1
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG Bergulirnya
periode
reformasi
memberikan
dorongan
bagi
pemerintah untuk melakukan perubahan secara signifikan terhadap bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Salah satu bentuk perubahan hubungan kekuasaan yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pasca
reformasi
adalah
desentralisasi,
dimana
terjadi
penyerahan
kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Widodo (2001) menyatakan desentralisasi diartikan pula sebagai suatu
sistem,
dimana
bagian-bagian
tugas
negara
diserahkan
penyelenggaraannya kepada organ yang sedikit banyak mandiri, yang dicirikan sebagai oragan yang memiliki sumber-sumber keuangan sendiri untuk membiayai pelaksanaan tugasnya. Nurrohmat (2005) menjelaskan, berdasarkan kewenangannya, terdapat tiga aspek penting yang dapat didesentralisasikan kepada daerah yakni administratif, fiskal dan politik. Desentralisasi fiskal merupakan salah satu isu yang menonjol disamping desentralisasi administrasi dan politik. Desentralisasi administratif diartikan sebagai bentuk pendelegasian kewenangan yang diberikan kepada tingkat lokal. Sedangkan desentralisasi politik diartikan sebagai wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada pejabat-pejabat di tingkat regional dan lokal.
2
Kebijakan desentralisasi dilaksanakan dengan menggunakan kerangka hukum Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang - Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian direvisi dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang - Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Terbitnya peraturan perundang-undangan tersebut berdampak terhadap bergesernya paradigma pemerintahan yang semula sebagian besar tersentralisasi bergeser ke sistem pemerintahan yang sebagian besar terdesentralisasi. Kebijakan tersebut diharapkan mampu memberikan ruang gerak yang lebih luas terhadap bidang politik, pengelolaan keuangan daerah serta pemanfaatan sumber-sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal. Desentralisasi memberikan harapan terwujudnya pemerintahan ke arah yang lebih baik. Rondinelli (1990) dalam Widodo (2001) menyatakan desentralisasi akan dapat meningkatkan efektifitas dalam membuat kebijakan nasional dengan cara mendelegair tanggung jawab kepada para pejabat tingkat lokal. Melalui pelaksanaan desentralisasi juga diharapkan dapat mendekatkan pemerintah kepada masyarakat baik secara politik maupun geografis. Desentralisasi akan mampu memangkas beberapa tahap birokrasi sehingga dapat memperpendek “jarak” antara pemerintah dengan masyarakat. Hubungan yang dekat antara pemerintah daerah dengan masyarakat
memungkinkan
pemerintah
daerah
untuk
mendapatkan
3
informasi terbaru termasuk keinginan masyarakat maupun permasalahanpermasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Hal tersebut dapat mendorong pemerintah daerah lebih peka terhadap kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat, dengan demikian prioritasprioritas kebijakan yang ditetapkan pemerintah akan menjadi tepat sasaran dan lebih fleksibel. Berbeda halnya dengan sistem sentralisasi pemerintah pusat, keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat seringkali tidak sensitif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena adanya jarak antara pemerintah pusat dengan masyarakat, dimana diantara pemerintah pusat dan masyarakat terdapat jalur birokrasi yang cukup panjang yang menyebabkan pemerintah pusat menjadi tidak peka dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Akibatnya, kondisi tersebut menyebabkan pemerintah pusat seakan tidak mampu menyediakan pelayanan publik yang sesuai dengan keinginan masyarakat atau pelayanan publik yang mampu memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi
masyarakat.
Oleh
karenanya,
sistem
pemerintahan
yang
terdesentralisasi menjadi sebuah pilihan yang lebih baik dibandingkan pemerintahan sentralisasi. Salah satu tujuan dari desentralisasi adalah untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal dengan tetap mengacu pada upaya pencapaian
4
pembangunan baik secara regional maupun nasional. Melalui desentralisasi, diharapkan pengambilan keputusan terkait pelayanan publik dapat lebih relevan terhadap upaya penyelesaian permasalahan di daerah. Disamping itu, proses perencanaan, pelaksanaan dan pembiayaan pembangunan yang lebih baik, akan membantu memberikan kepastian terkait alokasi sumber daya pemerintah yang sangat terbatas sehingga akan dapat digunakan secara efektif dan efisien demi memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Pelaksanaan desentralisasi juga membawa dampak pada lebih cepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di daerah karena pemerintah daerah akan lebih fleksibel bertindak dalam merespons perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat di daerah. Desentralisasi dengan melibatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan akan mengarah kepada terwujudnya kehidupan demokrasi dengan memberikan ruang gerak bagi masyarakat untuk berkreasi, berinovasi dan terlibat langsung
dalam
pembangunan. Dengan demikian esensi untuk mendekatkan pemerintah dapat diwujudkan. Pelayanan publik kepada masyarakat dilakukan dengan lebih cepat karena mampu memotong jalur birokrasi yang pajang, akibatnya masyarakat lebih mudah mengakses pelayanan pemerintah. Perbaikan pelayanan tersebut semakin baik dengan adanya dukungan pemerintahan yang demokratis, terbuka, akuntabel dan pemberian ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat. Desentralisasi
merupakan
keputusan
nasional
yang
harus
dilaksanakan oleh semua pihak. Dalam bidang kehutanan, banyak harapan
5
yang sebenarnya tertumpu pada desentralisasi. Melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan tingkat kepedulian terhadap hutan akan semakin meningkat, diikuti dengan peningkatan prinsip-prinsip demokrasi serta peran serta masyarakat yang semakin besar sehingga dapat tercapai pemerataan dan keadilan dengan mempertimbangkan potensi serta keanekaragaman daerah. Secara umum, kewenangan pemerintah pusat dalam pengurusan hutan dilaksanakan dengan menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria terhadap berbagai aspek pengaturan hutan yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk melakukan tugas sehari-hari dalam pengelolaan hutan. Salah satu urusan kehutan yang tetap dipertahankan oleh pemerintah pusat adalah urusan yang yang mempunyai dampak dalam skala luas dan memiliki efek stabilisasi seperti misalnya pada pengelolaan hutan yang ditunjuk sebagai kawasan dengan tujuan konservasi. Kawasan hutan yang dimaksudkan untuk tujuan konservasi dibedakan atas kawasan lindung, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Kawasan lindung ditunjuk berdasarkan kemampuan alamiahnya sehingga dapat berfungsi sebagai pengatur tata air, pencegah erosi dan banjir, serta mampu menjaga kesuburan tanah. Kawasan suaka alam (KSA) yang terdiri atas Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM) merupakan kawasan dengan ciri khusus sebagai kawasan pengawetan keragaman satwa dan tumbuhan sekaligus berfungsi sebagai areal sistem penyangga kehidupan. Sedangkan kawasan pelestarian alam (KPA) yang terdiri atas Taman Nasional (TN),
6
Taman Hutan Raya (Tahura) dan Taman Wisata Alam (TWA), ditunjuk dengan tujuan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari terhadap sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Wiratno dkk, 2004). Khusus taman hutan raya memiliki bentuk pengelolaan yang berbeda jika dibandingkan dengan kawasan konservasi lainnya. Secara umum kawasan-kawasan konservasi tersebut, pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah pusat melalui unit pelaksana teknisnya yang ada di daerah, sedangkan pada tahura pengelolaan dilakukan secara desentralisasi oleh pemerintah daerah melalui dinas yang membidangi kehutanan namun tetap melalui koordinasi dengan UPT Kementerian Kehutanan dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat. Tahura yang diarahkan sebagai kawasan konservasi yang mampu menjadi penyumbang pendapatan negara dengan pengelolaan yang dilakukan secara desentralisasi tersebut menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam. Dengan demikian dapat diketahui lebih lanjut bagaimana bentuk
political will dan good will
pengambil kebijakan dalam pengelolaan tahura dan pengaruhnya terhadap keberhasilan pengelolaan tahura di Indonesia. Untuk lebih fokus terhadap kajian, maka digunakan lingkup peraturan perundangan bidang kehutanan yang meliputi peraturan sejak periode reformasi hingga saat ini. Pertimbangan pemakaian peraturan tersebut karena pada kurun waktu tersebut mulai diterbitkannya aturan khusus terkait pengelolaan tahura di Indonesia, serta adanya dampak yang
7
besar pada periode reformasi yang terjadi di tahun 1998. Konflik sosial politik yang terjadi pada masa reformasi memberikan dampak yang besar terhadap sistem pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistem. Keterbukaan demokrasi membuat masyarakat yang semula hanya menjadi penonton selanjutnya berontak dan melakukan penjarahan. Masyarakat menganggap hutan sebagai milik bersama sehingga mereka bebas mengambil apa saja dari hutan, akibatnya terjadilah penjarahan yang tidak terkendali yang berimbas pada rusaknya sumber daya hutan dan ekosistem. Peraturan yang digunakan sebagai obyek kajian adalah peraturanperaturan terkait Pengelolaan Taman Hutan Raya yang terdapat dalam peraturan perundangan yang terdiri atas : UU No. 41 Tahun 1999; PP No. 28 Tahun 2011 dan P.10/Mehut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Tahura. Lingkup peraturan yang digunakan sebagai obyek kajian tersebut memiliki tingkatan yang berbeda sehingga diharapkan dapat diketahui konsistensi pemerintah dalam upaya pegelolaan tahura di Indonesia. Metode yang digunakan untuk melakukan kajian terhadap peraturan perundangan bidang kehutanan terkait pengelolaan tahura tersebut adalah metode analisis isi kualitatif. Analisis isi (Content Analysis) merupakan teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable), dan kesahihan data dengan memperhatikan konteksnya. Menurut Richard Budd dalam Abrar (1995), disampaikan bahwa analisis isi merupakan metode yang sistematik dalam menganalisis pesan dan
8
bagaimana pesan tersebut disampaikan. Dengan demikian analisis isi dapat digunakan untuk meneliti pesan-pesan yang pernah disampaikan sesuai dengan waktu yang diinginkan. Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang menggunakan teknik simbol coding dengan mencatat lambang atau pesan secara sistematis, yang selanjutya diberi interpretasi. Analisis isi kualitatif menekankan pada pemaknaan teks dibandingkan penjumlahan unit kategori sebagaimana yang dilakukan pada analisis isi kuantitatif, dan memfokuskan pada pesan yang sifatnya tersembunyi. Metode ini lebih difokuskan untuk melihat bagaimana isi teks kebijakan dalam menyampaikan pesan terkait isu implementasi pengelolaan kawasan tahura. Analisis isi dapat digunakan untuk menganalisis
semua bentuk
komunikasi, asalkan terdokumentasi.
B.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : “bagaimana peraturan perundangan bidang kehutanan terkait pengelolaan taman hutan raya memuat strategi mengenai sistem tata kelola tahura di Indonesia? Selanjutnya muncul pertanyaan penelitian untuk membantu menjawab permasalahan di atas, yaitu : 1. Bagaimanakah
sistem
tata
kelola
tahura
di
Indonesia
yang
dikonstruksikan oleh peraturan perundangan bidang kehutanan tersebut?
9
2. Bagaimanakah sistem tata kelola tahura di Indonesia tersebut mampu mewujudkan tujuan pengelolaan tahura?
C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana sistem tata kelola tahura sebagai kawasan konservasi di Indonesia yang dikonstruksi oleh gagasan-gagasan perundangan yang
pemerintah yang tertuang
dalam
peraturan
ditetapkan. Penelitian ini juga bertujuan untuk
mengetahui bagaimana sistem tata kelola tahura di Indonesia yang dikonstruksikan oleh peraturan perundangan bidang kehutanan tersebut mampu mewujudkan tujuan pengelolaan tahura di Indonesia. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai keseriusan dan komitmen pemerintah dalam upaya mempertahankan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang termuat dalam peraturan perundangan terkait pengelolaan tahura.
D.
Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Akademis Sebagai
bahan
masukan
yang
bermanfaat
untuk
mengembangkan ilmu administrasi publik, terutama yang berkaitan dengan kajian terhadap sebuah peraturan implementasinya di lapangan.
perundangan dan bentuk
10
2.
Manfaat Praktis Dengan mengetahui
isi
kebijakan
yang terkait
dengan
pengelolaan tahura, diharapkan mampu memberikan masukan bagi pengambil kebijakan terkait pengelolaan kawasan konservasi yang efektif untuk mewujudkan keberlanjutan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan. Bagi penulis diharapkan mampu menambah wawasan dan pemahaman terhadap isi dari suatu kebijakan yang dibuat pemerintah.