BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini masyarakat di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya sedang mengalami suatu perubahan yang signifikan di segala bidang. Bali yang merupakan pulau memiliki keindahan dari unsur-unsur yang terkandung di dalamnya seperti adat, budaya, tradisi dan agama yang memiliki suatu relevansi yang saling mendukung satu sama lain. Keadaan seperti ini membuat Bali yang dikenal dengan pulau dewata atau pulaunya para dewa dan pulau seribu pura, hal ini membuat Bali dikenal tidak hanya dilingkup nasional melainkan juga dilingkup dunia internasional. Di lain sisi, terkenalnya Bali hingga di tingkat dunia internasional tidak serta merta memberikan dampak yang positif, akibat dari hal ini masyarakat Bali sendiri tidak luput dari dampak proses globalisasi yang seakan memaksa moral orang-orang Bali itu sendiri harus mengikuti keadaan. Proses globalisasi memberikan banyak kelonggaran dan kebebasan yang hampir tidak terbatas disegala bidang yang mempengaruhi nilai-nilai yang tertanam di dalam benak-benak masyarakat Bali, seperti nilai ketuhanan yang mencakup ajaran-ajaran agama Hindu. Nilai dalam ajaran agama Hindu yang dimaksudkan disini seperti ajaran (Tri Hita Karana,Tat Twam Asi, Tri Kaya Parisudha), nilai kesusilaan yang mencakup tetang tata cara berperilaku di masyarakat, nilai kesopanan yang mencangkup sifat toleransi dan saling menghormati antar sesama manusia di dalam sebuah lingkungan, entah itu 1
lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat dan nilai hukum yang mencangkup norma-norma yang ada di Bali seperti awig-awig, perarem, sima, dresta dan lain-lain. Bali dengan segala keanekaragaman yang dimiliki seperti, adat, tradisi dan budaya, juga memiliki persekutuan masyarakat adat. Secara umum persekutuan masyarakat adat yang di maksud adalah himpunan masyarakat di pedesaaan yang memiliki ikatan/ diikat oleh segala bentuk ketentuan kaedah dan norma diwilayahnya, wilayah yang di maksud dalam hal ini adalah desa adat yang saat ini diubah dengan istilah desa pakraman. Persekutuan masyarakat adat secara spesifikasi dapat pula diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang pada hakekatnya diikat oleh 3 faktor yang subtansial yang terdiri dari faktor, keturunan (genealogis), faktor wilayah (territorial) dan faktor wilayah keturunan / pertalian darah (di Bali biasa disebut dengan istilah kawitan, dadia, soroh), serta memiliki kekayaan materiil dan imateriil. Kesatuan masyarakat hukum adat secara konstitusi telah mendapat pengkuan dari norma dasar yaitu Pasal 18B Ayat 2 dan Pasal 28I Ayat 3 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1 Secara organisatoris, di Bali terdapat dualisme sistem pemerintahan yaitu desa dinas dan desa pakraman (desa adat). Secara umum gambaran atau ciri fisik atas desa dinas dan desa pakraman dapat dijabarkan sebagai berikut:
1
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra ,2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Cet 1, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 4. (selanjutnya di sebut dengan Wayan P. Windia dan I Ketut Sudantra I).
2
a. Desa mempunyai dua arti yaitu desa pakraman (desa adat) dan desa dinas (desa administratif). b. Terdapat 2 jenis model pemerintahan yakni pemerintahan desa pakraman dan desa dinas yang masing-masing sering kali menunjukkan dominasi sehingga sering menyebabkan eksistensi desa pakraman semakin memudar dalam bidang pemerintahan. c. Desa dinas merupakan produk administrasi pemerintah sebagai unit pemerintahan terendah di bawah camat sedangkan desa pakraman merupakan suatu lembaga masyarakat tradisional yang dinamakan desa sejak dahulu yang terbentuknya berdasarkan dengan konsep Tri Hita Karana. d. Hubungan kerja antara desa dinas dan desa pakraman bervariasi menurut perkembangan historisnya, luas wilayahnya dan jumlah keanggotaannya dari warga-warga desa yang bersangkutan. e. Warga desa pakraman juga menjadi warga desa dinas yang harus tunduk kepada aturan-aturan yang dikeluarkan oleh kedua jenis desa tersebut, kecuali bagi warga dinas yang tidak menganut agama Hindu yang hanya tunduk kepada desa dinas. f. Dasar hukum tentang pengakuan dan otonomi desa pakraman telah tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 B ayat 2, Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman dan awig-awig sedangkan dasar hukum untuk pengakuan dan otonomi desa dinas telah tercantum pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 3
tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 43 dan Peraturan Daerah (Perda) masing-masing kabupaten.2 Seiring dengan perkembangan jaman diera gobalisasi ini, pertumbuhan penduduk di Bali dewasa ini lajunya semakin pesat. Keadaan seperti ini di sebabkan banyak orang-orang maupun kelompok domestik dan mancanegara berkunjung ke Bali, hal ini disebabkan Bali merupakan salah satu tujuan utama dari destinasi pariwisata yang sangat potensial. Kedatangan orang-orang maupun kelompok tersebut ke Bali memiliki dua kemungkinan, pertama hanya semata-mata berkunjung sementara ke Bali sebagai wisatawan atau kedua ingin menetap dan mencari pekerjaan bahkan ingin mendirikan suatu usaha di Bali. Orang-orang yang datang ke Bali dan tinggal di Bali disebut dengan istilah penduduk pendatang dan bagi mereka yang mendirikan usaha pariwisata disebut dengan istilah pengusaha pariwisata. Akibat dari hal ini jumlah penduduk di Bali akan terus bertambah seiring dengan arus kependudukan yang terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan dengan Keputusan Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor 050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung Pertama Majelis Desa Pakraman Bali tertanggal 3 Maret 2006, penduduk di Bali dapat dikatagorikan menjadi tiga jenis yaitu krama desa (penduduk beragama Hindu dan mipil atau tercatat sebagai anggota desa pakraman), krama tamiu (penduduk beragama Hindu yang tidak mipil atau tidak tercatat sebagai
2
I Wayan Surpha, 1993, Eksistensi Desa Adat Di Bali, Upada Sastra, Bali, h. 2.
4
anggota desa pakraman), dan tamiu adalah penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa pakraman. Kehadiran penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata dalam hal ini selain sebagai faktor penunjang kegiatan pariwisata Bali seperti sarana jaringan kerja (network) juga membukakan sebuah lapangan kerja baru bagi masyarakat Bali. Akan tetapi implikasi dari kehadiran penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata berpotensi merusak keadaan mental orang Bali dan keadaan tradisi maupun budaya yang ada di Bali. Permasalahan kependudukan di Bali merupakan suatu permasalahan yang sangat krusial karena memiliki implikasi yang besar terhadap Bali dan keadaan masyarakatnya. Maka dari itu perlu pola hubungan yang sistematis dan kordinasi antara desa pakraman dan desa dinas mengenai pengaturan dan penangan terhadap penduduk pendatang maupun pengusaha pariwisata. Sebagai warisan jaman kolonial Belanda, pemerintahan desa pada mulanya tidak seragam. Hal ini dapat dipahami karena tata susunan rakyat di desa-desa pada jaman yang lampau mengalami perubahan-perubahan yang berhubungan dengan pengaruh tata susunan administrasi dan pengaruh campur tangan administrasi pemerintahan Hindia Belanda.3 Pasca proklamsi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, munculah produk-produk hukum berupa peraturan perundang-undangan yang salah
3
Bayu Suariningrat, 1981, Pemerintahan dan Administrasi Desa, Aksara Baru, Jakarta, h.85.
5
satu isi subtansinya mengatur tentang otonomi desa seperti, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1984 tentang Pemerintahan Daerah, lalu digantikan dengan Udang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Seiring dengan perkembangan keadaan sistem pemerintahan yang terus menujukan perkembangannya, akhirnya Udang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah digantikan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalam batang tubuhnya mengatur tentang otonomi pemerintahan desa khususnya desa dinas sebagai organ pemerintahan terkecil dan paling bawah yang terdapat dalam Pasal 1angka 43. Desa pakraman sebagai lembaga tradisonal dengan kesatuan masyarakat hukum adatnya juga memiliki otonomi membentuk sebuah sistem pemerintahan dan aturan berdasarkan ketentuan-ketentuan adat/ kebiasaan yang pada umumnya tidak tertulis seperti dalam bentuk sima dan dresta dan tercatatkan seperti awig-awig dan perarem, aturan dalam hal ini berfungsi sebagai social engineering dan social control. Mengenai masalah kependudukan yang dalam hal ini adalah penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata sudah merambah ke setiap desa-desa yang ada di Bali, salah satunya di wilayah tujuan wisata seperti Desa Pakraman Abangan. Secara umum di Desa Pakaman Abangan, kehadiran penduduk pendatang menujukkan perkembangan yang sangat pesat, salah satu diantara penduduk pendatang tersebut telah mendirikan usaha-usaha dibidang pariwisata yang disebut dengan istilah 6
pengusaha pariwisata, ini terlihat dengan banyaknya ada akomodasi atau penunjang/ sarana kegiatan pariwisata seperti: 1. Hotel Puri Sunia Resort 2. Villa Ochid 3. Dandan Sari Dengan keadaan laju pariwisata yang semakin meningkat, warga asli Desa Pakraman Abangan juga mendirikan sebuah usaha sebagai penunjang kegiatan pariwisata antara lain dengan berdirinya Cafe Coffee yang bernama Labak Sari. Situasi sepeti ini memerlukan sebuah aturan mengenai permasalahan kependudukan dan usaha-usaha yang didirikannya tersebut. Aturan disini berperan sebagai alat pengatur masyarakat (social control) agar terciptanya keadaan yang kondusif dan harmonis berdasarkan 3 aspek dasar dari ajaran Tri Hita Karana di Desa Pakraman Abangan dengan hadirnya penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata. Merujuk mengenai pengaturan penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata dalam Awig-awig di Desa Pakraman Abangan, maka terbitlah sebuah instrument pengatur terhadap kehadiran penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata yang tertuang dalam Perarem Desa Pakraman Abangan No. 01/III/DP/Abangan/2014 tentang Hak Dan Kewajiban Penduduk Pendatang atau sementara Di Desa Pakraman Abangan, dan khususnya untuk pengusaha pariwisata ketentuannya telah di atur dalam Paruman Agung Desa Pakraman Abangan, karena ketentuan pengaturan terhadap
penduduk
pendatang
dan
pengusaha 7
pariwisata
belum
terdapat
pengaturannya secara spesifik di dalam Awig-awig Desa Pakraman Abangan. Parerem dalam hal ini merupakan aturan yang bersifat khusus dan lebih bersifat fleksibel dan dinamis tetapi harus tetap tunduk dengan ketentuan nilai-nilai yang ada di dalam awig-awig. Perarem dibuat melalui sebuah pauman desa. Pauman desa merupakan suatu kegiatan rapat besar dengan yang dilakukan oleh perangkat desa dan tokoh-tokoh desa (penglingsir) berdasarkan prinsip dari hukum adat Bali (kasukertan) yang terdiri dari beberapa asas, seperti: a. Kebersamaan (sareng-sareng) b. Kesepakatan (rarem/ perarem/ sabha/ parung/ sangkep) c. Kedamaian (shanti lan santha) Pada dasarnya kehadiran penduduk pendatang khususnya penduduk pendatang berwarganegara Indonesia pada setiap daerah di Indonesia tidak dapat dilarang karena Bali merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mau tidak mau, siap tidak siap akan didatangi oleh penduduk pendatang yang hanya berkunjung ataukah menetap serta mendirikan suatu usaha di Bali.
8
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang belakang tersebut maka penulis tertarik mengangkat sripsi dengan judul PENGATURAN PENDUDUK PENDATANG DAN PENGUSAHA PARIWISATA DALAM AWIG-AWIG DI DESA PAKRAMAN ABANGAN, TEGALLALANG, KABUPATEN GIANYAR 1. Bagaimana pengaturan penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata di Desa Pakraman Abangan? 2. Bagaimana pola hubungan Desa Pakraman Abangan dengan Desa Dinas Tegallalang dalam pengaturan penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata di Desa Pakraman Abangan?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian yang menggambarkan batas penelitian: mempersempit permasalahan dan membatasi areal penelitian.4 Selain itu ruang lingkup masalah memiliki tujuan untuk menunjukkan secara pasti variable-variable mana yang akan diteliti dan mana yang tidak akan diteliti. 5 Mengindari melebarnya pokok bahasan di dalam penulisan skripsi ini, penulis
4
Bambang Sunggono, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet. 7, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.11. 5
Amirudin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, h. 41. (selanjutnya di sebut dengan Amirudin dan H. Zainal Asikin, I)
9
membatasi ruang lingkup masalah atau hal-hal yang berkaitan dengan judul skripsi yang diangkat oleh penulis. Untuk menghindari kesan kesalahpahaman mengenai pemahaman isi usulan penelitian ini maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian: 1. Pada permalahan pertama dibatasi mengenai pengaturan penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata dalam Awig-awig dan Perarem Desa Pakraman Abangan dengan otonominya. 2. Pada permasalahan kedua penulis membatasi dengan melihat pola hubungan antara Desa Pakraman Abangan dan Desa Dinas Tegallalang dalam mengatur penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata di Desa Pakraman Abangan.
1.4. Orisinalitas Penelitian Pada penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian berjudul pengaturan penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata dalam Awig-awig Desa Pakraman Abangan, Tegallalang, Kabupaten Gianyar. Setelah ditelusuri, penulis menemukan 3 (tiga) karya tulis yang berkaitan dengan judul skripsi penulis. Adapun judul karya tulis tersebut adalah:
Pada penelusuran di internet tanggal 15 November 2014 Pukul 09.30 Wita telah ditemukan satu karya tulis dalam bentuk artikel dengan judul Pengaturan Penduduk Pendatang Dalam Awig-Awig Desa Pakraman oleh Dr. I Ketut Sudantra, S.H, M.H selaku dosen pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.
10
Pada tanggal 17 November 2014, ditemukan satu karya tulis dalam bentuk penelitian berjudul Pola Hubungan Antara Desa Dinas Dengan Desa Adat Dalam Penanganan Penduduk Pendatang Di Kecamatan Ubud-Kabupaten Gianyar yang dilakukan pada tahun 2006 oleh A.A Gde Oka Parwata S.H, M.Si dan kawan-kawan selaku dosen di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Pada tanggal 20 November 2014, penulis juga menemukan satu karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul Peranan Desa Pakraman Dalam Penanganan Penduduk Pendatang (Study Kasus Desa Pakraman Padang tegal, Ubud) oleh I Wayan Eka Putra (0516051173) mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana Berdasarkan pada judul dan rumusan masalah yang penulis angkat, tentu
berbeda dengan judul-judul, rumusan masalah serta subtansi pada ketiga karya tulis diatas. Pada skripsi ini penulis menekankan pada bagaimana peranan Desa Pakraman Abangan dalam mengatur penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata serta bagaimana pola hubungan Desa Pakraman Abangan dengan Desa Dinas Tegallalang dalam pengaturan terhadap penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata.
11
1.5. Tujuan Penelitian Tujuan penulisan adalah rumusan tentang sebuah tujuan yang akan dicapai oleh kegiatan penelitian. Tujuan penelitian ini dapat disusun dalam bentuk tujuan umum dan tujuan khusus. 1.5.1 Tujuan Umum 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mengklarifikasi kebijakan Desa Pakraman Abangan dalam sistem kependudukan, khususnya penduduk pendatang serta pengusaha pariwisata yang ada di Desa Pakraman Abangan. 2. Peneliti memiliki keiginan untuk memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu hukum yang memiliki sebuah relevansi terhadap peran desa pakraman dalam penanganan penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata di Bali khususnya di Desa Pakraman Abangan. 1.5.2 Tujuan Khusus 1. Adapun tujuan khusus di dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah peran Desa Pakraman Abangan di dalam kebijakannya yang memiliki otonomi untuk mengatur pengendalian kependudukan, khususnya penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata yang tertera di dalam ketentuan pawos-pawos yang ada di dalam Awig-awig dan Perarem Desa Pakraman Abangan.
12
2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara Desa Pakraman Abangan dan Desa Dinas Tegallalang dalam mengatur penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata di Desa Pakraman Abangan.
1.6. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat secara teoritis maupun secara praktis. 1.6.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat menjadi dedikasi serta dapat memberikan suatu paradigma pada pengembangan dari teoriteori yang berdasarkan ilmu hukum dan memberikan sumbangan yang berarti untuk kajian kritis terhadap peran desa pakraman dalam mengatur, mengurus dan menangangi penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata sesuai otonominya yang berasal dari awig-awig/ perarem serta tidak bertentangan dengan ketentuan hukum nasional. 1.6.2 Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu landasan dasar sesuai dengan prinsip ilmu hukum, khususnya Hukum Adat Bali itu sendiri untuk mendapatkan suatu manfaat terhadap penerapan kebijakan-kebijakan desa pakraman dalam otonominya untuk mengatur kehadiran penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata di desa pakraman tersebut, serta dampak-dampak yang diberikan kepada penduduk lokal akibat dari hadirnya penduduk pendatang dan 13
pengusaha pariwisata. Manfaat praktis juga dapat diterapkan terhadap ketentuanketentuan dari desa dinas dan desa pakraman di dalam suatu koordinasi untuk menyeleksi kedatangan penduduk pendatang dan pengusaha pariwsata, supaya dalam aplikasinya ketentuan dari desa dinas dan desa pakraman tidak terjadi unsur tumpang tindih, di lain sisi manfaat praktis dari penelitian ini dapat memberikan pemahaman penting terhadap aparatur desa dinas, aparatur desa pakraman (prajuru) serta masyarakat, tentang bagaimana seyogyanya dalam menyikapi kehadiran penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata di desa pakraman itu sendiri.
1.7. Landasan Teori Landasan teoritis meliputi: filosofi, teori hukum, asas-asas hukum, norma dan doktrin, yang dipakai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Sebagai landasan dimaksud untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang bersifat konsensus yang diperoleh dari rangklaian upaya penelusuran (controleur baar). Identifikasi landasan teoritis tersebuit diatas tidak boleh bertentangan satu sama lain.6 1.7.1 Teori Di dalam kehidupan masyarakat di Bali, istilah desa memiliki dualisme pengertian. Pengertian pertama merujuk kepada desa dinas, yaitu desa yg menyelenggarakan birokrasi dari pemerintahan sedangkan pengertian kedua merujuk 6
Fakultas Hukum, 2013, Buku Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 75.
14
terhadap pengertian desa pakraman atau yang sering disebut dengan sebutan desa adat yang dalam hal ini sebagai penyelenggaran fungsi sosial religius.7 Desa dinas dalam kontek ini pada dasarnya dapat dikatakan perpanjangan tangan atau pengemban tugas dari negara untuk mengatur kehidupan masyarakat di pedesaan. Dalam hal ini desa dinas merupakan lembaga negara terbawah dibawahi oleh camat. Desa dinas memiliki tanggung jawab untuk mengatur kehidupan masyarakat desa tanpa menurunkan dan menghilangkan eksistensi dari suatu desa pakraman. Sedangkan desa pakraman terbentuk dari perkumpulan kesatuan masyarakat hukum adat yang di ikat oleh 3 faktor yaitu: Faktor keturunan, (genealogis) faktor wilayah (territorial) dan faktor wilayah keturunan/ pertalian darah (dadia, soroh, kawitan) yang mempunyai harta kekayaan berupa harta materiil dan harta imateriil. Di tinjau secara historis desa pakraman di Bali sudah berkembang sejak dahulu kala, tepatnya saat kedatangan dari Rsi Markandeya sekitar abad ke-8. Beliau dianggap sebagai dasar terbentuknya desa pakraman yang didalamnya diatur dasar pola persekutuan hidup masyarakat. Pola kehidupan masyarakat dalam hal ini disebut dengan istilah pakraman yang kemudian dibakukan oleh Mpu Kuturan dengan dasar dari konsep Kahyangan Tiga yang merupakan cikal bakal dan syarat mutlak bagi lahirnya desa pakraman.
7
Ayu Putu Nantri dan I Ketut Sudantra, 1991, “Struktur Organisasi dan Hubungan Antar Lembaga dalam Desa Adat Gianyar”, Laporan Penelitian, Universitas Udayana, Denpasar, h. 1.
15
Secara perspektif historis, desa pakraman (desa adat), sebagai sebuah organisasi sosial religius masyarakat di Bali diyakini ada sejak jaman Bali Kuno, yaitu pada abad 9-14 masehi yang sering disebut dengan istilah Bali Aga. Masyarakat desa pada waktu itu disebut dengan istilah kraman atau karaman, sedangkan untuk menujuk desa digunakan istilah wanua atau banua, seperti tercatat dalam prasasti Desa Trunyan abad ke-10.8 Desa pakraman (desa adat) adalah suatu lembaga tradisonal. Sebagai suatu lembaga desa pakraman mempunyai dua arti diantaranya sebagai wadah dan sebagai pranata (institute dan institutions). Dalam hal ini pranata mengatur hubungan antara warga masyarakat disekitar kepentingan-kepentingan tertentu. Lembaga selalu dalam keadaan bergerak. Dengan demikian pengertian desa pakraman (desa adat) sebagai lembaga dan kesatuan sosial yang mencangkup dua hal yaitu desa adat sendiri sebagai wadah adat istiadat dan hukum adatnya sebagai isi dari wadah tersebut.9 Mengenai kedudukan dari hukum adat, Griffiths mengkaitkan hal ini dengan teorinya tentang pluralisme hukum. Dalam pandangan Griffiths yang membedakan puralisme hukum itu menjadi dua yang terdiri dari weak legal prularism dan strong legal pluralism. Menurut Griffiths pluralisme hukum yang lemah (weak legal prularism) adalah bentuk lain dari sentralisme hukum karena meskipun mengakui 8
I Gede Parimarta, 1998, Desa Adat dalam Pesefektif Sejarah, Dinamika Kebudayaan, Vol. 1, Universitas Udayana, Denpasar, h. 2. 9
A.A Gde Oka Parwata, dkk, 2006, “Pola Hubungan Antara Desa Dinas Dengan Desa Adat Dalam Penanganan Penduduk Pendatang Di Kecamatan Ubud-Kabupaten Gianyar”, Laporan Penelitian, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Udayana Dengan Bappeda Kabupaten Gianyar, h. 35.
16
adanya pluralisme hukum, tetapi hukum negara tetap dipandang superior, sementara hukum-hukum yang lain disatukan dalam hirarkie dibawah hukum negara. Contoh dari pluralisme hukum yang lemah adalah konsep yang diajukan oleh Hooker, dimana dalam konsepnya terkandung walaupun mengakui adanya keanekaragaman sistem hukum, tetapi ia masih menekankan adanya pertentangan antara apa yang disebut dengan municipal law sebagai sistem yang dominan (hukum negara), dengan sevient law yang menurutnya inferior seperti kebiasaaan (hukum adat) dan hukum agama. Sedangkan pluralisme hukum yang kuat menurut Griffiths merupakan produk hukum dari para ilmuwan sosial, adalah pengamatan mengenai fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat disemua (kelompok) masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dipandang sama kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hirarkie yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain. Griffiths sendiri memasukkan pandangan beberapa ahli kedalam pluralisme hukum yang kuat antara lain adalah teori living law dari Eugene Ehrlich, yaitu aturanaturan hukum yang hidup dari tatanan normatif yang dikontraskan dengan hukum negara, yang dalam hal ini di Indonesia biasa disebut dengan sistem hukum adat. Dalam hal ini sebenarnya Ehrlich tidak hanya menunjukkan bahwa ada jurang diantara law on the book dan aturan-aturan dalam kehidupan sosial, tetapi juga bahwa keduanya merupakan katagori yang berbeda secara hakiki. Pandangan lain yang dikatagorikan sebagai pluralisme hukum yang kuat menurut Griffiths adalah teori Sally Falk Moore mengenai pembentukan aturan dengan disertai kekuatan pemaksa di dalam kelompok-kolompok sosial yang diberi 17
label the semi autonomous social field. Sementara itu pengertian hukum dari Moore juga dikutipnya adalah law is the self regulation of a semi autonomous social field. Pandangan Sally Falk Moore jika direlevansikan dengan keadaan hukum adat di Indonesia terkandung bahwa sebuah organisasi adat yang didalamnya ada masyarakat dan lembaga adat yang disebut dengan desa adat atau di Bali sering disebut dengan istilah desa pakraman memiliki sebuah otonomi dalam mengatur wilayah dan masyarakat adatnya beserta memiliki hak untuk membuat norma-norma sendiri untuk berlangsungnya sistem hukum adatnya. Akan tetapi otonomi dari desa adat ini hanya bersifat semi otonom (the semi autonomous social field) dimana dalam pelaksanaan otonominya, desa adat tidak boleh bertentangan atau tetap harus tunduk pada kekuasaan negara. Sedangkan jika dikaitkan dengan sistem hukum adat di Bali yang lembaga hukum adatnya diistilahkan dengan desa pakraman, dalam teori Sally Fack More terkandung bahwa desa pakraman berhak membuat sebuah norma yang dilandasi dengan keadaan dalam masyarakatnya serta adat kebiasannya, akan tetapi dalam hal ini norma-norma yang dimiliki tidak boleh bertentang dengan dasar negara yaitu Pancasila dan norma dasar yaitu Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan disamping itu pula terkadang norma-norma yang berasal dari hukum adat akan berpotensi diintervensi oleh aturan-aturan yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya.10
10
Sulistyowati Irianto, 2000, “Pluralisme Hukum Dan Masyarakat Saat Kritis”, Hukum dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T.O. Ihromi, dalam E.K.M Masinambow (Ed), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta., h. 67.
18
Didasari terhadap asal-usul dan hak-haknya serta pengertian kedua desa tersebut antara desa dinas dan desa pakraman memiliki suatu otonomi yang khusus yang diberikan oleh negara semasih tidak bertentang dengan ketentuan hukum nasional dan norma dasar yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pancasila. Di sisi lain otonomi kedua desa tersebut mestinya tidak terjadi suatu tumpang tindih dan dapat berjalan dengan harmonis dalam pelaksanaan tugas. Desa dinas tunduk dengan ketentuan negara sedangkan desa pakraman pada khususnya tunduk pada ketentuan aturan baik itu tertulis maupun tidak tertulis yang didalamnya terdapat kaedah-kaedah seperti kaedah perintah, kaedah larangan dan kaedah dispensasi yang didalamnya terdapat unsur-unsur kewajiban dan keharusan dan harus dipatuhi oleh warga desa, yang kesemuanya itu tertuang di dalam, awigawig, perarem, sima, dresta, dan dalam hal ini desa pakraman telah mendapatkan pengakuan terhadap hak-hak tradisionalnya secara konstitusi dan mendapat legalitas dari Pasal 18B ayat 2 Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di sisi lain dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 43 mengatakan bahwa desa secara konstitusi telah diakui wewenangnya dalam mengatur dan mengurus wilayah dan masyarakatnya. Terhadap ketentuan tersebut desa berhak melakukan segala jenis kewenangannya dalam mengurus rumah tangganya sendiri dalam daerah otonominya semasih tidak bertentangan dengan norma dasar yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
19
Selain ketentuan umum yang di atur di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Provinsi Bali juga mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman sebagai sebuah aturan yang lebih mendalam dari subtansi desa itu sendiri, karena khususnya di Bali selain desa itu sebagai desa dinas ada pula otonomi dari desa pakraman. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman yang merupakan perubahan dari Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi, Peranan Desa Adat Dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali dan Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Di dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman dijelaskan pengertian desa pakraman tepatnya pada Pasal 1 Angka 4 yang mengatakan “Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama kehidupan masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Pada Peraturan Derah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Desa Pakraman memiliki arti bahwa desa pakraman dan kesatuan masyarakat hukum adatnya itu mempunyai hak-hak tradisional dan istimewa yang harus dihormati. 1.7.2. Asas Suatu asas pada dasarnya merupakan sebuah nilai yang terkandung di dalam sebuah norma dan tata cara bertingkah laku di dalam masyarakat, maka dari itu asas 20
sangat diperlukan terutama dalam pembuatan dan penerapan norma/ aturan yang akan diberlakukan untuk menciptakan keadaan yang kondusif dan harmonis (kasukertan). Berikut akan diuraikan asas-asas yang memiliki keterkaitan dengan penulisan ini: a. Asas kebersamaan (sareng-sareng) Asas
kebersamaan
(communal)
artinya
lebih
mengutamakan
kepentingan bersama dimana kepentingan pribadi itu diliputi oleh kepentingan bersama (satu untuk semua, semua untuk satu/ one for all, all for one). 11 Merujuk pada teori organ dari Otto Von Gierkie bahwa individu tidak mungkin ada/ tidak mungkin hidup tanpa ada masyarakat sehingga individu tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sedangkan menurut Aristoteles filsuf asal Yunani mengacu kepada manusia mahluk sosial mengatakan secara alamiah manusia merupakan binatang politik (zoon politicon) atau seringkali diperhalus dengan mahluk bermasyarakat.12 b. Asas kesepakatan (rarem/ perarem/ sabha/ parung/ sangkep) Asas kesepakatan pada hakekatnya meresepsi dari asas kebersamaan yaitu dimana sebuah keputusan dalam sebuah forum seyogyanya harus mementingkan kepentingan bersama. Dalam asas kesepakatan ini lebih mengutamakan sebuah musyawarah untuk mencapai suatu mufakat (Paras Paros Sagilik Saguluk Salunglung Sabiantaka). Dalam bukunya Tjok Istri Putra Astiti menjelaskan tentang arti dari asas musyawarah tersebut sebagai 11
Tolib Setiady, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Pustaka, Alfabeta, Jakarta,
h.34. 12
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Pranada Media Group, Jakarta, h.107
21
berikut: Asas musyawarah adalah suatu asas yang menegaskan bahwa dalam hidup bermasyarakat segala persoalan yang menyangkut hajat hidup dan kesejahteraan bersama harus dipecahkan bersama oleh anggota-anggotanya atas dasar kebulatan kehendak mereka bersama. Di dalam
asas musyawarah
ada juga asas mufakat, asas mufakat digunakan dalam menyelesaikan perbedaan-perbedaan kepentingan seorang dengan orang lain atas dasar perundingan yang bersangkutan.13 c. Asas kedamaian (shanti lan santha) Asas kedamaian pada hakekatnya akan timbul apabila asas kebersamaan dan kesepakatan sudah berlaku optimal di dalam kehidupan bermasyarakat. Asas kedamaian ini menekankan kepada
setiap masyarakat
dimana dalam melakukan sebuah pemikiran maupun perbuatan apapun seyogyanya didasari dan dilandasi oleh rasa tenang dan damai serta harmonis (trepti, sukerta, sekala niskala). d. Asas Lex Specalis Derogat Lex Generalis Asas ini menekankan dimana kepentingan yang bersifat khusus (specialist) mengesampingkan kepentingan yang bersifat umum (generalis). Sebagai contoh dalam sebuah norma atau aturan yang bersifat nasional seperti undang-undang, di dalam pasalnya terdapat kesenjangan norma dalam artian bersifat merugikan suatu obyek seperti tidak dapat diberlakukan pada suatu
13
Tjok Istri Putra Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Udayana University Press, Denpasar h. 77
22
daerah dan masyarakat tertentu, maka pasal tersebut dapat tidak diberlakukan dengan dalih suatu keadaan yang tidak memungkinkan pasal itu diberlakukan, serta dalam hal ini dapat dibuat suatu peraturan yang lebih khusus terhadap persoalan mengenai keadaan tersebut. e. Asas desentralisasi Menurut Hoogerwarf, desentralisasi merupakan pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan publik yang lebih rendah kedudukannya untuk secara mandiri dan berdasarkan kepentingan sendiri mengambil keputusan dibidang pengaturan (regelendaad) dan dibidang pemerintahan (bestuursdaad).
14
Asas desentralisasi ini merujuk kepada
pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan yang ada dibawahnya dalam menjalankan otonomi secara mandiri. Pada konteks ini pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat merujuk kepada desa dinas yang merupakan salah satu unit pemerintahan terbawah. 1.7.3. Konsep Keberadaan dari desa pakraman itu sendiri di Bali, awal mulanya belum dapat diketahui secara pasti. Akan tetapi lahirnya desa pakraman di Bali merupakan suatu hak yang timbul dari hak asasi masyarakat desa yang dihuni oleh setiap individu yang memiliki naluri untuk untuk hidup bersama di dalam suatu wilayah untuk dapat melakukan kebiasaan-kebiasaan mereka, seperti tradisi dan budaya dalam hal-hal sosial dan keagamaan khususnya Agama Hindu entah itu secara individual maupun 14
Jimmly Asshiddiqie, 2012, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, h. 294
23
kolektif dalam suatu desa pakraman atau banjar. Maka dari itu umat Hindu beranggapan bawah desa pakraman di Bali bukannya hanya sebagai lembaga sosial saja melainkan juga merupakan lembaga untuk menunjang kegiatan keagaaman khususnya agama Hindu yang hidup di dalam desa pakraman tersebut. Dengan demikian, maka istilah desa di Bali dapat di jabarkan mengandung 2 arti yaitu: 1. Desa yang menunjukkan kepada adanya suatu desa yang hidup secara tradisonal sebagai perwujudan dari pada lembaga adat yang disebut desa pakraman. 2. Desa yang menunjuk kepada suatu bentuk desa administratif yang eksistensinya tergantung kepada kehendak penguasa yang semula dinamakan “desa keperbekelan” atau desa dinas.15 Di Bali desa pakraman memiliki suatu ciri-ciri yang bersifat khusus yang jarang dijumpai dalam jenis kesatuan masyarakat hukum adat lainnya. Secara filosofis ciri khusus tersebut adalah sesuatu yang menjiwai kehidupan masyarakat hukum adat di Bali, konsep tersebut di kenal degan istilah Tri Hita Karana yang apabila dijabarkan berdasarkan refrensi yang ada bahwa Tri Hita Karana terbagi menjadi 3 sub bagian yang terdiri dari Tri artinya tiga, Hita artinya kebahagiaan dan Karana artinya penyebab. Dalam konsep ini, sesuai hakekatnya ajaran Tri Hita Karana bertujuan untuk menciptakan suatu keharmonisan di dalam kehidupan memiliki tiga buah subtansi yang dapat diklarifikasi sebagai berikut:
15
I Wayan Surpha, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Penerbit Bali Post, Denpasar,
h.29.
24
1. Hubungan harmonis manusia dengan Tuhan yang dalam hal ini diartikan dengan istilah Parhyangan yang wujud nyatanya dapat diperlihatkan dengan istilah bhakti. 2. Hubungan harmonis manusia dengan sesama manusia yang dalam hal ini diartikan dengan istilah Pawongan yang wujud nyatanya dapat diperlihatkan dengan asah, asih dan asuh menyama braya. 3. Hubungan harmonis manusia dengan lingkungan yang dalam hal diartikan dengan Palemahan yang wujud nyata dapat diperlihatkan dengan istilah rungu.16 Suasana harmonis itu secara konkret diterjemahkan dengan suasana tertib, aman dan damai (trepti, sukerta, sekala niskala). Hal ini merupakan hakekat hidup manusia dalam suatu kehidupan bermasyarakat. Konsep dari ajaran Tri Hita Karana apabila dikaitkan dengan persefektif dari desa pakraman dapat dibagi menjadi tiga bahasan yaitu: a. Parhyangan yaitu adanya Kahyangan desa (Kahyangan Tiga yang terdiri dari: Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem dan Bale agung) sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. b. Palemahan yaitu sebagai wilayah tempat tinggal dan tempat mencari penghidupan sebagai suatu proyeksi dari adanya bhuana yang tunduk dibawah kekuasaan hukum teritorial Bale Agung.
16
I Made Suasthawa Dharmayudha dan I Wayan Koti Cantika, 1991, Filsafat Hukum Adat Bali, Upada Sastra, Denpasar, h. 28.
25
c. Pawongan yaitu warga (penduduk) desa pakraman yang disebut krama desa sebagai suatu kesatuan hidup masyarakat desa pakraman.17 Desa pakraman ditinjau dari sistem pemerintahannya yang memiliki otonomi tersendiri juga mempunyai pembagian tugas dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut. Pembagain tugas dalam menyelenggarakan pemerintahan desa pakraman, yang dalam hal ini meminjam istilah teori Trias Politica dari Montesque yang terdiri fungsi legislatif, eksekutif dan yudisial. Mengenai otonomi desa pakraman, Wirtha Griadi dalam Sudantra menjabarkan isi otonomi dari desa pakraman itu sebagai berikut: a. Kekuasaan menetapkan aturan-aturan hukum yang berlaku bagi mereka. dengan kekuasaan ini desa pakraman menerapkan tata hukumnya sendiri yang meliputi seluruh aspek kehidupan dalam wadah desa pakraman. Aturan-aturan hukum ini lazim disebut dengan nama awig-awig atau perarem desa pakraman. Kekuasaaan dalam menetapkan sebuah aturan diindentikan dengan kekuasaan legislatif dalam lingkungan negara. b. Kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan organisasinya. Dalam menyelenggarakan sebuah kehidupan berorganisasi, desa pakraman memiliki otonomi untuk membuat struktur kepengurusan di desa pakraman itu sendiri sebagai wadah untuk menjalankan otonomi desa pakraman tersebut sebagai kegiatan sosial dan agama. Susunan prajuru adat ini bervariasi terutama 17
I Ketut Sudantra, , 1999, “Formalisasi Forum Komunikasi Antar Desa Adat Dalam Penyelesaian Persoalan-Persoalan Hukum yang dihadapi Desa Adat”, Kertha Patrika, Majalah Ilmu Hukum Unud, No. 72, Edisi XXIV.
26
berhubungan dengan dengan tipe desa yang bersangkutan (Bali Age dan Apanage). Pada desa pakraman yang tergolong tipe desa pakraman apanage, pejabat puncak dalam prajuru desa adalah bandesa atau kelihan desa, dibantu oleh pejabat-pejabat lainnya seperti penyade/ petajuh/ pangliman sebagai wakil dari bandesa, penyarikan/ juru surat yang dalam hal ini berfungsi sebagai sekretaris dan petengen/ juru raksa yang berfungsi sebagai bendahara. Belakangan ini dalam struktur prajuru desa juga ada petugas keamanan desa pakraman
yang
disebut
dengan
istilah
pecalang.
Kekuasaan
menyelenggarakan kehidupan organisasi desa pakraman ini identik dengan kekuasaan pemerintah eksekutif dalam lingkungan negara. c. Kekuasaan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum. Persolan hukum yang dihadapi desa pakraman dapat berupa pelanggaran hukum (awigawig, dresta ataupun aturan-aturan hukum lainnya) dan dapat berupa sebuah sengketa. Kekuasaan ini dapat diidentikan dengan kekuasaan yudikatif/ yudisial dalam lingkungan negara. Awig-awig desa pakraman pada hakekatnya memiliki fungsi yang sangatlah fundamental dalam keberlangsungan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai landasan bertingkah laku atau tata cara hidup di dalam masyarakat desa pakraman, karena dalam hal ini awig-awig merupakan dasar norma yang dimiliki desa pakraman, maka dari itu awig-awig dapat disebutkan sebagai social engineering/ social control. Di dalam awig-awig desa pakraman terdapat asas-asas yang penting sebagai cikal bakal lahirnya suatu awig-awig yang akan meresepsi dalam jiwa 27
mayarakat desa pakraman itu sendiri. Asas-asas yang terdapat dalam awig-Awig seperti: Asas kebersamaan (communal), kekeluargaan, kesepakatan (Sangkepan), musyawarah (Paras-Paros Sagilik-Saguluk Salunglung Sabiantaka) dan pastinya asas dari hukum itu sendiri yang didalamnya terdapat sebuah sanksi bagi setiap pelanggaran yang terjadi. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pengaturan dan penanganan terhadap penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata seyogyanya terlebih dahulu dapat dijelaskan pengertian dari penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata sebagai berikut: Penjelasan mengenai penduduk pendatang khususnya di Bali tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Bali No. 470/1159/B.T.Pem. Tertanggal 27 Pebruari 2002, disebutkan penduduk pendatang adalah akibat mutasi kepindahan dari luar daerah dan telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Setelah itu ditegaskan lagi dalam Surat Edaran Gubenur Bali No.470/7587/ B. Tapem. Tertanggal 14 Nopember 2002 disebutkan: Penduduk yang datang akibat adanya mutasi kepindahan antar kabupaten/ kota atau Provinsi Bali. Penduduk pendatang terdiri dari WNA dan WNI yang dapat dibedakan menjadi (1) pendatang menetap, yaitu pendatang dengan lama tinggal minimal tiga tahun; dan (2) pendatang tinggal sementara, yaitu pendatang dengan lama
tinggal paling lama 1 tahun. Kedatangan penduduk pendatang wajib
didaftarkan kepada kepada desa/ lurah. Seiring dengan dinamika kependudukan di Bali, pada tahun 2003 Gurbenur Bali mengadakan sebuah kesepakatan dengan bupati dan walikota seprovinsi Bali 28
yang di dalamnya kesepakatan tersebut terkandung tentang tata tertib administrasi kependudukan di masing-masing kabupaten/ kota se-Bali.
Kesepakatan Bersama
Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali Nomor 153 Tahun 2003 Pasal 1 yang ditandatangani di Denpasar pada tanggal 10 Pebruari 2003 menyatakan penduduk pendatang adalah penduduk yang datang dari luar Provinsi Bali untuk tinggal menetap atau tinggal sementara. Kesepakatan Gurbenur Bali dengan bupati dan walikota ini terkandung bahwa pengertian penduduk pendatang lebih dipersempit lagi karena di dalam kesepakatan ini tidak termasuk adanya mutasi kepindahan antar kabupaten/ kota atau provinsi Bali. Selanjutnya pada tahun 2006 Majelis Desa Pakraman (MDP) mengadakan sebuah rapat (Pasamuan), dan hasil rapat (Pasamuan) yang dilakukan oleh MDP menghasilkan suatu keputusan mengenai penggolongan penduduk di wilayah Provinsi Bali. Keputusan Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor 050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 tentang Hasil-Hasil Pesamuan Agung Pertama Majelis Desa Pakraman Bali tertanggal 3 Maret 2006, dinyatakan: “Penduduk Bali dikelompokkan menjadi 3, yaitu krama desa (penduduk beragama Hindu dan mipil atau tercatat sebagai anggota desa pakraman), krama tamiu (penduduk beragama Hindu yang tidak mipil atau tidak tercatat sebagai anggota desa pakraman), dan tamiu adalah penduduk non-Hindu dan bukan anggota desa pakraman”. Keputusan Pesamuan Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali Nomor 050/KEP/PSM-1/MDP BALI/III/2006 memiliki intisari mengenai penggolongan penduduk, tetapi ditinjau secara kekinian penggolongan pada suatu desa pakraman 29
hanya ada dua yang terdiri dari krama Tamiu yang berarti penduduk pendatang yang beragama hindu dan tamiu yang berarti penduduk pendatang yang beragama nonHindu. Dan dalam hal ini krama tamiu dan tamiu lebih memiliki perbedaan hanya pada hak dan kewajibannya saja dalam kontribusi terhadap desa pakraman. Sedangkan pengusaha pariwisata secara umum dapat diartikan dengan individu maupun kelompok yang menyediakan akomodasi untuk menunjang kegiatan dan perkembangan pariwisata. Pengusaha pariwisata dapat terdiri dari seorang individu ataukah kelompok (group) yang diantaranya memanfaatkan keadaan maupun kondisi alam dalam suatu daerah tertentu yang dianggap mempunyai potensi menarik para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Secara konstitusi pengertian dari pengusaha pariwisata terdapat pada Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang mengatakan pengusaha pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata, dan dalam Peraturan Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata No. PM. 90/ HK. 50/ MKP/ 2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Daya Tarik Wisata Pasal 1 angka 3 yang mengatakan, pengusaha pariwisata yang selanjutnya disebut pengusaha adalah perseorangan dan badan usaha yang melakukan kegiatan pariwisata bidang usaha daya tarik pariwisata. Desa dinas dengan bantuan dari desa pakraman memiliki otonomi sebagai sebuah desa administratif dalam mengatur dan mengurus penduduk pendatang dan pengusaha pariwisata. Pengaturan terhadap penduduk pendatang secara konstitusi telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, baik yang dikeluarkan oleh 30
pemerintah
pusat
maupun
pemerintah
daerah.
Peraturan-peraturan tersebut
diantaranya adalah Undang-Undang Republik Indonesia No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga. Di sisi lain pengaturan penduduk pendatang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 1 Angka 1 ditegaskan: Administrasi kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependududkan melalui pendaftaran, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan disektor lain. Secara spesifik khususnya di kabupaten Gianyar untuk penanganan penduduk pendatang dengan meresepsi Undang-Undang Republik Indonesia No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 1 diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 7 Tahun 2010 tentang Kependudukan paragraf 6 Pasal 41 dikatakan: 1. Desa pakraman berperan membantu perbekel/ kepala desa/ lurah dalam penanganan pendaftaran dan penertiban penduduk secara terkoordinasi demi terciptanya situasi kondusif. 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai peranan desa pakraman, sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan peraturan bupati. Sementara itu dalam Keputusan Bupati Gianyar No. 180 Tahun 2002 tentang Pendaftaran Kedatangan Penduduk
Pendatang Pasal 1 huruf h ditegaskan 31
“Pendaftaran kedatangan penduduk dari luar Kabupaten Gianyar adalah pendaftaran kedatangan warga Negara Indonesia yang diakibatkan perpindahan dari luar kabupaten gianyar”. Sedangkan untuk pengaturan pengusaha pariwisata dan kegiatan pariwisatan, dengan merujuk kepada Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Peraturan Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata No. PM. 90/ HK. 50/ MKP/ 2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Daya Tarik Wisata, desa pakraman telah mendapat legalisasi dari Peraturan Daerah provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali Pasal 25 yang menyatakan, desa pakraman dan/atau lembaga tradisional lainya, dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah melakukan usaha-usaha untuk mencegah aktivitas kepariwisataan yang tidak sesuai dengan kepariwisataan budaya Bali. Dalam Peraturan Daerah Bali No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali terkandung tentang eksistensi desa pakraman dalam membantu Pemerintah Provinsi Bali untuk menjaga alam Bali dan memegang teguh konsep Tri Hita Karana dari sebuah kegiatan pariwisata. Sedangkan di Kabupaten Gianyar, pengaturan terhadap pengusaha pariwisata maupun kegiatan pariwisata telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar No. 10 Tahun 2013 Tentang Kepariwisataan Budaya.
32
1.8.Metode Penulisan 1.8.1 Jenis Penelitian Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis empiris, karena dalam penulisan ini terdapat 2 aspek metode penelitiannya. Pertama dari sisi yuridis menekankan dari segi perundang-undangan dan peraturan-peraturan daerah serta norma-norma yang relevan dengan masalah ini yang terutama bersumber pada Awig-awig Desa Pakraman Abangan (Das Sollen), dan yang kedua dari sisi empiris yang mencangkup penelitian dan identifikasi hukum (Soerjono Soekanto).18 Dalam artian bahwa penelitian hukum empiris bertolak ukur terhadap sifat hukum yang nyata yang sesuai dengan kenyataan hidup di dalam masyarakat (Das sein) serta metode penelitian empiris mengutamakan pengalaman-pengalaman yang diperoleh berdasarkan suatu wawancara dengan narasumber dan informan di lapangan.19 1.8.2 Jenis Pendekatan Penulisan skripsi ini digunakan 4 (empat) jenis pendekatan (approach) yang relevan dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis yang terdiri dari : 1. Pendekatan fakta (the fact approach), dalam pendekatan fakta penulis mencari fakta-fakta yang terjadi di lapangan sesuai dengan obyek penelitian (study 18
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum, Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 153. 19
Amirudin dan H. Zainal Asikin I, op. cit, h. 133.
33
case) salah satunya adalah keadaan masyarakat dengan penerapan suatu norma (awig-awig, perarem dan lain-lain) apakah sudah bersifat koperhensif ataukah masih ada ketidakjelasan (ambigu). 2. Pendekatan perundang-undangan (the statute approach), dalam penulisan ini digunakan pendekatan perundang-undangangan karena menekankan dari segi perundang-undangan dan peraturan-peraturan daerah serta norma-norma yang relevan dengan masalah ini yang terutama bersumber pada awig-awig. 3. Pendekatan perbandingan (comparative approach), dalam pendekatan ini penulis mengkaji norma yang berasal dari peraturan perundang-undangan, peraturan daerah dan norma yang berasal dari desa pakraman (awig-awig, perarem dan lain-lain) dan merangkum aspek-aspek tersebut serta membandingkan dengan keadaan yang terjadi dalam masyarakat di desa pakraman. 1.8.3 Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang dipergunakan di dalam penulisan skripsi ini di dapat dari 3 sumber data yang terdiri dari data primer, data sekunder dan bahan hukum penunjang yang akan dijabarkan sebagai berikut: 1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama melalui penelitian. 20 Data primer dapat ditemukan di lapangan dari
20
Soerjono Soekanto, 1982, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, h. 2.
34
informan maupun narasumber yang dalam hal ini mereka terlibat dan mengalami langsung keadaan di lapangan, seperti: a. Prajuru Desa Pakraman Abangan. b. Aparat kedinasan Desa Dinas Tegallalang. c. Penduduk pendatang. d. Pengusaha pariwisata. 2. Data Sekunder Data sekunder merupakan sumber data yang didapat dari sumber yang kedua. Data sekunder dalam hal ini dapat berupa dokumen-dokumen tertulis yang dimiliki Desa Pakraman Abangan, seperti: a. Awig-awig, perarem dan lain-lain. 3. Bahan Hukum Penunjang Bahan hukum penunjang merupakan penunjang dari data primer dan data sekunder yang terkait dengan penulisan skripsi ini. Bahan hukum penunjang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 1. Bahan Hukum Primer: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Peraturan Perundang-Undangan. c. Peraturan Daerah. 2. Bahan Hukum Sekunder: a. Buku, artikel dan lain-lain. 35
3. Bahan Hukum Tersier: a. Kamus dan ensiklopedi. 1.8.5 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data terbagi menjadi 3 bagian yang diantaranya bersumber dari data primer, sekunder dan bahan hukum penunjang. a. Data Primer Teknik pengumpulan data di dalam data primer dilakukan dengan cara terjun langsung kelapangan dengan melakukan sebuah metode wawancara (interview) terhadap para narasumber. Yang dimaksud dengan metode wawancara menurut Amirudin dan H. Zainal Asikin dalam bukunya yang berjudul Pengantar Metode Penelitian Hukum mengatakan: Wawancara (interview) adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka, ketika seseorang yakni pewancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah peneliti kepada seseorang responden. Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu mempersiapkan berbagai hal antara lain, seleksi individu untuk diwawancarai, pendekatan terhadap orang yang telah diseleksi dan pengembangan suasana lancar dalam wawancara.
36
Selain dengan menggunakan metode wawancara, dalam pengumpulan data primer juga menggunakan pengamatan (observasi). Dalam hal ini mengamati gejala-gejala hukum yang berkaitan dengan fokus penelitian.21 b. Data Sekunder Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui teknik study dokumen berupa menelusuri dasar-dasar norma yang berada di Desa Pakraman Abangan berupa awig-awig, perarem dan lain-lain. c. Bahan Hukum Penunjang Teknik pengumpulan data dengan menggunakan bahan hukum penunjang adalah sebagai penunjang dari data primer dan data sekunder dalam melakukan pembahasan didalam penulisan skripsi ini seperti, meninjau dari sisi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Daerah. Disamping itu pula juga meninjau dari sisi literature seperti buku, artikel dan lain-lain serta menggunakan Kamus Bahasa Inggris dan Bahasa Bali sebagai penerjemah kata-kata yang berbahasa Inggris maupun berbahasa Bali. 1.8.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini digunakan teknik analisis kualitatif atau yang juga sering dikenal dengan analisis deskriptif kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul, baik dari data primer maupun data sekunder serta bahan hukum penunjang akan
21
Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodelogi penelitian hukum Empiris Murni, Sebuah Alternatif, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, h. 58
37
diolah dengan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis.22 Pengolahan data yang dilakukan penulis adalah dengan mengkaitkan hasil sebuah wawancara dengan dasar-dasar hukum yang berlaku baik Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, peraturan perundang-undangan, peraturan daerah, awig-awig, perarem serta dari kajian kepustakaan berupa literatur maupun artikel dan selanjutnya dirangkum dalam suatu wadah berupa penelitian untuk sebuah kejelasan dari sebuah asumsi-asumsi dan isu-isu hukum yang ada di dalam masyarakat.
22
Fakultas Hukum, op. cit, h. 88.
38