BAB I Pendahuluan
Keywords: Power, State Auxullurary, Partisipasi, 1.1. Latar Belakang Masalah Tulisan ini dimulai dari ketertarikan penulis untuk membaca relasi kuasa antara ruang partipasi baru dengan dimensi, level dan formasi kekuasaan yang ada di sekitarnya. Reformasi tata kelola pemerintahan pada umumnya akan melahirkan ruang baru bagi keterlibatan warganegara1 dan memberikan peluang untuk melahirkan struktur baru dan arena baru yang demokratis berada ditengah (intermediate), terletak antara Negara dan warganegara. Reformasi tata kelola pemerintahan merupakan agenda yang dipromosikan oleh lembaga pinjaman dan lembaga donor bilateral untuk menjadikan warganegara terlibat dalam arena kebijakan guna meningkatkan akuntabilitas dan responsivitas dari Negara. Agenda ini hadir bersamaan dengan keyakinan bahwa melibatkan warganegara dalam proses pemerintahan menjadikan warganegara menjadi lebih baik, keputusan dan pemerintahan yang lebih baik. Arena yang bersifat partisipatif serta terbuka bagi komunikasi dan negosiasi antara Negara dan warganegara akan meningkatkan demokrasi, menciptakan bentuk baru
1
Andrea Cornwall Andrea and Coelho Schattan Vera, “Chapter 1: Spaces for Change? The Politics of Participation in New Democratic Arenas”, (www.ids.ac.uk, 2007 ), diakses pada 4 Maret 2015, jam 11.20, hal. 1
1
kewargengaraan, menciptakan efektifivitas, ekuitas kebijakan, mendorong warganegara untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah lokal, dan membuat tuntutan dari warganegara disampaikan secara langsung ke badan-badan publik sehingga memberikan konstribusi dalam peningkatan dan pelaksanan program dan kebijakan publik 2. Reformasi tata kelola ini dikenal dengan istilah good governance, doktrin baru pembangunan yang diperkenalkan pertama kali oleh Bank Dunia pada tahun 1989. Di Afrika, agenda good governance mengindentifikasi poor governance sebagai penyebab utama ketertinggalan pembangunan di Afrika, dan cara mengatasinya adalah dengan good governance atau demokrasi.
Dalam laporan
Bank Dunia pada tahun 1989 menyebutkan bahwa legitimasi politik dan konsensus merupakan prasarat bagi pembangunan berkelanjutan. Laporan tersebut menempatkan konsep governance di jantung agenda donor untuk afrika. Lebih lanjut laporan tersebut mendefinisikan governance dalam kerangka lebih umum sebagai “penerapan kekuasaan politik untuk mengelola urusan Negara”, Bank Dunia menekankan kebutuhan bukan hanya bagi pemerintahan yang kurang baik tapi juga pada pemerintahan yang lebih baik di Afrika. Dengan demikian, solusi untuk kesulitan Negara-negra afrika ditampilkan sebagai keterbukaan dan akuntabilitas, rule of law, kebebasan pers, politik yang pluralistik dan sah3. Dalam wacana good governance, dengan merujuk pada Laporan World Bank tahun 1989, masyarakat sipil muncul sebagai mata rantai kunci antara
2
ibid, hal. 6-7 Abrahamsen, Rita, Sudut Gelap Kemajuan: Relasi Kuasa Dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta: Lafadl,2000), hal.55 3
2
liberalisme ekonomi dengan demokratisasi; keduanya adalah lokus pertumbuhan ekonomi serta vitalitas dan persemaian demokrasi. Dominasi Negara dianggap telah mencegah pertumbuhan organisasi-organisasi otonom, yang pada gilirannya membuat pejabat di banyak Negara lebih mengutamakan kepentingan mereka sendiri tanpa takut terhadap pengawasan 4 . Masyarakat sipil dianggap sebagai kekuatan penyeimbang terhadap Negara, suatu cara untuk mencegah praktekpraktek otoritarian dan korupsi. Bank Dunia menyatakan bahwa good governance membutuhkan upayaupaya sistematis untuk menciptakan struktur kelembagaan yang pluralistik dan organisasi-organisasi penengah dipandang memiliki peran yang sangat penting. Mereka dapat membuat hubungan ke atas maupun ke bawah dalam masyarakat dan menyuarakan persoalan lokal secara lebih efektif, dibanding lembagalembaga akar rumput. Dengan demikian mereka dapat melahirkan spektrum gagasan dan nilai-nilai yang lebih luas untuk menopang pengambilan kebijakan. Organisasi penengah juga diharapkan menekan pejabat publik agar berkinerja lebih baik dan mempunya akuntabilitas yang lebih tinggi. Pendeknya, diyakini bahwa dengan mendorong pembangunan struktur-struktur institusional yang plural, agen-agen luar dapat membantu menciptakan lingkungan yang membatasi penyalahgunaan kekuasaan politik 5. Dalam banyak hal ruang baru ini dijadikan sebagai saluran negosiasi, ruang perantara, dan sebagai ruang untuk tukar menukar informasi. Ruang tersebut bisa disediakan oleh Negara, didukung dalam beberapa pengaturan 4 5
ibid, hal.56 ibid, hal.89
3
dengan jaminan konstitusi. Namun, ruang tersebut bisa juga hadir karena tuntutan dari masyarakat sipil. Atau bahkan hanya sebagai ruang yang bersifat sementara saja, sebagai sarana konsultasi6. Bagi Gaventa, organisasi-organisasi otonom yang
memungkinkan
warganegara berpartisipasi dalam ruang kebijakan merupakan ruang demokrasi baru dan merupakan upaya deepening democracy. Upaya memperkuat partisipasi di sisi lain, menekankan respon dari pihak pembuat kebijakan dan penyedia layanan, yang paling sukses sering menggabungkan dua pendekatan. Efektivitas kedua mereka akan tergantung pada sejumlah faktor termasuk pengaturan hukum, sejarah dan budaya, konflik, peran partai politik, gerakan sosial dan LSM, serta ketersediaan sumber daya manusia dan keuangan. Pun yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, Kesempatan berpartisipasi terekspresikan dalam penciptaan ruang baru, yang salahsatunya adalah dibentuknya lembaga sampiran Negara seperti Lembaga Ombudsman Daerah DIY (LOD DIY). LOD DIY hadir sebagai sebagai ruang partisipasi baru yang diciptakan oleh Negara (baca: Pemerintah Daerah DIY) bagi keterlibatan warganegara yang mewujud dalam bentuk pengaduan pelayanan publik. LOD DIY merupakan ruang partisipasi baru dalam mandatnya menjadi ruang bagi warganegara untuk menyampaikan keluhan berkait pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah. Input berupa keluhan tersebut dikelola di internal ombudsman daerah dengan melakukan klarifikasi terhadap pihak yang dilaporkan. Output dari penanganan laporan berupa rekomendasi perbaikan 6
Cornwall Andrea and Coelho Schattan Vera, loc.cit
4
kinerja pelayanan publik. Dalam beberapa kasus yang menyangkut isu publik, LOD DIY menjadi ruang bagi stakeholder lain baik dari LSM, ormas dan gerakan mahasiswa untuk bersama-sama mendesakkan perbaikan pelayanan publik. Watak ruang partisipasi baru yang melekat pada LOD DIY merupakan ruang bagi partisipasi warganegara untuk berpartisipasi dalam perbaikan pelayanan publik. Ruang kebijakan publik menjadi terbuka terhadap rekomendasi perbaikan pelayanan publik dari LOD DIY. Hal ini dikarenakan LOD DIY merupakan sebuah ruang yang sengaja diciptakan oleh pemerintah daerah untuk memberikan masukan terhadap perbaikan pelayanan publik. Ruang partisipasi publik, merujuk pada Cornwall, 2002 tidak selamanya bersifat terbuka. Terkadang otoritas pengambil kebijakan kembali menutup ruang tersebut. New arenas for public participation appear to offer all this, and more. One potentially useful way of characterising these institutions is using the concept of space (cf. Lefebvre 1991), a concept rich with metaphor as well as a literal descriptor of arenas where people gather, which are bounded in time as well as dimension. A space can be emptied or filled, permeable or sealed; it can be an opening, an invitation to speak or act. Spaces can also be clamped shut, voided of meaning, or depopulated as people turn their attention elsewhere. Thinking about participation as a spatial practice highlights the relations of power and constructions of citizenship that permeate any site for public engagement (Cornwall 2002).
Seperti halnya kelahiran LOD DIY yang diciptakan oleh Gubernur DIY sebagai ruang partisipasi baru, tidak serta merta menjamin kualitas partisipasi yang berimplikasi terhadap pemenuhan hak warganegara. Seringkali kualitas partisipasi tersebut teringkari justru oleh sistem dan aktor yang melahirkan keterbukaan partisipasi. Eksekutif, legislatif, pimpinan daerah di Kabupaten/kota
5
memiliki power yang ‘menentukan’ mudah dan sulitnya upaya pemenuhan hak yang dilakukan oleh warganegara melalui LOD DIY. Disamping itu, kebijakan dan agenda publik yang sensitif serta merta mempengaruhi ‘dikabulkan’ atau tidaknya upaya pemenuhan hak warganegara melalui LOD DIY. Artinya, arena yang terbuka bisa menciptakan kualitas partisipasi warganegara bergantung pada power, arena dan level dimana warganegara berpartisipasi. Tuntutan pemenuhan hak yang sederhana, tidak bersentuhan langsung dengan pejabat penting, serta pada level yang sederhana dalam lingkup yang sempit, akan lebih mudah terpenuhi dibandingkan kasuskasus upaya pemenuhan hak yang justru melibatkan pejabat penting, dengan isu kebijakan yan sensitif serta melibatkan banyak level kekuasaan. Dengan kapasitasnya, LOD DIY akan berada pada arena kekuasaan yang berbentuk visible power disatu sisi, dimana dimensi power ini melibatkan warga Negara dalam arena pengambilan kebijakan yang bersifat formal serta berbagai aturan yang menjamin keterlibatan warganegara dalam pengambilan kebijakan. Namun disisi lain, LOD DIY hadir pada formasi yang bersifat hidden power yang mewujud dalam kepemimpinan Gubernur DIY DIY sekaligus sebagai raja atau sultan dalam ranah keistimewaan DIY. Berada pada tiga formasi kekuasaan tersebut berpengaruh terhadap corak kelembagaan LOD DIY. Adanya larangan LOD DIY menjadi lembaga superbody, tidak boleh seperti LSM, atau LOD DIY adalah partner birokrasi, beberapa ‘wejangan’ dari Gubernur DIY DIY yang selalu disampaikan pada saat pelantikan komisioner baru dari setiap periode. ‘Wejangan’ ini satu sisi merupakan upaya
6
menjadikan LOD DIY imparsial dan independen, namun disisi lain upaya ‘peringatan’ supaya LOD DIY tidak mengancam arena kekuasaan yang lebih inti. LOD DIY memiliki relasi kuasa dengan arena, formasi, dan level kekuasaan yang beragam.
Keberagaman tersebut jelas berimplikasi terhadap
advokasi pemenuhan hak warganegara atas pelayanan publik. Kajian mengenai relasi kuasa level global berupa ide good governance dibajak di tingkat local dengan merekayasa ruang partisipasi baru yang diciptakan untuk mendorong good governace kembali pada pola kekuasaan lama yang emoh terhadap pelayanan publik yang baik, menjadi kajian menarik untuk melihat bagaimana good governace diterjemahkan dan ‘disiasati’ di tingkat lokal. Dengan berkonsentrasi pada kajian strategi pemerintah lokal mendominasi dan mengontrol ruang baru partisipasi yang lahir dari ide good governace, diharapkan mampu mengurai polapola pembentukan kembali kuasa lama setelah reformasi dan ide good governace digulirkan.
1.2.
Rumusan Masalah : LOD DIY sebagai ruang partisipasi warganegara dalam upaya
memperjuangkan hak pelayanan publik bukan jaminan keberhasilan partisipasi politik. Dari beberapa pengalaman, pembukaan terhadap arena yang bersifat tertutup bagi ruang partisipasi apabila tidak disertai dengan strategi untuk mengubah bentuk kekuasaan yang tidak melibatkan warganegara dalam
7
pengambilan kebijakan serta tidak disertai dengan pembukaan arena yang memungkinkan
warganegara
dilibatkan
untuk
memperjuangkan
hak
kewarganegaraannya. Yang terjadi adalah arena baru bagi partisipasi politik hanya akan menyerah pada kekuasaan lama. Pertanyaannya kemudian, Bagaimana tantangan kuasa yang dihadapi LOD DIY sebagai ruang partisipasi baru? Dari pertanyaan tersebut, diturunkan menjadi beberapa rumusan masalah berikut ini: 1.
Bagaimana Situasi dan konstelasi politik yang terjadi sehingga pembentukan LOD DIY sebagai ruang partisipasi baru diwujudkann oleh Pemerintah DIY DIY?
2.
Bagaimana perubahan konstelasi politik yang terjadi pada pasca pembentukan LOD DIY sebagai ruang partisipasi baru, dan apa penyebab dari perubahan konstelasi tersebut.
3.
Bagaimana upaya LOD DIY mengadvokasi dirinya dari upaya kontrol dan dominasi ruang kuasa yang telah menciptakannya serta sejauh mana masyarakat sipil berkontribsi terhadap advokasi tersebut.
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui bagaimana ruang partisipasi baru diciptakan oleh ruang kuasa di tingkat lokal.
8
2. Mengetahui bagaimana ruang kuasa yang telah menciptakan LOD DIY sebagai ruang partispasi baru melakukan kontrol dan dominasi atas ruang partisipasi baru tersebut. 3. Mengetahui strategi advokasi LOD DIY dalam mengadvoksi dirinya dari kontrol dan dominasi ruang kuasa yang telah menciptakannya serta untuk mengetahui sejauh mana masyarakat sipil berkontribsi terhadap advokasi tersebut. Hasil yang dibayangkan dari penelitian ini bahwa ruang partisipasi baru yang diciptakan oleh penguasa tidak bisa bebas dari intervensi ruang kekuasaan yang menjadi kreatornya. Selain itu, upaya LOD DIY untuk mengadvoksi dirinya menjadi referensi bagi penguatan ruang-ruang partisipasi baru. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah memberikan sumbangan teoritis dalam memahami bagaimana kekuasaan melakukan upaya untuk menjadikan ruang partisipasi baru seiring dengan kepentingan penguasa. Serta menawarkan strategi untuk menghadapi relasi kuasa yang hadir yang melahirkan dominasi dan kontrol ditengah upaya advokasi hak-hak pelayanan publik di DIY.
1.4.
Literatur Review Kajian relasi kuasa baik antara institusi formal maupun intitusi informal
dengan organisasi civil society dan komunitas telah banyak dilakukan. Dalam tulisannya, Cornwall menyebutkan bahwa membuka dan memperluas partisipasi
9
warganegara dalam pembangunan merupakan pendalamam dari praktek demokrasi.
1.4.1 Ombudsman dan Reformasi Pelayanan Publik Kajian mengenai Ombudsman sebagai ruang partisipasi baru di Indonesia sebatas pada kajian historis dan filosofis serta beberapa review kasus-kasus pelayanan publik yang ditangani oleh Ombudsman. Dalam buku Ombudsman Masa Lalu Sekarang dan Masa Mendatang yang diterbitkan oleh Komisi Ombudsman Nasional pada tahun 2002 dibahas mengenai situasi politik dan pemerintahan serta kondisi masyarakat di Indonesia masa transisi yang menjadi latar kemunculan lembaga ini. Tumbangnya rezim Soeharto setelah berkuasa selama tiga puluh dua tahun lebih, Indonesia menghadapi menguatnya gejala distrust publik di tengah-tengah masyarakat; korupsi masih tetap merajalela dan bahkan cenderung tanpa kendali7. Akumulasi dari berbagai kecewaan tersebut kemudian menjadi pengikat bagi solidaritas bersama antara masyarakat, mahasiswa, kaum terpelajar dan profesional untuk melakukan gerakan reformasi total pada tahun 1998. Salah satu hal penting yang diharapkan adalah terjadinya perubahan mental dan kultur birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Keinginan ini kemudian merangsang beberapa kalangan untuk mendesakkan perlunya
7
Antonius Sunyata, et.al, Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang, dan Masa Mendatang, (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002), hal.1-2
10
pengawasan yang intensif terhadap lembaga birokrasi dan kenegaraan lainnya 8. Pengawasan eksternal yang lebih banyak dilakukan kalangan LSM, Mahasiswa, dan komponen demokrasi lainnya memiliki fungsi terbatas sebagai lembaga penekan yang secara langsung tidak berpengaruh terhadap struktur birokrasi dan kekuasaan. Padahal pada saat yang sama lembaga pengawasan internal yang ada tidak terlalu terlihat kinerjanya secara memadai, bahkan kadangkala bertindak tidak lebih sebagai alat justifikasi dan pelindung pejabat publik yang melakukan penyimpangan9. Hal lain yang menjadi pembahsan dalam kajian tentang Ombudsman di Indonesia adalah adanya kendala landasan hukum yang mendasari kelahiran lembaga ini. Lemahnya kelembagaan ombudsman dalam menjalankan mandatnya masih dianalisis sebatas persoalan aturan yang tidak bisa memberikan kekuataan yang
powerfull.
Peraturan perundang-undangan
yang
mengatur
tentang
Ombudsman harus didukung oleh peraturan-peraturan lain baik tertulis maupun tidak tertulis. Sebagaimana diketahui bahwa output dari Ombudsman berupa rekomendasi yang sifatnya non legally binding namun demikian tidak berarti bahwa rekomendasi tersebut sama sekali tidak mengikat . Tidak mengikat secara hukum dalam konteks ini lebih pada pengertian bahwa rekomendasi Ombudsman tidak dapat dieksekusi sebagaimana halnya putusan pengadilan. Inilah perbedaan substansial antara Ombudsman dengan lembaga peradilan atau lembaga sejenis. Agar rekomendasi Ombudsman kuat dan dapat dilaksanakan maka perlu dikaitkan dengan ketentuan atau peraturan- peraturan yang mengatur tentang prinsip umum 8 9
ibid, hal.9 ibid, hal. 11
11
pemerintahan yang baik 10. Secara lebih luas, bagaimana ruang baru yang diciptakan untuk menjamin terpenuhinya hak pelayanan publik berdinamika dan berelasi dengan ruang kuasa yang ada belum menjadi perhatian khusus. Kekuatan dan kelemahan Ombudsman dalam menjalankan mandatnya belum dilihat sebagai persoalan sistemik yang muncul dari reformasi setengah hati.
1.4.2 Karakter Ruang Partisipasi Dorongan global pada program good governance berimplikasi terhadap perluasan partisipasi warganegara. Penciptaan ruang partisipasi dalam tulisan Making Spaces For Citizen, setidaknya memiliki beberapa karakter. Pertama, Banyak arena baru untuk keterlibatan warga negara muncul dari proses desentralisasi yang demokratis. Di India, misalnya, panchayati raj, merupakan ruang yang lahir dari rahim reformasi pemerintahan lokal sebagai sebuah sistem otoritas terpilih sampai ke tingkat desa. Kemampuan panchayati raj untuk bertahan hidup tergantung baik pada pembentukan kerangka hukum yang kuat dan menghasilkan rasa kepemilikan di antara warga negara11. Kedua, di banyak tempat, lembaga baru telah menemukan diri mereka bersaing dengan ruang partisipasi yang ada. Panchayati Raj di India hadir diantara komite yang berbeda – komite untuk pemerintah manajemen, komite kehutanan, 10 11
ibid, hal. 20 Policy Briefing. 2006. “Making Space For Citizens: Broadening the ‘new democratic spaces’ for citizen participation”, Institute Development Studies In focus Policy Briefing, Issue 27, Retrieved from www.ids.ac.uk, hal.2
12
komite kesehatan dan komite-komite lainnya. Panchayati Raj diciptakan lebih dari puluhan tahun oleh pemerintah, LSM dan lembaga internasional dengan area tanggung jawab dan garis akuntabilitas yang kurang jelas dengan komite yang lain. Sehingga komite-komite yang ada seringkali merusak legitimasi lembaga Panchayati Raj sebagai lembaga yang
berfokus utama pada pengambilan
keputusan tentang isu-isu lokal. Pada saat yang sama, 'informal panchayat’ didominasi oleh laki-laki yang lebih tua dan kaya, dan mereka menggunakan kekuasaan mereka untuk memblokir upaya partisipasi oleh perempuan dan anggota kasta di lembaga panchayati raj, meskipun sistem yang digunakan oleh kelompok ini menggunakan sistem jatah kursi12. Ketiga, Banyak ruang demokrasi yang baru telah diciptakan dengan tujuan eksplisit membuat penyedia layanan yang lebih mampu bertanggungjawab, baik kepada warga negara dan donor atau lembaga pemerintah pusat yang memiliki dana peningkatan pelayanan. Di Bangladesh, 'komite pemantau kesehatan' yang didirikan
oleh
aktivis
LSM
dengan
dukungan
lembaga
pembangunan
internasional mendorong partisipasi inklusif dan hak-mengklaim, tetapi tidak mampu untuk mengamankan akuntabilitas karena mereka tidak memiliki mandat hukum yang jelas dan pengambilan keputusan terus berkompromi dengan para pejabat di pelayanan kesehatan. Di Bolivia, sebaliknya, aturan partisipasi populer (rakyat) membentuk komite-komite pengawasan warga di setiap kota dan memberdayakan mereka untuk membekukan anggaran belanja jika tidak berangkat dari apa yang telah direncanakan. Walaupun, efektivitas struktur ini
12
ibid, hal. 2
13
bervariasi sesuai dengan kemampuan kelompok warga untuk menuntut pertanggungjawaban13. Pembenaran utama lain untuk penciptaan ruang demokratis baru adalah bahwa mereka membutuhkan ruang partisipasi inklusif untuk bermusyawarah atas segala problem yang muncul dan berbagai usulan kebijakan. Namun, bisa saja ada pihak yang dikecualikan dalam proses musyawarah, bahkan ketika mereka hadir secara fisik. Misalnya, di Uganda penggunaan bahasa Inggris dalam pertemuan perencanaan daerah cenderung untuk mengecualikan wanita, yang cenderung tidak mampu berbicara bahasa inggris.14.
1.4.3 Ruang Demokrasi Baru: Tidak Bebas Intervensi Berbeda dengan beberapa tulisan tentang Ombudsman di Indonesia, dalam tulisan berjudul Deliberating Democracy: Scenes from a Brazilian Municipal Health Council, Andrea Cornwall melakukan penelitian terhadap ruang demokrasi baru pada dewan kesehatan Brazil dan memberikan analisa tentang pentingnya menempatkan lembaga governance partisipatif dengan latar belakang lembaga-lembaga politik yang ada dan praktek-praktek dari lembaga tersebut. Dewan Kesehatan Kota di Timur Laut Brazil merupakan hasil dari perjuangan intens oleh gerakan reformasi kesehatan masyarakat dimana dewan kesehatan partisipatif Brasil diberi bentuk dalam "Citizens 'Konstitusi" dari tahun 1988. 13 14
Menariknya, Dewan Kesehatan Kota di Brazil kesulitan memerangi
ibid, hal.2 ibid, hal.3
14
kecenderungan pemerintah kota untuk mengintervensi ruang ini dengan menempatkan orang-orang dari jaringan mereka. bagaimanapun,
telah
mengeksplorasi
Beberapa penelitian,
ketegangan antara
asumsi tentang
partisipasi, akuntabilitas, dan demokrasi yang tertanam dalam perdebatan kontemporer tentang tata pemerintahan yang partisipatif dan demokrasi deliberatif, dan pemahaman dan praktek para aktor yang menghidupkan ini sebagai "ruang demokrasi yang baru. 15" Tulisan Inclusion and Representation in Democratic Deliberations: Lesson from Canada’s Romanow Commission, Bettina Von Ilenes dan David Kahane membahas tentang isu inklusi deliberatif melalui kajian peran masyarakat asli dalam komponen deliberatif Komisi Romanow, Kanada. Komisi ini didirikan pada tahun 2001 oleh Pemerintah Kanada sebagai komisi pembahasan bersama dengan masyarakat berkait dengan masa depan kesehatan di Kanada. Pada kenyataannya, Dinamika musyawarah tentang isu dan kebijakan kesehatan sangat dikondisikan oleh kekuasaan. Kelompok marginal sangat rentan untuk berpartisipasi dalam musyawarah tersebut, dan pendapat mereka memiliki dampak yang lemah. Tantangan dari komisi adalah menciptakan ruang untuk kelompok rentan dan perspektif terpinggirkan serta memberdayakan ruang tersebut untuk mempengaruhi keputusan kolektif16. Dalam Policy Briefing “Making Space For Citizens” diurai contoh sukses ruang bagi kelompok terpinggirkan dilihat dari Pengalaman di Brazil. Kesuksesan 15 16
ibid, hal.509 Bettina Von Lieres, and David Kahane. “Inclusion and Representation in Democratic Deliberations: Lesson from Canada’s Romanow Commission dalam www.powercube.net diakses pada 4 Maret 2015 jam 11.38. hal. 132
15
tersebut merupakan gabungan dari kemauan politik, masyarakat sipil aktif dan desain kelembagaan yang baik melahirkan kemajuan dramatis pelibatan warganegara termasuk masyarakat miskin dan terpinggirkan dalam proses pemerintahan. Inovasi Brasil dalam pemerintahan demokratis semakin dijadikan model bagi Negara lain. Namun, analisis terhadap penerapan inovasi tersebut menjadi penting untuk melihat seberapa jauh ruang tersebut memberikan kontribusi terhadap perbaikaan pemenuhan hak warganegara. Sebagai contoh, di Brazil telah hadir ruang demokrasi baru dengan nama orçamento Participativo (OP) atau penganggaran partisipatif secara luas terkait dengan kota yang relatif makmur di selatan Porto Alegre. Selanjutnya, OP telah diadopsi oleh ratusan kota di seluruh wilayah Brazil. Di bidang kesehatan, lebih dari 5.000 'dewan kesehatan' telah dibentuk untuk membimbing dan memantau anggaran kesehatan 17. Meskipun kerangka ini kuat untuk menjamin partisipasi, dewan kesehatan di banyak kota termiskin telah dibajak oleh pemerintah daerah yang hanya menjadikan dewan kesehatan sebagai alat stempel bagi rencana dan anggaran mereka. Namun, Di kota utara-timur Cabo de Santo Agostinho, aktivis masyarakat sipil mampu mereformasi dewan kesehatan dan mengubahnya menjadi forum menuntut pertanggungjawaban. Sumbangan penting untuk keberhasilan ini dibuat oleh administrator progresif dalam pemerintah kota, yang memastikan bahwa dewan memiliki sumber daya dan legitimasi untuk menjadi lembaga politik yang layak. Penelitian ini berusaha untuk menggali bagaimana ruang partisipasi baru 17
Policy Briefing. 2006, Op.cit. hal. 3
16
dibentuk oleh ruang kuasa dan perubahan politik seperti apa yang menjadikan ruang kuasa ini melakukan intervensi terhadap ruang partisiapsi baru yang telah dibentuknya, yang pada akhirnya ‘dipaksa’ kembali pada corak kekuasaan yang telah membentuknya. Disamping itu, dalam penelitian ini juga melihat sejauh mana lembaga ini melakukan perlawanan dan menggunakan ruang kuasa yang ada diluar dirinya untuk mengembalikan esensi dari hadirnya ruang partisipasi baru.
1.5 Kerangka Teori Relasi kuasa hadir dalam formasi, level dan arena kekuasaan yang beragam. Tiga dimensi kekuasaan (steven Lukes 1974 dan Gaventa 1980) dipahami dalam relasi bagaimana arena untuk keterlibatan waragnegara diciptakan, dan level dari kekuasaan (local to global) terjadi. Teori Power Cube (kubus kekuasaan) melihat Relasi antara level, formasi dan arena kekuasaan bersifat terpisah tapi saling terhubung satu dengan lain. John Gaventa menyatakan bahwa kekuasaan memiliki beberapa konsep; kekuasaan diciptakan oleh aktor (berkuasa dan dikuasai); kekuasaan bermakna negatif sebagai bentuk kontrol; kekuasaan bersifat struktural; dan sebagainya. Berikut beberapa konsep kekuasaan yang dipetakan oleh John Gaventa.
17
Tabel 1: Konsep kekuasaan18 Power is a highly contested concept with multiple meanings Some see power as held by actors (powerful and powerless) Some see power as ‘negative’ as in ‘kontrol Some see power as structural Some see power as zero-sum (winners-losers) Others see it as more ‘positive’, as necessary for agency and positive action Others more on identities and relationships Others see it as more fluid and accumulative Others see it as more pervasive and embodied in all relationships and discourses
Power may be seen as Power ‘over’ – the ability of the powerful to affect the actions and thought of the powerless Power ‘within’ – a sense of selfdignity and self-awareness that enables agency Power ‘to’ – the capacity to act; agency Power ‘with’ – the synergy of collective action, social mobilisation and alliance building
Bagaimana kemudian relasi kekuasaan dan hak. Dalam presentasinya, Gaventa lebih lanjut mengungkapkan bahwa: hubungan kekuasaan akan menengahi realitas hak; pendekatan hak melibatkan kemampuan untuk mengklaim hak (inklusi) dan kemampuan untuk menghambat mengklaim hak (pengecualian); partisipasi yang memberdayakan termasuk hak untuk didengar, diperlukan untuk mencapai hak; Partisipasi yang 'transformatif' melibatkan hubungan kekuasaan. Kekuasaan juga merupakan kekuatan perubahan. Gaventa menyebut bahwa kekuasaan: 1) Mengubah persepsi tata kelola (menciptakan ruang baru bagi keterlibatan, dan bentuk-bentuk baru dari kekuasaan dalam dan di antara mereka);
18
John Gaventa, www.powercube.net/analyse-power. Diakses pada 26 Pebruari 2015, jam. 13.32
18
2) Mengubah hubungan lokal, nasional dan global (pemahaman mengubah mana kekuasaan berada dan di mana mungkin dilakukan); 3) Mengubah peran pengetahuan dan keahlian (menciptakan batas-batas baru yang mempengaruhi suara yang masuk proses kebijakan). Berikut adalah tabel hubungan kekuasaan dan hak dan kekuasaan sebagai kekuatan perubahan. Tabel 2: hubungan kekuasaan dan hak serta kekuasaan sebagai kekuatan perubahan19 Linking right and power: Power relationships mediate the realities of rights Rights approaches involve the capacity to claim rights (inclusion) and the capacity to obstruct the claiming of rights (exclusion) ‘Empowered participation’, including ‘the right to be heard’ is necessary to attain rights Participation which is ‘transformative’ involves engaging with power relationships.
Power is Changing: Changing perceptions of governance (create new spaces for engagement, and new forms of power within and between them) Changing relationships of the local, national and global (alter understanding of where power is located and where it may be exercised) Changing role of knowledge and expertise (creates new boundaries which affect whose voices enter policy processes, and whose knowledge counts within them)
Gaventa menganalisa kekuasaan untuk perubahan dengan menggunakan teori kubus kekuasaan. Teori ini digunakan untuk beberapa hal. Pertama, digunakan untuk memahami dan menganalisa bagaimana kuasa berjalan dalam proses governance, organisasi dan relasi sosial serta menganalisa seberapa dalam derajat partisipasi warganegara dalam pengambilan kebijakan publik. Kedua, teori ini dijadikan sebagai framework analisis untu menganalisa level, space, dan 19
John Gaventa, www.powercube.net/analyse-power. Diakses pada 26 Pebruari 2015, jam. 13.32
19
formasi kekuasaan dari power serta bagaiaman relasi dari ketiganya. Ketiga, digunakan untuk mengeksplorasi beberapa aspek dari power dan bagaimana interaksinya dengan yang lain. Keempat, digunakan untuk mengontrol agenda kebijakan dan bagaimana kemampuan aktor yang tidak memiliki kekuasaan membangun kesadaran dan aksi untuk perubahan. Kelima, digunakan untuk merumuskan, membuka strategi untuk memperjuangkan hak kewarganegaraan. Berikut adalah gambar dari kubus kekuasaan yang terdiri dari tiga bagian:
Gambar 1: Levels, spaces and forms of power indicated on the Rubik‟s Cube (www.powercube.net)
Setiap sisi dari kubus bisa diputar, dan dengan demikian mempengaruhi keselarasan blok pada dimensi lain. Sementara salah satu sisi dapat digunakan sebagai titik pertama analisis, masing-masing terkait dengan yang lain. Pendekatan kubus kekuasaan, digunakan ketika strategi dan analisa terhadap kekuasaan bekerja melintasi atau bersilang dalam setiap dimensi kekuasan.
20
Perubahan dalam satu dimensi kubus kekuasaan akan menyebabkan dimensi kekuasaan yang lain juga berubah. Metode ini mengingatkan kita bahwa analisa satu aspek kekuasaan dengan mengabaikan bagaimana dampak dan efek dimensi tersebut terhadap dimensi yang lain, beresiko. Gambaran dari kompleksitas dan perubahan susunanan dimana kekuasaan berada pada leve, space dan formasi dalam berbagai konteks. Untuk menganalisa sejauh mana teori kubus kekuasaan ini mampu mengurai bentuk-bentuk relasi kuasa yang terbangun dalam upaya pemenuhan hak pelayanan publik, penulis akan membahas beberapa unsur dari kubus kekuasaan yang meliputi arena, formasi dan level kekuasaan dalam konteks partisipasi
1. Formasi Kekuasaan dan Partisipasi Dimensi Power Cube berfokus bagaimana kekuasaan memanifestasikan dirinya dalam bentuk yang berbeda, yang kita sebut sebagai Hidden
Power,
Invisible Power dan Visible Power20. Pertama, Hidden Power. Merupakan bentuk tersembunyi kekuasaan yang digunakan oleh kepentingan pribadi untuk mempertahankan kekuasaan dan hak istimewa mereka dengan menciptakan hambatan terhadap partisipasi, dengan mengeluarkan isu-isu kunci dari arena publik, atau dengan mengendalikan politik dari belakang panggung politik.
20
Mereka mungkin terjadi tidak hanya dalam
diunduh penulis dari: http://www.powercube.net/analyse-power/forms-of-power/.
21
proses politik, tetapi dalam konteks kelompok organisasi dan lain juga, seperti tempat kerja, LSM atau organisasi berbasis masyarakat. Kedua, Invisible power. Kekuatan ini dapat diselidiki dengan melihat di luar arena formal dan publik pengambilan keputusan dan mencari suara-suara ketidakpuasan yang dikecualikan dari pandangan publik. Invisible Power berjalan selangkah lebih maju daripada Hidden Power. Kekuatan melibatkan cara-cara di mana kesadaran akan hak dan kepentingan seseorang yang tersembunyi melalui adopsi mendominasi ideologi, nilai-nilai dan bentuk perilaku oleh kelompokkelompok yang relatif tidak berdaya sendiri. Kadang-kadang ini juga disebut sebagai 'internalisasi ketidakberdayaan' dengan cara yang mempengaruhi kesadaran dan potensi kesadaran atas masalah dan konflik, bahkan oleh mereka yang terkena dampak langsung. Ketiga, Visible Power. Bentuk Terlihat kekuasaan merupakan kontes atas kepentingan yang terlihat di ruang publik atau badan pengambilan keputusan formal. Seringkali ini mengacu pada badan politik, seperti anggota legislatif, badan-badan pemerintah daerah, DPRD, atau forum konsultatif. Namun, mereka sama-sama dapat berlaku untuk arena pengambilan keputusan organisasi dan bahkan gerakan sosial atau ruang lain. Dalam pendekatan akses ke arena pengambilan keputusan oleh kelompok-kelompok yang relatif tidak berdaya relatif terbuka. Mereka yang memiliki keluhan mampu mengartikulasikan keluhan mereka dalam proses pengambilan keputusan formal dan berpartisipasi penuh dalam musyawarah. Struktur organisasi dan pengambilan keputusan dianggap dapat diakses oleh semua.
22
Visible power mengasumsikan bahwa arena pengambilan keputusan adalah lapangan bermain netral, di mana setiap pemain yang memiliki masalah untuk meningkatkan mungkin terlibat secara bebas. Ini juga mengasumsikan bahwa pelaku sadar dan menyadari keluhan mereka dan memiliki sumber daya, organisasi dan lembaga untuk membuat suara mereka didengar.
2. Arena Kekuasaan dan Partisipasi Arena kekuasaan secara luas digunakan dalam literatur power, policy, democracy and citizens. Berbicara arena, beberapa penulis mengacu pada 'ruang politik' sebagai saluran-saluran institusional, wacana politik dan praktik sosial dan politik di mana orang miskin dan organisasi-organisasi yang bekerja dengan mereka dapat mengejar pengurangan kemiskinan (Webster dan Engberg-Petersen, 2002)21. Pekerjaan lain berfokus pada kebijakan ruang 'untuk memeriksa momen dan kesempatan di mana warga negara dan pembuat kebijakan berkumpul, serta' peluang diamati sebenarnya, perilaku, tindakan dan interaksi, kadang-kadang menandakan transformatif potensi. 22 Ruang demokratis mempelajari pekerjaan lain di mana warga dapat terlibat untuk mengklaim kewarganegaraan dan mempengaruhi proses tata kelola23. Dalam pendekatan Power Cube, yang dirancang sebagai alat untuk menganalisis bagaimana kekuasaan mempengaruhi aksi warga dan partisipasi, 21
diunduh dari http://www.powercube.net/analyse-power/spaces-of-power/academic-approachesto-space/ 22 ibid. Hal.16 23 diunduh dari http://www.powercube.net/analyse-power/spaces-of-power/academic-approachesto-space/
23
biasanya ruang mengacu pada pengambilan keputusan arena dan forum untuk beraksi, tetapi dapat juga mencakup ruang lain 'yang dilihat sebagai peluang bagi untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kebijakan, wacana, keputusan dan hubungan yang mempengaruhi kehidupan dan kepentingan mereka. Meskipun akan ada banyak jenis seperti ruang, dalam pendekatan Power Cube merujuk pada tiga: closed, invited dan Created24. Pertama, arena tertutup. Merupakan ruang pengambilan keputusan yang ditutup, dimana keputusan dibuat oleh sekelompok pelaku di balik pintu tertutup, dan membuat batas-batas tertutup bagi keterlibatan warganegara. Ruang tertutup sering melibatkan isu-isu seperti perdagangan, kebijakan ekonomi dan keuangan makro, kebijakan militer, dll, yang memiliki dampak besar pada kehidupan masyarakat, tetapi dianggap harus dibatasi dari partisipasi publik. Kedua, Invited spaces. Hadirnya berbagai tuntutan peran pemerintah untuk menyediakan forum partisipatif telah menciptakan peluang baru untuk keterlibatan dan konsultasi warganegara dalam pengambilan kebijakan. Strategi untuk memperkuat partisipasi dalam invited spaces adalah peningkatan pengetahuan dan keahlian tentang isu-isu dan peraturan kunci, dan belajar seni berbicara di depan umum, negosiasi dan kompromi. Ketiga, created spaces. Merupakan ruang yang dikreasikan oleh sekelompok orang terutama untuk mereka yang tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam ruang formal kebijakan.
24
diunduh dari (http://www.powercube.net/analyse-power/spaces-of-power/)
24
Upaya untuk terlibat dalam arena kebijakan dapat dianggap sebagai pembentukan arena, dimana sebelumnya arena tersebut tidak ada. Ruang ini diciptakan sebagai arena untuk menyampaikan perbedaan pendapat yang tidak didegar sebelumnya, dimana kesempatan publik untuk terlibat dibatasi, dan ruang yang memungkinkan setiap orang untuk menempati arena yang sebelumnya menolak mereka (cornwall, 2002:10). Arena berpartisipasi adalah jalan membuka peluang untuk terlibat yang mungkin dipahami dan dirasakan dalam term yang aktual, dimasuki dan diberikan oleh warganegara (Lefebvre, 1991)25. Lefebvre berpendapat bahwa ruang partisipasi bukan arena yang netral, ia merupakan produk sosial, tidak hanya ada, ruang menunggu untuk diisi, tetapi ruang bersifat dinamis dimana didalamnya terdapat kontrol dan dominasi kekuasaan
26
menganalisa
. Beberapa pemikir seperti Lefebvre, Bourdieu dan Foucoult partisipsi
dalam
perspektif
politik.
Lefebvre
menekankan
pentingnnya menganalisis hubungan sosial dan kekuasaan yang merupakan ruang untuk partisipasi. Hubungan sosial hanya ada di dalam dan melalui ruang, mereka tidak memiliki realitas diluar situs dimana mereka tinggal, dialami dan dipraktekkan.
Bagi Bourdieu, pola interaksi dalam ruang sosial yang begitu
mendarah daging sehingga tidak dirasakan lagi bahwa mereka menjadi benarbenar diwujudkan dan dibentuk dalam ruang tertentu. Foucoult menyatakan bagaimana arsitektur dan ruang fisik organisasi dapat berfungsi sebagai sarana dominasi dan kontrol.
25
Cornwall Andrea, Changing Places: Situating Participation in Development, (IDS Working Paper 170, Oktober 2002) hal. 11 26 ibid, hal.12
25
Andrea Cornwall dengan merujuk pada tiga pemikir diatas menyatakan bahwa ruang dimana warganegara diundang untuk berpartisipasi, serta orangorang yang diundang yang mereka susun sendiri, tidak pernah netral. Untuk itu, guna memahami partisipasi dalam setiap ruang yang diberikan, perlu juga dipahami bahwa hubungan kekuasaan yang menembus dan menghasilkan sebuah ruang27. Ruang
dalam
relasi
kekuasaan
menjadi
fundamental
(Cornwall,
2007:16) 28 . Ruang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan bagi posisi mereka yang menciptakan ruang dan merekalah yang menentukan konturnya. Strategi reversibility dalam ruang bahwa partisipasi dengan melibatkan warganegara merupakan resistensi bagi pencipta ruang. Lebih lanjut Cornwall menyebutkan bahwa ruang dipelihara sebagai cara untuk memperkuat suara terpinggirkan mungkin akan berakhir dengan diisi oleh penjaga kekuasaan, yang ’berbicara untuk’ tapi tidak dengan orang-orang yang mereka wakili; upaya keterlibatan seluas mungkin bisa salah ketika tidak ada seorang pun yang bersedia direpotkan dalam partisipasi. Intervensi aktor berpengaruh dalam menciptakan jumlah ruang yang semakin berkembang, dimana warganegara diundang untuk berpartisipasi, memiliki efek hanya sekedar menetralkan kekuatan partisipasi yang mungkin terbentuk diluar ruang yang disediakan oleh orang yang memiliki pengaruh.
27
ibid, hal.7 Cornwall, Andrea and Vera S.C. Space for Change?The Politics of Participation in New Democratic Arenas. 2007. Hal.16 28
26
Cornwall menunjukan ambiguitas partisipasi. Seringkali ruang tertentu yang diciptakan oleh penguasa, namun didalamnya terdapat orang-orang yang memiliki visi untuk melakukan tranformasi yang mungkin. Ruang diciptakan untuk satu tujuan, tapi digunakan oleh orang-orang yang datang untu mengisi ruang dengan sesuatu yang berbeda. Ruang yang diproduksi untuk melegitimasi kepentingan penguasa dapat menjadi tempat berekspresi dan ekspansi dari agency yang dilibatkan dalam ruang tersebut. Hadirnya ambiguitas ini, bagi Cornwall menjadi penting untuk mengeksplorasi secara lebih mendalam bagaimana, oleh siapa, dan mengapa ruang untuk berpartisipasi dibuka atau diisi?
3. Level Kekuasaan Level kekuasaan tidak lagi tunggal, tapi berlapis-lapis dan multipolar, yaitu ditemukan di berbagai tingkatan dan di antara aktor-aktor negara dan nonnegara. Dalam Power Cube, antar level kekuasaan (lokal, nasional dan global) memiliki relasi satu sama lain. Pertama, lokal level. Dalam dua dekade terakhir, program desentralisasi juga membuat tingkat lokal sangat penting, baik melalui program pemerintah daerah, serta sejumlah struktur lain untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek pembangunan, pelayanan, atau LSM. Strategi untuk berpartisipasi dalam pemerintahan lokal sudah sangat penting untuk perencanaan, alokasi anggaran dan monitoring. Kedua, level nasional. Meskipun semakin pentingnya badan supranasional pemerintahan internasional atau regional, banyak yang berpendapat
27
bahwa pemerintah pusat masih entry point penting untuk perubahan. Pemerintah nasional sering resmi mewakili warga di arena pemerintahan global, atau yang bisa memutuskan dalam melaksanakan perjanjian internasional. Sementara banyak aktivis dan juru kampanye telah difokuskan dalam beberapa tahun terakhir pada bentuk aksi global, semakin banyak aktor yang mengakui pentingnya perubahan tingkat nasional juga, termasuk fokus pada parlemen, lembaga eksekutif, partai politik nasional, pengadilan, dan sejenisnya 29. Ketiga, Level Global. Globalisasi dan bentuk-bentuk baru pemerintahan global telah menciptakan beragam ruang formal dan informal, negara dan nonnegara untuk partisipasi dan pengaruh pada tingkat luar negara bangsa. Di tingkat internasional, ini termasuk lembaga formal seperti yang terkait dengan PBB, Bank Dunia atau IMF, pertemuan yang terkait dengan perjanjian global dan perjanjian, seperti pada iklim, dan sejumlah ruang konsultasi untuk berpartisipasi 30. Dari konsep kubus kekuasaan diatas, penulis hanya akan menggunakan kekuasaan pada level lokal dan nasional dengan arena kekuasaan di LOD DIY sebagai invited spaces dalam relasinya dengan tiga formasi kekuasaan yaitu:visible, hidden dan invisible power. Titik berat pembahasan adalah pada level lokal dikarenakan arena kekuasaan yang dianalisa adalah LOD DIY sebagai invited space berada pada level lokal. Walaupun beberapa kebijakan berkait penguatan eksistensi LOD sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang dibuat pada level nasional. Sehingga,
29 30
Diunduh dari (http://www.powercube.net/analyse-power/levels-of-power/nasional-level/). Diunduh dari (http://www.powercube.net/analyse-power/levels-of-power/global-level/)
28
pembahasan dibatasi pada level lokal dengan sedikit menganalisa level nasional dalam konteks kebijakan nasional yang dijadikan sebagai rujukan dalam pembuatan kebijakan di tingkat lokal. Hal lain bahwa dalam penulisan ini, berbeda dengan teori Gaventa, penggunaan formasi kekuasaan yang bagi Gaventa dipisahkan secara tegas menjadi hidden , visible dan invisible, maka dalam penelitian ini formasi kekuasaan bergerak secara simultan satu sama lain. Berikut gambaran penggunaan teori kubus kekuasaan untuk menganalisa relasi kuasa LOD DIY sebagai ruang partisipasi baru:
Space Spaces Closed
LOD DIY sebagai Invited Space
Invited
Created
Level
Level Invisible Formasi Kekuasaan
Glob Nas Lokal
Invisible
Visible
Visible
Lokal dalam Kebijaka n Nasional
Formasi Kekuasaan
Hidden
Hidden
Menganalisa relasi level, formasi dan arena kekuasaan relevan untuk menganalisa LOD DIY sebagai arena yang diciptakan oleh pemerintah daerah untuk mengadvokasi hak pelayanan publik dalam relasinya dengan kekuasan
29
(power) yang lain. Penulis menggunakan teori Gaventa berdasar pada kenyataan bahwa selama ini isu partisipasi alfa terhadap rezim kuasa. Dengan teori Gaventa, akan dililhat lebih jauh apakah benar dalam perjalannya LOD DIY sebagai arena partisipasi
warganegara
dibiarkan
tumbuh
subur
sebagai
arena
bagi
warganegaranya untuk mendapatkan haknya atau justru LOD DIY berada pada relasi kuasa yang rumit baik dalam dirinya maupun relasinya dengan power yang telah membentuknya.
1.6 Definisi Konseptual Definisi konseptual mendefinisikan secara konseptual setiap konsep penelitian berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti melakukan observasi secara cermat terhadap suatu fenomena. Penjabaran definisi konseptual seperti terlihat dalam gambar di bawah ini:
LOD DIY sebagai Invited Space
Kekuasaan Gubernur sekaligus Kekuasan Raja dalam Formasi Hidden dan Visible. Serta karakter birokrasi pada ruang kuasa monarkhi yang bersifat invisible power
Level Kuasa Lokal dalam Kebijakan Nasional
30
Pertama, LOD DIY sebagai invited space. Karakter invited space melekat pada LOD DIY karena LOD DIY merupakan arena yang sengaja diundang oleh otoritas pemerintah DIY untuk memberikan masukan terhadap perbaikan pelayanan publik. Masukan tersebut ditempuh oleh LOD DIY melalui dua model partisipasi. Pertama,
partisipasi warganegara melalui pengaduan.
Kedua, partisipasi warganegara melalui pembentukan kelompok kerja berdasar isu kebijakan yang menjadi pilihan lembaga serta pembentukan jejaring geraka untuk mendesakkan isu kebijakan. Dua model partisipasi ini melahirkan rekomendasi untuk perbaikan kebijakan pelayanan publik dalam bentuk rekomendasi. Ruang kuasa wajib menindaklanjuti rekomendasi perbaikan yang disampaikan oleh LOD DIY. Hal ini menandakan bahwa LOD DIY merupakan invited space sekaligus merupakan ruang partisipasi baru bagi warganegara. Selanjutnya, peneliti menggunakan istilah ruang partisipasi baru. Kedua formasi kuasa: visible, invisible, dan hidden power. Dalam relasi LOD DIY dengan ruang kuasa pada level lokal, peneliti membagi ruang kuasa tersebut menjadi ruang kuasa pencipta LOD DIY dan ruang kuasa yang menjadi objek pengawasan LOD DIY. Ruang kuasa pencipta LOD DIY adalah Gubernur DIY yang sekaligus sebagai raja di Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah
Istimewa
Yogyakarta
memiliki
bentuk
dan
susunan
pemerintahan yang berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia. Perbedaan pokok bentuk dan susunan pemerintahan terletak pada pengintegrasian Kasultanan dan Pakualaman ke dalam struktur pemerintahan Provinsi DIY dan sekaligus pemisahan antara wewenang dan struktur pengelola urusan politik dan
31
pemerintahan sehari-hari dengan urusan politik strategis. Pengintegrasian Kasultanan dan Pakualaman ke dalam struktur pemerintahan Provinsi DIY dilakukan melalui pemberian wewenang, berikut implikasi-implikasi yang melekat di dalamnya kepada Sri Sultan dan Paku Alam sebagai satu kesatuan politik yang berfungsi sebagai Parardhya bagi keistimewaan DIY 31. Karakter ruang kuasa pencipta LOD DIY akan berimplikasi terhadap relasi yang terjalin antara LOD DIY dan ruang kuasa tersebut. Formasi kuasa yang dimiliki Gubernur DIY bersifat visible power dengan tata aturan kelembagaan pemerintaan Propinsi DIY dengan merujuk pada aturan formal yang berlaku. Sedangkan formasi kuasa yang dimiliki seorang raja bersifat hidden power, merujuk pada tata aturan kerajaan. Dua model formasi kuasa ini sangat dimungkinkan berjalan simultan dalam diri Sultan HB X sebagai Gubernur dan sebagai raja. DIY dengan karakter Monarkhi disatu sisi dan karakter pemerintah modern di sisi lain telah membangun karakter birokrasi yang merujuk pada dua karakter tersebut. Sehingga kecenderungannya, birokrasi di Pemerintahan DIY memiliki dua formasi kuasa yang melekat kuat yaitu visible power dengan tata aturan birokrasi yang bersifat formal dan invisible power sebagai bentuk penerjemahan dari kuasa Sultan sebagai Raja yang bersifat Hidden power. Sementara yang dimaksud dengan ruang kuasa yang menjadi objek pengawasan LOD DIY adalah ruang kuasa dari pemerintahan di level Provinsi DIY sampai pada tingkat Kabupaten/Kota, kecamatan dan Pemerintah Desa.
31
Lay Cornelis dkk, KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA: Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta, MONOGRAPH on Politics and Government Vol. 2, No.1. 2008 (1-122), hal. 40
32
Dualisme formasi kuasa pada level pemerintah kabupaten/Kota di DIY juga terjadi. Hal ini disebabkan Kasultanan dan Pakualaman merupakan sistem politik yang telah memiliki struktur kelembagaan yang lengkap bahkan hingga ke tingkat terbawah masyarakatnya. Masuknya Yogyakarta ke dalam NKRI tidak dengan sendirinya menggugurkan keberadaan berbagai institusi yang ada 32. Relasi LOD DIY dengan dua ruang kuasa dengan karakter dan formasi tersebut menjadikan ruang kuasa terkadang bersifat terbuka dan terkadang bersifat tertutup terhadap rekomendasi perbaikan dari LOD DIY.
Terbuka dan
tertutupnya ruang kuasa terhadap ruang partisipasi baru merupakan bentuk kolaborasi antara kuasa formal dan informal yang melekat pada diri Gubernur dan Birokrasi di DIY. Ketiga, level kebijakan. Level kebijakan lokal merupakan kebijakan yang dilahirkan dari otoritas pengambil kebijakan di tingkat lokal. Dalam kasus LOD DIY, pengambilan kebijakan di tingkat lokal lahir dari inisiatif pemerintah lokal dan pula kebijakan yang lahir dari penerjemahan atas kebijakan nasional.
1.7 Definisi Operasional Definisi operasional mendefinisikan secara operasional setiap konsep penelitian berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti melakukan observasi secara cermat terhadap suatu fenomena. Penjabaran definisi operasional seperti terlihat dalam Tabel 6 di bawah ini:
32
ibid, hal. 40
33
Tabel 3: Level, Formasi, dan Arena Kekuasaan Kekuasaan, Advokasi Hak Pelayanan Publik dan Perubahan Corak Kelembagaan Ombudsman Daerah 1. Formasi Kekuasaan Hidden Power Invisible Power Visible Power Mekanisme: Ekspresi berbeda Eksklusi dan Sosialisasi dan kontrol Lembaga Formal, dan Bentuk Kekuasaan delegitimasi: informasi: pejabat & instrumen: Partisipasi dalam Warganegara pengambilan keputusan diabaikan dalam Proses, praktek, mekanisme Terlihat publik tampaknya relatif lurus pengambilan norma dan yang membentuk ke depan di permukaan. kebijakan kebiasaan yang aturan dasar formal Tampaknya ditentukan oleh pelayanan publik membentuk masyarakat. konteks politik, pengaruh, oleh masyarakat, pemahaman sumber daya dan keahlian kebijakan masyarakat tentang Lembaga-lembaga aktor politik yang berbeda. pemerintah baik kebutuhan mereka, formal & pejabat: Namun mekanisme tak pusat maupun peran budaya, Pemerintah DIY, terlihat kekuasaan membentuk daerah, oleh kemungkinan dan Pemkab dan Pemkot efektivitas partisipasi implementasi di tindakan dengan Se-DIY, Bupati dan masyarakat. Mekanisme ini lapangan, dan oleh cara mencegah Walikota se-DIY, dapat mendorong institusi tindakan yang legislatif baik di ketidakberdayaan, efektif untuk Keluhan dari tingkat DIY maupun marjinalisasi atau hambatan. perbaikan dan warganegara dibuat Kabupaten/Kota, pemenuhan hak tidak terlihat karena Partnership, LSM dan pelayanan publik. adanya intimidasi, Media Massa kesalahan Diantara informasi, dan kelompok Instrumen: kooptasi. kelompok marjinal, Kebijakan, hukum, sosialisasi Pemimpin distigma konstitusi, peraturan, menginternalisasi tidak representative konvensi, mekanisme perasaan dan penyebab pelaksanaan dll subordinasi, apatis, keonaran (trouble menyalahkan diri maker) sendiri, ketidakberdayaan Informasi penting yang tersembunyi atau tidak dapat diakses. 2. Level Kekuasaan Lokal dalam Konteks Kebijakan Nasional dan Global Progam pemenuhan hak Program good governance dan perbaikan pelayanan publik di tingkat pelayanan publik tidak local semata-mata program yang pembentukan arena baru partisipasi sebagai respon atas pengawasan lahir dari inovasi pemerintah praktek governance di DIY daerah (local), tapi merupakan agenda global melalui
34
program good governance. Program ini kemudian diterjemahkan dalam kebijakan dan program di tingkat nasional. Serta menjadi kewajiban dari Pemda DIY untuk melaksanakan agenda tersebut. 3. Arena Kekuasaan Arena kekusaan dalam ruang invited spaces diciptakan oleh pemerintah DIY dalam relasinya dengan ruang kekuasaan yang lain
Invited Spaces Arena terbuka bagi warganegara untuk terlibat dalam perbaikan pelayanan publik. Baik melalui forum konsultasi kebijakan maupun pengaduan
Gambar 2: Formasi dan Arena Kekuasaan dalam Level Kebijakan Lokal
Beberapa fase pembentukan corak kelembagaan LOD DIY diatas akan dianalisa dalam relasinya dengan formasi kekuasaan yang sekaligus sebagai raja
35
serta relasi dengan rezim kekuasaan lokal secara utuh. Formasi kekuasaan yang sekaligus sebaga raja secara simultan mencerminkan kekuasaan yang hidden , visible dan invisible. Penerjemahan oleh rezim kekuasaan lokal yang termanifestasikan melalui eksekutif dibawahnya dan legislatif melahirkan advokasi LOD DIY dan masyarakat sipil terhadap LOD DIY sebagai invited space.
1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode studi kasus, karena penelitian ini bertujuan menjelaskan kasus (explanatory) dengan tipe pertanyaan penelitian “mengapa” dan “bagaimana” terkait seperangkat isu kontemporer yang tidak dikontrol/sedikit mendapatkan kontrol dari peneliti. Fokus penelitian ingin menjelaskan Bagaimana fase pembentukan kontrol dan dominasi ruang kuasa terhadap LOD DIY sebagai ruang partisipasi baru, dalam berbagai arena, level dan dimensi kekuasaan. Sehingga, jawaban akan lebih mengarah pada analisis mendalam mengenai relasi kuasa yang terjalin dalam proses dominasi dan kontrol dalam ruang tersebut.
1.8.2 Unit Analisis Penelitian ini mendalami relasi kuasa LOD DIY (2005-2015) sebagai ruang partisipasi baru dengan ruang kuasa lainnya dalam tiga dimensi kekuasaan:
36
level, formasi dan arena kuasa. Ruang kuasa lain terdiri dari eksekutif, legislatif, LSM, media massa, Partnership, Ombudsman Republik Indonesia, dan informal state apparatus.
1.8.3 Instrumen Penelitian Pada bahasan ini akan menjelaskan mengenai jenis data sekaligus teknik pengumpulan data yang akan digunakan. a. Data Primer : Data primer yang dibutuhkan: 1) sejarah terbentuknya lembaga partisipasi baru seperti LOD DIY; 2) bagaimana konteks kebijakan local, nasional dan global yang menjadi setting kelahirkan lembaga ini; 3) bagaimana pemerintah daerah memberikan jaminan konstitusi dan jaminan pendanaan bagi berjalannya LOD DIY; 4) bentuk-bentuk resistensi dan dominasi yang muncul dalam setiap perubahan corak kelembagaan LOD DIY; 5) bagaimana bentuk respon kekuasaan terhadap advokasi beberapa isu pelayanan publik yang dilakukan oleh LOD DIY; 5) bagaimana arena dan formasi kekuasaan yang dihadapi oleh LOD DIY dan seberapa jauh implikasinya terhadap perubahan corak kelembagaan LOD DIY. Untuk mendapatkan data tersebut akan dilakukan dengan analisa media massa, analisa produk akhir kelembagaan LOD DIY baik berupa rekomendasi, kesimpulan, dll; focus grup discussion; hasil-hasil audiensi dengan Gubernur DIY dan para pengambil kebijakan. Selain itu, akan dilakukan wawancara mendalam kepada sejumlah
37
narasumber antara lain: 2) sejumlah tokoh masyarakat dan akademisi perintis pendirian LOD DIY; 3) birokrasi terutama Biro Hukum dan Biro Organisasi Setda DIY; 4) informal state apparatus yang dekat dengan ; 5) beberapa anggota DPRD DIY; 5) aktivis LSM; 6) Komisioner LOD DIY. b. Data Sekunder : Data sekunder yang dibutuhkan adalah: 1) dokumen perencaaan kelembagaan LOD DIY; 2) Keputusan Gubernur DIY; dll.
1.8.4 Teknik Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif melalui proses pengaturan data, pengorganisasian data, dalam pola yang akan disesuaikan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini. Kemudian tahap verifikasi dilakukan untuk memperoleh kesesuaian pemahaman makna antara peneliti dan subjek penelitian. Penulis adalah asisten di LOD DIY sejak tahun 2005-2012. Kemudian, melalui seleksi profensional, penulis terpilih menjadi Ketua LOD DIY Periode III (Tahun 2012- Januari 2015). Dalam penulisan
naskah thesis ini, penulis
merupakan objektivitas dari data itu sendiri. Hal harus dilakukan penulis kemudian adalah menjaga jarak kritis dengan data tersebut sehingga tulisan ini bisa menjadi sebuah karya ilmiah/akademik. Dalam status yang demikian, proses penulisan thesis ini tidaklah mudah. Untuk menjembatani hal di atas, penulis sejak awal telah menggunakan
38
data-data publik baik berupa pemberitaan di media, data kebijakan, hasil pertemuan formal berupa Focus Group Discussion dan audiensi dengan Gubernur maupun birokrasi dan forum-forum formal lainnya sebagai pijakan untuk analisa data. Disamping itu, penulis juga melakukan wawancara mendalam terhadap pihak-pihak yang menjadi aktor kunci dalam dinamika kelembagaan LOD DIY.
1.9 Sistematika Penulisan 1. BAB I: Pendahuluan Berisi tentang Latar Belakang; Rumusan Masalah; Tujuan dan Manfaat Penelitian; Literature Review; Kerangka Teori; Definisi Konseptual; Definisi Operasional; Metode Penelitian; serta Sistematika Penulisan.
2. BAB II: Pembentukan LOD DIY sebagai Ruang Baru Partisipasi Berisi tentang sejarah pembentukan LOD DIY sebagai ruang baru partisipasi; alasan di balik pembentukannya; setting social dan politik yang hadir pada saat kehadiran awalnya. Bab
ini juga akan membahas
bagaimana konteks kebijakan local, nasional dan global yang menjadi setting kelahirkan lembaga ini, serta bagaimana pemerintah daerah memberikan jaminan konstitusi dan jaminan pendanaan bagi berjalannya LOD DIY. 3. BAB III:
Perubahan Konstelasi Politik Pasca Pembentukan LOD
DIY sebagai Ruang Partisipasi baru
39
Membahas dinamika relasi kuasa yang terbangun antara LOD DIY dan ruang kuasa yang ada berikut isu pelayanan publik yang berdampak pada pelemahan LOD DIY sebagai ruang partisipasi baru. 4. BAB IV: Merebut Ruang Partisipasi Baru Membahas bagaimana upaya merebut kembali invited space yang sudah diberikan penguasa kepada masyarakat sipil yang pada perjalanannya ada upaya dari penguasa untuk melakukan perebutan kembali ruang partisipasi baru tersebut. Dalam bab ini juga akan dibahas bagaimana LOD DIY mengadvokasi dirinya terhadap penutupan ruang partisipasi baru yang dilakukan penguasa. 5. BAB V: Kesimpulan Dan Saran
40