RELASI KUASA DALAM PERISTIWA MIHNAH PADA MASA KHALIFAH AL-MAKMUN Saifuddin Zuhri dan Nurul Mazidah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRAK Sebagai disiplin keilmuan, ilmu kalam tumbuh dan berkembang setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Berbicara tentang ilmu kalam tak bisa lepas dari skisme dan sosio-historis peristiwa berdarah pada masa Khalifah Utsman bin Affan, yaitu peristiwa fitnah besar. Peristiwa tersebut merupakan pangkal permasalahan dalam tubuh umat Islam di berbagai bidang, khususnya politik, sosial, dan paham keagamaan. Kegunaan penelitian ini ada dua macam, yaitu tujuan praktis dan teoritis. Secara teoritis untuk menambah khazanah keilmuan terotama dalam bidang Ilmu Ushuluddin, terutama studi aliran politik dan aqidah dalam pemikiran Islam. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) karena sumber data-datanya berasal dari hasil telaah pustaka, terutama yang berkenaan dengan sejaiah Daulah Abbasiyah khususnya pada masa khalifah Al-Makmun. Dari penulusuran penulis didapat kesimpulan bahwa Motiv kepentingan awal yang mendorong Mu’tazilah untuk menjalin hubungan dekat dengan khalifah alMakmun adalah untuk meluruskan pemahaman aqidah masyarakat awam. Aliran Mu’tazilah yang selama ini diduga kuat sebagai otak dibalik peristiwa mihnah pada masa khalifah al-Makmun, ternyata jika dilihat dengan menggunakan perspektif relasi kuasa Michel Foucault bukanlah sebagai dalang intelektual yang sesungguhnya. Kata Kunci: Relasi Kuasa, Mihnah, Mu’tazilah.
PENDAHULUAN Ilmu kalam merupakan salah satu disiplin keilmuan yang tumbuh dan
menjadi bagian dari tradisi kajian keilmuan, terutama tentang teologi Islam. Fokus pembahasan dalam ilmu kalam
Relasi Kuasa dalam Peristiwa ... (Saifuddin Zuhri dan Nurul Mazidah)
85
adalah tentang Tuhan dan berbagai derivasinya. Ilmu kalam atau disebut juga teologi (theos berarti Tuhan dan logos adalah Ilmu) banyak disebut juga sebagai teologi dialektis /rasional khas Islam. Sebagai disiplin keilmuan, ilmu kalam tumbuh dan berkembang setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Berbicara tentang ilmu kalam tak bisa lepas dari skisme dan sosio-historis peristiwa berdarah pada masa Khalifah Utsman bin Affan, yaitu peristiwa fitnah besar. Peristiwa tersebut merupakan pangkal permasalahan dalam tubuh umat Islam di berbagai bidang, khususnya politik, sosial, dan paham keagamaan. Dengan demikian, ilmu kalam merupakan suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan yang tumbuh dan bertolak dari fitnah besar itu. Akibat fitnah tersebut, muncullah berbagai perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin yang melahirkan berbagai macam mazhab dalam aspek i’tiqad, politik, dan fiqih. Namun pada dasamya, perbedaan tersebut tidak sampai menyentuh inti agama Islam. Perbedaan politik dan pendapat di kalangan umat Islam disebabkan oleh beberapa hal, antara lain fanatisme Arab, perebutan kekhalifahan, pergaulan muslimin dengan penganut berbagai macam agama terdahulu dan masuknya sebagian mereka ke dalam Islam, penterjemahan buku-buku filsafat, melakukan pembahasan masalah-masalah yang rumit, munculnya pendongeng, peng86
galian hukum syar’i, serta adanya ayatayat mutasyabihat dalam al-Qur’an (Zahrah, 1996: 6-15). Menurut Abu Zahrah, perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin pada hakikatnya dapat dibedakan menjadi dua sebab,yaitu sebab yang bersifat praktis dan sebab yang bersifat teoritis. Perbedaaan yang bersifat praktis dapat dilihat pada pemberontakan pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, peristiwa yang terjadi antara golongan Ali dan dan Khawarij, perbedaan antara antara Ibnu Zubair dan keluarga Umawiyah, dll. Pergulatan-pergulatan yang terjadi antara berbagai mazhab politik tersebut telah menimbulkan bencana besar bagi kaum muslimin dan pada akhimya memunculkan berbagai mazhab baru. Bentuk perbedaaan yang bersifat teoritis ilmiah dapat dilihat pada masalah aqidah dan furu’. Meskipun begitu, perbedaan yang terjadi tidak melampaui batas-batas teoritis dan orientasi berpikir. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemunculan berbagai aliran teologi dalam Islam dilatarbelakangi oleh kondisi sosio-historis dan politik pada saat itu. Adapun aliran politik dan aqidah yang muncul dan berkembang pada periode pasca khulafaurrasyidin antara lain Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Syiah, Jabbariyah, Asy’ariyah, dll. Masingmasing golongan memiliki pandangan dan argumentasi yang berbeda untuk menguatkan keyakinan pendapat mereka. Pergolakan perebutan kekuasaaan pasca kepemimpinan Muhammad
SUHUF, Vol. XVIII, No. 01/Mei 2006: 85 - 98
SAW dan khulafaurrasyidin juga terjadi di kalangan keluarga Bani Hasyim sehingga melahirkan dua kubu yang sating bersaing dalam keluarga besar Bani Hasyim, yaitu kubu Umayyah dan kubu Abbasiyyah. Pada awalnya, kubu Umayyah berkuasa dan memegang tampuk pemerintahan. Kebijakankebijakan yang ditetapkan oleh penguasa Bani Umayyah menomorduakan masyarakat non-Arab, dan memberikan hak istimewa pada masyarakat Arab. Perlakuan yang tidak adil di dalam masyarakat tersebut akhirnya memunculkan kekecewaan dan perasaan tidak suka pada penguasa. Hal itu merupakan salah satu faktor pemicu pecahnya perlawanan dengan penguasa. Melihat ketimpangan yang ada serta kepentingan kelompok yang belum terakomodasi, kubu Abbasiyah memanfaatkan kekecewaan dan solidaritas perlawanan dari kelompok-kelompok yang dipinggirkan untuk menggulingkan penguasa Daulah Bani Umayyah. Berbagai cara dan dukungan dari pihak-pihak yang merasa tidak suka pada penguasa digunakan untuk menggulingkan kekuasaan Bani Umayyah. Pada akhimya, perjuangan panjang mereka membuahkan hasil, yaitu dengan lengsernya Dinasti Umayyah. Kemunculan Dinasti Abbasiyah disambut antusias oleh masyarakat Arab dan non Arab. Dalam sejarah dituliskan bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah telah mengantarkan kejayaan Islam pasca khulafaurrasyidin. Pada saat itu, ilmu pengetahuan telah berkembang sehingga
kesejahteraan rakyat terjamin. Masa Dinasti Abbasiyah banyak memberikan kontribusi dalam melakukan pembaharuan dan sumbangan bagi perkembangan dunia Islam. Kegemilangan dan masa keemasan Daulah Abbasiyah dapat dirujuk pada masa kepemimpinan Khalifah Harun al-Rasyid dan alMakmun. Secara umum, Syalabi membagi periodesasi Daulah Abbasiyah dalam empat periodesasi, yaitu: 1. Masa I, lahimya Daulah Abbasyiah tahun 132H/750 M. Masa ini berakhir sampai meninggalnya Khalifah Al-Watsiq; 2. Masa II, yaitu masa pemerintah Khalifah Al-Mutawakkil tahun 232 H sampai dengan berdirinya Dinasti Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H (946 M); 3. Masa III, yaitu masa berdirinya Dinasti Buwaihiyah tahun 334 H (946 M) sampai dengan masuknya kaum Saljuk ke Baghdad tahuh 447 H (1055 M); 4. Masa IV, yaitu masuknya orangorang Saljuk ke Baghdad dan berakhir dengan jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tatar di bawah pimpinan Hulago Khan pada tahun 656 H (1268 M). Periodesasi di atas menyiratkan bahwa tiap-tiap masa kekhalifahan memiliki ciri-ciri khusus. Masa kekhalifahan pertama merupakan zaman kejayaan Dinasti Abbasiyah. Diantara khalifah periode pertama yang paling
Relasi Kuasa dalam Peristiwa ... (Saifuddin Zuhri dan Nurul Mazidah)
87
menonjol adalah Harun al-Rasyid dan alMakmun. William L langer dalam Encyclopedia of World History, mengungkapkan tentang kebesaran dan kegemilangan Khalifah al-Makmun bahwa ia sangat memperhatikan tentang Ilmu Pengetahuan temtama di bidang kesusastraan, ilmiah, filsafat yang telah disalin ke dalam bahasa Grik, Siryani, Persia dan Sanskrit. Selain itu, digalakkan pembangunan beberapa pusat ilmu pengetahuan, antara lain pembangunan observatorium, gedung ilmu perpustakaan yang kaya raya (Bait al-Hikmat), juga sikap keberagamaan yang bebas (Syalabi, 1993: 214). Masa pemerintahan Khalifah AlMakmun juga tidak lepas dan pemberontakan berbagai fihak yang merasa tidak suka dan bermaksud untuk menggulingkan kepemimpinan Al-Makmun. Namun semua itu dapat di atasi karena dia adalah figur pemimpin intelektual serta ahli dalam strategi berperang dan ahli politik. Al-Makmun adalah seorang yang sangat tekun dan gemar belajar. AlMakmun sering mengadakan diskusi untuk saling bertukar pandangan, oleh karena itu ia terkenal dengan keintelektualannya. Berbagai fasilitas telah dibangun dengan tujuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan demi kemajuan Islam. Diskusi-diskusi tentang aliran filsafat Grik dan aliran filafat Islam serta keyakinan keagamaan yang dianggap menarik terns berjalan. Peserta diskusi terdiri dan berbagi kalangan, antara lain 88
aliran mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, Sunni. Meskipun begitu, pada kenyataannya forum diskusi lebih banyak di dominasi oleh tokoh-tokoh i’tizal (Mu’tazilah) yang berpedoman pada nalar logika Grik dan India (nyanya) untuk mematahkan pendapat dan keyakinan yang berlawanan dengan kebenaran Islam (Sou’yb, 1992:215). Mu’tazilah dengan berbagai ajarannya telah menarik perhatian para pejabat pemerintahan bahkan al-Makmun sendiri sebagai penguasa. Kekaguman ini mendorang alMakmun mengumumkan dan menetapkan bahwa Mu’tazilah merupakan salah satu aliran resmi negara. Terkait erat dengan kebijakan tersebut, pada masa Khalifah al-Makmun, mencuat peristiwa kontroversial yang belum pemah terjadi pada masa khalifah sebelumnya, yaitu tentang kebijakan menerapkan “mihnah”. Mihnah adalah pemeriksaan terhadap pemahaman dan keyakinan keagamaan seseorang, terutama tentang status kalam Allah di dalam al-Qur’an. Pada mulanya “mihnah” hanya diberlakukan di kalangan para pejabat, terutama para hakim dan menteri- menteri al Makmun. Namun kemudian kebijakan mi merembet pada kalangan fuqaha’ dan muhadditsin. Kebijakan politis al-Makmun tersebut tidak disia-siakan oleh golongan Mu’tazilah, karena dengan begitu mereka dapat mencari persamaan pandangan dari kalangan fuqaha’. Langkah ini seakan menyampaikan pesan bahwa Khalifah al Makmun adalah seorang penganut
SUHUF, Vol. XVIII, No. 01/Mei 2006: 85 - 98
paham Mu’tazilah. Ia bergaul, mendekati dan mendukung golongan ini. Bahkan ia mengangkat para menteri dari golongan ini. Diskusi umum yang yang terjadi pada masa itu mengalami perubahan sebab diskusi ilmiah mi menjadi arena pemaksaaan, ancaman, dan kekerasan. Mereka mempunyai maksud untuk menarik dan mencari massa agar mengikuti golongan Mu’tazilah. Khalifah sebagai penguasa tak segan-segan untuk menggunakan kekuasaannya untuk memaksa dan menekan mereka yang tidak sepakat dengan pendapat yang disodorkan oleh golongan Mu’tazilah. Para fuqaha’ dan muhadditsin dipaksa untuk mengakui bahwa al-Qur’aa adalah makluk, dan apabila mereka menolak maka akan diintimidasi. Persoalan yang diperdebatkan adalah tentang status kemahlukan alQur’an. Para ulama berpendapat bahwa al-Qur’an adalah qadim sehingga bukan mahluk (hadits). Pendapat tersebut berlawanan dengan pendapat golongan Mu’tazilah serta penguasa yang berkeyakinan bahwa status al-Qur’an adalah hadits (mahluk). Kaum Mu’tazilah menolak sifat-sifat ma’ani Allah yang diantaranya adalah kalamullah, karena pengakuan terhadap sifat-sifat ini membawa kepada kemajemukan sifatsifat yang qadim. Dan ini bersentuhan dengan tauhid. Menjadi berasalan bila mereka mengatakan bahwa al-Qur’an adalah mahkluk yang berupa suara dan huruf serta bukan dzat Allah. Dan bukan semata-mata Allah menciptakannya dari
lauh mahfudz (Zahrah, 1996: 158). Dalam hal ini, penguasa telah turut campur tangan dalam masalah keyakinan dengan melegitimasi ideologi Mu’tazilah sebagai aliran resmi negara. Campur tangan penguasa dan pemerintah itu diwujudkan dalam bentuk pemeriksaan (mihnah). Kebijakan yang ditetapkan oleh pihak pengusa tersebut sangat bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama. Dalam al-Qur’an telah jelas dinyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Dengan begitu, menjadi pertanyaan besar apakah kebijaksanaan yang diterapkan oleh penguasa Khalifah al Makmun dengan dukungan golongan Mu’tazilah tersebut mumi ingin menegakkan kemumian dalam beragama, atau justru karena ada tendensi dan motif-motif politis lain. Silang pendapat, pergulatan, dan pertarungan pemikiran antara pihak penguasa dan para ulama tentang masalah keyakinan terhadap al-Qur’an dalam persepektif analisis wacana akan melahirkan suatu interaksi dan relasi dominatif, yang dalam pemikiran Foucauldian dikenal dengan terminologi relasi kuasa. Secara geneologis, teori relasi kuasa dikenalkan oleh Michel Foucault. la banyak mengupas tentang hubungan “kecurigaan” dan kepentingan dalam relasi pengetahuan (knowledge) dan kekuasaan (power). Kuasa menurut definisi Foucault adalah suatu hal yang tidak hanya dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi, yang berkaitan satu sama
Relasi Kuasa dalam Peristiwa ... (Saifuddin Zuhri dan Nurul Mazidah)
89
lainnya. Preposisi ini mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa strategi kuasa bersifat de-centering sehingga prosesnya berlangsung di manapun; di mana terdapat susunan, aturan-aturan, sistemsistem regulasi, dimana ada manusia yang saling berhubungan dengan dunia tertentu. Disitulah relasi kuasa hidup dan beroperasi. Bagi Foucault, kekuasaan selalu ter-artikulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu menimbulkan efek kuasa. Penguasa selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaaannya. Penguasa tidak memperbolehkan adanya kekuatan wacana tandingan yang nantinya dapat mempengaruhi kebijakan dan kelangsungan kekuasaannya. la akan menyingkirkan kekuatan-kekuatan oposisi dengan menerapkan kebijakan dan berbagai peraturan yang bersifat menekan pihakpihak yang tidak sepakat dengan penguasa (Eriyanto, 2001:66). Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa, tetapi jaringan pengetahuan berada dalam konstruksi relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memproduksi pengetahuan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi penguasa dan tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaaan, sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan (Eriyanto, 2001:66). Dalam perspektif analisis wacana relasi kuasa, peristiwa “mihnah” mengisyaratkan adanya kekuatan legitimasi dari pemerintahan Al-Makmun untuk 90
mengukuhkan wacana “mihnah” sebagai alat politik untuk menyingkirkan lawan ideologi penguasa sekaligus membangun dominasi ideologi Mu’tazilah. Dan aparatus penguasa berusaha untuk menetapkan ideologi Mu’tazilah sebagai ideologi resmi negara yang bersifat tunggal. Dengan menggunakan analisis wacana relasi kuasa, penulis ingin mengungkap motif-motif di yang melatari peristiwa “mihnah” pada masa Khalifah al-Makmun. Perumusan Masalah Dari latar belakang dan pokok permasalahan di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Apa motif kepentingan Muta’zilah dalam peristiwa Mihnah pada masa Khalifah Al-Makmun. 2. Bagaimana peran dalam peristiwa Mihnah pada masa Khalifah AlMakmun. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui secara lengkap motif kepentingan Muta’zilah dalam peristiwa Mihnah pada masa Khalifah AlMakmun. 2. Mengetahui peran Muta’zilah dalam peristiwa Mihnah pada masa Khalifah Al-Makmun. Kegunaan penelitian ini ada dua macam, yaitu tujuan praktis dan teoritis.
SUHUF, Vol. XVIII, No. 01/Mei 2006: 85 - 98
Secara teoritis untuk menambah khazanah keilmuan terotama dalam bidang Ilmu Ushuluddin, terutama studi aliran politik dan aqidah dalam pemikiran Islam. Dalam hal ini, aliratt teologi Mu’tazilah merupakan salah satu aliran teologi Islam yang menjadi obyek kajian ini. Sedangkan tujuan praktisnya adalah untuk mendalami kajian teologi Islam sekaligus berusaha meletakan pergulatan teologi Islam dalam perspektif analisis wacana. METODOLOGI PENELITIAN 1. Jenis penelitian. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) karena sumber datadatanya berasal dari hasil telaah pustaka, terutama yang berkenaan dengan sejaiah Daulah Abbasiyah khususnya pada masa khalifah AlMakmun. 2. Pendekatan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kritik sejarah (Critical History) dengan metode analisis induktif dan meng-gunakan perspektif analisis wacana relasi kuasa. 3. Sumber data primer. Sumber data primer berasal dan buku-buku, datadata, catatan-catatan yang berkaitan dengan sejarah Daulah Bani Abbasiyah terutama pada masa Khalifah al-Makmun, peristiwa “mihnah” serta pemikiran aliran Mu’tazilah. Buku dan data-data tentang analisis wacana Michel Foulcault terutama tentang wacana relasi kuasa.
4. Sumber Data Sekunder. Sumber data sekunder dalam penelitian adalah segala sesuatu yang menunjang dan berkaitan dengan penelitian ini. 5. Tehnik Pengumpulan Data. Tehnik pengumpulam data melalui dokumentasi, setelah data dikumpulkan maka data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode induktif, yaitu analisa yang berpangkal pada kaidah-kaidah yang khusus kemudian disusun rumusan yang bersifat umum (Hadi. 1987: 42). 6. Teknik Analisis. Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan metode induktif yaitu: metode berpikir yang berangkat dari faktor yang khusus/peristiwa yang konkret kemudian dari faktor-faktor atau peristiwa-peristiwa yang khusus itu ditarik generalisasi yang mempunyai sifat yang umum (Sutrisno, 1987:42). DESKRIPSI HASIL PENELITIAN A. Posisi, Peran, dan Kepentingan Mu’tazilah Dalam peristiwa mihnah ada 2 kubu yang mengendalikan permainan, yaitu pihak penguasa (khalifah Al Makmun) dan golongan Mu’tazilah (sebagai salah aliran keagamaan). Keduanya saling bekerjasama untuk mencapai tujuan masing-masing. Menurut analisis relasi kuasa hubungan antara AlMakmun dan aliran Mu’tazilah merupakan suatu hubungan sosial di mana kepentingan kuasa sedang terjadi. Tanpa
Relasi Kuasa dalam Peristiwa ... (Saifuddin Zuhri dan Nurul Mazidah)
91
disadari terjadi konflik terselubung dengan memakai dalih wacana agama. Di sisi lain, semua orang mengetahui bahwa persoalan tersebut merupakan persoalan bersifat furu’iyah yang memberi kemungkinan adanya berbagai perbedaan dan berbagai sudut pandang dalam melihatnya, sebab ia merupakan persoalan ijtihad, di mana argumenargumen yang dikemukakan oleh kedua pihak yang berhadapan sering saling bertemu dari aspek pandangan agama (al Jabiri, 2003). Persoalan kemahlukan al Qur’an (khalq al-Quran) merupakan bagian dari persoalan cabang yang lahir dari salah satu persoalan pokok (prinsip) Mu’tazilah, yaitu prinsip keadilan (al-Adalah). Bagi penganut paham mu’tazilah doktrin tersebut adalah berkaitan tentang ketauhidan/ pengesaan terhadap Allah. Dalam berbagai kajian kontemporer yang membahas tentang mihnah yang dilakukan oleh para orientalis maupun peneliti arab sendiri, disimpulkan bahwa Mu’tazilah yang hubungan dekat dengan pemerintah sebenamya memiliki niat dan tujuan yang baik serta terpuji, sebab mereka memandang telah terjadi penyimpangan dalam keyakinan keagamaan (keimanan) banyak orang dan harus diperbaiki. Menurut mereka, perbaikan tersebut harus dilakukan terutama pada masalah pengesaan kepada Allah (tauhidullah) dan pandangan masyarakat terhadap keadilan Allah (al Jabiri, 2003:159). 92
Prinsip keadilan dalam pandangan Mu’tazilah adalah bahwasanya Allah tidak menyukai kerusakan dan tidak menciptakan perbuatan hamba, tetapi hambalah yang melakukan apa yang di perintahkan dan yang dilarang dengan qudrah (daya) yang diletakkan dan diberikan Allah kepada mereka (Zahroh,1996: 152). Dalam menafsirkan tentang al Quran sebagai mahluk dilandasi dari penafian sifat-sifat ma ‘ani yang meliputi al qudrah, al iradah, al sama, al bashar, al kalam dari Allah. Penafian sifat-sifat ini bertujuan untuk mensucikan Allah dari menyerupai yang baru. Sifatsifat itu mereka ta’wilkan menjadi namanama dari dzat Yang Maha Tinggi, bukan nama-nama itu. Dengan menafikan sifat kalam, mereka mengingkari bahwa Allah mutakallimun (berfirman). Ayatayat al Qur’an yang menisbahkan kata al kalam kepada Allah mereka memaknai dengan Allah menciptakan al kalam di pohon itu, sebagaimaan la menciptakan segala sesuatu. Atas dasar itu, mereka menetapkan bahwa al kalam adalah mahluk Allah dan karenanya al Qur’an adalah mahluk Allah (Zahroh, 1996:176). Pendapat tentang kemahlukan al Qur’an yang dijadikan sebagai legitimasi oleh penguasa Al Makmun untuk melaksanakan mihnah pada pejabat dan ulama, adalah didasarkan alasan ini. Dan ketika Al Makmun naik tahta dan berkuasa di baghdad, mulailah ia didekati oleh aliran Mu’tazilah. Kedekatan antara Al Makmun dan aliran Mu’tazilah telah membuahkan beberapa hasil, di antaranya
SUHUF, Vol. XVIII, No. 01/Mei 2006: 85 - 98
kebanyakan pejabat negara sudah banyak yang menjadi pengikut aliran ini, khalifah memberikan tempat bagi aliran ini untuk berkembang bahkan hampir dijadikan sebagai aliran resmi negara, diangkatnya beberapa orang Mu’tazilah menjadi pejabat pemerintah, dan kuatnya kepercayaan yang diberikan khalifah kepada aliran ini sebagai budi atas jasa mereka. Dapat dikatakan bahwa aliran Mu’tazilah pada saat kekhalifahan Al Makmun mendapat tempat yang istimewa di sisi penguasa. Dan sebagai gantinya mereka memberikan kehormatan kepada Al Makmun untuk menyebarkan tentang kemahlukan al Quran. B. Kepentingan Politis-Ideologis Atas Nama Wacana Agama Tragedi mihnah ‘khalq al-qur ‘an pada masa kekuasaan khalifah Al Makmun, Al Mu’tashim dan Al- Watsiq sebenamya merupakan pemanfaatan agama demi tujuan politik. Sedangkan konflik yang sebenamya adalah bersifat politis, seperti konflik yang terjadi antara Ali dan Muawiyyah yang dibungkus dengan konsep keagamaan. Peristiwa mihnah merupakan suatu kejadian politis yang dibungkus dengan menggunakan agama. Jadi politik dipraktekkan dengan menggunakan konsepkonsep dan idiom-idiom keagamaan. Sebagaimana wilayah politik lainnya tidak pernah terpisahkan dan dibedakan dari wilayah keagamaan. Fenomena yang muncul adalah menjamurnya
gerakan oposisi populis yang melakukan perlawanan dengan memakai basis masjid disertai pemanfaatan wacana keagamaan. Agar wacana oposisi ini tetap berada dalam batas-batas politik maka harus diusahakan untuk menghindari konfrontasi langsung dengan para oposannya, dengan begitu mereka harus mencari cara lain untuk menjalankan politik mereka sekaligus dijadikan sebagai medium politik secara tidak langsung. Dan isu mihnah yang diangkat oleh khalifah Al Makmun merupakan salah satu cara penguasa untuk mempertahankan eksisitensinya sebagai penguasa tunggal dan menyingkirkan semua lawan politiknya yang dianggap akan mengancam kelangsungan dan keamanan kekuasaannya. Dalam relasi kuasa terdapat komponen penguasa dan yang dikuasai, Berdasarkan hal tersebut, dalam peristiwa mihnah, relasi kuasa yang sedang beriangsung adalah antara penguasa (pemerintah khalifah Al Makmun) dan penduduk kota Baghdad/penduduk disekitar wilayah kekuasaan imperium Abbasiyah. Relasi kuasa tersebut merupakan suatu hubungan sosial yang dibangun oleh penguasa dengan menggunakan strategi kuasanya. Dalam pandangan Foucault, kuasa disalurkan melalui hubungan sosial. Hubungan sosial tersebut memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku. Relasi sosial inilah yang memproduksi bentuk subjektivitas
Relasi Kuasa dalam Peristiwa ... (Saifuddin Zuhri dan Nurul Mazidah)
93
dan perilaku, lebih dari secara sederhana di gambarkan sebagai bentuk restriksi. Dalam penerjemahan terhadap peristiwa mihnah pada masa khalifah Al-Makmun, penguasa memproduksi bentuk-bentuk pengendalian perilaku yaitu dalam produksi wacana tentang kemahlukan alqur’an (khalq al-qur ‘an). Produksi wacana merupakan strategi yang diterapkan oleh penguasa. Karena kekuasaan tidak akan dapat berjalan tanpa ada pemfungsian dan pelembagaan sebuah wacana. Wacana akan menghasilkan kebenaran melalui kekuasaan. Wacana tentang khalq alqur’an yang digulirkan oleh khalifah AlMakmun, secara implisit mengandung dua makna, yaitu secara politis dan agama. Seperti telah dijelaskan di atas tentang kronologi peristiwa mihnah, jika di lihat dari kacamata relasi kuasa terdapat suatu kepentingan yang mengatasnamakan keamanan negara dan di kendalikan oleh pihak penguasa. Inilah wacana diskursif yang sengaja dibangun oleh rejim berkuasa. Untuk membentuk suatu wacana diskursif diperiukan beberapa komponen yaitu kekuasaan (power), keinginan (will), disiplin (disciplin) dan rezim (rezim). Keempat komponen tersebut pada peristiwa mihnah sudah ada. Al Makmun sebagai penguasa bertindak sebagai pusat kekuasaan yang memiliki hak dan kekuasaan untuk mengatur dan pengendali pada suatu pemerintahan. Komponen kedua yaitu adanya keingi94
nan (will) dari pihak penguasa untuk menciptakan ikiim pemerintahan yang berada dalam kendalinya secara penuh tanpa ada pihak lain yang menjadi lawannya sekaligus dapat mengancam kelangsungan kekuasaannya. Kehendak berkuasa tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, kebijakan tentang mihnah bagi para pejabat negara, tokoh agama/ ulama’ serta masyarakat pada umumnya adalah salah satu tujuan untuk menyatukan persepsi. Selanjutnya diperiukan adanya disiplin, fungsi dari disiplin ini adalah untuk membatasi dan membuat keteraturan sehingga tercipta kondisi yang seragam dalam masyarakat. Tujuan AlMakmun untuk menggulirkan wacana mihnah salah satunya adalah untuk menciptakan iklim yang homogen dalam masyarakat Baghdad, artinya tidak ada pendapat yang berbeda sehingga menimbulkan pertentangan antara penguasa dan rakyat. Rakyat didisiplinkan melalui segenap peraturan, yaitu kewajiban rakyat untuk mematuhi dan mengikuti perintah khalifah; mengakui tentang kemahlukan al Qur’an. Apabila ada yang melakukan pembangkangan (tidak sepakat) maka penguasa akan memberikan sanksi baik secara fisik maupun mental. Bagi yang tidak patuh maka akan menerima hukuman dan sebaliknya yang mematuhi akan bebas-dari sanksi bahkan ada yang diberi hadiah. Biasanya forum pengakuan dibuka di depan umum hal
SUHUF, Vol. XVIII, No. 01/Mei 2006: 85 - 98
itu sengaja di lakukan oleh pihak penguasa agar masyarakat mengerti dan bisa memberikan penilaian terhadap tindakan yang diambil oleh orang tersebut. Forum pengakuan dan penyiksaan yang dilakukan didepan khalayak umum biasanya khusus bagi para tokoh yang dianggap memiliki pengaruh di masyarakat tak jarang juga penguasa memberikan imbalan apabila sepakat dengan pendapat penguasa dan memberikan hukuman bagi yang membangkang. Barangkali itulah taktik yang dilakukan oleh penguasa untuk mendisiplinkan rakyat. Komponen selanjutnya yaitu rezim yang berkuasa, rezim daulah Abbasiyah sebagai lembaga negara resmi yang memiliki hak paten dalam menetapkan dan mengatur negara. Begitupun juga pada masa khalifah Al-Makmun sebagai kepala pemerintahan, ia memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijaksanaan atas nama keamanan negara. Keputusan khalifah untuk memberlakukan mihnah terhadap rakyatnya dengan menggulirkan wacana khalq alqur’an pada masa itu, alasan yang dikemukakan adalah untuk meluruskan pandangan keagamaan di kalangan rakyat (masyarakat awam) serta untuk meluruskan pandangan yang selama ini telah diyakini oleh para ulama’. Pelurusan pandangan keagamaan itu utamanya berkaitan dengan masalah ketauhidan (tauhidullah). Sebagai khalifah yang mendapat amanat dan Allah sebagai wakilnya di muka Bumi, khalifah Al-Makmun merasa
berkewajiban untuk meluruskan pandangan keagamaan rakyatnya. Atau secara lugas menurut perspektif Foucault, mihnah adalah bagian dari perwujudan dari kekuasaannya dalam memproduksi kebenaran untuk meregulasi dan menciptakan keteraturan. Dengan mengambil pokok pikiran aliran Mu’tazilah tentang kemahlukan alqur’an, Al Makmun mempertahankan pandangan aliran ini dan mengklaim dirinya sebagi salah satu penganut aliran ini. Jika dilihat dengan menggunakan relasi kuasa, sebenamya bukan karena alasan pemahaman keagamaan semata. Selaku penguasa yang memiliki otoritas atas rakyat dan kelangsungan kekuasaannya, Al Makmun (terpaksa) hams mengambil langkah untuk melakukan mihnah pada rakyatnya. Secara politis tindakan Al Makmun tersebut merupakan tindakan preventif terhadap eksisitensinya sebagai penguasa. Dengan taktik tersebut ia mengira akan dapat menyatukan persepsi dan mengunci rakyat dalam genggamannya. Kondisi pada saat itu menunjukkan bahwa masih ada ketidakpuasan atas kepemimpinan Bani Abbasiyah, secara tersirat pihak-pihak yang dulunya memiliki dendam politik atas terpilihnya Al Makmun adalah para pendukung yang berkebangsaan Arab. Setelah pertikaiannya dengan Al Amin yang mempunyai darah keturunan Arab, pemerintahan Al Makmun lebih didominasi oleh orang-orang Persia dan beberapa tokoh aliran Mu’tazilah.
Relasi Kuasa dalam Peristiwa ... (Saifuddin Zuhri dan Nurul Mazidah)
95
Secara ideologis, penanaman pandangan keagamaan yang seragam adalah strategi yang digunakan khalifah Al-Makmun untuk menyingkirkan rival politiknya. Seperti yang sudah diuraikan di depan bahwa mayoritas penduduk kota Baghdad dan sekitamya adalah penganut aliran ahlu as-sunnah wal jama’ah yang memegang kuat pendirian bahwa al Qur’ an adalah qadim. Menurut pandangan golongan ini, Al Makmun sebagai penguasa dalam menentukan kebijakan dan mengambil keputusan haruslah selalu berpegang pada al Qu’an dan as-Sunnah. Dan yang paling menguasai tentang bidang ini adalah hanya para ulama’. Dan hal ini menimbulkan kesan bahwa yang berhak menjadi pemimpin adalah dari golongan ulama’. Di lain pihak, golongan Syi’ah (keturunan Ali) berpendapat bahwa yang lebih berhak menjadi pemimpin adalah keturunan Ali yang merupakan menantu Nabi. Dari sini tampak adaya dua kubu yang sating memperebutkan jabatan sebagai penguasa pada masa itu. Pada akhirnya pertikaian lebih dimenangkan oleh Bani Hasyim yang masih ada hubungan kerabat dengan Nabi. Pada masa kekhalifahan Al Makmun, ia mempunyai tekad untuk meredakan ketegangan di antara dua blok tersebut. Mihnah (inquisisi) pada masa AlMakmun dilakukan sebagai usaha untuk mendamaikan dua belah kubu. Namun sayangnya dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kelemahan. Kelemahan96
kelemahan tersebut antara lain penggunaan kekerasan oleh khalifah sebagai penguasa serta pemaksaan pandangannya terhadap para ulama’, pejabat negara dan rakyat pada umumnya. Walaupun sebagai penguasa ia memiliki kekuasan untuk mengendalikan dan mengatur rakyatnya. Padahal menurut Foucault, kekuasaan bekerja melalui cara yang produktif dan positif bukan melalui penindasan dan represi. Namun pada kenyataannya khalifah Al-Makmun menggunakan dan mempraktekkan kekuasannya secara represif dan otoriter, sehingga dalam hal ini banyak fihak yang dirugikan atau muncul adanya ketimpangan dalam negara tersebut. Dari ketimpangan itulah yang menyebabkan munculnya berbagai aksi protes dan munculnya kebencian dalam diri rakyat terhadap penguasa yang dianggap telah bertindak sewenangwenang. Di mata rakyat, pihak-pihak yang mengalami korban intimidasi pengusa dianggap sebagai pahlawan yang memiliki keberanian untuk menentang kebijakan penguasa. Pudamya kepercayaan serta melemahkan dukungan politik masyarakat terhadap pemerintah mempakan salah satu akar kemunduran sekaligus awal keruntuhan rezim yang sedang berkuasa. KESIMPULAN Sebelumnya telah diuraikan tentang sejarah dan latar belakang sosial dan politik peristiwa mihnah. Terkait dengan
SUHUF, Vol. XVIII, No. 01/Mei 2006: 85 - 98
rumusan dan tujuan pokok penelitian ini, penulis dapat mengambil kesimpulan: 1. Motiv kepentingan awal yang mendorong Mu’tazilah untuk menjalin hubungan dekat dengan khalifah alMakmun adalah untuk melumskan pemahaman aqidah masyarakat awam. Namun kepentingan politis penguasa yang kuat telah mendorong kolaborasi tersebut bembah menjadi perselingkuhan kekuasaan (politik) dan agama dengan memakai wacana agama sebagai senjata legitimasi. 2. Aliran Mu’tazilah yang selama ini diduga kuat sebagai otak dibalik peristiwa mihnah pada masa khalifah al-Makmun, ternyata jika dilihat dengan menggunakan perspektif relasi kuasa Michel Foucault bukanlah sebagai dalang intelektual yang sesungguhnya. Namun pada kenyataannya posisi Mu’tazilah tidak lebih sebagai salah satu alat dan perantara yang dimanfaatkan oleh negara untuk melegitimasi sekaligus melanggengkan kekuasaannya. Maka, relasi kuasa yang terbangun
adalah negara (penguasa Khalifah alMakmun) mendominasi, menghegemoni bahkan merepresi kalangan ulama’ dan masyarakat awam, khususnya ulama’ yang berasal dari aliran ahlu as-Sunnah waljama ‘ah dan golongan oposisi. SARAN 1. Kritik analisis wacana dapat dikembangkan dan diterapkan sebagai perangkat analisis sejarah dalam wacana pemikiran Islam. 2. Perspektif kritis harus tetap dikembangkan dan dimiliki oleh (setidaknya) para intelektual Islam, praktisi, akademisi dan masyarakat pada umumnya, sehingga akan tercipta suatu dinamika wacana keislaman untuk kemajuan Islam dan masyarakat pada umumnya. Namun wacana kritik (critical discourse) tersebut harus tetap disinari oleh hidayah al-Qur’an dan Sunnah, sehingga kemajuan intelektualisme Islam membawa rahmat bagi semua umat manusia
DAFTAR PUSTAKA Armstrong, Karen. 2002. Islam Sejarah Singkat (terj). Jakarta: Jendela Bosworth. 1993. Dinasti-dinasti Islam (terj) Bandung: Mizan
Engineer, Asghar Ali. 1999. Asal Usul Dan Perkembangan Islam (terj). Yogyakarta: INSIST kerjasama Pustaka Pelajar
Dudung, Abdurrahman dan Maryam, Siti .2003. Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern
Bertens, K. 1983. Filsafat Barat Abad XX (Inggris Jerman). Jakarta: Gramedia
Relasi Kuasa dalam Peristiwa ... (Saifuddin Zuhri dan Nurul Mazidah)
97
______.1983. Filsafat Barat Abad XX (Francis). Jakarta: Gramedia Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Foucault, Muchel. 2002. Power Knowledge (terj.). Yogyakarta: Bentang Budaya. _____, 2002. Menggugat Sejarah Ide (terj.). Yogyakarta: Ircisod. Hadi. Sutrisno. 1989. Metodologi Research Jilid I. Yogyakarta: Andi Offset. Syalabi. 1992. Sejarah Kebudayaan Islam II. Jakarta: Pustaka AlHusna. _____. 1993. Sejarah Kebudayaan Islam III. Jakarta: Pustaka AlHusna. Syou’yb, Joesuf. 1977. Sejarah Daulah Abbasiyah I. Jakarta: Bulan Bintang.
_____. 1990. Kejayaan Islam: Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. Zahrah, Imam M. Abu. 1996. Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam. Jakarta Selatan: Logos. AFKAR, EDISI NO 13 TH 2002/ LAKPESDAM Andri Rosadi. up date 20 Mei 2003, Artikel Michel Foucault: Usaha Mengenal ‘Yang Lain’. http:// mizanssckairo.tripod.com/filsafat07.htm Ghozi M. Ihsan.Up dated 20 mei 2003, Artikel: Sejarah Pemikiran dan Pemikiran Sejarah (Analisis Arkeologis a la oucault) /http:// mizansckairo.tripod.com/filsafat0 7.htm Kellner, Douglas. Critical Theory Today-.Revisiting the Classics. http: //www. uta.edu/english/dab/ illuminations/kell 10. html
Watt, Montgomery. 1987. Pergolakan Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Beneubi Cipta.
98
SUHUF, Vol. XVIII, No. 01/Mei 2006: 85 - 98