1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keraguan masa lalu untuk menempatkan korporasi1 sebagai subjek hukum pidana
yang
dapat
melakukan
tindak
pidana
sekaligus
dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana telah bergeser. Perkembangan kejahatan2 yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini tidak hanya dilakukan secara perorangan namun telah terorganisir bahkan dilakukan oleh korporasi. Hal ini memunculkan berbagai pemikiran - pemikiran baru tentang adanya pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan kepada badan hukum karena adanya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan korporasi terhadap kesejahteraan umum. Karena sebelumnya pemikiran dalam hal mempertanggungjawabkan perbuatan pidana hanya berkisar pada perbuatan yang dapat dilakukan oleh manusia yang memiliki sikap batin atau kehendak
1
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum. Korporasi ini merupakan badan hasil ciptaan hukum yang unsur-unsurnya terdiri dari corpus (struktur fisiknya) dan animus (kepribadiannya). Oleh karena itu, badan hukum itu merupakan ciptaan hukum, maka kematiaannya pun ditentukan oleh hukum. Lihat juga Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum, Bandung, 1987, hlm. 110. H.Setiyono, Kejahatan Korporasi (Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia), Avveroes Press,Malang, 2002, hal. 2 2 Kejahatan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya, artinya kejahatan pada masyarakat agraris berbeda dengan kejahatan pada masyarakat industri. Kejahatan pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu kejahatan tradisional atau kejahatan konvensional seperti pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, dan kejahatan non konvensional seperti computer crime dan cyber crime.
2
untuk melakukannya, sedangkan badan hukum tidak memiliki sikap batin atau kehendak seperti manusia untuk itu. Di satu sisi, ditinjau dari bentuk subjek dan motifnya, kejahatan korporasi dapat dikategorikan dalam white collar crime3 dan merupakan kejahatan yang bersifat organisatoris. Dalam penegakan hukum, yang harus diperhatikan
adalah
struktur
korporasi,
hak
dan
kewajiban
serta
pertanggungjawabannya sehingga dapat dikenali karakter kejahatan korporasi dan letak pertanggungjawabannnya yang pada akhirnya dapat ditemukan solusi yuridisnya. Di Indonesia belumlah tersedia data memadai yang memberi gambaran menyeluruh tentang rentang dan akibat dari jenis kejahatan ini, tetapi di Australia, total kerugian dari kejahatan korporasi lebih besar dari total kerugian dari seluruh kejahatan individual. Cakupan wilayah kejahatan korporasi sangat beragam. Setidaknya ada 10 wilayah pokok kejahatan korporasi: pelanggaran peraturan
sekuritas,
penggelapan
pajak,
perlindungan
kesehatan
dan
keselamatan kerja, perusakan lingkungan, penipuan konsumen, praktek perdagangan yang monopolistis, pelanggaran atas standard makanan,
3
Ungkapan White Collar Crime pertama kali diungkapkan oleh seorang kriminolog bernama Edwin Hardin Sutherland dalam pidato bersejarahnya di depan American Sociological Society pada Tahun 1939 sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya (crime committed by person of respectability and high social status in the course of their occupation). Sesungguhnya jauh sebelum Sutherland mengemukakan Konsep White Collar Crime, Henderson telah berbicara tentang “Educated Criminal” yang sama maknanya dengan apa yang dikemukakan oleh Sutherland sebagai White Collar Crime. Selanjutnya Edward A. Ross pada Tahun 1907, mengkaji masalah yang sama, meskipun dengan kata-kata yang lain, yaitu tentang “dosa-dosa”. Ross hanya menekankan pada aspek moral, sedangkan Sutherland ternyata menggarisbawahi perspektif akademis dalam Presidential address bertalian dengan kejahatan korporasi. Lihat H.Setiyono, Kejahatan Korporasi…, Op. Cit., hal. 35. J.E Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Cetakan Kedua, P.T Refika Aditama, Bandung, hal. 11
3
pelanggaran prinsip kehati-hatian, pelanggaran atas hak karyawan dan praktekpraktek diskriminatif. Dari 10 wilayah kejahatan itu ada ratusan ribu turunan kejahatan korporasi. Sedemikian banyaknya lubang hukum yang terbuka di negara semaju Amerika, sampai Prof. Kanna (2004) menaksir masih dibutuhkan 300.000 peraturan federal sebagai jaring penjegah semua praktek kejahatan korporasi!4 Kerugian akibat kejahatan korporasi sering sulit dihitung karena akibat yang ditimbulkannya berganda-ganda, sementara hukuman atau denda pengadilan acap tidak mencerminkan tingkat kejahatan mereka. Beberapa data dapat mengilustrasikan hal itu. FBI memperkirakan kerugian karena pencurianperampokan di Amerika rata-rata 3,8 milyar dolar per tahun, sementara kejahatan korporasi: berkisar 200-500 milyar dolar (di antaranya 100-400 milyar dolar kejahatan medis, 40 milyar dolar di bidang otomotif, 15 milyar dolar penipuan sekuritas). Antara 1992 sampai 2002 Komisi Sekuritas AS hanya berhasil menghukum 87 kasus dari 609 kasus yang dibawa kepengadilan. Hukuman kurungan rata-rata pelaku kejahatan korporasi cuma 36 bulan, jauh lebih kecil dari pada masa hukuman rata-rata 64 bulan bagi pelaku kriminal tanpa kekerasan (mabuk, mencuri, dan sebagainya) yang baru pertama melakukan kejahatan. Di Jepang, 1999, kecelakaan reaktor nuklir JCO yang mengakibatkan dua pekerja meninggal dan penduduk Tokaimura terkena
4
http://pitoyoadhi.wordpress.com/2004/02/10/kejahatan-korporasi/, 24 November 2009
4
radiasi, memberi hukuman denda hanya 8500 dolar dan menunda hukuman bagi enam eksekutifnya.5 Jika merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sampai saat ini diterapkan di Indonesia dalam kaitannya dengan dengan tindak pidana / kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum (korporasi), maka tidak ada ditemui secara tegas pengaturan tentang tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum (korporasi) berikut dengan pengaturan sanksi hukum tersebut. KUHP hanya mengatur perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang perorangan yang pertanggungjawabannya juga dilakukan secara individu. Pembatasan pengertian inilah yang kemudian telah menutupi atau melindungi badan hukum dari segala tindak kejahatan yang telah dilakukan. Dengan mengatasnamakan badan hukum (korporasi) para pelaku menjadi aman dan
terlindungi
dari
jerat
hukum
dan
dapat
bebas
bertindak.
Tidak ada sanksi hukum pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut karena pada saat itu tidak ada pengaturan hukum yang mengatur pertanggungjawaban pidana bagi badan hukum. Tuntutan-tuntutan yang dapat dimintakan hanya berkaitan dalam lingkup keperdataan saja misalnya dengan meminta pembayaran ganti kerugian karena tindakan badan hukum keperdataan yang telah merugikan subjek hukum lain. Adanya tindak pidana yang tidak diatur didalam KUHP agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtvaccum) maka untuk menghindarinya diberlakukan
5
http://pitoyoadhi.wordpress.com/2004/02/10/kejahatan-korporasi/, 24 November 2009
5
Hukum Pidana Khusus. Hukum Pidana Khusus merupakan Undang-Undang pidana yang memiliki penyimpangan dari Hukum Pidana Umum, baik dari segi Hukum Pidana Formil maupun dari segi Hukum Pidana Materiilnya. Hal tersebut diperlukan atas dasar kepentingan hukum. Contoh Undang-Undang Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah Undang-Undang No.7 Drt 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UndangUndang No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Perluasan subjek hukum di dalam Undang-Undang ini menjadi salah satu kekhususan tersendiri dibandingkan dengan tindak pidana lain, yaitu dapat dipidananya korporasi (badan hukum) yang tidak terdapat dalam KUHP. Menurut Moeljatno, bahwa pada waktu membicarakan pengertian perbuatan pidana, telah diajukan bahwa dalam istilah tersebut tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana, sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan pidana ini dia mempunyai kesalahan, sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah : Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld ; Actus non facit reum nisi mens sit rea).6 Penetapan
korporasi
sebagai
pelaku
dan
juga
sebagai
yang
bertanggungjawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan
6
Moeljatno , Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1983, hlm. 153
6
korporasi itu sendiri, yaitu bahwa ternyata untuk beberapa delik tertentu ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup. Di dalam delik korupsi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus dibandingkan dengan keuntungan yang telah diterima oleh korporasi dengan melakukan perbuatan pidana itu, adalah lebih besar daripada denda yang dijatuhkan sebagai pidana. Masalah sanksi pidana yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berhubungan dangan pertanggungjawaban korporasi, belum tertata secara jelas mana yang pidana pokok, pidana tambahan serta tindakan. Meskipun hal tersebut telah ada tetapi apa dasarnya menetapkan suatu sanksi sebagai pidana pokok atau pidana tambahan, undang-undang tidak menjelaskan. Dilatarbelakangi oleh begitu kompleksnya persoalan penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, maka penulis ingin mengetahui bagaimana pertanggungjawaban korporasi karena dewasa ini korporasi sudah diakui sebagai subjek hukum pidana melalui peraturan perundang-undangan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ketika melakukan tindak pidana dapat diminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan baik untuk dan atas nama korporasi yang dilakukan oleh korporasi atau pengurusnya, sehingga dapat meminimalisir adanya dampak dari kejahatan yang dilakukan oleh korporasi ini. B. Rumusan Masalah Dari uraian di atas, maka dapat diambil suatu permasalahan sebagai berikut :
7
1.
Bagaimana pertanggungjawaban korporasi menurut doktrin, ahli hukum, dan Undang-Undang pidana ?
2.
Apakah sanksi pidana yang dapat diterapkan dalam korporasi ?
C. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban korporasi menurut doktrin, ahli hukum, dan Undang-Undang pidana.
2.
Untuk mengetahui apakah sanksi pidana yang dapat diterapkan dalam korporasi.
D. Tinjauan Pustaka Menurut Utrech, korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai subjek hukum tersendiri suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing. Pakar hukum pidana lazim menggunakan kata korporasi atau corporatie untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum. Soetan. K. Malikoel Adil, menguraikan pengertian korporasi secara etimology. Korporasi ( corporatie, Belanda), Corporation (Inggris), Corporation (Jerman), berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan “tio”, maka “corporatio” sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata kerja sesudah itu. “Corporare” sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia=badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian “corporatio” itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan kata lain badan yang dijadikan orang, badan yang
8
diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.7 Perumusan/ penyebutan “korporasi” diatur dalam pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Drt 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, menyatakan bahwa : “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka…dan seterusnya”. Hal serupa juga ditemukan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 1 ke-1 berbunyi : ”kumpulan orang dan atau kekayaan yang teroganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Sebuah korporasi menurut hukum perdata adalah suatu legal person (recht person,Belanda). Dengan demikian korporasi yang dalam hukum perdata merupakan badan hukum memiliki sifat legal personality. Artinya suatu korporasi sebagai badan hukum dapat memiliki perbuatan hukum, memiliki harta kekayaan sendiri, hak dan kewajiban yaitu serupa halnya dengan manusia, sehingga dapat menggugat dan digugat di Pengadilan Perdata atas namanya sendiri. Sebuah korporasi sekalipun menurut hukum perdata dapat melakukan perbuatan hukum, tetapi tidak dapat bertindak atau memiliki keadaan jasmaniah dan oleh karena itu tidak dapat bertindak atau memiliki niat apapun, kecuali melalui pengurus atau pegawainya. Sedangkan dalam pasal 1654 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPdt) menjelaskan bahwa 7
Soetan. K. Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, Pembangunan, Jakarta, 1955, hlm. 83
9
pada dasarnya korporasi atau perseroan adalah semua perkumpulan yang sah seperti halnya orang, berkuasa melakukan perbuatan perdata. Melihat pertumbuhan berdirinya korporasi saat ini, korporasi dapat digolongkan menjadi korporasi berbadan hukum dan korporasi yang bukan berbadan hukum. Korporasi yang berbadan hukum dalam pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Kehakiman dan HAM, sedangkan korporasi yang bkan merupakan badan hukum adalah korporasi yang dalam pendiriannya belum didaftarkan dan disahkan oleh menteri Kehakiman dan HAM. Korporasi berbentuk badan hukum ini merupakan badan hasil ciptaan hukum yang unsur-unsurnya terdiri dari corpus (struktur fisiknya) dan animus (kepribadiannya), karena merupakan ciptaan hukum maka kematiannya ditentukan oleh hukum.8 Korporasi ini merupakan gabungan orang yang bertindak secara bersama-sama sebagai subjek hukum, dalam korporasi antara orang perorangan dan badan hukumnya mempunyai hak dan kewajiban terpisah. Korporasi merupakan salah satu dari jenis badan hukum selain Yayasan. Sedangkan pengertian korporasi itu sendiri adalh suatu gabungan orang-orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama sebagai satu subjek hukum tersendiri (personifikasi). Korporasi merupakan badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri.9 Ada beberapa macam korporasi, yaitu: 1. perhimpunan, yang dibentuk dengan sengaja atau suka rela oleh orang yang bermaksud memprkuat kedudukan ekonomi mereka, memelihara kebudayaan, mengurus soal-soal dan lain sebagainya. 2. persekutuan orang (gemenschap van mensen), yang karena perkembangan faktor-faktor sosial politik dalam sejarah. Misalnya; Pemerintah Daerah Tingkat I,II, dan Desa. 3. organisasi orang yang didirikan berdasarkan Undang-Undang tetapi bukan perhimpunan yeng termasuk dalam sub 1. Terhadap beberapa kejahatan yang dilakukan korporasi, maka kepadanya juga layak dimintakan pertanggungjawaban secara pidana, dilihat dari adanya korporasi yang merupakan hasil ciptaan dari perkumpulan harta maupun orang 8 9
Satjipto Rahardjo, Loc. Cit. R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1955, hlm 22
10
yang memiliki tanggung jawab penuh layaknya orang sebagai subjek hukum. Walaupun ada beberapa sistem tentang pertanggungjawaban dalam hukum pidana, namun dalam korporasi itu sendiri ada bebrapa organ yang dapat dimintai tanggungjawab terhadap kejahatan yang dilakukan oleh korporasi selain korporasi itu sendiri. Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertangggungjawaban pidana dari korporasi yang dikenal sebagai Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ( yang dikemukakan dalam Penjelasan Pasal 46 Rancangan KUHP 1999-2000), terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu:10 a.
Pengurus korporasi sebagai pembuat dan oleh karena itu penguruslah yang bertanggungjawab;
b.
Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;
c.
Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Menurut tiga sistem pertanggungjawaban diatas, maka ada 4 (empat)
kemungkinan
sistem pembebanan
pertanggungjawaban
pidana
kepada
korporasi. Keempat kemungkinan sistem yang dapat diberlakukan adalah :11 1. Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana. 2. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
10
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, CV. Utomo, Bandung, 2003, hlm.201 11 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2006, hlm. 59
11
3. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana. 4. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan keduanya pula harus memikul pertanggungjawaban pidana. Sudarto menyatakan dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam Undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan kata lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Disini berlaku apa yang disebut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau nulla poena sine culpa). Culpa disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan.12 Namun menurut RUU KUHP, pengecualian ini hanya untuk tindak pidana tertentu, tidak untuk semua tindak pidana. Untuk tindak pidana tertentu tersebut, pembuat tindak pidananya telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Disini kesalahan atau sikap batin si pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut
12
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Badan Penyedia Bahan-Bahan Kuliah FH. UNDIP, 1987, hlm. 85
12
tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas “strict liability” atau liability without fault. Hal ini kemudian disimpangi mengingat bahwa tindak pidana Korporasi umumnya dilakukan oleh staf di level bawah, tidak secara langsung dilakukan oleh Badan Pengurus. Oleh karena itu, untuk meminta pertanggungjawaban pidana Korporasi, dimana yang mewakilinya adalah Badan Pengurus, maka pertanggungjawaban pidana tersebut diambil alih oleh Badan Pengurus. Penyimpangan ini dikenal dengan istilah vicarious liability13 atau seseorang bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Dalam RUU KUHP dikatakan: “Dalam hal ditentukan oleh Undangundang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain”. Karena berupa penyimpangan, maka asas ini hanya boleh diterapkan pada kejadian-kejadian tertentu saja dan orang yang menggantikannya harus secara limitatif ditetapkan berdasarkan undangundang. Dalam penjelasan RUU KUHP dikatakan: “Lahirya pengecualian ini merupakan penghalusan dan pendalaman asas regulatif dan yuridis moral, yaitu dalam hal-hal tertentu tanggung jawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya”.
13 Teori atau doktrin atau ajaran ini diambil dari hukum perdata yang diterapkan pada hukum pidana. Vicarious Liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum (the law of torts) berdasarkan doctrine of respondent superior. Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban…, Op, Cit., hal. 84
13
Menurut Roeslan Saleh dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana,tergantung pada soal apakah dia dalam melakukan perbuatan itu memang mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu ia akan dipidana.14 Ketentuan ini penggunaannya harus dibatasi untuk kejadiankejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang. Hal ini sesuai dengan asas tanggung jawab mutlak atau “strict liability”. Oleh karena korporasi sebagai subjek tindak pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya manusia alamiah (natuurlijk persoon), maka persoalan tersebut dapat diatasi apabila kita menerima konsep keperlakuan
fungsional
keperlakuan
fungsional
(fungtioneel adalah
karya
daderschap).
Menurut
Wolter,
interpretasi
kehakiman.
Hakim
menginterprtasi tindak pidana itu sedemikian rupa sehingga pemidanaannya memenuhi persyaratan dari masyarakat.15 Apabila kita memenuhi konsep fungtioneel daderschap16, kemampuan bertanggungjawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana. Sebab keberadaan korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan korporasi tersebut selalu diwujudkan
14
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 75 15 H. Setiyono, Kejahatan… op.cit., hlm 133-134 16 fungtioneel daderschap diartikan sebagai Pelaku Fungsional
14
melalui
perbuatan
manusia
bertanggungjawab orang-orang
alamiah.
Oleh
karena
itu,
kemampuan
berbuat untuk dan atas nama korporasi
dialihkan menjadi kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana.17 Menurut
Djoko
Sumarto,
pada
dasarnya
sebuah
korporasi
bertanggungjawab untuk setiap perbuatan dari agen-agennya. Demikian pula jika agen tidak di dalam kedudukannya di bawah manajemen. Sebagai criteria ialah fungsi atau tugas dari manajemen korporasi tanpa memperhatikan jabatan dari pelaku tersebut.18 Lebih
lanjut
dikemukakan
supaya
korporasi
dapat
dimintai
pertanggungjawaban, dari apa yang telah dilakukan oleh agen-agennya, yang dikenal dengan istilah “Actus Reus”.19 Artinya, perbuatan dilakukan harus didalam lingkup kekuasaannya, yang dengan kata lain dalam menjalankan tugas itu dalam cakupan tugas korporasi. Unsur yang lain ialah bahwa perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja (mens rea)20 dan perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku yang cakap jiwa atau mentalnya.
17
Ibid, hlm. 134 Djoko Sarwoko “Tindak Pidana Korporasi dan Etika Bisnis”, dalam Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 150 19 Seseorang hanya dapat dibebani tanggung jawab pidana bukan hanya karena dia telah melakukan suatu perilaku lahiriah (outward conduct) yang harus dapat dibuktikan oleh seorang penuntut umum, tetapi juga bahwa pada waktu perbuatan itu dialakukan olehnya, orang itu harus memiliki sikap kalbu (state of mind) tertentu yang terkait secara langsung dengan perbuatan itu. Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus reus, dengan kata lain actus reus adalah elemen luar (external element). Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban…, Op. Cit., hal. 34-35 20 Mens rea adalah unsur kesalahan (fault element) atau unsur mental (mental element). Ibid, hal. 35 18
15
Menurut Muladi pembenaran pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat didasarkan atas hal-hal sebagai berikut: 21 1.
Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial.
2.
Atas dasar asas kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
3.
Untuk memberantas anomie of success.22
4.
Untuk perlindungan konsumen.
5.
Untuk kemajuan tekhnologi. Berkaitan dengan bentuk pertanggungjawaban suatu badan hukum
(korporasi), yaitu mengenai pemidanaan yang dijatuhkan terhadap badan jukum (korporasi) itu sendiri. Dalam hal menurut S.R. Sianturi telah menyimpulkan tentang ketentuan mengenai pemidanaan terhadap suatu badan hukum atau perserikatan, antara lain : 23 1.
Bahwa pemidanaan itu pada prinsipnya bukan diarahtujukan kepada badan hukum atau perserikatan, tetapi sbenatnya kepada sekelompok manusia yang bekerjasama untuk suatu tujuan atau yang mempunyai kekayaan bersama untuk sesuatu tujuan yang tergabung dalam badan tersebut.
2.
Adanya beberapa ketentuan yang hars menyimpang dari penerapan hukum pidana (umum) terhadap badan-badan tersebut dalam hal badan-badan itu dapat dipidana, seperti tidak mungkinnya menjatuhkan pidana perampasan
21
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam hukum Pidana (Strict Liability dan Vicarious Liability), PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 36 22 anomie of success adalah sukses tanpa aturan 23 S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaempetehaem, Jakarta, 1986, hlm. 221-222
16
kemerdekaan (pidana penjara, tutupan, kurungan) padanya; dan tidak mungkinnya pidana denda diganti dengan pidana kurungan dan sebagainya. Jika kita hendak menghubungkan pelaku dengan tindakannya dalam rangka mempertanngungjawab-pidanakan pelaku tersebut, harus diteliti dan dibuktikan bahwa : 24 1.
subjek harus sesuai dengan perumusan undang-undang;
2.
Terdapat kesalahan pada petindak;
3.
Tindakan itu bersifat melawan hukum;
4.
Tindakan itu dolarang dan diancam dengan pidana oleh undnag-undang (dalam arti luas); dan
5.
Dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaankeadaan lainnya yang ditentukan dalam undang-undang. Dengan demikian, di dalam kaitannya dengan corporate criminal
responsibility sudah barang tentu jika terdapat bukti-bukti yang cukup untuk dilakuakn penuntutan, maka pada saat pemidanaan, korporasi tidak dapat dijatuhi pidana ataupun penjara, dan hanya dapat dihukum denda atau pencabutan izinnya. Undang-undang
tindak
pidana
khusus
telah
menerima
konsep
pertanggungjawaban pidana korporasi. Artinya, berbagai undang-undang khusus di luar KUHP telah menetapkan selain orang (manusia), juga korporasi
24
Ibid, hlm. 253
17
sebagai pelaku tindak pidana yang melanggar ketentuan-ketentuan pidana di dalam undang-undang tersebut. Di dalam hukum Islam, tidak mengenal konsep pertanggungjawaban pidana oleh subjek hukum selain manusia. Walaupun badan-badan hukum (syakhshun ma’nawi) ini dianggap mempunyai hak-hak milik dan pihak lain dan pihak lain dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu terhadapnya, akan tetapi badan hukum tetap tidak bisa dibebani pertanggungjawaban pidana. Sebab konsep dasar pertanggungjawaban dalam hukum (pidana) islam harus didasarkan atas adanya pengetahuan/keinsyafan (al-Idraak) terhadap perbuatan yang dilakukannya beserta adanya kebebasan memilih saat melakukannya.25 Kedua hal ini tidak terdapat pada badan-badan hukum. Adapun bila terjadi perbuatan-perbuatan terlarang yang keluar (dilakukan) oleh orang-orang yang bertindak atas nama dan untuk baan hukum tersebut, orang-orang itulah yang bertanggungjawab atas perbuatannya.26
E. Metode Penelitian 1. Objek penelitian Objek penelitian dari penulisan ini adalah pertanggungjawaban korporasi menurut doktrin, ahli hukum, dan Undang-Undang, dan sanksi pidana yang dapat diterapkan dalam korporasi. 2. Sumber Bahan Hukum
25
Ahmad Hanafi, “Asas-Asas Hukum Pidana Islam”, dalam Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi (Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi), Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008, hal. 77 26 Mahrus Ali, loc. cit
18
a. Bahan hukum primer : bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (No.7 Drt 1955), Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (No.20 Tahun 2001), Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 25 Tahun 2003), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). b. Bahan hukum sekunder berupa literatur, jurnal, dan data elektronik; 1. Literatur berupa buku-buku yang memberikan penjelasan mengenai pertanggungjawaban korporasi. 2. Jurnal, makalah,, dan hasil seminar yang berhubungan dengan pertanggungjawaban korporasi. 3. Wawancara dengan narasumber yang berkompeten dalam hukum pidana. 4. Data-data yang berasal dari internet. 3. Cara Pengumpulan Bahan Hukum a. Studi pustaka, yakni dengan mengkaji berbagai peraturan perundangundangan atu literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. b. Wawancara, yakni dengan mengajukan pertanyaan kepada narasumber baik secara bebas maupun terpimpin. 4. Metode Pendekatan Adapun metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu
19
mengaitkan masalah yang diteliti dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Analisis Data Data yang telah dikumpulkan akan diidentifikasi dan dilakukan pensistematisiran, baik data yang telah diperoleh dari hasil wawancara, maupun hasil studi dokumentasi dari bahan hukum primer dan sekunder, kemudian seluruh data yang diperoleh dari hasil wawancara maupun studi kepustakaan tersebut akan disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif.