BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam konteks pembangunan negara, pariwisata bukan hanya merupakan
sebuah industri yang selalu terkait dengan penyediaan, produk, permintaan, dan keuntungan, namun dilihat sebagai salah satu alat dalam rangka mencapai pemerataan pembangunan negara. Melalui pariwisata, tercipta berbagai macam lapangan pekerjaan dan juga efek berganda (multiplier effect). Pariwisata bukan hanya penghasil devisa dari pengeluaran wisatawan mancanegara, tetapi adalah penggerak ekonomi lokal dan ekonomi masyarakat (Hasbullah, 2015: 1). Melalui pariwisata pula suatu daerah dapat terstimulasi untuk membangun dan menyempurnakan kondisi infrastruktur yang menjadi kebutuhan untama setiap warga negara. Spillane (1987: 138) mengemukakan beberapa keuntungan yang timbul dari berjalannya sebuah industri pariwisata: a. Membuka kesempatan kerja. b. Menambahnya pemasukan/pendapatan masyarakat daerah. c. Menambah devisa negara. d. Merangsang pertumbuhan kebudayaan asli Indonesia e. Menunjang gerak pembangunan di daerah.
1
Salah satu konsep pariwisata yang mampu secara efektif menjadi alat pemerataan pembangunan negara adalah konsep pariwisata berbasis masyarakat (disingkat menjadi PBM, atau dikenal juga sebagai Community Based Tourism. Konsep PBM ini memungkinkan terjadinya berbagai aktivitas kepariwisataan berdasarkan pemberdayaan masyarakat. Pada penerapannya konsep pariwisata ini menggunakan sistem bottom-up dimana inisiatif dan gerakan masyarakat sebagai pihak yang berkepentingan menjadi faktor utama dalam keberhasilannya. Dalam bukunya, Nasikun (2000: 26-27) mengemukakan konsep PBM sebagai berikut: a. PBM menemukan rasionalitasnya dalam properti dan ciri-ciri unik dan karakter yang lebih unik diorganisasi dalam skala yang kecil, jenis pariwisata ini pada dasarnya merupakan bentuk pariwisata yang secara ekologis aman, dan tidak banyak menimbulkan dampak negatif seperti yang dihasilkan oleh jenis pariwisata konvensional b. PBM memiliki peluang lebih mampu mengembangkan objek dan atraksi-atraksi wisata berskala kecil dan oleh karena itu dapat dikelola oleh komunitas-komunitas dan pengusaha-pengusaha lokal. c. Berkaitan sangat erat dan sebagai konsekuensi dari keduanya lebih dari pariwisata konvensional, dimana komunitas lokal melibatkan diri dalam menikmati keuntungan perkembangan pariwisata, dan oleh karena itu konsep ini dapat lebih memberdayakan masyarakat. Pada penuaian hasilnya, PBM memungkinkan masyarakat untuk mengambil peluang dan manfaat dari aktivitas pariwisata yang lebih utuh dan
transparan.
Masyarakat juga akan memiliki rasa tanggung jawab dan rasa
memiliki terhadap pariwisata sebagai aset yang mereka bangun. Carr (2011: 7) menyatakan bahwa konsep PBM dapat memberikan peran bagi setiap masyarakat sebagai rekan bisnis yang dapat dilatih menjadi pelaku bisnis skala kecil, pemerhati
lingkungan,
pengembangan
produk,
dan
pemasaran
serta
memungkinkan masing masing masyarakat untuk memiliki rasa memiliki dalam rangka keberlanjutan pariwisata pada daerah tersebut. Provinsi Bangka Belitung, merupakan provinsi dengan berbagai aset alam termasuk di dalamnya sumber daya alam jenis tambang dan sumber daya pariwisata. Sebagai beberapa contoh sumber daya alam jenis tambang antara lain: timah, kaolin, dan pasir. PT.Timah, sebagai salah satu produsen bijih timah di Kabupaten Belitung Timur, mencapai angka penjualan sejumlah 33.971 metrik ton pada tahun 2012 dan 34.943 metrik ton pada tahun 20131. Sedangkan sumber daya pariwisata yang dimilikinya antara lain adalah gugusan pantai berpasir putih, batuan karst raksasa, dan sejumlah spot untuk aktivitas wisata kelautan seperti selam ataupun snorkeling 2 yang dapat menjadi daya tarik wisata khas bagi provinsi ini. Pada tahun 2014 Jumlah kunjungan wisatawan Provinsi Bangka Belitung sebanyak 199.823 pengunjung, dengan target tambahan 5.000 pengunjung pada tahun 20153. Provinsi Bangka Belitung memiliki posisi geografis yang cukup strategis dalam menciptakan peluang pariwisata. Jika diberdayakan dengan baik, Provinsi 1
Laporan Keuangan PT Timah th.2012 diakses melalui www.timah.com/v3/ina/laporan-keuangan/ Snorkeling adalah aktivitas berenang di permukaan laut dengan menggunakan perlengkapan kacamata renang dan snorkel (pipa untuk bernafas) untuk menyaksikan pemandangan bawah laut 3 Dikutip dari website pos belitung.com http://belitung.tribunnews.com/2015/06/01/199-ribuwisatawan-kunjungi-negeri-laskar-pelangi-tahun-2014. Diakses pada tanggal 28 November 2015 2
Bangka Belitung akan memiliki cukup sasaran pasar untuk dapat menciptakan iklim pariwisata yang bersaing baik dalam skala nasional maupun internasional. Momentum diputarnya film Laskar Pelangi (2008) di berbagai bioskop dan stasiun televisi Indonesia juga merupakan sebuah keuntungan dan peluang bagi Provinsi Bangka Belitung khususnya pulau Belitung, untuk dapat lebih dikenal akan keindahan alamnya. Film ini mampu mengangkat citra Provinsi Bangka Belitung dari citra kepulauan timah menjadi kepulauan tujuan wisata. Desa Keciput Kecamatan Sijuk Kabupaten Belitung Provinsi Bangka Belitung, merupakan salah satu desa dengan potensi wisata pantai dan kepulauan. Pantai Tanjung Kelayang, Pulau Pasir, Pulau Lengkuas, Pulau Kepayang, dan Pulau Babi yang menjadi salah satu destinasi tujuan wisata utama di Pulau Belitung hanya dapat diseberangi melalui dermaga yang terdapat di Desa Keciput. Aset tersebut dapat menjadi peluang terciptanya iklim pariwisata pada desa ini. Desa Keciput memiliki tambahan peluang dengan ditetapkannya kawasan Pariwisata Belitung sebagai Kawasan Ekonomi Khusus4 sebagai bentuk tindak lanjut dari arahan Menteri Pariwisata mengenai pembangunan bandara internasional di Kabupaten Belitung. Terbentuknya kelompok sadar wisata desa keciput pada tahun 2014 dan inisiasi pembentukkan Desa Wisata Keciput merupakan salah satu upaya 4
Undang-Undang No.39 Tahun 2009, Kawasan Ekonomi Khusus adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Belitung diusulkan menjadi KEK oleh Gubernur Propinsi Kepulauan Bangka Belitung melalui surat Nomor 500/248/ BPS &S/III/2009 tanggal 6 Juli 2009 yang ditujukan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Ketua Pansus Kawasan Ekonomi Khusus berdasarkan kesiapan, kondisi infrastruktur, dan sudah tersedianya Kawasan Industri Suge (KIS).
masyarakat Desa Keciput dalam membangun iklim pariwisata dengan pemberdayaan masyarakat sebagai faktor utama keberhasilannya. Desa ini memiliki peluang mencapai keberhasilan PBM mengingat belum ditemukannya pihak swasta yang berperan secara dominan dalam bidang penyediaan jasa pariwisata terpadu serta keinginan kuat dari masyarakat. Sehingga dapat diindikasikan iklim pariwisata yang akan tercipta merupakan hasil upaya, dikelola, dan diambil hasilnya secara utuh oleh masyarakat secara langsung. Dapat dijelaskan pula bahwa PBM yang dikembangkan akan menciptakan peluang mengembangkan kemampuan masyarakat untuk mengatur pemasaran, penjualan, dan pendapatan. Secara nyata beberapa bentuk pengembangan PBM yang bisa disediakan secara mandiri oleh masyarakat adalah: a) penyediaan jasa pemandu wisata b) transportasi wisata lokal c) kuliner lokal d) homestay e) kerajinan tangan f) pertunjukkan kesenian g) aktivitas lokal, dan lain lain. (Destha, 2010: 5) Penulis tertarik untuk mengkaji tentang penerapan konsep PBM yang terjadi serta derajat partisipasi masyarakat sebagai ruh dari keberhasilan penerapan konsep PBM pada Desa Keciput dalam inisiasi pembuatan Desa Wisata Keciput serta dalam rangka mencapai iklim pariwisata yang kondusif.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka rumusan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah
implementasi
prinsip-prinsip
pariwisata
berbasis
masyarakat pada aktivitas kepariwisataan di Desa Keciput Kabupaten Belitung? b. Sampai sejauh manakah derajat partisipasi masyarakat dalam aktivitas kepariwisataan di Desa Keciput? 1.3 Tujuan Penelitian a. Mengetahui penerapan prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat pada aktivitas kepariwisataan di Desa Wisata Keciput. b. Mengetahui sejauh mana derajat partisipasi masyarakat dalam aktivitas kepariwisataan di Desa Keciput. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yang terdapat dalam penelitian ini dapat berupa sumbangsih akademis secara langsung terhadap perkembangan ilmu kepariwisataan, khususnya tentang analisis implementasi pariwisata berbasis masyarakat dalam pengembangan suatu objek wisata. Manfaat Praktis Manfaat praktis yang dapat diberikan adalah sebagai bahan acuan bagi Pemerintah dan Masyarakat dalam penetapan kebijakan di bidang
pengembangan sektor kepariwisataan, khususnya sektor pariwisata yang berbasis masyarakat di Desa Keciput. 1.5 Tinjauan Pustaka Pariwisata berbasis masyarakat (PBM) merupakan salah satu cara untuk mencapai keberhasilan ekonomi mikro. Seluruh transaksi yang terjadi atas aktivitas kepariwisataan langsung dapat dirasakan keuntungan dan pembagiannya melalui sistem organisasi yang dibentuk dan dimiliki sendiri oleh masyarakat. PBM sangat erat kaitanya dengan pemberdayaan masyarakat, dimana masyarakat dapat menciptakan sendiri peluang dan akses terhadap perkembangan berbagai aspek kehidupan seperti infrastruktur, ekonomi, sosial, budaya, dan berbagai aspek lainnya. PBM sebagai sebuah pendekatan pemberdayaan yang melibatkan dan meletakkan masyarakat sebagai pelaku penting dalam konteks paradigma baru pembangunan, yakni paradigma pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development paradigm). PBM merupakan peluang untuk menggerakkan segenap potensi dan dinamika masyarakat, guna mengimbangi peran pelaku usaha pariwisata skala besar. Peneliti belum menemukan adanya penelitian mengenai kepariwisataan penerapan konsep PBM ataupun mengenai derajat partisipasi masyarakat pada aktivitas kepariwisataan
di Desa Keciput. Untuk itu peneliti menggunakan
sejumlah hasil penelitian terkait dengan bidang kepariwisataan dengan objek penelitian kepualaun Bangka Belitung dan penerapan konsep tinjauan pustaka peneliti dalam melakukan penelitian ini.
PBM sebagai
Penelitian mengenai sektor pariwisata pernah dilakukan oleh Valeriani (2006) yang membahas mengenai korelasi berbagai kebijakan pemerintah dengan potensi kemajuan sektor pariwisata pada lingkup kepulauan Bangka Belitung sebagai salah satu sektor yang potensial. Pada penelitian ini, Valeriani menjelaskan mengenai kondisi faktual Kepulauan Bangka Belitung masih mengutamakan sektor industri sebagai sektor perekonomian utamanya. Dengan menggunakan metode analisis SWOT, Valeriani mencoba menjelaskan mengenai kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki oleh Kepulauan Bangka Belitung dikaitkan dengan sektor Pariwisata. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Indeks Derajat Penyebaran (IDP) dan Indeks Derajat Kepekaan (IDK) sektor pariwisata ini memiliki kemampuan menarik dan mendorong pertumbuhan output sektor-sektor lainnya dalam perekonomian daerah, namun output sektor pariwisata masih rendah akibat permintaan yang masih rendah. Artinya, perlu ditumbuhkan sektor-sektor yang telah memiliki dukungan sektor-sektor pariwisata namun belum merata, sehingga permintaan akan meningkat dan akan mengangkat IDK sektor pariwisata sehingga menjadi sektor unggulan. Penelitian lain mengenai PBM dilakukan oleh Nugroho dan Aliyah (2013) yang membahas mengenai pengelolaan kawasan wisata berbasis masyarakat sebagai upaya penguatan ekonomi lokal dan pelestarian sumber daya alam di Kabupaten
Karanganyar.
Penelitian
ini
menemukan
bahwa
Masyarakat
Karanganyar telah memiliki sebuah model luaran dalam menjalani aktivitas kepariwisataan di daerah tersebut, yakni Pariwisata Inti Rakyat Berprinsip Eko.
Yang dimaksud sebagai Eko disini adalah pariwisata yang mengedepankan keberlanjutan ekonomi dan ekologi. Dalam artikelnya Nugroho dan Aliyah mengatakan bahwa pengelolaan kawasan wisata berbasis masyarakat menuntut adanya partisipasi masyarakat dalam berbagai sektor. Pemahaman tentang perspektif ekonomi bahwa dalam pengelolaan kawasan wisata faktor ekonomi memegang peran penting mengingat tanpa adanya keuntungan atau manfaat ekonomi sama sekali, para pelaku usaha pariwisata termasuk masyarakat di daerah tujuan wisata tidak akan termotivasi untuk berperan serta dalam mewujudkan keberhasilan pembangunan pariwisata. Sedangkan Perspektif Ekologi memiliki arti bahwa dalam banyak hal pariwisata mengandalkan modal utamanya pada lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan budaya. Oleh karena itu unsur-unsur ekologi yang menjadi modal utama pariwisata harus dipelihara dan dijaga kelestariannya agar dapat berfungsi secara berkelanjutan. Penelitian lain mengenai PBM juga dilakukan oleh Hayati (2012) yang membahas mengenai pelaksanaan pariwisata berbasis masyarakat di Desa Tompobulu, Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan . Penelitian ini menemukan bahwa PBM diawali dengan inisiasi dan kesadaran masyarakat akan dampak dan peluang yang dapat diberdayakan dari aktivitas kepariwisataan. Keberadaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang langsung berbatasan dengan Desa Tompobulu dianggap membatasi ruang gerak masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya kawasan sebagai sumber mata pencaharian. Kondisi ini menuntut adanya solusi yang dapat mengakomodasi kepentingan berbagai pihak. PBM muncul sebagai salah satu solusi yang
memungkinkan timbulnya kesempatan kerja yang berdampak kepada pengurangan angka
kemiskinan
dan
sekaligus
mengurangi
ketergantungan
terhadap
pemanfaatan sumberdaya kawasan hutan. Terdapat upaya anggota masyarakat dengan memanfaaatkan pengetahuan local dan kearifan local yang dimilikinya untuk menjaga dan mengembangkan sektor pariwisata. Di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, penelitian mengenai partisipasi masyarakat dilakukan oleh Cahyo (2014) dengan pembahasan mengenai ruang partisipasi masyarakat yang terjadi di objek wisata pedesaan Dolan Ndeso. Dalam penelitiannya Cahyo menemukan bahwa terdapat ruang-ruang partisipasi pada pelaksanaan aktivitas keprawisataan pada Objek Wisata Pedesaan Dolan Ndeso di Dusun Jurang Depok, Desa Banjarsari Kulonprogo, DIY. Cahyo menyatakan bahwa
partisipasi masyarakat dalam
aktivitas kepariwisataan di lokasi ini dapat dikategorikan ke dalam salah satu anak tangga derajat partisipasi. Namun, bentuk-bentuk paritisipasi ini hanya menempati tahapan terendah dari susunan anak tangga derajat partisipasi, yaitu tahap pemberian informasi yang memiliki arti bahwa masyarakat hanya sebagai pihak penerima informasi
yang disalurkan melalui pemerintah daerah serta tokoh
masyarakat tanpa ada media informasi lainnya. Perbedaan penelitian Implementasi Konsep PBM di Desa Keciput, Kabupaten Belitung” dengan keempat penelitian di atas terdapat pada topik, objek, dan cakupan wilayah penelitian. Pada penelitian yang dilakukan oleh Valerine (2006) terdapat kesamaan pembahasan mengenai sektor dan potensi kepariwisataan yang terdapat pada Kepulauan Bangka Belitung. Perbedaan
terdapat pada topik penelitian dimana penelitian yang dilakukan Valerine ini membahas mengenai korelasi kebijakan dan analisis SWOT dari sektor kepariwisataan di Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian mengenai PBM pernah dilakukan oleh Nugroho (2013) membahas mengenai pengelolaan suatu objek wisata yang mengusung konsep PBM. Sedangkan penelitian terkait dengan PBM yang dilakukan oleh Hayati (2012) lebih menekankan kepada dinamika sejak awal permasalahan dan inisiasi sampai ketika konsep PBM diangkat menjadi solusi atas permasalahan “sengketa” pemanfaatan kawasan Taman Nasional Bantimurung, Bulusaraung. Terdapat kesamaan pada dua penelitian ini, dimana partisipasi masyarakat sebagai faktor utama dan cikal bakal munculnya PBM merupakan temuan kedua penelitian ini. Hal ini sangat terkait dengan penelitian ”Implementasi Konsep PBM di Desa Keciput, Kabupaten Belitung”
dimana penelitian ini juga membahas mengenai
partisipasi masyarakat sebagai ruh utama dari PBM. Keterkaitan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Cahyo (2014) terletak pada pembahasan mengenai derajat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Objek Wisata pada suatu Desa. Dimana sebagai ruh utama PBM, partisipasi masyarakat memiliki tingkatan yang disebut dengan derajat partisipasi. Perbedaan yang terdapat pada kedua penelitian ini adalah pada lokasi penelitian. Cahyo melakukan penelitian terkait derajat partisipasi pada Desa Banjarsari, Kab. Kulon Progo, DIY. Sedangkan penelitian ini belokasi di Desa Keciput, Kab. Belitung, Bangka Belitung.
1.6
Landasan Teori Meyers dalam Suwena dan Widyatmaja (2010: 15), mengemukakan bahwa
pariwisata merupakan serangkaian aktivitas perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu dari tempat tinggal semula ke daerah tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah, melainkan hanya untuk bersenangsenang, memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu senggang atau waktu libur serta tujuan-tujuan lainnya. keberangkatan,
tiba,
hingga
Di dalam setiap proses berwisata dari
kepulangan,
wisatawan
akan
senantiasa
membutuhkan berbagai bentuk produk dan jasa baik yang bersifat nyata (tangible), ataupun tidak nyata (intangible). Hal ini disebut sebagai produk wisata. Aktivitas
kepariwisataan
dari
sistem
pariwisata
dan
komponennya
berinteraksi dengan beragam sektor seperti ekonomi, lingkungan, budaya, sosial, dan sebagainya. Dampak ekonomi dapat berupa pendapatan dari penukaran uang asing, pajak, munculnya sumber mata pencarian baru, penyerapan tenaga kerja, multiplier effect, dan sebagainya. Dampak sosial-budaya bisa berupa degradasi kesenian, konflik sosial, solidaritas, peniruan, dan sebagainya. Dampak terhadap lingkungan dan alam bisa berupa pengambil-alihan lahan lindung atau konservasi untuk fasilitas pariwisata, penurunan kualitas lingkungan, dan sebagainya (Pitana dan Diarta, 2009: 184). Salah satu konsep pelaksanaan aktivitas kepariwisataan yang melibatkan langsung peran masyarakat pada tiap tahapan dan aspek, sehingga mampu secara preventif menentukan pandangan kedepan dan berbagai dampak yang terjadi adalah konsep pariwisata berbasis masyarakat (disingkat PBM atau disebut
sebagai community based tourism). Pembangunan PBM
menekankan pada
pembangunan pariwisata dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Masyarakat setempat harus dilibatkan secara akif dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam setiap tahapan pembangunan yang dimulai dari perencanaan, pembangunan, pengelolaan dan pengembangan sampai dengan pemantauan (monitoring)
dan
evaluasi.
PBM
dikembangkan
berdasarkan
prinsip
keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan berbagai stakeholders pembangunan pariwisata termasuk pemerintah, swasta dan masyarakat, karena tujuan akhir adalah untuk meningkatkan kesejateraan dan kualitas hidup masyarakat (Hermawan dalam Argyo, 2009: 99-100; Hartono dalam Argyo, 2009: 100; dan Mualissin dalam Hadiwijoyo, 2012: 71). Environmentally
and
Socially
Responsible
Tourism
Capacity
Development Programme and WWF Vietnam (2013: 5), menjelaskan empat prinsip kunci pelaksanaan PBM sebagai berikut: “The key principles of CBT include social equity; respecting local culture and natural heritage; benerfit sharing; and local ownership and participation”. Hal ini dapat diartikan bahwa prinsip kunci dari pariwisata berbasis masyarakat terdiri dari keadilan sosial; menghormati budaya dan warisan alam lokal; pembagian keuntungan; dan kepemilikan dan partisipasi lokal. Terdapat keterkaitan yang sangat erat antara konsep pariwisata berbasis masyarakat dengan istilah partisipasi yang dikhususkan sebagai partisipasi masyarakat. Hermantoro (2013: 45) menjelaskan konsep PBM akan lebih banyak menyangkut pola-pola partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan
kepariwisataan di daerahnya. Partisipasi sebagai elemen utama dari penerapan konsep pariwisata berbasis masyarakat merupakan satu elemen yang tidak lepas dari perhatian penelitian ini. Terlaksananya konsep pariwisata berbasis masyarakat mengindikasikan terdapatnya partisipasi masyarakat pada aktivitas kepariwisataan yang terjadi. Penelitian ini mencoba mengetahui sampai sejauh mana derajat partisipasi masyarakat pada aktivitas kepariwisataan secara menyeluruh sebagai ruh dari penerapan konsep pariwisata berbasis masyarakat. Salah satu indikasi dari terealisasinya sebuah konsep pariwisata berbasis masyarakat adalah terdapatnya partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2007: 27) adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Arnstein (1969: 216-224), mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat menggambarkan bagaimana terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi, derajat wewenang dan tanggung jawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Gradasi peserta dapat digambarkan dalam Tabel 1.1 sebagai sebuah tangga dengan delapan tingkatan yang menunjukkan tingkat partisipasi tersebut.
Tabel 1.1 Tingkat Partisipasi Masyarakat Menurut Teori Tangga Partisipasi Arnstein 8 7 6 5 4 3 2 1
Kendali Warga Kuasa yang Didelegasikan
Kuasa Warga
Kemitraan Penentraman Konsultasi
Tanda Partisipasi
Pemberian Informasi Terapi Tidak Ada Partisipasi Manipulasi
(Sumber: Arnstein, 1969: 216-224) Dalam konsepnya Arnstein (1969: 216-224),
menggambarkan model
partisipasi sebagai tiga derajat: (1) Tidak ada Partisipasi, (2) Tokenism, dan (3) Tingkat kekuasaan penuh di masyarakat.
Dua anak tangga pertama adalah
derajat partisipasi manipulasi (manipulation) dan terapi (therapy), yang termasuk ke dalam kategori tidak ada partisipasi (non particitipation). Dalam kategori ini menempatkan manipulasi (manipulation) dan terapi (therapy). Kedua bentuk partisipasi tersebut hanya bertujuan untuk mendidik “menatar” masyarakat dan “mengobati” masyarakat. Manipulasi bisa diartikan secara relatif tidak ada komunikasi ataupun dialog antar kedua bilah pihak. Sedangkan therapy telah ada
komunikasi namun masih bersifat terbatas, inisiatif datang dari pemerintah (pemegang kekuasaan) dan hanya satu arah. Pada anak tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai kategori
tanda
partisipasi
(tokenism)
yaitu
bentuk
partisipasi
yang
mengindikasikan adanya pendapat yang disampaikan oleh masyarakat, namun masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pendapat tersebut akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan, dalam taraf ini dialog kedua belah pihak antara masyarakat dan penentu keputusam sudah terjadi dan masyarakat sudah memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat. Pada bentuk partisipasi ketiga yaitu pemberian informasi (information) mengindikasikan bahwa komunikasi sudah terjadi tetapi masih bersifat satu arah, dan tidak tersedianya kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan tanggapan balik (feedback), seperti pengumuman, penyebaran pamphlet dan laporan tahunan. Bentuk keempat yatu konsultasi yang mengindikasikan bahwa komunikasi telah terjadi dua arah tetapi masih cenderung sekedar formalitas, sudah ada kegiatan penjaringan aspirasi, penyelidikan keberadaan masyarakat, telah ada aturan pengajuan proposal dan timbul harapan aspirasi masyarakat akan didengarkan, namun belum dapat dipastikan bahwa aspirasi tersebut akan dilaksanakan, sebagai contoh adalah survey sikap, temu warga dan dialog pendapat publik. Bentuk kelima yaitu penentraman (placation) berarti bahwa komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dengan penentu keputusan. Pada bentuk ini masyarakat memiliki
peluang yang lebih besar dalam penentuan hasil kebijakan publik, namun proses pengambilan keputusan masih dipegang oleh penentu keputusan. Anak tangga keenam, ketujuh dan kedelapan, yaitu derajat partisipasi kemitraan, pendelegasian kekuasaan dan kendali penuh oleh masyarakat, termasuk ke dalam kategori derajat kuasa masyarakat. Pada kategori ini, masyarakat sudah memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat sudah turut andil dalam menentukan proses pengambilan keputusan, hasil, dan dampaknya. Bentuk partisipasi kemitraan (partnership) mengindikasikan bahwa masyarakat telah mampu melakukan negosiasi dengan penentu keputusan dalam posisi sejajar. Bentuk pendelegasian kekuasaan yaitu masyarakat telah mampu mengarahkan kebijakan karena ruang pengambilan keputusan telah sepenuhnya berada pada kendali warga. Dan bentuk partisipasi kendali warga mengindikasikan bahwa masyarakat secara politik maupun administratif sudah mampu mengendalikan proses pembentukan, pelaksanaan, dan pengawasan dari kebijakan, bahkan warga memiliki kemungkinan untuk secara penuh mengelola suatu kebijakan yang sedang terjadi. Penelitian mengenai implementasi prinsip PBM pada Desa Keciput sendiri dilakukan dengan cara mengidentifikasi secara kualitatif indikasi penerapan empat prinsip-prinsip PBM yang terdapat pada setiap aspek-aspek terkait pelaksanaan aktivitas kepariwisataan di Desa Keciput, Belitung. Kemudian mengidentifikasi secara kualitatif mengenai derajat partisipasi Masyarakat pada aktivitas kepariwisataan di Desa Keciput sebagai elemen utama dari pelaksanaan prinsip PBM.
1.7 METODE PENELITIAN DAN SUMBER DATA Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Keciput Kecamatan Sijuk Kabupaten Belitung, Bangka Belitung selama dua bulan penuh. Potensi wisata pantai dan laut, tidak terdapatnya badan usaha swasta pada desa ini, serta partisipasi aktif dari masyarakat dalam mendukung aktivitas kepariwisataan merupakan salah satu faktor terpilihnya desa ini sebagai lokasi penelitian. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode
penelitian kualitatif itu sendiri berguna untuk memaparkan suatu masalah atau gejala sosial yang terdapat di lapangan, serta menganalisis permasalahanpermasalahan tersebut secara mendalam. Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2004:3), mengemukakan bahwa metode kualitatif adalah sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Untuk memperoleh data penelitian, peneliti menggunakan tiga cara pengumpulan data yang meliputi sebagai berikut: 1. Observasi partisipatif yang dilakukan di Desa Keciput selama dua bulan. Peneliti hidup bersama lingkungan Masyarakat Desa Keciput, memperhatikan kegiatan sehari-hari, mengikuti kegiatan masyarakat dalam melakukan aktivitas kepariwisataan, dan mengikuti sejumlah rapat pertemuan terkait bidang kepariwisataan di Desa Keciput. 2. Wawancara mendalam dengan metode purposive sampling (sampel bertujuan) kepada beberapa responden dan informan kunci yang mampu merepresentasikan kondisi faktual, memiliki wewenang dan
tanggung jawab, serta berposisi penting dalam kelompok masyarakat seperti Kepala Desa, Anggota Staff BPD; tokoh penting dalam masyarakat seperti Kepala Perhimpunan Nelayan; praktisi pariwisata seperti nelayan penyedia kapal wisata, penyedia alat-alat snorkeling, penyedia warung makan; dan masyarakat sekitar sejumlah 9 orang. 3. Studi Pustaka Teknik pengumpulan data ini menggunakan buku seperti bukubuku tentang ilmu pariwisata, publikasi “Belitung dalam angka 2014”, “Statistik Kabupaten Belitung”, “Statistik Kecamatan Sijuk”, “Keciput dalam angka 2014”; literatur mengenai pariwisata berbasis masyarakat; dan sejumlah artikel mengenai kepariwisataan di Belitung untuk menelaah permasalahan yang terkait dengan penelitian ini.
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh akan dianalisis secara mendalam untuk dapat ditarik kesimpulan yang sesuai dengan fakta yang didapatkan. Data mentah hasil dari wawancara dan observasi secara langsung pada penelitian akan diolah menjadi suatu informasi deskriptif disertai dengan gambar dan berbagai data lainnya, yang menjelaskan kondisi faktual pada objek penelitian. Data kemudian akan dijabarkan berdasarkan prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat.
1.8 SISTEMATIKA PENULISAN Penelitian ini akan disusun menjadi empat bab dengan fokus pembahasan yang berbeda. Setiap bab diharapkan dapat menjadi kesatuan yang selaras dalam penulisan penelitian sehingga dapat menjelaskan secara menyeluruh hasil dari penelitian yang dilaksanakan. Bab satu menggambarkan alasan pengambilan tema serta latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pusraka, landasan landasan teori, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab dua merupakan penggambaran tentang kondisi umum termasuk di dalamnya mengenai kondisi social, budaya, ekonomi dan kepariwisataan lokasi penelitian yaitu Desa Keciput Kabupaten Belitung Provinsi Bangka Belitung. Bab tiga akan menyajikan hasil analisis data yang telah ditemukan di lokasi penelitian tentang implementasi prinsip pariwisata berbasis masyarakat serta mengetahui derajat partisipasi masyarakat Desa Keciput sebagai elemen utama terkait pelaksanaan pariwisata berbasis masyarakat. Bab empat merupakan kesimpulan dan saran dari penelitian. Hasil informasi dan
penelitian wawasan
ini
tentang
diharapkan implementasi
mampu prinsip
keseluruhan memberikan PBM dan
derajat partisipasi masyarakat pada aktivitas kepariwisataan di Desa Keciput.