BAB V BENTUK RELASI KUASA DALAM PENGELOLAAN RESOR WISATA NUSA DUA
Bab ini membahas bentuk relasi kuasa dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua, juga sekaligus menjawab pertanyan pertama permasalahan dalam penelitian ini. Dalam bab ini mencakup hubungan relasi kuasa yang terjadi dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua dan adanya hegemoni pemerintah terhadap masyarakat dalam bentuk kekuasaan pemerintah, kekuasaan investor khususnya pemilik modal yang membangun hotel di Resor Wisata Nusa Dua, dan adanya kekuasan oposisional atau perlawanan masyarakat. Untuk membahas lebih lanjut bab ini akan digunakan teori hegemoni Antonio Gramsci dan juga mengaitkan dengan teori diskursus Michel Foucault. Hegemoni adalah konsep analisis yang diperkenalkan Gramsci dan mendapat banyak sambutan oleh kalangan tokoh kajian budaya. Mereka mendapatkan bahwa konsep hegemoni sangat produktif dalam memahami makna teks (Lewis 2008:78). Ahli sosiologi Frank Parkin (1971) mengembangkan hegemoni dalam analisis sosiologi sedangkan ahli kajian media Stuart Hall menggunakan konsep hegemoni dalam studinya tentang respon masyarakat dalam menonton acara televisi. Hall (dalam Storey 1996: 12-13) membagi tiga jenis penonton televisi dalam merespon wacana acara televisi, yaitu the dominanthegemonic position (posisi terhegemoni secara dominan), the negotiated position (posisi negosiasi), dan the oppositional code (posisi oposisional).
97
98
Alat analisis dalam disertasi ini menggunakan konsep hegemoni Gamsci dan kemudian pengembangannya yang dilakukan Hall. Dalam posisi terhegemoni berarti masyarakat atau penonton televisi menerima tanpa sikap kritis makna yang disampaikan lewat acara televisi, sedangkan mereka yang dalam posisi negosiasi melakukan pemahaman secara kritis atas makna yang disampaikan dengan sikap mungkin menerima atau menolak sebagian, sedangkan mereka yang mengambil posisi oposisional sepenuhnya menolak pesan-pesan yang ditanamkan dalam wacana acara televisi. Konsep teks dalam kajian budaya bermakna luas, bukan saja mengacu pada teks sastra, acara televisi, tetapi juga segala bentuk komunikasi dan relasi yang berujung pada pemaknaan. Relasi antara pilar-pilar dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua juga dapat dijelaskan dalam tiga bentuk yaitu relasi hegemoni, relasi negosiasi, dan relasi oposisi. Dalam relasi hegemoni posisi pemerintah/BTDC lebih dominan daripada masyarakat, artinya bahwa masyarakat tunduk pada wacana dan gagasan-gagasan pemerintah, sedangkan dalam relasi negosiasi dan oposisional kondisinya bergeser di mana masyarakat mulai berani melakukan tawar-menawar atas apa yang dilakukan pemerintah/BTDC dalam konteks pengelolaan dan pengembangan Resor Wisata Nusa Dua. Relasi kuasa tersebut dipengaruhi oleh situasi makro sosial politik Indonesia dan daerah. Relasi kuasa hegemonik mewarnai hubungan antara pemerintah dan masyarakat sekitar Nusa Dua pada masa proses pembebasan tanah dan pembangunan hotel-hotel. Relasi kuasa hegemonik sedikit demi sedikit mendapat negosiasi menjelang jatuhnya kekuasaan Orde Baru akhir tahun 1990-an. Relasi
99
oposisional semakin mewarnai hubungan ketiga pilar pasca-reformasi. Era demokratisasi dalam dunia politik juga mewarnai keberanian masyarakat di Nusa Dua dan sekitarnya untuk melakukan oposisi terhadap kepentingan penguasa dan pengusaha. Bab ini dibagi menjadi tiga bagian utama, yang membahas tiga bentuk relasi kuasa, yaitu relasi kuasa hegemonik, negosiasi, dan oposisi.
5.1
Relasi Kuasa Hegemonik Relasi kuasa hegemonik dirasakan masyarakat dalam berhadapan dengan
pemerintah dalam proses perencanaan, pembebasan tanah, dan pembangunan resor wisata Nusa Dua. Situasi hegemonik berlanjut dalam proses pengelolaan. Dalam proses perencanaan pembangunan, pembebasan tanah, dan pelaksanaan pembangunan, kuasa pemerintah sangat menonjol, sementara masyarakat di wilayah terdampak langsung dengan pembangunan resor wisata Nusa Dua ini kurang mendapat ruang untuk menyampaikan aspirasinya. Mereka menjadi objek pembangunan. Mereka mesti mendukung pembangunan resor Nusa Dua sebagai destinasi wisata kelas mewah. Hal ini terjadi karena pada zaman Orde Baru yang bersifat sentralistik bahkan otoriter, rakyat tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menawar apalagi menolak program pemerintah. Jika mereka melakukan penolakan, mereka bisa dituduh menghambat pembangunan dan resikonya cukup serius, sehingga tidak mengherankan banyak masyarakat yang menghindari untuk berbeda haluan dengan pemerintah, termasuk masyarakat sekitar Resor Wisata Nusa Dua.
100
Dalam pembebasan tanah Nusa Dua pemerintah melakukan hegemoni dengan cara memberi argumen bahwa daerah Nusa Dua yang gersang (lihat Gambar 5.1). Pernyataan bahwa tanah di sana gersang dan kurang produktif adalah benar untuk masa itu. Masyarakat hanya menanam kelapa dan memelihara ternak sapi dan kerbau yang pakan rumputnya dihasilkan dari tanah yang gersang. Wacana yang diajukan kemudian adalah menyulap tanah gersang yang kurang produktif menjadi proyek pariwisata yang lebih menguntungkan semua pihak, termasuk tentunya rakyat sekitar. Proyek pariwisata yang dibangun akan menjadi destinasi wisata yang dapat membuka lapangan pekerjaan dan sumber daya ekonomi baru untuk kesejahteraan masyarakat. Karena tanah tersebut tidak produktif sebagai lahan pertanian pemerintah membeli tanah masyarakat dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah yaitu dengan harga murah. Dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah tersebut, masyarakat harus menjualnya. Setiap tindakan hegemoni terhadap suatu kelas atau golongan secara sadar maupun tidak sadar ada yang mendukung dan ada yang tidak mendukung terhadap keberadaan Resor Wisata Nusa Dua. Bagaimana respon masyarakat atas wacana pemerintah membangun resor wisata, tampak dari pendapat I Made Kuna, mantan Bendesa Adat Bualu (periode 1982-2007), yang juga adalah anggota masyarakat yang tanahnya ikut dibebaskan. Dengan demikian, pernyataan Made Kuna bisa dilihat secara kuat karena mewakili dirinya sebagai anggota dan sebagai tokoh yang mewakili warganya. Dalam wawancaranya, Made Kuna menyampaikan: Awalnya berkisar tahun 1970-1971, pemerintah menginformasikan kepada masyarakat keperbekelan Benoa bahwa tanah yang lokasinya di pinggir pantai sebelah timur akan dibebaskan pemerintah dan akan dibangun untuk kegiatan pariwisata. Penjelasan aparat pemerintah, bagi masyarakat yang
101
memiliki tanah tersebut akan diberikan ganti rugi sesuai harga tanah yang ditetapkan oleh pemerintah, saat itu saya/kami keluarga merasa sedih karena tanah warisan kami akan dijual. Namun, karena ini untuk kepentingan pemerintah dan adanya janji pemerintah bila tanah yang tidak produktif, kering, dan tidak subur akan dibangun untuk kepentingan pariwisata dan akan memberikan tingkat kesejahteraan lebih baik kepada masyarakat melalui bisa ditampung sebagai pekerja, bisa berusaha sebagai peluang kerja dan berusaha semakin banyak dan bisa menghasilkan dan meningkatkan perekonomian masyarakat (Wawancara 1 Juni 2014).
Wacana pemerintah yang bisa ditangkap dari ungkapan I Made Kuna tersurat dan tersirat dalam pilihan kata seperti ‘tanah kering, tidak produktif’ yang akan ‘dibebaskan’ oleh pemerintah untuk pembangunan pariwisata yang dapat menampung tenaga kerja, yang dapat membantu masyarakat untuk menjadi sejahtera. Terkesan kuat bahwa Made Kuna menerima gagasan pembebasan tanah karena dilakukan pemerintah untuk kepentingan pembangunan pariwisata. Idiom ‘pembangunan’ sangat kuat dalam era Suharto, kata-kata yang bisa menyilaukan sekaligus menakutkan sehingga tidak ada kemampuan untuk menolak. Dari sumber lain, seperti dikutip Madiun (2010), kita mengetahui bahwa sejumlah masyarakat mengalami intimidasi dalam proses pembebasan tanah.
Gambar 5.1. Nusa Dua tahun 1970, dianggap tanah gersang dan tak produktif (Repro laporan SCETO 1970).
102
Dalam proses pembebasan itu, harga tanah ditentukan secara sepihak oleh pemerintah, tapi, seperti kata Made Kuna, masyarakat yang merasa sedih akan melepaskan tanahnya biasanya menerima saja apa yang diberikan oleh pemerintah. Lebih lanjut Made Kuna menyampaikan ingatannya sebagai berikut: Pada waktu itu tanah kami dibebaskan dan dibayar dengan harga Rp.6.000,- - Rp.10.000,-/are sesuai dengan kelas tanah. Kami pemilik tanah walaupun ada perasaan sedih tidak bisa berbuat lain, akhirnya menyetujui untuk melepaskan tanah dan menerima ganti rugi tanah sesuai yang ditetapkan pemerintah.
Dalam proses ganti rugi itu, pemerintah mencoba menunjukkan sikapnya yang bajik dengan kemudian memberikan ganti rugi lain seperti membayar pohon kelapa di atas tanah dan memberikan kompensasi kepada masyarakat berupa tanah kapling, seperti dituturkan oleh Made Kuna: Setelah berjalan beberapa waktu kembali pemerintah ada perhatian untuk mengganti rugi. Semua pohon kelapa dibayar dan semua bangunan yang ada di atasnya juga diberi ganti rugi. Sebagai kompensasi masing-masing kepala keluarga diberi tanah kapling 3,5 are.
Dalam studinya, Madiun (2010) mendapatkan bahwa terjadi intimidasi dalam proses pembebasan tanah. Masyarakat menerima nilai ganti rugi dan kompensasi atas tanah yang diserahkan bukan karena mereka sepenuhnya mendukung program pembangunan daerah wisata tetapi karena perasaan takut dari intimidasi. Relasi kuasa yang tidak seimbang. Namun, agar tidak dituduh sebagai penghambat program pembangunan pemerintah, masyarakat yang tanahnya harus diserahkan memilih menerima keputusan pemerintah. Secara nyata masyarakat yang tanahnya dibebaskan secara langsung, tersirat rasa menolak atas pembebasan tanah milik mereka oleh pemerintah. Tetapi
103
di balik pembebasan tanah tersebut pemerintah yang didukung oleh kekuatan dan pengetahuan yang lebih tinggi dari masyarakat dapat secara sadar maupun tidak sadar telah membuat pikiran masyarakat untuk membanggakan BTDC karena memberi ganti rugi, di sinilah berjalannya hegemoni kuasa dan pengetahuan BTDC dengan halus tanpa disadari oleh masyarakat. Pemerintah menggunakan mekanisme wacana yang di-back up dengan bentuk intimidasi dalam memperoleh dominasinya atau memelihara hegemoninya. Proses pembebasan tanah dan pembangunan berjalan sesuai rencana, mengesankan masyarakat menerima dengan lapang dada dan mendukung proyek pembangunan pariwisata di Nusa Dua. Tahun 1983, Presiden Suharto datang ke Nusa Dua untuk meresmikan beroperasinya hotel pertama di resor tersebut yaitu Nusa Dua Beach Hotel. Proses pengelolaan dengan sistem sewa pun berjalan seperti direncanakan, hampir tidak ada persoalan yang muncul di antara penguasa, pengusaha, dan masyarakat. Daerah yang dahulunya sangat gersang dan tidak menjanjikan bagi pertanian sekarang diubah dan ditata menjadi resor pariwisata seperti pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2. Tugu Selamat Datang Nusa Dua (Dok. Purnaya 2014)
104
Sebagaimana yang dipaparkan Anak Agung Gede Rai Direktur Utama PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) atau BTDC periode 1995-2001 menyatakan: Pada awalnya hubungan BTDC (dalam hal ini pemerintah yang mengelola wilayah Nusa Dua) dengan rakyat Bualu dan sekitarnya berjalan normal, walaupun sering terasa adanya “rasa irihati” (jealousy) dari sejumlah individu di wilayah tersebut. Individu-individu barangkali agak “kaget”, mengingat Nusa Dua yang pada awalnya merupakan wilayah gersang, tidak memberikan harapan apa-apa dari segi pertanian, setelah dikembangkan, ditata dan dilengkapi dengan berbagai infra struktur menjadi tempat pembangunan sejumlah hotel, lapangan golf dan sarana lainnya lalu berubah total menjadi penghasil uang. Pertama-tama terasa adanya keinginan untuk mendapatkan “bagian” dari keberhasilan pembangunan itu (Wawancara 5 April 2014).
Namun, karena secara hukum, masyarakat sudah melepaskan hak atas tanahnya, tentu saja mereka tidak memiliki dasar untuk melampiaskan ‘rasa irihatinya’. Dalam relasi kuasa antara penguasa/BTDC, pengusaha, dan masyarakat di mana pemerintah lebih kuat, maka masyarakat menerima apa yang terjadi. Anak Agung Gede Rai, menyatakan bahwa hampir tidak ada masalah antara penguasa dan masyarakat di Nusa Dua, paling tidak sampai tahun 1999. Persoalan serius justru terjadi tahun 1999, dampak dari kegagalan Megawati menjadi Presiden. Dalam wawancara AA Gede Rai mengungkapkan: Dari tahun 1995 sampai tahun 2001, tidak ada catatan peristiwa miskomunikasi dengan masyarakat. Peristiwa kerusuhan tahun 1999 sebagai dampak kegagalan seorang calon presiden menduduki Posisi RI I, sangat tidak dapat dimengerti mengapa Facade di jalan masuk kawasan BTDC, sebagian perumahan Direksi, serta kendaraan dirusak oleh sekelompok orang (Wawancara 5 April 2014).
Posisi BTDC selaku badan usaha milik negara dalam mengelola Resor Wisata Nusa Dua dijelaskan oleh A.A Gede Rai akan menangani hal yang
105
merupakan kewenangannya. Jika ada masalah tanah atau ganti rugi yang belum tuntas, BTDC menyerahkan kepada pihak pemerintah. Mulai dari tahun 1995, ahli waris seorang warga Bualu pernah mengira bahwa sebidang tanah yang kini merupakan bagian dari Lapangan Golf Nusa Dua, tidak lain dari tanah leluhurnya yang tidak dibayar oleh Pemerintah saat proses pembebasan tanah untuk membangun Resor Wisata Nusa Dua berlangsung. Beberapa anggota DPRD Bali pernah ikut memeriksa tanah tersebut dan dokumen-dokumennya. Jika terjadi misunderstanding dengan masyarakat solusi yang ditempuh, kalau masalah tanah seperti tersebut dianggap sebagai misunderstanding, yang jelas pihak BTDC telah mengambil kebijakan solusi berupa penyerahan masalah tersebut kepada instansi pemerintah yang berwenang, mengingat bahwa pemilik tanah itu sejak pembebasan tanah, berdasarkan Akta tidak lain dari BTDC (Wawancara 5 April 2014).
Penguasa dan pemerintah yang sejak awal dalam uraian ini diasumsikan sebagai satu pilar, dalam kenyataannya adalah terdiri dari berbagai instansi dengan tugas dan fungsi masing-masing, dan ini nyata dalam proses perkembangan pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua. Untuk urusan pengelolaan resor, BTDC hadir sebagai wakil penguasa atau pemerintah, sedangkan dalam urusan legalitas kepemilikan tanah, ada badan pemerintah yang menangani dan jika ada masalah, BTDC menyerahkan kepada badan pemerintah lokal terkait. Dalam keterangan di atas, AA Gede Rai menunjukkan peran dan fungsi badan yang dipimpinnya dan badan pemerintah lain dengan urusan terkait dengan Nusa Dua. Di satu pihak penyaluran itu memang sesuai prosedur karena tidak mungkin menuntut BTDC untuk menangani apa yang bukan menjadi bidangnya, di lain pihak penyaluran solusi itu mengesankan BTDC menutup pintu dialog. Pada zaman Orde Baru masih kuat, pola penyelesaian seperti itu adalah biasa terjadi, masyarakat biasanya merasa pasrah dan menerima. Mereka tidak merasa berada
106
dalam dominasi atau hegemoni pemerintah. Namun, sesudah jatuhnya Orde Baru, dan mulai berlangsungnya era reformasi, situasi berubah dan ikut mengubah relasi antara BTDC dan masyarakat.
5.2
Relasi Kuasa Negosiasi Pasca-Reformasi Perkembangan pariwisata tidak saja berkaitan dengan angka kunjungan
dan kenyamanan di destinasi tetapi juga sangat dipengaruhi oleh situasi sosial politik dalam negeri tuan rumah. Hal ini terlihat jelas dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua. Riak-riak protes yang sempat muncul sebelum reformasi dan dengan mudah diberangus oleh pemerintah, mulai menguat dalam masa reformasi dan pihak pemerintah tidak mudah membungkamnya. Penguasa atau pengusaha di Nusa Dua tidak bisa menganggap keluhan, protes, permintaan, demonstrasi masyarakat sebagai angin lalu yang bisa diselesaikan dengan ancaman aparat atau ancaman hukum. Ungkapan AA Gede Rai menunjukkan adanya aspirasi masyarakat yang mulai diangkat ke permukaan. Terjadi pergeseran dari sifat pasrah masyarakat menjadi mulai mengartikulasikan kepentingan. Jika dilihat dari perjalanan waktu, pergeseran keberanian masyarakat menyampaikan aspirasi terjadi sejalan dengan berubahnya iklim sosial politik di Indonesia, yakni mulai melemahnya kekuasaan Orde Baru dan mulai menguatnya dorongan untuk reformasi. Hal seperti itu juga terjadi pada waktu-waktu kemudian, bahkan masyarakat
tampak
lebih
melebarkan
berbagai
kepentingannya
dalam
mendapatkan hak menikmati keuntungan ekonomi pariwisata di Nusa Dua. Pada
107
masa manajemen BTDC dipegang oleh Dirut Ida Bagus Wirajaya (periode 2011sekarang), misalnya, relasi kuasa antara BTDC dan masyarakat diwarnai dengan dialog dan negosiasi untuk keuntungan semua pihak, terutama dalam kerangka mengembangkan Nusa Dua sebagai resor mewah (Gambar 5.3) tanpa mengabaikan kebutuhan masyarakat dalam menjalankan hak hidupnya untuk mencari nafkah. Wirajaya menyampaikan usaha-usahanya untuk mencari jalan ke luar dalam miskomunikasi yang terjadi: Miskomunikasi terjadi tentang masalah persepsi peruntukan kawasan Nusa Dua, BTDC dengan konsep luxurious resort menghendaki keamanan dan kenyamanan wisatawan yang tinggal di Nusa Dua. Tidak terlalu banyak diganggu oleh para pedagang, di sisi lain bagi masyarakat, dengan banyaknya wisatawan yang berjemur di pantai adalah peluang untuk berjualan. Persepsi tentang kualitas angkutan (taxi) hotel menghendaki angkutan wisatawan harus bagus, bersih dan harga pasti (argo taxi), sedang masyarakat menghendaki dapat ikut melayani wisatawan dengan taxi miliknya yang belum ada argonya (Wawancara 12 Maret 2014).
Dalam menyelesaikan persoalan miskomunikasi, Dirut BTDC melakukan tindak komunikasi dengan melakukan dialog dan memberikan pengertian sesuai dengan peraturan yang berlaku dan nilai-nilai etika yang berlaku. Mekanisme yang diajukan dalam dialog adalah ketentuan normatif yang tampaknya lebih berpihak pada mempertahnkan kepentingan BTDC. Yang penting juga, demi tercapai pembangunan pariwisata yang berorientasi kesejahteraan rakyat, pihak BTDC mengizinkan mereka berusaha asal tertib. Lebih lanjut, Wirajaya menyampaikan: Bila terjadi miskomunikasi dengan masyarakat, BTDC lakukan pendekatan dengan para tokoh baik yang formal maupun tidak formal dengan menjelaskan atau menanyakan keinginan masyarakat, solusinya biasanya kita cari jalan ke luar yang saling menguntungkan seperti masalah pedagang pantai yang sesuai dengan konsep Kawasan Nusa Dua
108
dan PERDA II Pemda Badung tidak membolehkan kegiatan di pantai yang sifatnya komersial, tetapi karena kebutuhan masyarakat untuk ikut menikmati pembangunan pariwisata dengan kemampuan yang dimilikinya, maka, BTDC memberikan mereka berdagang dengan syarat harus tertib dan ramah, dan mereka harus membentuk kelompok untuk memudahkan pembinaan. Masalah Taxi argo, BTDC mengadakan pendekatan dengan pihak hotel agar memberikan kesempatan kepada masyarakat pemilik taxi ikut antre di hotel masing-masing sebanyak 5 unit taxi secara bergiliran. Masyarakat diharuskan memasang argo pada taxinya secara bertahap sehingga pelayanannya lebih baik (Wawancara 12 Maret 2014).
Gambar 5.3. Nusa Dua tertata baik, sangat berbeda dengan dahulu ketika masih gersang. (Dok. Purnaya, 2014).
Berbeda dengan pada era Orde Baru, ketika relasi kuasa antara pemerintah dan masyarakat tampak tidak seimbang, di mana masyarakat berada di pihak yang ‘mesti’ mengalah atau ‘dikalahkan’, pada masa reformasi pemerintah mau tidak mau harus mendengarkan aspirasi dan tuntutan masyarakat, apalagi kalau itu memang murni tuntutan untuk mendapatkan mata pencaharian yang merupakan hak masyarakat.
109
Dialog sebagai bentuk negosiasi dalam membahas kepentingan bertujuan untuk mendapatkan hal terbaik dari semua pihak terkait. Harmonis adalah tujuan utama dialog. Dalam konteks pengelolaan BTDC, harmonisnya hubungan antara ketiga pilar akan membuat suasana di Resor Wisata Nusa Dua akan nyaman, yang ujung-ujungnya akan mendukung destinasi kelas mewah itu dalam memuaskan wisatawan yang menginap dan berkunjung ke sana. Menjelaskan hubungan BTDC dengan masyarakat dewasa ini, Ida Bagus Wirajaya, sebagai Dirut BTDC memaparkan “Hubungan BTDC dengan masyarakat sampai saat ini cukup harmonis
dan
saling
memahami
dengan
posisi
masing-masing,
saling
membutuhkan satu sama lainnya (Wawancara 12 Maret 2014)”. Pemaparan antara Direktur Utama BTDC periode 1995-2001 dan periode 2011–sekarang di atas mempunyai perbedaan yang mencolok. Hal ini bisa disebabkan pada masa jabatan direktur utama periode 1995-2001 terjadi banyak persoalan pada masa jabatannya menyusul dengan euforia politik yang mendorong kesadaran publik dalam menuntut haknya, sedangkan pada masa direktur utama periode 2011- sekarang, persoalan-persoalan tersebut sudah mulai hilang karena sudah dicarikan solusi. Penegakan hukum mulai tertata sehingga jika ada persoalan, regulasi atau ketentuan dijadikan patokan pemecahan masalah. Semua instansi, termasuk BTDC harus cepat tanggap terhadap persoalan yang berkaitan dengannya. Sehubungan dengan hal-hal ini, negosiasi tidak perlu sampai menjadi tindak oposisi. Upaya dialog sebagai tindak komunikasi diutamakan sehingga masalah yang muncul tidak semenonjol pada masa lalu. Setiap pilar merasakan
110
memiliki kuasa yang terbatas dan sama-sama bertindak berdasarkan regulasi atau hukum. Jika ditelaah ke belakang secara tidak langsung kita dapat bahwa awalnya masyarakat benar-benar tidak mengetahui fungsi dari pembebasan resor tersebut. Mereka tahunya hanyalah dibebaskan oleh pemerintah dan untuk kepentingan pemerintah, bukan untuk kepentingan lain. Setelah selesai secara keseluruhan Resor Wisata Nusa Dua
menjadi
daerah yang dipisahkan bagi warga sekitar Nusa Dua, hal ini dilakukan dengan cara membangun tembok-tembok pembatas di sepanjang Resor Wisata Nusa Dua tersebut agar masyarakat tidak dengan mudah ke luar masuk Resor Wisata Nusa Dua. Dalam melancarkan hegemoni penguasa selalu merekayasa kesadaran masyarakat sehingga tanpa mereka sadari dan secara tidak langsung mereka juga mendukung. Untuk mencapai tujuannya penguasa melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah dalam berbagai bentuk upaya melakukan hegemoni terhadap rakyat, seperti pada gambar 5.4.
Gambar. 5.4 Tembok-tembok pembatas lokasi hotel di resor wisata Nusa Dua (Dok. Purnaya, 2014).
111
Tembok-tembok pembatas ini dibangun untuk mengasingkan antara pengunjung Resor Wisata Nusa Dua dengan masyarakat sekitar agar para pengunjung merasa lebih nyaman berkunjung ke Resor Wisata Nusa Dua dengan taraf internasionalnya tanpa adanya gangguan dari masyarakat. Begitu juga di sekitar hotel dekat pantai juga terdapat tembok pembatas antara masyarakat dengan hotel. Apabila digambarkan secara ilustrasi perbedaaan Resor Wisata Nusa Dua dengan masyarakat sebagai berikut.
Gambar. 5.5 Pemisah antara masyarakat dengan Resor Wisata Nusa Dua (Dok. Purnaya,2014).
Gambar 5.5 memperlihatkan secara tidak langsung adanya pemisah antara masyarakat dengan Resor Wisata Nusa Dua yang dilakukan pemerintah, hal ini merupakan salah satu bentuk hegemoni pemerintah terhadap masyarakat sekitar Nusa Dua. Pemisahan ini dilakukan bukan semata-mata karena satu alasan tertentu tetapi terdapat banyak alasan yang terdapat di dalamnya seperti tingkat keamanan Resor Wisata Nusa Dua dari ancaman masyarakat, kenyamanan wisatawan dalam berkunjung ke Resor Wisata Nusa Dua tanpa adanya gangguan
112
dari masyarakat yang ke luar masuk dengan bebasnya. Hegemoni pemerintah ini berjalan karena didukung oleh kekuasaan yang dimiliki, karena hegemoni tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya kekuasaan yang mendukung. Pada masa ini masyarakat menerima apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah, masyarakat menerima secara seratus persen apa yang telah menjadi ketetapan pemerintah. Menurut Gramsci dalam (Suyanto, 2010: 23) hegemoni akan tetap berkembang apabila cara hidup, cara berpikir, dan pandangan pemikiran masyarakat bawah, termasuk golongan kaum proletar telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya hidup dari golongan elit yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka. Hegemoni akan melahirkan kepatuhan: sebuah sikap yang menerima keadaan, tanpa mempertanyakan lebih lanjut secara kritis, karena mereka menelan mentahmentah ideologi yang diekspos kaum borjuis. Dalam Resor Wisata Nusa Dua Kelurahan Benoa, hegemoni tidak saja terjadi dari pemerintah kepada masyarakat secara keseluruhan, tetapi juga terjadi dari pemerintah kepada investor yang menanamkan modal di Nusa Dua. Investorinvestor yang berupa hotel-hotel di daerah Nusa Dua harus menyetujui ketentuan yang berlaku dari pemerintah atau BTDC tanpa bisa dibantah. Semua ketentuan itu harus dilakukan oleh para invertor agar bisa mendirikan hotel di resor wisata Nusa Dua dengan ketentuan kontrak yang terbatas oleh waktu, para investor hanya mempunyai hak sewa lahan selama yang terdapat pada kontrak. Apabila investor melanggar akan diberikan sanksi. Walaupun ada kontrak yang ditetapkan tidak semua kegiatan atau permasalahan dibantu oleh BTDC, sebagaimana
113
disampaikan Asih Wesika, Director of Human Resources Nusa Dua Beach Hotel Spa, berikut: Hubungan dengan BTDC cukup baik, masih banyak hal-hal yang diharapkan dibantu BTDC tetapi tidak terlaksana seperti penanganan masalah desa, sumbangan taxi, sengketa batas, supply air, penerangan, banjir dan lain-lain. Perlu dicatat, BTDC belum mampu menunjukkan sikap proaktif cenderung pasif (Wawancara 10 April 2014).
Hal ini dapat dilihat tidak semua dibantu oleh BTDC. Sedangkan Anak Agung Gede Rai, Direktur Utama PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) atau BTDC periode 1995-2001 dalam wawancaranya menyatakan: Investor berhubungan langsung dengan BTDC terutama dalam hal sewamenyewa lahan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tertera dalam buku sewa-menyewa dan pemanfaatan lahan (LUDA) di kawasan BTDC. Investor tidak berinteraksi dengan masyarakat secara luas, kecuali dengan mitra-mitra kerjanya dalam kegiatan pembangunan fisik hotel dan persiapan sarana-sarana lain yang diperlukan (Wawancara 5 April 2014).
Pernyataan tersebut secara tidak langsung telah memperlihatkan bahwa adanya hegemonik yang berjalan dengan sendirinya dan bersifat penuh terhadap investor tanpa bisa dinegosiasikan. Tetapi untuk mencapai apa yang diinginkan oleh investor, investor juga berani mengambil resiko asalkan niat yang dimaksudkan terlaksana. Hegemoni ini tidak hanya sebatas perjanjian kontrak sewa-menyewa saja, para investor seperti yang di sampaikan Ni Wayan Seriani Director of Finance Novotel menyampaikan: Karena hotel bernaung di bawah Accor Management yang mana hotel punya kewajiban untuk menyetorkan dana Rp 15.000 per kamar ke CSR Accor Bali-Lombok untuk membuat sanggar di daerah Bedugul (Wawancara 4 Maret 2014).
114
Ketentuan setiap hotel mempunyai perbedaan yang mendasar kenapa suatu hotel harus melakukan hal tersebut, sedangkan hotel lain tidak diharuskan untuk melakukan hal yang sama. Walaupun sama-sama mempunyai power tetapi tetap ada yang menjadi korban hegemoni dari suatu golongan dalam mencapai tujuan tertentu sebagaimana Asih Wesika menyatakan : Pola strategi penyaluran CSR belum terpola dengan baik atau terstruktur. Semua kegiatan CSR masih dalam bentuk bantuan yang sifatnya sewaktu-waktu. Belum mencapai ranah pengembangan talenta bakat dan minat masyarakat untuk membantu mereka berkembang kecuali anakanak cacat (Wawancara 10 April 2014).
I Nyoman Beker Manager Safety & Security The Westin Resort menyatakan bahwa penyaluran CSR melalui lembaga resmi BHA, melalui desa adat dan pemerintah kelurahan, memberikan bantuan langsung kepada mereka yang membutuhkan setelah dilakukan kajian (Wawancara 21 Maret 2014). Di sisi lain Dirut Ida Bagus Wirajaya, bahwa pola penyaluran CSR, dengan dana yang ada di BTDC diberikan kepada masyarakat atau kelompok di seluruh Bali, tapi tetap memprioritaskan permohonan atau proposal yang datang dari masyarakat Kelurahan Benoa. Selain itu strategi BTDC untuk memberdayakan masyarakat, sejak awal berdirinya BTDC sudah mendidik masyarakat lokal yang disiapkan untuk bekerja di Hotel di Resor Wisata Nusa Dua, selanjutnya BTDC juga mendirikan Sekolah Tinggi Pariwisata yang tujuannya meningkatkan pengetahuan masyarakat di dalam bidang kepariwisataan. BTDC juga membina para pedagang asongan yang berjualan di pantai supaya memahami cara berkomunikasi dengan wisatawan, BTDC juga memberikan bantuan kepada para nelayan dengan kapal yang dipakai
115
untuk mengantarkan wisatawan untuk melihat keindahan terumbu karang di laut. Menginformasikan kepada masyarakat agar tidak menjual tanahnya dan bila punya dana agar membuat rumah yang disewakan kepada pendatang, kreatif membuat cendramata atau buka toko untuk menjual cenderamata. Hal yang sama juga dipaparkan oleh mantan Dirut Anak Agung Gede Rai sebagai berikut antara lain dengan jalan memberikan Dana Pinjaman Lunak kepada kelompok-kelompok Koperasi dan para wirausahawan individu yang memenuhi persyaratan, yang dimuat Mitra Binaan yang tersebar hampir di seluruh pelosok Pulau Bali. Sekolah-sekolah di wilayah Nusa Dua, bahkan di luar wilayah tersebut diberi
sumbangan berupa dana atau perlengkapan belajar/mengajar
lainnya. Para Pramuniaga yang bertugas di toko-toko cendera mata, restoran dan lain-lain di kawasan BTDC dan sekitarnya pernah di-“sekolahkan” ke STP dengan biaya BTDC dengan tujuan agar mereka belajar lebih banyak tentang keramahtamahan serta sopan santun dalam melayani para pelanggan meraka. Lima Rumah Ibadah (Masjid, Gereja Katolik, Wihara, Gereja Kristen Protestan dan Pura) yang kemudian diberi nama komplek puja mandala, untuk kepentingan Keagamaan, dibangun sepenuhnya oleh BTDC. BTDC sebagai Pengelola Resor Wisata Nusa Dua secara tidak langsung telah melakukan hegemoni melalui kombinasi kekuatan dengan persetujuan sebagaimana Gramsci (dalam Barker, 2009: 62-63) hegemoni berarti di mana suatu ‘blok historis’ faksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan dengan persetujuan. Jadi praktik normal hegemoni dicirikan dengan kombinasi
116
kekuatan dan persetujuan, yang secara timbal balik saling mengisi tanpa adanya kekuatan yang secara berlebihan memaksakan persetujuan. Namun, upaya yang sebenarnya adalah untuk memastikan bahwa kekuatan tersebut seakan-akan hadir berdasarkan persetujuan mayoritas yang diekspresikan oleh apa yang disebut dengan opini publik. Seperti yang terjadi masa dahulu pada sikap masyarakat Nusa Dua yang menerima keadaan, tanpa mempertanyakan lebih lanjut secara kritis. Masyarakat menerima ketentuan dari pemerintah terhadap mereka tanpa melakukan negosiasi karena tidak mengerti dan ketakutan dengan kekuasaan. Sekarang dengan berubahnya zaman, sejak masyarakat kelurahan Benoa mulai mencicipi bangku pendidikan, khususnya di sekitar Resor Wisata Nusa Dua telah mulai mempertanyakan setiap tindakan yang diambil oleh pemerintah pusat ataupun BTDC yang bertindak sebagai wakil dari pemerintah pusat dalam pengembangan wilayah wisata di Nusa Dua. Masyarakat sudah tidak mau menerima begitu saja seperti dulu, sekarang masyarakat mulai melakukan negosiasi terhadap kebijakan dan tindakan BTDC walaupun sebenarnya di balik negosiasi yang dilakukan tersebut masih terselip hegemonik kekuasaan. Perbedaan-perbedaan kecil ini sering menimbulkan riak-riak sosial yang berskala kecil. Seperti yang terjadi di sekitar Resor Wisata Nusa Dua yang pedagang dengan leluasa keluar masuk resor wisata, hal ini terjadi karena rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan ketertiban. Mantan Dirut BTDC Anak Agung Gede Rai (dalam wawancara tanggal 5 April 2014) menyatakan bahwa pedagang barang-barang cendera mata, dan penjaja
117
sarana rekreasi, sering masuk ke area hotel, merajuk tamu-tamu yang sering berjemur di pinggir pantai atau sekitar kolam renang, pengusaha transportasi (taxi) berebut penumpang, yang semuanya menjadi alasan timbulnya keluhan para tamu/wisatawan. Mereka yang memiliki toko-toko cendera mata di kanan-kiri gerbang masuk ke kawasan BTDC, pada mulanya membangun seadanya, sehingga wisatawan yang masuk ke BTDC pertama-tama akan melihat deretan toko-toko yang kumuh. Perlu di bangun façade (tedeng aling-aling) untuk mengurangi pemandangan yang kurang elok tersebut. Karena kondisi ini sangat tidak mendukung maka dilakukan negosiasi antara BTDC dengan masyarakat. Dengan kesepakan yang dicapai pengusaha taxi diberi tempat parkir khusus dan shelter untuk pengemudinya oleh BTDC, pembangunan balai desa kampial disumbang oleh BTDC, sekolah-sekolah diberi bantuan dana dan penerimaan siswa masuk ke STP diutamakan putra-putri dari wilayah Nusa Dua. Tenagatenaga lower level di BTDC pun diutamakan yang berasal dari wilayah sekitar Nusa Dua. Tidak lupa kelompok-kelompok nelayan pun diberi sumbangan dua buah perahu bermesin oleh BTDC. Hasil negosiasi bisa jadi akan menemukan titik temu, yang mampu meredam timbulnya masalah yang berkepanjangan antara dua belah pihak yang sama-sama mempunyai kepentingan, kendati posisi para pihak sebenarnya tidak sejajar antara BTDC (pemerintah) dengan masyarakat Nusa Dua. Bila BTDC tidak mau duduk dalam satu meja perundingan dengan masyarakat, bisa diperkirakan, negosiasi tidak akan berhasil membuahkan kata sepakat yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
118
Menurut Gramsci (dalam Barker 2009: 373) bahwa hegemoni melibatkan pendidikan dan pemenangan konsensus ketimbang pemakaian kekuatan brutal dan koersif semata. Kendati negara tidak dipahami sebagai satu tangan kasar dari kelas berkuasa, namun dia berhimbas pada hegemonik kelas. Negosiasi yang terjadi antara BTDC dan masyarakat Nusa Dua secara tidak sadar telah masuk ke dalam hegemonik kelas. Agar tidak kelihatan kasarnya suatu tindakan dari BTDC maka kedua belah pihak duduk bersama di meja perundingan. Tetapi apabila antara kedua belah pihak mau duduk bersama untuk bernegosiasi maka akan menghasilkan kesepakatan yang sama-sama menguntungkan walapun di balik hasil negosiasi tersebut hegemonik penguasa tidak akan terlepas begitu saja. Hasil negosiasi pedagang/acung yang dahulunya dengan leluasa berdagang di sepanjang pantai dan di depan resor hotel sehingga merusak estetika setelah bernegosiasi dengan baik masyarakat mau melakukan hasil negosiasi yang dianggap oleh masyarakat sangat menguntungkan. Tindakan pedagang sebelum dan setelah dilakukan negosiasi seperti pada gambar 5.6
Gambar 5.6 Sebelum negosiasi, Pedagang berjualan di sekitar resor hotel (Dok. Purnaya, 2014).
119
Gambar 5.7 Setelah negosiasi, Lokasi toko-toko pedagang cendera mata (Dok. Purnaya, 2014).
Dengan seringnya terjadi riak-riak kecil dalam resor Nusa Dua antara BTDC dengan masyarakat, BTDC memberi peluang ekonomi atau usaha kepada masyarakat. Hal ini di paparkan oleh Anak Agung Gede Rai Direktur Utama PT. Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) atau BTDC periode 1995-2001 menyatakan bahwa masyarakat Bualu dan sekitarnya yang mengembangkan usaha transfortasi/taxi diberi kesempatan beroperasi di dalam area BTDC, diberi tempat parkir serta ruang berteduh bagi para pengemudinya. Sejumlah pengusaha Bar dan Restoran, barang-barang cenderamata, money changer, dan kelompok-kelompok kesenian diberikan kesempatan menjalankan usahanya di area Amenity Core.
120
Gambar 5.8 Posisi tempat parkir khusus dan shelter setelah negosiasi (Dok. Purnaya, 2014).
Hal yang sama juga dipaparkan oleh Ida Bagus Wirajaya, sebagai Direktur Utama PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) Periode 2011- sekarang, memaparkan bahwa: Dengan dibangunnya sekitar 5.000 kamar, Restoran, Lapangan Golf, dan fasilitas lainnya dapat menyerap sekitar 10.000 orang tenaga kerja yang langsung bekerja di Resor Wisata Nusa Dua, sekitar 35% tenaga kerja berasal dari kelurahan Benoa. Di samping itu masyarakat Benoa bekerja sebagai sopir, guide, pedagang asongan, pemilik toko cinderamata dan membuat rumah sewaan untuk pendatang, bahkan masyarakat Kelurahan Benoa juga sudah punya restauran dan rumah penginapan. Sehingga, dengan adanya Resor Nusa Dua tingkat pendapatan masyarakat meningkat (Wawancara 12 Maret 2014).
Kesepakatan yang dicapai dari hasil negosiasi memberi peluang usaha atau ekonomi yang diberikan oleh investor kepada masyarakat, sebagaimana yang dipaparkan Ni Wayan Seriani sebagai Director of Finance Novotel menyatakan bahwa “peluang usaha yang diberikan kepada masyarakat, sebagai outsoursing company, dan pengangkutan sampah hotel”. Selanjutnya, I Nyoman Beker sebagai
121
Manager Safety and Security The Westin Resort menjelaskan bahwa peluang usaha yang diberikan kepada masyarakat yaitu “Kegiatan yang bergerak untuk pendukung pariwisata di antaranya: penyediaan jasa transportasi, kesenian, pemasok/supplier”. Sejalan dengan itu, Asih Wesika sebagai Director of Human Resources Nusa Dua Beach Hotel Spa, menyatakan peluang usaha yang diberikan berupa “kesempatan berjualan barang-barang cinderamata di dalam hotel pada even-even mingguan maupun even khusus, sebagai penari, pemasok barang dan lain-lain”. Tentang peluang yang diperoleh masyarakat untuk matapencaharian, dibenarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat. I Made Retha sebagai Bendesa Adat Bualu (Wawancaranya tanggal 6 Juni 2014) menyatakan bahwa peluang usaha atau ekonomi yang diberikan kepada masyarakat berupa kesempatan untuk berdagang (art shop), restoran, valuta asing, pedagang jasa, transfortasi, dan water sport. Hal yang sama disampaikan oleh mantan Bendesa Adat Bualu, I Made Kuna (Wawancara tanggal 1 Juni 2014) menyatakan bahwa peluang usaha yang diberikan berupa peluang usaha menjual souvenir, money changer, taksi, dan juga kerja sama jahit-menjahit dari hotel. Tokoh masyarakat lainnya seperti I Wayan Lemes (swasta dan sebagai Bendesa Adat Peminge), I Made Sudarsa (wiraswasta), dan I Wayan Solo (Lurah Benoa) dalam wawancara terpisah juga mengakui dampak ekonomi dan peluang kerja yang dinikmati warganya sejak hadirnya Resor Wisata Nusa Dua. Solo (Wawancaranya 1 April 2014) merasakan peluang usaha yang diberikan. Menurutnya hampir seluruh komponen yang berkaitan dengan kebutuhan pariwisata itu sendiri. Lapangan pekerjaan sebagai
122
karyawan hotel, transportasi wisata, wisata bahari, pentas budaya, art shop, penginapan, suplayer, pertukangan dan lain-lain. Namun, tidak tertutup kemungkinan terjadinya negosiasi yang tidak sejajar posisinya dengan hasil yang cukup mengembirakan. Memang acap kali, pihak yang lebih tinggi biasanya merasa dirinya di atas angin. Negosiasi yang tidak sejajar ini bisa dibuat mendekati sejajar bila ada ketentuan, etika atau tata krama dalam masyarakat yang memungkinkan kesejajaran itu terjadi. Negosiasi antara BTDC yang bertindak sebagai pemerintah dalam Resor Wisata Nusa Dua, secara sekilas akan kelihatan bahwa pemerintah dalam hal ini kalah dalam negosiasi dengan masyarakat. Dalam kenyataan, pemerintah lebih banyak menang dalam negosiasi yang dilakukan dengan masyarakat, pemerintah didukung oleh kuasa dan pengetahuan yang tinggi sebagimana kata pepatah semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin halus tindakannya dalam melakukan suatu tindakan. Selain mencapai hasil kesepakatan tersebut, negosiasi dalam hal ini juga menghasilkan bahwa pola strategi penyaluran CSR, BTDC sebagai sebuah badan usaha melakukan social responsibility-nya antara lain dengan jalan memberikan dana
pinjaman
lunak
kepada
kelompok-kelompok
koperasi
dan
para
wirausahawan individu yang memenuhi persyaratan, yang disebut mitra binaan, yang tersebar hampir di seluruh pelosok Bali. Sekolah-sekolah di wilayah Nusa Dua, bahkan di luar wilayah tersebut diberi sumbangan berupa dana atau perlengkapan belajar/mengajar lainnya. Para pramuniaga yang bertugas di tokotoko cenderamata, restoran dan lain-lain di resor BTDC dan sekitarnya pernah di
123
“sekolahkan” ke STP dengan biaya BTDC dengan tujuan agar mereka belajar lebih banyak tentang keramah-tamahan serta sopan santun dalam melayani para pelanggan meraka. Pembangunan lima rumah ibadah (masjid, gereja katolik, wihara, gereja kristen protestant dan pura) yang kemudian diberi nama Puja Mandala, untuk kepentingan keagamaan, di bangun sepenuhnya oleh BTDC. Pembangunan sebuah Bali Gong di pura Desa Kampial juga didukung dana oleh BTDC. Polanya hampir seluruhnya “hibah”, kalau tidak dalam pinjaman yang sangat lunak. Kelompok-kelompok kesenian dari berbagai wilayah bergantian melakukan pementasan di resor BTDC, dan melaui festival Nusa Dua yang diselengarakan setiap tahun, bukan hanya pengusaha barang-barang kerajianan dan jenis-jenis makanan yang berdomisilli di Bali saja yang ikut berpameran dan jual hasil usahanya selama festival itu, tetapi pengusaha dan pengrajin dari provinsiprovinsi di luar Bali. Foucault (2009: 342-343) menyatakan hubungan yang memanfaatkan ‘saya’ dan ‘saya juga memanfaatkan yang lainnya’. Dengan mengkondisikan mengenai hubungan kekuasaan yang terjadi pada saat ini. Di dalamnya harus diamati kemunculan permasalahan tertentu dalam setiap pekerjaan dari instuisi, sehingga dapat dilihat bahwa kekuasaan sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, kekuasaan atas tekanan hegemonik tidak lagi bekerja sepenuhnya terhadap masyarakat. BTDC sebagai badan pemerintah tidak hanya bernegosiasi dengan masyarakat dalam mencari kesepakatan masalah, tetapi pemerintah juga bernegosiasi dengan investor dalam mencapai suatu kesepakatan walaupun kedua
124
belah pihak sama-sama mempunyai power tersendiri untuk mencapai tujuan masing-masing. Selama berdirinya, Resor Wisata Nusa Dua
BTDC telah
melakukan negosiasi dalam menyelesaikan masalah baik dengan investor maupun dengan masyarakat. Dalam masalah pembongkaran portal di gerbang selatan yang mendapat perlawanan masyarakat, akhirnya BTDC sebagai pengelola Nusa Dua mencari solusi dengan memotong sebagian tanah di depan Hotel Hilton dan sebagian tanah di depan Hotel Putri Bali (sepanjang 75 meter), untuk menampung kegiatan nelayan dan para pedagang di pantai. I Made Mandra, Direktur Utama BTDC (periode 2001- 2011) menyatakan: BTDC pernah bernegosiasi dengan investor dalam masalah pembongkaran portal di gerbang selatan. Sewaktu saya diangkat menjadi Pjs Ka Humas, merangkap sebagai kepala Divisi Pemeliharaan, dan juga kepala Bagian Perencanaan BTDC. Kami mencoba mencari solusi dengan memotong sebagian tanah di depan Hotel Hilton dan sebagian tanah di depan Hotel Putri Bali (sepanjang 75m), untuk menampung kegiatan para nelayan dan para pedagang di pantai, perahu nelayan hanya boleh parkir di depan sebagian tanah Hotel Hilton yang notabene adalah tanah timbul milik negara. Kegiatan di depan pura seperti untuk berjemur dan pijat dilarang agar tidak memberi sebel di hati masyarakat (Wawancaranya 7 Februari 2014).
Kesepakatan yang dicapai dari hasil negosiasi sama-sama terpenuhinya kepentingan-kepentingan setiap kelompok. Hasil negosiasi dalam masalah pembongkaran portal di gerbang selatan seperti pada gambar 5.9.
125
Gambar 5.9 Hasil pembongkaran portal di gerbang selatan (Dok. Purnaya, 2014)
Tindakan negosiasi ini dilakukan untuk mengantisipasi respon negatif masyarakat yang dapat merusak citra Resor Wisata Nusa Dua yang bertaraf internasional. Selain masalah tersebut, BTDC juga bernegosiasi dengan investor dan masyarakat untuk mencari penyelesaian masalah ruang pantai di depan hotel yang digunakan untuk parkir jukung dan pedagang pantai oleh masyarakat tetapi juga untuk wisatawan yang menginap di hotel di depannya. Untuk masalah ini, mantan Dirut BTDC I Made Mandra (wawancaranya 7 Februari 2014) menyampaikan bahwa masalahnya terjadi di Pantai Samuh di depan Club Med. Pantai itu penuh dengan jukung dan pedagang pantai. Pihak BTDC berusaha meyakinkan Club Med bahwa mereka harus mau mengorbankan sebagian tanahnya di sisi utara seluas 24 are, sebagai tempat penampungan para pedagang yang dipindahkan. Kalau tidak keadaan akan semakin tidak terkendali. Dengan berat hati Club Med yang terkenal kukuh pada hak hak hukumnya berhasil diyakinkan oleh BTDC, dan para nelayan pun setuju memindahkan jukungnya ke
126
sebelah utara dan para pedagang berangsur-angsur pindah ke lokasi yang diberikan Club Med sampai sekarang, menempati kios-kios sederhana yang lebih bermartabat. BTDC pun menyumbangkan balai kantih, gudang peralatan, sumur dan MCK seperti di pantai Mengiat. Dengan kesepakatan ini hubungan dengan nelayan Samuh pun lebih harmonis sejak itu kasus perebutan pantai antara BTDC selaku pengelola resor dengan nelayan menjadi lebih baik dan saling memahami posisi masing-masing.
Gambar 5.10 Tanah Club Med yang direlakan untuk penampungan para nelayan. (Dok. Purnaya,2014).
127
Penyelesaian masalah yang terjadi di Pantai Samuh di depan Club Med, telah mendapat solusi dengan kerelaan pihak managemen/investor Club Med mengorbankan sebagian tanahnya sebagai tempat penampungan para pedagang yang dipindahkan sebagaimana yang terdapat pada gambar 5.10. Untuk mencapai suatu tujuan BTDC tidak hanya bernegosiasi dengan masyarakat atau dengan investor dan mengorbankan sedikit kepentingannya, tetapi juga bagaimana membantu mencari solusi dari masalah. Sehingga komunikasi dua arah, tanpa tekanan, pemaksaan atau pendiktean dari pihak manapun akan memungkinkan para pihak yang bernegosiasi dapat berinteraksi dengan baik, saling mempertukarkan kepentingan dan mencari titik temu dari perbedaan-perbedaan persepsi, tuntutan dan keinginan. Untuk menjaga keberlangsungan proses reproduksi kekuasaan dan relasi kekuasaan, negara sebagai institusi sentral yang berperan mempersatukan dan memaksa masyarakat dalam reproduksi kekuasaan. Dengan membedakan antara kuasa negara (pemeliharaan kekuasaan negara atau perebutan kuasa negara) sebagai tujuan perjuangan kelas politik dan aparatur negara di sisi lain. Dalam pandangan lain, kuasa negara masih dapat berubah dan berganti akibat dari perebutan kekuasaan oleh kelas-kelas politik yang ada. Sedangkan aparatur Negara relatif bisa bertahan meski terjadi peralihan kekuasaan. Gramsci (dalam Piliang 2010: 71) mengembangkan pengertian hegemoni secara lebih luas sehingga dia tidak hanya digunakan untuk menjelaskan relasi antar kelas-kelas politik (ruling class/rulied class), akan tetapi relasi-relasi sosial yang lebih luas, termasuk relasi komunikasi dan media. Konsep hegemoni tidak
128
hanya menjelaskan dominasi politik lewat kekerasan (force), akan tetapi yang lebih penting, lewat kepemimpinan intelektual dan moral (intellectual and moral leadership). Dominasi kekuasaan diperjuangkan, di samping lewat kekuatan senjata, juga lewat penerimaan publik (public consent), yang diterimanya ide kelas berkuasa oleh masyarakat luas, yang diekspresikan melalui apa yang disebut sebagai mekanisme opini publik (public opinion) sehingga pentingnya institusiinstitusi, yang berperan dalam mengembangkan dan menyebarluaskan hegemoni ideologi. Gramsci menyebut institusi dan strukturnya merupakan alat hegemoni (hegemonic apparatuses).
5.3
Dinamika Relasi Kuasa Oposisional Masa relasi kuasa yang diwarnai dengan negosiasi antara BTDC dengan
dua pilar lainnya berlanjut pada relasi oposisional dewasa ini, khususnya pasca era reformasi. Relasi oposisional ini merupakan kelanjutan dari relasi negosiasi dan dampak dari era demokratisasi dalam dunia sosial politik bangsa. Di Bali, perlawanan terhadap hegemoni pemerintah dan pengusaha kepada masyarakat pernah terjadi di objek wisata Tanah Lot. Semula, daya tarik wisata ini dikelola oleh swasta atas izin dan kerja sama dengan pemerintah. Masyarakat Desa Beraban yang ada di wilayah itu tidak mendapat peran sama sekali kecuali sebagai penonton. Setelah situasi sosial politik berubah dari otoritarian menjadi demokratis pascareformasi, masyarakat Beraban menuntut haknya kepada pemerintah. Tuntutan ini berhasil, dan kini masyarakat Beraban memainkan peranan penting dalam Badan Pengelola Tanah Lot. Partisipasi mereka dalam
129
mengelola Tanah Lot memberikan mereka keuntungan finansiasl yang besar, milyaran rupiah per tahun, sesuai dengan pendapatan objek wisata tersebut (Putra dan Pitana 2010: 95). Pengelolaan Tanah Lot dari swasta ke masyarakat sebagai hasil dari perlawanan atau aksi oposisional merupakan presedensi yang positif dalam program pengembangan community-based tourism atau pariwisata prorakyat. BTDC sebagai pengelola resor wisata Nusa Dua berusaha untuk menata dan merapikan para pedagang-pedagang dengan membangun pertokoan, tetapi pada waktu terjadi kerusuhan dampak Pemilihan Presiden tahun 1999, kemarahan itu kembali menjadi pemicu oleh kekuatan luar yang memprovokasi massa. Kantor-kantor pemerintah dibakar, kantor BTDC dan STP dirusak, masyarakat di sekitar pertokoan itu membongkar paksa façade yang pernah dibangun oleh BTDC. Semua dilakukan oleh massa tanpa ada yang berani menghalangi, dapat dikatakan bahwa hukum alam mencari keadilan di dalam hukum formal. I Made Mandra, mantan Direktur Utama BTDC menyatakan bahwa ketika terjadi kerusuhan tahun 1999 yaitu ketika Megawati gagal menjadi Presiden RI kemarahan tersebut kemudian menjadi nyata dipicu oleh kekuatan dari luar yang memprovokasi massa. Kantor-kantor pemerintah dibakar, kantor BTDC dan STP kacanya dirusak, tembok di depan gerbang Nusa Dua dihancurkan tanpa ada yang berani menghalangi begitulah hukum alam mencari keadilan di dalam hukum formal. Ketidakpuasan sosial beberapa anggota masyarakat yang memiliki tanah di depan candi bentar Nusa Dua mencari solusi sendiri.
130
Selaku anggota Direksi BTDC pada waktu itu, mencari jalan tengah dan bernegosiasi untuk kembali membangun tembok yang lebih rendah dan dihiasi taman, sehingga pemandangan tetap lebih indah, dan untuk para pedagang dibelakang tembok dibuatkan jalan khusus sehingga wisatawan dapat masuk dengan mudah membeli souvenir atau makan di warung rakyat yang nyaman. Solusi ini cukup adil dan permasalahan itu pun dapat diselesaikan dengan baik. Senada dengan hal tersebut dalam, I Made Kuna, mantan Bendesa Adat Bualu memaparkan: Pernah ada masalah yang muncul, karena di depan candi bentar masuk resor BTDC dipasangi tembok oleh BTDC sehingga kios-kios penduduk terhalangi atau tertutup. Kala itu pemilik kios atau penduduk sempat demo. Dengan solusinya adalah dari para pihak yang berseberangan mau duduk bersama bermusyawarah mencari jalan keluar terbaik dan hasilnya mengeluarkan hasil yang baik. Sama-sama bisa menerima dan semua dikembalikan seperti biasa (Wawancaranya 1 Juni 2014).
Hal ini merupakan bentuk dari perlawanan kecil yang dimulai dengan kekalahan pendukung masyarakat. Mereka tidak menyadari yang akan rugi mereka sendiri karena tidak bisa berdagang. Sadar tetapi tidak sadar dengan percikan hegemoni kekuasaan terhadap mereka. Begitu dahsyatnya pengaruh kekuatan yang bekerja di balik masyarakat dalam hal ini “citra orang yang diagungkan” bisa memengaruhi pendukung serta menggiring pikirannya hingga terbius dalam deretan frame-frame, sampai pada akhirnya nanti pendukung dalam kondisi tanpa sadar, sehingga setiap orang bekerja dengan kesadaran palsu, begitu yakin dan percaya pada pesan yang terselip di balik pencitraan itu, seperti pada gambar 5.11.
131
Gambar 5.11 Tembok di depan Gerbang Utama Nusa Dua yang lebih rendah dan dihiasi taman, sehingga pemandangan tetap lebih indah. (Dok. Purnaya,2014).
Selain kasus tahun 1999 yang didukung dengan kegagalan pemilu, BTDC sebagai pengelola mendapat perlawanan dari masyarakat dalam masalah pembongkaran portal di gerbang selatan, portal ini dibangun agar ketertiban dan kebersihan sekitar Resor Wisata Nusa Dua terjaga, karena mengingat semakin kumuhnya lingkungan oleh gubuk-gubuk, pedagang acung dan penanaman rumput laut yang berkeliaran di lokasi Resor Nusa Dua. Dalam wawancara tanggal 7 Februari 2014, Dirut BTDC I Made Mandra (periode 2001- 2011) menyampaikan bahawa BTDC mempunyai misi utama membangun kesejahteraan melalui resor wisata berkualitas internasional, sehingga perlu membatasi atau mengurangi dan menata lingkungan sesuai dengan Perda II tahun 1979 dalam suasana yang tertib bersih tidak kumuh oleh gubuk-gubuk, pedagang acung dan penanam rumput laut dan perahu yang berkeliaran di mana-mana. Maka direncanakanlah membuat portal agar pantai Mengiat semakin tidak kumuh. Rencana tersebut telah disetujui dan didukung oleh Pemda Badung yang telah
132
dikoordinasikan oleh Kepala Bagian Humas BTDC, namun tidak nampak adanya solusi bagi masyarakat yang terpinggirkan sehingga ketika portal tersebut dipasang, mendapat perlawanan yang sengit dari masyarakat nelayan pantai dan masyarakat desa Mengiat Nusa Dua. Masyarakat membunyikan “kulkul bulus” dan membongkar portal yang baru dipasang sesuai dengan persetujuan Pemda tersebut meskipun portal bisa di buka setiap saat untuk kegiatan masyarakat lokal. Akibatnya terjadi ketegangan antara BTDC dengan masyarakat, saya sebagai kepala perencana mengganggap komunikasi yang dibangun terlalu top down tanpa solusi. Masalah kedua, pembongkaran tembok di depan gerbang utama Nusa Dua tahun 1999. Pada saat itu masyarakat mendapat jatah ruko, masih berusaha mengoperasikan warung-warung yang mereka miliki, di belakang tembok tersebut. Masyarakat tidak puas dengan dibangunnya tembok tersebut. Hal itu dapat dimengerti karena peluang pendapatan ditempat itu tidak menjanjikan, meskipun secara hukum tidak dapat dibenarkan. Di sinilah perlunya mencari solusi yang lebih bijak dan adil, tembok ini merupakan bara yang terpendam dihati para pedagang dan masyarakat lokal yang mempunyai tanah di lokasi tersebut. Bara ini menunggu momentum untuk meledak dengan deras. Perlawanan dilakukan karena masyarakat Nusa Dua telah banyak yang berpendidikan
sehingga
tahu
celah
untuk
melakukan
perlawanan
dan
pemerintahan tidak menakutkan seperti pada masa pemerintahan Orde Baru. Sejak jatuhnya kekuasaan Orde Baru semakin hari-hari perlawanan rakyat terhadap kekuasaan semakin menggejala diberbagai tempat. Sejak reformasi 1998 di
133
Indonesia, kita dapat melihat bahwa meski telah terjadi peralihan kekuasaan yang ditandai turunnya Suharto lewat kekuatan-kekuatan politik yang ada pada saat itu, namun aparatur negara (politisi, partai politik, atau militer Orde Baru) tetap bertahan di struktur kekuasaan. Rakyat semakin kritis menentang kebijakan negara. Makin kritisnya rakyat melawan pemerintah tidak lain lantaran yang terakhir ini makin hari kebijakan politiknya tidak memperlihatkan tanda-tanda pro rakyat sehingga masyarakat berani untuk bertindak sesuai dengan keinginan masyarakat. Berbagai alasan dan komentar banyak disampaikan oleh masyarakat Nusa Dua untuk melakukan perlawanan. Tidak hanya terjadi antara pemerintah dengan masyarakat tetapi juga terjadi antara masyarakat dengan investor. Dalam masalah penutupan jalan masuk ke Westin. Hal ini hanya dipicu oleh masalah kecil yaitu masuknya Bali Taxi dari Jakarta, sehingga membuat koperasi lokal kalah bersaing karena Bali Taxi lebih profesional, dengan armada yang lebih baik daripada milik koperasi masyarakat lokal Nusa Dua. Bali Taxi lebih banyak mendapat order dari hotel-hotel sehingga taxi lokal merasa diperlakukan secara tidak adil. Karena hal ini sangat tidak menguntungkan bagi taxi lokal meraka menyampaikan kepada pihak Westin, tetapi pihak Westin tidak dapat memenuhi permintaan karena sudah ada kontrak dengan Bali Taxi. Masyarakat merasa tidak senang sehingga jalan masuk ke Westin ditutup. I Made Mandra mantan Direktur Utama BTDC menyatakan bahwa sopir taxi di Resor Wisata Nusa Dua telah disediakan tempat sementara untuk mangkal di sentral parkir Nusa Dua. Sentral parkir tersebut sejatinya dirancang untuk parkir kendaraan pegawai-pegawai hotel di Resor Wisata Nusa Dua dan koperasi taxi
134
masyarakat Nusa Dua diberi akses melayani tamu-tamu di hotel bersama-sama taxi yang lain dari luar Nusa Dua. Persaingan dengan Bali Taxi dari Jakarta membuat koperasi lokal kalah bersaing karena Bali Taxi lebih profesional, dengan armada lebih baik dari yang dimiliki koperasi masyarakat lokal Nusa Dua. Bali Taxi lebih banyak mendapat order dari hotel sehingga pemilik taksi lokal merasa tidak adil. Mereka lalu menyampaikan sejumlah usulan kepada Manajemen Hotel Westin yang lebih menguntungkan posisi mereka. Namun, pihak Westin tidak dapat memenuhi karena sudah ada kontrak dengan Bali Taxi. Keadaan ini membuat mereka menempuh jalan pintas melakukan kekerasan yaitu dengan menutup jalan masuk ke Hotel Westin. Hal ini tentunya menimbulkan kegaduhan di Resor Wisata Nusa Dua yang terkenal sebagai resor yang aman dan tertib. Kebetulan pada waktu itu Mandra sebagai Direktur Utama sedang bertugas ke Luar Negeri dilapori oleh Kepala Satpam dan Direktur Operasi secara singkat kejadian tersebut serta sejumlah nama yang menjadi provokator aksi tutup pintu tersebut. Made Mandra mengungkapkan: Saya pun langsung menelpon Kapolda Bali waktu itu Bpk Mangku Pastika yang kemudian dengan cepat menangkap provokator tersebut dan menahan untuk sementara di kantor polisi. Peristiwa ini memberi efek jera kepada pelaku yang juga sesungguhnya disayangkan oleh anggota koperasi yang lain. Dengan cepat keadaan pulih kembali dan BTDC berusaha mendorong kerjasama yang menguntungkan semua pihak secara adil (Wawancara 7 Februari 2014).
Tentang konflik pengusaha, BTDC, dan pengelola taksi juga disampaikan oleh I Made Kuna (wawancara tanggal 1 Juni 2014). Bendesa Adat Bualu periode 1982-2007 ini mengatakan bahwa “pernah juga terjadi keributan atau perlawanan
135
para sopir taksi atau pemilik Taxi Kowinu saat itu juga demo karena lahan mereka banyak yang diserobot oleh taksi yang berasal dari luar”. Aksi protes seperti ini tidak pernah terjadi pada awal pengelolaan resor wisata Nusa Dua. Protes ini adalah bentuk konter hegemoni yang menandai munculnya sikap oposisi terhadap kebijakan-kebijakan BTDC dan investor. Masalah lain adalah penolakan pembangunan beach world Nusa Dua. Ketika semua perizinan (IMB) sudah selesai, beberapa anggota DPRD Provinsi Bali dan Kabupaten Badung asal Nusa Dua menyuarakan penolakan pembangunan tersebut. Alasan yang mereka ajukan adalah proyek melanggar ketentuan sempadan pantai 100 meter dari air pasang surut. Para anggota DPRD mengkhawatirkan masyarakat tidak akan leluasa melakukan kegiatan upacara di pantai. Menurut Pemerintah Bali sebagai pengelola pulau sempit dan kecil justru harus memperjuangkan sempadan khusus untuk Bali sekitar 15-25 m dari batas pekarangan di pantai atau 40-50 m dari pasang tertinggi kecuali daerah pantai tanah negara yang memang diperuntukan untuk publik. Pembelaan anggota DPRD provinsi dan kabupaten seperti ini tidak pernah terjadi pada masa lalu karena anggota DPR yang semestinya membela rakyat lebih banyak mendukung program penguasa. Perubahan lanskap politik membuat rakyat menjadi terbela atas kepentingannya. I Made Mandra menyatakan bahwa Tata Ruang Kawasan pantai Nusa Dua diatur secara khusus melalui Perda No II tahun 1979 yang menetapkan sempadan bangunan di pantai 50 m dari air pasang tertinggi. Untuk bangunan yang tingginya 15 meter. Wilayah pantai antara 2 pulau Nusa Dua ditetapkan sebagai Amenity
136
Core & Comercial Center yang nyaman bagi pengunjung. Sementara itu, tanah antara 2 pulau Nusa Dua ditempati oleh pedagang pantai yang semakin lama semakin kumuh dan sulit dikendalikan. Bahkan, di malam hari sering terjadi transaksi seks di tempat ini melalui supplier yang membawa cewek cewek didalam bus mini beroperasi kucing-kucingan dengan aparat keamanan. Cewekcewek tersebut ditawarkan kepada tamu-tamu hotel yang lewat di wilayah pantai tersebut. Tidak semua hotel suka dengan bisnis seperti itu sehingga sering terjadi komplain dari hotel yang mengatakan daerah tersebut semakin kumuh dan tidak etis sebagai resor bergengsi. Menurut Made Mandra, daerah prime land di Nusa Dua tersebut dinodai oleh pencitraan yang tidak layak dikunjungi oleh wisatawan. Oleh karena itu, mereka berinisiatif membangun daerah tersebut menjadi vocal point yang lebih baik yang dapat meningkatkan citra Resor Wisata Nusa Dua di dunia Internasional sehingga lebih banyak dikunjungi wisatawan yang berkualitas untuk menikmati fasilitas sambil menikmati makan minum dan pantai Nusa Dua yang luar biasa indahnya. Ketika semua perizinan (IMB) sudah ke luar, beberapa anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten Badung asal Nusa Dua berteriak menyuarakan penolakan pembangunan tersebut di media masa dengan alasan melanggar sempadan pantai nasional yang menetapkan sempadan pantai untuk umum 100 m dari air pasang tertinggi. Anggota DPRD Nusa Dua mengkhawatirkan bahwa masyarakat tidak akan leluasa melakukan kegiatan upacara. Berkaitan dengan sempadan mereka lupa bahwa Resor Nusa Dua telah diatur secara khusus tata Ruang dan Bangunan
137
di Kawasan melalui Perda II/79 yang menetapkan sempadan bangunan semua hotel sejauh 50 meter dari pasang tertinggi. Menurut kami Pemerintah Bali sebagai pengelola pulau kecil dengan luas tanah yang sempit justru harus memperjuangkan sempadan khusus untuk daerah Bali antara sekitar 15-25 m dari batas pekarangan di pantai atau 40-50 m dari pasang tertinggi kecuali daerah pantai tanah negara yang memang diperuntukkan sebagai daerah publik. Wacana wakil-wakil rakyat tersebut bisa dimaklumi karena DPRD hendak menyuarakan aspirasi masyarakat pemilihnya, termasuk aspirasi keluarga 22 pedagang pantai yang sementara ini diberikan oleh BTDC berjualan di pantai tersebut. BTDC juga merasa ewuh pakewuh dan berkali kali melakukan pembinaan, namun pada kenyataannya semakin hari semakin ramai dan sulit dikendalikan. Penolakan itu menjadi polemik di koran, bahkan Pemprov Bali menghentikan pembangunan proyek tersebut dengan alasan melanggar sempadan pantai nasional 100 m, penyetopan tersebut dilakukan tanpa minta penjelasan dari BTDC maupun aparat Pemda Badung yang telah mengeluarkan perijinan sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku. Sama seperti yang dilaksanakan mantan Dirut BTDC AA Gede Rai, Mandra memberikan solusi bahwa pihak Direksi BTDC menyerahkan masalah tersebut kepada pemerintah Daerah yang berwenang, dalam pertemuan di Sector Sanur diingatkan jangan sampai peristiwa ini menjadi insiden buruk dikemudian hari, karena tidak adanya kepastian hukum dalam perijinan investasi di Bali. Apabila bangunan tersebut akan dirobohkan, bukan tidak mungkin investor akan
138
mendatangkan media internasional seperti CNN dan lain-lain yang bisa merusak reputasi manajemen Resor Wisata Nusa Dua yang telah dikenal taat hukum. Akhirnya pada waktu menghadap Bupati dan mohon wakil Bupati mengundang DPRD pejabat daerah dan tokoh-tokoh masyarakat setempat, agar kami dapat berdiskusi dan menjelaskan duduk persoalan latar belakang dan tujuan pembangunan proyek tersebut. Kami juga menjelaskan bahwa para pedagang tidak akan digusur begitu saja tetapi akan disediakan tempat yang layak untuk berjualan, tanpa menimbulkan kesan yang kumuh pada pantai yang sangat indah tersebut. Justru pantai tersebut harus menjadi tempat yang prima untuk mempromosikan Resor Wisata Nusa Dua. Masyarakat sama sekali tidak dilarang menikmati alam pantai dengan baik apalagi untuk tujuan Upacara, bahkan pada suatu saat bisa digelar acara hari "Penglukatan Agung" atau "Gangga Pratista Day" di sepanjang pantai Nusa Dua pada hari peleburan dosa Siva latri atau Banyu Pinaruh. Beberapa hotel dan masyarakat sudah sepakat untuk mendukung. Akhimya kami minta kepada tokoh-tokoh masyarakat agar tidak memperpanjang masalah yang sudah jelas dasar hukum, tujuan dan manfaatnya dan bersama sama menanda tangani kesepakatan bersama dan semuanya dapat menerima dan polemik pun diakhiri. Pertarungan akan kepentingan tidak akan pernah hilang begitu saja dia akan langgeng dalam kekuasaan walaupun pejabat penguasanya telah berganti mengikuti perubahan zaman. Agar tujuan suatu pihak tercapai mereka berusaha bertahan dengan argumen-argumen. Dalam pembangunan Beach World Nusa Dua terjadi polemik antara BTDC dan anggota DPRD yang juga mempunyai
139
kepentingan tersendiri. Anggota dewan, misalnya, berkepentingan untuk membela aspirasi rakyat karena mereka dipilih langsung oleh rakyat. Pada zaman Orde Baru, anggota DPR dipilih oleh pimpinan partai sehingga niat untuk memperjuangkan rakyat kurang sungguh-sungguh. Munculnya relasi kuasa oposisional tidak dapat dipisahkan dengan perubahan sosial politik makro terbukti dari adanya dukungan kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya dari anggota legislatif, dari media massa, dan dari LSM yang terbentuk karena semakin terjaminnya kebebasan berpendapat. Di luar itu, masyarakat semakin melihat kesuksesan resor wisata Nusa Dua namun akses mereka untuk menikmati keuntungan ekonomi pariwisata seperti dihalangi. Kombinasi situasi tersebut menjadi pendukung lahirnya relasi kuasa oposisional.