BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang Dalam tiga puluh tahun terakhir (1983-2013), Resor Wisata Nusa Dua
telah menjadi bagian penting dari pembangunan dan perkembangan industri pariwisata Bali pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Tahun 2004, Resor Wisata Nusa Dua merupakan resor pertama di Indonesia yang mendapat sertifikasi Green Globe (Madiun 2010: 57-58), yang menunjukkan keberhasilan pembangunan dan pengelolaan resor wisata ini dalam pengembangan industri dan pelestarian lingkungan. Resor Wisata Nusa Dua ikut memberikan kontribusi penting dalam prestasi Bali sebagai destinasi wisata berkelas dunia. Indonesia beberapa kali dipilih sebagai tempat pelaksanaan konferensi internasional seperti ASEAN Summit 2005, Climate Change Conference 2007, Miss World 2013, dan APEC Meetings 2013 yang semuanya dilaksanakan di Resor Wisata Nusa Dua. Kecuali mungkin Jakarta, hanya Bali yang memiliki fasilitas yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan event-event internasional di Indonesia. Dengan demikian Resor Wisata Nusa Dua telah memberikan kontribusi penting dalam citra positif negara dan bangsa Indonesia di dunia internasional. Kontribusi Nusa Dua pada citra positif pariwisata Bali dan bangsa Indonesia di mata masyarakat internasional adalah hasil kombinasi hubungan atau kerja sama antara pemerintah, investor, dan masyarakat.
1
2
Resor Wisata Nusa Dua sejak awal sampai sekarang dikelola oleh badan usaha milik negara lewat lembaga Bali Tourism Development Corporation (BTDC). Mulai tahun 2014, BTDC melakukan rebranding atau perubahan merk menjadi ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation). Dalam penelitian ini, nama BTDC tetap digunakan karena periode waktu penelitian adalah ketika badan usaha milik negara ini masih bernama BTDC. Perencanaan dan proses pembangunan resor ini dimulai awal tahun 1970an, diawali dengan kajian komprehensif dengan menggunakan tenaga ahli dari luar negeri, SCETO Perancis. Pendanaan dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan pinjaman dari lembaga dana internasional seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank. Daerah kering seluas 350 hektar di daerah Nusa Dua disulap menjadi resor wisata kelas dunia, dimulai dengan pembebasan lahan, pembangunan prasarana jalan, dan hotel bintang lima. Hotel pertama yang dibangun dan beroperasi adalah Nusa Dua Beach Hotel, yakni mulai tahun 1983. Hotel ini milik perusahaan penerbangan Garuda Indonesia, tampil sebagai pelopor hotel di Resor Wisata Nusa Dua. Peresmian pembukaan hotel ini dilakukan langsung oleh Presiden Suharto. Dalam perjalanan bisnisnya kemudian, tahun 1994 Hotel Nusa Dua Beach dijual kepada investor dari Brunei Darrussalam. Alasannya, antara lain, Garuda Indonesia perlu memfokuskan bisnisnya pada penerbangan dan membutuhkan dana untuk pembelian pesawat terbang baru. Proyek pembangunan Resor Wisata Nusa Dua merupakan program utama pemerintah Orde Baru dalam pembangunan industri pariwisata sebagai sumber devisa. Tahun 1980-an, ketika harga minyak dunia turun, pemerintah mencari
3
alternatif pendapatan, dan pariwisata salah satunya yang dilirik karena dianggap dapat dengan cepat memberikan hasil mendatangkan devisa, selain minyak dan ekspor tekstil (Erawan, 1994). Kenyataannya memang demikian, karena tahun 1980-an dan 1990-an, pariwisata membuktikan diri sebagai salah satu sumber penting devisa negara. Industri perhotelan, bisnis trasnportasi, biro perjalanan, ekspor pakaian jadi ikut berkembang sejalan dengan perkembangan pariwisata. Lebih dari itu, Indonesia memiliki potensi wisata yang sangat besar untuk dikembangkan. Bali telah lebih dahulu membuktikan betapa alam dan budaya yang indah dan unik bisa menjadi daya tarik wisata yang memikat. Tidak mengherankan kalau kemudian pemerintah Pusat memilih Nusa Dua di Bali sebagai proyek percontohan pembangunan resor mewah. Pembangunan hotel-hotel berbintang di Nusa Dua adalah bukti betapa dinamisnya bisnis pariwisata tahun 1980-an di Bali. Setelah Nusa Dua Beach Hotel, lalu beroperasi Hotel Melia Bali Sol, Hotel Putri Bali, Bali Hilton, Grand Hyatt Nusa Dua, dan Club Med. Sampai tahun 1989, di Resor Wisata Nusa Dua terdapat 1875 kamar. Pembangunan Resor Wisata Nusa Dua bisa dibagi dua, yaitu tahun 1980-an dengan berdirinya hotel-hotel seperti Nusa Dua Beach Hotel (465 kamar), Hotel Putri Bali (425 kamar), Melia Bali Sol yang sekarang berubah nama menjadi Melia Bali Resor, Villas & Spa (550 kamar), dan Club Med Bali (435 kamar); kemudian periode 1990-an sampai sekarang dengan berdirinya hotel-hotel The Westin Resor, The Laguna Resor & Spa, Grand Hyatt Bali, Ayodya Resor Bali (nama baru Bali Hilton), Amanusa Resor, Novotel Nusa Dua Hotel &
4
Residences, The ST. Regis Bali Resor, Mariott Hotel, Kayu Manis Resident, Bale Desa dan seterusnya. Pada tahun 2013, di Nusa Dua terdapat 19 hotel dan villa dengan jumlah kamar sebanyak 4615 kamar, pusat konferensi (convention centre) dua buah berkapasitas 3000 kursi dan 5000 kursi; dan lapangan golf satu unit dengan 18 holes. Di sana juga terdapat plaza Bali Collection & Entertainment, amenity core tempat diselenggarakan Festival Nusa Dua secara regular. Tanah di resor ini milik BTDC, dibagi dalam bentuk lot-lot (kavling) untuk disewakan kepada investor, yang membangun hotel, plaza, lapangan golf, dan pusat konferensi dengan sistem sewa yang diatur dan disepakati sesuai ketentuan (lebih lanjut akan dibahas dalam Bab IV). Kehadiran Resor Wisata Nusa Dua sejak tahun 1983 sampai 2013, atau 30 tahun, sudah memberikan andil besar dalam pembangunan pariwisata Indonesia. Pemerintah Indonesia lewat Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (namanya berganti beberapa kali, dan sejak Oktober 2011 menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dan sejak Oktober 2014 menjadi Kementerian Pariwisata) telah menjadikan BTDC sebagai model pengembangan resor-resor wisata di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari pembentukan LTDC untuk Lombok, Biak TDC, MTDC untuk Manado. Usaha-usaha ke arah itu sangat konkret, ditandai dengan penyertaan saham dan pengiriman staff dari BTDC ke tempat-tempat itu. Akan tetapi, sampai tahun sekarang, tidak ada satu pun proyek serupa BTDC berhasil di berbagai daerah di Indonesia. Banyak persoalannya mulai dari geografi, faktor
5
budaya, dan sosial masyarakat, yang tidak didiskusikan lebih khusus di sini karena bukan merupakan scope utama dari penelitian ini. Di balik segala suksesnya sebagai resor wisata mewah, Resor Wisata Nusa Dua menyimpan sejumlah persoalan sosial-ekonomi yang telah dan masih dirasakan masyarakat sekitar resor tersebut sejak awal pembebasan tanah sampai sekarang. Persoalan sosial-ekonomi tersebut berpusat dalam relasi kuasa antara masyarakat, pemerintah, dan kemudian dengan investor atau pemodal yang mengelola hotel di sana. Intensitas relasi kuasa itu berubah dan berbeda sesuai dengan situasi sosial politik bangsa. Ketika usaha pembebasan lahan dilaksanakan untuk resor tersebut awal tahun 1970-an, masyarakat mengalami tekanan dan intimidasi. Mereka tidak mendapatkan gambaran yang jelas antara proses pembebasan, luas lahan yang perlu dilepaskan warga, serta harga atau nilai ganti rugi yang akan mereka terima. Dalam bukunya Nusa Dua, Model Pengembangan Kawasan Wisata Modern (2010), Nyoman Madiun yang membahas masalah partisipasi masyarakat setempat dalam pembangunan sempat mencatat segala kepelikan yang dihadapan masyarakat dalam pembebasan tanah. Madiun menulis sebagai berikut: … yang dirasakan oleh masyarakat pada saat itu adalah tekanan-tekanan yang bersifat hegemonik, baik secara fisik maupun mental. Intimidasi adalah merupakan bentuk tindakan yang paling sering dialami oleh masyarakat yang dicap sebagai pembangkang dan selalu menunjukkan sikap membandel dalam hal negosiasi lahan dengan penguasa saat itu (2010: 50).
Pendapat Madiun sudah sejak lama menjadi perbincangan di kalangan masyarakat, bahkan sampai sekarang (Madiun 2010: 53). Pada saat pembebasan
6
lahan berlangsung, kekuatan kuasa pemerintah sangat tinggi sehingga masyarakat tidak bisa banyak melakukan negosiasi, atau kalau pun bisa pasti berujung pada kekalahan. Menariknya, istilah yang digunakan Madiun dalam pendapat di atas adalah ‘penguasa’, bukan ‘pemerintah’ atau ‘aparat keamanan’. Apapun, yang jelas pada saat itu, masyarakat dilukiskan dalam keadaan menghadapi berbagai ‘tekanan’. Proses pembebasan tanah dan pembangunan Resor Nusa Dua, menurut penelitian Madiun, penuh dengan ‘pahit getir’ (2010: 53), dengan kata lain tidak ada ‘manisnya’ sama sekali. Hal ini bisa dipahami karena saat itu, relasi kuasa antara
pemerintah
atau
penguasa
dengan
masyarakat
tidak
seimbang.
Pemerintahan Suharto yang mendapat dukungan penuh dari militer bersifat sentralistik dan otoriter. Daripada membangkang dan terintimidasi, pilihan sikap yang ditunjukkan masyarakat dalam proses pembebasan lahan adalah ‘selalu pasrah menerima keputusan dari atas’ (Madiun 2010: 51). Mengingat adanya relasi kuasa yang timpang itu, penelitian ini memusatkan perhatian pada relasi kuasa tiga pilar dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua. Yang termasuk dalam tiga pilar ini adalah masyarakat, pemerintah dalam hal ini BTDC, dan investor yaitu pemodal yang mengelola usaha akomodasi dan usaha lain yang terkait dengan jasa wisata di Resor Wisata Nusa Dua. Periode waktu penelitian difokuskan pada relasi kuasa dalam lima belas tahun terakhir, 1998-2013, yakni era sesudah reformasi. Perubahan lanskap politik di Indonesia pasca-reformasi dari rezim Orde Baru yang otoriter ke pemerintahan reformis yang demokratis, ikut memberikan pengaruh pada relasi kuasa antara
7
penguasa dan masyarakat, termasuk yang terjadi di Nusa Dua. Kalau dulu, seperti ditulis oleh Madiun, masyarakat ‘pasrah’ dalam berhadapan dengan penguasa, namun pada masa pasca-reformasi dewasa ini masyarakat lebih berani menyampaikan aspirasi, melakukan negosiasi, bahkan melakukan protes dan aksi nyata untuk mewujudkan aspirasinya. Perubahan sistem sosial politik bangsa yang memberikan pengaruh pada relasi kuasa antara masyarakat dan pemerintah serta investor di Resor Wisata Nusa Dua inilah yang menjadi alasan penting mengapa penelitian ini dilakukan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pasca reformasi, banyak terjadi gejolak di Resor Wisata Nusa Dua, yang bisa dilihat sebagai pergeseran penting dalam relasi kuasa antara masyarakat, penguasa, dan pengusaha. Pergeseran relasi itu belum pernah diangkat dalam penelitian para ahli. Dengan tetap mengapresiasi keberhasilan Nusa Dua dalam memajukan kepariwisataan Bali dan citra bangsa, penelitian atas relasi kuasa ini dapat memberikan kita pemahaman yang lebih mutakhir dan seimbang atas dinamika di balik gemerlap resor wisata kelas mewah. Pengertian ‘relasi kuasa’ akan diuraikan lebih rinci dalam “Subbab Konsep” (Bab II), namun secara ringkas perlu disampaikan di sini bahwa yang dimaksudkan dengan relasi kuasa di sini adalah interaksi yang didasari oleh persetujuan dan ketidaksetujuan, penerimaan atau resistensi, penolakan atau negosiasi, dalam berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan tiap-tiap pilar. Konsep relasi kuasa (power relation) berasal dari teori Marxist tentang kelas (misalnya relasi buruh versus majikan; relasi kelompok yang dominan versus didominasi) khususnya dalam konteks economic and mode of production atau
8
ekonomi dan sistem produksi (Lewis, 2008: 78). Sebagai pemikir Marxist, Antonio Gramsci lewat konsep “hegemoni” yang sangat terkenal dan banyak dipakai para sarjana dalam kajian sosial, budaya, dan politik memberikan penjelasan relasi kuasa dalam konteks lain yang lebih luas antara kelompok yang dominan dan didominasi; atau penjajah dan terjajah tanpa menggunakan unsurunsur kekerasan tetapi penyerahan dengan pengakuan. Namun, mengingat tidak ada yang namanya kondisi hegemoni penuh, maka dalam setiap situasi ‘tertekan’ selalu terdapat ‘perlawanan’ (resistensi). Negosiasi atau tawar-menawar dalam bentuk apa pun adalah wujud ‘perlawanan’ yang paling nyata yang tidak bisa diabaikan dalam relasi kuasa. Dalam penelitian ini, kajian relasi kuasa dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua dilaksanakan dengan melihat bagaimana ketiga pilar yang menjadi stakeholders utama terlibat dalam proses negosiasi dalam berbagai isu untuk mencapai tujuan masing-masing. Setelah sekitar 30 tahun resor Nusa Dua berdiri, sudah ada beberapa penelitian tentang wilayah ini baik mencakup aspek pariwisata serta hubungan masyarakat lokal dengan resor tersebut. Ada penelitian yang hanya menyinggung peran Nusa Dua sepintas lalu dalam sebuah kajian yang lebih besar tentang citra pariwisata Bali (Vickers 1989) atau dalam proses turistifikasi kebudayaan Bali (Picard 1996), atau dalam konteks serangan terorisme di Bali 2002 dan 2005 (Hitchcock dan Putra 2007), di samping tentang aspek lain yang menjadi dampak langsung atau tidak langsung dari pariwisata atas situasi sosial budaya di Nusa Dua seperti studi kasus daya tarik ritual di Nusa Dua (Ariasri 2005) dan komodifikasi wisata spiritual di resor Puja Mandala di Nusa
9
Dua (Dwiyarthi 2008; Putra 2014). Satu studi yang secara khusus dan mendalam terhadap Resor Wisata Nusa Dua dilakukan Madiun tahun 2008 dalam bentuk disertasi yang kemudian terbit sebagai buku Nusa Dua; Model Pengembangan Resor wisata Modern (2010). Fokus kajian Madiun adalah partisipasi masyarakat dalam pengembangan wisata Nusa Dua, mulai dari pembahasan atas bentuk partisipasi, faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi, dan dampak dan makna partisipasi. Kajian atas buku Madiun dan kajian dari sarjana lainnya disampaikan secara khusus dalam bagian berikutnya (Bab II), namun uraian singkat di sini diberikan sebagai latar belakang untuk memperkuat pentingnya penelitian ini dilaksanakan. Fokus penelitian ini adalah relasi kuasa tiga pilar Resor Wisata Nusa Dua. Jika diringkaskan dari uraian di atas maka pertimbangan emperik dan teoritik yang menjadi alasan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, pembangunan dan pengoperasian Resor Wisata Nusa Dua senantiasa diwarnai dengan adanya negoisiasi, penolakan, dan kompromi antara masyarakat sekitar, BTDC (wakil pemerintah), dan investor. Hal ini sudah terasa sejak awal, yakni mulai dari proses pembebasan tanah tahun 1970-an, pendirian hotel tahun 1980-an, sampai dengan pengoperasian hotel-hotel sejak dulu hingga sekarang. Kelancaran proses usaha di Nusa Dua tidak bisa dilihat sebagai proses yang tenang tetapi penuh gejolak dan dinamika antara negosiasi dan kompromi, di samping merupakan wujud dari adanya interaksi, dan dalam interaksi itu tiap-tiap pilar melakukannya berdasarkan kuasa yang dimiliki masing-masing.
10
Kedua, fakta menunjukkan bahwa dinamika industri pariwisata bukanlah sesuatu yang lepas atau terisolasi dari dunia sosial dan politik. Ini adalah alasan teoritik karena menempatkan pariwisata sebagai sebuah sistem yang tidak berdiri sendiri dari kehidupan sosial politik lainnya. Perubahan iklim politik di Indonesia ikut memengaruhi dinamika bisnis pariwisata pada umumnya dan relasi kuasa antara masyarakat dengan pemerintah dan pengusaha dalam suatu manajemen objek wisata. Penelitian ini akan melihat bagaimana pengaruh reformasi dalam relasi kuasa antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat dalam pengelolaan resor wisata Nusa Dua. Yang jelas, sejumlah insiden protes dan tuntutan terhadap BTDC dan pengusaha-pengusaha hotel pernah disampaikan masyarakat dan penyampaian aspirasi itu adalah bentuk relasi kuasa yang menarik untuk diteliti. Ketiga, penelitian relasi kuasa di Resor Wisata Nusa Dua menjadi penting dalam konteks kajian budaya (cultural studies) karena dapat membantu kita atau pihak terkait untuk mengetahui persoalan-persoalan jauh ke balik yang tampak di permukaan. Kajian Budaya membukakan jalan kepada peneliti untuk berpikir dan bersikap kritis atas apa yang terjadi dalam sebuah sistem, tidak menerima begitu saja bahwa sistem berjalan dengan harmonis, sebaliknya selalu melihat bagaimana dinamika bergerak dalam sistem yang ada, saling-silang antara berbagai kubu yang memiliki kepentingannya yang tidak jarang berseberangan, atau dikatakan memiliki kepentingan yang sama tetapi dalam praktiknya ada kubu yang selalu berusaha untuk menjadi dominan, akibatnya timbul negosiasi atau resistensi atau kompromi dari pihak yang lain.
11
Seperti sudah ditegaskan di atas, jangkauan waktu penelitian ini dikhususkan pada periode waktu satu setengah dekade terakhir ini atau 15 tahun, yakni sejak 1998-2013. Sehubungan dengan persoalan relasi kuasa dewasa ini adalah lanjutan dari apa yang terjadi sejak awal pembebasan lahan dan proses awal pembangunan Nusa Dua, maka kajian juga melihat perkembangan secara empiris sejak pembebasan tanah sekitar tahun 1970 sampai saat ini dan perkembangan sejak mulainya sebuah hotel beroperasi mulai tahun 1983 sampai saat ini. Relasi kuasa yang ada sekarang selain disebabkan oleh situasi sosial politik dewasa ini, juga merupakan geneologi dari situasi pada masa lalu. Pertimbangan pemilihan periode terakhir ini adalah sebagai berikut. Pertama, masyarakat di daerah Nusa Dua sejak awal sudah berani secara terbuka untuk menyampaikan aspirasinya, melakukan negosiasi, bahkan perlawanan terhadap dua kubu di resor itu, yaitu BTDC dan investor. Kekecewaan itu antara lain bisa dilihat dalam penyerangan kantor BTDC dan perumahan Direksi BTDC pada kerusuhan 1999, di mana terjadi sejumlah kerusakan di rumah jabatan tersebut. Hegemoni kekuasaan Orde Baru yang memperlihatkan keharmonisan dan keamanan di permukaan ternyata dengan cepat menimbulkan perlawanan dan ketegangan ketika reformasi terjadi. Relasi kuasa mulai terjadi dalam bentukbentuk negosiasi, resistensi, dan kompromi pada masa reformasi, oleh karena itu, masuk akal untuk menjadikan tahun itu sebagai masa cakupan penelitian. Kedua, relasi kuasa antara ketiga kubu terus-menerus terjadi dalam satu setengah dekade (1998-2013), pada masa mana telah tercatat tiga direktur utama BTDC selama masa cakupan riset dan masing-masing dirut menghadapi persoalan
12
dalam relasi kuasa yang nyata. Ketiga dirut yang menjabat pada periode cakupan penelitian adalah Anak Agung Gede Rai (1996-2001), I Made Mandra (20012011), dan Ida Bagus Wirajaya (2011-sekarang). Jika ditelusuri ke belakang dalam periode 15 tahun terakhir, masing-masing dirut menghadapi proses negosiasi dan kompromi antara lembaga yang dipimpinnya dalam hal ini BTDC dengan investor dan masyarakat. Model relasi yang diwarnai dengan intimidasi tidak lagi terjadi seperti dahulu, maka negosiasi merupakan pilihan walaupun sering tidak mudah mendapatkan solusi. Terkadang, persoalan yang ada muncul berulang sebagai tanda kompleksnya persoalan atau sulitnya mendapatkan solusi yang abadi dalam perjalanan waktu yang berubah terus. Salah satu misalnya demonstrasi kelompok sopir taksi lokal terhadap hotel-hotel di Resor Wisata Nusa Dua yang menganaktirikan mereka dengan usaha taksi lain, yang tidak mengizinkan mereka untuk antre di hotel seperti halnya perusahaan taksi lain. Dengan demikian, pemilihan periode waktu riset ini memang berdasarkan adanya data empiris yang menarik untuk dikaji. Ketiga, pertimbangan aktualitas dan pencegahan lenyapnya ingatan terhadap apa yang belum lama terjadi. Data-data tentang apa yang terjadi dan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya masih hidup sehingga bisa dimintai komentar dan pendapat terhadap relasi kuasa di Nusa Dua. Hasil penelitian ini, bisa dijadikan bahan untuk meneliti hal serupa yang barangkali nyata terjadi pada masa awal pembangunan resor Nusa Dua dan tahun-tahun berikutnya. Penentuan cakupan waktu penelitian dalam 15 tahun terakhir bukan menganggap apa yang terjadi pada masa awal pembangunan Nusa Dua tidak penting, tetapi
13
membutuhkan tenaga dan waktu serta komitmen penelitian yang lebih berat atau sama beratnya dibandingkan dengan penelitian untuk 15 tahun terakhir. Sejak era reformasi, masyarakat mendapatkan ruang publik (public sphere) yang luas untuk menyampaikan aspirasinya, seperti lewat media massa, demonstrasi langsung, atau protes-protes verbal untuk mendapatkan apa yang dimengerti sebagai hak-haknya. Hal ini tidak saja terjadi dalam dunia politik, sosial, budaya tetapi juga dalam bidang pariwisata. Sering muncul dalam pemberitaan media massa di mana kelompok masyarakat melakukan penutupan jalan akses ke fasilitas pariwisata karena merasa bahwa mereka tidak memperoleh manfaat dari pariwisata di daerahnya, sebaliknya hanya mendapatkan dampak negatif mulai dari hal yang paling ringan seperti kebisingan transportasi, kerusakan jalan, sampai dengan kerugian peluang mendapatkan keuntungan finansial. Hal seperti ini juga terjadi di Nusa Dua seperti protes-protes masyarakat terhadap penutupan akses turis berbelanja ke kios seni yang dikelola rakyat tepat di kiri-kanan jalan sebelum gerbang masuk ke Nusa Dua. Sementara pihak BTDC dan juga investor menganggap kios-kios yang berjejer di pinggir jalan tampak kurang rapi dan menodai keindahan pesona gerbang masuk ke Resor Wisata Nusa Dua sehingga menembok tepian jalan, rakyat sekitar merasakan bahwa mereka berusaha di atas tanah sendiri dan memiliki hak untuk menikmati atau merebut peluang berusaha di bidang pariwisata sehingga menuntut agar tembok dirobohkan. Konflik terjadi dan diselesaikan dengan negosiasi, yakni dengan memotong tinggi tembok sehingga kios-kios milik rakyat bisa dilihat wisatawan
14
yang lewat, sedangkan kios-kios itu ditata rapi sehingga dapat semaksimal mungkin serasi dengan keindahan gerbang Resor Wisata Nusa Dua. Masih banyak persoalan yang muncul di Nusa Dua, tetapi yang harus diakui bahwa resor ini mampu menjaga stabilitas dan dinamika usaha investor dan peran resor sendiri dalam menyediakan fasilitas akomodasi dan konferensi berkelas dunia. Di balik negosiasi, dialog, resistensi, dan atau kompromi antara ketiga kubu, event-event bergengsi, berskala internasional, terus berlangsung di Nusa Dua dengan aman dan lancar, seperti pertemuan-pertemuan Tingkat Tinggi Menteri ASEAN, Climate Change World Summit, konferensi parlemen dunia, dan banyak lagi. Nusa Dua kian harum namanya sebagai resor wisata yang memiliki fasilitas dan kemampuan menjadi tuan rumah yang sukses, begitu juga citra positif diterima oleh Bali sebagai daerah wisata dan Indonesia sebagai negara yang aman. Dalam waktu penelitian ini dilaksanakan, Bali sudah ditunjuk sebagai tuan rumah untuk ajang Miss World (Setember 2013), APEC Meeting (Oktober 2013), World Cultural Forum (November 2013), semuanya merupakan pertemuan bergengsi yang kesuksesan pelaksanaannya ikut memberikan dampak positif pada Bali sebagai destinasi wisata kelas dunia dan Indonesia sebagai negara besar yang mampu menangani event-event besar. Dengan melakukan penelitian terhadap relasi kuasa antara kubu pemerintah (BTDC), masyarakat, dan investor di daerah Nusa Dua, diharapkan dapat diketahui pola-pola hubungan yang merugikan dan yang menguntungkan semua stakeholders sehingga kinerja resor pada khususnya dan destinasi wisata Bali pada umumnya bisa lebih ditingkatkan. Harapan pembangunan pariwisata
15
untuk kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan sesuai dengan cita-cita semula menjadikan pembangunan pariwisata sebagai pendukung pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini diarahkan untuk
menjawab permasalahan-permasalahan berikut. 1.
Bagaimana bentuk relasi kuasa antara ketiga pengampu kepentingan yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua pada masa pasca-reformasi 1998-2013?
2.
Ideologi apakah yang memengaruhi relasi kuasa dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua?
3.
Bagaimana pemaknaan relasi kuasa dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua oleh ketiga pengampu kepentingan yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan tersebut di atas, maka tujuan dari
penelitian ini dikelompokkan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan penelitian tersebut dijabarkan seperti berikut ini : 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui relasi kuasa antara tiga pilar, yaitu pemerintah (BTDC), pengusaha (investor), dan masyarakat dalam
16
pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua. Sebagai resor yang berubah dan berkembang pesat dari semula lahan kering, gersang, dengan potensi pertanian yang terbatas menjadi resor indah hijau dengan potensi ekonomi pariwisata yang besar, Nusa Dua nyata menimbulkan banyak persoalan sosial budaya. Dalam konteks inilah, menarik untuk menelusuri bagaimana bentuk, ideologi, dan makna serta dampak relasi kuasa antara tiga pilar di resor tersebut. 1.3.2 Tujuan Khusus Berdasarkan pada pokok masalah tersebut di atas, maka tujuan khusus penelitian dapat dirumuskan seperti berikut ini. a.
Untuk mengetahui bentuk relasi kuasa antara ketiga pengampu kepentingan yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua pada masa pasca reformasi 1998-2013.
b.
Untuk mengetahui ideologi yang memengaruhi relasi kuasa dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua.
c.
Untuk mengetahui pemaknaan relasi kuasa dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua, di kalangan tiga pengampu kepentingan yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman teoretis atas bentuk-bentuk relasi kuasa antara tiga pilar yang berhubungan langsung dengan pengembangan dan pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua (pemerintah, pengusaha,
17
dan masyarakat lokal). Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis dalam kajian budaya, khususnya mengenai usahausaha untuk memahami secara konseptual hubungan antara pemerintah, investor, dan masyarakat di Resor Wisata Nusa Dua. Apa yang tampak sederhana dalam pandangan awam atau di permukaan, jika ditelusuri secara kritis dengan kaca mata kajian budaya, dapat memberikan pemahaman baru tentang pola-pola relasi kuasa yang menjadi bagian dari dan memberikan pengaruh pada pengembangan dan pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua. 1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai berikut. 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengambil kebijakan, dalam kerangka pengembangan dan pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua yang memberikan kontribusi dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga bisa dijaga keberlanjutannya. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan ide-ide yang dapat digunakan mengembangkan industri pariwisata di Provinsi Bali khususnya atau di Indonesia umumnya terutama dalam kaitannya dengan pengembangan resor wisata yang pro-rakyat. 3. Penelitian ini diharapkan memberikan kesadaran kritis bagi masyarakat, agar masyarakat tidak menjadi objek penderita dalam pembangunan pariwisata di lingkungan Resor Wisata Nusa Dua.