BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam tubuh terutama darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu Ibu (Depkes RI, 2007 dan Ditjen PPM & PL 2008). Penyakit menular yang menyerang sistem imun ini pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di California, Amerika Serikat. Sejak penyakit ini mulai mewabah di seluruh dunia (1981 - 2011), hampir 60 juta orang terinfeksi virus HIV dan kira-kira 35 juta orang meninggal karena AIDS. Pada tahun 2011, di seluruh dunia diperkirakan 34 juta orang hidup dengan HIV dan 1,7 juta orang meninggal terkait AIDS. Wilayah
Prevalensi HIV (%)
Amerika
0,5% (0,4 – 0,6%)
Eropa
0,4% (0,4 - 0,5%)
1
Mediterania Timur
0,2% (0,1 – 0,3%)
Afrika
4,6% (4,5 – 4,9%)
Asia Tenggara
0,3% (0,2 – 0,4%)
Pasifik Barat
0,1% (0,1 – 0,1%)
Tabel 1.1. Prevalensi HIV pada usia dewasa (15-49 tahun) berdasarkan pembagian wilayah oleh WHO pada tahun 2011.
Di Indonesia, berdasarkan data statistik kasus HIV/AIDS yang dilaporkan sampai dengan Desember 2012, jumlah kasus HIV & AIDS pada 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2012 ialah 21.511 kasus HIV dan 5.686 kasus AIDS (HIV merupakan virus penyebab AIDS; sedangkan AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh menurunnya sistem kekebalan tubuh). Secara kumulatif kasus HIV & AIDS mulai 1 April 1987 sampai dengan 31 Desember 2012 menjadi 98.390 kasus HIV, 45.499 kasus AIDS, dan 8.235 kematian oleh HIV/AIDS. Jumlah kasus HIV & AIDS tertinggi di Indonesia dimiliki oleh DKI Jakarta dengan angka kejadian HIV sebesar 22.925 kasus dan 6.299 kasus AIDS (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2012). Di Papua, kasus HIV/AIDS bukan merupakan masalah yang baru. Penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun 1992 di kalangan karyawan kapal Thailand yang menginfeksi para pekerja seks komersial (PSK) di Merauke. Selanjutnya para PSK dan
2
pekerja seks jalanan (PSJ) yang sudah terinfeksi menularkannya kepada laki-laki lokal yang menjadi konsumen terbesar mereka. Pola penularan epidemi HIV/AIDS di kalangan penduduk lokal Papua terjadi melalui mobilitas pelacuran, mobilitas tuntutan pekerjaan (khususnya bagi laki-laki usia produktif), dan mobilitas kesukuan (misalnya upacara adat dan kunjungan kerabat). Setelah ditemukan, kasus HIV/AIDS semakin meningkat dari tahun ke tahun dan menyebar ke seluruh Papua. Berdasarkan data statistik oleh Ditjen PP & PL Kemenkes RI (2002 – 2012), pada tahun 2002, jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) telah mencapai 325 orang. Jumlah ini semakin meningkat sampai tahun 2008, tercatat 2.382 orang terinfeksi virus ini. Di tahun yang sama, tercatat bahwa Kabupaten Mimika menjadi tempat penyebaran HIV/AIDS tertinggi di Papua, sebanyak 724 orang disusul Kabupaten Nabire sebanyak 415 orang, sementara di Kota Jayapura terdapat 204 orang dan di Kabupaten Jayapura terdapat 118 orang terkena HIV/AIDS. Pada tahun 2010, ODHA di Papua telah meningkat menjadi 3.665 orang, dengan angka kematian mencapai 580 orang. Pada tahun 2012, jumlah kasus HIV terus meningkat menjadi 10.113 kasus dan terdapat 7.795 orang dengan AIDS. Hal ini menyebabkan Papua menempati posisi tertinggi ketiga untuk kasus HIV/AIDS di Indonesia setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur.
3
Berbagai studi mengindikasikan bahwa perilaku seks pada masyarakat
Papua
cukup
berisiko
dapat
berimbas
pada
peningkatan angka kejadian kasus HIV/AIDS di Tanah Papua. Hasil Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) di Tanah Papua (BPS & Depkes, 2006) mengindikasikan banyak masyarakat Papua yang mempunyai banyak pasangan tidak tetap dan sebagaian besar memulai
hubungan
seks
pada
umur
yang
muda
tanpa
menggunakan kondom. Menderita HIV/AIDS ternyata tidak hanya menyebabkan masalah fisik oleh timbulnya berbagai macam penyakit (infeksi oportunistik), melainkan mereka juga harus menghadapi masalah sosial. Mereka diperlakukan berbeda oleh orang lain, dalam pergaulannya dikucilkan oleh teman-teman, bahkan oleh keluarga sendiri. Mengidap HIV/AIDS di Indonesia masih dianggap aib, sehingga dapat menyebabkan tekanan psikologis terutama pada penderitanya maupun pada keluarga dan lingkungan di sekeliling penderita (Nursalam & Kurniawati, 2007). Ketakutan akan perlakuan yang dibedakan ini pun membuat ODHA susah menjembatani diri dengan orang lain. Mereka takut untuk membagi pengalamannya bahkan menyatakan bahwa dirinya sakit dan perlu pertolongan. Mereka senantiasa khawatir akan perlakuan yang akan didapatkan dari orang lain atas dirinya.
4
Sebaliknya, orang lain pun menjaga jarak dengan para penderita AIDS karena ketakutan pada virus yang bersifat menular tersebut. Fenomena di atas
dibuktikan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Depkes dan Dinas Kesehatan Tanah Papua bekerjasama dengan KPA/KPAD, BPS, dengan didukung oleh World Bank dan USAID-FHI/ASA pada tahun 2006, yang melakukan Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) di Tanah Papua, dengan jumlah sampel kabupaten/kota sebanyak 10 kabupaten/kota. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa penduduk menunjukkan empat macam sikap dan perilaku terhadap ODHA dalam tabel berikut. Sikap dan Perilaku terhadap ODHA
Persentasi
Menjauhi ODHA
34,3%
Memperlakukan Odha sama seperti orang lain
28,3%
Merasa kasihan dengan ODHA
20,9%
Mengenal secara pribadi orang yang sudah 6,7% terinfeksi HIV/AIDS Tabel 1.2. Sikap dan perilaku penduduk Papua terhadap ODHA. Kekhawatiran yang dialami ODHA dalam menjalani hidup dengan menderita HIV/AIDS tidak jarang membuat mereka berusaha menutup-nutupi status untuk mencegah masalah sosial yang mungkin terjadi. Berdasarkan wawancara peneliti dengan
5
Bruder Agus (Kepala Hospice Surya Kasih sekaligus tenaga kesehatan yang bertugas di Klinik Kesehatan Reproduksi RS. Dian Harapan) yang menangani pasien-pasien HIV/AIDS, diketahui bahwa masih banyak pasien-pasien HIV/AIDS yang belum mau terbuka tentang status HIV mereka terhadap keluarga maupun lingkungannya. Menurut Bruder Agus, mereka takut didiskriminasi oleh keluarga dan lingkungan jika diketahui statusnya. Ketakutan dalam diri ODHA yang membuat mereka menutup diri terhadap lingkungannya
tersebut
dapat
mempengaruhi
adherence
(kepatuhan) pengobatan yang dijalani. Ketidaktahuan orang-orang terdekat mengenai masalah atau penyakit yang sebenarnya dialami oleh ODHA dapat menyebabkan kurangnya dukungan yang diberikan kepada ODHA selama menjalani pengobatan, padahal pengobatan HIV/AIDS harus dijalani seumur hidup dan memiliki efek samping obat yang berat. Dalam wawancara singkat terhadap seorang pasien yang berkunjung ke klinik, pasien mengungkapkan bahwa dirinya tidak ingin membuka statusnya kepada orang tuanya karena merasa malu dan takut terhadap respon buruk yang akan diterima jika keluarga mengetahuinya, sehingga cukup suaminya (ODHA) yang tahu. Hidup dengan HIV/AIDS pada kenyataannya memang sulit dan menyedihkan. Mereka harus mampu menerima kondisi bahwa mereka mengidap virus yang tak bisa disembuhkan dan perawatan 6
yang butuh waktu lama. Tidak jarang mereka juga harus siap dengan masalah sosial yang mungkin saja terjadi. Klinik Kesehatan Reproduksi St. Agustinus merupakan bagian dari pelayanan RS. Dian Harapan terhadap pasien dengan Tuberculosis (TB paru), penyakit menular seksual, dan terutama HIV/AIDS. Sejak Januari 2013 sampai Juni 2013, tercatat 400 lakilaki dan 323 perempuan yang masuk perawatan HIV. Klinik tersebut memberikan konseling pre- sampai post-tes untuk pemeriksaan HIV, memberikan obat, serta memantau kepatuhan dan kondisi pasien selama menjalani pengobatan. Masalah yang sering timbul ialah ketidakpatuhan para pasien HIV/AIDS dalam menjalani pengobatan akibat kurangnya dukungan dari lingkungannya sehingga perkembangan penyakit semakin cepat dan dapat mengurangi kualitas hidup pasien. Permasalahan di atas mendorong penulis untuk memahami dan mengkaji lebih dalam lagi mengenai persepsi ODHA terhadap dirinya sendiri, alasan-alasan ODHA untuk menutupi statusnya serta mencari adanya faktor budaya yang mempengaruhinya.
7
1.2 Fokus Penelitian Berdasarkan
latar
belakang
permasalahan
di
atas,
penelitian ini berfokus pada persepsi ODHA tentang dirinya sendiri dan sikap tertutup ODHA tentang status HIV-nya serta faktor budaya yang mempengaruhinya. Adapun pertanyaan penelitian antara lain: 1) Bagaimana persepsi ODHA terhadap dirinya sendiri dan bagaimana budaya mempengaruhinya? 2) Mengapa ODHA memilih untuk melakukan stigmatisasi diri, berupa
sikap
menutupi
keluarga/lingkungan
status
dan
HIV-nya
bagaimana
terhadap budaya
mempengaruhinya?
1.3 Signifikansi dan Keunikan penelitian Orang-orang
yang
hidup
dengan
HIV/AIDS
(ODHA)
merupakan suatu bagian dalam keluarga dan masyarakat yang harus diakui keberadaannya. Oleh sebab itu, mereka juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman, baik sebagai individu maupun dalam hubungan sosialnya, sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. Namun, hal tersebut tidaklah mudah didapatkan ketika mereka menderita suatu penyakit yang “negatif” di mata masyarakat. Oleh sebab itu, mereka cenderung
8
menutupi status HIV mereka tersebut kepada keluarga dan lingkungan untuk menghindari masalah sosial yang mungkin terjadi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Butt-Morin, dkk (2010) tentang “Stigma dan HIV/AIDS di Wilayah Pegunungan Papua”, menyebutkan bahwa ODHA enggan membuka status HIV mereka karena takut akan stigmatisasi. Penelitian tersebut menggambarkan pengalaman-pengalaman stigmatisasi dari lingkungan terhadap ODHA dan menganalisis faktor budaya masyarakat pegunungan Papua yang mempengaruhi stigmatisasi. Hampir sama dengan penelitian tersebut, penelitian ini juga menganalisis faktor budaya, namun lebih menekankan pada pengaruhnya terhadap persepsi ODHA dan pada stigmatisasi diri ODHA berupa sikap menutupi statusnya. Penelitian ini juga menganalisis interaksi simbolik yang terjadi antara ODHA dan keluarga/lingkungan sebagai cara untuk memenuhi harapan-harapan mereka.
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi ODHA terhadap dirinya sendiri, sehingga bersama fenomena stigmatisasi, mereka berusaha menutupi status HIV mereka, serta menganalisis faktor budaya yang mempengaruhinya.
9
1.4.2 Tujuan Khusus 1) Memaparkan persepsi diri ODHA dan menganalisis faktor budaya yang mempengaruhinya. 2) Memaparkan bersikap
alasan-alasan menutupi
yang
status
mendasari HIV-nya
ODHA terhadap
keluarga/lingkungan (stigmatisasi diri) dan menganalisis faktor budaya yang mempengaruhinya.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pengembangan ilmu keperawatan, khususnya dalam memberikan asuhan
keperawatan
paliatif
pada
pasien
HIV/AIDS,
yaitu
meningkatkan kualitas hidup pasien.
1.5.2 Manfaat Praktis 1) Manfaat Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan yang luas mengenai persepsi ODHA tentang dirinya sendiri dan mengetahui berbagai alasan yang mendasari mereka untuk menutupi status HIV-nya.
10
2) Manfaat Bagi Partisipan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dukungan sekaligus mengarahkan partisipan (ODHA) untuk bisa terbuka pada keluarga dan lingkungan tentang status HIVnya
sehingga
dapat
membantu
pencegahan
dan
pengendalian HIV/AIDS khususnya di Tanah Papua. 3) Manfaat Bagi Klinik Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang mendukung dalam peningkatan mutu pelayanan terhadap para pasien HIV/AIDS terutama memotivasi ODHA untuk dapat terbuka pada keluarga dan lingkungan yang nantinya diharapkan dapat memberikan pertolongan selain oleh tenaga kesehatan. 4) Manfaat Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah daerah untuk dapat memberikan dukungan bagi ODHA dalam upaya mengurangi adanya persepsi negatif dan stigmatisasi, baik yang berasal dari dalam diri ODHA maupun dari lingkungannya.
11