BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manusia adalah subjek hukum, pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum, sedangkan perkawinan merupakan suatu lembaga, yang sangat mempengaruhi kedudukan seseorang di bidang hukum. Oleh karena itu, negara berusaha untuk mengatur perkawinan, dengan suatu undang-undang nasional, yang dimaksudkan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia, yaitu dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang diharapkan dapat menciptakan unifikasi hukum di bidang hukum perkawinan atau hukum keluarga.1 ”Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Terjalinnya ikatan lahir dan bathin tersebut merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal merupakan tujuan ideal yang tinggi dan mencakup pengertian jasmani dan rohani yang melahirkan keturunan,2 sehingga dapat diartikan bahwa perkawinan haruslah
1
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga di Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal.1 2 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV. Rajawali, Medan, 1986, hal. 3
1
Universitas Sumatera Utara
2
berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan karena sebab-sebab lain selain kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan ikatan perkawinan yang berupa perceraian hidup merupakan jalan terakhir, karena setelah itu tidak ada jalan yang lain.3 Suatu perkawinan yang telah dibentuk dapat putus, baik itu dikarenakan ketidak inginan para pihak maupun keinginan para pihak. Dalam Pasal 38 Undangundang perkawinan dan Pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata putusnya perkawinan ini disebabkan karena: 1. 2. 3. 4.
Kematian. Perceraian. Tidak hadirnya si suami atau si istri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh perkawinan baru istri atau suaminya. Keputusan Hakim setelah pisah meja dan ranjang dan pendaftaran Catatan Sipil. “Perceraian nerupakan salah satu bagian dari putusnya perkawinan. Perceraian
adalah putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami atau istri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan”.4 Putusnya perkawinan karena perceraian tidak dapat dilakukan hanya atas dasar kesepakatan suami istri, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.5 Perceraian harus melalui suatu proses yaitu dilakukan didepan sidang pengadilan yang berwenang dan sebelum diambil
3
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 16 Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Perdata Barat, Gitama Jaya, Jakarta, 2005, hal. 135 5 Pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 4
Universitas Sumatera Utara
3
keputusan, hakim diwajibkan untuk mendamaikan suami istri yang akan bercerai. Apabila upaya hakim untuk mendamaikan suami istri yang akan bercerai tidak tercapai maka proses perceraian tetap dilanjutkan sampai terbitnya akta perceraian.6 Perceraian memang bukan hal yang dilarang. Namun untuk mempertahankan prinsip kekal dan abadi suatu perkawinan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, maka Undang-Undang Perkawinan mengatur alasanalasan seseorang boleh mengajukan cerai yang ditentukan secara limitatif. Peraturan ini dibuat untuk mempersulit terjadinya perceraian.7 Adapun alasan yang dimaksud, tercantum dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dan diulang lagi sama bunyinya dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagai berikut: 1.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2.
Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
3.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
6
R.Subekti, Op Cit, Pasal 221 Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya, Gitama Jaya, Jakarta, 2003, hal. 139 7
Universitas Sumatera Utara
4
4.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
5.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri;
6.
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.8 Menurut Subekti, perceraian ialah “penghapusan perkawinan dengan putusan
hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”.9 Hukum perkawinan adalah sebagian dari Hukum Keluarga dan Hukum Keluarga ini adalah bagian dari Hukum Perdata. Masalah perceraian merupakan bagian dari masalah perkawinan. Karena itu masalah perceraian senantiasa diatur oleh Hukum Perkawinan.10 Selain berpengaruh terhadap suami atau istri, perceraian juga berakibat kepada anak-anak yang lahir dalam perkawinan. Menurut Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bahwa akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian terhadap anak-anak adalah :11 1.
2.
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak maka pengadilan yang akan memutuskan; Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan anak; 8
Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal.37. Subekti, Pokok-Pokok Dari Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1975, hal.42. 10 Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, 9
hal.118.
11
Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
5
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Hal ini berarti, meskipun terjadi perceraian tetapi tidak membuat hapus kewajiban orang tua terhadap kesejahteraan anak-anaknya. Dalam Undang-Undang Perkawinan, kekuasaan orang tua bersifat tunggal tidak hapus karena perceraian. Selama perkawinan berlangsung dengan baik artinya tidak putus di tengah jalan, maka kewajiban pemeliharaan oleh orang tua atas anaknya tidak menimbulkan masalah, suami istri dapat secara bersama-sama dan saling membantu serta dengan penuh kasih sayang menunaikan kewajibannya memelihara anak mereka. Namun disaat perkawinan tidak dapat lagi diteruskan, saat itulah timbul permasalahan siapa yang menanggung kewajiban untuk menafkahi anak. Walaupun perkawinan telah putus karena perceraian, kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara anak-anak mereka. Hanya dalam implementasinya yang terjadi sering kali disaat ibu memegang hak pemeliharaan anak maka pihak ayahlah yang diwajibkan membiayai pemeliharaan anak tersebut. Padahal didalam pasal 41 ayat 2 undang-undang nomor 1 tahun 1974 sudah nyata-nyata menegaskan bahwa “bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban terhadap anaknya maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan anak”.
Universitas Sumatera Utara
6
Kondisi apapun harus tetap diingat bahwa wanita ataupun pria adalah individu yang mempunyai hak-hak dasar yang diakui secara seimbang oleh Undang-undang, yaitu persamaan hak dihadapan hukum. Salah satu prinsip dasar pelaksanaan persamaan hak di hadapan hukum dalam undang-undang adalah persamaan dalam perlindungan undang-undang. Adapun yang dimaksud dengan persamaan dalam perlindungan undang-undang adalah suatu kedudukan di mana setiap manusia mendapat perlakuan sama di depan undangundang dan hukum. Persamaan dalam perlindungan undang-undang juga mengandung pengertian bahwa setiap manusia laki-laki maupun perempuan, warga negara maupun asing, serta dengan tidak memandang agama, suku bangsa, warna kulit dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya adalah sama dapat bertindak sebagai subjek hukum, yakni sebagai pembawa hak atau yang memiliki hak dan kewajiban. Sesuai dengan asas yang dianut oleh Negara Republik Indonesia yaitu bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hal ini juga berarti bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan hukum menurut undang-undang dan hukum.12 Hal ini dapat dilihat sebagaimana yang terjadi pada kasus yang dijadikan
12
Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.
Universitas Sumatera Utara
7
objek
penelitian
ini
yaitu
putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
No.
132/Pdt.G/2011/PN.Mdn, hak pengasuhan terhadap tiga orang anak yang masih di bawah umur bernama A, M dan AD jatuh kepada ibunya yaitu FS. Dimana pada permasalahan ini mantan istri menuntut kepada mantan suaminya AR untuk memberikan nafkah hidup ketiga anaknya. Suami sendiri sebenarnya adalah seorang pegawai honorer yang berpenghasilan Rp.1.750.000,- (satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) perbulannya, lebih rendah dari mantan istri yang merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil dengan gaji Rp.3.018.000,- (tiga juta delapan belas ribu rupiah) perbulan. Dimana mantan istri menuntut mantan suaminya agar memberikan nafkah untuk anaknya dengan perhitungan sebagai berikut: 1.
A sebesar Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah)
2.
M sebesar Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah)
3.
AD sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) Akan tetapi dari gugatan tersebut hakim menetapkan:
1.
A sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah)
2.
M sebesar Rp.750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)
3.
AD sebesar Rp.750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) Walaupun tidak sebesar dari gugatan mantan istrinya akan tetapi hal tersebut
masih dianggap besar. Karena telah melebihi jumlah gaji dari mantan suami yang digugat. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai tanggung jawab hukum suami atau istri dalam perceraian terhadap anak
Universitas Sumatera Utara
8
yang akan dituangkan ke dalam judul tesis “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Ayah Terhadap
Anak
Apabila
Terjadi
Perceraian
(Studi
Putusan
Nomor
132/Pdt.G/2011/PN.Mdn).” B. Permasalahan Adapun permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah: 1.
Bagaimana tanggung jawab mantan suami terhadap penafkahan anak pasca perceraian jika penghasilannya kurang cukup memenuhi kebutuhan anak yang telah ditetapkan pengadilan?
2.
Bagaimana dasar pertimbangan hakim untuk menentukan tanggung jawab pihak suami dalam memberikan penafkahan terhadap anak pasca perceraian?
3.
Apa upaya pihak istri yang mengasuh anak jika kebutuhan anak tidak sesuai dengan yang diputuskan oleh pengadilan?
C. Tujuan Penelitian Adapun yang merupakan tujuan dari tesis ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan jawaban dari permasalahan masalah, sehingga dapat memberikan penjelasan sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui tanggung jawab mantan suami terhadap penafkahan anak pasca perceraian jika penghasilannya kurang cukup memenuhi kebutuhan yang ditetapkan pengadilan.
2.
Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim untuk menentukan tanggung jawab pihak suami dalam memberikan penafkahan terhadap anak pasca perceraian.
Universitas Sumatera Utara
9
3.
Untuk mengetahui upaya pihak istri yang mengasuh anak jika kebutuhan anak tidak sesuai dengan yang diputuskan oleh pengadilan.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu hukum perdata khususnya yang berkaitan dengan hak asuh anak dibawah umur dalam hal terjadinya perceraian.
2.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pendoman bagi praktisi hukum dalam perkara hak asuh anak di bawah umur dalam hal terjadinya perceraian serta lebih lanjut dapat menjadi landasan pengembangan lebih lanjut.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya dengan judul “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Apabila Terjadi Perceraian (Studi Putusan Nomor 132/Pdt.G/2011/PN.Mdn)” Namun pernah ada penelitian dari Mahasiswa Magister Ilmu Hukum dan Magister Kenotariatan dengan judul :
Universitas Sumatera Utara
10
1.
Saudari Syarifah Tifany, Mahasiswi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, NIM 037011076, Judul ”Pengasuhan Anak Setelah Terjadinya Perceraian”. Dalam perumusan masalah: 1. Apa yang menjadi hak-hak anak serta apa kewajiban orang tua terhadap anaknya dalam hukum islam? 2. Bagaimana menentukan hak pengasuh anak (hadhanah) di Pengadilan Agama Binjai jika terjadi perceraian? 3. Bagaimana eksekusi putusan perkara-perkara hadhanah di Pengadilan Agama Binjai?
2.
Saudara Syukri Rahmat, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, NIM 107011060, Judul ”Hak Janda Dari Pegawai Negeri Sipil Setelah Terjadinya Perceraian (Studi Kasus di Wilayah Hukum Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh).” Dalam perumusan masalah: 1. Bagaimana pelaksanaan tanggung jawab yang menyangkut hak janda dari bekas suami Pegawai Negeri Sipil menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 di kota Banda Aceh? 2. Apakah faktor yang menyebab janda dari pegawai negeri sipil tidak memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990?
Universitas Sumatera Utara
11
3. Bagaimana pertimbangan hukum majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam menyelesaikan perkara perceraian pegawai negeri sipil? 3.
Saudari Yusriana, Mahasiswi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, NIM: 047005016, Judul ”Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama (penelitian di Pengadilan Agama Lubuk Pakam).” Dalam perumusan masalah: 1. Bagaimana pelaksanaan dalam penyelesaian sengketa terhadap harta bersama di Pengadilan Agama Lubuk Pakam? 2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta bersama? 3. Bagaimana upaya hukum yang dilakukan para pihak terhadap Putusan Pengadilan Agama mengenai harta bersama?
4.
Saudari Tessy, Mahasiswi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera utara, NIM: 097011100, Judul ”Tanggung Jawab Hukum Suami Atau Istri Dalam Perceraian
Terhadap
Anak
(Studi
Kasus
Putusan
nomor
209/Pdt.G/2007/PN.Medan).” Dalam perumusan masalah: 1. Apa yang merupakan dasar pertimbangan Hakim untuk memberi putusan cerai kepada Suami atau Istri? 2. Apakah dalam Putusan Pengadilan Nomor: 97/Pdt.G/2010/PN.Mdn tidak menimbulkan kesulitan bagi anak kedalam menentukan sikapnya?
Universitas Sumatera Utara
12
3. Bagaimana
pengimplementasian
Putusan
Pengadilan
Negeri
Nomor:
97/Pdt.G/2010/PN.Mdn? 5.
Saudari Tienni, Mahasiswi Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, NIM: 650411156, judul “Akibat Putusnya Perkawinan karena Perceraian Yang Perkawinannya Dicatatkan di Kantor Urusan Agama Dan Kantor Catatan Sipil, Analisis
Kasus
Putusan
Pengadilan
Agama
Jakarta
Selatan
nomor
1397/PDT.G/2000/PAJS dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 142K/AG/2002.” Dalam perumusan masalah: 1. Bagaimana keabsahan perkawinan yang dicatatkan sekaligus didua tempat yaitu dikantor urusan agama dan kantor catatan sipil berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974? 2. Bagaimana putusnya perkawinan karena perceraian dimana perkawinannya dicatatkan di kantor urusan agama dan kantor catatan sipil? 3. Analisis
putusan
Pengadilan
Agama
Jakarta
selatan
Nomor
1397/POT.G/2000/PAJS dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 142K/AG/2002 Tentang Putusan Perkawinan? 6. Saudari Eka Widiasmara, Mahasiswi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, NIM B4b 008 075, judul “Kedudukan Perkawinan dan Perceraian Dibawah Tangan
Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Peraturan Perundang-
Undangan Yang Berlaku Di Indonesia.” Dalam perumusan masalah:
Universitas Sumatera Utara
13
1. Bagaimana kedudukan dan akibat hukum perkawinan dan perceraian dibawah tangan ditinjau dari Hukum Islam dan ketentuan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia ? 2. Apa hambatan-hambatan yang dihadapi pelaku perkawinan dan perceraian dibawah tangan menurut Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia dan apa solusi hukumnya ? Dalam permasalahan beberapa penelitian sebagaimana disebutkan diatas ternyata judul dan permasalahannya tidak ada yang serupa atau sama dengan yang diteliti saat ini. Oleh karena itu penelitian ini asli dan secara akademis dapat saya pertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifikasi
atau proses tertentu terjadi,13 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.14 Teori adalah merupakan suatu prinsip atau ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Landasan teori merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasoning/logic), terdiri dari
13
M.Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FE-UI, Jakarta, 1996, hal. 203. 14 Ibid, hal. 16
Universitas Sumatera Utara
14
seperangkat konsep atau variable, defenisi dan proposisi yang disusun secara sistematis.15 Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa “perkembangan ilmu hukum selain tergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.”16 Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.17 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.18 Teori diperlukan untuk menerangkan atau menjelaskan gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.19 Menurut Maria Sumardjono, teori adalah “Seperangkat proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang
15
J.Supranto MA, Metode Penelitian Hukum dan statistic, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal 194
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hal. 6 Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 21 18 .Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Cv. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.27 19 Wuisman,dengan penyunting M.Hisyam,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial,jilid I, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,1996,hal.203 dalam S.Mantayborbir, Sistem Hukum Pengurusan Piutang, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hal. 13 17
Universitas Sumatera Utara
15
digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut.”20 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistimasikan penemuanpenemuan penelitian, memuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.21 Teori yang digunakan sebagai pisau analisis pada penelitian ini adalah teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls melalui karyanya A Theory of Justice22 bahwa teori keadilan merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menghasilkan keadilan. Ada prosedur-prosedur berfikir untuk menghasilkan keadilan. Rawls merumuskan tiga prinsip keadilan, yaitu sebagai berikut:23 a.
The greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak azasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak).
20
Maria Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta, 1989,
hal. 12 21
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.17. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, hal 193. 23 Rimaru, Teori keadilan John Rawls, http://rimaru.web.id/teori-keadilan-john-rawls/, diakses pada tanggal 12 Juni 2012. 22
Universitas Sumatera Utara
16
b.
The different principle (prinsip perbedaan), yang berarti mengijinkan kesetaraan hanya selama ia dipandang menguntungkan bagi para pihak yang terugikan. Bila tidak, maka ketaksetaraan tidak dapat dipertahankan yang distribusi sama rata diperkenankan.24
c.
The principle of fair equality of opportunity (prinsip persamaan kesempatan), Jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil. Rawls menyebutkan bahwa konsep keadilan menurutnya adalah sebuah
konsep yang bebas kultur, sehingga untuk mewujudkan prinsip-prinsip keadilan di masyarakat haruslah bersifat fair. Keadilan tersebut harus menguntungkan semua orang dan juga dibuat berdasarkan kesepakatan semua orang. Dengan asumsi bahwa semua orang hanya berfikir tentang hak-hak yang bersifat umum dan mereka mengabaikan hal-hal spesifik yang mereka ketahui. Dengan demikian semua orang dapat berfikir seobjektif mungkin demi mencapai keuntungan bersama, yaitu berupa kebebasan dan kesamaan bagi semua orang dalam masyarakat. Dalam prinsip egalitariannya, Rawls juga menginginkan kesamaan-kesamaan bagi individu-individu, walaupun ketidaksamaan itu juga pasti akan muncul. Untuk menyikapinya, Rawls menggunakan strategi maksimum, yaitu ketidaksamaan yang terjadi haruslah menguntungkan pihak yang paling beruntung, akan tetapi juga tidak merugikan oran yang kurang beruntung. Berdasarkan prinsip egalitarian yang dikemukakan oleh Rawls tersebut, untuk mengurang ketidak samaan antara individu 24
Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional, IMR Pers, Cianjur, 2012, hal 57.
Universitas Sumatera Utara
17
haruslah ada sebuah mekanisme redistribusi nilai-nilai sosial, sehingga masyarakat yang semula kurang beruntung dapat juga menikmati hal yang sama dengan masyarakat yang lebih beruntung, tanpa harus mengurangi atau merugikan masyarakat yang sudah beruntung.25 Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah ”mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid),
kemanfaatan
(rechtsutiliteit)
dan
kepastian
hukum
(rechtszekerheid).”26 “Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith, Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow University pada Tahun 1750, telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice)”.27 Smith mengatakan bahwa: “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the end of justice is to secure from injury).28 Menurut Satjipto Raharjo, Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang di sebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.29
25
Dian andriyani, http://dianandriyani7.blogspot.com/2011/04/keadilan.html, di akses pada tanggal 31 januari 2013. 26 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 85 27 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi,Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5.Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, “Adam Smith On Law”, Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981 hal. 244 28 Ibid., hal 244. 29 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke – V, Bandung,2000, hal. 53
Universitas Sumatera Utara
18
Kesemua teori yang dipaparkan di atas dijadikan sebagai pisau analisis untuk mengkaji dan memahami lebih jauh tentang hak pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian dengan mengambil contoh satu putusan pengadilan. Kemudian memahami dalam objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum seperti yang ditentukan dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Terhadap permasalah itu, pengadilan yang berhubungan sebagai suatu lembaga pencari keadilan dalam memberikan keputusannya harus didasarkan pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan selain dari adanya pertimbangan yang didasarkan kepada Undang-undang. 2.
Kerangka Konsepsi Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian
yang akan dipergunakan untuk sebagai dasar penelitian hukum. Oleh karena itu dalam penelitian ini dapat didefenisikan beberapa konsep dasar agar dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: Tanggung Jawab adalah merupakan kewajiban untuk menanggung atau memikul suatu beban yang diberikan. Ayah adalah orang tua kandung laki-laki; bapak. Anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan, anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu, anak pada
Universitas Sumatera Utara
19
hakekatnya seorang yang berada pada satu masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.30 Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami atau istri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan”.31 G. Metode Penelitian Agar mendapat hasil yang maksimal guna tercapainya bagian dari penulisan ini, maka diperlukan kecermatan dan usaha yang cukup untuk mengumpulkan dan mengolah data, dengan baik serta layak. Untuk itu dilakukan penelitian yang meliputi: 1.
Jenis Dan Metode Pendekatan Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian
yuridis normatif yang mengacu pada pendekatan asas-asas hukum serta norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan di Indonesia dan pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pedekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan. Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh penulis adalah ratio decidendi,yang alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk
30
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (cet-2; Jakarta: Balai Pustaka, 1988),
hal. 30-1. 31
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Perdata Barat, Gitama Jaya, Jakarta, 2005, hal. 135
Universitas Sumatera Utara
20
sampai kepada putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta materiil32. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta materiil tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut. Ratio decidendi inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif. Sedangkan diktum, yaitu putusannya merupakan sesuatu yang bersifat deskriptif. Oleh karena itulah pendekatan kasus bukanlah merujuk kepada diktum putusan pengadilan, melainkan merujuk kepada ratio decidendi. 2.
Sumber Data “Jenis data penelitian ini adalah data sekunder dan data primer, dengan titik
berat pada data sekunder sedangkan data primer hanya bersifat penunjang”.33 “Sumber data yang dipergunakan terdiri dari suatu sumber primer, sumber sekunder, dan sumber tersier”.34 Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari: a.
Bahan hukum primer Bahan hukum primer dalam penelitian ini berupa perundang-undangan yang
berkaitan dengan tanggung jawab suami isteri dalam perceraian terhadap anak, dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang berkaitan adalah :
32
Marzuki Mahmud, Penelitan Hukum, Prenada Media Group, Surabaya,2005, hal.119 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990, hal.9-19, juga Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986, hal.12 34 Ronny Hanitijo Soemitro, Ibid, hal. 11-12 dan 53. 33
Universitas Sumatera Utara
21
1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak b.
Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa bahan-bahan yang erat
kaitannya dengan bahan hukum primer berupa putusan-putusan Pengadilan Negeri Medan, buku-buku, hasilpenelitian yang mempunyai hubungan erat terhadap objek permasalahan yang diteliti. c.
Bahan hukum Tersier Bahan hukum tersier dalam penelitian ini memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.35 Seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, kamus umum dan kamus hukum, surat kabar, internet, serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.36 3.
Teknik Pengumpul Data Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini adalah : a.
Kajian Dokumen Metode ini yaitu dilakukan dengan cara menghimpun data-data dengan,
melakukan penelaahan kepustakaan, berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, hasil penelitian dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian. b.
Wawancara
35
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, halaman 194-195. 36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjaun Singkat,Rajawali Pers, Jakarta, 1990, halaman 14.
Universitas Sumatera Utara
22
Metode wawancara merupakan proses Tanya jawab lisan antara penulis dengan Informan, sehingga informasi-informasi diperoleh dengan bertanya langsung. Ada beberapa yang menentukan hasil wawancara dan arus informasi, maka perlu dilakukan banyak wawancara karena dengan wawancara akan mempermudah dan mempercepat menemukan permasalahan dan pemecahannya. 4.
Analisis Data. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisa dengan metode
kualitatif yaitu pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis untuk memberikan gambaran jelas jawaban atas permasalahan yang ada. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif sehingga diperoleh jawaban atas masalah yang ditetapkan. Sesuai dengan sifat penelitian maka sebelum dilakukan analisis data terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap data primer, data sekunder dan data tersier untuk mengetahui variditasnya. Selanjutnya data itu dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis data ini. Evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara kualitatif oleh karena itu data yang sudah dikumpilkan dipilah-pilah dan diolah kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode induktif dan deduktif sehingga dapat diketahui tanggung jawab hukum suami istri dalam perceraian terhadap anak dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar pembahasan dan analisis ini diharapkan akan diperoleh suatu kesimpulan dari permasalahan yang diteliti.
Universitas Sumatera Utara