RELASI KUASA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA CIPAYUNG KOTA DEPOK
BAMBANG CAPICOREN
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR JUNI 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Relasi Kuasa dalam Pengelolaan Sampah di TPA Cipayung Kota Depok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Bambang Capicoren NIM 1353090051
ABSTRACT
BAMBANG CAPICOREN. Power Relations of Waste Management in TPA Cipayung - Depok City. Under direction of RILUS A KINSENG and SAHARUDDIN. Waste problems faced by the city of Depok such as the accumulation of garbage in some areas of the city Depok due to illegal waste disposal, yet garbage management in landfills and waste disposal in waterbodies across the Depok city. This would be a serious problem because of the production of waste increase every day. Objectives of this study were (1) to analyzethe role of the actors in the way of power in the field of waste management, Depok city, (2) Mapping of actors and interests in waste management, and (3) analyze the relationship and power based actors involved in waste management in Depok area. The results showed that many of the parties involved in waste management, ranging from household or individual persons. The actors interact with each other, intertwined among actors with each other. Each actor can be in the form of individuals or institutions or organizations. Activities of these actors, as well as the relationships between each other, influenced conditions of handling waste. Interests of the parties/actors involved in waste management, as well as the reason why away of handling garbage chosen by individuals/actors, thus affecting the physical appearance of the city of waste side. People cannot wait because the garbage produced everyday, so that using the powers that be in access; the people throw trash on the roadside, unused land and on the river bank/riparian times. There is no one system that can integrate waste management practices, ranging from the source of the waste to landfills. Segmentalisation of handling the waste created as the creativity of the actors in order to exercise power to ensure continuity of interests. Power relations at the level of waste management policy, has shown that the main tasks and functions, as a product of government policy has led to be some waste handled by the agency. But thelinkage/relationship between institutions that are connected by trash, opening opportunities such agencies competing for power imbalances in the control infrastructure, are also strained relations between institutions because of the border and levies.
Keywords : Waste, Waste Management, Power Relations
RINGKASAN
BAMBANG CAPICOREN. Relasi Kuasa dalam Pengelolaan Sampah di TPA Cipayung Kota Depok. Dibimbing oleh : RILUS A KINSENG dan SAHARUDDIN Kota Depok sebagai Kota Satelit dan mempunyai fungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) bersama-sama dengan Kota Bogor, Tangerang, Bekasi dan DKI Jakarta menjadikan Kota Depok berada pada kondisi strategis baik dari segi transportasi, perdagangan, maupun pemukiman. Hal ini menjadikan Kota Depok sebagai pilihan untuk daerah pemukiman. Akibatnnya, Kota Depok mengalami kenaikan jumlah penduduk, dari 1.420.480 jiwa (2006) menjadi 1.736.565 jiwa pada tahun 2010. Salah satu dampak negatif dari pertambahan jumlah penduduk di Kota Depok adalah masalah persampahan. Permasalahan sampah yang dihadapi oleh Pemda Depok diantaranya adalah terjadinya timbunan sampah dibeberapa wilayah kota Depok akibat pembuangan sampah liar, belum terkelolanya sampah di tempat penampungan akhir (TPA), dan pembuangan sampah di badan-badan air (sungai) yang melintasi wilayah kota Depok. Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok (2012), timbulan sampah yang dihasilkan Kota Depok semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduknya yang telah mencapai ± 1,8 juta jiwa. Pada tahun 2012 dengan asumsi sampah yang dihasilkan per orang per hari sebanyak 2,5 liter sampah, maka jumlah sampah yang dihasilkan di Kota Depok adalah 4.500 M³ per hari. Keterbatasan sarana dan prasarana pengolahan, lemahnya manajemen pengelolaan mengakibatkan tidak terurusnya tumpukan sampah yang menggunung di TPA. Bau sampah yang menusuk karena truk yang lewat dan sampah berceceran di jalan menuju TPA, juga mengakibatkan komunitas sekitar TPA tidak simpatik terhadap Pemkot, sehingga tercipta hubungan yang kurang harmonis dengan sebagian komunitas sekitar TPA, kondisi tersebut pada akhirnya memicu timbulnya konflik antara Pemerintah dengan komunitas yang tidak dapat terelakkan lagi. Penolakan komunitas terhadap keberadaan TPA semakin tinggi, perlawanan melalui Forum Masyarakat Cipayung (FORMAC) makin intens dilakukan, tapi dilain pihak Forum Komunikasi Masyarakat Pemantau-Tempat Pembuangan Akhir Sampah (FKMPTPAS) tetap tenang bahkan mereka mensosialisasikan beberapa program kesehatan untuk masyarakat sekitar TPA. Lampak dan pemulung yang wilayah operasinya di TPA, juga tidak banyak ambil peduli terhadap keberatan FORMAC, ini bisa disadari karena area itu jadi lahan utama usaha mereka. Merujuk pada perspektif kekuasaan yang dikemukakan oleh Foucault, bahwa kekuasaan dimaknai sebagai kompleks strategi yang dijalankan pihak tertentu dengan tujuan mendorong pihak lain untuk patuh atau taat, atau membuat pihak lain tunduk, atau membuat pihak lain memberi dukungan terhadap pihak itu (Maring, 2010). Dalam situasi itu, kekuasaan bagaikan perang bisu yang bisa melahirkan ragam hubungan berupa konflik, perlawanan dan kolaborasi antar pihak. Kekuasaan yang terkonstruksi dalam tujuan yang menggerakkan pilihan strategi, mekanisme dan taktik tertentu untuk mewujudkan tujuan itu. Pilihan strategi, mekanisme dan taktik itu menentukan corak hubungan yang terjadi apakah konflik, perlawanan atau kolaborasi. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisa peran para aktor dalam menjalankan kekuasaan di lapangan pengelolaan sampah TPA Cipayung, Kota Depok; (2) memetakan para aktor dan kepentingannya dalam pengelolaan sampah di
TPA Cipayung, Kota Depok; dan (3) Menganalisa relasi dan basis kekuasaan aktor yang terlibat dalam pengelolaan sampah di kawasan TPA Cipayung, Kota Depok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak pihak/aktor yang terlibat dalam pengelolaan sampah, mulai dari tingkat rumah tangga, tingkat bak sampah, tingkat TPS sampai tingkat TPA. Aktor yang terlibat mulai dari rumah tangga atau orang perorang yang menghasilkan sampah, aktor penanganan sampah perorangan, aktoraktor yang mewakili lembaga seperti RT, RW, DKP, DKUP, UPTD TPA, DISHUB, DIBIMASDA. Bahkan pemulung, lampak pemulung, forum masyarakat, satpam dan pembantu rumah tangga baik secara langsung maupun tidak langsung, juga terlibat dalam penanganan sampah. Para aktor ini saling berinteraksi, saling kait mengkait antara satu dengan lainnya. Masing-masing aktor tersebut bisa dalam wujud orang perorangan maupun dalam wujud lembaga atau organisasinya. Aktivitas para aktor serta hubungan-hubungan antar sesamanya, mempengaruhi kondisi dari penanganan terhadap sampah di wilayahnya masing-masing. Perpindahan sampah terjadi dari sumber sampah di tingkat rumah tangga, menuju tempat pembuangan sampah, melewati bak sampah kemudian ke TPS dan terakhir ke TPA. Pada semua tingkatan tersebut (tingkat rumah tangga, bak sampah, TPS dan TPA) terjadi praktek penanganan sampah dimana orang perorang/aktor sebagai pelaku terlibat dalam relasi-relasi kuasa. Kepentingan-kepentingan orang perorang/aktor bisa dieksplorasi dari praktek-praktek yang dijalankannya, juga caracara yang diambil atau saluran-saluran yang dipilih oleh aktor untuk meluluskan atau memenangkan persaingan untuk mencapai tujuannya. Pada tingkat bak sampah yang terletak di perumahan, banyak aktor yang terkait tali temali atau berelasi di wahana sosial ini. Bak sampah, tempat rumah tangga membuang sampahnya secara sementara, ternyata juga menjadi arena perebutan para aktor dalam mengais rejeki, berinteraksi dan penerapan sanksi/hukuman. Diantara aktor yang ber-relasi terdapat juga konflik (iuran warga terkait pengangkutan sampah), persaingan (sesama pemulung, petugas kebersihan, satpam) sampai melahirkan strategi untuk menjalankan kuasa pemulungan di tingkat bak sampah (kasus Mpok Gth yang menambah jadwal/waktu pulungan). Pada relasi kuasa tingkat TPS hubungan-hubungan kekuasaan yang terjadi terjalin mengalir, menyatu, dan sekali-kali berpisah dalam satu bingkai yaitu motivasi ekonomi, sehingga bekerjanya kekuasaan sangat tergantung pada situasi dan sekaligus kepentingan masing-masing para aktor secara terus menerus. Adanya keberatan warga terhadap TPS perumahan dan masih berjalannya pembuangan sampah ke TPS itu, merupakan bukti bahwa pada umumnya masih ada kecenderungan bagi para aktor memanfaatkan peluang-peluang untuk membangun hubungan-hubungan yang bersifat non-formal yang salah satunya melalui negosiasi atau sembunyi-tau. Dalam relasi kuasa antar aktor terdapat unsur-unsur persaingan, kompetisi, kontestasi, resistensi (perlawanan) dan juga adanya konsensus, negosiasi serta kerjasama. Dalam konteks ini, kekuasaan bukan sesuatu yang dimiliki atau dipunyai oleh siapapun. Setiap orang, siapapun dia dapat memainkan kekuasaan dalam interaksi-interaksinya dengan pihak lain. Pada relasi kuasa tingkat TPA, relasi antara pemulung dengan lampak adalah suatu relasi yang saling menguntungkan. Maka disini telah terjadi relasi kekuasaan yang memperlihatkan tumbuhnya kesadaran bersama yang melihat kekuasaan sebagai sebuah kompleks strategi yang ada pada semua pihak sehingga usaha mewujudkan kekuasaan harus ditempuh melalui proses membangun kolaborasi. Lampak membutuhkan pemulung sebagai pencari barang dan lampak sebagai pengepul barang yang nantinya akan dijual ke lampak besar atau ke pabrik pengolahan. Relasi kuasa yang terjadi antara lampak dengan pemerintah yang terjalin adalah kolaborasi yang
ditunjukkan dengan kesadaran bersama semua pihak untuk bersama-sama mengelola sampah. Relasi kuasa antara pemerintah dengan FORMAC (Forum Masyarakat Cipayung) adalah perlawanan, dimana masing-masing pihak berkonsentrasi untuk mencapai kepentingan masing-masing, yang pada akhirnya menghasilkan hubungan perlawanan (resistance). Basis kekuasaan FORMAC berupa klaim territorial karena wilayah mereka dilewati oleh truk sampah DKP dan ini sangat mengganggu mereka. FKMP-TPAS (Forum Komunikasi Masyarakat Pemerhati – Tempat Pembuangan Akhir Sampah) yang mayoritas anggota adalah penduduk asli sekitar TPA/bukan pendatang, kerjasama dengan pemerintah maka hubungan kekuasaan mengarah pada kolaborasi, dengan basis kekuasaan berupa klaim penduduk asli. Terjadi kontestasi kekuasaan antara FKMP-TPAS dengan FORMAC terbukti waktu FORMAC menyuarakan penolakannya terhadap TPA atas alasan kesehatan (lalat dan penyakit) dan alasan lingkungan (bau dan bising), maka FKMP-TPA mengkonter penolakan tersebut dengan mensosialisasikan kepada anggotanya wacana TPA telah memenuhi kepentingan lapangan kerja 400-an orang asli setempat serta isu lainnya seperti ketidakpedulian FORMAC yang beranggota pendatang baru itu atas lapangan kerja orang setempat. Relasi-relasi kuasa pada level kebijakan pengelolaan sampah, telah menunjukkan bahwa TUPOKSI sebagai produk politik pemerintahan Depok telah menyebabkan sampah ditangani oleh beberapa OPD/Dinas. Tapi pertautan (relasi) antar Dinas yang dihubungkan oleh sampah, membuka peluang Dinas-dinas tersebut bersaing karena ketimpangan kekuatan dalam pemilikan/penguasaan sarana dan prasarana. Selain ketimpangan dalam sarana dan prasarana, relasi antar instansi tegang gara-gara perbatasan dan retribusi. Pada perbatasan wilayah mengangkut sampah sering terjadi ketegangan ketika terjadi wilayah arsiran/wilayah abu-abu, Dinas mana yang harus mengangkut sampah. Demikian juga dalam halnya retribusi, masing-masing instansi mengejar retribusi dari sampah. Pengumpulan retribusi menjadi panglima, dan pengelolaan sampah menjadi yang kedua. Kalau boleh disebut maka, ini yang dinamakan ideologi retribusi dan lawannya ideologi kebersihan. Basis kekuasaan para aktor dalam menjalankan kekuasaannya juga bervariasi. Pada saat menyetujui pembangun TPS perumahan, Ketua RW menjalankan/ mempraktekan kekuasaannya dengan basis kekuasaan legal formal. Begitu juga ketika pihak RW Hijau menghimbau warganya untuk memilah sampah pada tingkat rumah tangga dan pengurus RT ketika melarang petugas sampah agar tidak mengangkat sampah warganya yang belum bayar iuran, maka dalam hal ini mereka menjalankan kekuasaan dengan basis legal formal. Para OPD (DKP, DKUP, DISHUB, DIBIMASDA, UPTD-TPAS) juga seperti itu, mereka menjalankan kekuasaan dengan basis legal formal/birokrasi. Warga yang protes karena petugas kebersihan tidak mengangkut sampahnya padahal warga sudah membayar iuran maka warga menjalankan kekuasaan dengan basis ekonomi, begitu juga para pemulung dan lampak pemulung menjalankan kekuasaan dengan basis ekonomi, karena profesi mereka semata-mata untuk mencari nafkah tidak yang lain, kecuali satu atau dua pemulung dengan orientasi religius (Nek Rnh). Basis kekuasaan FORMAC berupa klaim penguasaan wilayah/territorial karena wilayah mereka dilewati oleh truk sampah DKP. Pada FKMP-TPAS (Forum Komunikasi Masyarakat Pemerhati – Tempat Pembuangan Akhir Sampah) yang mayoritas anggotanya adalah penduduk asli sekitar TPA/bukan pendatang, melakukan kerjasama dengan pemerintah dengan basis kekuasaan berupa klaim penduduk asli wilayah Cipayung.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RELASI KUASA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI TPA CIPAYUNG KOTA DEPOK
BAMBANG CAPICOREN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi : Dr. Ir. Ivanovich Agusta, M.Si
Judul Tesis
Relasi Kuasa dalam Pengelolaan Sampah di TPA Cipayung Kota Depok
Nama
Bambang Capicoren
NRP
1353090051
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr.lr.
ilus A Kinseng, MA
Dr. lr. Saharuddin. MS Anggota
Ketua
Diketahui oleh Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD)
Dr.lr
Tanggal Ujian : 28 Juni 2013
Tanggal Lulus :
3 0 jUL W13
Judul Tesis
: Relasi Kuasa dalam Pengelolaan Sampah di TPA Cipayung Kota Depok
Nama
: Bambang Capicoren
NRP
: I353090051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rilus A Kinseng, MA
Dr. Ir. Saharuddin, MS
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD)
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr
Dr. Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian : 28 Juni 2013
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan karunia dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis dengan judul Relasi Kuasa dalam Pengelolaan Sampah di TPA Cipayung, Kota Depok. Penelitian ini dilakukan sejak bulan Juli 2012 sampai dengan Desember 2013. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Pada Kesempatan ini, ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada : 1. Dr. Ir. Rilus A Kinseng, MA selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Saharuddin, MS selaku anggota komisi pembimbing, atas bimbingannya sejak menyusun proposal hingga selesainya penyusunan tesis ini, karena telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan saran dan masukan guna penyempurnaan tesis ini. 2. Dr. Ir. Ivanovich Agusta, SP. MSi selaku penguji dalam ujian tesis, yang telah memberikan kritik dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. 3. Pimpinan program studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pasca Sarjana IPB, Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr atas perhatian dan dukungannya selama kuliah maupun selama penyelesaian tesis. Tidak lupa terima kasih kepada staf. PS Sosiologi Pedesaan, Ibu. Anggra B Pasaribu atas bantuan dalam pengurusan administrasi selama kuliah dan penyelesaian tesis ini. 4. Kedua orang tuaku ibu dan almarhum bapak tercinta serta istri tersayang (Yayah Rodiana), adik-adik dan ponakan serta seluruh keluarga besar Alm. H. Abdul syukur dan Alm. Abdullah Daskan, atas do’a serta dukungannya yang tak terhingga untuk penulis. 5. Ungkapan terima kasih juga untuk teman-teman mahasiswa Sosiologi Pedesaan, khususnya angkatan 2009, Nur Isiyana Wianti, Mahmudi Siwi, Bapak. Sumartono, Fatriyandi Nur Priyatna atas semangat kebersamaan dan diskusi teoritis dan kritisnya yang menggugah, semoga persahabatan kita tetap erat dan terbina.
6. Perkumpulan Depok Hijau, tempat penulis berkiprah dan Bapak. Ir. Sahroel Polontalo selaku Sekretaris, atas bantuan dan dukungannya selama ini. 7. Pemerintah Kota Depok, khususnya DKP dan UPTD-TPAS, atas segala bentuk dukungan dan informasi yang diberikan. 8. Masyarakat Kelurahan Cipayung dan berbagai pihak yang terlibat atas dukungan, pemberian data dan informasi yang tak ternilai harganya demi lancarnya penelitian dan penulisan tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam tesis ini, karena keterbatasan penulis. Oleh karenanya saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Atas segala do’a, dukungan dan perhatian semua pihak, penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Bapak, Ibu dan Saudara semuanya.
Bogor, Juni 2013.
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Purwakarta pada tanggal 15 Januari 1971 sebagai anak sulung dari orang tua yang bernama H. MA. Syukur dan Rokayah. Pendidikan formal dari SD s.d. SMA diselesaikan di Purwakarta. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, lulus pada tahun 1994. Pada tahun 2009, penulis diterima di Program Studi Sosiologi Pedesaan pada Program Pascasarjana IPB. Penulis telah bekerja di LSM Bina Swadaya sebagai tenaga pendamping masyarakat pada tahun 1995-2001, salah satu holding company majalah pertanian Trubus, tahun 2001 mulai berkiprah di LSM Lingkungan Perkumpulan Depok Hijau dan mulai mengerjakan PPMS (Progam Pemberdayaan Masyarakat Squatter) Kota Depok sampai tahun 2005. Tahun 2006-2009 bekerja pada program ETSP ADB-NAD, tahun 2009 melanjutkan studi di Program Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia. Sekarang ini penulis bekerja sebagai Konsultan Madya pada program CSR PT. Semen Tonasa, berlokasi di Kabupaten Pangkep (Pangkajene dan Kepulauan), Sulawesi Selatan.
DAFTAR ISI
ABSTRACT RINGKASAN PRAKATA RIWAYAT HIDUP DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
I.
PENDAHULUAN …………………………………………..................
1
1.1. Latar Belakang ……………………………………………..........
1
1.2. Pertanyaan Penelitian ……………………………………….........
6
1.3. Tujuan Penelitian……………………………………………..........
6
1.4. Manfaat Penelitian………………………………………………....
7
II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………..........
8
2.1. Klasifikasi Sampah ….……………………………………...........
8
2.2. Pengelolaan Sampah ………………………………………..........
12
2.3. Relasi Kekuasaan ………………………………………………...
18
2.4. Kekuasaan dan Wewenang ………………………………………
23
2.5. Kerangka Pemikiran ……………………………………………..
25
2.6. Hipotesis Penelitian ………………………………………………
26
III. METODOLOGI PENELITIAN ………………………………...……...
27
3.1. Paradigma Penelitian …………………………...………………..
27
3.2. Metode dan Strategi Penelitian …………………………………..
29
3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………….....……
29
3.4. Jenis, Teknik Pengumpulan dan Validasi Data ………………….
30
3.5. Analisis Data ……………………………………………………..
31
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……………………...
33
4.1. Gambaran Umum Wilayah Kota Depok ……………..………….
33
4.2. Gambaran Umum Kondisi Pengeloaan Sampah di Depok ...........
37
V. RELASI KUASA PENGELOLAAN SAMPAH ...................................
47
5.1. Gambaran Alur Perpindahan Sampah ...........................................
47
5.1.1. Relasi Kuasa Sampah Tingkat Rumah Tangga ..................
48
5.1.2. Relasi Kuasa Sampah Tingkat Bak Sampah ......................
60
5.1.3. Relasi Kuasa Sampah Tingkat TPS ....................................
69
5.1.4. Relasi Kuasa Sampah Tingkat TPA ...................................
79
5.2. Relasi Kuasa pada Tataran Kebijakan Pengelolaan Sampah ..........................................................................................
97
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
108
6.1. Kesimpulan ...................................................................................
108
6.2. Saran ........................................................................................... ..
112
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
114
LAMPIRAN ...................................................................................................
117
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Proyeksi Penduduk Kota Depok 2010 – 2020 …………………............
37
2.
Jumlah Pengangkutan Sampah Setiap Kendaraan …………………......
40
3.
Data Kendaraan Operasional Pengangkut Sampah ……………............
41
4.
Data Alat Berat Operasional di TPA di Cipayung …………………….
41
5.
Sumber Sampah dan Model Pelayanan Sampah Kota Depok …...........
42
6.
Rincian Penggunaan Tanah Areal TPA Cipayung ………………….....
45
7.
Uraian Luas Area TPA dan Kapasitas Area Penimbunan ……………..
46
8.
Aktor dan Kepentingan Aktor terkait TPA Cipayung …………………
80
9.
Rencana Program dan Kegiatan Prioritas DISHUB, Tahun 2013…........
101
10. Rencana Program dan Kegiatan Prioritas DKP, Tahun 2013 ………..... 102 11. Rencana Program dan Kegiatan Prioritas DIBIMASDA, Tahun 2013 ....
103
12. Rencana Program dan Kegiatan Prioritas DKUP, Tahun 2013 ……….. 103
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Jenis Sampah …………………………………………………………..
10
2.
Kerangka Pemikiran ……………………………………………………
26
3.
Pembagian Administrasi Kota Depok Paska Pemekaran Tahun 2008 .....
34
4.
Jumlah Penduduk Kota Depok Tahun 2006 – 2010 ……………………
36
5.
Struktur Organisasi DKP Kota Depok …………………………………
38
6.
Struktur Organisasi UPTD TPA Cipayung ………………………….....
39
7.
Pola Alur Pengelolaan Sampah ………………………………………...
43
8.
Kondisi Areal TPA Cipayung dan Sekitarnya …………………………
46
9.
Alur Perpindahan Sampah ……………………………………………..
47
10. Relasi Antar Aktor terkait TPA Cipayung ……………………………..
80
I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Persoalan sampah masih menjadi masalah serius di Kota Depok. Hal ini
dibuktikan dengan masih ditemukannya tumpukan sampah di berbagai sudut Kota, sebagai potret buram buruknya penanganan sampah di kota ini. Masih adanya pembuang sampah liar di beberapa tempat di wilayah Kota Depok, diantaranya di Jl. Kavling DPR kelurahan Serua(Jurnal Depok, edisi Minggu : 22 Juli 2012), adanya sejumlah Tempat Pembuangan Sampah (TPS) liar di Jl. Raya Pengasinan (Monitor Depok, edisi Selasa : 31 Juli 2012), adanya tumpukan sampah liar di Jl. Raya Ciputat-Parung (Jurnal Depok, edisi Minggu : 2 September 2012).Belum optimalnya penampungan dan tempat pembuangan sampah di kelurahan Bakti Jaya dan adanya TPS liar di Jl. Raya Citayam, yang sampahnya sudah meluber hingga ke badan Kali Baru (Jurnal Depok, edisi Selasa : 4 September 2012). Berdasarkan data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok (DKP) tahun 2012, timbulan sampah yang dihasilkan Kota Depok semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduknya yang telah mencapai ± 1,8 juta jiwa pada tahun 2012, dengan asumsi sampah yang dihasilkan per orang per hari sebanyak 2,5 liter sampah, maka jumlah sampah yang dihasilkan di Kota Depok adalah 4.500 M³ per hari. Sampah-sampah yang langsung diangkut ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah oleh truk pengangkut sampah, sebanyak 57 buah truk yang mengangkut dengan volume 10M³ dan hanya mampu beroperasi sebanyak 2 rit per hari. Dengan demikian maka kemampuan truk mengangkut sampah hanya 1.140 M³ per hari, sehingga diperkirakan masih perlu 225 truk untuk mengangkut
4.500 M³ sampah. Dari jumlah 1.140 M³ ini, yang mampu
diolah UPS (Unit Pengolah sampah) hanya sekitar 570 M³/hari. Apabila dibuat prosentase maka jumlah sampah yang terangkut hanya 25,3% sedangkan yang diolah di UPS yaitu hanya 12,6%. Jadi, sampah yang ditangani yaitu 1.710 M³ per hari atau hanya 37,9 %, sehingga masih ada sekitar 62,1 % merupakan sisa sampah yang belum tertangani atau belum dapat diolah setiap harinya di Kota
2
Depok. Hal ini akan menjadi masalah serius karena jumlah sampah akan terus bertambah setiap harinya. Pola hidup masyarakat yang semakin konsumtif bisa mengakibatkan bertambahnya jumlah timbulan sampah, yang pada akhirnya meningkatkan beban TPA karena adanya ketidaksanggupan TPA menampung jumlah timbulan sampah yang semakin hari semakin bertambah (Handono, 2010). Selain itu, timbulan sampah di perkotaan makin meningkat jumlahnya seiring bertambahnya jumlah penduduk dan banyaknya kegiatan yang terus memusat di perkotaan (sentralisasi kota). Sampah-sampah yang jumlahnya terus meningkat, dan tak sepenuhnya dapat ditanggulangi, akhirnya menimbulkan masalah antara lain masalah kebersihan/keindahan, kesehatan dan/atau lingkungan hidup kota, bahkan karena terlalu banyaknya sampah yang masuk ke TPA bisa mengakibatkan keresahan masyarakat meningkat, penuhnya TPA dan susah penanganannya karena sampah hanya ditumpuk begitu saja. Pernyataan mengkhawatirkan dari pemerintah Kota Depok yang memprediksi bahwa pada tahun mendatang, TPA Cipayung tak mampu lagi menampung sampah dari masyarakat, pada tahun mendatang TPA Cipayung akan overload1 (Jurnal Depok, Jum’at 21 September 2012.) Menurut Hidayat (2008) pada awal pengoperasiannya, sampah yang masuk ke TPA langsung diolah sehingga tidak menimbulkan permasalahan bagi masyarakat sekitar, tetapi dalam perkembangannya, pengelolaan TPA menjadi semakin buruk. Sampah yang sebelumnya ditimbun dari waktu ke waktu berubah menjadi hanya ditumpuk dan dibiarkan saja, hal ini menimbulkan protes dari warga sekitar TPA. Semakin meningkatnya volume timbulan sampah tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan, baik langsung maupun tidak langsung bagi penduduk Kota Depok.
1
Pernyataan overload ini disampaikan oleh Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan pada waktu itu, Bpk. Ulis Sumihardi. Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, ada indikasi fenomena itu terjadi apabila tidak dilakukan perluasan TPA. Indikasi overload yaitu sampah yang sudah menggunung melebihi 13 mtr (pernyataan ini disampaikan juga oleh Kabid Pelayanan Kebersihan DKP), dokumentasi foto yang memperlihatkan sampah sudah meluber sampai ke sempadan Sungai/Kali Pesanggrahan.
3
Dampak langsung dari penanganan sampah yang kurang terkelola dengan baik dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan, timbulnya berbagai penyakit menular maupun penyakit kulit serta gangguan pada pernapasan, dan menurunnya nilai estetika lingkungan, sedangkan dampak tidak langsung yang dapat terjadi di antaranya adalah bahaya banjir yang disebabkan oleh terhambatnya arus air sungai karena terhalang timbunan sampah yang dibuang ke sungai. Mengatasai permasalahan tersebut di atas, perlu dilakukan usaha pengurangan sampah mulai dari sumbernya. Penanganan masalah sampah tidak hanya menjadi tanggungjawab Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok saja, akan tetapi menjadi tanggungjawab bersama. Masyarakat sebagai produsen sampah diharapkan mampu mengelola dan mengurangi jumlah sampah yang ada. Mengacu pada peraturan perundang-undangan No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pada pasal 6 disebutkan antara lain : • Menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah, • Memfasilitasi mengembangkan dan melaksanakan upaya pengurangan penanganan dan pemanfaatan sampah, • Mendorong dan menfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengolahan sampah, • Melakukan koordinasi antar lembaga pemerintah, masyarakat dan dunia usaha agar terjadi keterpaduan dalam pengelolaan sampah. Begitu juga dengan pasal 12 ayat (1),UU No. 18/2008 yang menyebutkan bahwa ; Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan. Didukung oleh Peraturan pemerintah nomor 81 tahun 2012 tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga, pada pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa ; Setiap orang wajib melakukan pengurangan dan penanganan sampah. Begitu juga halnya dengan kesiapan Pemerintah Kota Depok, saat ini Pemerintah Kota Depok telah menetapkan pengelolaan persampahan menjadi program utama yang termasuk
4
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).Dalam RPJMD tersebut Pemerintah Kota Depok berinisiatif membuat suatu pengolahan sampah pada tingkat kawasan Kelurahan yang sekarang dikenal dengan Unit Pengolahan Sampah (UPS). Pembangunan UPS tersebut juga merupakan bentuk implementasi dari UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Melalui UPS, sampah yang dihasilkan oleh warga akan diolah seluruhnya. Penanganan masalah sampah tidak hanya menjadi tanggungjawab Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok saja, akan tetapi menjadi tanggungjawab bersama. Masyarakat sebagai produsen sampah diharapkan mampu mengelola dan mengurangi jumlah sampah yang ada. Kegiatan yang telah dilakukan di antaranya memilah sampah dan mengolahnya kembali menjadi barang yang berguna. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat membantu Pemerintah dalam mewujudkan kota yang bersih dan teratur. Padmowihardjo (2001) mengatakan partisipasi merupakan suatu bentuk kegiatan yang dilakukan baik sendiri (individu) maupun secara kolektif untuk mencapai tujuan. Partisipasi dalam penanganan sampah dapat menyebabkan perubahan dalam pemikiran dan tindakan setiap individu dalam meningkatkan kebersihan di lingkungan tempat tinggal mereka masing-masing. Selain itu, keterbatasan sarana dan prasarana pengolahan, lemahnya manajemen pengelolaan mengakibatkan tidak terurusnya tumpukan sampah yang menggunung di TPA. Bau sampah yang menusuk karena truk yang lewat dan sampah berceceran di jalan menuju TPA, juga mengakibatkan komunitas sekitar TPA tidak simpatik terhadap Pemkot, sehingga tercipta hubungan yang kurang harmonis dengan sebagian komunitas sekitar TPA.
Kondisi tersebut pada
akhirnya memicu timbulnya konflik antara TPA dan komunitas yang tidak dapat terelakkan lagi
(Handono, 2010). Tingkat penolakan komunitas terhadap
keberadaan TPA semakin meningkat, perlawanan oleh komunitas melalui Forum Masyarakat Cipayung (FORMAC) semakin intens dilakukan, tetapi di lain pihak FKMP-TPAS (Forum Komunikasi Masyarakat Pemantau-Tempat Pembuangan Akhir Sampah) tetap tenang bahkan mereka mensosialisasikan beberapa program kesehatan untuk masyarakat sekitar TPA Cipayung Kota Depok.
5
Selain FKMP-TPAS, sebagian besar Lampak dan Pemulung yang wilayah operasinya di TPA Cipayung, juga tidak banyak ambil peduli terhadap keberatan FORMAC. Hal ini bisa disadari karena memang area itu jadi lahan utama usaha mereka. Merujuk pada perspektif kekuasaan yang dikemukakan oleh Foucault, bahwa kekuasaan dimaknai sebagai kompleks strategi yang dijalankan pihak tertentu dengan tujuan mendorong pihak lain untuk patuh atau taat, atau membuat pihak lain tunduk, atau membuat pihak lain memberi dukungan terhadap pihak itu (Maring, 2010). Dalam situasi itu, kekuasaan bagaikan perang bisu yang bisa melahirkan ragam hubungan berupa konflik, perlawanan dan kolaborasi antar pihak. Kekuasaan yang terkonstruksi dalam tujuan yang menggerakkan pilihan strategi, mekanisme dan taktik tertentu untuk mewujudkan tujuan itu. Pilihan strategi, mekanisme dan taktik itu menentukan corak hubungan yang terjadi apakah konflik, perlawanan atau kolaborasi. Disini terlihat adanya hubungan antara kekuasaan dengan konflik, perlawanan dan kolaborasi seperti yang dilakukan antar aktor yang terlibat, lebih khusus antara Forum Masyarakat, Pemkot Depok, Lampak Pemulung dan yang lainnya. Hubungan-hubungan kekuasaan itu terjadi, karena di antara para aktor yang ber-relasi sudah mengandung kekuasaan dan ada kepentingan-kepentingan di antara para aktor itu. Hubungan-hubungan kekuasaan tersebut, dapat dilihat ketika para aktor melakukan perlawanan terhadap Pemkot, juga ketika terjadi kolaborasi antara Pemkot dengan Forum masyarakat lain dan Lampak Pemulung. Di samping itu, hubungan-hubungan kekuasaan di atas terjadi karena adanya Kebijakan Pemkot dan Kepentingan masing-masing pihak, sehingga terjadi perlawanan dan kolaborasi sebagai wujud penolakan dan penerimaan terhadap kebijakan itu. Paparan diatas, semakin memperjelas pemahaman kita bahwa pengelolaan atau penanganan sampah di lokasi penelitian ini tidak sesederhana seperti yang dibayangkan. Pengelolaan atau penanganan sampah ini ternyata melibatkan berbagai aktor dengan beragam kepentingan, seperti masalah citra (kebersihan kota), masalah kesehatan (lalat, penyakit), masalah lingkungan (bau, bising, pencemaran air sumur), masalah politik (DPRD) hingga masalah ekonomi (barang pulungan, tenaga kerja, retribusi dsb).
6
Relasi antar beragam aktor tersebut, juga tidak selalu sama, bisa berbentuk konflik, kolaborasi, dominasi bahkan eksploitatif. Oleh sebab itu, masalah relasi kekuasaan dalam pengelolaan atau penanganan sampah ini menjadi menarik dan penting untuk dikaji. Dalam konteks diatas, melalui penelitian ini diupayakan mencari jawaban dan menyoroti berbagai relasi aktor yang diperkirakan memberikan warna terhadap terjadinya konflik, perlawanaan dan kolaborasi bahkan eksploitatif dalam penanganan atau pengelolaan sampah di TPA Cipayung, Kota Depok.
1.2.
Pertanyaan Penelitian Penelitian dalam tesis ini lebih mengkaji pada kekuasaan, atau relasi kuasa
antar aktor di dalam hubungan-hubungan sosial yang terbangun dalam medan interaksi pengelolaan sampah di TPA Cipayung, Kota Depok, sehingga untuk menganalisis lebih dalam, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian, sbb : 1.
Bagaimana masing-masing aktor menjalankan kekuasaan dalam pengelolaan sampah di TPA Cipayung Kota Depok ?
2.
Apa saja kepentingan masing-masing aktor dalam proses interaksi pengelolaan sampah di kawasan TPA Cipayung, Kota Depok ?
3.
Apa saja kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing aktor ketika berhubungan dengan aktor lainnya ?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan penelitian yang dihadapi, maka
tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah: 1.
Menganalisis bagaimana para aktor menjalankan kekuasaan di medan interaksi pengelolaan sampah TPA Cipayung Kota Depok.
2.
Memetakan para aktor dan kepentingannya dalam pengelolaan sampah di TPA Cipayung, Kota Depok
3.
Menganalisis relasi dan basis kekuasaan aktor yang terlibat dalam pengelolaan sampah di kawasan TPA Cipayung Kota Depok.
7
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta masukan bagi
berbagai pihak yang berkepentingan. Manfaat penelitian ini adalah : 1.
Sebagai bahan informasi dalam pengelolaan sampah di kota Depok.
2.
Sebagai masukan bagi pemerintah dalam menetapan kebijakan terutama dalam pengelolaan sampah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan di kota Depok.
3.
Untuk menerapkan teori yang telah didapat guna menganalisis permasalahan yang ada dalam masyarakat dan memberikan alternatif pemecahannya bagi peneliti.
4.
Sebagai sumber informasi dan referensi bagi penelitian berikutnya.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Klasifikasi Sampah
2.1.1. Penggolongan sampah Sampah adalah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan limbah padat. Limbah itu sendiri pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif. Sampah mempunyai nilai negatif karena penanganan untuk membuang atau membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar, di samping itu juga mencemari lingkungan (Sa’id, 1998). Dewi (2008) mengemukakan bahwa sampah adalah material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia, namun pada prinsipnya sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Sampah lebih rinci dibagi menjadi : 1. Sampah manusia, merupakan buangan yang dikeluarkan oleh tubuh manusia sebagai hasil pencernaan. Tinja dan air seni adalah hasilnya. Sampah manusia tersebut dapat berbahaya bagi kesehatan karena bisa menjadi vektor penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus; 2. Limbah, merupakan buangan yang berasal dari rumah tangga maupun pabrik. Limbah cair rumah tangga umumnya dialirkan ke saluran tanpa proses penyaringan seperti sisa air mandi, bekas cucian, dan limbah dapur. Sementara itu, limbah pabrik perlu diolah secara khusus sebelum dilepas ke alam bebas agar lebih aman. Namun tidak jarang limbah bahaya tersebut disalurkan ke sungai atau laut tanpa penyaringan; 3. Refuse (sampah), diartikan sebagai bahan sisa proses industri atau hasil sampingan kegiatan rumah tangga. Sampah tersebut dibagi menjadi sampah lapuk, sampah tidak lapuk, dan tidak mudah lapuk; 4. Bahan sisa industri, umumnya dihasilkan dalam skala besar dan merupakan bahan buangan dari sisa proses industri.
9
2.1.2. Sumber-sumber sampah Menurut Suriawiria (2003) sampah berdasarkan sumbernya digolongkan dalam dua kelompok besar yaitu : (1). Sampah domestik, yaitu sampah yang sehari-hari dihasilkan yang bersumber dari aktivitas manusia secara langsung, baik dari rumah tangga, pasar, sekolah, pusat keramaian, pemukiman, dan rumah sakit; (2). Sampah non-domestik, yaitu sampah yang sehari-hari dihasilkan yang bersumber dari aktivitas manusia secara tidak langsung, baik dari pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, dan transportasi. Berdasarkan bentuknya, sampah digolongkan ke dalam tiga kelompok besar yaitu : (1). Sampah padat, yaitu sampah yang berasal dari sisa tanaman, hewan, kotoran ataupun benda-benda lainnya yang bentuknya padat; (2). Sampah cair, yaitu sampah yang berasal dari buangan pabrik, industri, pertanian, perikanan, peternakan atau pun manusia yang berbentuk cair, misalnya air buangan dan air seni; (3). Sampah gas, yaitu sampah yang berasal dari knalpot kendaraan bermotor, dan cerobong pabrik yang semuanya berbentuk gas atau asap. Menurut Nila (2012) berdasarkan jenisnya, sampah dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu : (1). Sampah organik, yaitu jenis sampah yang sebagian besar tersusun oleh senyawa organik (sisa tanaman, hewan atau kotoran); (2). Sampah anorganik, yaitu jenis sampah yang tersusun oleh senyawa anorganik (plastik, botol, logam). Jenis sampah organic dan an organic ini, secara lebih jelas bisa dilihat seperti pada Gambar 1.
10
Gambar 1. Jenis Sampah
2.1.3. Manfaat Sampah Suriawiria (2003) mengemukakan bahwa sampah, apapun jenis dan sifatnya, mengandung senyawa kimia yang sangat diperlukan oleh manusia secara langsung atau tidak langsung, yang terpenting sampai berapa jauh manusia, dapat menggunakan dan memanfaatkannya. Penggunaan dan pemanfaatan sampah untuk kesejahteraan manusia, sudah sejak lama dilakukan, antara lain : 1.
Pengisi tanah Di Jakarta sekarang pertumbuhan tempat-tempat pemukiman baru yang asalnya rawa ataupun tanah berair lainnya. Akibat adanya timbunan sampah yang kemudian digunakan untuk menimbun rawa yang berlubang akhirnya menjadi tempat permukiman.
2.
Sumber pupuk organik Kompos adalah sejenis pupuk organik yang sangat dibutuhkan khususnya oleh petani sayuran. Kompos banyak dibuat dari sampah, walaupun akhirakhir ini kehadiran plastik merupakan masalah yang belum sepenuhnya teratasi.
11
3.
Sumber humus Bahan dari galian dapat meningkatkan kerekahan, kimia, hidrologi dalam fisik tanah. Hal tersebut menjadi tujuan utama para petani. Kehadiran bahan organik dalam bentuk humus di dalam tanah, dapat meningkatkan kemampuan tanah untuk menyerap dan mempertahankan air, serta lebih effisiensi dalam menggunakan pupuk, menggunakan sampah sebagai sumber humus telah sejak lama digunakan..
4.
Media penanaman jamur Sampah dapat digunakan sebagai media/tempat penanaman jamur.
5.
Penyubur plankton Jumlah sampah organik yang tinggi dalam perairan mengakibatkan plankton tumbuh dengan subur, dengan suburnya plankton maka subur pula pertumbuhan dan perkembangan ikan yang ada di dalamnya, karena plankton sumber makanan utama ikan. Dengan menambahkan kompos kedalam kolam ikan akan meningkatkan hasil ikan di India dan Pakistan (Suriawiria, 2003).
6.
Bahan pembuat biogas Sampah merupakan sumber energi baru yang saat ini telah dicoba digunakan. Peranan sampah di dalam program penyediaan energi telah lama diketahui yaitu : a). Bahan bakar untuk penggerak mesin pembangkit listrik; b). Bahan baku untuk proses fermentasi dalam pembuatan biogas.
7.
Bahan baku pembuat bata Jepang dan Jerman Barat merupakan negara pelopor penggunaan sampah sebagai bahan baku di dalam pembuatan bata (briket). Ternyata tanah bahan yang dicampur dengan hancuran sampah mempunyai nilai bata yang lebih baik kalau dibandingkan dengan hanya tanah atau sampah saja (Suriawiria, 2003).
8.
Media produksi vitamin Salah satu jenis mikroorganisme penghasil vitamin (Vitamin B12) ternyata sangat subur pertumbuhannya di dalam media yang dicampur dengan ekstrak sampah. Untuk hal ini telah banyak lembaga peneliti yang mencoba meneliti lebih lanjut peranan sampah sebagai bahan media pertumbuhan jasad
12
penghasil vitamin tersebut, antara lain yang sudah berhasil adalah Amerika Serikat, Jepang, Jerman Barat dan Swedia (Suriawiria, 2003). 9.
Bahan makanan ternak Sampah dapat disamakan sebagai bahan makanan ternak baik secara langsung maupun melalui proses fermentasi.
10. Media produksi PST (protein sel tunggal) PST adalah jenis protein baru yang dibuat melalui aktivitas mikroorganisme (mikroalgae, jamur dan bakteri). PST akan menjadi sumber protein penyelamat masa mendatang kalau produksi protein secara konvensional (melalui
pertanian,
peternakan
dan
perikanan)
tidak
mencukupi.
Mikroorganisme penghasil PST sangat subur pertumbuhannya di dalam media yang terbuat dari sampah, seperti yang dibuktikan di Jepang dan Amerika Serikat (Suriawiria, 2003).
2.2.
Pengelolaan Sampah Dewi (2008) mengemukakan tahap distribusi mempunyai peranan penting
dalam proses pengelolaan sampah. Hierarki lalu lintas sampah dimulai dari tingkat terendah, yaitu rumah tangga hingga tempat pembuangan akhir (TPA). Sebelum diolah, sampah menyusuri tiga alur pendistribusian yang saling berkaitan, yaitu : 1. Penampungan sampah. Penampungan sampah di tingkat rumah tangga memegang posisi terdepan. Sejak awal pengelolaan sampah telah dipilah berdasarkan jenisnya, yaitu sampah organik atau anorganik. Selain itu, sampah yang hendak dibuang harus dikemas rapih dalam kantong khusus (bioplastik) atau kantong plastic biasa. Di beberapa taman lingkungan dan lokasi publik strategis, pemisahan sampah dapat dilakukan dengan menyediakan dua tempat sampah kering dan basah sekaligus. Sebelum diangkut oleh petugas kebersihan, sampah ditampung sementara dalam wadah. Agar lebih efisien dan efektif, tempat sampah dapat pula dibuat dengan pemanfaatan barang bekas seperti karung plastik, drum, kotak kayu, dan ember. Wadah yang digunakan untuk penampungan sampah haruslah memiliki empat kriteria utama, yaitu : (a) mudah dibersihkan; (b) tidak mudah rusak; (c) dapat ditutup rapat; (d) ditempatkan di luar rumah.
13
2. Pengumpulan dan pembuangan sampah. Sampah yang telah dibuang pada tingkat rumah tangga sudah mulai diserbu oleh pemulung. Pada tahap pengumpulan oleh para pemulung atau pengepul, sampah biasanya dipilah secara sederhana menjadi tiga jenis, yaitu : (a) sampah layak kompos dengan jumlah terbesar 50%; (b) sampah layak jual sebanyak 16% dan; (c) sampah layak buang sebesar 34%. Sampah yang sudah ada setiap beberapa waktu tertentu akan dikumpulkan oleh petugas kebersihan tingkat RT/RW atau Kotamadya. Umumnya tahap pengumpulan sampah di daerah padat penduduk dilakukan instansi terkait sekitar 2-3 hari sekali. Sementara itu, jadwal pengambilan sampah di lokasi rumah yang terpencar-pencar dilaksanakan sekitar satu kali perminggu sampai sampah terkumpul agak banyak. Sampah diangkut dengan menggunakan truk sampah atau gerobak tarik menuju lokasi yang telah disepakati. 3. Pengolahan sampah. Proses pengolahan sampah terpadu dilakukan dengan menerapkan upaya cegah (reduce) dan upaya pakai ulang (reuse) dengan tujuan agar sampah tidak sampai terbentuk. Upaya tersebut dilakukan pada tingkat terendah, yaitu pada pemakaian barang, dan proses daur ulang sampah dilakukan dengan sangat sederhana. Setelah dicacah dan dilelehkan, materi tersebut dicetak menjadi bahan siap pakai. Metode untuk memusnahkan dan pemanfaatan sampah dilakukan dengan beberapa cara di antaranya : (1)
Membuang dalam lubang dan ditutup dengan selapis tanah, yang dilakukan lapis demi lapis, sehingga sampah tidak di ruang terbuka;
(2)
Sampah dibuang ke dalam lubang tanpa ditimbun oleh lapisan tanah;
(3)
Membuka dan membuang sampah di atas permukaan tanah;
(4)
Membuang sampah di perairan, misalnya di sungai atau di laut;
(5)
Pembakaran
sampah
secara
besar-besaran
dan
tertutup
dengan
menggunakan insinerator; (6)
Pembakaran sampah dengan insinerator yang dilakukan oleh perorangan dalam rumah tangga;
(7)
sampah sayuran diolah untuk pakan ternak;
14
(8)
Pengelolaan sampah organik menjadi pupuk yang bermanfaat untuk menyuburkan tanah;
(9)
Sampah dihaluskan kemudian dibuang ke dalam saluran air;
(10) Pendaur ulang barang-barang yang masih bisa dipakai (11) Reduksi, menghancurkan sampah menjadi bagian kecil-kecil dan hasilnya dimanfaatkan. Menurut Suriawiria (2003) pengumpulan sampah merupakan berbagai cara dan usaha untuk mengelola sampah agar lingkungan menjadi bersih, sehat dan nyaman. Pengelolaan sampah di TPA terdiri atas membuka membuang sampah di permukaan, membuang sampah ke dalam lubang tanpa ditimbun oleh lapisan tanah, insinerator, pembuatan kompos dan teknologi baru (menggunakan kembali, mengurangi, dan mendaur ulang). Partisipasi masyarakat dalam hal pengelolaan sampah harus diperhatikan ketersediaan tempat sampah di rumah, ketersediaan TPS, ketaatan pembayaran iuran, dan ketaatan membuang sampah di tempat yang telah ditentukan. Sudradjat (2006) mengemukakan model pengelolaan sampah di Indonesia ada dua macam, yaitu : urugan dan tumpukan. Model pertama yaitu Model urugan merupakan cara yang paling sederhana, yaitu sampah dibuang di lembah atau cekungan tanpa memberikan perlakuan. Urugan atau model buang dan pergi ini bisa dilakukan pada lokasi yang tepat, yaitu bila tidak ada pemukiman di bawahnya, tidak menimbulkan polusi udara, polusi pada air sungai, longsor, atau penurunan estetika lingkungan. Urugan merupakan model pengelolaan sampah yang umum dilakukan untuk suatu kota yang volume sampahnya tidak begitu besar. Pengelolaan sampah yang kedua yaitu Model tumpukan, model tersebut dilaksanakan secara lengkap, sama dengan tekhnologi aerobik. Pada model tumpukan dilengkapi dengan unit saluran air buangan, pengolahan air buangan (leachate), dan pembakaran akses gas metan (flare). Model tumpukan banyak diterapkan di kota-kota besar. Namun pada kenyataannya di lapangan, model tumpukan umumnya tidak lengkap, tergantung dari kondisi keuangan dan keperdulian
pejabat
masyarakatnya.
daerah
setempat
akan
kesehatan
lingkungan
dan
15
2.2.1. Tempat Pembuangan Akhir Sampah Widyatmoko (2001) mengatakan tempat pemrosesan akhir (TPA) yang dikenal dengan sanitary landfill adalah sistem pembuangan sampah dengan cara dipadatkan dan ditutupi serta dilapisi tanah setiap hari. Dalam sistem TPA akan terjadi proses dekomposisi sampah secara kimia, biologi, dan fisik yang menghasilkan gas-gas dan bahan organik. Air hujan yang jatuh pada lokasi TPA akan berinfiltrasi ke dalam sistem sampah dan melarutkan hasil dekomposisi berupa cairan yang disebut air lindi. Komposisi air lindi bervariasi antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Proses daur ulang, produksi kompos dan pembakaran bertujuan untuk memperkecil volume sampah yang dihasilkan, sehingga pembuangan sampah pada kolam sanitary landfill dapat diperkecil dan akhirnya dapat menghemat penggunaan lahan TPA. Pembuatan kompos dapat dilakukan dengan beberapa macam teknologi, di antaranya menggunakan salah satu metodologi aerasi, turning over bahan kompos (membolak balik bahan kompos) dan open air atau reactor based. Pemilihan jenis metodologi yang tepat perlu mempertimbangkan beberapa hal yaitu : 1) proses yang digunakan haruslah ramah terhadap lingkungan; 2) biaya investasi tidak terlalu tinggi/ terjangkau; 3) biaya operasional dan perawatan pembuatan kompos cukup murah; 4) kualitas kompos yang dihasilkan cukup baik; 5) harga kompos dapat terjangkau oleh masyarakat dan penggunaannya dapat bersaing dengan pupuk kimia buatan; dan 6) menggunakan tenaga kerja yang bersifat padat karya.
2.2.2. Kajian Penelitian Terdahulu Siswono (2009), melakukan penelitian dengan judul Resistensi
dan
Akomodasi : Suatu Kajian tentang Hubungan-hubungan Kekuasaan pada Pedagang Kaki-Lima (PKL), Preman dan Aparat di Depok, Jawa Barat. Siswono telah mampu menjelaskan bagaimana pengaruh kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat khususnya sektor informal yang selalu dipinggirkan keberadaannya.
16
Berbagai kemungkinan apa yang dilakukan pihak pelaku sektor informal dalam mengakses ruang publik yang melibatkan banyak aktor didalamnya. Proses para PKL beserta pelaku lainnya dalam kaitannya dengan cara-cara untuk mendapat tempat berdagang, melihat bagaimana cara mereka bernegosiasi, negosiasi dan akomodasi untuk dapat mengakses ruang publik.
Siswono juga menjelaskan
bagaimana hubungan-hubungan kekuasaan yang dibangun diantara para PKL dengan berbagai pelaku (aktor) lainnya yang ikut terlibat dalam mengakses ruang publik yang dinyatakan dilarang oleh pemerintah setempat, sehingga mereka mendapatkan semacam ‘hak legitimasi’ untuk dapat tetap bertahan hidup dalam situasi krisis, melalui serangkaian resistensi, negosiasi dan akomodasi. Siswono telah berhasil menjelaskan tentang bagaimana hubungan-hubungan kekuasaan oleh masyarakat yang tergolong marjinal yang diwakili oleh pelaku sektor informal dalam menghadapi kebijakan pemerintah setempat. Berbagai hubungan yang dilakukan oleh pelaku sektor informal yang sehari-hari menggelar dagangannya di jalur-jalur ‘terlarang’ dalam konteks penguasaan ruang publik. Hubungan-hubungan tersebut, dilakukan dengan melibatkan Preman dan Aparat setempat telah mampu mengimbangi kebijakan selama ini. Hubungan-hubungan antara PKL, Preman dan Aparat dalam konteks penguasaan ruang publik. Berkaitan dengan kehidupan pemulung dan lapak pemulung, telah dilakukan penelitian oleh Novitasari (2010). Hasil penelitian menyebutkan bahwa : 1). Profesi pemulung merupakan salah satu alternative sector informal bagi mereka yang mau bekerja namun tidak memiliki spesifikasi pendidikan dan keterampilan yang dibutuhkan dan ditetapkan oleh sector formal, 2). Profesi pemulung digeluti oleh kaum laki-laki dan kaum perempuan yang berada pada usia kerja. Mayoritas etnis pemulung adalah suku jawa. Pendidikan terakhir pemulung termasuk rendah. Pekerjaan orang tua pemulung adalah sebagai petani, pemulung dan pembantu rumah tangga. Dapat diketahui bahwa profesi menjadi pemulung merupakan pekerjaan yang sampai saat ini mereka anggap baik dan menguntungkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, 3). Pola interaksi antar pemulung, pemulung dengan bos mengarah pada interaksi yang mendekatkan
atau
mempersatukan
(asosiatif).
Interaksi
menguntungkan dan membutuhkan, telah terjalin diantara mereka.
yang
saling
17
Para pemulung jarang berinteraksi dengan masyarakat setempat. Pemulung di lapak Kelurahan Beji tidak pernah berinteraksi dengan pemerintah setempat, sebab mereka merasa bahwa kehidupan mereka dilindungi oleh bos. Untuk permasalahan birokrasi kependudukan para pemulung akan mengurus dan menyelesaikannya di daerah asal masing-masing. Tidak dimilikinya ijin menetap sementara dan tempat tinggal mereka yang dapat berpindah-pindah membuat para pemulung yang berada di Kelurahan Beji tidak mendapatkan dana bantuan dari pemerintah berupa BLT (Bantuan Langsung Tunai), Beras Raskin, maupun ASKESKIN (Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin). Royadi (2006) melakukan penelitian tentang analisis pemanfaatan TPA sampah pasca operasi berbasis masyarakat (Studi kasus TPA Bantar GebangBekasi). Hasil penelitian menunjukkan beberapa hal, diantaranya : 1) Alternatif pemanfaatan adalah sebagai TPA terpadu, dengan kegiatan setiap zona sebagai berikut: Zone I dan II sebagai hutan kota/penghijauan, Zone III, IV dan zone V sebagai TPA sampah. 2) Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu akan menimbulkan multiplyer effect baik bagi lingkungan, masyarakat sekitar lokasi TPA dan Pemerintah. Astuti (2005) melakukan penelitian dengan judul strategi pemberdayaan masyarakat sekitar TPA Sampah Cipayung melalui penguatan kemampuan masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan sehat.Hasil penelitian dapat diketahui permasalahan utama yang muncul di Kelurahan Cipayung adalah adanya dampak negatif
TPAS
terhadap
gangguan
kesehatan
masyarakat.
Masyarakat
membutuhkan penguatan kemampuan untuk mengetahui masalah yang mereka hadapi dan cara mengatasinya. Program jangka panjang yang dibutuhkan adalah pendidikan masyarakat dalam memperlakukan sampah dan penetapan peraturan daerah tentang pengelolaan sampah serta penelitian tentang pengelolaan sampah dan teknik pengelolaan sampah yang efektif dan efisien. Study tentang Relasi Kekuasaan dalam Pengelolaan Sampah telah dilakukan juga oleh Fikarwin (2008), tetapi
fokus penelitian ini berbeda.
Fikarwin melakukan penelitian secara keseluruhan pada tingkat kota Depok, sedangkan penelitian ini nantinya akan terfokus di wilayah TPA Cipayung dan area sekitarnya dengan tetap memperhatikan konteks Depok yang lebih luas.
18
Lokasi penelitian Fikarwin dilakukan di Kelurahan Janarata, sedangkan lokasi penelitian ini dilakukan di Perumahan Griya Pancoranmas Indah, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, Kecamatan Pancoranmas, Kota Depok. Hasil penelitian Fikarwin menyebutkan bahwa telah terjadi segmentalisasi penanganan sampah yang tercipta sebagai kreatifitas para pelaku dalam rangka menjalankan
kekuasaan
untuk
menjamin
kelangsungan
kepentingannya.
Penanganan sampah adalah sebuah kancah sosial yang di dalamnya terbangun hubungan-hubungan kekuasaan antar pelaku. Tiap pelaku memainkan kekuasaan atas pelaku yang lain, yang ia dapat kuasai dan dengan melibatkan dukungan dari pihak-pihak lain yang ia dapat pengaruhi. Berbagai taktik ditempuh menghadapi kekuasaan yang dilaksanakan pelaku lain untuk menyelamatkan diri dan kelangsungan kepentingannya karena di dalam hubungan-hubungan kekuasaan semacam itu, hubungan antar pelaku seringkali tidak berlangsung langgeng. Hubungan-hubungan yang terbangun sangat cair, cepat berubah, tergantung kepentingan. Tidak ada hubungan kekuasaan yang bersifat absolut, mencakup segala urusan sehingga pelaku yang satu berkuasa mutlak atas pelaku yang lain. Menurut Fikarwin, masalah persampahan tidak begitu mudah dapat diharapkan menemukan solusi tanpa memperhatikan relasi-relasi kekuasaan yang terbentuk di dalamnya. Pemecahan secara yuridis dan teknis juga tidak terlalu menolong, terlebih apabila pengelolaan sampah yang dimaksudkan bukan semata-mata untuk membersihkan sampah.
2.3.
Relasi Kekuasaan Menurut kamus cerdas Bahasa Indonesia, relasi dapat diartikan sebagai
pertalian atau hubungan, sedangkan kekuasaan oleh Weber diartikan sebagai kecenderungan seorang aktor dalam hubungan sosialnya yang membuat dirinya berada dalam posisi resisten berkaitan dengan dasar resisten yang dia miliki (Weber, 1978). Masih menurut Weber (seri terjemahan Noorkholis, dkk, 2006 : 217-218) bahwa kekuasaan didefinisikan sebagai kesempatan bagi seseorang atau sekumpulan orang untuk mewujudkan kehendak mereka dalam suatu tindakan komunal bahkan jika tindakan itu ditujukan untuk mengatasi perlawanan pihak lain yang berpartisipasi dalam tindakan itu. Lebih rinci Weber dalam Soekanto
19
(2007), mengaitkan kuasa dengan konsepsinya mengenai tindakan. Setiap tindakan menurutnya bisa bersifat : rasional-bertujuan, rasional-nilai dan bersifat afektif-emosional atau berupa perilaku kebiasaan sebagai ekspresi dari adat istiadat yang telah tertata. Dalam mendefinisikan kuasa, Weber menganggap bahwa kuasa merupakan kesempatan individu dalam interaksi sosial untuk mewujudkan keinginannya di dalam suatu tindakan komunal meskipun melawan arus tantangan dan resistensi individu lain yang terlibat dalam tindakan tersebut. Dalam perspektif kekuasaan Foucault, kekuasaan dimaknai sebagai kompleks strategi yang dijalankan pihak tertentu dengan tujuan mendorong pihak lain untuk patuh atau taat, atau membuat pihak lain tunduk, atau membuat pihak lain memberi dukungan terhadap pihak itu (Maring, 2010). Menurut Foucault, bahwa kekuasaan terdistribusi dalam relasi-relasi sosial dan tidak dapat direduksi ke dalam bentuk-bentuk dan penentu-penentu ekonomi yang terpusat atau kepada karakter legalnya. Lebih jauh lagi, kekuasaan tidak semata represif, tetapi juga produktif dan kekuasaan memunculkan subjek-subjek. Kekuasaan berperan dalam melahirkan kekuatan (force), membuatnya tumbuh dan memberinya tatanan, kekuasaan bukan sesuatu yang selalu menghambat kekuatan, menundukkannya atau menghancurkannya (Foucault, 1980: 136 dalam Siswono 2009) Bertolak dari pemikiran Foucault, konsep kekuasaan bukan merupakan suatu benda yang bisa dimiliki, diberikan atau dipindah–tangankan. Tetapi kekuasaan merupakan suatu strategi yang komplek sifatnya dalam masyarakat dengan mekanisme tertentu. Lebih lanjut Foucault menjelaskan, bahwa kekuasaan pada dasarnya dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup, dimana terdapat banyak posisi yang secara strategis berhubungan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran sesuai keadaannya. Awalnya, pelaku tindakan melakukan perlawanan, tetapi jika tindakan tersebut kurang effektif maka pelaku mengalihkan tindakan tersebut melalui kolaborasi, namun masih dalam koridor hubungan-hubungan kekuasaan. Oleh karenanya, strategi berlangsung di mana–mana dalam ruang dan waktu. Ini berarti, bahwa strategi tersebut berlangsung pada sistem–sistem regulasi, aturan–aturan termasuk susunan, dan terdapat aktivitas manusia yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya, sehingga di situlah bekerjanya kekuasaan.
20
Pada tulisan Foucault yang dirujuk Bertens (2001) dalam Siswono (2009) menyatakan, bahwa kekuasaan mempunyai berbagai bentuk dan penerapan dari bentuk–bentuk kekuasaan berbeda–beda berdasarkan setting masing–masing. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa kekuasaan terdapat juga pada sejumlah institusi dan struktur kekuasaan tidak dapat diartikan sebagai struktur yang menetap, namun mencair, menyatu dan sekali waktu berpisah. Ia justru senantiasa berubah sejalan dengan interaksi yang terjadi secara kontinyu – baik berupa perjuangan, perebutan, maupun persaingan – serta berkembangnya cara berfikir dan perilaku pada pelaku (aktor). Oleh karenanya, kekuasaan pada dasarnya selalu dinamis dan menyebar tanpa bisa dilokalisasi, serta meresap dalam seluruh jalinan hubungan sosial (Foucault, 1980 dalam Siswono, 2009) Selanjutnya, konsep kekuasaan menurut Foucault tidak dapat dilepaskan dengan konsep pengetahuan, karena manusia ketika melakukan interaksi dengan yang lain akan selalu mengonstruksi, mendekonstruksi, dan merekonstruksi pengetahuan–nya. Pengetahuan tersebut, lebih lanjut Foucault menyatakan, berasal dari relasi – relasi kekuasaan yang menandai keberadaan subjek. Oleh karenanya, kekuasaan dan pengetahuan merupakan dua sisi yang bekerja dalam suatu proses yang sama. (Foucault, 2000 dalam Siswono, 2009). Michel Foucault mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli lain. Bagi Foucault kuasa tidak bermakna “kepemilikan”, atau keadaan dimana seseorang memiliki sumber kekuasaan. Kuasa, dipraktekan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan antara satu sama lain. Dimana saja terdapat susunan, aturan-aturan sistem-sistem regulasi, dimana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu sama lain, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan dan hubungan dari dalam. Kekuasaan dalam konteks semacam itu sejalan dengan salah satu proposisi yang dikemukakan Foucault : “power isn’t a thing that is either held by,or belongs to, anybody” (Kekuasaan bukan sesuatu yang dimiliki atau dipunyai oleh siapapun) (Danaher, Schirato & Webb 2000:70 dalam Fikarwin, 2009). Dengan demikian setiap orang dapat memainkan kekuasaan dalam interaksi-interaksinya dengan pihak lain, sehingga tak pernah relasi kekuasaan itu
21
tercetak sekali jadi lalu membeku seperti batu. Power dapat mengalir sangat cepat dari satu tempat atau area, ke tempat atau area lain, bergantung pada perubahan aliansi dan lingkungan (keadaan). Dengan kata lain, “power is mobile and contingent” (kekuasaan itu bergerak dan bergantung) pada sesuatu (Fikarwin, 2009) Bagi Foucault kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan dan pengetahuan selalu efek kuasa. Hampir tidak mungkin kekuaasaan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran. Kuasa memproduksi pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi penguasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya, tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuaasaan disusun, dimapankan dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Kebenaran bukan sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak, akan tetapi ia diproduksi setiap kekuasaan yang menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi tapi melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak bekerja dengan cara negative dan represif melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa mereproduksi realitas (Eriyanto, 2001 dalam Wulan, 2010). Foucault secara mendalam mempelajari praktik bagaimana manusia memerintah dirinya melalui modes of obyektification yang mengubah makhluk menjadi subyek, dan proses produksi dari suatu disciplinary society demi kesejahteraan (welfare). Study Foucault bertujuan memahami bagaimana proses disiplin, normalisasi dan penggunaan kekuasaan yang telah diterapkan dalam berbagai pengalaman. Praktik kekuasaan dapat dilihat, tapi sulit diidentifikasi, yakni dalam diskursus tempat manunggalnya kekuasaan dan pengetahuan. Sumbangan terbesar Foucault terhadap teori dan praktik perubahan sosial adalah membuat teori itu lebih sensitif terhadap relasi kekuaasaan dan dominasi, serta menyadarkan kita bagaimana relasi kekuasaan (power) teranyam di setiap aspek kehidupan serta kehidupan pribadi dan ini bertentangan dengan umumnya
22
keyakinan sosial yang cenderung mengabaikan “kekuasaan” dalam dunia ilmu pengetahuan dan berasumsi bahwa pengetahuan itu netral, obyektif dan tak berdosa. Kecenderungan memandang bahwa kekuasaan hanya berpusat di Negara ataupun kelas, bagi Foucault merupakan pengingkaran kenyataan, karena relasi kekuasaan terdapat pada setiap aspek kehidupan. Foucault berpendapat bahwa kekuasaan tersebar dimana-mana dan datang dari mana-mana (Wulan, 2010; Malik, 2010). Pandangan ini sangat jauh berbeda dengan konsep kekuasaan yang telah dikemukakan oleh Marxian, dimana Marxian melihat kekuasaan hanya pada Negara (Suseno, 2003). Beberapa kata kunci kekuasaan menurut Foucault adalah pertama, kekuasaan bersifat dinamis (power is dynamic) yang bermakna bahwa kekuasaan bukan kepemilikan dan bukan ditangkap, diperoleh kemudian dibagi namun lebih dekat dengan “kesejajaran sosial” ; kedua, kekuasaan bisa berasal dari mana saja (power is everywhere) yang bermakna bahwa kekuasaan mencakup segala sesuatu dan dia bisa datang dari mana saja. Kekuasaan tidak dimiliki oleh agen yang dominan juga tidak ditujukan didominasi, tapi didistribusikan melalui jaringan sosial yang kompleks, dan ketiga, Kekuasaan bersirkulasi (Power as something that circulate) yang bermakna bahwa kekuasaan berputar dan diproduksi dari satu moment ke moment berikutnya. (Rouse, 2005 dalam Wulan, 2010). Dalam teori strukturasi Giddens (1984), menjelaskan bahwa konsep kekuasaan bukanlah gejala yang terkait dengan struktur ataupun sistem, melainkan kapasitas yang melekat pada pelaku. Karena itu, kekuasaan selalu menyangkut kapasitas transformatif. Sebagaimana tidak ada struktur tanpa pelaku, begitu pula tidak ada struktur dominasi tanpa relasi kekuasaan yang berlangsung diantara pelaku yang konkret (misalnya atasan dan bawahan, majikan dan buruh, antara tuan tanah dan buruh tani, atau kombinasi dari semua ini). Penguasaan terjadi lewat mobilitas struktur dominasi, ada dua sumber daya yang membentuk skema dominasi, yaitu penguasaan alokasi atas barang (ekonomi) dan penguasaan otoritas atas orang (politik). “Kekuasaan terbentuk dalam dan melalui reproduksi (dua) struktur dominasi” ini. Oleh karena kekuasaan merupakan kapasitas yang inheren pada pelaku, maka tidak pernah mungkin terjadi penguasaan total atas
23
orang lain. Giddens menamakan gejala ini sebagai dialektika kendali (dialectic of control), artinya, bahwa dalam kekuasaan selalu terlibat relasi otonomi dan ketergantungan, baik pada tataran yang menguasai maupun yang dikuasai, dan bekerja saling mengkontrol, dimana mereka yang menjadi bawahan bisa mempengaruhi aktivitas-aktivitas atasannya. Kekuasaan juga dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu kekuasaan bersifat positif dan negative (Surbakti, 1992 dalam Akhyar, 2010) yaitu : 1.
Kekuasaan bersifat positif, merupakan kemampuan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada individu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat mempengaruhi dan merubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan sungguh-sungguh dan atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental.
2.
Kekuasaan bersifat negatif, merupakan sifat atau watak dari seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang kuasa dengan cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental. Sosiologi tidak memandang kekuasaan sebagai suatu yang baik atau buruk,
namun sosiologi mengakui kekuasaan sebagai unsur yang penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Kekuasaan ada dalam setiap bentuk masyarakat, baik yang bersahaja maupun masyarakat yang kompleks. Adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dan yang dikuasai, atau dengan perkataan lain, antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh dan pihak lain yang menerima pengaruh itu, dengan rela atau karena terpaksa. Apabila kekuasaan dijelmakan pada diri seseorang, biasanya orang itu dinamakan pemimpin, dan mereka yang menerima pengaruhnya adalah pengikutpengikutnya (Soekanto, 2007).
2.4.
Kekuasaan dan Wewenang Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial
selalu tersimpul pengertian – pengertian kekuasaan dan wewenang. Kekuasaan secara tradisional menurut Soekanto (2007), diartikan sebagai kemampuan untuk
24
mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Kekuasaan terdapat di semua bidang kehidupan dan dijalankan. Kekuasaan mencakup kemampuan untuk memerintah (agar yang diperintah patuh) dan juga untuk memberi keputusan-keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tindakan-tindakan pihak-pihak lainnya. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Budiardjo (2008), kekuasaan adalah kemampuan
seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku. Sedangkan Wewenang atau otoritas erat hubungannya dengan kekuasaan, karena dengan wewenang maka orang mempunyai hak untuk melakukan dan menetapkan sesuatu. Wewenang merupakan bentuk kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh individu maupun kelompok. Pandangan Weber (1978) dalam Malik (2010), wewenang dikaitkan dengan legitimasi yang kemudian membagi otoritas dalam tiga jenis yaitu : 1). Otoritas tradisional (traditional authority) dimana sebuah otoritas bersumber dari budaya (custom), sehingga otoritas lebih merupakan sebuah pelimpahan kekuasaan berbasis budaya dan tradisi yang diwariskan dengan legitimasi tradisi. 2). Otoritas kharismatis (charismatic authority), merupakan otoritas yang bersumber dari pengakuan orang atas keistimewaan seseorang (yang dianggap luar biasa) sehingga ia dipatuhi (hal ini sangat pribadi sifatnya). 3). Otoritas legal rasional (rational legal authority), merupakan otoritas yang bersumber dari aturan formal (hukum). Otoritas ini merupakan otoritas yang diperoleh seseorang dengan batasan-batasan hukum formal yagn berlaku. Ketika otoritas tersebut diterima oleh seseorang maka otoritas tersebut melekat dalam diri orang yang menjadi pemimpin atau penguasa dan dengan otoritasnya ia menjalankan kekuasaan. Kekuasaan dan wewenang merupakan konsep yang saling terkait. Kabeer (1994) dan Parson (1960) dalam Nasdian (2007), membedakan kekuasaan (power) menjadi dua dimensi, yaitu distributif dan generatif. Berdasarkan dimensi distributif maka kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang/kelompok untuk memaksakan kehendak mereka pada orang lain. Dimensi generatif, kekuasaan merupakan tindakan-tindakan yang memungkinkan masyarakat atau unit sosial untuk meningkatkan kemampuannya mengubah masa depan mereka
25
yang dilakukan atas pilihan mereka sendiri. Dalam hal ini kekuasaan yang dapat diciptakan melalui organisasi sosial dan kelompok kaum marginal untuk mendorong proses perubahan sosial yang memungkinkan mereka untuk memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap lingkungan kehidupan mereka pada aras masyarakat lokal. Kalangan yang beranggapan bahwa kekuasaan hanya mempunyai dimensi distributif sehingga memandangnya sebagai dimensi yang bervolume tetap akan melihat sedikit kemungkinan untuk bertindak kooperatif. Pemegang kekuasaan cenderung menentang dan mengantisipasi secara negative inisiatif organisasi (Korten dan Klauss, 1984 ; Nasdian, 2007). Dimensi generatif kekuasaan menunjukan adanya kemungkinan bahwa semua anggota masyarakat atau unit sosial yang lain mengambil keuntungan dan bertambahnya kekuasaan dibagi secara luas dalam kelompok.
2.5.
Kerangka Pemikiran Permasalahan pengelolaan sampah tidaklah semudah dan sesederhana
seperti membagi-bagikan hak pengelolaan kepada satu atau beberapa aktor saja. Pengelolaan sampah di TPA (Tempat Pembuangan Akhir), yang sebelumnya diawali dari rumah tangga/perumahan permukiman (paling banyak), kemudian di bak sampah, lanjut ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara), umumnya melibatkan banyak aktor yang masing-masing memiliki derajat kepentingan yang berbeda. Masing-masing aktor memiliki dan terus mengembangkan strategistrategi yang bertujuan mempertahankan akses mereka atas pengelolaan sampah, baik mulai dari tingkat bak sampah, TPS maupun TPA Cipayung Kota Depok. Dalam proses mengembangkan strategi dan mempertahankan akses tersebut terjadi distribusi atau polarisasi relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara berbagai aktor yang terlibat. Tidak semua relasi kekuasaan dalam medan interaksi pengelolaan sampah dapat ditelaah dalam penelitian ini, mengingat tidak sedikit jumlah pelaku yang saling berkaitan di lapangan. Oleh sebab itu perlu pembatasan, walaupun tidak terlalu ketat, maka batas itu adalah relasi kuasa tingkat rumah tangga, relasi kuasa tingkat bak sampah, relasi kuasa tingkat TPS dan relasi kuasa tingkat TPA,
26
sehingga kerangka pemikiran yang dibuat juga mengacu pada pembatasan itu, secara sederhana ditampilkan pada Gambar 2.
Industri/Perkantoran
Perorangan
Sampah
Perumahan/ Permukiman
Fasilitas Umum lainnya
Nilai‐nilai sosial, ekonomi, lingkungan dan politik terkait sampah
Relasi Kuasa tingkat rumah tangga
Relasi Kuasa tingkat bak sampah
Relasi Kuasa tingkat TPS
Relasi Kuasa tingkat TPA
Relasi Kuasa tingkat Kebijakan
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
2.6.
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat hipotesis
pengarah dan bertujuan memberikan bingkai serta arahan dalam keseluruhan proses penelitian. Dengan demikian maka hipotesis pengarah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah pengelolaan atau penanganan sampah di TPA melibatkan beragam aktor dengan beragam kepentingan, sehingga menghasilkan relasi kuasa yang beragam mengarah kepada resisten, kolaborsi bahkan sampai mengarah kepada konflik.
27
III METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Paradigma Penelitian Paradigma menurut Bogdan dan Biklen (1982) dalam Moleong (2000)
adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Paradigma penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian maka penggunaan paradigma kritis diharapkan mampu untuk mengungkapkan masalah relasi kekuasaan dan kesertaan para aktor yang mendasari pengelolaan sampah di TPA Cipayung Kota Depok, mulai dari tingkat rumah tangga, pengumpulan di bak sampah, masuk ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara) sampai akhirnya di angkut ke TPAS (Tempat Pembuangan Akhir Sampah). Penggunaan paradigma kritis dalam penelitian ini didasari oleh sebuah fakta sosial bahwa masyarakat lapisan bawah tidak memperoleh manfaat yang adil dari pelaksanaan pengelolaan sampah di medan interaksi pengelolaan sampah TPA Cipayung, padahal mereka yang langsung merasakan dampak dari operasionalisasi pengelolaan TPA tersebut. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, artinya menggunakan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor, 1975 dalam Moleong, 2000). Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variable atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Sejalan dengan definisi tersebut, Penelitian kualitatif juga merupakan tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Kirk dan Miller, 1986 dalam Moleong, 2000).
28
Penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri yang membedakannya dengan penelitian jenis lainnya, Moleong (2000) menyebutkan ciri-ciri tersebut yaitu : 1.
Latar alamiah, artinya bahwa penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity). Hal ini dilakukan karena ontology alamiah menghendaki adanya kenyataankenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konsteknya.
2.
Manusia sebagai alat (instrument), artinya bahwa peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama.
3.
Metode kualitatif, artinya bahwa penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif, penyesuaiannya lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden.
4.
Analisis data secara induktif, artinya bahwa dalam proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan ganda sebagai yang terdapat dalam data, dapat membuat hubungan peneliti-responden menjadi eksplisit, dapat dikenal dan akuntabel.
5.
Teori dari dasar, artinya bahwa penelitian ini lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori substantive yang berasal dari data.
6.
Deskriptif, artinya bahwa data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti.
7.
Lebih mementingkan proses daripada hasil, artinya bahwa hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses.
8.
Adanya “batas” yang ditentukan oleh “focus”, artinya bahwa ada penetapan batas dalam penelitiannya atas dasar focus yang timbul sebagai masalah dalam penelitian.
9.
Adanya criteria khusus untuk keabsahan data, artinya bahwa penelitian meredefinisikan validitas, reliabilitas dan objektivitas dalam versi lain dibandingkan dengan lazim digunakan dalam penelitian klasik.
29
10.
Desain yang bersifat sementara, artinya bahwa penelitian menyusun desain yang secara terus menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan.
11.
Hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama, artinya bahwa penelitian ini lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber data.
3.2.
Metode dan Strategi Penelitian Metode Penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Metode ini
mampu menangkap penjelasaan dan pemahaman yang lebih baik tentang fakta sosial dari sisi subyek penelitian dibandingkan jika memakai metode kuantitatif. Tujuan penelitian yang ingin menggambarkan bagaimana aktor-aktor menjalankan kekuasaan mulai dari tingkat rumah tangga, tingkat bak sampah, tingkat TPS sampai dalam sebuah kawasan TPA, bentuk relasi kuasa yang diperankan para aktor serta relasi-relasi yang terbentuk mempengaruhi peran para aktor, merupakan hasil dari penjelasan dan pemahaman tentang realitas sosial yang ditanyakan, serta hasil dari proses dialogis antara peneliti dan tineliti. Strategy penelitian yang digunakan adalah study kasus, merujuk pada penjelasan Babbie (2004) bahwa : Social researchers often speak of case studies, which focus attention on one or few instances of some social phenomenon, such as a village, a family, or a juvenile gang. Serta penjelasan dari Baedhowi (2001) bahwa studi kasus merupakan suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, menginterpretasikan suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Sedangkan Sitorus (1999) menjelaskan bahwa penggunaan study kasus sebagai strategy penelitian memungkinkan terjadinya dialog peneliti dan tineliti, sehingga kebenaran adalah kesepahaman bersama atas sebuah masalah berupa intersubyektifitas yang lahir akibat interaksi antara peneliti dan tineliti.
3.3.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, khususnya di
lokasi perumahan Griya Pancoranmas Indah yang ada bak sampah dan TPS, serta
30
TPA Cipayung, Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat.
Pemilihan lokasi dilakukan dengan pertimbangan
perumahan tersebut dekat dengan TPA dan wilayah TPA Cipayung merupakan muara pembuangan sampah di Kota Depok yang daya tampungnya diperkirakan overload pada tahun mendatang (2013). Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung memiliki keunikan tersendiri dalam hal penanganan TPA sampah yang ada di wilayahnya, karakteristik sosial dan kondisi lingkungan yang masih alami serta masuk kategori wilayah pinggiran pusat kota. Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai bulan Desember 2012.
3.4.
Jenis, Teknik Pengumpulan dan Validasi Data Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural
setting (kondisi alamiah), sumber data primer dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta (participation observation), wawancara mendalam (in depth interview) dan dokumentasi (Sugiyono, 2007). Jadi, jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu : data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan teknik observasi berperan serta, wawancara mendalam dan FGD (Focus Group Discussion). Sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan teknik dokumentasi. Sebagai bentuk penyimpanan data dari teknik yang digunakan, maka peneliti membuat catatan harian yang berisi hasil wawancara mendalam tineliti dan hasil pengamatan berperan serta. Wawancara mendalam dilakukan dengan subyek penelitian pengelola sampah di perumahan Griya Pancoranmas Indah, mulai dari pemulung di bak sampah, petugas pengangkut sampah, pengurus RW hijau dan pengelola sampah TPA Cipayung yang di pilih secara purposive, dari kalangan pemerintah dalam hal ini pihak DKP (Dinas Kebersihan dan Pertamanan), pihak UPTD TPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah – Tempat Pembuangan Akhir), pihak DKUP (Dinas Koperasi, UMKM dan Pasar), DIBIMASDA (Dinas Bina Marga dan Sumberdaya Air) sedangkan dari kalangan non pemerintah yaitu Pengusaha Lampak, Forum Warga (FORMAC dan FKMP-TPAS)
dan Pemulung sekitar lokasi TPA.
Tujuannya adalah untuk menjaring informasi terkait dengan pertanyaan dan tujuan
31
penelitian yaitu bagaimana mereka menjalankan kekuasaan mulai tingkat Rumah Tangga, bak sampah, TPS sampai di tingkat TPA, apa kepentingan dan kekuatan masing-masing ketika berhubungan dengan aktor lainnya. Wawancara mendalam digunakan untuk menggali persoalan tentang bekerjanya kekuasaan dalam praktek pengelolaan sampah di masing-masing tingkatan tersebut, dengan menggunakan panduan pertanyaan. Validasi data dilakukan dengan cara triangulasi, baik triangulasi “teknik” pengumpulan data yaitu bermacam-macam cara pada sumber yang sama, maupun triangulasi “sumber” pengumpulan data yaitu satu teknik pengumpulan data pada bermacam-macam sumber data A, B, C (Sugiyono, 2007). Pengamatan berperan serta dilakukan saat peneliti mengikuti pertemuan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) baik di tingkat Kelurahan, Kecamatan, maupun tingkat Kota. Selain itu peneliti juga ikut pertemuan Forum OPD (Organisasi Perangkat Daerah) yang diselenggarakan oleh DKP. Pengamatan berperan serta dilakukan untuk mengamati proses-proses yang terjadi dalam Musrenbang dan lebih khusus proses bekerjanya kekuasaan dalam pengelolaan sampah di TPA Cipayung. Validasi data dilakukan dengan mengamati proses diskusi dalam Musrenbang tingkat kelurahan dan kecamatan maupun pada tingkat Forum OPD. Dokumentasi digunakan dalam pengumpulan data sekunder, berupa dokumen-dokumen tentang gambaran umum wilayah kota, kondisi pengelolaan sampah tingkat kota dan tingkat TPA. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari instansi terkait, baik pemerintah maupun lembaga non pemerintah.
3.5.
Analisis Data Sugiyono (2007) mengemukakan bahwa analisis data adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
32
Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh dari temuan di lapangan, terhadap suatu hal yang menjadi perhatian peneliti, kemudian di teliti faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut, hasilnya dicocokan dengan teori yang ada. Bila tidak sesuai dengan data, maka dapat diajukan suatu teori baru, yang penting adalah data yang mendasari teori
tersebut
harus
sesuai
dengan
kaidah
riset,
sehingga
bisa
di
pertanggungjawabkan (Bryman, 2004). Proses analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2007) yang lebih dikenal dengan model analisis interaktif. Model analisis ini adalah melalui proses tahapan sebagai berikut : data yang terkumpul direduksi berupa pokok-pokok temuan penelitian yang relevan dengan bahan penulisan dan selanjutnya disajikan secara naratif. Reduksi dan penyajian data adalah dua komponen analisis yang dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Proses selanjutnya adalah penarikan kesimpulan, yaitu dilakukan setelah proses pengumpulan data, disajikan, dideskripsikan dan kemudian diberi pemaknaan dengan interpretasi logis. Aktivitas ketiga komponen tersebut berinteraksi sampai diperoleh kesimpulan yang benar. Apabila kesimpulan kurang memadai, maka diperlukan kegiatan pengujian ulang yaitu dengan cara mencari data lagi di lapangan dan mencoba menginterpretasikan dengan focus yang lebih terarah. Dengan demikian aktivitas analisis dengan pengumpulan data dan merupakan proses siklus sampai penelitian selesai.
33
IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1.
Gambaran Umum Wilayah Kota Depok
4.1.1. Kondisi Wilayah Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat : 6° 19’ 00’’6° 28’ 00’’ Lintang Selatan dan 106° 43’ 00’’-106° 55’ 30’’ Bujur Timur. Kota Depok memiliki luas wilayah 20.029 Ha atau setara dengan 200,29 km2 atau 0,58 % dari luas Provinsi Jawa Barat, berbatasan langsung dengan tiga kabupaten/kota dan dua provinsi yaitu : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta; b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi dan Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor; c. Sebelah
Selatan
berbatasan
dengan
Kecamatan
Cibinong
dan
Kecamatan Bojonggede Kabupaten Bogor; d. Sebelah
Barat
berbatasan
dengan
Kecamatan
Parung
dan Gunung
Sindur Kabupaten Bogor Berdasarkan lokasinya secara regional, Kota Depok ditetapkan sebagai Kota Satelit dan mempunyai fungsi sebagai PKN (Pusat Kegiatan Nasional) bersama-sama dengan Kota Bogor, Kota Tangerang dan Kota Bekasi, dengan DKI Jakarta ditetapkan sebagai Kota Inti dalam Rencana Struktur
Tata Ruang
Nasional atau Sistem Perkotaan Nasional. Kota Depok termasuk ke dalam konstelasi ruang Kawasan Andalan DKI Jakarta-Jawa Barat-Banten atau disebut juga Kawasan Perkotaan Jakarta dengan sektor unggulan industri, pariwisata, perdagangan, jasa dan perikanan. Letak Kota Depok sangat strategis, hal ini menyebabkan Kota Depok semakin tumbuh dengan pesat seiring dengan meningkatnya perkembangan jaringan transportasi yang tersinkronisasi secara regional dengan kota kota lainnya. Lebih lanjut, penataan ruang Kota Depok sebagai bagian dari PKN Metropolitan Jabodetabek-punjur diatur dalam Perpres No 54 tahun 2008
34
sehingga pengembangan ruang Kota Depok harus terintegrasi, terpadu dan menjadi bagian dari pengembangan ruang PKN Metropolitan Jabodetabek-Punjur. Begitu juga secara administratif, berdasarkan Perda No 8 Tahun 2008 tentang Pembentukan Wilayah Kecamatan di Kota Depok, Pemerintahan Kota Depok yang tadinya terdiri dari 6 Kecamatan dimekarkan menjadi 11 Kecamatan yakni Kec. Cimanggis, Kec. Sukmajaya, Kec. Tapos, Kec. Sawangan, Kec. Pancoran Mas, Kec. Limo, Kec. Beji, Kec. Cinere, Kec. Bojongsari, Kec. Cipayung, Kec, Cilodong dan terdiri dari 63 Kelurahan, 871 RW serta 4.856 RT. Seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pembagian Administrasi Kota Depok Paska Pemekaran Tahun 2008 Sumber : RTRW Kota Depok 2010-2030 Dari sisi topografi, umumnya kemiringan lahan di Kota Depok berkisar 815%. Namun terdapat pula kecamatan dengan kemiringan rendah yaitu di sebagian Kecamatan Cinere, Kecamatan Beji Kecamatan Cimanggis. Sedangkan daerah dengan kemiringan >15% terbentang dari Selatan ke Utara yaitu di sepanjang sungai yang melintasi Kota Depok. Berdasarkan kondisi hidrogeologi, Kota Depok didominasi oleh kelompok litiligi endapan lanau, pasir, kerikil dan kerakal hasil pengendapan kembali endapan vulkanik kwarter (kipas alluvial muda) serta konglomerat dan pasir sungai (endapan alluvial tua), dengan tingkat
35
kelulusan air sedang sampai tinggi termasuk akifer dengan produktivitas tinggi di bagian utara dan akifer dengan produktivitas sedang di bagian selatan dengan penyebaran akifer luas dengan debit antara 1-5 liter/detik. Keadaan ini menunjukkan bahwa Kota Depok memiliki kandungan air tanah yang cukup baik. Selain sumberdaya air tanah di Kota Depok juga terdapat sumberdaya air lain yang berasal dari sumberdaya air permukaan yang meliputi 30 setu dan 14 sungai yang melintasi Kota Depok. Secara umum wilayah Kota Depok memiliki daya dukung yang cukup untuk pengembangan kegiatan budidaya baik budidaya pertanian maupun non pertanian. Namun ada beberapa bagian wilayah yang memiliki daya dukung rendah untuk pengembangan meskipun dengan upaya teknologi yaitu daerah dengan kemiringan lereng curam/tinggi, rawan longsor, dan potensi erosi, di antaranya adalah kawasan sempadan Sungai Ciliwung, Cikeas, Pesanggrahan dan Sungai Angke. Selain itu daerah yang termasuk wilayah kendala/limitasi adalah sempadan jalur pipa gas, sempadan jalan kereta api, sempadan setu dan sempadan jalur distribusi energi listrik saluran udara tegangan tinggi (SUTT) dan saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET). Dari sisi penggunaan lahan, RTRW Kota Depok 2010-2030 mencatat bahwa proporsi lahan terbangun meningkat pesat dalam 5 tahun terakhir, dari sekitar 9299 Ha atau 46.49% pada tahun 2005 menjadi sebesar 10.461,99 ha atau sekitar 52,30 % dari luas wilayah Kota Depok. Ini berarti rata-rata pertumbuhan lahan terbangun mencapai
3.14% per tahun. Dominasi penggunaan lahan
terbangun terbesar diperuntukan bagi lahan permukiman dengan luas sebesar 9540,64 ha atau sebesar 48,57% dari luas lahan Kota Depok.
4.1.2. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Gambaran suatu wilayah memiliki berbagai potensi sumber daya, dapat dilihat dari salah satu sisi, yaitu Sumber Daya Manusia. Seperti diketahui, Sumber Daya manusia (SDM) sebagai salah satu faktor strategis. Karena disadari posisi mereka bukan hanya sebagai sasaran dari berbagai program pembangunan akan tetapi juga SDM akan berfungsi sebagai pemikir, perencana, sekaligus pelaksana dari berbagai program pembangunan. Atas dasar pemikiran ini pembangunan
36
manuusia dititik beratkan pada p peninggkatan kuallitas SDM yang sejallan dengan pertuumbuhan ekkonomi. Penitikbeeratan padaa kualitas SD DM diperlu ukan karena penduduk yyang besar hanyya akan dappat merupakkan asset peembangunan n jika “kuaalitasnya” (ddilihat dari derajjat kesehataan dan atau tingkat t penddidikan) cu ukup baik. Juumlah pendduduk yang besarr disadari hanya neruupakan bebban pembangunan jikka berkualittas rendah apabila dilihat dari d kompossisinya secarra sosial dan n budaya yaang sangat bberagam. Berdasarrkan sensuus penduduuk tahun 2010 2 Kota Depok diihuni oleh 1.7366.565 jiwa, dengan sexx ratio pendduduk laki-laki terhadaap perempuuan sebesar 102. Jumlah inii mengalam mi peningkaatan sebesaar 316.085 jiwa j dari taahun 2006 yangg baru menccapai 1.420.480 jiwa. Pertumbuhan P n pendudukk yang demikian tinggi ini dipengaruhi d i oleh tinggginya arus migrasi yang masuuk ke Kota Depok, menggingat Kotaa Depok dinilai sebagai daerah yang y sangatt strategis ddilihat dari selurruh fungsi kota, k terutam ma jasa, perddagangan dan d permukiiman. Namun perubahan menyolok ini juga daapat disebaabkan oleh perbedaan sumbber data. Data D 2005-22009 mengggunakan data d Depok Dalam Anngka yang meruupakan hasiil proyeksi penduduk berdasarkan b n Sensus Peenduduk Taahun 2000. Sedaangkan dataa 2010 mengggunakan Data D Sensuss Penduduk 2010 yangg mencatat jumlah penduduuk faktual yang y ada di lokasi tanpaa melihat sttatus adminnistratifnya,
PENDUDUK DEPOK (JUTA)
seperrti pada Gambar 4.
1,,800 1,600 1 1,400 1 1,200 1,000
PENDUD DUK
2005
2006 TAH HUN
2007
2008
2009
2010
Gam mbar 4. Jum mlah Pendudduk Kota Depok D Tahun n 2006 – 20010 Sum mber : Diollah dari Deppok Dalam Angka 2005 – 2009 ddan Sennsus Pendudduk 2010
37
Menurut perhitungan BPS pula, laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kota Depok dalam 10 tahun terakhir
menempati posisi kedua setelah Kabupaten
Bekasi dengan nilai rata-rata sebesar 4.27%, dengan laju pertumbuhan tertinggi di kecamatan Limo sebesar 8.48% dan terendah di kecamatan Sukmajaya sebesar 3.27%.
Dengan menggunakan asumsi pertumbuhan penduduk dapat ditekan
sesuai target nasional yakni sebesar 2,48%, maka proyeksi penduduk Kota Depok hingga tahun 2020 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Proyeksi Penduduk Kota Depok 2010 – 2020 TAHUN
PROYEKSI
2011
1,742,075
2012
1,785,191
2013
1,829,375
2014
1,874,652
2015
1,921,049
2016
1,968,595
2017
2,017,318
2018
2,067,247
2019
2,118,411
2020
2,170,842
Sumber : SPKD, 2011
4.2.
Gambaran Umum Kondisi Pengelolaan Sampah di Depok
4.2.1.
Organisasi Pengelola Sampah Pengelolaan sampah di Kota Depok terbagi atas 3 wilayah, antara lain :
1). Wilayah Individual/Rumah Tangga,
2). Wilayah Kawasan/ Lingkungan,
melayani 200-2000 Kepala Keluarga, 3). Wilayah
Kota/TPA.
Berdasarkan
Peraturan Daerah Kota (Perda) Kota Depok No. 6 Tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan Daerah Kota Depok No. 8 tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD), instansi yang berwenang dalam pengelolaan kebersihan/persampahan
38
adalah Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok atau disingkat DKP Kota Depok. DKP Kota Depok merupakan unsur pelaksana teknis di bawah Walikota yang berfungsi sebagai pelaksana pelayanan kebersihan (Operator) juga berfungsi melaksanakan tugas pengaturan/pengendalian (regulator). Struktur organisasi DKP Kota Depok terdiri dari Kepala Dinas dibantu 3 (tiga) Kepala Bidang, 1 (satu) Sekretariat dan 3 (tiga) Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD), seperti tertera pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur organisasi DKP Kota Depok
39
Kegiatan pengelolaan sampah dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pengelolaan Sampah Kota Depok yang dipimpin oleh Kepala UPTD. Lokasi UPTD berada di areal TPA Cipayung. Petugas pelayanan sampah di areal TPA Cipayung terdiri dari : operator alat berat, kernet truk sampah, sopir truk sampah, petugas keamanan TPA, petugas TPA dan pengawas TPA. Keseluruhan berjumlah 236 orang, dengan struktur organisasi seperti Gambar 6.
Gambar 6. Struktur Organisasi UPTD TPA Cipayung
4.2.2. Timbulan Sampah dan Tingkat Pengangkutan Sampah ke TPA Berdasarkan Standar SK. SNI S-04-1991-03, spesifikasi timbulan sampah untuk kota kecil dan sedang di Indonesia adalah antara 2,75-3,25 lt/orang/hari atau rata-rata 3,00 lt/orang/hari. Sedangkan berdasarkan perhitungan (Bapeda Kota Depok, 2002) produksi sampah per hari per orang 2,65 liter (skala Kota Depok). Berdasarkan data tahun 2010/2011 penduduk Kota Depok 1.736.565 jiwa, dengan asumsi timbulan sampah tiap individu adalah 2,65 liter/orang/hari (Bapeda Kota Depok, 2002), maka timbulan sampah yang dihasilkan dalam satu hari
40
adalah 4.602 m3/hari, sedangkan debit sampah yang terangkut ke TPA Cipayung 1000-1.200 m3/hari atau rara-rata 1.100 m3/hari. Dengan demikian tingkat pengangkutan sampah masuk ke TPA mencapai 23-28% atau rata-rata sekitar 25%. Timbulan sampah padat di Kota Depok yang dihasilkan dari kegiatan rumah tangga dan pasar dikumpulkan baik dengan menggunakan gerobak atau langsung masuk ke dalam truk. Sampah yang dikumpulkan dengan gerobak atau truk kecil kemudian dibawa ke titik pengumpulan atau pengalihan yang disebut Tempat Pembuangan Sementara (TPS) atau Transfer Depo.
4.2.3. Pola Pengangkutan dan Penanganan Sampah Pengangkutan Sampah Secara
umum,
operasional
pengangkutan
sampah
dari
Tempat
Penampungan Sementara (TPS) sampah ke TPA Cipayung dilaksanakan/ dikoordinasikan oleh Koordinator Kecamatan (Korcam) dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Sedangkan yang secara teknis operasional di areal TPA dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD). Sampah yang ada di TPS kemudian dilakukan pemindahan, biasanya secara manual ke dalam truk yang lebih besar untuk dibawa ke TPA Cipayung. Sedangkan di Transfer Depo pemindahannya dapat dilakukan langsung dari gerobak ke truk melalui ramp. Jumlah truk (sarana dan prasarana operasional) dan biaya yang tersedia di Kota Depok tidak mencukupi kebutuhan untuk pelayanan menyeluruh bagi semua wilayah Kota Depok. Penanganan Sampah Prasarana dan sarana yang ada untuk mengangkut sampah yang telah dimiliki oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok dengan jumlah ritasi/pengangkutan setiap kendaraan rata-rata 2(dua) rit/hari/unit dengan rincian seperti pada tabel 2, sebagai berikut : Tabel 2. Jumlah Pengangkutan Sampah Setiap Kendaraan. No 1.
Keterangan Ritasi/pengangkutan dengan Dump Truck • Kapasitas dump truck • Volume Maksimum sampah. • Jumlah dump truck • Jumlah Transfer Depo • Ritasi dump truk
Kapasitas/unit 1-2 rit/hari/unit 8 ton 10 m3 56 unit 2 unit 1-2 rit/hari/unit
41
2.
Ritasi/pengangkutan dengan Arm Roll • Kapasitas Kontainer • Volume Efektif • Jumlah Kontainer • Jumlah Arm Roll • Ritasi Arm Roll Sumber : DKP, 2011
2 rit/hari/unit. 6 ton 8 m3 24 Unit 6 Unit 2 rit/hari/unit
Data Kendaraaan (Truck/Dump Truck) Operasional Pengangkutan sampah ke TPA Cipayung, seperti terlihat pada tabel 3 dibawah ini : Tabel 3. Data Kendaraan Operasional Penganngkut Sampah No 1.
Jenis Kendaraan Kendaraan Truck (Kapasitas 8 – 10 m3): • Kendaraan DKP • Kendaraan satgas DKP • Kendaraan DKUP • Kendaraan satgas PU • Kendaraan Taman • Kendaraan UI 2. Kendaraan Non-Truck (Kapasitas 2 – 4 m3): • Kendaraan Pick-Up • Kendaraan Gerobak bermotor Sumber : DKP, 2011
Kapasitas/unit 56 unit 2 unit 13 unit 3 unit 1 unit 3 unit 1 unit 3 unit
Data Alat Berat Operasional di TPA Cipayung, seperti pada Tabel 4, sebagai berikut : Tabel 4. Data Alat Berat Operasional di TPA Cipayung. No Jenis Alat Berat 1. Bulldozer 2. Track Loader 3. Excavator 4. Wheel Loader 5. Shovel 6. Truck Tronton Sumber : DKP, 2011
Jml/unit 3 unit 1 unit 2 unit 2 unit 1 unit 1 unit
4.2.4. Pola Pelayanan Sampah Berdasarkan kondisi yang ada sekarang, pola pelayanan sampah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Depok dilakukan dengan lima
(5) model
pelayanan. Pemilihan model pelayanan ini berdasarkan tipologi sumber penghasil sampah seperti terlihat pada Tabel 5 dan pola alur pengelolaan sampah di Kota Depok seperti terlihat pada Gambar 7.
42
Tabel 5. Sumber Sampah dan Model Pelayanan Sampah Kota Depok No 1
2
3
4
5
Sumber
Model Pelayanan
Permukiman Timbulan sampah yang berasal dari wadah sampah pada setiap Teratur rumah tangga dikumpulkan dengan menggunakan gerobak sampah yang dikelola oleh Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW) masing‐masing, kemudian sampah tersebut dikumpulkan pada Tempat Penampungan Sementara(TPS) atau Transfer Depo terdekat untuk selanjutnya diangkut dengan Truck menuju lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Kecuali Perum Jatijajar, truk sampah datang langsung setiap 2 hari ke pemukiman lalu mengambil langsung sampah dari bak sampah masing‐masing rumah. Hal ini terjadi karena, dulu pernah ada TPS, di dalam komplek Jatijajar, tetapi diprotes oleh warga karena menimbulkan bau. Permukiman Model pelayanan sampah dilakukan dengan dua cara, yaitu : Cara individual, sampah yang dihasilkan biasanya dikelola Tidak sendiri dengan cara dibuang ke dalam lubang untuk Teratur selanjutnya dibakar atau dimanfaatkan sebagai kompos. Cara ini biasanya dilakukan oleh penduduk yang memiliki lahan cukup luas. Cara komunal, sampah yang dihasilkan dari beberapa rumah/lokasi dikumpulkan pada lokasi TPS untuk kemudian diangkut dengan truck ke lokasi TPA. Cara seperti ini dilakukan pada lokasi perumahan tidak teratur dengan tingkat kepadatan tinggi. Pertokoan Umumnya sampah yang berasal dari wadah (tempat) sampah yang berada di sekitar daerah pusat perdagangan yang terletak pada jalur protokol, sampah dikumpulkan dari lokasi ke lokasi langsung mempergunakan truck dan selanjutnya diangkut menuju lokasi TPA Pasar Sampah yang berasal dari wadah‐wadah yang terdapat pada kios‐kios pasar dikumpulkan dengan gerobak untuk diangkut menuju TPS atau container yang disediakan pada lokasi pasar, kemudian dipindahkan ke lokasi TPA menggunakan truck. Jalan Timbulan sampah yang berasal dari hasil penyapuan jalan dan Protokol sampah yang berasal dari wadah sampah dirumah atau bangunan yang berada di sekitar jalan protokol dikumpulkan dari lokasi ke lokasi. Kemudian diangkut ke TPA dengan mempergunakan truck.
Sumber : DKP 2011
Gambar 7. Pola Alur Pengelolaan Sampah
43
44
4.2.5. Pengelolaan Sampah di TPA Cipayung A. Sistem Pengelolaan Sampah TPA Cipayung Pada 1984-2002, luas TPA Cipayung Kota Depok adalah 6,10 ha dengan sistem pengelolaan Open Dumping. Sejak 2002-2007, luas TPA Cipayung 9,1 ha dengan arahan desain sistem pengelolaan Sanitary Landfill berkapasitas sampah padat (850 kg/m3) sebanyak 1.200.00 m3 atau setara dengan 4.080.000 m3 atau ± 4 juta timbulan sampah (dengan kepadatan 250 kg/m3) masuk ke TPA. Hingga saat ini (2009), sistem pengelolaan yang diterapkan adalah masih Control Landfill (belum Sanitary Landfill). Pada tahun 2006 volume sampah di TPA sudah mencapai 60% dari kapasitasnya (1.200.000 m3). Pada tahun 2007 mencapai 70% dan tahun 2008 mencapai 80%. Dengan laju pertambahan volume 10% per tahun, maka pada tahun 2009 volume sampah di TPA mencapai 90% dan optimal 100% pada akhir tahun 2011. Sesuai Undang-Undang No. 18 tahun 2008, sistem pengelolaan sampah Open Dumping sudah tidak dianjurkan lagi, sedangkan yang dianjurkan adalah Control Landfill dan Sanitary Landfill karena kedua sistem ini memberikan arahan dalam konsep mencegahan penurunan kualitas lingkungan. Saat ini sistem pengelolaan sampah yang dilakukan di TPA Cipayung dilakukan dengan Controlled Landfill.
B. Sumber dan Komposisi Sampah TPA Cipayung Sesuai UU No. 18/2008, sumber sampah yang dikelola di TPA ini terdiri dari : pertama, sampah rumah tangga, kedua, sampah sejenis sampah rumah tangga
dan ketiga, sampah spesifik.
Sampah yang dikelola di TPA adalah
sampah domestik yang dihasilkan dari : (1). Sampah rumah tangga, (2). Sampah domestik dari kegiatan komersial, yaitu pusat perdagangan, pasar, pertokoan, hotel, restoran, tempat hiburan, (3). Sampah domestik dari fasilitas sosial, yaitu sampah dari rumah ibadah, asrama, rumah tahanan/penjara, sampah kegiatan domestik rumah sakit, klinik dan puskesmas, (4). Sampah domestik dari fasilitas umum, yaitu sampah terminal, pelabuhan, bandara, halte kendaraan umum, taman, jalan dan trotoar, (5). Sampah domestik dari industri, (6). Sampah dari basil pembersihan saluran terbuka umum, (7). Sampah dari fasilitas lainnya, yaitu
45
perkantoran, sekolah, (8). Sampah dari kegiatan pertanian, (9). Sampah domestik yang termasuk bahan berbahaya dan beracun diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Timbulan sampah yang dihasilkan secara umum
merupakan sampah
domestik. Dalam skala kota, pengelolaan sampah domestik dilakukan di TPA. Karakterisitk atau komposisi sampah di TPA Cipayung sebagian besar >60% merupakan bahan organik.
C. Luas Areal TPA Cipayung Luas areal TPA Cipayung saat ini (Tahun 2011) adalah 11,20 ha (luas areal awal 9,10 dan setelah dilakukan penambahan tahun 2009 seluas 2,10 ha) seperti terinci pada Tabel 6 dan 7, sedangkan kondisi areal TPA Cipayung dan sekitarnya seperti terlihat pada Gambar 8.
Tabel 6. Rincian Penggunaan Tanah Areal TPA Cipayung No.
Jenis Penggunaan Tanah
1 2
Area Penimbunan Sampah Area Instalasi Pengelolaan Lindi a. IPAL 1) Kolam Anaerobik 2) Bak Pengering Lumpur 3) Kolam Fakultatif 4) Kolam Maturasi 5) Kolam Ikan 6) Saluran Desinfeksi b. Penghijauan areal sekitar IPAL Area Sarana Penunjang a. Pos Jaga b. Kantor c. Rumah Jaga d. Workshop dan Garasi/Gudang e. Tempat Cuci Mobil/Kendaraan f. Tanki Bahan Bakar g. Bak Penampungan/Menara Air h. Areal Parkir i. Komposting (UPS 4 unit @500 m2) Buffer Zone (sekitar areal TPA) Jumlah
3
4
Luas I (2002-2009) (m2) (Ha) (%) 51.000 5,10 56,04% 2.000 0,20 2,20%
(m2) 57.174 2.500
28.000
2,80
30,77%
40.326
4,03
36,01%
10.000 91.000
1,00 9,10
10,99% 100%
12.000 112.000
1,20 11,20
10,71% 100%
Catatan IPAL-1 (Luas 2000 m2): Luas Kolam IPAL-1= 72 m x 24 m = 1.728 m2. Volume/Isi Kolam IPAL-1= 1.728 m2 x 3 m = 5.154 m2.
Sumber : DKP 2011
Luas II (2010) (Ha) (%) 5,72 51,05% 0,25 2,23%
Catatan IPAL-2 (Luas 500 m2): Luas Kolam IPAL-2= 19,5 m x 20 m = 390 m2. Volume Kolam IPAL-2= 390 m2 x 3 m = 1.170 m2.
46
Tabel 7. Uraian luas area TPA dan kapasitas area penimbunan No 1.
2.
3.
Uraian Luas TPA dan kapasitas penimbunan pada kolam lama : • Luas area TPA lama: 91.000.000 atau 9,10 ha. • Luas areal penimbunan kolam lama = 51.000 m2 atau 5,1 ha. (Kolam A = 2,4 ha, Kolam B = 2,1 ha, Kolam C = 0,6 ha) • Kedalaman penimbunan 16,0 – 30 m atau rata-rata 23,30 m. • Kapasitas tampung 1.200.000 m3. Luas TPA dan kapasitas penimbunan kolam baru : • Luas areal penimbunan efektif kolam baru =6.174 m2 atau 0,6174 ha. • Kedalaman timbuan sejajar jalan 7,5 m dan 10,0 m (penambahan + 2,5 m). • Kapasitas tampung kolam baru 46.305 – 61.740 m3 = 54.000 m3 Total Areal TPA setelah perluasan Tahun 2009/2010: • Luas area TPA (setelah pembahan tahun 2009)= 11.200.000 atau 11,20 ha. • Kapasitas tampung kolam TPA Cipayung saat ini (tahun 2011) adalah 1.246.305 – 1.261.740 m3 atau rata-rata 1.254.000 m3
Sumber : DKP 2011
Gambar 8. Kondisi Areal TPA Cipayung dan sekitarnya
47
V RELASI KUASA PENGELOLAAN SAMPAH 5.1.
Gambaran Alur Perpindahan Sampah Gambaran
alur
perpindahan
sampah
dibuat
untuk
membantu
menggambarkan dan menjelaskan pola-pola perpindahan sampah yang terjadi. Gambaran alur ini dibangun berdasarkan pengamatan di Kelurahan Rangkapan Jaya Baru dengan tidak meninggalkan konteks Kota Depok yang lebih luas, seperti terlihat pada Gambar 9.
Relasi Kuasa tingkat Rumah Tangga
Relasi Kuasa tingkat Bak Sampah
Relasi Kuasa tingkat TPS
Sumber- sumber Sampah
Permukiman tidak teratur/ non perumahan
Relasi Kuasa tingkat TPA
(Tempat Pembuangan Lain/Akhir) : - Pembakaran - Pekarangan - Tanah kosong/lubang
Permukiman teratur/perumahan
Bak Sampah Pasar
TPS
(Tempat Pembuangan Sementara)
TPA
(Tempat Pembuangan Akhir)
Terminal
Lainnya
Gambar 9. Alur Perpindahan Sampah Sumber sampah atau tempat dari mana sampah berasal, dalam alur ditempatkan di sebelah kiri, yakni rumah/perumahan/permukiman, baik yang teratur (kompleks perumahan) maupun yang non teratur (non kompleks perumahan), pasar, terminal, dan lain-lain; sementara tempat ke mana sampah berpindah ditempatkan di sebelah kanan. Sampah yang dihasilkan oleh penghasil sampah, baik perorangan maupun berkelompok, dalam kenyataannya dialirkan atau mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain. Perpindahan sampah tersebut tentu tidak dengan
48
sendirinya, melainkan dengan suatu skenario yang dibuat dan digerakkan oleh orang-orang atau aktor-aktor. Kalau perpindahan sampah itu sekarang diperhatikan, dipotret, dan digambarkan apa adanya, maka terlihatlah suatu gambar perpindahan sampah dari sumber sampah (tingkat rumah tangga) ke tempat pembuangan sampah/bak sampah, kemudian diangkut dan dibuang ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara) dan terakhir diangkut lagi untuk kemudian dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah. Mengingat perpindahan tersebut terjadi bukan dengan sendirinya, melainkan dirancang dan digerakkan oleh orang/aktor, maka pengetahuan mengenai siapa aktor dan apa alasannya membuat/melakukan pemindahan sampah sedemikian rupa, itu menjadi penting.
5.1.1. Relasi Kuasa Sampah tingkat Rumah Tangga Alur perpindahan sampah ini (seperti pada Gambar 9) dibuat berdasarkan pengamatan di Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, tepatnya Perumahan
Griya
Pancoranmas Indah, yang tidak begitu jauh dengan lokasi TPA Cipayung, Kota Depok. Perumahan Griya Pancoranmas Indah masuk kedalam wilayah RW 14 Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, terdiri dari 7 RT dengan jumlah KK sekitar 400 KK yang tercatat di administrasi RW. Dulunya Perumahan ini masuk ke wilayah RW 01, tetapi setelah anggota perumahan bertambah, akhirnya dibentuk RW sendiri dengan SK Kelurahan Rangkapan Jaya Baru. Secara garis besarnya, perpindahan sampah terjadi dari sumber sampah di tingkat rumah tangga, menuju tempat pembuangan sampah. Penjelasan mengenai perpindahan sampah ini sebenarnya lebih dititik beratkan pada sampah yang berasal dari rumah tangga, sekalipun tidak mengabaikan perpindahan sampah dari sumber-sumber lain. Alasannya adalah karena rumah tangga merupakan sumber timbulan sampah terbesar, kemudian diikuti oleh sampah yang berasal dari pasar dan sampah yang berasal dari terminal. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Bpk. Drs. Rahmat Hidayat, MM (Kabid Pelayanan Kebersihan-DKP), beliau mengatakan : “Sampah di Kota Depok semakin lama semakin banyak, pertambahan jumlah penduduk yang hampir mencapai 1,8 juta jiwa, dengan asumsi
49
kalau perorang menghasilkan sampah 2,5 liter, maka dapat dibayangkan, berapa banyak sampah yang dihasilkan warga dan ini akan berdampak pada timbulan sampah yang semakin menggunung di TPA Cipayung. Sumber sampah terbanyak, berasal dari perumahan/permukiman, terbanyak kedua dari pasar dan sebagian kecil dari terminal, sampah dari kali, rumah sakit dan yang lainnya”. Sampah dalam rumah tangga, di perumahan Griya Pancoranmas Indah, umumnya ditangani oleh ibu rumah tangga, terkadang bapak juga ikut menangani dalam bentuk ikut serta membuang sampah ke bak sampah. Tetapi, dalam keseharian yang lebih sering terlibat adalah ibu rumah tangga dan pembantu rumah tangga (bagi yang punya), pembantu ini ada yang menetap (biasanya dibawa dari Jawa) ada juga yang datang pagi pulang sore (biasanya orang lokal, sekitar perumahan).
Biasanya, kalau hari libur nasional, atau hari Sabtu dan
Minggu, sampah yang dihasilkan rumah tangga lebih banyak, karena suami istri dan pembantu terkadang bersi-bersih rumah, masak memasak bersama, beli/belanja ke pasar/supermarket, dari itu semua hasilnya adalah sampah bertambah (potongan sayuran, buah-buahan, bekas bungkusan belanja, barang sortiran yang sudah tidak terpakai, dsb) dan sampah-sampah ini rata-rata masuk ke bak sampah di depan rumah (ada juga yang sebagian sudah dipilah, kemudian disimpan di pekarangan, sesuai saran RW Hijau, akan diuraikan kemudian). Penghuni rumah Griya Pancoranmas Indah, umumnya adalah pekerja kantoran, usahawan, yang pergi dari rumah pagi-pagi sekali dan pulang ke rumah pada sore atau malam hari, yang bekerja sebagai pencari nafkah adalah laki-laki (sebagian kecil ada juga perempuan), sehingga keterlibatan laki-laki (suami/ayah) dalam menangani sampah di dalam rumah relatif kecil (sebenarnya tidak hanya dalam menangani sampah dalam rumah tetapi juga dalam berbagai kegiatan sosial di perumahan, ketelibatan laki-laki pekerja ini umumnya sangat kecil frekwensinya). Hanya sesekali para suami/ayah terlibat mengurus sampah di dalam rumah, yakni saat mereka melakukan bersih-bersih rumah di waktu libur. Pada saat ini semua anggota keluarga melakukan kerja apa saja, tidak pilih-pilih berdasarkan gender. Tetapi di luar itu, kembali, urusan sampah di dalam rumah lebih sering diurus oleh perempuan ibu rumah tangga atau pembantu rumah tangga. Biasanya, bila sebuah rumah tangga mempunyai pembantu maka
50
kecenderungannya pembantulah yang membuang sampah. Hal ini sebenarnya menunjukan bahwa seorang pembantu “disuruh” atau “ditugaskan” oleh tuan rumah untuk membuang sampah. Relasi antara tuan rumah dengan pembantu dalam penanganan sampah di tingkat rumah tangga ini menunjukan relasi kekuasaan, tuan rumah mempunyai kekuasaan menugaskan pembantu untuk membuang sampah. Jadi hanya anggota keluarga saja yang banyak berperan dalam penanganan sampah di rumah tangga (bisa suami, istri, anak, saudara dan pembantu rumah tangga), sedangkan ketika sampah sudah berada di bak sampah, maka kegiatan penanganan sampah di luar rumah (bak sampah dan seterusnya) itu aksesnya terbuka kepada semua orang sehingga ada rebutan (antar pemulung), ada persaingan (pemulung dengan petugas kebersihan), dan tentu saja ada wacanawacana yang dihidupkan dan dimatikan di antara pihak-pihak yang berminat (berkepentingan). Pelaku-pelakunya bisa berubah-ubah seiring siapa yang dapat memenangi rebutan/ persaingan untuk menguasainya. Sementara di dalam rumah, walaupun tetap ada wacana-wacana, namun rebutan untuk menangani sampah atau limbah di dalam rumah itu tampaknya tidak terjadi, yang terjadi di dalam rumah itu adalah dalam hal mengatur atau membuat pembagian tugas di antara anggota rumah tangga. Pelaksanaan pelayanan kebersihan bukan karena adanya upah (seperti halnya petugas kebersihan) untuk penanganan sampah, atau karena ada retribusi (seperti halnya pengurus RW bayar ke DKP), atau karena sampah rumah tangga mengandung nilai ekonomi (sehingga diperebutkan seperti di bak sampah/TPS),
melainkan
karena
sampah
di
dalam
rumah
itu
harus
dibuang/disingkirkan demi kebersihan dan kesehatan keluarga di rumah tangga tersebut. Jadi persoalannya lebih merupakan soal pengaturan, pembagian tugas, soal kewajiban dan soal kekuasaan di dalam rumah tangga. Sampah berpindah dari dalam rumah ke tempat lain di luar rumah adalah merupakan pola yang berlaku secara umum. Rumah tangga di Perumahan Griya Pancoranmas Indah, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, Kecamatan Pancoranmas, Kota Depok, sebagian besar membuang sampah yang dihasilkannya ke bak sampah yang ada di pekarangan setiap rumah. Sampah yang dibuang biasanya tercampur antara sampah organik dan non organik, meskipun sebagian ada juga
51
yang melakukan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga. Pemilahan sampah dilakukan atas himbauan RW Hijau2 (surat himbauan terlampir) yang salah satu programnya adalah mengajak warga untuk melakukan pemilahan sampah. Pemilahan sampah yang dilakukan mulai dari tingkat rumah tangga. RW Hijau juga memiliki anggota yang diberi nama Kader RW Hijau, keanggotaan Kader RW Hijau berasal dari warga masing-masing RT terutama ibu-ibu PKK, jumlah anggota Kader RW Hijau rata-rata 4 sampai 5 orang dengan honor perorang sekitar Rp. 250.000,- utk satu tahun, honor ini diperoleh dari Pemkot Depok, melalui proyek Partisipasi Masyarakat dalam Memilah Sampah, dibawah BLH (Badan Lingkungan Hidup) Kota Depok. RW Hijau menugaskan Kader untuk mengumpulkan sampah non organik yang sudah dikumpulkan rumah tangga. Sampah non organik ini biasanya berupa kertas koran, kardus yang sudah dilipat, botol plastik/aqua dsb, yang sudah dipilah/disortir kemudian disimpan oleh warga di halaman rumah masing-masing, selanjutnya diambil oleh kader tiap hari Sabtu pagi, sampah tersebut kemudian diambil dan dikumpulkan di pekarangan rumah Ketua RT. Setelah sampah non organik terkumpul di pekarangan rumah Ketua RT, baru kemudian diangkut oleh petugas kebersihan ke Bank Sampah3 yang bersebelahan dengan TPS. Perbedaannya, kalau petugas kebersihan mengambil sampah dari bak sampah setiap hari, biasanya pagi hari antara jam 07.00 s.d. jam 11.00, sampah yang diambil dari bak sampah dalam keadaan tercampur antara sampah organik dan non organik. Sedangkan kalau kader hijau mengambil sampah di pekarangan rumah warga setiap hari Sabtu pagi, antara jam 08.00 s.d. jam 11.00 WIB.
2
RW Hijau merupakan institusi tingkat RW yang dibentuk dengan SK RW dengan anggota semua ketua RT di lingkungan RW 14 (SK RW Hijau terlampir), dipimpin oleh Seksi K3 sebagai Koordinator dibantu oleh Kader RW Hijau di masing-masing RT. Program utama adalah pemilahan sampah di tingkat rumah tangga, antara sampah organik dan non organik, mengepres yang organik dimasukan ke komposter ram kawat atau LRB (Lubang Resapan Biopori) sisanya dibuang ke bak sampah. Non organik dan B3 (Bahan Berbahaya Beracun) dikumpulkan warga di halaman rumah, kemudian diangkut tiap sabtu oleh kader hijau ke Pekarangan rumah Ketua RT, ada juga yang langsung disimpan di bank sampah dekat TPS perumahan.
3
Bank Sampah merupakan bagian dari RW Hijau, baru berfungsi sebagai tempat penampungan sampah non organik yang dikumpukan kader hijau. Sampah organik yang terkumpul kemudian dijual oleh pihak bank sampah yang sama-sama dipimpin oleh koordinator RW Hijau.
52
Biasanya, pada saat pengambilan sampah lebih lama kelompok ibu-ibu ini, dibanding petugas kebersihan. Jadi, kalau ibu-ibu PKK yang jadi Kader RW Hijau, mengambil sampahnya sedikit (karena memang hanya sedikit yang tersedia di masing-masing pekarangan rumah), tapi waktu yang diperlukan untuk mengambil sampah cukup lama, karena rupanya banyak ngobrolnya di hampir setiap rumah yang dikunjungi oleh ibu-ibu kader ini. Jenis sampah yang diambil oleh Kader RW Hijau yaitu sampah non organik, biasanya berupa kertas koran, kertas bekas kantor, kardus aqua, botol/gelas plastik aqua, termasuk juga sampah limbah B3 mulai dari batu batere, pecahan kaca, lampu neon/pijar dsb. Kondisi sampah non organik biasanya sudah dalam keadaan bersih dan kondisi rapih, ketika diserahkan ke bank sampah karena sudah dibersihkan lebih dulu oleh pemilik rumah atau pembantu yang ada di rumah warga dan sampah tersebut sudah dikemas/dimasukan kedalam karung plastik/keresek yang ukuran jumbo, sehingga kader tinggal angkut saja. Sampah non organik yang diambil kader selanjutnya dibawa dan dikumpulkan ditempat Ketua RT, setelah terkumpul kemudian hari itu juga atau besoknya dibawa oleh petugas kebersihan perumahan yang biasa dipanggil Bang Umr ke Bank Sampah yang ada di depan perumahan yang bersebelahan dengan tempat TPS. Kumpulan sampah organik dari kader hijau yang ada di bank sampah kemudian dijual oleh koordinator RW Hijau ke lampak/lapak pemulung/pengepul yang bersedia datang untuk menjemput sampah tersebut. Penuturan dari koordinator RW Hijau, yaitu Bapak. Maman Suparman yang juga mantan ketua RT 05, bahwa : “…….tidak ada kesulitan untuk menjual sampah organik ini, ketika sampah sudah kumpul dari 7 RT yang ada di perumahan ini, kita tinggal kontak aja ke lampak pemulung/bos pemulung, dia akan datang dengan mobil pickup nya, berikut timbangan juga dia bawa sendiri, tinggal bagaimana warga mau peduli dan bersedia untuk memilah dan mengumpulkan sampah non organik ini”. Demikian dikatakan koordinator RW Hijau tentang sampah organik dan non organik yang seharusnya dipilah oleh warga mulai dari tingkat rumah tangga. Dalam hal ini, telah berjalan relasi kuasa antara pengurus RW dengan warga, dimana pengurus RW mengatur terhadap warga dalam hal mengelola sampah.
53
Meskipun sudah dihimbau oleh RW Hijau, tetapi ternyata masih saja ada sampah yang punya nilai ekonomis yang dibuang rumah tangga ke bak sampah tersebut, hal ini bisa jadi karena sebagian besar warga tidak ikut aturan yang dihimbau oleh RW Hijau untuk melakukan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga. Bisa jadi juga karena waktu pengambilan sampah oleh kader hijau di masing-masing RT, yang dirasakan warga terlalu lama yaitu tiap Sabtu pagi baru diambil oleh kader hijau. Rumah tangga yang ada di perumahan ini, terkadang juga langsung membuang sampah ke TPS, mereka membawa sendiri sampahnya untuk di buang ke TPS di depan komplek/perumahan, biasanya mereka sekalian berangkat kerja sambil membawa kantong keresek berisi sampah, warga seperti ini, biasanya karena sampahnya tidak diangkut oleh petugas kebersihan kompleks Umr, salah satu penyebabnya karena dilarang pengurus RT dengan alasan warga tersebut belum bayar iuran bulanan. Hal ini juga menunjukan bahwa telah ada relasi kuasa antar pengurus RT dengan warga
dalam penanganan atau
pengelolaan sampah. Pada kegiatan rumah tangga di luar Komplek Griya Pancoranmas Indah, misalnya di RT 04 dan 06 RW 01 Kampung Benda, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, tidak semua rumah tangga di RT 04 dan 06 RW 01 tersebut membuang sampah ke bak sampah atau TPS. Ada juga rumah tangga yang memindahkan sampah-sampah yang dihasilkannya setiap hari ke tempat lain di luar rumah. Tempat lain di luar rumah itu bisa berupa pekarangan, sungai/saluran air/irigasi, tepi jalan, situ/danau/rawa, dan bisa juga tanah kosong yang belum dimanfaatkan oleh pemiliknya (kebanyakan tanah kosong di wilayah ini dimiliki oleh orang Jakarta atau orang/warga diluar RW 01). Sebagian dari tempat-tempat ini bisa berfungsi seolah-olah seperti TPA (Tempat Pembuangan Akhir) karena di tempat itulah perjalanan sampah berakhir, tetapi sebagian lainnya tidak demikian. Tempat-tempat yang baru disebutkan itu seolah-olah hanya merupakan tempat persinggahan sementara saja karena sampah dimaksud masih berpeluang akan berpindah ke tempat pembuangan yang permanen, yaitu TPA Cipayung. Perbedaan atau pembedaan tempat membuang ini bukan suatu kebetulan. Ini adalah kejadian yang dibuat, dicipta, dengan sengaja atau dengan terpaksa oleh orang-orang melalui hubungan aktor-aktor di lapangan sosial pengelolaan sampah
54
itu. Tujuannya antara lain adalah untuk menjaga kebersihan rumah tangganya, sekalipun hal itu menyebabkan kotor lingkungan di luarnya. Sementara oleh aktor penanganan sampah yang lain, perbedaan atau pembedaan tempat membuang sampah itu dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi walaupun perbuatannya itu dikatakan ilegal oleh pihak yang dominan (pemerintah/DKP). Seperti yang diutarakan oleh Kabid Pelayanan Kebersihan, Bapak. Drs. Rahmat Hidayat, MM : “……...di Depok ini, banyak sekali pak. orang yang nanganin sampah sendiri, dia kelola sendiri, mungutin iuran dari warga, kemudian dia buang tuh sampah, nggak tau buangnya kemana, jarang sekali yang dibuang ke TPA, tempat buangan mereka macem-macem dan itu bisa juga jadi buangan terakhir mereka…..yaaaa kalau kita bilang sih ilegal, yang jelas bisnis sampah seperti itu sangat banyak……”. Namun demikian, pihak DKP juga tidak serta-merta dapat menghapus kegiatankegiatan macam itu karena di balik kegiatan itu ada aktor-aktor yang melakukannya, hanya saja rencananya nanti pihak DKP akan melakukan sosialisasi tentang bahaya sampah yang mencemari lingkungan, terutama residu (sisa bahan bangunan, residu bahan bakar dsb) serta limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun, seperti aki bekas, batu battere bekas, bekas oli, bekas lampu neon, benda berbau tajam, bekas suntikan, dll). Residu dan limbah B3 diharuskan untuk dibuang ke TPA Cipayung, tidak dikelola sendiri karena sangat membahayakan lingkungan. Kalau kita bicara pengotoran wajah dan lingkungan tempat tinggal oleh sampah, maka pembuangan-pembuangan sampah semacam inilah yang paling potensial menjadi pengotor lingkungan setempat. Angin yang menyebarkan bau sampah, adanya hewan pengerat dan hewan ternak, sering ikut terlibat menyebar dan membuat sampah-sampah yang berserakan dan tak terurus itu ke berbagai tempat. Ketiadaan aktor yang bertugas mengurus sampah di tempat pembuangan memungkinkan semua itu terjadi dan terus terjadi sehingga pengotoran lingkungan tak akan pernah bisa selesai. Lain lagi dengan rumah tangga di RT 09 RW 01, sampah yang dibuang ke bak sampah sebagian juga ada yang diangkut oleh petugas kebersihan RT yang biasa disebut warga Bang Emg. Sampah yang sudah terkumpul di bak sampah
55
kemudian diangkut oleh Bang Emg ke tempat pembuangan sampah yang terletak di kebun kosong dekat kali Pesanggrahan, dilakukan penyortiran, sisanya kemudian dibakar di dapur pembakaran sampah milik Bpk Mld (tanah/lahan tempat berdirinya TPS adalah milik Mld), yang juga terletak di kawasan itu. Sisa sampah dari bak sampah3 tadi, sebagiannya lagi dibuang ke sumur yang cukup dalam dan sudah tidak terpakai (biasanya barang pecah belah/beling) masih di lokasi yang sama, sebagian lagi dibuang ke lahan kosong yang belum dimanfaatkan pemiliknya dengan cara dibuat lubang untuk sampah. Sampah yang terkumpul dari hasil sortiran ternyata dijual oleh Bpk Mld ke bos lampak yang biasa datang mengambil barang hasil pulungan. Hasil penjualan sepenuhnya diambil oleh Bpk Mld dan Bang Emg tidak tahu berapa hasil penjualan sampah sortiran tersebut. Bpk Mld melakukan penjualan sampah biasanya bisa 2 kali dalam seminggu. Hasil penjualan sampah ternyata tidak diberikan ke Bang Emg, karena honor/gaji untuk Bang Emg dari pekerjaan mengumpulkan sampah berasal dari warga,
Bang Emg mendapatkan honor
sekitar Rp. 300.000,- s.d. Rp. 400.000,- per bulan dari warga melalui pengurus RT. Bang Emg hanya menerima upah bulanan dari pengurus RT, Bang Emg pernah mengatakan : “……..harusnya saya dapat juga ya dari hasil penjualan sampah yang sudah saya sortir itu, tapi ini kan enggak dikasih sama bos (Bpk Mld), padahal saya tiap hari ngangkutin sampah dari warga, bisa sampai 2 gerobak dalam sehari narik, habis itu kita pisahin lagi di TPS ini……..” Apabila kita lihat disini, maka terjadi relasi kuasa yang menunjukan hubungan buruh - majikan, karena Bang Emg hanya sebagai pekerja yang tugasnya mengumpulkan dari warga, mengangkut dengan gerobak, memisahkan/menyortir di TPS, sisa hasil sortiran baru kemudian dibuangnya (semua atas perintah Bpk Mld), meskipun yang membayar Bang Emg adalah warga, tapi yang mengendalikan adalah Bpk Mld. Pengurus RT memungut iuran sebesar Rp. 10.000,- per KK per bulan untuk gaji Bang Emg dan sisanya untuk Kas RT. 3
Bak sampah dalam konteks ini termasuk kaleng, keranjang, tas kresek. Rumah tangga yang memiliki bak sampah seperti ini biasanya mendapatkan pelayanan dari pihak lain, yaitu orang yang dinamakan aktor penanganan sampah perorangan, dalam hal ini adalah Pengurus RT atau Bang Emg atau Pak. Slm.
56
Berbeda lagi dengan rumah tangga di RT 01 RW 01 Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, rumah tangga di pemukiman padat yang berbatasan langsung dengan perumahan/kompleks Griya Pancoran Mas Indah ini tidak memiliki TPS, dan rumah warga juga nyaris tidak menyediakan bak sampah. Sampah rumahtangga yang dikumpulkan dari dalam rumah (umumnya tercampur antara organik dan non organik) ada yang dibuang ke lubang yang disediakan untuk membuang sampah (masih punya halaman cukup luas). Sebagian warga di RT 01 RW 01 tersebut, ada juga yang menyimpan sampahnya di pekarangan rumah pada sore hari atau pagi hari,
setelah
sebelumnya dimasukan ke kantong keresek. Setelah sampah terkumpul, pagi harinya langsung dibawa oleh Pak Slm (Petugas Kebersihan RT 01 RW 01), Pak Slm memungut biaya sebesar Rp. 20.000,- per bulan per KK dengan anggota yang bayar sekitar 25 KK, iuran tersebut langsung ditarik oleh Pak Slm kepada warga yang menjadi anggotanya, berbeda dengan Bang Emg yang diberi honornya oleh pengurus RT melalui Bpk Mld. Sampah hasil angkutan dari rumah tangga, oleh Pak Slm dibawa ke pekarangan rumahnya atau tanah kosong yang ada di sekitar rumahnya, kemudian dilakukan penyortiran, hasil sortiran dikumpulkan untuk kemudian dijual ke lampak yang ada di sekitar TPA (hasil sortiran biasanya berupa kertas koran, dus, botol plastik, aqua dsb) sisanya dibuang ke TPS yang berada di depan kompleks perumahan Griya Pancoran Mas Indah. Disini ada kerjasama terselubung antara Pak Slm dengan Satpam Perumahan, yang kebetulan juga masih satu kampung. Biasanya Pak Slm membuang sampah ke TPS Perumahan pada malam hari, disaat warga perumahan sudah tertidur. Hal inipun bukannya tidak diketahui oleh pengurus RW atau RT tapi ada kesan pembiaran, bisa jadi karena Pak Slm sebagai orang lokal/orang kampung benda asli yang menurut pengakuannya sudah ada duluan dibanding perumahan ini dan pengurus RT atau RW juga tidak ambil pusing sepanjang TPS masih bisa menampung sampah dari warga perumahan. Sebenarnya pada kasus Bang Emg dan Pak Slm terdapat relasi kuasa. Rumah tangga “langganan” mempunyai “kuasa” atas kedua orang tersebut karena mereka membayar (kuasa berbasis ekonomi), sedangkan pada kasus Pak Slm
57
maka Pak Slm juga mempunyai “kuasa” yaitu dengan klaim sebagai orang “asli lokal” yang sudah lebih dulu ada dibanding warga perumahan. Mengapa demikian beragam tempat rumah tangga-rumah tangga di pemukiman RT 01, 04, 06 dan 09 RW 01 Kelurahan Rangkapan Jaya Baru ini dalam
membuang sampah ? Jawabnya bisa bermacam-macam, di antaranya
adalah karena pemukiman ini tumbuh tanpa satu perencanaan lengkap yang dipedomani
bersama,
atau
dengan
kata
lain
tidak
mempunyai
pengembang/developer, seperti layaknya di perumahan/komplek. Semua orang membangun rumahnya sendiri dengan perencanaan sendiri-sendiri sehingga ada, bahkan sangat banyak, rumah yang tidak menyiapkan tempat pembuangan sampah, selain itu pertumbuhan rumah yang terus berlangsung secara alamiah menempati lahan-lahan yang semula kosong (dan menjadi tempat pembuangan sampah), akhirnya menggusur lahan kosong tempat pembuangan sampah rumahrumah tangga sekitarnya dan menyebabkan rumah tangga tersebut kehilangan tempat pembuangan sampahnya. Pertambahan penduduk yang pesat memacu tumbuhnya rumah-rumah yang rapat, padat, dan tidak terkendali, dengan gang-gang yang sempit, sulit dimasuki oleh gerobak-gerobak pengangkut sampah. Ada juga karena alasan finansial atau tak tersedianya anggaran rumah tangga untuk membayar, seandainya ada pihak penyedia jasa pelayanan sampah. Akibatnya, sampah rumahtangga cenderung ditangani sendiri oleh anggota masing-masing rumah tangga bersangkutan dan dibuang ke mana-mana, dengan memanfaatkan ruangruang kosong yang ada sebagai tempat pembuangan. Gerak perpindahan sampah seperti telah digambarkan di atas menunjukkan arah yang tidak sejurus. Ia berpencar ke berbagai tempat. Kalau digambarkan secara kasar, seluruhnya akan bermuara di dua tempat, masing-masing (1) Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) yang dikelola DKP di Cipayung dan (2) tempat pembuangan akhir yang dilakukan/dikelola oleh masyarakat. Sampah yang dibuang ke kali dan ke tepi jalan, boleh dianggap tidak permanen, hanya sementara, karena kalau kita lihat sistem penanganan sampah yang dirancang oleh Pemkot Depok, sampah tersebut boleh jadi kelak akan terangkut juga ke TPA. Sampah dari kali akan diangkut oleh DIBIMASDA,
58
sampah jalan akan diangkut oleh DKP, sampah pasar diangkut oleh DKUP. Semua lini seakan-akan sudah disiapkan antisipasinya, meskipun dalam kenyataannya, belum seluruhnya terlaksana. Masih banyak sungai dan saluran terbuka tidak tertangani sampah-sampahnya. Begitu juga dengan jalanan, masih banyak jalan yang bahunya dipenuhi oleh sampah. Mengapa ada tempat pembuangan sampah seperti disebutkan di atas ? misalnya sampah di saluran sungai, di sekitar situ, di bahu jalan yang masih dipenuhi sampah ? Jawaban yang pasti mungkin sulit diberikan, karena banyak sekali kemungkinannya. Tapi yang perlu diungkapkan bahwa adanya tempattempat pembuangan sampah macam itu,
mencerminkan adanya orang
perorang/aktor-aktor yang bisa saja berbuat apa saja, dan hal itu menunjukkan kemampuannya menjalankan kekuasaan ; menggusur,
memaksa,
melanggar,
menggangu dan sebagainya. Perlu digarisbawahi, tidak semuanya hal tersebut dapat dikerjakan sendiri oleh seorang aktor. Perlu ada relasi-relasi, jalinan-jalinan kekuasaan antar aktor sehingga memungkinkan semua itu terjadi. Dapat juga suatu tempat dinamakan tempat pembuangan sampah akhir walaupun tempat itu bukan TPA. Tempat itu sebenarnya pekarangan rumah tetapi dalam kenyataannya digunakan juga untuk tempat membuang atau membakar sampah oleh pemilik pekarangan itu. Oleh sebab itu pekarangan atau halaman tersebut lebih cocok disebut tempat pembuangan sampah, karena orang membuang atau mengalirkan sampah ke sana. Di sana pula riwayat sampah itu diakhiri dengan cara membakarnya, membiarkannya atau menguburnya (seperti yang diutarakan Kabid Pelayanan Kebersihan - DKP). Tempat ini tidak menghasilkan produk atau komoditi apa pun, kecuali hanya keluaran-keluaran berupa gas buangan. Apa yang dapat dipetik dari paparan di atas adalah segmentasi penanganan sampah yang para aktornya meliputi sejumlah rumah tangga, penanganan sampah perorangan, penampung sampah dan DKP. Ada yang tercerai berai dan berjalan sendiri-sendiri dengan ciri masing-masing seperti yang dipraktekkan sejumlah rumah tangga di beberapa RT/RW tersebut di atas. Ada juga seperti yang dipraktekkan oleh Bang Emg yang menangani sampah sejumlah rumah tangga pelanggannya dengan cara disortir, sisanya dibuang ke lahan kosong lainnya
59
(dijadikan kompos), membakar sampah yang diangkutnya di dapur pembakaran sampah milik Bpk Mld (abu hasil pembakaran ditebar di sekitar pohon, dijadikan pupuk juga), membuang/memasukan ke sumur yang sudah tidak terpakai, atau seperti yang dilakukan Pak Slm (menangani sampah pelanggannya dengan cara mengangkut, memilah/disortir dulu, disimpan di pekarangan rumahnya dan sisanya dibuang di TPS Perumahan). Di antara pelaku-pelaku ini tidak terdapat kerjasama. Mereka bergerak sendiri-sendiri. Mereka hanya bekerjasama atau berhubungan dengan pihak-pihak lain, yaitu pihak-pihak yang tidak secara langsung berhubungan dengan sampah, misalnya antara Bang Emg dengan Bpk Mld dan Pemilik lahan kosong, Pak Slm dengan satpam/petugas keamanan perumahan. Sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga, berpindah ke berbagai macam tempat. Penggambaran dan penjelasan tentang pola-pola perpindahan sampah yang berasal dari rumah tangga ini, serta penjelasan tentang aktor-aktor yang membentuk dan menggerakkan pola-pola tersebut,
mencerminkan bagaimana
lapangan pemindahan sampah itu merupakan lapangan sosial yang digeluti oleh pelbagai pihak yang berkepentingan. Melihat pada situasi di atas, seorang calon tukang sampah minimal perlu membangun relasi dengan pihak Pemilik tanah kosong dan Satpam Perumahan, Kalau relasi ini terbangun, otomatis akan tumbuh relasi baru dengan orang sekitar tanah. Pengalaman Bang Emg dan Pak Slm (cerita diatas) menunjukkan hal seperti itu. Aktor penanganan sampah seperti Pak Slm yang mengadakan kerjasama pembuangan sampah dengan satpam perumahan, atau seperti yang dipraktekan oleh Bang Emg, kerjasama dengan pemilik tanah kosong yang belum ditempati.
60
5.1.2. Relasi Kuasa Sampah tingkat Bak Sampah Pada relasi kuasa tingkat bak sampah, maka disini yang disorot adalah aktor-aktor yang berkaitan dengan aktifitas di bak sampah. Secara garis besarnya, perpindahan sampah terjadi dari sumber sampah di tingkat rumah tangga, menuju tempat pembuangan sampah, melewati bak sampah. Pada tingkat bak sampah, praktek penanganan sampah adalah juga merupakan wahana sosial di mana orang perorang/aktor sebagai pelaku terlibat dalam relasi-relasi kuasa atau wahana di mana kekuasaan dilaksanakan oleh aktor-aktor tersebut. Kepentingan-kepentingan orang perorang/aktor bisa dieksplorasi dari praktek-praktek yang dijalankannya, juga cara-cara yang diambil atau saluran-saluran yang dipilih oleh aktor untuk meluluskan atau memenangkan persaingan untuk mendapatkan tujuannya. Di dalam wahana sosial ini juga kelihatan dengan siapa sang aktor berlawan atau berteman; kapan, berapa lama, dan dalam hal apa. Bahkan dari praktek-praktek ini pula isu-isu yang mendasari konstruksi hubungan antar pelaku, termasuk hubungan antar gender, dan hubungan antar pengelolaan sampah dapat diungkapkan. Bak sampah, tempat rumah tangga membuang sampahnya secara sementara, ternyata juga menjadi arena perebutan para aktor dalam mengais rejeki, karena mereka berharap masih ada sampah yang punya nilai ekonomis yang bisa diambil/di pulung untuk dapat diuangkan (oleh para pemulung). Sampah berpindah
dari dalam rumah ke tempat lain di luar rumah adalah
merupakan pola yang berlaku secara umum. Rumah tangga di Perumahan Griya Pancoranmas Indah, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, Kecamatan Pancoranmas, Kota Depok, sebagian besar membuang sampah yang dihasilkannya ke bak sampah yang ada di pekarangan setiap rumah. Rumah tangga di Perumahan ini sebagian besar membuang sampah ke bak sampah, hal ini dimungkinkan karena dulu, pengembang dari perumahan ini sudah menyediakan bak sampah di setiap rumah. Meskipun bak sampah yang disediakan hanya sekedarnya saja, berupa bak sampah yang terbuat dari kaleng bekas drum oli, tapi warga tetap memanfaatkannya untuk tempat pembuangan sampah dari rumah. Pada kenyataannya sekarang ini warga sudah banyak mengganti bak sampah lama dengan bak sampah baru, yang dibuat secara permanen masing-masing di depan
61
rumahnya dengan cara ditembok, membentuk kotak dengan ukuran rata-rata 80cm x 75cm ada juga yang lebih besar dengan ukuran 1m x 1m. Sampah yang sudah terkumpul di bak sampah, kemudian setiap harinya diangkut oleh petugas kebersihan sampah yang biasa dipanggil Bang Umr, waktu pengangkutan bervariasi, kadang pagi sekitar jam 09.00-10.00 terkdang siang hari antara jam 11.00 – 13.00, jarang sekali Bang Umr mengangkut sore hari, karena biasanya siang sampai sore dia sudah menyortir sampah yang diangkut, hasil sortiran dikumpulkan kemudian dijual ke lampak pemulung yang ada di sekitar TPA Cipayung.
Bang Umr tidak memungut sampah di semua RT, dia hanya
memungut sampah yang ada di 3 RT yaitu RT 05, 06 dan 07 sedangkan RT 04 oleh Bang Mli dan RT 01, 02 dan 03 oleh Bang Ars. Sampah yang ada di bak sampah di RT 05, 06 dan 07 diangkut setiap hari oleh Bang Umr dengan memakai gerobak sampah. Sampah yang terkumpul di bak sampah
kemudian
diangkut
selanjutnya
dibuang
ke
TPS
di
depan
komplek/perumahan Griya Pancoranmas Indah. Sampah yang dibuang merupakan sampah hasil sortiran Bang Umr dan kebanyakan yang dibuang adalah sampah organik. Sampai tahap ini aktifitas Bang Umr sudah selesai, karena dia hanya mengumpulkan sampah dari bak sampah, disortir lebih dulu baru kemudian dibuang ke TPS. Tidak semua sampah yang ada di bak sampah warga diangkut oleh Bang Umr, hal ini karena ada perintah dari Ketua RT setempat yang melarang sampah warganya diangkut. Larangan dari Ketua RT berkaitan dengan iuran warga yang tidak diberikan ke Bendahara/pengurus RT, sehingga sebagai sanksinya, sampah warga yang tidak bayar iuran tidak diangkut oleh Bang Umr,
jadi disini
diperlukan koordinasi yang intens antara petugas kebersihan (Bang Umr) dengan pengurus RT (bisa ketua RT, Sekretaris atau Bendahara). Setelah tahu bahwa sampahnya tidak diangkut, beberapa hari kemudian warga akan langsung bayar iuran bulanan. Tetapi terkadang ada juga warga yang sampahnya tidak diangkut, mereka membawa sendiri sampahnya untuk di buang ke TPS di depan komplek/perumahan, biasanya mereka sekalian berangkat kerja sambil membawa kantong keresek berisi sampah.
62
Dilain pihak, terkadang Bang Umr juga tidak mau mengangkut sampah yang ada di bak sampah warga yang jumlahnya terlalu banyak, menurut Bang Umr, sampah tersebut bukan berasal dari rumah warga, tapi dari pedagang sayur dan buah-buahan yang tiap hari berjualan di perumahan ini. Pedagang sayur dan buah-buahan menganggap bahwa yang namanya bak sampah adalah tempat sampah dibuang, sehingga mereka leluasa untuk membuang sampah sayuran dan daun-daunan bekas bungkus buah-buahan mereka, sampai akhirnya banyak sampah yang dibuang ke beberapa bak sampah yang ada di dekat lokasi mangkalnya pedagang sayur dan buah-buahan. Biasanya tukang sayur dan buahbuahan mangkal di perempatan yang cukup luas. Bang Umr pernah mengutarakan kepada tuan rumah Bpk H Rhm bahwa sampah di bak sampahnya terlalu banyak, susah dan berat untuk dipindah dan sepertinya tidak mungkin sumbernya dari Bpk H Rhm semua, sehingga pernah suatu hari Bang Umr tidak mengangkut sampah tersebut karena dia beranggapan yang bayar dia adalah warga, jadi yang diangkut pun adalah sampah warga bukan sampah tukang sayur atau pedagang buahbuahan. Ketika sampah tidak diangkut, Bang Umr pun kena protes juga oleh warga dengan anggapan sampah yang ada di bak sampah tetap harus di buang oleh petugas kebersihan yang sudah dibayar oleh warga, tidak peduli dari manapun sumber sampah itu berasal. Pada saat Bang Umr tidak mau mengangkut sampah, maka sebenarnya Bang Umr sudah menunjukan bagaimana ia menjalankan kekuasaannya. Begitu juga ketika warga yang lain protes karena Bang Umr tidak mengangkut sampah warga, hal inipun telah membuktikan bahwa warga sudah menunjukan bentuk penggunaan kuasanya, yaitu pada saat mengajukan protes terhadap Bang Umr tersebut. Begitu juga otoritas RT sudah diterapkan berupa pelarangan kepada Bang Umr untuk tidak mengangkut sampah warga yang tidak bayar iuran bulanan. Sebenarnya, sekalian memungut sampah di bak sampah, Bang Umr juga merangkap sebagai pemulung sampah, karena dia sudah mempersiapkan di gerobaknya berupa karung untuk diisi sampah yang masih mempunyai nilai ekonomis, sampah yang diambil Bang Umr hampir sama dengan sampah yang diambil pemulung lain pada umumnya, yaitu berupa kertas koran, kertas kardus, botol/gelas plastik aqua dan lainnya yang dianggap masih mempunyai nilai
63
ekonomis. Terkadang Bang Umr juga pesan ke warga agar sampah yang punya nilai ekonomis tadi tempatnya dipisah, tidak dicampur dengan sampah organik lainnya dan tentunya dia minta agar sampah yang sudah dipisah tadi ditahan dulu, baru diberikan kalau dia sudah datang (ini juga yang salah satunya dikeluhkan sebagian warga, menganggap Bang Umr terlalu banyak permintaan, mulai dari minta sumbangan untuk perbaikan gerobak sampah, minta THR diawal, padahal sampah di bak sampah terkadang masih ada sisa, alias tidak bersih/tidak semua terambil olehnya). Bang Umr berani mengungkapkan usulan seperti itu karena nampaknya dia merasa sudah dekat dengan warga, (juga sebagai orang lokal yang lebih dulu tinggal di Kampung Benda) dan dia pula yang mengangkut sampah warga perumahan setiap harinya. Bang Umr diberi gaji setiap bulannya oleh warga melalui pengurus RT, total gaji Umar dari 3 RT sekitar Rp. 800.000,- tiap bulannya, dan diberikan setiap menjelang akhir bulan, biasanya antara tanggal 25 s.d. tanggal 30 tiap bulannya. Pengambilan sampah di bak sampah tidak hanya dilakukan oleh Bang Umr, tapi juga dilakukan oleh pemulung lain yang sudah biasa berkeliaran di perumahan, diantaranya Nek Rnh (usia ±80th), Mpok Gth (usia ±60th), Mak Rml (usia ±65th) dan satpam perumahan yang biasa dipanggil Bang All, (mereka, para pemulung ini bertempat tinggal di kampung Benda dan Rawa Denok, berdekatan dengan perumahan). Jam kerja pengambilan sampah oleh para pemulung berbedabeda. Mpok Gth, Nek Rnh dan Mak Rml mengambil sampah dari bak sampah biasanya mulai jam 5 subuh sampai jam 8 pagi, sedangkan satpam Bang All mengambil sampah di bak sampah biasanya pada jam 2 sampai jam 4 pagi, dengan alasan sambil berkeliling, mukul kentongan sekalian mengais sampah di bak sampah. Terkadang para pemulung ini mendatangi bak sampah yang sama dengan waktu yang berbeda. Meskipun sampah yang ada di bak sampah sudah merupakan hasil sortiran dari RW Hijau, yang sudah dilakukan dari mulai tingkat rumah tangga, tetapi ternyata masih saja ada sampah yang punya nilai ekonomis yang dibuang rumah tangga ke bak sampah tersebut. Hal ini bisa jadi karena sebagian besar warga tidak ikut aturan yang dihimbau oleh RW Hijau untuk melakukan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga, dan waktu pengambilan sampah oleh kader
64
lingkungan di masing-masing RT, yang dirasakan warga terlalu lama yaitu tiap Sabtu pagi baru diambil. Ada juga warga yang mempunyai tingkat kepedulian dan rasa kasihan terhadap pemulung, terutama terhadap Nek Rnh dan Mpok Gth, warga sengaja mengumpulkan botol plastik /gelas aqua disimpan di pekarangan dalam pagar rumahnya, untuk kemudian nantinya diserahkan kepada para pemulung itu. Nek Rnh bertetangga dengan Mpok Gth, menurut pengakuan Nek Rnh, Mpok Gth belajar jadi pemulung juga dari dia, seperti dituturkan berikut ini : “…..kite kan tanya ame si Gth, ngapain lu pade bengong abis ditinggal laki lu, punya bocah lanang4 juge belum bisa ngasilin ape-ape, mending ikut kite mulung di komplek no, lumayan buat amal kite, tambahan jajan bocah ame ongkos pengajian kite……” Setelah ditanya lebih dalam lagi, maksud amal dan ongkos pengajian, ternyata amal yang dimaksud yaitu kalau Nek Rnh mulung barang pulungan, itu berarti ikut serta memungut sampah, berarti ikut membersihkan lingkungan sekitar dia, terutama di perumahan Griya Pancoranmas Indah. Keyakinan Nek Rnh karena telah beramal dan membersihkan lingkungan, Nek Rnh menganggap ada balasan amal yang dia perbuat, dan ia mensyukuri terkadang amal yang dia perbuat berbuah manis berupa kepedulian warga terhadap dirinya. Kepedulian warga perumahan dalam memberikan sampah plastik yang sudah khusus disiapkan untuk Nek Rnh, atau terkadang diberikannya kepada Nek Rnh uang tunai untuk keperluan dia beli beras atau jajan sekolah cucunya, hal itu semua dianggap sebagai buah dari amal yang dia terapkan. Sedangkan yang dimaksud ongkos pengajian adalah biasanya setelah selesai mulung, Nek Rnh bersih-bersih diri/mandi kemudian berkerudung, setelah itu sekitar jam 10.00 WIB Nek Rnh pergi ke pengajian, dan dia bisa menyisihkan uang untuk perjalanan ke pengajian dan memasukan sejumlah uang ke kotak amal yang ada di pengajian tersebut. Penghasilan Nek Rnh dari mulung lumayan besar, menurut pengakuan Nek Rnh, dia pergi mulung dari habis sholat subuh, sebelum mulung dia sudah memasak air, menanak nasi buat anak cucunya, sedikit bersih-bersih atau cuci piring di dapur, bekas makan anak cucunya, setelah selesai barulah ia memulung. 4
Bocah lanang, sebutan untuk anak laki-laki, wadon sebutan untuk anak perempuan.
65
Nek Rnh, melakukan kerjaan mulung biasanya mulai jam setengah enam (05.30 WIB) sampai jam 11.00 WIB (kecuali kalau ada pengajian, Nek Rnh pulang ke rumah lebih awal). Barang-barang yang dipulung diantaranya kaleng bekas minuman (pocari, cap kaki tiga dsb), barang plastik (botol plastik, aqua/gelas minuman plastik, mainan palstik dsb), kertas koran/kardus bekas dsb. Dalam sehari Nek Rnh bisa mengumpulkan barang pulungan sebanyak satu karung plastik, kemudian disimpan di pekarangan rumahnya, setelah terkumpul 2 atau 3 hari kemudian dijual ke lampak dari wilayah Citayam. Biasanya bos lampak dari Citayam langsung mendatangi kediaman Nek Rnh untuk membeli hasil pulungannya. Penghasilan Nek Rnh per 3 hari dari pulungan bisa diperoleh uang sebesar Rp. 120.000,- s.d. 150.000,- terkadang barang hasil pulungan bisa mengendap selama 1 minggu di rumahnya, meskipun agak lama menunggu Nek Rnh tidak mau menjual barang pulungan ke lampak/lapak/bos pemulung yang lain. Hal ini dilakukan karena Nek Rnh merasa lampak dari Citayam ini orangnya perhatian, kalaupun tidak datang biasanya istrinya bos lampak yang menemuinya, Nek Rnh merasa sudah punya keterikatan dengan bos lampak yang dari Citayam, sehingga dia merasa tidak enak hati kalau menjual ke lampak lain, meskipun terkadang agak telat datanganya. Pada kasus Mpok Gth, awalnya memang Mpok Gth kurang tertarik, tapi setelah tahu penghasilan dari mulung lumayan besar, lama-lama Mpok Gth tertarik dan akhirnya ikut terjun jadi pemulung, setalah tahu perolehan hasil mulung dari Nek Rnh. Mpok Gth ini kalau jalan agak diseret, jalannya lambat, karena berdasarkan informasi dari informan (yang bekerja di rumah penulis), Mpok Gth ini pernah menderita penyakit darah tinggi atau “stroke” sehingga pernah dalam waktu yang cukup lama dia hanya berbaring saja di tempat tidur. Kondisi sekarang sudah baikan, tapi jalannya masih agak susah. Ada juga pemuluhng lain yaitu Mak Rml, kalau dilihat dari perawakannya Mak Rml ini lebih kekar dan kuat dibanding 2 perempuan pemulung lainnya. Jadwal mulung Mak Rml sama dengan mereka berdua, terkadang mereka berselisihan dijalan, tapi jarang mengoborol. Pernah juga penulis menanyai mereka tentang jadwal dan kegiatan pulung memulung, barang apa saja yang dipulung sampai apakah kehadiran mereka “mengganggu” terhadap pemulung lainnya.
66
Berdasarkan pengakuan Mpok Gth, rata-rata barang yang dipulung sama, penghasilan bisa berbeda, tergantung perolehan dari pulungan, biasanya kegiatan pulung memulung akan mendatangkan hasil yang banyak kalau hari Minggu, sehingga bisa 2 atau 3 kali balikan dari rumah Mpok Gth ke kompleks perumahan hanya untuk menyimpan barang pulungan. Pada umumnya rapat warga di masingmasing RT diselenggarakan pada hari Sabtu malam Minggu, sehingga sampah plastik berupa gelas aqua bisa diambil pemulung pada pagi harinya (terutama utnuk pemulung perempuan yang sudah sepuh). Bagaimana dengan persaingan sesama pemulung ? masalah persaingan jelas ada, seperti yang diutarakan oleh Mpok Gth berikut ini : “……saya mulung habis subuh, tapi kadang suka keduluan sama Mak Rml, padahal dia itu punya laki, punya sawah5 ditanemin jambu, belimbing juga, apalagi coba yang die cari…..lha kita kan laki aja kagak ada….kalau nggak gini, darimana dapet duit, makanya abis mulung pagi subuh gini, saya mulung lagi mas nanti siang ....” Berdasarkan pengakuan diatas, nampaknya Mpok Gth kecewa dengan adanya Mak Rml ini, tapi dia sendiri tidak ada kuasa untuk melarang agar Mak Rml tidak memulung di wilayah perumahan. Akhirnya Mpok Gth merubah strategi pemulungannya dengan menambah jadwal pulungan menjadi 2 kali dalam sehari yaitu pada habis subuh dan siang hari. Habis Subuh dilakukan jam 05.30 s.d. jam 08.00 sedangkan siang hari dilakukan mulai jam 10.00 s.d. jam 12.00, sedangkan Mak Rml yang dianggap saingan oleh Mpok Gth tetap melakukan kegiatan memulung pada pagi hari selepas subuh sampai kira-kira jam 09.00 dan itu hanya dilakukan satu kali saja setiap harinya. Aktivitas di bak sampah yang ada di luar Komplek Griya Pancoranmas Indah, misalnya di RT 04, 06 dan 09 RW 01 Kampung Benda, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, tidak semua rumah tangga di RT 09 RW 01 tersebut, membuang sampah ke bak sampah. Ada juga rumah tangga yang membuang sampahnya ke pekarangan, ada yang ke kali/irigasi tersier, ada yang ke tanah kosong yang belum dimanfaatkan pemiliknya.
5
Sawah disini maksudnya kebun (dulunya bekas sawah untuk tanaman padi).
67
Berbeda lagi dengan rumah tangga di RT 01 RW 01 Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, rumah tangga di pemukiman padat yang berbatasan langsung dengan perumahan/kompleks Griya Pancoran Mas Indah ini tidak memiliki TPS, dan rumah warga juga nyaris tidak menyediakan bak sampah. Sampah rumahtangga yang dikumpulkan dari dalam rumah (umumnya tercampur antara organik dan non organik) ada sebagian dibuang ke lubang yang disediakan untuk membuang sampah (biasanya warga yang masih punya tanah cukup luas, bisa halaman depan, samping atau halaman belakang rumah), ada juga yang disimpan di pekarangan rumah pada sore atau paginya (sebelumnya dimasukan ke kantong keresek). Setelah sampah terkumpul, pagi harinya langsung dibawa oleh Pak Slm (Petugas Kebersihan RT 01 RW 01), Pak Slm memungut biaya sebesar Rp. 20.000,- per bulan per KK dengan anggota yang bayar sekitar 25 KK, iuran tersebut langsung ditarik oleh Pak Slm kepada warga yang menjadi anggotanya, beda dengan Bang Emg yang tidak memungut langsung dari warganya. Kembali ke sampah yang sudah dipindah dari dalam rumah ke dalam bak sampah. Seperti kasus di Perumahan Griya Pancoran Mas Indah, sampah yang sudah berada di bak sampah yang terdapat di setiap rumah warga dipindah/ dikumpulkan setiap hari ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) yang letaknya di depan perumahan (sebelah kiri pintu gerbang perumahan arah keluar perumahan). Kemudian, seminggu 2 kali sampah yang ditampung di TPS itu diangkut dan dibuang ke TPA Cipayung oleh petugas berstatus tenaga kontrak dari DKP, yaitu para sopir/kernet (mereka berada dalam koordinasi seorang pegawai DKP yang berstatus KORCAM/Koordinator Kecamatan),
dengan
menggunakan truk kuning atau truk putih dinas milik DKP. Lalu bagaimana dengan sampah yang sudah di bak sampah di beberapa rumah tangga di luar Perumahan Griya Pancoran Mas Indah ?, misalnya di RT 01, 04, 06 dan 09 RW 01 ? Kemana ia dipindahkan? Sampah dari bak sampah di kawasan ini sebagian dipindah oleh petugas yang menanganinya (Pak Slm dan Bang Emg) ke suatu tempat yang sama-sama sudah ditetapkan. Sebagian lagi dipindah ke dapur pembakaran sampah Bpk Mld lewat Bang Emg (RT 09 RW 01) yang juga terletak di kawasan itu, sebagian yang tersisa dibuang ke sumur yang cukup dalam dan sudah tidak terpakai, sebagian dibuang ke lahan kosong yang
68
belum dimanfaatkan pemiliknya dengan cara dibuat lubang untuk sampah, sedangkan untuk Pak Slm dari RT. 01 RW 01, sampah hasil sortir/pilihan dari rumah tangga, sisanya dibuang ke TPS yang berada di depan komplek perumahan Griya Pancoran Mas Indah. Biasanya Pak. Slm membuang sampah ke TPS Perumahan pada malam hari, disaat warga perumahan sudah tertidur. Kalau kita lihat paparan di atas, pada tingkat bak sampah yang terletak di perumahan, ternyata banyak aktor yang terkait tali temali atau berelasi di wahana sosial bak sampah, mulai dari warga (rumah tangga pembuang sampah, bisa ayah, ibu, anak), pembantu rumah tangga, pemulung (Nek Rnh, Mpok Gth, Mak Rml), petugas kebersihan merangkap pemulung (Bang Umr, Bang Ars dan Bang Mli), petugas keamanan perumahan/satpam merangkap pemulung (Bang All), Warga perumahan (Bpk H Rhm), Pengurus RT (Ketua, Sekretaris, Bendahara). Bak sampah, tempat rumah tangga membuang sampahnya secara sementara, ternyata juga menjadi arena perebutan para aktor dalam mengais rejeki, berinteraksi dan penerapan sanksi/hukuman. Diantara aktor yang ber-relasi terdapat juga konflik (iuran warga terkait pengangkutan sampah), persaingan (sesama pemulung, petugas kebersihan, satpam) sampai melahirkan strategi untuk menjalankan kuasa pemulungan di tingkat bak sampah (kasus Mpok Gth yang menambah jadwal/waktu pulungan). Pemulung pada tingkat bak sampah masih berharap ada sampah yang punya nilai ekonomis yang bisa diambil/di pulung untuk dapat diuangkan. Berbeda dengan bak sampah yang dikelola di luar perumahan Griya Pancoran Mas Indah, terutama di RT 01 dan 09 RW 01, masing-masing hanya 1 orang petugas kebersihan yang merangkap sebagai pemulung yang menguasai bak sampah di wilayah tersebut yaitu Bang Emg di RT 09 dan Pak Slm di RT 01, semuanya berada di wilayah RW 01 Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, Kecamatan Pancoranmas, Kota Depok.
69
5.1.3. Relasi Kuasa Sampah tingkat TPS Relasi kuasa di tingkat TPS dijalankan oleh cukup banyak aktor. Selain oleh warga dan pengurus RT, RW, serta Pokja RW Hijau, medan interaksi tingkat TPS juga melibatkan para aktor lainnya, mulai dari petugas pesantren yang tidak jauh dari perumahan, petugas kebersihan RT non perumahan, satpam perumahan, pengendara motor, mobil pickup penarik sampah dsb. Berbagai wacana masuk mempengaruhi relasi-relasi kuasa antar aktor ini. Isu yang muncul bukan hanya soal material atau bahan-bahan yang bernilai ekonomi, tetapi menyangkut isu hukum dan
kemanusiaan.
Pada tingkat TPS ini, akan diketengahkan kasus
munculnya aktivitas perpindahan sampah dari bak sampah di RT 01 RW 01 ke TPS Perumahan Griya Pancoran Mas Indah, surat protes dari penghuni rumah yang persis bersebelahan dengan TPS dan upaya negosiasi/sembunyitau/terselubung yang dilakukan oleh Pak Slm dengan satpam perumahan. Seperti telah disinggung sebelumnya, di perumahan Griya Pancoran Mas Indah, sampah rumah tangga ditangani oleh pengurus RT kerjasama dengan petugas kebersihan RT dan Pokja RW Hijau dengan kader Pokja RW Hijau sebagai anggota yang selanjutnya disebut dengan kader hijau atau kader. Polanya hampir sama dan berlaku umum, bahwa sampah dari rumah tangga, dikumpulkan di bak sampah, selanjutnya dari bak sampah diangkut kembali oleh petugas kebersihan ke TPS. Selain petugas kebersihan, ada juga kader hijau yang tugasnya hampir sama dengan petugas kebersihan yaitu mengambil sampah dari pekarangan rumah warga untuk kemudian dikumpulkan di pekarangan rumah Ketua RT (RT 05, 06, 07) ada juga yang langsung diserahkan ke bank sampah dan sebagian dibuang ke TPS (RT 01), biasanya yang langsung diserahkan karena jaraknya dekat dengan bank sampah/TPS perumahan. Setelah sampah terkumpul (di RT 05, 06, 07) baru kemudian diangkut oleh petugas kebersihan ke bank sampah yang bersebelahan dengan TPS, terkadang sebagian yang diperkirakan tidak laku dibuang juga ke TPS. Perbedaannya, kalau petugas kebersihan mengambil sampah dari bak sampah setiap hari, biasanya pagi hari antara jam 07.00 s.d. jam 11.00, sampah yang diambil dari bak sampah dalam keadaan tercampur antara sampah organik dan non organik. Sedangkan kalau kader hijau mengambil sampah di pekarangan
70
rumah warga setiap hari sabtu pagi, antara jam 08.00 s.d. jam 11.00 WIB. Anggota kader hijau per RT rata-rata 5 orang, semuanya perempuan/ibu-ibu PKK. TPS yang ada di perumahan Griya Pancoranmas Indah sudah ada sejak tahun 2008. TPS ini dibangun atas kerjasama LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) Kelurahan Rangkapan Jaya Baru dengan Ketua RW lama yang bernama Bpk Lht.
Menurut cerita Ketua RW lama, awalnya, Ketua LPM
Kelurahan Rangkapan Jaya Baru mendapat informasi dari Kelurahan bahwa ada dana “nganggur” yang sudah siap cair untuk kegiatan kebersihan lingkungan. Kemudian diusulkan pembangunan TPS dalam rangka mengurangi sampah warga agar lingkungan bisa bersih terpelihara. Usulan LPM disetujui, kemudian dicari lahan untuk pembangunan TPS tersebut, tetapi lahan yang sedianya akan dibangun TPS di RW 01 ternyata tidak disetujui oleh pemiliknya, akhirnya Ketua LPM mencari lahan strategis yang sekiranya bisa masuk mobil truk pengangkut sampah dari DKP. Alhasil, Ketua LPM menghadap ketua RW 14 Perumahan Griya Pancoranmas Indah untuk minta persetujuan dibangunnya TPS di lahan fasos/fasum perumahan. Ketua RW 14 menyetujui dengan catatan tidak ada uang yang keluar dari kas RW untuk pembangunan TPS tersebut. Setelah kedua belah pihak setuju, akhirnya diajukan proposal ke Kelurahan Rangkapan Jaya Baru dan tidak lama kemudian dimulailah pembangunan TPS tersebut. Pada saat pembangunan, warga tidak menyangka akan dibuatkan TPS, setelah bangunan terbentuk, berupa empat persegi panjang dengan ukuran kurang lebih 6x8 = 48 m2 barulah warga tahu, ternyata bangunan itu untuk tempat sampah sementara atau TPS (Tempat Pembuangan Sementara). Posisi bangunan TPS persis di sebelah kiri depan pintu gerbang masuk perumahan, bersebelahan dengan rumah Pak Haji (yang dikemudian hari mengajukan protes keras, lewat lisan maupun tertulis ke Kelurahan, tembusan ke Ketua RW yang baru). Sebetulnya, pada saat setelah berdirinya bangunan dan difungsikan untuk penampungan sampah sementara (meskipun sifatnya sementara), sudah banyak warga yang protes, penyampaian protes dilakukan saat rapat warga tingkat RT, kemudian pengurus RT menyampaikan kembali protes warga tersebut kepada RW pada saat rapat RW yang dihadiri oleh masing-masing perwakilan/pengurus RT.
71
Keberatan warga atas keberadaan TPS karena bisa menimbulkan berbagai macam penyakit, bau sampah bisa membuat sesak napas, bisa mendatangkan penyakit yang disebabkan oleh lalat seperti diare, dan pelbagai penyakit yang disebabkan oleh tikus. Keberadaan TPS sangat merusak kenyamanan warga akibat bau sampah. Waktu musim hujan sampah berserakan terbawa air keluar TPS dan lindinya menyebar keluar sampai jalanan, musim kemarau diganggu oleh bau dan lalat. Lindi dari sampah akan mencemari air tanah yang dimanfaatkan oleh sebagian warga (sumur bor), akan mengundang banyak pemulung dan pihakpihak lain dari luar kompleks, hal ini perlu diwaspadai karena bisa berimplikasi kepada keamanan warga perumahan. Tetapi apalah daya, TPS sudah terbangun, pihak RW menyampaikan bahwa harusnya warga bersyukur, karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk pembangunan TPS, yang diperlukan hanya persetujuan memanfaatkan fasos/fasum (fasilitas sosial/fasilitas umum) untuk didirikan bangunan TPS tersebut. Toh pada akhirnya warga juga yang akan memanfaatkan TPS itu untuk membuang sampah warga perumahan. Dana untuk pembangunan TPS berasal dari Pemkot Depok yang diusulkan oleh LPM melalui Kelurahan. Tanggapan warga lain lagi, selain alasan-alasan yang sudah dikemukakan di atas, ada beberapa alasan penting lainnya yang dikemukakan yaitu bahwa TPS yang berlokasi persis di sebelah kanan arah masuk gerbang perumahan, sangat mengganggu pemandangan warga perumahan ketika akan masuk, mengganggu “estetika” dan malu kalau tamu mau datang ke perumahan, meskipun bau sampah tidak tercium karena cukup jauh dari rumah-rumah warga, tetapi pada saat warga mau keluar dan masuk perumahan bau sampah tercium tajam, apalagi pada saat bersamaan dengan pengangkatan sampah oleh DKP untuk dipindahkan ke TPA, baunya sangat tajam menusuk hidung. Warga perumahan juga kecewa karena ternyata TPS yang ada di perumahan ini, dimanfaatkan juga oleh warga lain tanpa kompensasi apapun. Banyak pengendara mobil dan terutama motor yang sengaja membuang sampah dalam kantong keresek ke TPS tersebut. Satpam perumahan tidak bisa bertindak dengan alasan karena jauh dari jangkauan mereka, dan tidak mungkin mereka/satpam mengejar orang pakai motor yang membuang sampah dalam keresek ataupun karung ke TPS perumahan, jadi intinya, susah juga untuk
72
melarang dan memperingatkan orang-orang luar kompleks untuk tidak membuang sampah ke TPS perumahan (jadi menarik karena tetangga satpam yang satu kampung, ternyata dibiarkan juga buang sampah di TPS perumahan). Masih menurut pengakuan satpam (salah satunya biasa dipanggil Bang Tll), orang yang buang sampah ke TPS perumahan lebih banyak malam hari dibanding siang atau sore hari. Ada yang bawa sampai 2 karung besar, sampah yang dibuang ke TPS. Kalau siang hanya 2 atau 3 orang saja, tapi kalau malam bisa sampai puluhan orang yang buang sampah ke TPS. Pernah juga ada yang bawa mobil pickup malam-malam buang sampah di TPS, kalau yang seperti ini biasanya langsung dilarang oleh satpam perumahan. Banyak orang yang buang sampah ke TPS terutama malam hari, menurut perkiraan Bang Tll lebih banyak sampah yang bersumber dari luar dibanding dengan sampah yang berasal dari warga perumahan, Bang Tll menuturkan, sebagai berikut : “……begini pak, kalau kita hitung, berdasarkan pengamatan saya sebagai petugas jaga di perumahan ini, sampah yang diangkut Umr dan petugas kebersihan lainnya dari perumahan ini, paling hanya 3 atau 4 gerobak perhari, tapi kalau kita bandingkan dengan sampah yang datang dari luar, bisa 5 gerobak perhari, dan banyakan malam hari datangnya……” Begitulah apa yang disampaikan bang Tll berdasarkan pada pengamatan dia selama berjaga di pos satpam, baik sengaja melihat ataupun tidak sengaja kepergok dengan warga lain yang juga buang sampah ke TPS perumahan. Salah satu warga non perumahan yang membuang sampah ke TPS perumahan adalah Pak Slm. Kegiatan pembuangan sampah yang dilakukan Pak Slm, sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bagi warga perumahan Griya Pancoranmas Indah. Melalui rapat RT warga sudah mengusulkan keberatan atas pembuangan sampah non perumahan yang ternyata hampir 60% nya sampah tersebut berasal dari luar kompleks dan hanya sekitar 40% berasal dari warga perumahan, sebagaimana penuturan koordinator RW Hijau sbb :
“……kalau dihitung-hitung, menurut perkiraan saya, ada kali 40% saja sampah warga kita yang masuk TPS, ini kalau dilihat dari berapa kali dan berapa gerobak kita yang buang sampah ke TPS perumahan, kita bayar tiap bulan Rp. 2.200.000,- berarti kita bayar untuk semua sampah yang diangkutin, ditambah tips untuk sopir dan kernet kadang Rp. 75.000,kadang sopir itu minta Rp. 100.000,-……”,
73
Demikain dikatakan Pak Mmn selaku koordinator RW Hijau. Pembayaran untuk pengangkutan sampah dari TPS ke TPA tiap bulannya berasal dari iuran masingmasing RT berarti dari warga juga, kalau ada sampah yang masuk dari luar perumahan, berarti warga perumahan ikut membayarkan sampahnya warga lain yang berada diluar perumahan. Meskipun ramai dibicarakan di tingkat rapat RT, namun kegiatan Pak Slm masih tetap berjalan, bahkan seolah-olah “leluasa” tanpa beban ketika membuang sampah tersebut ke TPS perumahan. Pada level pertemuan tingkat RW, pengurus RT pernah mengutarakan mengenai keberatan warga ini, namun seperti yang dikhawatirkan koordinator RW Hijau, bahwa warga perumahan perlu mensikapi ini dengan hati-hati, jangan sampai salah bicara, takutnya menyinggung perasaan Pak Slm. “Kita harus
hati-hati karena hal ini menyangkut dapur Pak Slm”,
demikian dikatakan koordinator RW Hijau, mengingatkan warga dan dirinya yang khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang bisa merembet kepada keterlibatan warga Kampung Benda lainnya diluar Pak Slm. Pak Mmn sebagai koordiantor RW Hijau, sekaligus sebagai salah seorang warga yang mengaku sudah sejak lama kenal dengan Pak Slm, lebih membayangkan karakter Pak Slm yang dulunya suka membawa parang6 ke mana-mana. Pak Mmn tahu kalau Pak Slm bisa jadi akan tersinggung bila perbuatannya ditegor. Pak Slm sebagai “orang asli Kampung Benda”, sedangkan warga perumahan kebanyakan pendatang, wajar keragu-raguan macam itu muncul. Berita tentang konflik sosial pada masa lalu, antara orang yang dipercaya menggarap lahan perumahan (sebelum dibangun) dengan warga Kampung Benda, bahkan sampai gubuk orang yang dipercaya menggarap lahan perumahan, dibakar oleh warga Kampung Benda, ikut memproduksi bayangan konflik dan rasa takut yang membuat warga kompleks lebih berhati-hati mengambil sikap, artinya konstruksi hubungan sosial antara warga dan “orang asli Kampung Benda” masih sangat rapuh, dan itu berpengaruh terhadap sikap yang harus diambil dalam urusan sampah yang ternyata semakin nyata kerumitannya.
6
Parang/arit, sejenis senjata tajam untuk motong/ngambil rumput.
74
Keberatan warga yang disampaikan melalui rapt-rapat selama ini, belum cukup untuk menghentikan aktivitas Pak Slm, rupanya ada strategi lain yang diterapkan oleh Pak Slm yaitu dengan cara negosiasi7 agar tetap bisa membuang sampah ke TPS, sebagai tempat aktivitas membuang sebagian sampah warga Kampung Benda. Pihak warga dalam menyikapi aktivitas Pak Slm selama ini, tetap mengacu pada konteks keberadaan TPS yang ada di wilayah perumahan dan pembayaran ongkos angkut sampah oleh warga perumahan, sehingga tidak dibolehkan ada sampah lain non perumahan yang masuk ke TPS. Bertolak dari fenomena di atas,
maka terdapat perbedaan pandangan
antara kepentingan Pak Slm dengan pihak warga. Perbedaan pandangan ini pada awalnya ditanggapi Pak Slm dengan cuek saja, tetapi selanjutnya bisa jadi karena ada kekahawatiran Pak Slm atas keberatan warga yang semakin meluas, maka mereka melakukan hubungan-hubungan negosiasi. Hubungan-hubungan tersebut dilakukan bersama satpam setempat sebagai suatu strategi mempertahankan TPS, tindakan negosiasi dan terkait satu sama lainnya ini menjadi polemik yang berkepanjangan. Hubungan-hubungan kekuasaan8 yang terjadi selama ini terjalin, mengalir, menyatu, dan sekali-kali berpisah dalam satu bingkai yaitu motivasi ekonomi, sehingga bekerjanya kekuasaan sangat tergantung pada situasi dan sekaligus kepentingan masing-masing para pelaku secara terus menerus. Adanya keberatan warga tersebut di atas, merupakan bukti bahwa pada umumnya masih ada kecenderungan bagi para aktor memanfaatkan peluang-peluang untuk membangun hubungan-hubungan yang bersifat non-formal. Hubungan-hubungan non-formal yang dimaksud salah satunya melalui negosiasi atau sembunyi-tau. 7
Istilah ini digunakan, untuk menyebut suatu pengertian yang berkaitan dengan posisi antara dua aktor (pelaku) yang saling melakukan ‘tawar menawar’ yang berarti ‘saling mengetahui’. ( Bukunya Scott, Weapons of the weak : Everyday Forms of Peasant Resistance, seri terjemahan, 2000 oleh A. Rahman Zainuddin, dkk) dalam Siswono (2009), menggunakan istilah negosiation dengan pengertian sembunyi-tau, taktik ini digunakan oleh Scott untuk memulai pembicaraan tentang hal-hal yang bersifat peka, bahkan antara pihak-pihak yang saling berhubungan erat dan sering bertemu (Siswono, 2009).
8
Sesuai dengan pendapat Foucault dalam Cheater (1999:3) dalam Siswono (2009) yang menyatakan, bahwa individu-individu selalu dalam situasi mengalami dan melaksanakan kekuasaan secara simultan. Individu-individu bukan hanya target kekuasaan yang bergerak atau yang patuh saja, tetapi individu-individu juga selalu merupakan unsur pengungkapan kekuasaan,
75
Tidak hanya itu, protes keras terhadap keberadaaan TPS perumahan juga datang dari warga non perumahan, salah satunya dari Pak Haji yang rumahnya persis bersebelahan dengan bangunan TPS perumahan. Secara lisan Pak Haji sudah bicara langsung dengan pak RW baru (Pak Idr), tapi pihak RW juga tidak bisa berbuat banyak karena keberadaan TPS sudah atas persetujuan LPM Kelurahan Rangkapan Jaya Baru dan itu merupakan hasil kesepakatan dengan RW lama. Pengadaan TPS di perumahan ini, juga atas persetujuan pihak kelurahan, karena terbukti bahwa dana pembangunan TPS berasal dari Pemkot Depok melalui Kelurahan Rangkapan Jaya Baru. Jadi TPS ini sudah atas persetujuan para pihak yang berkompeten yaitu LPM, pihak Kelurahan dan RW selaku pengelola fasos/fasum perumahan Griya Pancoranmas Indah. Merasa tidak puas akhirnya Pak Haji melayangkan protes dalam bentuk tertulis, yaitu berupa surat protes ke Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, mempersoalkan keberadaan TPS perumahan yang sangat mengganggu kenyamanan Pak Haji, terutama aspek bau. Surat protes juga ditembuskan ke RW baru perumahan Griya Pancoranmas Indah. Pihak Kelurahan menyampaikan bahwa pengadaan TPS adalah bagian dari progam kebersihan Pemkot Depok dan sudah mendapat persetujuan LPM serta pihak RW 14 selaku penguasa tanah fasos/fasum tempat berdirinya TPS perumahan. Karena merasa tidak puas akhirnya dilayangkan lagi surat protes berikutnya yang juga ditembuskan ke RW 14 Griya Pancoranmas Indah, kali ini disertai dengan ancaman akan membawa ke ranah hukum, apabila tidak ada respon yang baik dari pihak-pihak yang bertanggung jawab.
medium kekuasaan dan bukan merupakan titik-titik penerapan kekuasaan. Oleh karena itu secara inheren, di dalam hubungan sosial antara pelaku sebenarnya terdapat unsur-unsur persaingan, kompetisi, kontestasi, resistensi (perlawanan) dan juga adanya konsensus, negosiasi serta kerjasama. Dengan demikian, hipotesis yang mendasari konsepsi kekuasaan ini adalah hipotesis tentang bidang sosial yang berbeda tingkatnya di antara pusat-pusat kekuasaan yang dapat berubah-ubah (naik – turun). Ketidaksetaraan di antara kekuatan inilah yang menghasilkan kondisi kekuasaan, yang selalu local dan tak tetap (Patton 1987 : 234) dalam (Siswono, 2009). Dalam konteks ini, kekuasaan bukan sesuatu yang dimiliki atau dipunyai oleh siapapun. Setiap orang, siapapun dia dapat memainkan kekuasaan dalam interaksi-interaksinya dengan pihak lain, sehingga tak pernah suatu hubungan kekuasaan tercipta sekali jadi, kemudian membeku seperti batu. Tetapi kekuasaan dapat mengalir sangat cepat dari satu tempat ke tempat lainnya tergantung pada perubahan aliansi dan keadaan. (Danaher, Schirato dan Webb 2000:70) dalam (Siswono, 2009).
76
Beberapa hari kemudian, RW mengadakan rapat dan sekaligus membahas surat yang masuk tentang protes TPS perumahan yang berdiri diatas tanah fasos/fasum9 perumahan tersebut. Rapat RW dihadiri oleh ketua RT atau perwakilannya, surat protes ini disampaikan dan mendapat beragam tanggapan, sebagian
besar
RT
dan
perwakilannya
menyetujui
untuk
dilakukan
pembongkaran dengan alasan sudah sesuai dengan aspirasi warganya dan alasanalasan lain yang cukup penting (seperti diceritakan di awal). Sebagian kecil perwakilan RT yang hadir tidak menyetujui dengan alasan pihak RT terutama RW Hijau dan armadanya/kader hijau belum ada kesiapan untuk menangani sampah dari tingkat rumah tangga sampai pengangkutan ke TPA Cipayung. Tanggapan dari koordinator RW Hijau sendiri membenarkan mengenai belum adanya kesiapan tersebut. Kalau memang setuju dibongkar, maka kita atau RW Hijau harus siap dulu dengan armada gerobak motor, yang nantinya akan mengangkut sampah rumah tangga yang terkumpul di bak sampah, lalu dibuang langsung ke TPA Cipayung. Akhirnya rapat memutuskan untuk membiarkan saja surat protes tersebut, tidak perlu ditanggapi. Berarti keberadaan TPS10 perumahan tetap “eksis”
selama RW Hijau belum ada kesiapan untuk menangani
pembuangan sampah warganya. 9
Fasos/fasum di perumahan Griya Pancoranmas Indah masih menjadi tanggung jawab RW, karena waktu itu belum ada penyerahan/berita acara penyerahan perumahan dari developer ke Pemkot Depok, sehingga aset dalam bentuk fasos/fasum masih ada dibawah tanggung jawab developer, sementara developer sudah tidak diketahui keberadaannya/menghilang entah kemana, sehingga akhirnya RW yang dianggap punya kewenangan terhadap fasos/fasum tersebut.
10
TPS perumahan Griya Pancoranmas Indah akhirnya ditutup/dibongkar oleh warga perumahan sekitar bulan April 2013, pembongkaran dilakukan atas persetujuan dari pihak Kelurahan Rangkapan Jaya Baru (Lurah baru Bpk. Drs H Ubaydillah). Setelah tidak ada TPS perumahan, akhirnya RW Hijau yang mengkoordinir pembuangan sampah warga perumahan. RW Hijau sebelumnya telah mengajukan kredit ke Bank Mandiri untuk pengadaan Germo (Gerobak Motor) dan operasionalisasi germo ini oleh RW Hijau dipercayakan kepada Bang Umr. Pengadaan germo juga atas persetujuan RW lama (Bpk. Indra Kusuma) dan para ketua RT pada saat rapat di tingkat RW. Tata cara pengambilan sampah masih tetap mengacu ke model lama, untuk wilayah RT 05, 06 dan 07 sampah rumah tangga yang dibuang ke bak sampah kemudian diangkut oleh petugas kebersihan perumahan (Bang Umr), disortir lebih dulu, lalu dibuang langsung ke TPA Cipayung. Wilayah RT 04 sampah dari bak sampah diangkut oleh Bang Mll kemudian disortir, hasil sortiran dibawa dan disimpan di pekarangan rumahnya sedangkan sisanya di simpan di lahan kosong sekitar perumahan selanjutnya diangkut Bang Umr untuk dibuang langsung ke TPA. Pada wilayah RT 01, 02 dan 03 sampah dari bak sampah diangkut oleh Bang Ars kemudian disortir, sisanya dikumpulkan di lahan kosong perumahan lalu diangkut oleh Bang Umr lalu dibuang ke TPA. Model baru ini menambah beban kerja Bang Umr sampai harus 4-6 balikan mondar-mandir perumahan - TPA Cipayung, tetapi operasionalisasi germo oleh Bang Umr juga mengundang tanya dari Bang Mll dan Bang Ars sebagai sama-sama petugas kebersihan perumahan, kenapa mereka
77
Keberadaan TPS dan wacana pembongkarannya yang banyak menuai pro dan kontra, pada akhirnya meredup kembali dan berjalan mengalir seperti biasa, sampah dari rumah tangga tetap diangkut oleh petugas kebersihan kemudian dibuang ke TPS, sampah yang berasal dari warga luar yang membuang sampahnya sambil lewat dengan menggunakan kendaraan bermotor tetap jalan, termasuk sampah yang bersumber dari rumah tangga non perumahan yang dikelola oleh Pak. Salam berjalan terus, meskipun pembuangan dilakukan pada malam hari. Begitu juga dengan sikap Pak Haji yang melakukan protes, baik lisan maupun secara tertulis, setelah protesnya didiamkan saja, akhirnya sama-sama diam dan tidak terdengar lagi kabar protesnya sampai saat ini. Paparan di atas mensiratkan bahwa aktor yang terlibat pada tingkat TPS sangat
banyak
termasuk
bagaimana
mereka
mempraktekan/menjalankan
kekuasaan berdasarkan basis kekuasaan masing-masing aktor yang diperlihatkan. Aktor tersebut yaitu ketua RW, ketua LPM, pihak Kelurahan, ketua RT, warga perumahan, RW hijau, bang Umr, bang Mli, bang Ars, pak Slm, bang Tll, satpam perumahan, pengendara motor yang buang sampah ke TPS perumahan, Sopir mobil picup yang buang sampah ke TPS perumahan, Sopir dan kernet truk DKP yang mengangkut sampah dari TPS perumahan. Pada saat menyetujui pembangun TPS perumahan, Ketua RW berarti menjalankan/mempraktekan kekuasaannya dengan basis kekuasaan legal formal karena RW di SK-kan oleh Kelurahan. Protes warga melalui rapat RT dan keberatan RT (atas desakan warga) melalui rapat tingkat RW bisa kita artikan bahwa masing-masing sudah menjalankan kekuasaan dengan basis kepercayaan.
tidak dipercaya untuk mengelola germo perumahan, padahal selain sama-sama orang lokal mereka juga sama-sama sudah lama bekerja sebagai petugas kebersihan yang mengabdi di perumahan ini. Adanya pergantian RW lama ke RW baru (Bpk. Syahril Simamora) dan pergantian semua RT sekitar bulan Juni yang baru lalu mengundang kekhawatiran koordinator RW Hijau. Kekhawatirannya yaitu bagaimana nanti kalau ada perubahan kebijakan penanganan sampah yang berimplikasi kepada operasionalisasi germo, padahal pengadaan germo secara kredit sudah dilakukan atas nama koordinator RW Hijau, siapa nanti yang akan melanjutkan kredit germo ke Bank Mandiri kalau benar-benar terjadi perubahan penanganan sampah. Pak Slm sebagai penanganan sampah perorangan sampai saat ini tidak diketahui kemana membuang sampah warganya. TPS perumahan memang sudah ditutup tapi sebagai wahana sosial pembelajaran dimana para aktor terlibat dan saling berinteraksi sebenarnya terdapat unsur-unsur persaingan, kompetisi, kontestasi, resistensi (perlawanan) dan juga adanya konsensus, negosiasi serta kerjasama (Siswono, 2009)
78
Kepercayaan itu bisa diperoleh karena warga/mandat/amanat bahwa RT dipilih warga sehingga warga berhak menanyakan alasan-alasan itu melalui RT begitu juga RT terhadap RW, karena RW dipilih oleh masing-masing RT meskipun SK dari Kelurahan. Pada medan interaksi TPS kekuasaan dijalankan melalui wacana perdebatan dan protes warga pada saat rapat warga, baik tingkat RT maupun rapat tingkat RW. Protes warga pada saat pertemuan RT membahas masalah buangan sampah di TPS perumahan merupakan upaya warga dalam menjalankan kekuasaan dengan basis ekonomi tentunya, karena warga lah yang bayar iuran sampah termasuk iuran untuk membuang sampah dari TPS perumahan ke TPA Cipayung. Pak Slm juga menjalankan kekuasaannya dengan melakukan pembuangan sampah ke TPS perumahan dan melakukan negosiasi dengan satpam perumahan, basis kekuasaan Pak Slm yaitu klaim sebagai penduduk asli atau lokal, yang sudah lebih dulu ada dibanding warga perumahan. Pak Haji meminta pemenuhan hak “bebas dari bau sampah” kepada pihak yang dianggapnya punya otoritas yaitu RW dan pihak Kelurahan Rangakapan Jaya Baru sampai terindikasi akan membawa ke ranah hukum, apabila haknya diabaikan oleh para pemegang otoritas ini. Disini Pak haji juga sudah menjalankan kekuasaannya dalam bentuk protes ke RW dan pihak Kelurahan Rangkapan Jaya Baru. Dalam relasi kuasa antar aktor terdapat unsur-unsur persaingan, kompetisi, kontestasi, resistensi (perlawanan) dan juga adanya konsensus, negosiasi serta kerjasama. Dalam konteks ini, kekuasaan bukan sesuatu yang dimiliki atau dipunyai oleh siapapun. Setiap orang, siapapun dia dapat memainkan kekuasaan dalam interaksi-interaksinya dengan pihak lain, sehingga tak pernah suatu hubungan kekuasaan tercipta sekali jadi, kemudian membeku seperti batu. Tetapi kekuasaan dapat mengalir sangat cepat dari satu tempat ke tempat lainnya tergantung pada perubahan aliansi dan keadaan. (Danaher, Schirato dan Webb 2000:70) dalam (Fikarwin, 2008).
79 5.1.4.
Relasi Kuasa Sampah tingkat TPA
Pemetaan Aktor yang Terlibat di tingkat TPA Permasalahan pengelolaan sampah pada tingkat TPA tidaklah semudah dan sesederhana seperti membagi-bagikan hak pengelolaan kepada satu atau beberapa aktor saja. Pengelolaan sampah di TPA Cipayung Kota Depok, melibatkan banyak aktor yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Masing-masing aktor memiliki strategi-strategi yang bertujuan mempertahankan akses mereka atas pengelolaan sampah di TPA tersebut. Dalam konteks pengelolaan sampah di TPA Cipayung Kota Depok, setidaknya terdapat beberapa aktor yang saling berinteraksi, saling kait mengkait antara aktor yang satu dengan aktor yang lainnya. Masing-masing aktor tersebut bisa dalam wujud orang perorangan maupun dalam wujud lembaga atau organisasinya. Masing-masing aktor yang terlibat di wilayah TPA Cipayung Kota Depok, diantaranya yaitu DKP (Dinas Kebersihan dan Pertamanan), Bank Sampah, DKUP (Dinas Koperasi, UMKM dan Pasar), DIBIMASDA (Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air), Dinas Perhubungan, FKMP-TPAS (Forum Komunikasi Masyarakat Pemantau-Tempat Pembuangan Akhir Sampah), FORMAC (Forum Masyarakat Cipayung), Lampak Pemulung, Pemulung, RT/RW sekitar area TPA. Aktor
disini
mendefinisikan
bisa
stakeholder
juga
diartikan
sebagai
sebagai
stakeholder.
“kelompok/individu
yang
Freeman dapat
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan bersama”. (Ramirez, 2005). Sosiolog menggunakan istilah “aktor sosial” pada orang/entitas sosial yang berpengetahuan memformulasikan
dan dan
berkemampuan mempertahankan
dan
dengan
keputusan.
demikian
dapat
Penggunaan
istilah
stakeholder pada saat ini tidak hanya bersinonim dengan seseorang atau individu saja tetapi juga merujuk pada grup dan organisasi yang mempunyai kepentingan atau yang berperan aktif dalam suatu system (Ramirez, 2005). Relasi antar aktor ini bisa dilihat seperti pada Gambar 10.
80 BANK SAMPAH
DIBIMASDA
DKUP
DKP
UPTD TPA
DISHUB
RT/RW LAMPAK PEMULUNG PEMULUNG
FKMP TPAS FORMAC
Keterangan garis : = menunjukan hubungan satu arah = menunjukan hubungan dua arah = menunjukan hubungan persaingan Gambar 10. Relasi antar aktor terkait TPA Cipayung Informasi mengenai aktor, kepentingan dan jaringannya, secara sederhana dapat dipaparkan seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Aktor dan kepentingan aktor terkait TPA Cipayung Aktor
Kepentingan Aktor
DKUP (Dinas Koperasi UMKM dan Pasar)
• Kepentingan DKUP yang mendasar terutama bidang pengelolaan pasar yaitu terciptanya kebersihan dalam lingkungan pasar‐pasar di Kota Depok. • Berkepentingan dengan DKP dalam hal koordinasi pembuangan sampah pasar ke TPA. • Berkepentingan dengan petugas/pengawas (UPTD) di TPA untuk penempatan truk sampah di lokasi pembuangan yang mudah dijangkau oleh truk DKUP. • Kepentingan DIBIMASDA yang mendasar terutama bidang sumber daya air terkait sampah yaitu terciptanya kebersihan di kali/sungai (termasuk bantaran, sempadan) dan situ (termasuk sempadan situ). • Berhubungan dengan DKP dalam hal koordinasi pembuangan sampah dari sungai/kali/situ di Kota Depok dan petugas TPA untuk penempatan pembuangannya.
DIBIMASDA (Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air)
81 Bank Sampah
•
• • •
DKP (Dinas Kebersihan dan Pertamanan)
•
• •
Lampak Pemulung
• •
Pemulung
UPTD TPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah – Tempat Pembuangan Akhir)
•
•
•
Kepentingan Bank Sampah yang mendasar yaitu terciptanya kebersihan di RW setempat (aspek lingkungan), menampung sampah non organik dari warga (aspek sosial), menjual ke lampak /pabrik (aspek ekonomi). Mendaur ulang, mengurangi buangan sampah ke TPA Cipayung. Berhubungan dengan DKP dalam hal pembinaan pengelolaan sampah organik dan non organik Dengan petugas/pengawas TPA untuk pembuangan sisa sampah yang telah di daur ulang. Dasar kepentingan DKP terkait persampahan yaitu terciptanya kebersihan di beberapa titik yang menjadi tanggungjawabnya yaitu : jln protokol, jln dekat pasar (bukan dalam lingkungan pasar), jalur protokol sekitar pusat perdagangan/pertokoan, jalur protokol sekitar terminal (bukan dalam terminal), jalur protokol sekitar permukiman (teratur maupun tidak teratur) yang ada TPS dan terjangkau truk sampah. Menjalankan hubungan dengan DKUP, DIBIMASDA, DISHUB dalam hal koordinasi pembuangan sampah. FKMP‐TPAS, FORMAC dalam hal penampungan aspirasi warga sekitar TPA dan UPTD dalam hal menjalankan hubungan structural kelembagaan. Kepentingan Lampak Pemulung yang mendasar yaitu menampung sampah non organik dari warga/pemulung, menjual ke lampak lain/pabrik (aspek ekonomi). Berhubungan dengan pemulung dalam hal pembelian sampah/mainan, RT/RW setempat dalam hal perijinan dan UPTD dalam dalam hal pemungutan sampah di TPA. Kepentingan Pemulung yang mendasar yaitu mendapatkan barang pulungan dan menjualnya ke lampak (aspek ekonomi). Kepentingan mendasar dari UPTD TPA yaitu lingkungan TPA terkelola dengan baik (timbulan sampah, bak/kolam lindi, sarana prasarana dlm TPA), tertibnya armada truk sampah yang masuk TPA. Menjalankan hubungan/jaringan yang cukup luas, berhubungan dengan DKP secara struktural institusi, DKUP, DIBIMASDA, DISHUB dalam hal koordinasi pembuangan sampah dan FKMP‐TPAS, FORMAC dalam hal penampungan aspirasi warga sekitar TPA, dengan pemulung dan lampak pemulung dalam teknis pemulungan sampah, dengan pihak RT/RW dalam hal wilayah territoria/batas wilayah.
82 Forum Masyarakat (FKMP‐TPAS dan FORMAC)
•
•
•
Kepentingan mendasar dari FKMP‐TPAS yaitu tersampaikannya keluh kesah warga (fungsi forum sbg jembatan), bebas bau sampah (lingkungan), perekrutan tenaga kerja asli lokal (ekonomi). Kepentingan mendasar dari FORMAC yaitu bebas bau sampah (perbaikan system pengelolaan sampah atau TPA dipindah atau buat jln alternatif ke TPA), tuntutan biaya sosial utk kesehatan dan sarana ibadah. Fungsi forum (FKMP‐TPAS dan FORMAC) yang menjembatani kepentingan masyarakat sekitar TPA dengan instansi terkait (Pemerintah, Swasta dan lembaga lainnya)
Pemulung dan Lampak Pemulung di Sekitar TPA Salah satu aktor/stakeholder yang berdekatan dan terlibat langsung dengan TPA Cipayung adalah para pemulung dan lampak pemulung11 yang berlokasi di sekitar TPA Cipayung, Kota Depok, sehingga penulis menganggap perlu ada ulasan secara khusus tentang pemulung dan lampaknya ini. Pemulung ada yang berasal dari masyarakat sekitar, ada pula yang merupakan pendatang. Para pemulung pendatang yang berasal dari luar Depok, kebanyakan dari Jawa Tengah. Sebagian lagi pemulung berasal dari daerah sekitar TPA Cipayung. Bagi para pemulung yang berasal dari daerah Jawa Tengah, keputusan untuk merantau ke Depok disebabkan di daerah asal tidak ada pekerjaan. Mereka tersingkirkan karena tidak ada pekerjaan lain selain menjadi buruh tani. Mereka rata-rata menginginkan hidup yang lebih layak. Namun karena tidak adanya keterampilan dan modal usaha, mereka mengambil pekerjaan sektor informal sebagai pemulung. Untuk menjadi pemulung modal utamanya adalah mau bekerja keras dan tahan terhadap bau sampah. Seperti yang disampaikan oleh salah satu informan yang berasal dari lampak sekitar TPA, Bpk Jml (50); “ saya datang kesini karena di desa dah gak bisa kerja dah gak kuat dan sudah tidak bisa kerja jadi tani” 11
Lampak pemulung menurut versi Pak Gnn (mantan ketua FKMP-TPAS) adalah sebutan untuk orang/person/aktor yang menangani/menampung/membeli sampah dari pemulung, biasanya mereka punya tempat penampungan, baik milik sendiri maupun sewa, kecenderungannya menunjuk pada orang/person/aktor. Menurut Bang Mli dan Pak Prm (sebagai aktor/pelaku yang membeli sampah dari pemulung) lampak yaitu tempat penyimpanan/penampungan/penjualan/ pemilahan/sortiran/ barang /sampah hasil pulungan, sampah tersebut bisa dari pemulung/warga yang sengaja menjual sampah yang diperkirakan masih laku dijual.
83
Usaha menjadi pemulung juga dianggap sebagai pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan khusus. Merreka hanya mengandalkan tenaga dan tahan terhadap bau sampah. Seperti yang disampaikan oleh Bpk Jml ; “kerja jadi pemulung gampang yang penting kuat dan tahan bau” Dari pengamatan peneliti, sebagian besar pemulung yang ada di TPA Cipayung, mereka istirahat dan makan siang berada di lokasi TPA. Mereka makan siang bersama para pemulung lain di tempat mereka bekerja, hanya bergeser sedikit, tidak berpindah tempat ke luar wilayah TPA walaupun bau sampah sangat menyengat. Berdasarkan tempat tinggal pemulung, sebagain besar mereka membuat bedeng sendiri. Namun ada sebagian yang tinggal bersama bos lampak. Mereka yang menempati bedeng sendiri mereka menggunakan lahan dengan sistem sewa lahan kepada pemilik lahan, sedangkan pemulung yang tinggal bersama bos lampak, biayanya ditanggung oleh bos lampak. Berkaitan dengan harga jual hasil memulung, para pemulung yang tidak tinggal bersama bos lampak, mereka bisa memilih menjual ke lampak dimana dia suka, sesuai harga, sedangkan mereka yang tinggal di bos lampak mereka biasanya menjual pada bos lampak tempat mereka tinggal tersebut. Rutinitas kerja pemulung di TPA biasanya dimulai sekitar jam 7 atau jam 8 pagi. Dimulai pada saat pekerja mobil pembalik sampah memulai kerja, dan dimulai lagi kurang lebih pukul 13.00 atau pukul 14.00 saat mobil-mobil pengangkut sampah datang membuang sampah baru. Namun dari mobil sampah, sebagian barang pulungan sudah dipilah oleh para kernet mobil pengangkut sampah. Hal ini dilakukan sebagai penghasilan tambahan para kernet dan sopir mobil pengangkut sampah, dengan demikian para pemulung hanya mengais sisasisanya. Ada juga lampak pemulung yang keberadaannya percis di sebelah TPA, hanya dibatasi oleh dinding tembok yang sebagian besar sudah jebol, rata-rata mereka mempunyai anak buah 3 – 5 orang sebagai petugas penyortir. Pemulung yang tidak terikat dengan bos pemulung bebas menjual ke lampak mana saja. Kebebasan pemulung dalam menentukan penjualan hasil pulungan ke lampak mana saja menandakan bahwa pemulung dalam menjalankan kekuasaan tidak
84
dibatasi oleh ikatan antara atasan dengan bawahan. Pada umumnya pemulung seperti ini lebih banyak menjual hasil pulungan kepada lampak kecil12. Lampak kecil biasanya menjual ke lampak besar yang mempunyai akses langsung ke pabrik pengolahan. Ada juga lampak yang mempunyai mesin penghancur plastik. Pemulung bebas masuk ke TPA, tidak ada batasan (artinya untuk pemulung yang sudah ada sekarang ini) yang penting dia mau mencari rejeki di TPA. Harga jual di lampak biasanya ditentukan oleh harga pabrik.
Harga pulungan juga
tergantung pada jenisnya. Jika barang pulungan sudah dipilah dan dibersihkan biasanya lebih mahal daripada barang pulungan yang masih campuran dan belum dibersihkan. Contoh botol aqua sekilo seharga Rp. 1.200,- harga mengikuti harga di pabrik. Kalau harga pabrik turun biasanya tidak langsung dijual, menunggu harga naik. Kesepakatan harga antar lampak biasanya sama, kalaupun ada perbedaan biasanya perbedaan tidak besar sekitar Rp. 100–200 saja. Harga pabrik dapat diketahui dari lampak besar karena biasanya mereka yang lebih tahu tentang informasi harga pabrik. Kenaikan harga biasanya selalu berubah. Namun kenaikannya juga tidak besar berkisar antara Rp. 100-200. Informan memiliki pemulung tetap yang menjual pulungannya sebanyak 10 orang termasuk penyortir. Omset Informan dengan modal awal 5 jt s.d. 7 jt per bulan bisa menghasilkan keuntungan 3 s.d. 4 jt tergantung dari modal. Modal besar bisa mencapai keuntungan lebih besar. Mengenai retribusi untuk pihak Kelurahan
atau RT/RW untuk retribusi resmi informan mengaku tidak ada
retribusi. Namun menurutnya beberapa lampak besar pasti memberikan retribusi, sedangkan terkait uang keamanan atau semacam uang rokok diberikan secara sukarela kepada petugas keamanan di TPA.
12
Lampak kecil menurut Pak Prm (sebagai aktor/pelaku yang membeli sampah dari pemulung) yaitu lampak yang tidak punya pemulung yang menetap (tidak tinggal bersamanya), jumlah pemulung yang setor hasil pulungan dibawah 10 orang, jumlah penyortir antara 3-5 orang termasuk keluarganya, modalnya kecil dan terbatas antara 5 – 7 juta, tidak punya akses menjual ke pabrik, tidak punya akses informasi harga dari pabrik, tidak punya mesin penghancur plastik. Lampak besar umumnya kebalikan dari lampak kecil, yaitu rata-rata mereka punya anak buah/pemulung yang tinggal bersamanya, jumlah pemulung yang tinggal dan menyetor bisa lebih dari 10 orang, jumlah penyortir bisa lebih dari 5 orang termasuk keluarganya, modal yang dimiliki bisa lebih dari 50 juta, punya akses menjual ke pabrik, punya akses informasi harga dari pabrik kecuali untuk mesin penghancur plastik, ada juga lampak besar yang tidak memiliki mesin penghancur plastik.
85
Relasi Kuasa antara Pemulung dengan Lampak Pemulung Pada hubungan-hubungan sosial di lapangan pengelolaan sampah, di mana kekuasaan dijabarkan oleh masing-masing aktor, bahwa hubungan-hubungan kekuasaan (antar aktor) dapat bersifat produktif (melahirkan kebersihan) tetapi juga dapat bersifat destruktif (membuat kondisi persampahan bertambah parah), hal ini bisa jadi disebabkan oleh aneka hubungan-hubungan kekuasaan antar aktor yang cukup rumit dan bersimpang siur, tidak stabil dan berubah-ubah, sesuai kepentingan masing-masing pihak atau aktor untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Di lain pihak, dengan semakin banyaknya sampah yang masuk ke TPA, semakin banyak pula warga atau anggota masyarakat terutama yang tinggal berdekatan atau yang berbatasan langsung dengan lokasi TPA, mengambil pilihan menjadi pemulung. Mereka mengambil, memilih, dan mengumpulkan barangbarang yang masih memiliki nilai ekonomi dari sampah-sampah yang datang setiap hari. Ratusan orang laki-laki, perempuan, dan juga anak-anak mereka dari kampung sebelah atau RT terdekat di Bulak Barat, Bulak Timur, Benda Barat, Blok Rambutan dan Pasir Putih, kini bekerja secara tetap atau sampingan sebagai pemulung, mencari barang-barang yang masih memiliki nilai guna atau nilai jual. Barang-barang itu dalam komunitas pemulung di sini diberi nama mainan/barang pulungan, dan mainan inilah yang dijual kepada lampak atau bos lampak atau pengusaha atau pengepul yang mendirikan lampak-lampak di sekitar TPA. Dalam situasi di mana lapangan pekerjaan formal sangat langka dan di mana-mana juga terdapat pengangguran serta terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), maka pekerjaan memulung ini dirasa sangat membantu ekonomi rumahtangga. Sebab, setiap hari para pemulung bisa menjual barang-barang hasil pulungannya (mainan) kepada lampak-lampak yang ada dan dibayar secara tunai (langsung bisa di uangkan). Dengan demikian maka setiap hari mereka dapat membawa pulang sejumlah uang yang bisa dipergunakan untuk menutup kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Seorang pemulung mengakui dapat membawa pulang uang bersih (netto) antara Rp 20.000 sampai Rp 40.000 setiap hari dari memulung. Istimewanya lagi mereka tidak keluar ongkos transportasi maupun uang makan karena jarak rumah
86
dan tempat usaha sangat dekat, dapat ditempuh dengan jalan kaki. Oleh sebab itu, tidak mengherankan, kalau para pemulung kemudian bersikap memberi dukungan bagi kelangsungan TPA. Mereka dapat merasakan sendiri manfaat ekonomi dari TPA dan takut kehilangan penghasilan kalau kelangsungan TPA tak bisa dipertahankan.
Keluhan-keluhan
mengenai
kesehatan,
seperti
banyak
dipublikasikan, kurang terdengar dari kelompok ini. Begitupun keluhan mengenai bau, sepertinya tidak ditanggapi, seperti penuturan salah satu pemulung Bpk Jml ; “….kerja jadi pemulung gampang yang penting kuat dan tahan bau…..” Sisi negatif dari kehadiran TPA ini tidak terlalu digubris oleh mereka. Mereka lebih melihat sisi positif kehadiran TPA, yaitu membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk sekitar. Bahkan juga bagi para pemulung pendatang yang bergabung dengan para lampak dan para pemulung yang independen mempunyai bedeng sendiri. Relasi kuasa antara pemulung dengan lampak adalah suatu relasi yang saling
menguntungkan.
Maka
disini
telah
terjadi
relasi
kuasa
yang
memperlihatkan tumbuhnya kesadaran bersama yang melihat kekuasaan sebagai sebuah kompleks strategi yang ada pada semua pihak sehingga usaha mewujudkan kekuasaan harus ditempuh melalui proses membangun kolaborasi (Maring, 2010). Lampak membutuhkan pemulung sebagai pencari barang dan lampak sebagai pengepul barang yang nantinya akan dijual ke lampak besar atau langsung ke pabrik pengolahan. Dalam hubungannya para pemulung yang tinggal di lampak, mereka menganggap bahwa lampak yang mereka tempati dan tempat mereka menjual hasil pulungan/pungutannya dianggap sebagai bos, dalam hal ini berarti kekuasaan bos sangat besar atas para pemulung, sehingga muncul istilah hubungan antara anak buah dengan bos dimana anak buah harus tunduk terhadap bos yang berkuasa dalam menentukan harga barang hasil pulungan. Disini bisa kita tafsirkan bahwa bos pemulung/lampak menjalankan kekuasaan dengan menetapkan ketentuan harga barang pulungan sesuai kriteria yang dia tentukan. Para pemulung (terutama yang tinggal bersama dengan bos lampak) menerima harga apa yang telah ditetapkan oleh bos mereka. Sebagaimana penuturan salah satu pemulung Bpk Isk ; “…..yaaa kita kan udah dikasih tahu sama bos harga barang pulungan kita misal harga paling mahal besi tembaga murni, perkilo Rp 50.000,
87
tembaga bakar Rp 30.000, dan alumunium Rp 8.000. kalau plastik, seperti gelas Rp 5.000, botol Rp 3.500 per kg. aqua atau botol plastik yang warnanya bening itu harganya tinggi dibanding yang warna hitam atau hijau, kertas juga kalau kertas boncos per kg Rp 400,- dan paling mahal kertas putih Rp 1.100,- jadi kalau mau dapat uang banyak yaaa kita banyakin cari yang seperti itu….”. Memang prioritas pemulung mencari barang pulungan yang harganya tinggi seperti besi tembaga murni, alumunium, botol plastik aqua, dan botol lainnya yang berwarna bening, tapi karena banyak pesaing terkadang susah cari botol plastik warna bening, jadinya mereka sembarang mulung barang-barang dari plastik yang penting laku dijual. Terkecuali bagi para pemulung yang tidak terikat oleh salah satu bos lampak, mereka dapat menentukan dimana mereka akan menjual barang pulungannya sesuai dengan harga yang telah disepakati, disini
berarti para
pemulung menjalankan kekuasaan dengan menentukan sendiri ke tempat mana mereka akan menjual barang pulungannya, tentunya yang memberikan harga lebih tinggi. Namun demikian masing-masing lampak telah mempunyai kesepakatan harga yang sama, walaupun demikian ada saja lampak yang memematok harga yang berbeda.
Relasi Kuasa antara Lampak dengan Instansi Pemerintah Keberadaan lampak-lampak di sekitar TPA Cipayung berada dilokasi lahan-lahan tanah kosong dan juga di rumah-rumah yang disewakan pemiliknya. Ada 9 lampak yang terdata di TPA Cipayung 5 diantaranya berada di lahan kosong yang disewakan oleh pemiliknya kepada bos lampak. Besaran biaya sewa tergantung luas lahannya. Berkisar antara Rp.6.000.000,- s.d. Rp.10.000.000,per tahun. Lampak-lampak pemulung berada di lokasi tanah kosong hanya dibangun semacam bedeng dari bahan-bahan sederhana seperti atap dari seng bekas. Dinding dari tripleks bekas, untuk tempat tinggal bedeng disekat dengan kardus ataupun triplek untuk tempat tinggal para pemulung dan para pekerja pemilah barang. Keberadaan lampak pemulung ini secara resmi diketahui oleh Lurah setempat melalui laporan dari RT setempat. Dengan demikian keberadaan
88
Lampak pemulung walapun secara legal tidak memiliki izin resmi mendirikan bangunan, keberadaanya diketahui oleh pemerintah setempat. Apalagi lampaklampak yang menempati rumah resmi penduduk yang disewa sebagai tempat lampak atau bahkan ada juga pemilik rumah tersebut adalah juga sebagai bos lampak, seperti contoh pada Bpk. Parman Ketua RT. 01, meskipun yang aktif berperan sebagai bos lampak adalah istrinya. Untuk legalitas wilayah sebagian besar lampak melapor pada tingkat RT/RW, sedangkan untuk urusan izin usaha atau surat keterangan ada yang mengurus sampai tingkat keluarahan/kecamatan. Namun informan sendiri sebagai lampak tidak mempunyai izin atau keterangan usaha lampak. Informan tidak mengetahui untuk lampak yang besar apakah mempunyai izin usaha atau tidak, informan tidak tahu. Untuk lampak kecil tidak ada izin yang penting ada laporan ke RT/RW. Antara lampak dengan pemerintah sejauh tidak menimbulkan konflik diantara warga pemukim, hubungan antara lampak dengan pemerintah berjalan dengan baik. Apalagi bahwa bos lampak melakukan interaksi dan berkomunikasi dengan aparat pemerintah terutama RT/RW, sehingga terjalin komunikasi yang harmonis. Pernah suatu ketika Kepala UPTD TPA Cipayung mengumpulkan 9 lampak yang beroperasi di area TPA, dalam rangka menjalin silaturahmi dan mengajak mereka untuk terlibat dalam upaya-upaya pengurangan volume sampah di TPA. Dalam pertemuan silaturahmi terjadi semacam dialog dengan para lampak yang daerah operasinya di area TPA Cipayung. Ka. UPTD TPA sempat menanyakan kepada para lampak mengenai
jenis sampah apa saja yang
sebenarnya bisa diambil oleh Lampak, agar volume sampah berkurang dari TPA Cipayung. Sebagian besar lampak menjawab bahwa banyak jenis sampah yang bisa diambil, mulai dari sampah plastic (boneka plastik, mainan anak, botol aqua, tutup botol, plastic keresek, dsb), berbagai kaleng, kardus, kertas, besi dan logam lainnya, aki, wadah oli, batang kayu, dsb. Bahkan ada juga lampak yang sampai menyebutkan harganya, diantaranya harga paling mahal jenis besi tembaga murni, perkilo Rp 50.000, tembaga bakar Rp 30.000, dan alumunium Rp 8.000. Selanjutnya jenis plastik, seperti gelas Rp 5.000, botol Rp 3.500 per kg. Untuk kertas dan kardus dibedakan ada kertas koran, kertas semen, kertas putih, majalah,
89
dan kertas boncos. Masing-masing harganya berbeda. Yang paling murah kertas boncos per kg Rp 400,- dan paling mahal kertas putih Rp 1.100,Sebenarmya, cukup banyak sampah yang bisa diambil oleh pemulung di area TPA Cipayung. Ka. UPTD menyarankan kepada para lampak agar mengerahkan para pemulung lebih banyak lagi untuk mengambil sampah tersebut, dengan pemikiran kalau banyak sampah yang diambil pemulung dari TPA, maka otomatis sampah di TPA akan berkurang banyak, dengan demikian akan memperpanjang usia TPA karena volume sampah berkurang banyak, sehingga kekhawatiran Pemkot bahwa TPA Cipayung akan overload (seperti tertuang di pendahuluan), bisa diminimalisir. Untuk mendapatkan sampah yang banyak, maka lampak harus mendatangkan pemulung dalam jumlah besar, kesulitannya adalah untuk mendatangkan pemulung dari luar Depok, ternyata tidak diperbolehkan oleh Forum, dalam hal ini oleh FKMP-TPAS yang pada saat itu diketuai oleh GNN. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kepala UPTD TPA :
“Lebih banyak sampah yang diangkut dari TPA ini, akan lebih bagus, soalnya bisa nambah panjang usia TPA, Lampak tinggal ngerahkan pemulung untuk ngambil sampah itu, tapi yaa itulah, nggak boleh sama forum kalau banyak pemulung yang berasal dari luar Depok yang masuk ke area TPA” Disatu pihak Ka. UPTD menginginkan volume sampah di TPA bisa berkurang dengan cara diangkut sebanyak mungkin sampah yang ada oleh para pemulung, tapi di lain pihak Ka. UPTD tidak gegabah untuk mengabaikan permintaan Forum Masyarakat. Apabila ditinjau dari hubungan/relasi kekuasaan yang berjalan, maka relasi yang terjadi antara lampak dengan Pemerintah mengarah pada hubungan kekuasaan yang memperlihatkan tumbuhnya kesadaran bersama yang melihat kekuasaan sebagai sebuah kompleks strategi yang ada pada semua pihak sehingga usaha mewujudkan kekuasaan harus ditempuh melalui proses membangun kolaborasi (Maring, 2010).
90
Relasi Kuasa antara Instansi Pemerintah dengan Forum Masyarakat FKMP-TPAS
(Forum
Komunikasi
Masyarakat
Pemantau
Tempat
Pembuangan Akhir Sampah) yang sering dipanggil dengan nama singkat “Forum”, dibentuk pada sekitar bulan Juni 2004. Anggota forum terdiri dari masyarakat sekitar TPA dengan tugas utama adalah memantau operasionalisasi TPA agar sesuai dengan standard operasional yang telah ditetapkan. Forum ini telah berperan banyak dalam menyuarakan kepentingan masyarakat. Forum dibentuk sebagai wadah aspirasi masyarakat terhadap pemerintahan. Seperti yang disampaikan oleh Bpk Ynu sebagai Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Pemantau Tempat Pembuangan Akhir Sampah ; “Fungsi Forum adalah menjembatani keluh kesah masyarakat sekitar TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Sampah untuk disampaikan kepada Dinas terkait seperti Kepala TPA dan DKP (Dinas Kebersihan dan Pertamanan), bisa disampaikan melalui surat dan juga melalui musyawarah “. Keinginan warga masyarakat yang disampaikan melalui Forum tentu tidak semuanya dapat direalisasikan. Sebenarnya keinginan masyarakat sekitar TPA adalah agar dalam pengelolaan sampah tidak menimbulkan bau dan tidak mencemari lingkungan sekitar namun sampai saat ini bau tetap saja tidak bisa dihilangkan, terutama saat pembalikan sampah, seperti yang diungkapkan oleh Bpk Ynu ; “Bau dan lalat masih saja tidak bisa hilang, kalau saja bisa menghilangkan bau dan lalat warga setuju saja ada pengelolaan sampah, tapi tetep saja bau.” Ada wacana juga untuk menutup TPA, namun menurut forum untuk menutup TPA tidak mudah, karena jika TPA ditutup akan berdampak banyak. Hal ini karena TPA telah banyak menghidupi berbagai pihak seperti para sopir dan kernet truk sampah, para pemulung dan lain-lain yang mencari penghidupan dari memulung barang-barang yang bisa dijual. Dari TPA juga berpeluang mengurangi pengangguran. Jadi peran Forum yang berfungsi sebagai perantara warga dengan Instansi terkait tidak frontal melakukan tindakan yang ekstrim seperti yang pernah dilakukan oleh Ketua Forum terdahulu (Pak Gnn), yang mengerahkan warga untuk memblokir jalan agar truk sampah tidak membuang sampahnya di TPA Cipayung.
91
Usaha yang dilakukan oleh instansi terkait dalam hal ini pihak TPA dan DKP melakukan pendekatan kepada Ketua Forum yang terdahulu, pendekatan personal dengan memberikan peran yang lebih penting untuk kepentingan TPA. Ketua Forum terdahulu diberi jabatan sebagai Koordinator Pengawas TPA. Dengan dijadikannya Ketua Forum sebagai Koordinator Pengawas TPA, gejolak warga untuk memblokir jalan mereda, operasional TPA berjalan normal kembali. Namun dengan adanya kondisi ini Ketua Forum yang lama mengundurkan diri dari Jabatannya sebagai Ketua Forum dan digantikan oleh Bpk Ynu. Menurut Bpk Ynu jika orang Forum berada di pihak TPA maka akan sulit obyektif dalam memperjuangkan visi dan misi Forum. Forum juga sangat menentang adanya wacana untuk perluasan TPA. Dikatakan oleh Ketua Forum bahwa perluasan boleh dilakukan tapi tidak untuk pembuangan sampah. Walaupun warga pemilik tanah sudah setuju tanahnya dibeli untuk perluasan, namun Forum tetap menolak jika tujuan perluasan untuk menambah tempat pembuangan sampah. DKP pernah menyampaikan bahwa untuk pengolahan sampah agar tidak menimbulkan bau maka akan diterapkan sistem urug. Namun Ketua forum beralasan jikapun sistem urug dilakukan tetap saja ada dampak dari pengolahan sampah terutama saat musim hujan, dimana air resapannya akan juga dapat merembes pada sumur-sumur warga. Sumur warga akan tercemar dari resapan sampah. Warga sangat khawatir jika sumur yang biasa mereka gunakan untuk keperluan rumah tangga seperti untuk mandi, cuci dan memasak tercemar oleh resapan sampah. Dari pengamatan penulis, wacana perluasan TPA belum dapat terealisasikan. Menurut Ketua Forum untuk melakukan perluasan seharusnya pihak terkait melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada warga tentang baik buruknya dampak dari perluasan TPA di Cipayung. Forum sangat berpengaruh terhadap instansi UPT TPA – DKP dalam melaksanakan kebijakannya. Di sisi lain, pihak terkait dalam hal ini Pengelola TPA pun tidak gegabah dalam melaksanakan operasionalnya. Walapun pihak TPA mempunyai wewenang dalam pengelolaan sampah, tapi tidak sepenuhnya bisa melaksanakan wewenang tersebut jika tidak ada persetujuan dari Forum dimana Forum adalah wakil dari warga yang kegiatannya telah didukung oleh warga.
92
Apabila merujuk ke belakang, maka tak dapat dihindari kehadiran TPA di kelurahan Cipayung ini telah menimbulkan polarisasi atau keretakan sosial di masyarakat Cipayung (Fikarwin, 2008). Walaupun di antara para pihak yang berseberangan pandangan, tidak sampai menimbulkan bentrok fisik namun, sampai kadar tertentu, mereka saling melontarkan kritik tajam, ada yang pro dan ada pula yang kontra pada keberadaan TPA Cipayung. Pihak yang pro pada umumnya memiliki hubungan asosiatif dengan Forum Komunikasi Masyarakat Pemantau Tempat Pembuangan Akhir Sampah (FKMP-TPAS), sedangkan yang kontra memiliki hubungan asosiatif dengan FORMAC (Forum Masyarakat Cipayung). FKMP-TPAS sendiri sebenarnya merupakan organisasi lokal/ setempat yang kehadirannya dulu difasilitasi oleh JWMC (Jabodetabek Waste Management Corporation) dalam rangka menjadikan TPA Cipayung sebagai TPA Percontohan (demonstration landfill) di kawasan Jabodetabek. Sementara FORMAC (Forum Masyarakat Cipayung) sebagai forum yang masih baru, mengingat salah seorang pendirinya adalah merupakan mantan sekretaris FKMP-TPAS yang keluar karena konflik internal, paska pengunduran diri Ketua forum. Namun demikian, meskipun usia FORMAC
lebih muda
(dibentuk tahun 2006), FORMAC mendapat sambutan dari sebagian warga yang berdiam di sepanjang ruas jalan antara Jembatan Serong dan TPA Cipayung, khususnya warga yang tinggal di kampung Blok Rambutan. FORMAC dalam perjuangannya lebih cenderung mengedepankan intelektulitas kaum sekolahan dengan memanfaatkan jalur politik, hukum formal, dan media massa. Tuntutan FORMAC adalah relokasi TPA dan/atau pembuatan jalan khusus untuk TPA tanpa melalui kediaman warga. Tuntutan ini diajukan 2 bulan setelah Walikota hasil pilkada langsung yang melahirkan sengketa itu dilantik. Sambil memanfaatkan momentum penyesuaian diri paska pelantikan Walikota yang baru memenangi PK (Peninjauan Kembali) di Mahkamah Agung, FORMAC mendatangi KOMNAS HAM untuk kali pertama menyatakan aspirasinya. Salah seorang pimpinan FORMAC mengatakan bahwa pihaknya sudah melaporkan keberatan mereka terhadap keberadaan TPA Sampah di Cipayung ke Komnas HAM. Pada bulan Maret 2006 FORMAC bersama sekitar 30 atau 40 orang pendukungnya dari kampung Blok Rambutan bergerak ke gedung DPRD Depok
93
untuk
menyampaikan protes. Salah satu pimpinan teras FORMAC, Bpk Str
mengatakan ;
“FORMAC minta DPRD dan Pemkot Depok segera menutup dan memindahkan TPAS Cipayung ke tempat lain. Jika dalam tujuh hari tak ditangani juga, kami akan mensomasi DPRD dan Pemkot, apabila somasi kami tak juga ditanggapi, FORMAC akan class action secara besarbesaran," Komisi C DPRD Depok tampaknya mau segera menanggapi protes FORMAC dengan cara akan memanggil mitra kerjanya di eksekutif. Salah seorang anggota Komisi C, Babay Suhaimi, menyatakan dukungannya pada tuntutan FORMAC. Anggota dewan dari Partai Golkar dan sekaligus warga Cipayung ini menilai layak TPA Cipayung direlokasi apabila Pemkot tidak dapat merealisasikan apa yang dituntut oleh FORMAC sampai akhir tahun 2006. Adapun tuntutan mereka (dalam formulasi Babay Suhaimi) adalah : (1). Perbaikan sistem pengelolaan sampah; (2). Membangun jalan alternative lalulintas truk pengangkut sampah dan pengalokasian biaya sosial berupa penataan lingkungan sekitar TPA, dan; (3). Penyediaan sarana kesehatan dan sarana sosial keagamaan. Setelah tuntutannya tidak dapat dipenuhi dalam tempo 7 hari oleh Pemerintah Kota Depok, FORMAC kemudian melancarkan somasi terhadap Pemkot dan DPRD Depok. Pada tanggal 20 Maret 2006 tepat seminggu sesudah tuntutan diajukan ke DPRD Depok, FORMAC mendaftarkan somasinya melalui Pengadilan Negeri Depok (Kompas, 21 Maret 2006). Tetapi sejak tanggal itu hingga sekarang, berita tentang proses somasi sudah tidak terdengar lagi, dan tak diketahui sejauh mana hasilnya. Rupanya FORMAC tidak jadi melakukan class action, karena tuntutan mereka sudah dipenuhi oleh Pemkot Depok, diantaranya : sistem pengelolaan sampah sudah mulai ditata dengan baik, jalan alternatif armada truk sampah yang tidak melewati sebagian besar rumah warga dan fasilitas publik (Masjid, Sekolah dan Puskesmas) sudah dibuat oleh Pemkot Depok, tersedianya sarana kesehatan (ada klinik gratis yang khusus buat berobat warga di kantor TPA Cipayung). Pada kenyataan terakhir saat ini, malahan Ketua FORMAC (Bpk Str) telah menjabat sebagai koordinator UPS (Unit Pengelola
94
Sampah) yang berlokasi di pintu utama jalan alternatif lalu lintas truk pengangkut sampah, masih termasuk dalam kawasan TPA Cipayung. Warga masyarakat sekitar TPA Cipayung, lebih khusus lagi mereka yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan TPA, tidaklah tahu persis sejauh mana dan dengan pola bagaimana FORMAC menjalankan tuntutannya. Seorang staf di kantor TPA yang tinggal, lahir dan besar di Cipayung, Bpk Rmw mengatakan seperti berikut ; “Sebenarnya protes orang-orang yang tidak setuju pada TPA itu hanya ada di Koran, dalam kenyataan sehari-hari penolakan terhadap aktivitas TPA itu tidak kelihatan sama sekali, wartawan-lah yang membesarbesarkan kejadian itu dalam koran untuk kepentingan politik tokoh tertentu”. Dia memang mengakui terdapat orang-orang kritis di kampungnya (Blok Rambutan) tapi mereka, tambahnya, tetap proporsional dalam bersikap karena masih mempertimbangkan sisi positif kehadiran TPA terhadap ekonomi masyarakat setempat, terutama yang menjadi pemulung, awak armada (kernet dan sopir) serta pesapon (tukang sapu). Para sopir dan kernet truk pengangkut sampah, menurut Ka. Seksi Operasional Pengangkutan dan Pengelolaan Sampah DKP (Bpk Enc), hampir seluruhnya direkrut dari warga kampung di keluruhan Cipayung. Hal ini merupakan bagian dari kebijakan DKP, yang tujuannya antara lain untuk memperbanyak warga setempat yang terlibat dalam aktivitas TPA dan mengambil manfaat ekonomi dari kegiatan pengelolaan sampah di sana. Kebijakan ini, selain dimaksudkan untuk memperlihatkan manfaat TPA bagi masyarakat setempat, juga sebagai cara persuasif mencegah terjadinya akumulasi penolakan dari warga yang tidak memperoleh manfaat selain daripada merasakan bau busuk yang menyengat dan lalat yang berseliweran terutama waktu hujan akibat keberadaan TPA di daerah mereka. Sopir dan kernet ini, di samping para petugas keamanan, para tukang sapu (pesapon), serta beberapa staf di kantor TPA, misalnya Bpk Mnd, yang mantan Kepala Desa dan sekretaris Desa Cipayung, serta Rmw dan Ibu Hdj yang semuanya warga Cipayung, tampaknya diharapkan oleh Pemerintah agar mereka mampu memberi perlawanan atau menggunakan pengaruhnya untuk mencegah
95
dan atau mengatasi gejolak yang mungkin timbul di masyarakat karena persoalan sampah. Langkah antisipatif macam ini sengaja diambil oleh DKP atau Pemkot Depok karena resistensi terhadap keberadaan TPA di masyarakat setempat memang ada. Pemerintah, dalam hal ini DKP, terus berusaha meredam perlawanan itu disamping melalui strategi perekrutan di atas juga melakukan manuver dengan cara memotivasi warga setempat terlibat dalam Forum Komunikasi Masyarakat Pemerhati TPAS (FKMP-TPAS) yang dikelola oleh warga setempat. Forum ini, selain bertugas memantau aktivitas dan keberadaan TPA, kelihatannya cukup ampuh menjalankan fungsinya yang lain. Terbukti waktu FORMAC (Forum Masyarakat Cipayung) menyuarakan penolakannya terhadap TPA atas alasan kesehatan (lalat dan penyakit) dan alasan lingkungan (bau dan bising),
maka
FKMP-TPA
mengkonter
penolakan
tersebut
dengan
mensosialisasikan kepada anggotanya wacana “TPA telah memenuhi kepentingan lapangan kerja 400-an orang asli setempat” serta isu lainnya seperti “ketidakpedulian FORMAC yang beranggota pendatang baru itu atas lapangan kerja orang setempat”. Maka sebenarnya disini telah terjadi kontestasi kekuasaan antara FKMP-TPAS dengan FORMAC. Apabila kita melihat fakta-fakta sosial yang terjadi di atas, maka relasi kuasa yang terjadi adalah perlawanan/resistensi. karena memang resistensi terhadap keberadaan TPA di masyarakat setempat memang ada.
Hubungan
kekuasaan yang memperlihatkan bahwa masing-masing pihak berkonsentrasi pada pencapaian tujuan masing-masing yang pada akhirnya menghasilkan hubungan perlawanan (resistance). Basis kekuasaan para pihak yang terkait memang terlihat disini, FORMAC mengakui telah mendapat amanat dari komunitas warga Cipayung, terutama sebagian besar warga yang berdiam di sepanjang ruas jalan antara Jembatan Serong dan TPA Cipayung, khususnya warga yang tinggal di kampung Blok Rambutan (sepanjang jalan dari jembatan serong arah TPA yang dilewati truk sampah), sehingga mereka menganggap sah atas perjuangannya untuk menutup TPA karena telah diberi mandat oleh warga Cipayung, yang mayoritas pendatang, jadi klaim mereka mengacu pada basis territorial. FKMPTPAS (Forum Komunikasi Masyarakat Pemerhati – Tempat Pembuangan Akhir
96
Sampah) yang mayoritas anggotanya adalah penduduk asli, sehingga klaim basis kekuasaan mereka adalah klaim sebagai penduduk asli sekitar TPA dan melakukan kerjasama dengan pemerintah, maka hubungan kekuasaan mengarah pada kolaborasi antara FKMP-TPAS dengan Pemerintah. Tetapi dilain pihak, ketika ketua Forum terdahulu dan masih diikuti oleh penggantinya (FKMP-TPAS) melarang Ka. UPTD untuk mendatangkan pemulung dari luar, mereka (Forum) beranggapan bahwa mereka adalah penduduk asli, banyak warga mereka yang juga mengais sampah/jadi pemulung di TPA, dan ini ada kaitannya dengan ekonomi, menambah penghasilan dari usaha sebagai pemulung, sehingga upaya mendatangkan uang/kesejahteraan warga mereka (yang mayoritas berada di Bulak Barat, Benda Barat dan sebagian kecil di Blok Rambutan dan Pasir Putih) harus diutamakan. Alasan mereka adalah bahwa mereka sebagai penduduk asli warga Cipayung, bukan pendatang, dahulunya tanah ini milik kakek buyut mereka, termasuk menghibahkan jalan yang sekarang dipakai untuk lalu lintas truk menuju TPA, sehingga mereka kemudian beranggapan punya hak untuk melarang pemulung dari luar Depok. Ini juga bisa dikategorikan sebagai basis kekuasaan FKMP-TPAS yaitu klaim sebagai penduduk asli untuk kemudian melakukan negosiasi dengan pemerintah.
97
5.1.
Relasi Kuasa pada Tataran Kebijakan Pengelolaan Sampah Kebijakan pengelolaan sampah di Kota Depok telah dituangkan dalam
PERDA (Peraturan Daerah) Kota Depok No. 06 Tahun 2010 tentang Perubahan Peraturan Daerah Kota Depok No. 8 tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD), instansi yang berwenang dalam pengelolaan kebersihan/persampahan adalah Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok atau disingkat DKP Kota Depok. DKP Kota Depok merupakan unsur pelaksana teknis di bawah Walikota yang berfungsi sebagai pelaksana pelayanan kebersihan (Operator) juga berfungsi melaksanakan tugas pengaturan/pengendalian (regulator). Struktur organisasi DKP Kota Depok terdiri dari Kepala Dinas dibantu 3 (tiga) Kepala Bidang, 1 (satu) Sekretariat dan 3 (tiga) Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) yang salah satunya adalah UPTD TPAS Cipayung. Produk hukum yang terkait dengan retribusi persampahan di Kota Depok adalah Peraturan Daerah Kota Depok No. 05 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan. Dalam Perda ini diatur beberapa hal pokok, antara lain obyek dan subyek retribusi berdasarkan golongan retribusi dengan cara mengukur tingkat penggunaan jasa, prinsip, dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif, wilayah pemungutan, masa retribusi, tata cara pemungutan, sanksi administrasi, tata cara pembiayaan, tata cara penagihan dan ketentuan pidana bagi pihak yang melakukan pelanggaran. Sebagai implementasi kebijakan tersebut, beberapa OPD (Organisasi Perangkat Daerah) atau DIBALEKA (Dinas, Badan, Lembaga, dan Kantor) telah diamanatkan untuk melaksanakan pengelolaan sampah sesuai dengan TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) masing-masing. Pengelolaan sampah di kota Depok telah menciptakan hubungan kekuasaan di antara beberapa instansi atau dinas di dalam lingkungan Pemerintah Kota Depok. Perbedaan-perbedaan kekuatan antar instansi dalam berelasi satu sama lain telah menimbulkan dinamika tersendiri. Tarik ulur kepentingan, terutama kepentingan yang menyangkut perolehan retribusi sebagai akibat dari penyelenggaraan misi meningkatkan PAD menyusul penerapan kebijakan otonomi daerah, dan adanya peluang tiap-tiap instansi mengelola dan mendapatkan manfaat ekonomi dari kegiatan menarik retribusi menyusul diterapkannya “sistem target” dalam pengumpulan retribusi, mewarnai
98
hubungan antar instansi tersebut. Hal ini kemudian diperkuat lagi oleh tindakan individu (sebagai aktor atau agen) yang menjalankan tugas masing-masing instansi untuk mendapatkan manfaaat ekonomi ekstra dari tugas-tugas yang dijalankannya. Sabagai salah satu OPD dalam lapangan kebersihan Kota Depok, Dinas Kebersihan
dan
Pertamanan
(DKP),
dapat
dikatakan
sangat
menonjol
dibandingkan OPD-OPD yang lain yang juga ikut mengelola sampah. Lebih menonjol dibandingkan Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air (DIBIMASDA) yang hanya mengurus kebersihan beberapa aliran sungai dan saluran air dalam kota; Dinas Koperasi UMKM dan Pasar (DKUP)
yang hanya mengurus
kebersihan 6 atau 7 buah pasar tradisional; DISHUB yang hanya mengurus kebersihan 1 buah terminal bus. Karena itu DKP dalam hal ini Bidang Kebersihannya dapat dikatakan berada di barisan terdepan dalam upaya menanggulangi sampah warga Kota Depok. Mereka paling lengkap dalam sarana, peralatan, serta personil sehingga pelayanannya mampu menjangkau wilayah yang demikian luas, tidak ada lembaga lain yang mampu menyamai kekuatan ini. DKP memiliki dan menguasai pengelolaan sebuah Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) yang tidak dimiliki oleh instansi manapun, yaitu sebuah areal tanah seluas 11,20 hektar. Lokasinya terletak di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Kota Depok. Ke tempat inilah seluruh armada truk pengangkut sampah milik DKP membuang sampah yang diangkutnya dari TPS (Tempat Pembuangan Sementara), Depo Peralihan, maupun dari bak sampah yang terdapat di perumahan-perumahan. TPA Cipayung ini sendiri telah mengalami beberapa kali perluasan sejak pertama kali dibuka tahun 1984, seluas 2 hektar. Kemudian melalui proses pembebasan lahan pada awal tahun 2001, areal TPA Cipayung ditambah 2,5 ha, dan pada Juni 2001 (2 hektar), di penghujung 2001 dibebaskan lagi (2,6 hektar), terakhir dilakukan penambahan pada tahun 2009 seluas 2,10 ha, sehingga berjumlah total menjadi 11,20 ha. (Laporan : Kajian Rencana Perluasan Areal TPA Cipayung – DKP 2011.) TPA Cipayung pernah direhabilitasi dengan dana berasal dari Asian Development Bank, berlangsung sejak Mei 2001 hingga 11 Maret 2003. Tujuan rehabilitasi ini adalah agar terpenuhi secara teknis syarat-syarat sebuah TPA yang
99
mampu mengemban sistem sanitary landfill (sebuah sistem yang dirancang untuk mengantisipasi isu pencemaran lingkungan yang kerap tergelar dalam diskursus global lingkungan hidup). Di sana ada kolam pembuangan sampah yang di dasarnya telah tertanam jaringan pipa-pipa yang tertutup serat membrane guna menampung dan mengalirkan rembesan air lindi dari sampah yang ditimbun di atasnya ke sebuah kolam penampungan, tempat air lindi kelak diproses hingga mencapai standar mutu tertentu, sebelum dilepaskan ke sungai agar tidak mencemari lingkungan hidup. Bahkan, di lokasi ini juga terpasang instalasi pemantau eksistensi gas metan yang kelak setelah jumlahnya memadai akan diekstraksi untuk pembangkit tenaga listrik. Masih dalam lingkungan areal TPA yang dikuasai DKP ini, berdiri beberapa fasilitas lain seperti hanggar yang berfungsi sebagai bengkel bagi seluruh peralatan mekanis yang dimiliki oleh DKP. Di bengkel ini alat-alat berat seperti shovel (alat berat untuk mengangkut sampah, bisa besar/kecil, roda memakai ban karet), bulldozer (sama dengan shovel hanya roda dari besi), truk , kontainer dan lain-lain direparasi. Tempat parkir dan tempat cuci kendaraan juga tersedia, di samping pos keamanan, pos penimbangan, gudang dan kantor. Dapat dibayangkan betapa besarnya investasi ditanamkan untuk semua sarana dan fasilitas TPA ini. Tak mengherankan bila instansi lain, DIBIMASDA (Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air) atau DKUP (Dinas Koperasi, UMKM dan Pasar), menggantungkan pembuangan sampah yang diangkutnya ke TPA Cipayung yang dikelola oleh DKP. Fasilitas lain yang dimiliki DKP di luar TPA adalah Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) sebanyak 113 unit dan Depo Pengalihan sebanyak 3 unit, tersebar di seluruh kecamatan. Fasilitas-fasilitas ini dibangun dan dikuasai oleh DKP. Walaupun akhir-akhir ini DKP tidak dapat menyiapkan lahan bagi TPS baru, tetapi bangunan fisik TPS baru itu disiapkan oleh DKP. Untuk TPS yang disiapkan bersama antara DKP dan warga, aturan pemanfaatannya diawasi bersama oleh warga dan DKP (aturan main dikonstruksi bersama). Inti aturannya sama seperti TPS atau Depo yang hanya dikuasai DKP sendiri, bahwa ; penggunaan TPS adalah terbatas untuk kelompok warga lingkungan tertentu saja. Bisa merupakan kelompok warga se- RT, beberapa RT atau se-RW atau beberapa
100
RW saja. Warga di luar batas-batas RT atau RW tersebut dilarang/ tidak boleh membuang sampah di TPS tersebut. DKUP tidak tergantung pada DKP dalam hal TPS karena mereka memiliki fasilitas ini. Mereka menempatkan 1 atau 2 kontainer yang berfungsi sebagai TPS di setiap pasar. Kontainer serupa ini dapat langsung diangkat (kalau sudah penuh) oleh truk khusus jenis armroll (truk 6 ban dengan bak bisa ditinggal) secara mekanis tanpa memerlukan alat lain seperti shovel dan sebagainya. Berbeda dengan itu, DISHUB tidak memiliki TPS dan kontainer. Akibatnya mereka tergantung pada kontainer yang dipinjamkan oleh DKP sebagai TPS di terminal. Sementara DIBIMASDA, yang bekerja membersihkan sungai dan saluran air, memilih tidak menggunakan kontainer atau TPS. Gantinya, mereka langsung mengangkat sampah dari dalam saluran air kedalam truk dan mengangkutnya ke tempat pembuangan akhir sampah. Terkadang, di tempat-tempat tertentu, sampah dari dalam saluran air itu hanya diangkat dan kemudian diletakkan di pinggir jalan. Selanjutnya, kekuatan DKP dapat ditinjau dari segi kepemilikan truk (armada) pengangkut sampah. Dalam hal ini DKP juga sangat kuat dibandingkan instansi lain. DKP memiliki armada truk yang jumlahnya terus bertambah. Kini jumlahnya mencapai 59 unit. Sementara truk DKUP hanya 13 unit, truk DIBIMASDA hanya 3 unit. DISHUB malahan tidak mempunyai truk pengangkut sampah sama sekali, sekalipun DISHUB termasuk instansi pengelola sampah khususnya di terminal bus. Akibatnya DISHUB tergantung lagi kepada DKP untuk mengangkut sampah. Dari segi jumlah personil yang dikerahkan untuk mengurus sampah, DKP jauh lebih banyak. DKUP mengerahkan personil untuk mengurus sampah sebanyak 132 pesapon. DIBIMASDA 14 orang satgas banjir; DISHUB sekitar 28 – 30 orang TKTD (Tim Kebersihan Terminal Depok). Tetapi DKP mengerahkan personil lebih dari 400 orang, terdiri dari tukang sapu (pesapon), sopir/kernet, operator/mekanik, petugas keamanan TPA, petugas lapangan TPA, petugas retribusi sampah, dan sebagainya. Konsekuensi dari itu semua, maka perlu penganggaran yang memadai agar kegiatan bisa berjalan sesuai TUPOKSI masing-masing Dinas. Hasil Musrenbang
101
2012, telah menunjukan beberapa usulan OPD yang telah masuk daftar prioritas, terkait pengelolaan persampahan di kota Depok. Beberapa program dan kegiatan prioritas terkait pengelolaan sampah di Kota Depok bisa dilihat pada tabel-tabel seperti berikut dibawah ini :
Tabel 9. Rencana Program dan Kegiatan Prioritas DISHUB, Tahun 2013.
Kode
Program Prioritas dan Kegiatan
Indikator Kinerja Program/Kegiatan
Target Capaian Kinerja
(1)
(2))
(3)
(4)
1
07
1
07
Kerangka Pendanaan Prosentase (Rp) (% ) (5)
Urusan Perhubungan 01
Dinas Perhubungan
VIII
Program Pelayanan Administrasi Perkantoran Penyediaan Jasa Kebersihan dan Keamanan Program Peningkatan Kualitas Data dan Perencanaan Peningkatan Pelaksanaan Penjaringan Aspirasi Masyarakat (Forum OPD) Program Peningkatan Layanan bidang Perhubungan
2 XI 1
XII 1 2 3 4 5 6 7
Tersedianya pendukung administrasi perkantoran Tersedianya Pendukung Administrasi Perkantoran Tersusunnya data sector/urusan Tersusunnya Renja OPD
Meningkatnya cakupan pelayanan perhubungan
Fasilitasi Pelayanan PKB
Meningkatnya Layanan di Bidang Perhubungan Pemeliharaan Peralatan Pengujian Meningkatnya Cakupan Kendaraan Bermotor Pelayanan Bidang Perhubungan Fasilitasi Pelayanan PJU Meningkatnya Cakupan Pelayanan Bidang Perhubungan Penyediaan Jasa Kebersihan Meningkatnya Cakupan Terminal Pelayanan Bidang Perhubungan Pembinaan Operator Angkutan Umum Meningkatnya Cakupan Pelayanan Bidang Perhubungan Pengawalan Pimpinan Daerah Meningkatnya Cakupan Pelayanan Bidang Perhubungan dst… Meningkatnya Cakupan Pelayanan Bidang Perhubungan
Sumber : Bappeda Kota Depok, 2013
100%
64.800.000,00
365 hari
64.800.000
1 dokumen dan 1 RENJA 2014 100%
24.697.600 24.697.600
20%
1.840.155.500
100%
555.568.700
9 Jenis
111.381.800
9 lokasi
250.000.000
12 bulan
386.400.000
2 kali
80.000.000
12 bln
261.960.000
12 hari
194.845.000
102
Tabel 10. Rencana Program dan Kegiatan Prioritas DKP, Tahun 2013.
1
Kode
Program Prioritas dan Kegiatan
Indikator Kinerja Program/Kegiatan
Target Capaian Kinerja
(1)
(2))
(3)
(4)
03
02 I 1
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Program Peningkatan Pengelolaan Jumlah UPS yang berfungsi Persampahan efektif Kegiatan : Pelayanan Pengangkutan Jumlah sampah yang diangkut Sampah
2
Kegiatan : Pelaksanaan Pengolahan Jumlah sampah yang diolah di Sampah Skala Kawasan UPS Kawasan
4
Kegiatan : Pembangunan Hanggar/UPS Kegiatan: Pengadaan Mesin pengolah Sampah Keg:Pengadaan Kendaraan Operasional Kebersihan, Pertamanan, dan TPU Keg: Pengadaan Peralatan Kebersihan, Pertamanan, dan TPU Keg: Penggantian Suku Cadang Kendaraan Operasional Kebersihan
5 6
7 8
9 10 11
7 12
II
1
3 4
Keg. Pemeliharaan rutin berkala kendaraan operasional kebersihan Kegiatan: Pendataan dan pembinaan Pelaku Usaha Persampahan Kegiatan : Lomba Kebersihan dan Lingkungan Hidup
Kegiatan:Pengadaan pakaian kerja lapangan Kegiatan: Komposting Rumahtangga dan gerakan Depok Memilah
Jumlah Bangunan Hanggar UPS
Jumlah Rumah Tangga yang melakukan komposting
Program Peningkatan Pengelolaan Terwujudnya TPA sebagai TPA tempat pengolahan sampah terpadu Kegiatan: Pengelolaan TPA Terkelolanya sampah TPA
(5)
45 UPS
39.448.958.333
34% (1680 m3 dari timbulan sampah 4987 m3) 39 UPS ( 1.140 M3/23% dari timbulan sampah 4.987M3)
14.548.958.333
1 Unit hanggar
1.200.000.000
Jumlah mesin UPS (kapasitas 30 m3 dan 80 m3 per hari) Terpenuhinya kebutuhan 10 arm roll truck (3 kendaraan operasional kebersihan kontainer), 10 kontainer Jumlah peralatan kebersihan 200 GS, 13 jenis alat kebersihan 238 jenis Terpenuhinya Kebutuhan suku cadang kendaraan operasional kebersihan Jumlah kendaraan yg operasional 118 kendaraan Jumlah Pelaku Usaha Persampahan lomba kebersihan : antar kelurahan, antar Sekolah SD/SMP/SMA, antar Puskesmas, antar kawasan 3R, antar perkantoran pemerintahan Jumlah pakaian kerja lapangan
Kerangka Pendanaan Prosentase (Rp) (% )
11.500.000.000
4.300.000.000
1.200.000.000 3.300.000.000
2.950.000.000
11 Kec 5 jenis lomba
900 org
250.000.000
200.000.000
4 lokasi (P2WKSS, TMMD, juara kel., Juara PKK 50%
27.522.100.000
1 Areal TPA
26.592.100.000
Typing Fee Pembuangan Sampah ke Bantar Gebang
773.070 M3/Tahun
-
Kegiatan: Pengembangan Komunitas Lingkungan di Sekitar TPA Kegiatan: Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Lingkungan TPA Kegiatan : Penataan Infrastruktur TPA
Jumlah komunitas lingkungan yang 10 RW dibina Terpantaunya Kualitas Lingkungan 2 kali 1 Tahun (10 TPA titik) Turap 1 kolam Terbangunnya turap di areal sampah kolam pembuangan sampah C TPA Cipayung
300.000.000
Sumber : Bappeda Kota Depok, 2013
550.000.000 80.000.000
103
Tabel 11. Rencana Program dan Kegiatan Prioritas DIBIMASDA, Tahun 2013.
Kode
Program Prioritas dan Kegiatan
Indikator Kinerja Program/Kegiatan
Target Capaian Kinerja
(1)
(2))
(3)
(4)
1
03
1
03
Kerangka Pendanaan Prosentase (Rp) (% ) (5)
Urusan Pekerjaan Umum 02 6)
Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Fasilitasi Pengelolaan Satgas Bidang Sumber Daya Air
2.226.110.600 Meningkatnya Pelayanan Pengendalian Banjir Kepada Masyarakat
11 Kecamatan
2.226.110.600
Sumber : Bappeda Kota Depok, 2013
Tabel 12. Rencana Program dan Kegiatan Prioritas DKUP, Tahun 2013.
Kode
Program Prioritas dan Kegiatan
Indikator Kinerja Program/Kegiatan
Target Capaian Kinerja
(1)
(2))
(3)
(4)
1 15
01
Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Pasar Urusan : Perdagangan
02
1
Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Pasar Program Peningkatan Pengelolaan PasarTadisional Fasilitasi pengelolaan UPS
2
Pelayanan Pengangkutan Sampah
3
Penyediaan Perlengkapan dan Pelatihan Petugas Ketertiban Pasar Penyediaan Perlengkapan Petugas Kebersihan Pasar Pengelolaan Jasa Kebersihan, Petugas Retribusi dan TibSar
Meningkatnya Pengelolaan Persampahan di Pasar Tersedianya BBM Kendaraan Pengangkutan Sampah Pasar Terpenuhinya kebutuhan Petugas keamanan Pasar Terpenuhinya kebutuhan petugas kebersihan pasar Tersedianya Jasa Pesapon, Pet Ret dan Ketertiban Pasar
6
Fasilitasi Kantor UPT Ps.Tugu.
Tersedianya Operasional Ps.Tugu
7
Fasilitasi Kantor UPT Ps.Kemiri Muka. Tersedianya Operasional Ps.Kemiri Muka. Fasilitasi Kantor UPT Ps.Cisalak dan Tersedianya Operasonal Ps.Sukatani. Ps.Cisalak dan Ps.Sukatani. Fasilitasi UPT Ps.Agung dan Ps.Musi. Tersedianya Operasional Ps.Agung dan Ps.Musi. Terpenuhinya suku cadang dan Penggantian Suku Cadang dan Pemeliharaan Kendaraan Angkutan terpeliharanya kendaraan angkutan sampah Sampah
1 06 1 06
V
4 5
8 9 10
IKM Pasar
Sumber : Bappeda Kota Depok, 2013
80%
Kerangka Pendanaan Prosentase (Rp) (% ) (5)
6.869.000.000
1 Pasar Cisalak
540.000.000
16 Truk
800.000.000
94 orang
150.000.000
138 orang
350.000.000
61 petugas Retrbusi 133 kebersihan, 93 Tibsar,Mecanik 2 org & 2 penjaga
4.250.000.000
1 uptd
23.500.000
1 uptd
23.500.000
1 uptd
41.000.000
1 uptd
41.000.000
14 Truk
650.000.000
104
Dalam pandangan pemerintah Kota Depok, perbedaan kekuatan antar OPD/Dinas ini dipandang wajar saja karena sesuai dengan TUPOKSI (tugas pokok dan fungsi) atau pembagian kerja, bahwa DKP adalah leading sector di bidang kebersihan, Dinas lain hanya sebagai pelengkap atau membantu meringankan tugas DKP. Meskipun Dinas-dinas lain hanya sebagai pelengkap atau membantu meringankan tugas DKP, bukan berarti hubungan antar Dinas tanpa masalah. Potensi masalah dengan pembagian kerja macam ini ada pada dua level. Level pertama adalah ketika anggaran dibahas dalam rapat-rapat lintas OPD. Wakilwakil dari OPD yang terkait dalam satu pekerjaan yang sama biasanya akan mengalami ketegangan kalau tidak bisa mengeluarkan diri dari perangkap egosektoral dan kepentingan masing-masing pihak. Kabid Pelayanan Kebersihan DKP, Drs. Rahmat Hidayat, MM, menggambarkan ketegangan antara Dinasnya dengan Dinas lain dalam rapat-rapat OPD dalam istilah “saling memaksa”. Rahmat mengatakan : “……biasanya saling memaksa terjadi kalau sudah berbicara hubungan antar instansi dalam suatu pekerjaan yang saling berkaitan. Kita usul perbaikan jalan menuju TPA atau UPS agar masyarakat sekitar tidak komplain, ternyata DIBIMASDA tidak memprioritaskan itu, sementara masyarakat komplain sama kita. DISHUB gitu juga, kita pertahankan kebersihan terminal di tangan kita, DISHUB malah maksa untuk ambil tugas itu karena mereka menganggap wilayah terminal masuk dalam kewenangannya…….” Pada ujungnya, ada yang berakhir dengan pengerjaan oleh DKP, tetapi ada juga yang beralih ke Dinas lain, misalnya untuk perbaikan jalan menuju UPS akhirnya dikerjakan oleh DKP. Tugas pengelolaan kebersihan beralih dari DKP ke DISHUB dulunya pesapon dibawah koordinasi DKP tapi akhirnya beralih menjadi kewenangannya DISHUB. Memang DISHUB membayar kontribusi ke DKP tapi pembayaran tersebut dialokasikan dari APBD sehingga dalam istilah Rahmat Hidayat sama juga dengan “jeruk makan jeruk”, itulah kenyataan yang terjadi pada hubungan antar OPD. Menurut Ka. Seksi Operasional Pengangkutan dan Pengelolaan Sampah DKP (Bpk Enc) sebenarnya mereka itu (DKUP dan DISHUB) semata-mata karena ingin memperbesar kontribusi ke daerah melalui retribusi, sehingga upaya-
105
upaya yang dilakukan orientasinya untuk memperoleh retribusi, akan lebih bagus kalau seandainya retribusi sampah di “nol” kan saja, demikian penuturannya. Pada level lainnya, yaitu level pelaksanaan tugas di lapangan, hal serupa juga terjadi, masih menurut Bpk Enc, pihaknya di lapangan sering dipersalahkan tidak mengangkut sampah di jalanan dekat pasar. Padahal, katanya, sejauh 300 meter dari pasar masih merupakan tanggungjawab DKUP. Begitupun dengan sampah dari saluran air yang diangkat ke tepi jalan oleh DIBIMASDA. Bpk Enc mengatakan : “……apa salahnya mereka langsung angkut sampah-sampah itu, bukankah mereka juga punya truk dan satgas sendiri? jadi tidak lagi harus menunggu kami mengangkutnya…..”. Potensi masalah karena pembagian kerja antar instansi atas satu objek pekerjaan memang selalu ada dan sulit dihindari karena saling terkait. DIBIMASDA turun tangan membersihkan sampah di saluran-saluran air adalah karena terkait dengan tugasnya memelihara fisik saluran air tersebut agar berfungsi sebagaimana mestinya. Namun apabila sampah yang masuk ke dalam sungai terlalu banyak sehingga tugas DIBIMASDA bertambah berat, sehingga sampah dari sungai tersebut hanya disimpan di pinggiran jalan pada sempadan sungai dengan harapan akan diangkut oleh DKP. Pihak DKP juga keberatan karena harusnya sampah tersebut langsung diangkut oleh DIBIMASDA dan dibuang ke TPA Cipayung karena DIBIMASDA sudah memiliki truk sendiri. Keikutsertaan DKUP menangani sampah pasar tradisional, didasarkan pada pertimbangan bahwa timbulan sampah pasar tradisional lebih cepat banyaknya dibanding sumber lain,
selain itu, lebih cepat pula mengalami
pembusukan dan bau. DKUP tidak bisa terlalu lama menunggu giliran datangnya armada pengangkutan dari DKP. Dengan kata lain, sampah pasar harus ditangani khusus agar cepat diangkut. Lagi pula di mata DKUP, pasar adalah “barang dagangan” yang harus “dijual” kepada pedagang. Pedagang akan beli/sewa kios atau jongko yang ada kalau pasar itu ramai dikunjungi pembeli. Pembeli akan lebih tertarik mengunjungi pasar yang lingkungannya lebih bersih. Di samping itu, DKUP juga merupakan organ pemerintah yang salah satu prestasinya diukur dari kontribusinya pada pendapatan asli daerah.
106
Implementasi kebijakan Otonomi Daerah membuat daerah-daerah meningkatkan sumber penerimaan untuk PAD (Pendapatan Asli Daerah), salah satunya adalah retribusi. Retribusi sampah pasar merupakan salah satu sumber bagi DKUP dan sumber itu sayang kalau dilepaskan kepada instansi lain. Alasan terakhir ini terkadang justeru tampak lebih kuat memotivasi atau menjadi alasan melakukan pengelolaan sampah dibandingkan alasan-alasan normatif lainnya. Hal yang sama berlaku pada DISHUB yang salah satu sumber pendapatannya adalah dari terminal. Terminal bukan semata-mata tempat asal dan tempat tujuan kendaraan angkutan penumpang umum. Terminal adalah juga tempat penumpang naik, turun, dan menunggu kendaraan. Tak heran bila kemudian terminal menjadi tempat ramai dan potensial sebagai tempat berdagang. Di sana ada berbagai fasilitas yang dapat “dijual/disewakan” oleh pengelola terminal kepada pedagang, termasuk kamar mandi. Mereka inilah yang kemudian menjadi subjek retribusi dari sampah yang juga dihasilkan orang ramai di terminal. Dalam tugasnya sebagai salah satu kontributor bagi pendapatan asli daerah, DISHUB merasa sayang melepaskan peluang itu kepada DKP meskipun dengan risiko agak “bersitegang” dengan DKP. “Kekalahan” DKP dalam persaingan menguasai pengelolaan sampah di lingkungan pasar tradisional dengan DKUP dan dalam menguasai pengelolaan sampah terminal dengan DISHUB, tak dapat disangkal telah membuat “jengkel” beberapa pejabat DKP. Namun hal itu tidak mungkin lagi diingkari karena telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah mengenai TUPOKSI. Memang hanya DKUP dan DISHUB yang memungut retribusi sedangkan DIBIMASDA tidak melakukan itu karena mengangkut sampah dari sungai semata-mata untuk memperlancar arus air mengalir. Para politisi yang duduk di DPRD sudah ikut turun tangan membahas Rancangan TUPOKSI yang diajukan pemerintah (Walikota). Lagi pula, dilepaskannya kebersihan terminal dan pasar tradisional tidaklah menyebabkan DKP kehilangan pekerjaan. Walaupun kehilangan sekian persen retribusi, dengan lepasnya dua pekerjaan itu, namun pekerjaan DKP dan potensinya memperbesar penerimaan retribusi masih sangat besar. Hitungan resmi luas garapan DKP bidang kebersihan baru sekitar 40 %. Belum termasuk bidang lain di bawah naungan DKP, yang juga tak kalah potensialnya memproduksi retribusi.
107
Hubungan-hubungan kekuasaan antar instansi pemerintah tersebut di atas menunjukkan bahwa TUPOKSI sebagai produk politik pemerintahan Depok (eksekutif dan legislatif) telah menyebabkan sampah ditangani oleh beberapa instansi. Tapi pertautan (relasi) antar instansi yang dihubungkan oleh sampah, membuka peluang instansi-instansi tersebut bersaing karena ketimpangan kekuatan dalam pemilikan/penguasaan sarana dan prasarana (DKP dengan DISHUB). Sampai tingkat adanya kesepakatan (kerjasama) sehingga kontainer DKP dipakai oleh DISHUB serta DKP mengangkut kontainer dari terminal bus untuk kemudian dibuang sampahnya ke TPA Cipayung. Selain ketimpangan dalam soal sarana dan prasarana, relasi antar instansi tegang gara-gara perbatasan dan retribusi. Pada perbatasan wilayah mengangkut sampah. Sering terjadi ketegangan ketika terjadi wilayah arsiran, misalnya DKP dengan DISHUB siapa yang mengangkut sampah di pinggiran terminal, jauh dari pinggiran jalan raya tapi sudah berada di luar terminal. Ketegangan DKP dengan DKUP terjadi dalam hal pengangkutan sampah yang berserakan/tercecer diluar pasar tapi tidak begitu jauh dari lokasi pasar, siapa yang harus mengangkutnya. Ketegangan DKP dengan DIBIMASDA yaitu pada sampah yang sudah diangkut dari sungai/situ kemudian hanya disimpan di pinggir jalan, padahal sampah tersebut harus segera diangkut tidak boleh dibiarkan begitu saja di pinggir sungai atau situ tersebut. Demikian juga dalam hal retribusi, masing-masing instansi mengejar retribusi dari sampah. Pengumpulan retribusi-nya menjadi panglima, dan pengelolaan sampah-nya sendiri menjadi yang kedua. Inilah yang dinamakan “ideologi retribusi” dan lawannya “ideologi kebersihan”. Pendapatan
Pengelolaan
Keuangan
dan
Aset)
berperan
DPPKA (Dinas besar
dalam
mengkonstruksikan “ideologi retribusi” di bawah alasan PAD yang didukung secara politik dan hukum oleh negara. Pengumpulan retribusi dijadikan tolok ukur keberhasilan, disusul “sistem target” dalam pengumpulannya. Hal ini semakin menyempurnakan tegaknya ideologi retribusi yang membuat instansi saling memaksakan untuk mengumpulkan retribusi sebanyak mungkin.
108
VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Pengelolaan sampah baik di tingkat rumah tangga, tingkat bak sampah, tingkat TPS sampai tingkat TPA melibatkan banyak aktor, mulai dari rumah tangga atau orang perorang yang menghasilkan sampah, orang/aktor penanganan sampah perorangan, orang-orang yang mewakili lembaga seperti RT, RW, DKP, DKUP, UPTD TPA, DISHUB, DIBIMASDA. Bahkan pemulung, lampak pemulung, forum masyarakat, satpam dan pembantu rumah tangga baik secara langsung maupun tidak langsung, juga terlibat dalam penanganan sampah. Para aktor ini saling berinteraksi, saling kait mengkait antara satu dengan lainnya. Masing-masing aktor tersebut bisa dalam wujud orang perorangan maupun dalam wujud lembaga atau organisasinya. Aktivitas para aktor serta hubungan-hubungan antar sesamanya, mempengaruhi kondisi dari penanganan terhadap sampah di wilayahnya masing-masing. Kepentingan para pihak/aktor yang terlibat dalam penanganan sampah, juga alasan mengapa suatu cara penanganan sampah dipilih oleh orang perorang/aktor mempengaruhi fisik kota dari sudut persampahannya. Misalnya ketika tempat pembuangan sampah yang lebih baik sudah tidak ada, atau tempat yang lebih layak tidak dapat diakses, maka tempat-tempat yang tak selayaknya pada akhirnya akan menjadi alternatif. Orang tidak dapat menunggu karena sampah diproduksi setiap hari, sehingga dengan menggunakan kekuasaan yang dapat diaksesnya, orang-orang tersebut membuang sampah di tepi jalan, di bantaran/sempadan kali, juga dijalankan. Segmentalisasi penanganan sampah tercipta sebagai kreatifitas para aktor dalam rangka menjalankan kekuasaan untuk menjamin kelangsungan kepentingannya. Penanganan sampah adalah sebuah wahana sosial yang di dalamnya terbangun hubungan-hubungan kekuasaan antar para aktor. Tiap aktor memainkan kekuasaan atas aktor yang lain, yang ia dapat kuasai dan dengan melibatkan dukungan dari pihak-pihak lain yang ia dapat pengaruhi. Berbagai taktik ditempuh untuk menghadapi kekuasaan yang dilaksanakan aktor lain dalam rangka menyelamatkan diri dan kelangsungan kepentingannya.
109
Perpindahan sampah terjadi dari sumber sampah di tingkat rumah tangga, menuju tempat pembuangan sampah, melewati bak sampah kemudian ke TPS dan terakhir ke TPA. Pada semua tingkatan tersebut (tingkat rumah tangga, bak sampah, TPS dan TPA) terjadi praktek penanganan sampah dimana orang perorang/aktor sebagai pelaku terlibat dalam relasi-relasi kuasa atau wahana di mana kekuasaan dilaksanakan oleh aktor-aktor tersebut. Kepentingan-kepentingan orang perorang/aktor bisa dieksplorasi dari praktek-praktek yang dijalankannya, juga cara-cara yang diambil atau saluran-saluran yang dipilih oleh aktor untuk meluluskan atau memenangkan persaingan untuk mendapatkan tujuannya. Pada tingkat bak sampah yang terletak di perumahan, banyak aktor yang terkait tali temali atau berelasi di wahana sosial bak sampah, mulai dari warga (rumah tangga pembuang sampah, bisa ayah, ibu, anak), pembantu rumah tangga, pemulung (Nek Rnh, Mpok Gth, Mak Rml), petugas kebersihan merangkap pemulung (Bang Umr, Bang Ars dan Bang Mli), petugas keamanan perumahan/satpam merangkap pemulung (Bang All), Warga perumahan (Bpk H Rhm), Pengurus RT (Ketua, Sekretaris, Bendahara). Bak sampah, tempat rumah tangga membuang sampahnya secara sementara, ternyata juga menjadi arena perebutan para aktor dalam mengais rejeki, berinteraksi dan penerapan sanksi/hukuman. Diantara aktor yang ber-relasi terdapat juga konflik (iuran warga terkait pengangkutan sampah), persaingan (sesama pemulung, petugas kebersihan, satpam) sampai melahirkan strategi untuk menjalankan kuasa pemulungan di tingkat bak sampah (kasus Mpok Gth yang menambah jadwal/waktu pulungan). Pemulung pada tingkat bak sampah masih berharap ada sampah yang punya nilai ekonomis yang bisa diambil/di pulung untuk dapat diuangkan. Pada saat petugas kebersihan perumahan (bang Umr) tidak mau mengangkut sampah, maka sebenarnya dia sudah menunjukan bagaimana ia menjalankan kekuasaannya. Begitu juga ketika warga yang lain protes karena petugas kebersihan tidak mengangkut sampah warga, hal inipun telah membuktikan bahwa warga sudah menunjukan bentuk penggunaan kuasanya, yaitu pada saat mengajukan protes terhadap petugas kebersihan tersebut. Otoritas RT dijalankan
110
dalam bentuk pelarangan kepada petugas kebersihan agar tidak mengangkut sampah warga yang tidak bayar iuran. Pada tingkat TPS hubungan-hubungan kekuasaan yang terjadi terjalin mengalir, menyatu, dan sekali-kali berpisah dalam satu bingkai yaitu motivasi ekonomi, sehingga bekerjanya kekuasaan sangat tergantung pada situasi dan sekaligus kepentingan masing-masing para aktor secara terus menerus. Aktor yang terlibat pada tingkat TPS mempraktekan/ menjalankan kekuasaan berdasarkan basis kekuasaan masing-masing aktor yang diperlihatkan. Aktor tersebut yaitu ketua RW, ketua LPM, pihak Kelurahan, ketua RT, warga perumahan, RW hijau, bang Umr, bang Mli, bang Ars, pak Slm, bang Tll, satpam perumahan, pengendara motor yang buang sampah ke TPS perumahan, Sopir mobil picup yang buang sampah ke TPS perumahan, Sopir dan kernet truk DKP yang mengangkut sampah dari TPS perumahan. Adanya keberatan warga terhadap TPS perumahan merupakan bukti bahwa pada umumnya masih ada kecenderungan bagi para aktor memanfaatkan peluang-peluang untuk membangun hubungan-hubungan yang bersifat nonformal. Hubungan-hubungan non-formal yang dimaksud salah satunya melalui negosiasi atau sembunyi-tau. Dalam relasi kuasa antar aktor terdapat unsur-unsur persaingan, kompetisi, kontestasi, resistensi (perlawanan) dan juga adanya konsensus, negosiasi serta kerjasama. Dalam konteks ini, kekuasaan bukan sesuatu yang dimiliki atau dipunyai oleh siapapun. Setiap orang, siapapun dia dapat memainkan kekuasaan dalam interaksi-interaksinya dengan pihak lain. Pada relasi kuasa tingkat TPA, relasi antara pemulung dengan lampak adalah suatu relasi yang saling menguntungkan. Maka disini telah terjadi relasi kekuasaan yang memperlihatkan tumbuhnya kesadaran bersama yang melihat kekuasaan sebagai sebuah kompleks strategi yang ada pada semua pihak sehingga usaha mewujudkan kekuasaan harus ditempuh melalui proses membangun kolaborasi. Lampak membutuhkan pemulung sebagai pencari barang dan lampak sebagai pengepul barang yang nantinya akan dijual ke lampak besar atau langsung ke pabrik pengolahan. Relasi kuasa yang terjadi antara lampak dengan pemerintah yang terjalin adalah kolaborasi yang ditunjukkan dengan kesadaran bersama semua pihak untuk bersama-sama mengelola sampah.
111
Relasi kuasa antara pemerintah dengan FORMAC (Forum Masyarakat Cipayung) adalah perlawanan, dimana masing-masing pihak berkonsentrasi untuk mencapai kepentingan masing-masing, yang pada akhirnya menghasilkan hubungan perlawanan (resistance). Basis kekuasaan FORMAC berupa klaim territorial karena wilayah mereka dilewati oleh truk sampah DKP dan ini sangat mengganggu mereka. FKMP-TPAS (Forum Komunikasi Masyarakat Pemerhati – Tempat Pembuangan Akhir Sampah) yang mayoritas anggotanya adalah penduduk asli sekitar TPA/bukan pendatang, melakukan kerjasama dengan pemerintah, maka hubungan kekuasaan mengarah pada kolaborasi, dengan basis kekuasaan berupa klaim penduduk asli wilayah Cipayung. Terjadi kontestasi kekuasaan antara FKMP-TPAS dengan FORMAC. Hal ini terbukti waktu FORMAC menyuarakan penolakannya terhadap TPA atas alasan kesehatan (lalat dan penyakit) dan alasan lingkungan (bau dan bising), maka FKMP-TPA mengkonter penolakan tersebut dengan mensosialisasikan kepada anggotanya wacana TPA telah memenuhi kepentingan lapangan kerja 400an orang asli setempat serta isu lainnya seperti ketidakpedulian FORMAC yang beranggota pendatang baru itu atas lapangan kerja orang setempat. Relasi-relasi kuasa pada level kebijakan pengelolaan sampah, telah menunjukkan bahwa TUPOKSI sebagai produk politik pemerintahan Depok (eksekutif dan legislatif) telah menyebabkan sampah ditangani oleh beberapa instansi. Tapi pertautan (relasi) antar instansi yang dihubungkan oleh sampah, membuka peluang instansi-instansi tersebut bersaing karena ketimpangan kekuatan dalam pemilikan/penguasaan sarana dan prasarana. Selain ketimpangan dalam soal sarana dan prasarana, relasi antar instansi tegang gara-gara perbatasan dan retribusi. Pada perbatasan wilayah mengangkut sampah sering terjadi ketegangan ketika terjadi wilayah arsiran/wilayah abu-abu, Dinas mana yang harus mengangkut sampah. Demikian juga dalam halnya retribusi, masing-masing instansi mengejar retribusi dari sampah. Pengumpulan retribusi-nya menjadi panglima, dan pengelolaan sampah-nya sendiri menjadi yang kedua. Kalau boleh disebut maka, inilah yang dinamakan ideologi retribusi dan lawannya ideologi kebersihan.
112
Basis kekuasaan para aktor dalam menjalankan kekuasaannya juga bervariasi. Pada saat menyetujui pembangun TPS perumahan, Ketua RW menjalankan/mempraktekan kekuasaannya dengan basis kekuasaan legal formal. Begitu juga ketika pihak RW Hijau menghimbau warganya untuk memilah sampah pada tingkat rumah tangga dan pengurus RT ketika melarang petugas sampah agar tidak mengangkat sampah warganya yang belum bayar iuran, maka dalam hal ini mereka menjalankan kekuasaan dengan basis legal formal. Para OPD (DKP, DKUP, DISHUB, DIBIMASDA, UPTD-TPAS) juga seperti itu, mereka menjalankan kekuasaan dengan basis legal formal/birokrasi. Warga yang protes karena petugas kebersihan tidak mengangkut sampahnya padahal warga sudah membayar iuran maka warga menjalankan kekuasaan dengan basis ekonomi, begitu juga
para pemulung dan lampak pemulung menjalankan
kekuasaan dengan basis ekonomi, karena profesi mereka semata-mata untuk mencari nafkah tidak yang lain, kecuali satu atau dua pemulung dengan orientasi religius (Nek Rnh). Basis kekuasaan FORMAC berupa klaim penguasaan wilayah/territorial karena wilayah mereka dilewati oleh truk sampah DKP. Pada FKMP-TPAS (Forum Komunikasi Masyarakat Pemerhati – Tempat Pembuangan Akhir Sampah) yang mayoritas anggotanya adalah penduduk asli sekitar TPA/bukan pendatang, melakukan kerjasama dengan pemerintah dengan basis kekuasaan berupa klaim penduduk asli wilayah Cipayung.
6.2.
Saran Karena banyak aktor yang terlibat dalam pengelolaan sampah dengan
beragam kepentingan, maka mereka perlu diperhatikan dan dilibatkan dalam penanganan sampah ini. Jika para aktor ini tidak dilibatkan dan kepentingan mereka tidak diperhatikan maka pengelolaan sampah tidak akan berjalan dengan baik dan bisa jadi akan menjadi ancaman dalam penanganannya kedepan. Untuk menghilangkan wilayah arsiran/wilayah abu-abu, maka penting kiranya agar pengelolaan sampah tingkat kota/pada level kebijakan cukup ditangani oleh satu OPD atau satu Dinas saja sehingga akan memudahkan dalam pengaturan dan pengoperasiannya. Begitu juga dengan retribusi, karena merasa sudah bayar retribusi, sebagian orang sekehendak hatinya membuang/
113
memproduksi sampah dalam jumlah yang cukup besar sehingga disarankan agar retribusi di “nol” kan saja sehingga fokus hanya pada pencapaian kebersihan kota. Dalam pengelolaan sampah juga penting untuk memperhatikan aktor penanganan sampah perorangan, Pemkot harus mengajak mereka untuk duduk bersama bagaimana mengatasi persoalan sampah dan pencemaran akibat perlakuan mereka terhadap sampah di lingkungan masing-masing, terutama sampah residu dan limbah B3. Sampah seperti ini perlu penanganan khusus tidak bisa pengelolaannya dilakukan oleh perorangan. Perlu ada penelitian lebih lanjut mengenai fenomena empiris secara sosial, terutama penelitian terhadap keberadaan lampak pemulung dan aktor penanganan sampah perorangan lainnya, sehingga program pengelolaan sampah kedepan tidak terjebak ke dalam persoalan yang sama.
114
DAFTAR PUSTAKA Akhyar, M. 2010. Relasi Birokrasi dan Politik (Analisis Pola Perekrutan Kepala Biro dan Kepala Dinas Pada Pemerintahan Provinsi SUMUT Pasca Pilgubsu 2008). Departemen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Astuti, E.B. 2005. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Cipayung Melalui Penguatan Kemampuan Masyarakat Dalam Pemeliharaan Lingkungan Sehat. Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Babbie, Earl. 2004. The Practise of Social Research. Thomson Wadswort. USA. Baedhowi. 2001. Studi Kasus dalam Teori dan Paradigma Penelitian Sosial oleh Salim, Agus (ed.). Yogyakarta : PT. Tiara Wacana. Bryman, Alan. 2004. Social Research Methods. Oxpord University Press Budiardjo, Meriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta; PT. Gramedia Dewi, T.Q. 2008. Penanganan dan Pengolahan Sampah. Penebar Swadaya. Jakarta DKP Kota Depok. 2012. Kajian Rencana Perluasan Areal TPA Cipayung Kota Depok. Fikarwin. 2008. Relasi-Relasi Kekuasaan Antar Pelaku dalam Pengelolaan Sampah di Kota Depok. Disertasi. Jakarta : Program Pascasarjana FISIP, Universitas Indonesia. Foucault, Michel. 2002. Power/Knowedge: Wacana Kuarsa dan Pengetahuan. Yogyakarta : Bentang Budaya. Giddens, A. 1984. The Constitution of Society – Teori Srtukturasi untuk Analisis Sosial. Pasuruan : Pedati (terjemahan, januari 2003) Handono, Mulyo. 2010. Model Pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah secara berkelanjutan di TPA Cipayung Kota Depok, Jawa Barat. Disertasi Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Hidayat, B. 2008. Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia. Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman. Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL). Jakarta.
115
Jalal, Moch. 2007. The Theory of Truth Michel Foucault dalam Konstruksi Simbolisasi Bahasa di Indonesia. Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Surabaya. Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Moleong, Lexi J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Malik, Abd. 2010. Konstruksi Sosial Kuasa Pengetahuan Zakat (Study Kasus Tiga Lembaga Zakat di Provinsi Jambi dan Sumatera Barat). Disertasi Program Study Sosiologi Pedesaan. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Maring, Prudensius. 2010. Bagaimana Kekuasaan Bekerja. Jakarta : Lembaga Pengkajian Antropologi Kekuasaan Indonesia. Nasdian, Fredian Tonny. 2007. Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Ekologi dan Keadilan Sosial. Dalam buku : Ekologi Manusia (Editor : Soeryo Adiwibowo). Fakultas Ekologi Manusia IPB. Bogor. Nazir, M. 1988. Metode penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Nila, Surya. 2012. Bank Sampah, Teknis dan Keberlanjutannya. Pelatihan Kewirausahaan Komunitas Bank Sampah. Program Pengabdian Masyarakat. UI. Padmowihardjo, S. 2001. Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok No. 6 Tahun 2010 tentang : Perubahan Peraturan Daerah Kota Depok No. 8 tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Ramirez, Ricardo. 2005. Stakeholder Analisis and Conflict Management. Dalam buku : Manajemen Kolaborasi (Editor : Suporahardjo). Pustaka Latin. Bogor. Royadi. 2006. Analisis Pemanfaatan TPA Sampah Pasca Operasi Berbasis Masyarakat (Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi). Disertasi. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Sa’id, E.G. 1998. Sampah Masalah Kita Bersama. Madiyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Sarbi. 2005. Pengembangan Sistem Pengelolaan Sampah di Kota Parepare. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Bogor.
116
Siswono, Eko. 2009. Hubungan-hubungan Kekuasaan dalam Penguasaan dan Pemanfaatan Ruang Publik : Resistensi dan Akomodasi PKL Kota Depok. Disertasi. Jakarta : Program Pascasarjana FISIP, Universitas Indonesia. Sitorus, MT, Felix. 1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia : Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba. Disertasi Doktoral SPS-IPB. Bogor. Sudrajat, H.R. 2006. Mengelola Sampah Kota. Penebar Swadaya. Jakarta. Sugiyono, 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. CV. Alfabeta. Bandung. Suriawiria, U. 2003. Mikrobiologi Air. PT Alumni. Bandung. Suseno, Franz Magniz. 2003. Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. PT. Gramedia Utama. Jakarta. Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. (Edisi baru ke - 41). Sutrisno, Mudji dan Hendar, Putranto. Yogyakarta: PT.Kanisius.
2005.
Teori-Teori Kebudayaan.
UU No. 18 Tahun 2008, tentang Pengelolaan Sampah. Weber, Max. 2002. Studi Komprehensif Sosiologi Kebudayaan. Yogyakarta : IRCiSoD (terjemahan) Widyatmoko. 2001. Menghindari, Mengolah dan Menyingkirkan Sampah. Abdi Tandur. Jakarta. Weber, Max. 2006. Sosiologi . Yogyakarta : Pustaka Pelajar (terjemahan) Wulan, Tyas Retno. 2010. Pengetahuan dan Kekuasaan : Penguatan Remiten Sosial sebagai Strategi Pemberdayaan Buruh Migran Perempuan. Disertasi Program Studi Sosiologi Pedesaan. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
117
LAMPIRAN Timbulan sampah mendekati sempadan kali Pesanggrahan
118 Aktivitas di TPA
Bang Emg dengan gerobag sampahnya di RT. 09/01
119
Drum pembakaran sampah Bang Emg di RT. 09/01
TPS milik Bpk Mld di RT. 09/01
Sumur tempat pembuangan sampah gelas dan beling di RT. 09/01
120
Gerobag sampah Pak Slm di RT. 01/01
Bak sampah warga perumahan
Mak Rml, Pemulung di perumahan
121
Mpok Gth, Pemulung di perumahan
Nek Rnh, pemulung di perumahan
Bang Umr, petugas kebersihan perumahan
122
Perempatan tempat mangkal pedagang sayur dan buah
Bpk Mmn, koordinator RW Hijau
123
SK Pokja RW Hijau
Surat Himbauan dari RW Hijau
124 Bpk Ynu, Ketua FKMP‐TPAS
Contoh surat aspirasi warga Cipayung