BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan dalam rumah tangga di mana pun mampu mengguncang kemapanan keluarga, baik dari segi sosial, ekonomi maupun psikologis serta merusak keutuhan rumah tangga, termasuk melanggar martabat manusia, khususnya perempuan. Dalam berumah tangga, dibutuhkan kebersamaan laki-laki dan perempuan untuk menjalankan rumah tangga menuju kebahagiaan. Namun dalam perjalanannya sering terjadi ketidaksepahaman antara pasangan suami istri yang memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Dalam berbagai bentuknya kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi persoalan yang terus berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Keluarga di Timor Leste sebagai sebuah negara yang masih baru pun tidak luput menghadapi hal ini. Sebagai negara, Timor Leste masih terhitung negara muda dan masih menata kehidupannya, tetapi sejarah negara ini telah dimulai jauh ketika masih bergabung dengan Republik Indonesia. Sejak referendum 1999, secara resmi Timor Leste terpisah dari aksi pendudukan yang dilakukan oleh Republik Indonesia sejak tahun 1975. Sejarah Timor Leste tidak dapat dipisahkan dari masa pendudukan selama kurang lebih 25 tahun tersebut. Dalam masa pendudukan itu terjadi sejumlah mobilisasi dan pengendalian atas tubuh populasi. Pengendalian ini, terutama dialami oleh perempuan yang kemudian mengalami penindasan secara berlapis, Tidak saja mengalami kekerasan karena struktur masyarakat yang militeristik, perempuan juga mengalami tindak kekerasan oleh
1
suaminya sendiri. Hal itu merupakan temuan yang diungkapkan oleh Tim Kemanusiaan Timor Barat (TKTB) pada pertengahan November 2000 (Judicial System Monitoring Programme, 2010). Salah satu contoh penindasan yang paling jelas tampak dalam kehidupan masyarakat adalah ketika keinginan perempuan (istri) untuk pulang ke kampung halaman di Timor Lorosa’e ditolak oleh laki-laki (suami) mereka. Munir dari Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) yang beberapa kali mengunjungi para pengungsi di Timor Barat menyaksikan salah satu bentuk kekerasan itu. Menurut Munir, pernah ada seorang istri dipukuli oleh suaminya di depan orang banyak (http://satuharapan.com/content/read/kasuspelanggaran-ham-di-timor-leste-terabaikan).Tujuan pemukulan ini adalah untuk menunjukkan ia sebagai suami mendominasi istri. Kejadian ini juga sekaligus memberi pelajaran pada orang lain bahwa inilah akibat yang akan diterima istri bila berkeinginan kembali ke Timor Lorosa’e. Pertentangan ini disebabkan oleh kebanyakan keluarga dari pihak istri berdomisili di Timor Leste dan memilih untuk merdeka. Sementara itu, kebanyakan pihak laki–laki atau suami memilih tinggal di Indonesia daripada harus harus tinggal di Timor Leste dengan struktur keluarga yang militeristik Beberapa hasil temuan Tim Kemanusiaan Timor Barat (selanjutnya disingkat TKTB) (http://satuharapan.com/content/read/kasus-pelanggaran-ham-ditimor-leste-terabaikan), terjadi delapan perkosaan, empat belas pelecehan seksual, delapan kehamilan tidak dikehendaki, 64 kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan 26 penganiayaan yang bukan KDRT. Semua kejadian itu terjadi sebelum,
2
saat, dan pasca jajak pendapat. Namun Munir memperkirakan bahwa dalam kenyataannya, jumlah kejadian tersebut setidaknya sepuluh kali lipat daripada angka temuan TKTB. Hal ini karena tidak semua korban berani dan bersedia menceritakan pengalamannya. Sangat menyedihkan bila tidak ada koreksi terhadap kejahatan terhadap perempuan karena seolah-olah masyarakat merestui semua perlakuan kekerasan yang dialami kaum perempuan. Kehidupan rumah tangga yang damai, sejahtera, dan bahagia adalah dambaan setiap pasangan suami istri yang memulai hidup baru. Tidak ada satu pun perempuan di dunia ini menginginkan kehidupan rumah tangganya kandas di tengah jalan karena adanya perceraian. Komunikasi yang kurang kemungkinan dapat menyebabkan masalah kecil dalam rumah tangga menjadi masalah yang besar jika tidak segera diatasi. Tidak jarang hal ini menimbulkan pertengkaran dan adu mulut, bahkan sampai menimbulkan kekerasan fisik bagi perempuan yang kemudian akan menjadi korban kekerasan rumah tangga. World Health Organization (WHO) dalam World Report pertamanya (2002) mengenai kekerasan dan kesehatan menemukan bahwa antara 40–70 persen perempuan meninggal karena pembunuhan yang umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri. Pada 2009-2010, Direição Nacional da Estatistica, Ministerio das Finanças (Direktorat Nasional Statistik, Kementerian Keuangan) menerbitkan sensus penduduk. Di dalamnya terdapat pula penelitian terhadap komposisi demografi yang mengidentifikasi jumlah perempuan di Timor Leste lebih banyak dengan jumlah laki-laki di Timor Leste. Terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga,
3
Parlemen Nasional Timor Leste telah menyetujui beberapa pasal dalam Undang – undang kekerasan dalam rumah tangga. Berikut ini adalah beberapa pasal beserta terjemahannya. (dalam UUD dalam Pasal 92 no. 1 artikel 95 di dalam Konstitusi Republik Timor Leste dengan hukum mengenai kekerasan dalam rumah tangga.
CAPÍTULO I DISPOSIÇÕES GERAIS Bagian I Kesepakataan utama. Artigo 1.o
Objecto
A presente lei estabelece o regime jurídico aplicável à prevenção da violência doméstica e àprotecção e assistência às suas vítimas. (Hukum ini menetapkan rezim yang berlaku untuk pencegahan kekerasan domestik dan perlindungan dan bantuan kepada korban). Artigo 2.o
Conceito de violência doméstica
1. Para efeitos do presente diploma, considera-se violência doméstica qualquer acto ou sequência de actos cometidos num contexto familiar, com ou sem coabitação, por um membro da família contra qualquer dos seus membros, quando exista uma ascendência, nomeadamente física ou económica, na relação familiar, ou por uma pessoa em relação a outra com a qual teve um relacionamento íntimo, do qual ou dos quais resultem ou possam resultar, danos ou sofrimento físico, sexual ou psicológico, abuso económico, incluindo ameaças tais como actos intimidatórios, ofensas corporais, agressão, coação, assédio, ou privação da liberdade. (Pasal 2 Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga 1. Untuk tujuan UU ini, kekerasan dalam rumah tangga adalah hasil dari perbuatan atau tindakan yang dilakukan dalam konteks keluarga, dengan atau tanpa hidup bersama, untuk anggota keluarga terhadap setiap anggotanya ketika ada keturunan, termasuk fisik atau ekonomi, dalam hubungan keluarga atau seseorang terhadap yang lain dengan siapa ia memiliki hubungan intim, yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan, kerusakan atau penderitaan fisik, seksual atau psikologis, penyalahgunaan ekonomi, termasuk ancaman, seperti tindakan intimidasi, penyerangan, agresi, kekerasan, pelecehan, atau perampasan kemerdekaan). 2. São formas de violência doméstica, entre outras: a) A violência física, entendida como qualquer conduta que ofenda a integridade ou saúde corporal. b) A violência sexual, entendida como qualquer conduta que constranja a presenciar, manter ou participar de relação sexual não desejada, mesmo que na constância do matrimónio, mediante intimidação, ameaça, coação ou uso da força, ou que limite ou anule o exercício dos direitos sexuais e reprodutivos; 4
c) A violência psicológica, entendida como qualquer conduta que cause dano emocional e a diminuição da auto-estima, visando degradar ou controlar as acções, comportamentos, crenças e decisões de outrem, mediante ameaça, constrangimento, humilhação, manipulação, isolamento, vigilância constante, perseguição sistemática, insulto, chantagem, ridicularização, exploração, limitação do direito de deslocação ou qualquer outro meio que cause prejuízo à saúde psicológica e à autodeterminação; d) A violência económica, entendida como qualquer conduta que configure retenção, subtração, destruição parcial ou total de objectos pessoais, instrumentos de trabalho, impedimento de trabalhar dentro ou fora de casa, documentos pessoais, bens, valores e direitos ou recursos económicos, incluindo os destinados a satisfazer as necessidades pessoais e do agregado familiar. 2. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, antara lain, adalah sebagai berikut. a) kekerasan fisik, dipahami sebagai segala perbuatan yang menyinggung integritas atau kesehatan fisik b) kekerasan seksual, yang dipahami sebagai perilaku yang memalukan saksi, mempertahankan atau berpartisipasi dalam hubungan seksual yang tidak diinginkan, bahkan jika selama pernikahan, melalui intimidasi, pemaksaan ancaman, atau paksaan, atau untuk membatasi atau meniadakan pelaksanaan hak-hak seksual dan reproduksi c) psikologis kekerasan, dipahami sebagai setiap perilaku yang menyebabkan kerugian emosional dan rendahnya harga diri untuk menurunkan atau mengontrol tindakan, perilaku, keyakinan dan keputusan orang lain, dengan cara ancaman, malu, penghinaan, manipulasi, isolasi, pengawasan terus-menerus, penganiayaan sistematis, penghinaan, pemerasan, ejekan, eksploitasi, membatasi hak gerakan atau dinyatakan berbahaya yang memengaruhi kesehatan psikologis dan penentuan nasib sendiri. d) kekerasan ekonomi, yang dipahami sebagai setiap perilaku yang mengatur retensi, pengurangan, kerusakan sebagian atau seluruh barang-barang pribadi,tidak mampu bekerja di dalam atau di luar rumah, dokumen pribadi milik, hak dan nilai-nilai atau sumber daya ekonomi, termasuk yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan rumah tangga.
5
Selain itu, di dalam Pasal 17 Konstitusi Republik Demokratik Timor Leste disebutkan bahwa “baik perempuan maupun laki-laki mempunyai kewajiban yang sama di dalam kehidupan keluarga, budaya, sosial, ekonomi dan politik”. Konvensi CEDAW dan rekomendasi umum Komite CEDAW atas laporan awal Pemerintah Timor Leste ( Judicial sistem monitoring programme. Aktualisasi Justisa. Pentingnya kehadiran sebuah undang-undang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Timor Leste. Edisi Maret 2010 ) dalam rekomendasi khusus mengenai akses kepada pengadilan dan kekerasan terhadap perempuan menekankan hal berikut. Adanya keprihatinan dari komite terkait akses penduduk kepada pengadilan. Akses kepada pengadilan yang telah diatur dalam legislasi tidak dibarengi dengan kapasitas pengadilan dalam praktik merealisasikan hakhak perempuan untuk mengakses sistem peradilan formal baik itu di kehidupan keluarga, budaya, sosial, ekonomi Maupun politik . (http://www.jsmp.minihub.org ).Jumlah kasus diskriminasi yang dibawa ke pengadilan pun masih sangat terbatas. (Jurnal Judicial System, 2010). Di bawah ini adalah beberapa contoh kasus kekerasan yang ditangani LSM di Timor Leste. Tabel 1.1 Kazu ne’e be rejista husi ONG iha Tinan 2005-2012 (Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang Terdaftar di LSM Tahun 2005-2012 Di Timor Leste ) No 1
2
3
4
Kategoria (Kategori kasus ) Violensia Domestika (Kekerasan dalam rumah tangga) Violensia Seksual. Adultu (Kekerasan seksual terhadap orang dewasa) Violensia Seksual. Criancas (Kekerasan seksual terhadap anak-anak) Intensaun atu halo violensia seksul
20 05
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
58
34
62
117
93
8
9
9
2
2
3
5
1
5
1
7
93
86
70
4
8
4
11
11
10
7 3
6
No
5 6
7
8
9 10 11
Kategoria (Kategori kasus ) (keinginan atau perasaan ingin melakukan kekerasan seksual) Insestu (Hubungan sedarah) Abuzu seksual (Penyalahgunaan seksual) Abandona (Ditinggalkan suaminya) Tortura (Dipaksa oleh pasangan atau penyiksaan) Difarmasaun (Menfitnah) Kazamentu forsadu (Dipaksa kawin) Intimidasaun bazeadu ba jeneru (Intimidasi terhadap gender) Total
20 05
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
2
4
4
12
1
2
4
4
12
1
23
18
30
29
3
10
10
7
27
42
36
1 4
3
5
3
2
3
2
3
9
11 7
80
118
2
1 2
180
36
145
9
5
170
134
Sumber : 1. Fokupers – SGBV ( Violensia bajeia ba jenero) atau kekerasan ditinjau dari konteks gender ( 2005 – 2012 ) 2. ONG / NGO – CEDAW ( 2009 ) P. 63 – 64. s Berdasarkan data yang disajikan di atas, dapat dikatakan bahwa adanya kebijakan mengenai tindakan kekerasan dalam rumah tangga tidak serta-merta menurunkan angka kasus kekerasan tersebut. Kasus kekerasan masih terus meningkat walaupun telah ada keberanian dari korban untuk melaporkan kasus tindak kekeraan dalam rumah tangga kepada pihak berwajib. Pihak berwajib di sini
dapat kepada
kepolisian ataupun
kepada
instansi–instansi, seperti
Kementerian Pemberdayaan Perempuan di Timor Leste yang menangani kasus dalam rumah tangga juga Kementerian Sosial dan Solidaritas di Timor Leste. 7
Setelah melihat paparan data di atas, maka penelitian ini ditujukan peneliti untuk menggali fakta–fakta penyebab dan pemicu kekerasan dalam rumah tangga di dalam konteks kebijakan negara yang ada. Termasuk di dalamnya adalah adanya upaya untuk mewujudkan perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dan sejauh mana negara menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga. Lebih jauh penelitian ini akan melihat penyelesaian kasus tindak kekerasan dalam konteks kebijakan yang telah diterapkan. Dalam Rekomendasi No. 29 mengenai Kekerasan terhadap Perempuan, (http://www.jsmp.minihub.org ) Komite CEDAW Timor Leste mengapresiasi pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 2009. Dengan adanya KUHP ini, ada upaya untuk mengkriminalisasi kekerasan seksual sebagai tindak pidana publik dan mengakui segala bentuk kekerasan tersebut sebagai pelanggaran terhadap hak-hak integritas tubuh perempuan. Kehadiran KUHP juga menjamin adanya prosedur kriminal yang tidak tergantung kepada ada tidaknya pengaduan. Disesalkan juga adanya penundaan yang sangat lama untuk pengesahan terhadap rancangan undang-undang kekerasan dalam rumah tangga. Yang menjadi keprihatinan Komite CEDAW adalah adanya berbagai macam kekerasan yang terjadi terhadap perempuan, terutama kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga. Hingga kini tidak tersedia informasi yang cukup memadai mengenai beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi terhadap perempuan. Lebih lanjut, Komite CEDAW juga prihatin dengan banyaknya 8
jumlah kasus kekerasan domestik yang diselesaikan melalui metode tradisional, termasuk melalui mediasi. Mediasi dianggap lebih sesuai dengan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang bersifat preventif (pencegahan sebelum terjadinya kejadian ) dan represif (setelah kejadian terjadi untuk menekan agar kejadian tidak meluas atau menjadi parah) dalam menyelesaikan kasus KDRT.Hal ini menunjukkan tidak adanya keserasian dengan hukum pidana yang mengkriminalisasi kekerasan dalam rumah tangga. Rancangan undang-undang tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan kemudian dikesampingkan. (http://www.jsmp.minihub.org ) Dalam Rekomendasi No. 22 Komite CEDAW mengimbau negara peserta untuk mengambil semua langkah yang layak dalam rangka menghapus segala hal yang menghambat perempuan mengakses keadilan. Semua negara juga diimbau untuk menjamin bahwa para aktor pengadilan memahami dengan baik konvensi ini dan kewajiban-kewajiban negara di bawah konvensi ini. Komite CEDAW meminta semua negara peserta konvensi menyediakan bantuan hukum, implementasi program hukum, penyebarluasan informasi hukum, dan bagaimana memanfaatkan upaya hukum untuk melawan diskriminasi terhadap perempuan, serta memantau hasil dari upaya-upaya ini. Selanjutnya,Komite CEDAW mendorong semua negara peserta mencari dukungan dari komunitas internasional untuk menerapkan langkah-langkah tersebut dalam praktik untuk memperkuat hak-hak perempuan
mengakses sistem peradilan formal.(Judicial sistem
monitoring programme. Aktualisasi Justisa.Pentingnya kehadiran sebuah undangundang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Timor Leste.Edisi Maret 2010) 9
Pendataan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan terusmenerus diharapkan dapat mengidentifikasi besaran dan kompleksitas masalah kekerasan terhadap perempuan dan kasus pada kaum suami terhadap kekerasan yang dilakukan oleh istri ke suami dalam area urban, pada khususnya karena banyak di perkotaan terutama para pejabat – pejabat yang berselingkuh, sehingga Kekerasan dari istri kepada suami sangat tinggi di perkotaan.Pendataan ini pada akhirnya dapat menjadi rujukan bagi semua elemen bangsa untuk menilai kinerja aparat dalam menangani dan mengatasi serta memperkuat undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga dalam suatu negara. Pada 7 Juli 2010, Undang-Undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUAKDRT) diberlakukan melalui Lembaran Negara (Jornal da República) Timor
Leste.Dengan
terbitnya
UUAKDRT,pemerintah
kemudian
mengimplementasikan ketentuan-ketentuannya. UUAKDRT merupakan sebuah cara untuk mengubah perbuatan individu dan membantu perbaikan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Namun yang lebih penting adalah cara pemahaman terhadap keberadaan kerangka hukum yang baru itu untuk mencapai tujuannya dengan tepat.Di dalamnya harus ada keterlibatan yang kuat dari semua mitra (pemangku kepentingan), termasuk anggota parlemen, masyarakat madani, dan LSM. Terkait dengan partisipasi perempuan Timor Leste dalam bidang politik, tingkat partisipasi mereka mencapai 38,46 persen dengan 65 kursi di parlemen dimiliki oleh kaum perempuan. Prioritas keberadaan mereka adalah pada bidang promosi kesetaraan gender.Selain itu,dalam pengimplementasikan undang-undang
10
(UU) kekerasan dalam rumah tangga Timor Leste saat ini berada di urutan pertama untuk tingkat partisipasi perempuan di bidang politik di Asia Pasifik. Di bawah hukum internasional Pemerintah Timor Leste mempunyai kewajiban hukum untuk memberikan pemulihan yang efektif kepada orang yang hak dan kebebasannya telah dilanggar. CEDAW dijelaskan bahwa Timor Leste mempunyai kewajiban hukum untuk “menerapkan tindakan legislatif dan tindakan lain, termasuk sanksi apabila tepat, yang melarang semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan” dan “untuk membentuk perlindungan hukum atas hak-hak perempuan
pada
tingkat
yang
setaraf
dengan
laki-laki”.
(http://www.jsmp.minihub.org ). Penelitian mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi kebijakan negara dalam menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga kiranya perlu diteliti karena masih adanya tindak kekerasan yang dialami perempuan dan anak-anak di Timor Leste. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, telah ada kebijakan terhadap kekerasan dalam rumah tangga di Timor Leste. Kebijakan yang ada telah jelas menerangkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga harus dicegah sehingga tidak terjadi lagi. Akan tetapi, dalam kenyataannya masih banyak masyarakat kurang memahami konteks kebijakan yang telah ada. Hal ini juga dipengaruhi oleh sangat kuatnya tradisi patriakal di Timor Leste sehingga masih saja terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian ini juga melihat masih diabaikannya keberadaan kebijakan terhadap penanganan kekerasan dalam rumah tangga di Timor Leste dalam konteks kacamata masyarakat. Oleh karena pengabaian itu,
masih terdapat
11
sebagian masyarakat yang menggunakan sistem tradisional untuk menyelesaikan masalah kekerasan dalam rumah tangga. Ketidakpahaman dan kurangnya informasi mengenai adanya kebijakan terkat kekerasan dalam rumah tangga di Timor Leste menyebabkan masih timbulnya kekerasan di lingkungan Timor Leste.
Penyelesaian
menggunakan
sistem
tradisi
lebih
dinilai
penting
dibandingkan dengan menggunakan kebijakan yang dibuat oleh Negara Timor Leste. Di bawah ini tampak data persentase kaum perempuan yang mendapatkan Kekerasan dalam rumah tangga di tiga belas kabupaten di Timor Leste. Tabel 1.2 Data Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di 13 Kabupaten Di Timor Leste Tahun 2010 No Kabupaten Persentase 1 Manufahi 75,6 2 Covalima 57,4 3 Oequese 56,3 4 Dili 52,7 5 Baucau 44,3 6 Aileu 39,8 7 Liqueca 34,5 8 Ermera 24,2 9 Viqueque 21,1 10 Manatuto 16,5 11 Bobonaro 14,4 12 Ainaro 10,5 13 Lautem 53,1 Sumber : National Statistic Directorate Ministry of Finance & Democratic Republic of Timor Leste ( 2010 ). Timor Leste Demographic and Helth survey 2009 / 2010, Dili : Timor Leste and ICF Macro, Calverton, Maryland, USA. Data tersebut menggambarkan bahwa tingkat Kekerasan terhadap perempuan di kabupaten manufahi sangat tinggi, yakni mencapai 75,6 persen.
12
Sementara itu, persentase yang paling rendah tingkat kekerasanya terdapat di kabupaten Ainaro, yaitu 10,5 persen kasus. Jika dilihat dari angkanya, maka dapat Diketahui adanya perbandingan yang sangat signifikan antara kabupaten. Manufahi dan Ainaro. Dari sini peneliti ingin mengkaji lebih dalam kebijakan yang ada di Timor Leste mengenai kekerasan dalam rumah tangga sehingga muncul perbedaan angka yang sangat signifikan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kekerasan terhadap suami tertinggi ada di Kabupaten Lauten (15 persen) dan yang paling rendah persentasenya adalah Kabupaten Viqueque (0,5 persen). Dari kasus kekerasan terhadap perempuan, persentase yang ada dari seluruh Negara Timor Leste diperkirakan mencapai 38 persen (Timor-Leste Demographic and Health Surve, 2010). Tabel 1.3 Kekerasan dalam Rumah Tangga Berdasarkan Umur (Percentage of women age 15-19 who experienced different forms of violence, by current age, Timor-Leste 2009-10) Age Physical Sexual Physical Physical Number of violence only violence and sexual or sexual women only1 violence1 violence1 15-19 28.5 0.2 1.8 30.5 700 15-19 28.2 0.2 0.1 28.5 446 18-19 29.1 0.1 4.7 33.9 254 20-24 33.9 1.5 0.9 36.3 513 25-29 44.9 0.8 3.1 48.8 403 30-39 40.0 1.4 3.6 45.1 765 40-49 34.5 1.3 2.0 37.8 570 Total 35.8 1.0 2.3 39.2 2,951 1 Includes forced sexual initiation Sumber: National Statistics Directorate, Ministry of Finance, & Democratic Republic of Timor-Leste (2010). Timor-Leste Demographic and Health Survey 2009-10. Dili: Timor-Leste and ICF Macro, Calverton, Maryland, USA.
13
Berdasarkan data dari Timor Leste Demographic and Health Survey 2009, diketahui masih tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengkaji lebih dalam penyebab atau faktor-faktor yang memengaruhi undang–undang kebijakan kekerasan dalam rumah tangga di Timor Leste.Dengan demikian, diharapkan akan dapat dengan benar memahami situasi yang ada di Timor Leste terkait dengan masih saja tinginya angka kasus kekerasan dalam rumah tangga meskipun telah adan kebijakan pencegahannya.
Berdasarkan fakta bahwa angka Kekerasan dalam rumah tangga terus naik padahal sudah adanya kebijakan dalam rumah tangga di Timor Leste, peneliti akan melakukan penelitian yang mengkaji efektifitas kebijakan negara terkait dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga pasangan suami istri di Timor Leste. B. Perumusan Masalah Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, peneliti hendak merumuskan masalah yang akan dikaji yaitu ‘’Mengapa kekerasan dalam rumah tangga masih saja meningkat meskipun sudah adanya kebijakan mengenai penanggulangna kekerasan dalam rumah tangga di Timor Leste’’. C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi efektifitas kebijakan negara dalam menangani kekerasan rumah tangga
14