanya
lebih
ditujukan
untuk
kepentingan
bisnis/usaha/profesinya. Bilamana dikaitkan dengan kegiatan jual beli melalui perantara situs berniaga.com sebagaimana dimaksud diatas, maka peraturan perundang-undangan tersebut sejatinya belum mengatur secara detail mengenai cacat tersembunyi yang sangat dimungkinkan terjadi dalam kerangka hubungan transaksional para pihak tanpa adanya tatap muka. Di sisi lain, UU ITE juga belum merumuskan secara jelas siapa yang dimaksud pelaku usaha, apakah pelaku usaha tersebut meliputi
10
pihak penjual barang second hand milik pribadi yang bukan termasuk ke dalam golongan professional seller. Tidak jelasnya rumusan norma dalam Pasal 9 UU ITE dapat mengakibatkan multitafsir mengenai tanggung jawab pihak penjual dan akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari adanya cacat tersembunyi pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik. Berdasarkan adanya kekaburan norma (vague van normen) ini, maka sangat menarik untuk disusun skripsi dengan judul : “Tanggung Jawab Pihak Penjual Terhadap Cacat Tersembunyi Pada Barang/ObyekPerjanjian Jual Beli Dengan Sistem Elektronik”.
1.2 Rumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan, adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada 2 (dua) hal, yaitu: 1. Apakah pihak penjual yang menjual barang dagangannya melalui situs berniaga.com dapat dikatakan sebagai pelaku usaha dalam kaitan dengan pertanggung jawabannya terhadap cacat tersembunyi yang terdapat pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik? 2. Bagaimanakah akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari adanya cacat tersembunyi pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik yang telah diserahkan kepada pihak pembeli?
11
1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk mendapatkan gambaran umum tentang apa yang akan diuraikan dalam skripsi ini, maka perlu kiranya ditentukan lingkup permasalahannya sebagai berikut: Terhadap permasalahan pertama, akan dikemukakan tentang kualifikasi dan tanggung jawab pelaku usaha sebagai pihak penjual dalam transaksi jual beli online melalui situs berniaga.com terhadap cacat tersembunyi pada barang/obyek perjanjian, yang berkaitan dengan pengertian pelaku usaha, kedudukan pihak penjual dalam transaksi jual beli online melalui situs berniaga.com, hak dan kewajiban pihak penjual, serta tanggung jawab pihak penjual. Terhadap permasalahan kedua, akan dijabarkan mengenai akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari adanya cacat tersembunyi pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik yang telah diserahkan kepada pihak pembeli, dalam hal ini dapat berupa pembatalan perjanjian, pemenuhan prestasi oleh pihak penjual (dengan atau tanpa disertai ganti rugi) atau pemutusan perjanjian.
1.4 Orisinalitas Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang menyangkut masalah “Tanggung Jawab Pihak Penjual Terhadap Cacat Tersembunyi Pada Barang/Obyek Perjanjian Jual Beli Dengan Sistem Elektronik”, tidak ditemukan karya tulis yang sama meneliti tentang hal tersebut.
12
Untuk menjamin orisinalitas penelitian dalam skripsi ini, maka disajikan beberapa penelitian sebelumnya yang mengangkat tema yang serupa, diantaranya: Moh. Yuda Sudawan, 2013, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, dengan judul “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Virtual Office”, menggunakan metode penelitian yuridis empiris, dengan perumusan masalah : Pertama, bagaimana keabsahan perjanjian sewa-menyewa online kantor perusahaan pada Virtual Office?. Kedua, bagaimana tanggung jawab hukum penyedia jasa Virtual Office?. Rizsky Marlina Lubis, 2009, Skripsi Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara, Medan, dengan judul “Tinjauan Yuridis Mengenai Tanggung Jawab Pelaku Usaha dalam Memberikan Informasi Produk pada Transaksi E-Commerce”, menggunakan metode yuridis normatif, dengan perumusan masalah: Pertama, Apakah batasan-batasan terhadap informasi yang lengkap dan benar dalam transaksi E-commerce?, kedua, bagaimanakah pertanggung jawaban pelaku usaha jika tidak melaksanakan kewajibannya untuk memberikan informasi yang lengkap dan benar dalam transaksi E-commerce?, ketiga, apakah ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha terhadap pertanggung jawaban tersebut dapat diterapkan?.
1.5 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus.
13
1.5.1 Tujuan umum. 1. Untuk mengetahui apakah pihak penjual yang menjual barang dagangannya melalui situs berniaga.com dapat dikatakan sebagai pelaku usaha dalam kaitan dengan pertanggung jawabannya terhadap cacat tersembunyi yang terdapat pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik. 2. Untuk mengetahui bagaimanakah akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari adanya cacat tersembunyi pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik yang telah diserahkan kepada pihak pembeli. 1.5.2 Tujuan khusus. Berdasarkan pada tujuan umum diatas dan dengan menekankan pada aspek normatifnya, adapun tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan yang dibahas, yakni: 1. Untuk memahami apakah pihak penjual yang menjual barang dagangannya melalui situs berniaga.com dapat dikatakan sebagai pelaku usaha dalam kaitan dengan pertanggung jawabannya terhadap cacat tersembunyi yang terdapat pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik. 2. Untuk memahami bagaimanakah akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari adanya cacat tersembunyi pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik yang telah diserahkan kepada pihak pembeli.
1.6 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik yang bersifat teoritis maupun manfaat praktis, diantaranya:
14
1.6.1 Manfaat teoritis. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran sebagai penambah wawasan ataupun refrensi melalui pemahaman terhadap konsep tanggung jawab pihak penjual terhadap cacat tersembunyi pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik beserta akibat hukum yang dapat ditimbulkannya. 1.6.2 Manfaat praktis. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pedoman untuk menyelesaikan permasalahan sejenis baik bagi pemerintah, pengusaha, mahasiswa atau siapapun yang berkaitan dengan kegiatan transaksi jual beli online melalui situs internet.
1.7 Landasan Teoritis Teori berasal dari kata theoria dalam Bahasa Latin yang berarti perenungan, dan kata theoria itu sendiri berasal dari kata thea yang dalam Bahasa Yunani berarti cara atau hasil pandang. 6 Adapun landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Konsep tanggung jawab, Asas konsensualisme, Asas pacta sunt servanda serta Asas iktikad baik.
6
Soetandyo Wignyosoebroto, 2002, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma, Jakarta, h. 179.
15
1.7.1 Konsep tanggung jawab. Secara terminologi, tanggung jawab berarti “keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut), dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya ”. 7 Menurut Frans Magnis Suseno, tanggung jawab merupakan kesediaan dasariah untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Respondeo ergo sum (aku bertanggung jawab, jadi aku ada), demikian tegas Emmanuel Levinas. Adapun uraiannya sebagai berikut: kebebasan memberikan pilihan bagi manusia untuk bersikap dan berperilaku. Oleh karena itu, manusia wajib bertanggung jawab atas pilihan yang telah dibuatnya. Pertimbangan moral baru akan mempunyai arti apabila manusia tersebut mampu dan/atau mau bertanggung jawab atas pilihan yang dibuatnya. Dengan bahasa yang lebih sederhana dikatakan, bahwa pertimbangan-pertimbangan moral hanya mungkin ditujukan bagi orang yang dapat dan/atau mau bertanggung jawab. 8 Berkenaan dengan uraian diatas, konsep tanggung jawab ditinjau dari sudut pandang yuridis merumuskan bahwa subyek hukum diwajibkan menanggung segala akibat dari perbuatannya baik karena kesengajaan maupun karena kealpaan. Dalam hal ini, “Hans Kelsen mengemukakan sebuah teori yang ia sebut dengan teori tradisional, dimana dalam teori ini, tanggung jawab dibedakan
7
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1006. 8
Frans Magnis Suseno, 2000, Dua Belas Tokoh Etika Abad ke-21, Kanisius, Yogyakarta, h. 87.
16
menjadi 2 (dua) macam, yaitu (a) tanggung jawab yang didasarkan atas kesalahan; dan (b) tanggung jawab mutlak”. 9 Tanggung jawab yang didasarkan atas kesalahan baik karena kesengajaan maupun kealpaan merupakan suatu tanggung jawab yang dibebankan kepada subyek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan yang dinilai melanggar hukum. Sedangkan tanggung jawab mutlak, bahwa perbuatannya menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang dan ada suatu hubungan eksternal antara perbuatannya dengan akibatnya. Tiadanya keadaan jiwa si pelaku dengan akibat perbuatannya. 10 1.7.2 Asas konsensualisme. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata merumuskan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Istilah ‘secara sah’ bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah (menurut hukum) adalah mengikat (vide Pasal 1320 KUH Perdata), karena di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. 11 Secara sederhana, asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup
9
H. Salim HS., Erlis Septiana Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Disertasi dan Tesis (Buku Kedua), Cet. I, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 211. 10
Ibid., h. 212.
11
Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil, Ed. I, Cet. II, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, h. 120.
17
dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. 12 Dikaitkan dengan bentuk perjanjian elektronik, sejatinya para pihak dalam kerangka hubungan transaksionalnya telah bersepakat untuk menuangkannya dalam
bentuk
tersebut.
Tanpa
didasari
kesepakatan
para
pihak
akan
mengakibatkan perjanjian tersebut tidak sah dan juga tidak mengikat sebagaimana layaknya suatu undang-undang. 1.7.3 Asas pacta sunt servanda. Pada dasarnya janji itu mengikat, sehingga perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Untuk memberikan kekuatan daya berlaku atau daya mengikat suatu perjanjian, maka perjanjian yang dibuat secara sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang. Asas pacta sunt servanda merupakan konsekuensi logis dari efek berlakunya kekuatan mengikat suatu perjanjian 13 dimana hal ini secara tegas dirumuskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Asas pacta sunt servanda ini pada dasarnya mengandung makna bahwa: 14 1. Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya; dan 2. Mengisyaratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang termaktub dalam perjanjian merupakan suatu pelanggaran terhadap janji tersebut dan akan berakibat pada perjanjian itu sendiri. 12
H. Salim HS., 2003, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Cet. I, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat H. Salim HS. II), h. 10. 13
Agus Yudha Hernoko, op. cit., h. 124.
14
Harry Purwanto, 2009, “Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional”, Mimbar Hukum, Volume 21 Nomor 1, Februari 2009, h. 162.
18
Dengan adanya suatu cacat tersembunyi pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik, maka akan dapat berakibat pada perjanjian itu sendiri, baik berupa pembatalan perjanjian atau pemutusan perjanjian itu sendiri. 1.7.4 Asas iktikad baik. Rumusan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyatakan bahwa “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘iktikad’ didefinisikan sebagai “kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan (yang baik)”. 15 Jadi dapat dirumuskan bahwa asas iktikad baik ini adalah asas yang menghendaki dan/atau mengharuskan para pihak melaksanakan substansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik. Asas iktikad baik dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis berdasarkan sifatnya, yaitu iktikad baik nisbi (relatif-subyektif) dan iktikad baik mutlak (absolut-obyektif). Pada iktikad baik yang nisbi (relatif-subyektif), orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subyek. Pada iktikad baik yang absolut-obyektif atau hal yang sesuai dengan akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran obyektif untuk menilai keadaan sekitar perbuatan hukumnya (penilaian tidak memihak menurut norma-norma yang obyektif). 16 Khusus mengenai iktikad baik yang bersifat relatif-subyektif memiliki keterkaitan yang erat dengan tindakan pihak penjual yang menjual barang dagangannya yang mengandung suatu cacat tersembunyi. Bilamana pihak penjual
15
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h. 369.
16
Agus Yudha Hernoko, op. cit., h. 137.
19
telah
mengetahui
sebelumnya
bahwa
barang
yang
diperdagangkannya
mengandung cacat tersembunyi dan ia tidak juga memberi informasi yang lengkap dan benar kepada pihak pembeli akan hal itu, maka dapat dikatakan bahwa pihak penjual tersebut telah melanggar asas iktikad baik. Hal ini akan melahirkan suatu tanggung jawab yuridis bagi pihak penjual itu sendiri.
1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis penelitian. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu “suatu cara untuk mendapatkan data-data dari bahan-bahan kepustakaan terutama yang berhubungan mengenai masalah hukum”. 17 Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara mengkaji hukum dalam Law in Book (yang dikonsepsikan sebagai apa yang termaktub dalam peraturan perundangundangan) dan bahan hukum lain di luar peraturan perundang-undangan seperti doktrin atau pendapat para sarjana. Penelitian ini beranjak dari kekaburan norma tentang maksud dari frasa “informasi yang lengkap dan benar” dan frasa “pelaku usaha” dalam rumusan Pasal 9 UU ITE dimana pada akhirnya kekaburan norma ini bermuara pada tidak jelasnya batasan ruang lingkup pelaku usaha dalam konteks sebagai pihak penjual dalam transaksi jual beli online melalui situs internet yang menawarkan jasa penjualan barang, ruang lingkup mengenai cacat tersembunyi, pertanggung jawaban pihak penjual tersebut serta akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari 17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 41.
20
adanya cacat tersembunyi pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik. 1.8.2 Jenis pendekatan. Jenis pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan perundangundangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua undangundang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani, 18 dimana dalam kaitan dengan penelitian ini, pengkajian dan penelaahan dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tanggung jawab pihak penjual dikaitkan dengan adanya cacat tersembunyi pada barang/obyek perjanjian jual beli dengan sistem elektronik. Pendekatan konseptual dilakukan dengan cara menemukan konsep-konsep yang terkait dengan permasalahan yang sedang diteliti. 1.8.3 Sumber bahan hukum. Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 1. Bahan hukum primer, terdiri dari: a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (terjemahan Burgelijk Wetboek oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio); b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
18
Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, h. 93.
21
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; dan d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. 2. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat membantu atau menunjang bahan hukum primer dimana pada akhirnya akan memperkuat penjelasan dalam penelitian ini, yang diantaranya meliputi: literatur-literatur, jurnal-jurnal hukum, dan karya tulis dalam bidang hukum (tesis/ skripsi) serta bahan hukum tertulis lainnya yang terkait. 3. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang sifatnya membantu atau menunjang bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya terdiri dari kamus dan ensiklopedia hukum serta tulisan-tulisan yang diakses melalui internet yang tentunya masih relevan dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dalam tulisan ini. 1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan sistem bola salju (snow ball system) dimana hal ini diawali dengan pencarian literatur, dari satu literatur dengan merujuk pada daftar pustaka untuk kemudian dicatat dan dilakukan pencarian literatur lainnya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
22
Demikian untuk seterusnya sehingga bahan hukum telah dirasa cukup untuk membahas permasalahan. 1.8.5 Teknik analisis bahan hukum. Dalam penelitian ini, teknik analisis bahan hukum yang dipergunakan adalah teknik deskripsi. Analisis dilakukan dengan memaparkan isu hukum dengan menguraikannya secara lengkap dan jelas untuk selanjutnya dilakukan pengklasifikasian terhadap bahan-bahan hukum tertulis melalui proses analisis dan dikaitkan dengan teori, konsep serta doktrin para sarjana. 19 Selanjutnya, dilakukan penafsiran sistematis dan gramatikal. Penafsiran sistematis dilakukan dengan titik tolak dari suatu konsep/aturan hukum dan mengkaitkannya dengan konsep/aturan hukum lainnya. Sedangkan penafsiran secara gramatikal dilakukan dengan mencari arti/esensi dari suatu substansi aturan secara keseluruhan atau bagian-bagiannya per kalimat menurut bahasa hukum ataupun bahasa keseharian.
19
I Wayan Ananda Yadnya Putra Wijaya, 2013, “Kewenangan Notaris dalam Membuat Akta Risalah Lelang” Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, h. 36.