BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik dan memiliki wilayah kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu, Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang dihuni oleh berbagai macam suku, ras, dan agama. Di Indonesia, setiap warga negaranya diberikan kesempatan untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Hal tersebut ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2) bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”. Hubungan agama dan negara menjadi perdebatan yang menarik dalam ranah perpolitikan di Indonesia. Negara Indonesia merupakan negara yang padat penduduknya dan memiliki berbagai ragam bahasa, agama dan kepercayaan, adat istiadat dan kebudayaan. Menurut Lasiyo (1992:3) permasalahan yang sering mengancam persatuan dan kesatuan bangsa adalah masalah-masalah yang menyangkut masalah etnik, agama, ras, dan antar golongan. Salah satu kelompok etnik tersebut adalah etnik Cina, yang merupakan kelompok etnik asing yang terbesar di Indonesia. Di negara yang mengakui kebebasan beragama, tak jarang kekerasan, sikap intoleran, dan sikap mementingkan kepentingan diri sendiri maupun
1
2
golongan masih menjadi masalah negeri ini. Setelah kemerdekaan, konflik yang melibatkan etnis dan agama tidak menyurut. Alasan terjadinya konflikdisebabkan oleh faktor-fator sosial-politik yang melibatkan pimpinanpimpinan formal dan informal. R. Tockary (2003: 53) menyebutkan ada salah satu faktor sosial-politik yang menonjol yaitu nasionalisme berdasarkan etnis. Permasalahan tentang konflik etnis dan agama terjadi pada etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia. Sejak era kolonial Belanda, masyarakat Tionghoa dianggap sebagai kaum minoritas di Indonesia yang senantiasa menimbulkan “masalah”. Leo Suryadinata (2010: 184) menyatakan mulamula pada zaman kolonial mereka dianggap pro-Belanda dan antinasionalisme Indonesia, eksklusif dan hanya mencari keuntungan. Kemudian dianggap unsur komunis atau simpatisan komunis. Akhir-akhir ini, mereka dianggap sebagai kapitalis dan konglomerat yang mengeksploitasi kekayaan negara tanpa perasaan patriotisme. Masalah yang lain setelah Indonesia merdeka lebih dari setengah abad adalah orang Tionghoa masih mempunyai kebudayaan asing dan belum memiliki identitas Indonesia. Leo Suryadinata (2010:184) mengatakan bahwa ada juga yang mengatakan orang Tionghoa hanya “setengah terbaur”, belum 100 persen, dengan kata lain mereka masih belum menjadi Pribumi. Leo Suryadinata juga menyebutkan bahwa masalah yang dihadapi orang Tionghoa pada masa itu tidak hanya pada permasalahan identitas, tetapi juga politik, ekonomi, dan hubungan internasional. Permasalahan yang menimpa
3
masyarakat Tionghoa ini semakin kompleks pada era Soeharto. Khonghucu sebelumnya tidak diakui oleh negara Indonesia sebagai agama. Di era pemerintahan Soeharto, hak hidup masyarakat Khonghucu di Indonesia dibatasi. Hal ini dapat diketahui dari beberapa peraturan yang bersifat diskriminatif. Dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Tata Cara Ibadah Cina dan pada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 470/1978, pemerintah hanya mengakui lima agama, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Sedangkan Khonghucu belum diakui sebagai salah satu agama oleh pemerintah. Beberapa undang-undang yang bersifat diskriminatif mengakibatkan masyarakat Tionghoa putus asa untuk diterima menjadi warga negara Indonesia. Namun, setelah lengsernya Soeharto dan bergantinya B.J Habibie menjadi Presiden Republik Indonesia, memberikan harapan baru bagi warga Tionghoa. Th. Sumartana (2005: 94) menjelaskan bahwa pemulihan ke arah basis utama dari eksistensi Indonesia yaitu Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA). SARA esensinya adalah berisi kenyataan pluralisme masyarakat di satu pihak dan kesadaran masyarakat tentang pluralisme itu, kesadaran tentang pluralisme merupakan langkah kembali ke pelbagai SARA. Oleh karena itu, etnis Tionghoa berjuang untuk memperoleh hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) memberikan ruang atau tempat bagi masyarakat Tionghoa yang hidup di
4
Indonesia. Pemikirannya tentang konsep bangsa Indonesia merupakan konsep pemikiran baru yang berbeda dari sebelumnya. Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan Indonesia tidak hanya dimiliki oleh orang penduduk asli Indonesia, tetapi dimiliki oleh penduduk bukan asli Indonesia. Oleh karena itu, etnis Tionghoa juga merupakan bagian dari warga negara Indonesia. Pada tahun 2000, negara memberikan pengakuan resmi terhadap agama Khonghucu melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Pencabutan Inpres tersebut juga diikuti dengan perayaan Tahun Baru Imlek yang dirayakan secara nasional. Setiap perayaan Hari Raya Khonghucu kemudian ditetapkan sebagai hari libur nasional guna menghormati penganut agama Konghuchu merayakan hari raya. Walaupun sejak keluarnya Keppres RI No.6 Tahun 2000 masyarakat Khonghucu mendapatkan kebebasan beragama, tetapi permasalahan mengenai status administrasi kependudukan masih belum terselesaikan. Meskipun demikian, masyarakat Khonghucu terus mengupayakan pemenuhan hak-hak sipil mereka kepada pemerintah. Proses pengakuan Khonghucu menjadi agama tentu tidak secara tibatiba dilakukan di era Presiden Abdurahman Wahid. Namun proses Khonghucu menjadi agama yang diakui dan diterima di Indonesia mengalami masa yang tidak mudah. Mengingat sebelumnya, Indonesia hanya mengakui 5 Agama yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Buddha. Sebagai negara yang multikultural dan pluralis, Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku, ras,
5
budaya, bahasa, etnik, dan agama. Di negara ini banyak berkembang aliranaliran kepercayaan. Tidak dapat dipungkiri, aliran kepercayaan yang ada di Indonesia sangat beragam dan sikap toleransi harus menjadi bagian dari masyarakat Indonesia untuk saling menghormati. Menurut hasil sensus Penduduk, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Khonghucu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan (BPS, 2014). Sebagai agama minoritas, umat pemeluk agama Khonghucu berusaha untuk mengupayakan pemenuhan hak-haknya. Dengan berbagai pengalaman sejarah, hingga akhirnya di era Presiden Abdurahman Wahid Khonghucu diakui sebagai agama. Tentunya terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya, apakah faktor sejarah, politik, atau kepentingan yang melatarbelakangi agama Khonghucu akhirnya diakui sebagai agama. Pada pemerintahan Gus Dur yang berlangsung terhitung singkat menjabat menjadi Presiden, yaitu pada tahun 1999 sampai tahun 2001 terdapat berbagai kebijakan yang dikeluarkan. Pada tahun 2000, beliau memberikan keputusan presiden untuk mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967. Pemikiran Gus Dur dan kebijakan yang dikeluarkan tidak mudah ditebak. Ketika Gus Dur mempelopori penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa merupakan suatu langkah untuk melakukan perubahan sosial dan persamaan hak-hak minoritas.
6
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengatakan bahwa Gus Dur sebagai bapak pluralisme dan multikulturalisme Indonesia. SBY memberikan sambutan usai pemakaman mantan Presiden ke-4 RI itu di Kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur tanggal 31 Desember 2009. “Sebagai pejuang reformasi almarhum selalu ingat akan gagasan universal, bahwa kita menghargai kemajemukan melalui ucapan, sikap, dan perbuatan. Gus Dur menyadarkan sekaligus melembagakan penghormatan kita pada kemajemukan ide dan identitas, kemajemukan pada kepercayaan agama, etnik, dan kedaerahan. Beliau adalah bapak multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia”, kata Presiden (Kompas, 31 Desember 2009 ). Selain mendapat gelar bapak pluralisme dan multikulturalisme, Gus Dur juga dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Pada tanggal 10 Maret 2004, Gus Dur diberi gelar “Bapak Tionghoa” di Kelenteng Tay Kak Sie, Semarang. Sebagai manusia ia tak luput dari kekurangan. Namun untuk mewujudkan kesetaraan antarsesama warga negara, ia memiliki komitmen amat tinggi (Adam, 2010: 192). Walaupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda ada yang beranggapan bahwa Khonghucu bukanlah agama karena ia tidak mempunyai nabi, kitab suci maupun tidak mengenal surga dan neraka, dan tidak mengenal Tuhan. Kini, agama Khonghucu menjadi bahasan menarik dalam penelitian karena keunikan dan eksistensinya di Indonesia. Bahwa di satu pihak masih ada yang menganggap Khonghucu bukan agama namun di pihak lain ada yang beranggapan bahwa Khonghucu dianggap sebagai agama yang memiliki
7
kualifikasi untuk disetarakan dengan agama-agama lain yang telah diakui oleh pemerintah Indonesia. Suatu kajian yang menarik, bahwa Khonghucu yang semula tidak diakui sebagai agama, bahkan begitu dibatasi ruang geraknya untuk mendapat pengakuan menjadi warga negara Indonesia. Namun, pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid, pemerintah memberikan pengakuan atas etnis Tionghoa di Indonesia dan memberikan pengakuan secara resmi bahwa Khonghucu adalah salah satu agama yang diakui secara resmi di Indonesia. Padahal banyak aliran kepercayaan yang sudah sejak dahulu hidup dan berkembang di Indonesia tidak mudah untuk mendapat pengakuan sebagai agama. Hingga saat ini, sudah bergantinya masa pemerintahan Presiden yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Pencabutan atas Inpres tersebut masih dipertahankan dan dijalankan sampai saat ini. Bahkan, pada 14 Maret 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Keppres No. 12/2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE06/Pred.Kab/6/1967, yang pada pokoknya merupakan pengganti istilah Tionghoa/Tiongkok. Berbagai kemungkinan seperti faktor ekonomi masyarakat Tionghoa yang menganut agama Khonghucu, atau faktor politis dari desakan atau dorongan pemerintah untuk mengakui Khonghucu. Sesungguhnya faktor apa yang melatarbelakangi Khonghucu hingga akhirnya bisa diakui pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid dan hingga saat ini masih diberlakukan.
8
Berawal dari pertanyaan mendasar mengapa Khonghucu diakui menjadi agama, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut dalam skripsi ini. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Peran negara melindungi dan menjamin kebebasan beragama bagi warganya secara konstitusional dijamin dalam pasal 29 ayat 2, meskipun pada praktiknya masih terjadi kekerasan, sikap intoleran, dan sikap mementingkan kepentingan diri sendiri maupun golongan. 2. Sejak era kolonial Belanda, permasalahan tentang konflik etnis dan agama terjadi pada etnis Tionghooa yang tinggal di Indonesia. 3. Setelah Indonesia merdeka lebih dari setengah abad, orang Tionghoa masih mempunyai kebudayaan asing dan belum memiliki identitas Indonesia 4. Pada masa orde baru, hak hidup orang Khonghucu di Indonesia dibatasi, terlihat dari Instuksi Presiden No. 14 tahun 1967, tetapi pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, Khonghucu diakui sebagai salah satu agama di Indonesia dengan dikeluarkannya Kepres RI No. 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 5. Pasca keluarnya Keppres RI No. 6 Tahun 2000 negara memberikan kebebasan bagi masyarakat Tionghoa untuk menjalankan ibadah dan adat istiadat Cina, tetapi pada praktiknya masyarakat Tionghoa yang
9
beragama Khonghucu belum sepenuhnya mendapatkan pemenuhan hak atas status agama Khonghucu dalam administrasi kependudukan. C. Pembatasan Masalah Berdasarkanidentifikasi masalah di atas maka penelitian ini dibatasi pada beberapa hal sebagai berikut: 1. Peran negara menjamin kebebasan beragama bagi warganya secara konstitusional dijamin dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2, meskipun pada prakteknya masih terjadi kekerasan, sikap intoleran dan sikap mementingkan kepentingan diri sendiri maupun golongan. 2. Pada masa orde baru, hak hidup orang Khonghucu di Indonesia dibatasi, terlihat dari Instuksi Presiden No. 14 tahun 1967, tetapi pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid Khonghucu diakui sebagai salah satu agama di Indonesia dengan dikeluarkannya Kepres RI No. 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 3. Pemberlakuan Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2000 pasca reformasi D. Perumusan Masalah Menjawab permasalahan yang telah dijabarkan, ada tiga pertanyaan yang relevan diajukan, yakni:
10
1. Mengapa Khonghucu dikembalikan posisinya sebagai salah satu agama di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid? 2. Apa implikasi pemberlakuan Keppres RI Nomor 6 Tahun 2000 pasca pemerintahan Abdurahman Wahid? 3. Bagaimana peran negara melindungi dan menjamin hak-hak etnis tionghoa yang beragama Khonghucu di Indonesia pasca keluarnya Keppres RI No. 6 Tahun 2000? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Menjelaskan alasan Khonghucu dikembalikan posisinya sebagai salah satu agama di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. 2. Mengetahui implikasi pemberlakuan Keppres RI No. 6 Tahun 2000 pasca pemerintahan Abdurahman Wahid. 3. Mendeskripsikan peran negara melindungi dan menjamin hak-hak etnis tionghoa yang beragama Khonghucu di Indonesia pasca keluarnya Keppres RI No. 6 Tahun 2000.
11
F. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik manfaat secara teoritis maupun manfaat secara praktis, manfaat-manfaat tersebut diantaranya sebagai berikut: 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memperkaya khasanah
pengetahuan guna memberikan sumbangan bagi pengembangan sosial politik khususnya jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum dibidang kebijakan politik dan hak asasi manusia. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan sekaligus salah satu referensi bagi penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini. 2. Manfaat praktis a. Bagi peneliti 1) Penelitian ini dijalankan guna prasyarat memperoleh gelar sarjana pendidikan pada program studi Pendidikan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta 2) Sebagai media untuk mengukur kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang telah didapat selama proses belajar untuk membedah masalah yang ada dalam masyarakat. b. Bagi pemerintah Penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan ataupun rujukan bagi pemerintah dalam mempertahankan kerukunan dan
12
memupuk rasa persatuan bangsa dalam kebebasan beragama. Selain itu, untuk meningkatkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi pemeluk agama Khonghucu. c. Bagi masyarakat luas Penelitian ini dapat memberikan wawasan dan khasanah baru mengenai
kebijakan
politik
tentang
agama
Khonghucu
dan
perkembangannya di Indonesia d. Bagi universitas Dengan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi pendidik di Universitas Negeri Yogyakarta dalam bidang sosial politik sehingga dapat mengenalkan sisi lain kehidupan di masyarakat pada para mahasiswa untuk menghargai dan mengajarkan toleransi antarumat beragama.