BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya perbankan syariah di Indonesia, dikarenakan kepercayaan masyarakat untuk menggunakan jasa keuangan berbasis Islam sangat tinggi. Seiring dengan perkembangan perbangkan syariah juga diikuti berbagai permasalahan dan risiko perbankan. Diantaranya
tekanan pada
tingkat profitabilitas bank, yang dipengaruhi oleh pembentukan beban pencadangan yang lebih tinggi. Seperti pada berita yang dilansir oleh okezone.com 2015, bahwa PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) merevisi prospek peringkat PT Bank Muamalat Indonesia Tbk (BBMI) dari “stabil” menjadi “negatif”. Prospek negatif diberikan untuk mengantisipasi kemungkinan pelemahan lebih lanjut dari profil kualitas aset bank, karena tren pembiayaan dalam perhatian khusus (special mention loan/SML) yang meningkat. Manajemen BBMI telah menangani situasi ini dengan memperkuat kebijakan manajemen risiko dan membentuk divisi pemulihan aset untuk fokus pada proses restrukturisasi dan pemulihan pembiayaan bermasalah. Pefindo tidak mengharapkan NPF BBMI akan membaik secara signifikan karena upaya bank akan dihadapkan pada kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan saat ini. Tanda-tanda kenaikan kurs US dolar mulai terlihat sejak tahun 1997, yang diantisipasi oleh Bank Indonesia dengan melebarkan band
1
2
intervesnsi dari 8% menjadi 12%. Bank Indonesia perlu melakukan intervensi dari sisi supply US dolar senilai US$ 2 milyar. Intervensi pada nilai supplay ternyata diikuti dengan intervensi pada sisi demand, yaitu dengan menaikan suku bunga SBI dari 14% menjadi 30%. Pada hari yang sama Bank Indonesia menghentikan transaksi SBPU sehingga likuiditas menjadi ketat. Dengan intervensi ini kurs US dolar dapat ditahan. Namun intervensi sisi demand juga mengakibatkan terjadinya krisis kedua yang dampaknya lebih parah, yaitu krisis likuiditas (Arifin, 2000:55). Pelemahan nilai tukar rupiah di level lebih dari empat belas ribu rupiah per dolar Amerika seperti di tahun 2015 ini, secara makro dapat menimbulkan kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) perbankan. Dengan demikian harus ada pertimbangan serta penundaan penyaluran kredit oleh bank untuk pengadaan barang impor hingga harga rupiah membaik. Disamping itu, situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan mengalami perkembangan pesat yang diikuti dengan semakin
kompleksnya
risiko
kegiatan
usaha
perbankan
sehingga
meningkatkan kebutuhan praktik tata kelola bank yang sehat (good corporate governance) dan penerapan manajemen risiko yang meliputi pengawasan aktif pengurus bank, kebijakan, prosedur dan penetapan limit risiko, proses identifikasi, pengukuran, sistem informasi, dan pengendalian risiko, serta pengendalian intern (Rivai, 2007:21). Kondisi stabilitas sistem keuangan di Indonesia masih solid. Hal ini ditopang oleh ketahanan sistem perbankan dan relatif terjaganya kinerja pasar keuangan. Solidaritas perbankan di Indonesia, diperkuat oleh hasil stress test
3
terhadap kondisi permodalan bank. Berdasarkan sekenario perlambatan ekonomi yang cukup dalam, kenaikan suku bunga yang tinggi, penurunan harga aset pasar keuangan, dan pelemahan nilai tukar, secara umum permodalan bank masih jauh di atas batas minimal yang ditetapkan. Pada tahun 2014 berdasarkan laporan BI, mencatat tingginya NPL pada empat sektor yakni di sektor konstruksi, pertambangan, perdagangan, dan jasa sosial. Sektor konstruksi tercatat sebesar 4,43% atau naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 4,24%. Pada sektor pertambangan NPL tercatat sebesar 3,09% dibandingkan dengan bulan sebelumnya 2,49%. Pada sektor perdagangan mencatat NPL sebesar 3,06% dari 2,92%, dan sektor jasa sosial sebesar 2,96% dari 2,48 pada bulan sebelumnya (www.bi.go.id). Risiko yang dapat timbul dari perbankan syariah diantaranya adalah risiko kredit dan risiko likuiditas. Risiko kredit merupakan risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas bisnis bank. Pada sebagian besar bank, pemberian pembiayaan merupakan sumber risiko kredit yang terbesar, selain pembiayaan bank menghadapi risiko kredit dari berbagai instrumen keuangan seperti surat berharga, akseptasi, transaksi antar bank, transaksi pembiayaan perdagangan, transaksi nilai tukar, derivatif, serta kewajiban komitmen dan kontingensi (Rustam, 2013:55). Pemahaman likuiditas adalah kemampuan memenuhi kewajiban, dalam konteks likuiditas perbankan dapat diartikan sebagai kemampuan
4
memenuhi kewajiban utama berupa simpanan masyarakat atau nasabah dan kewajiban likuid lain. Bentuk kepercayaan masyarakat pada perbankan sebagai lembaga kepercayaan adalah dana masyarakat yang berada di bank setiap saat dapat ditarik atau dicairkan, dengan demikian pihak perbankan harus dapat memenuhinya. Adanya alat pemantau likuiditas perbankan, seperti indikator terbaru, yaitu liquidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR). LCR dirumuskan sebagai rasio antara stock of high quality liquid assets (HQLA) dengan net cash outflows (NCO). NSFR rasio antara amount of stable funding (ASF) dan required amount stable funding (RASF). Inti dari LCR dan NSFR, bank tidak boleh lagi lebih besar pasak daripada tiang dalam konteks likuiditas. Kebutuhan likuiditas perbankan harus bisa dipenuhi dari kemampuan internal dan secara fundamental diyakini akan selalu terjaga baik. Sebagian besar bank yang bermasalah adalah bank yang telah melakukan mismanagemen. Persoalan dalam mismanagemen tidak terlepas
dari
masalah
likuiditas.
Persoalan
likuiditas
bank
adalah
permasalahan dilematis, artinya kalau bank menghendaki untuk memelihara likuiditas yang tinggi maka profit akan turun atau rendah, sebaliknya kalau likuiditas rendah maka profit menjadi tinggi (Taswan, 2006:95). Peran perbankan dalam menciptakan produk dan jasa yang memiliki daya saing menjadi sangat vital. Perbankan yang memiliki fungsi sebagai lembaga intermediasi diharapkan mampu menyediakan kredit kepada sektorsektor produktif. Disisi lain, perbankan berperan dalam menyediakan sistem pembayaran dapat dioptimalkan. Dengan langkah menciptakan inklusi
5
keuangan (financial inclusion) seperti menciptakan layanan uang elektronik, sistem pembayaran atau transaksi online melalui jaringan elektronik. Perbankan akan mampu menyerap setiap aktivitas prekonomian dari masyarakat sehingga mampu mempercepat perputaran ekonomi. Peran bank dalam perekonomian bisa ditinja dari berbagai aspek, antara lain bank sebagai lembaga perantara keuangan, sebagai lembaga pencipta kredit dan uang, sebagai sumber penghasilan dan pencipta lapangan kerja, sebagai pemasok aneka ragam jasa perbankan dan lain sebagainya (Reksoprayitno, 1992:2). Keberadaan bank syariah di tanah air telah mendapatkan pijakan kokoh setelah lahirnya Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang direvisi melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1999, yang dengan tegas mengakui keberadaan dan berfungsinya Bank Bagi Hasil atau Bank Islam. Dengan demikian, bank ini berorientasi dengan prinsip bagi hasil. Bagi hasil adalah prinsip muamalah berdasarkan syariah dalam melakukan kegiatan usaha bank. Adanya Bank Islam diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayaanpembiayaan yang dikelurkan oleh bank Islam. Melalui pembiayaan ini bank Islam dapat menjadi mitra dengan nasabah, sehingga hubungan bank Islam dengan nasabah tidak lagi sebagai kreditur dan debitur tetapi menjadi hubungan kemitraan (Muhammad, 2011:17). Bank didirikan untuk jangka waktu tak terbatas, artinya manajemen bank selalu berusaha menjaga keberlangsungan operasi bank. Untuk dapat mempertahankan dan mengembangkan lembaga perbankan diperlukan daya
6
saing yang memadai. Untuk dapat bersaing, bank harus bekerja pada tingkat efisiensi yang tinggi dan selalu berusaha menekan risiko, menciptakan pengembangan sistem dan prosedur pelayanan serta sistem informasi yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan operasional bank semakin lancar, dan juga bank harus memiliki modal yang cukup dan sehat sebagai penggerak operasi bank (Taswan, 2006:71). Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas penelitian ini mengangkat judul tentang “Analisis Pengaruh Credit Risk dan Liquidity Risk Terhadap Profitability Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2012-2014”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disusun sebelumnya, maka rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah credit risk dan liquidity risk berpengaruh secara parsial terhadap profitability perbankan syariah di Indonesia? 2. Apakah credit risk dan liquidity risk berpengaruh secara simultan terhadap profitability perbankan syariah di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menguji dan menganalisis pengaruh credit risk dan liquidity risk secara parsial terhadap profitability perbankan syariah Indonesia.
7
2. Menguji dan menganalisis pengaruh credit risk dan liquidity risk secara simultan terhadap profitability perbankan syariah di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini yang diharapkan dapat berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai, sebagai berikut: 1. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bahan pertimbangan bagi manajemen perbankan dalam mengelola dan menganalisis risiko yang akan timbul pada masa yang akan datang. Bagi pengguna jasa perbankan syariah, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan sumber informasi dalam menggunakan produk dan jasa perbankan syariah, khususnya melihat dari segi risiko yang dapat timbul dari perbankan syariah yang dipilih. 2. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi sebagai referensi dan literatur dalam dunia pendidikan dan pengembangan teori-teori ilmu ekonomi yang berfokus pada hal perbankan. Serta memberi wawasan mengenai manajemen risiko di lingkungan perbankan syariah. Mampu memberi pemahaman kepada masyarakat umum untuk memahami risiko kredit dan risiko likuiditas serta pengaruhnya terhadap perbankan syariah.