BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Berawal dari ketertarikan penulis mengenai kuliner Jepang, penulis memiliki keinginan untuk mengetahui lebih banyak mengenai budaya kuliner Jepang. Dari pengamatan yang penulis lakukan, penulis menemukan bahwa masakan Jepang dikenal oleh sebagian besar orang sebagai masakan yang memiliki kekhasan, baik itu dari segi bahan baku, pengolahan, dan penyajian pada masakan perayaan untuk acaraacara khusus, maupun masakan rumahan yang dikonsumsi sehari-hari. Menurut Kodansha Encyclopedia of Japan (1983:20), secara garis besar masakan Jepang dibagi menjadi beberapa macam yaitu honzen ryouri atau masakan untuk jamuan formal, chakaiseki ryouri atau masakan yang berhubungan dengan upacara minum teh (chanoyu), dan kaiseki ryouri atau masakan yang disajikan pada saat diselenggarakannya pesta yang diadakan di ryokan atau hotel bergaya Jepang. Selain ketiga masakan ini, di Jepang juga terdapat kyoudo ryouri atau masakan daerah, gyouji ryouri atau masakan untuk kegiatan tahunan, shoujin ryouri atau masakan vegetarian Buddhis, dan katei ryouri atau masakan rumahan yang sederhana. Sejauh pengamatan penulis, penulis melihat adanya kemiripan antara beberapa masakan Jepang yang telah penulis sebutkan di atas dari segi visual, yaitu pada penggunaan bahan baku sesuai dengan musim yang sedang berlangsung,
1
2
penggunaan warna-warna pada masakan, dan penyajian yang dilakukan dengan cara menyajikan masakan dalam piringan-piringan kecil secara individu. Berdasarkan pengamatan tersebut penulis mencari tahu lebih jauh mengenai sejarah perkembangan kuliner di Jepang. Dari hasil pencarian yang penulis lakukan, penulis melihat bahwa budaya makan di Jepang mengalami perubahan besar sejak shoujin ryouri menyebar di Jepang. Sejak pemerintah memutuskan agama Buddha diberlakukan sebagai agama negara pada pemerintahan kaisar Temmu, konsumsi bahan makanan masyarakat Jepang mengalami perubahan. Semula masyarakat mengonsumsi bahan makanan hewani dan buah-buahan yang dikeringkan dengan sedikit sekali bahan segar, lalu kemudian masyarakat berhenti mengonsumsi bahan makanan hewani seperti konsep shoujin ryouri. Shoujin ryouri merupakan masakan yang biasa dikonsumsi oleh pendeta Buddha di Jepang. Berikut adalah kutipan yang menjelaskan mengenai karakteristik shoujin ryouri. “精進料理は、殺生や肉食を禁じられた仏教の僧のための食事です。 野菜や穀類、豆類で作られる、たんぱく源として大豆をよく利用して いるのが特徴です。今や日本料理に欠かせない味噌、醤油、豆腐など は、もとは精進料理に関係が深い食材です。” (Horiguchi, 2010:75) “Shoujin ryouri adalah masakan pendeta Buddha yang dilarang membunuh dan memakan daging. Karakter masakan ini yaitu rasa asli yang ringan dengan menggunakan sayuran, biji-bijian, dan kacang-kacangan. Sekarang pun pada hidangan Jepang digunakan miso (tauco), shouyu (kecap), dan tahu, -dimana- sebenarnya memiliki hubungan yang dalam dengan shoujin ryouri.” Karakteristik shoujin ryouri adalah menggunakan bahan baku nabati. Pada kutipan di atas dikatakan bahwa shoujin ryouri merupakan masakan yang dikonsumsi
3
oleh pendeta Buddha, Yoneda (1982:34) menambahkan, bahwa beberapa penganut ajaran agama Buddha yang menyebar di Jepang seperti Jodo Shin dan Nichiren juga mengonsumsi shoujin ryouri, tetapi ajaran Zen adalah ajaran yang paling teguh menggunakan prinsip dasar shoujin ryouri. Alasan mengapa hanya para pendeta Zen saja yang tetap menggunakan aturan-aturan shoujin ryouri sebagai dasar masakan yang dikonsumsi sehari-hari adalah karena kedekatan hubungan antara kegiatan makan dengan kegiatan pertapaan ajaran Zen. Menurut Lévi-Strauss (via Koentjaraningrat, 1979:212), berbagai makanan yang dikonsumsi oleh manusia memiliki arti simbolik, baik dalam arti sosial maupun keagamaan. Shoujin ryouri merupakan hidangan yang banyak memasukkan simbolsimbol sakral dalam hidangannya, simbol sakral ini adalah simbol Zen. Masakan rumahan Jepang memiliki kemiripan dengan shoujin ryouri, hal tersebut terlihat secara visual yaitu dari warna, penggunaan bahan baku sesuai dengan musim yang sedang berlangsung dan penyajian pada piringan-piringan kecil. Dari kemiripan tersebut penulis memiliki dugaan bahwa mungkin saja masyarakat Jepang tidak saja mengadopsi konsep shoujin ryouri secara visual pada masakan yang mereka konsumsi sehari-hari, tetapi juga mengadopsi simbol sakral yang terdapat pada shoujin ryouri. Dari kemiripan tersebut penulis memiliki dugaan bahwa walaupun masyarakat tidak seluruhnya menganut Zen tetapi simbol sakral tersebut digunakan oleh masyarakat sehari-hari. Dari dugaan tersebut peneliti melakukan
4
penelitian mengenai makna dan perubahan makna simbol-simbol Zen dalam shoujin ryouri yang terdapat dalam masakan rumahan Jepang (katei ryouri).
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang, maka permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini adalah: 1. Apa sajakah makna simbol-simbol Zen dalam shoujin ryouri yang terdapat dalam masakan rumahan Jepang (katei ryouri)? 2. Apa sajakah perubahan makna simbol-simbol Zen dalam shoujin ryouri yang terdapat dalam masakan rumahan Jepang (katei ryouri)?
1.3 Batasan Masalah Peneliti membatasi simbol sakral yang diteliti hanya simbol Zen. Simbol Zen dipilih oleh penulis karena dari berbagai literatur yang penulis dapat, penulis mendapati bahwa dari beberapa masakan yang penulis sebutkan pada bagian latar belakang, simbol sakral yang terdapat pada masakan yang paling kuat adalah simbol Zen. Oleh sebab itu, dalam skripsi ini penulis meneliti makna simbol-simbol Zen yang terdapat pada masakan yang dikonsumsi oleh masyarakat Jepang, yaitu katei ryouri. Simbol sakral yang diteliti meliputi simbol sakral pada bahan baku yang digunakan, pengolahan, penghidangan, dan penyajian masakan di atas meja.
5
Simbol Zen yang diteliti adalah simbol Zen dalam shoujin ryouri, alasan penulis meneliti simbol Zen yang terdapat dalam shoujin ryouri yaitu karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan perubahan makna simbol. Jika peneliti meneliti langsung dari simbol Zen secara umum maka hasil penelitian tidak akan menunjukkan perubahan makna simbol.
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan apa saja makna dan perubahan makna simbol-simbol Zen dalam shoujin ryouri yang terdapat dalam katei ryouri
1.5 Landasan Teori Penelitian ini merupakan penelitian mengenai simbol. Menurut Danesi (2011: 33), simbol adalah tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan atau persetujuan dalam konteks spesifik dan merupakan hasil dari kesepakatan historis dan sosial. Geertz (1992:4) juga mengatakan bahwa simbol merupakan sebuah bentuk untuk mengekspresikan perasaan yang dilakukan secara historis atau turun menurun dengan tujuan untuk berkomunikasi dan merupakan sesuatu yang dianggap penting dalam masyarakat. Dalam skripsi ini, simbol yang diteliti adalah simbol sakral. Simbol sakral dijelaskan oleh Geertz (1992:11), bahwa simbol sakral membentuk keadaan sekitar,
6
yaitu dengan cara menarik penyembah atau penganut ke seperangkat disposisidisposisi khusus (penyembah meneruskan dari apa yang diperintahkan Tuhan), hal tersebut pada akhirnya memberi suatu ciri yang tetap pada arus kegiatannya dan kualitas pengalamannya. Warna merupakan salah satu poin yang diteliti, untuk meneliti simbol sakral pada warna, penulis menggunakan teori Darmaprawira dan Pavey. Menurut Darmaprawira (2002:30), warna merupakan sesuatu yang dapat mempengaruhi jiwa dan emosi sesorang, dengan kata lain dapat dipahami bahwa warna merupakan sesuatu yang mencerminkan hal-hal psikis. Simbol warna shoujin ryouri dapat dijelaskan dalam ajaran Buddha, karena telah dijelaskan sebelumnya bahwa shoujin ryouri memiliki hubungan dengan agama Buddha. Pavey (2003:269) mengatakan bahwa simbol-simbol warna banyak digambarkan dalam mitologi dan menunjukkan simbol dari hal psikis dan sifat-sifat manusia, yaitu intuisi, sensasi, perasaan, dan pemikiran. Pavey menjelaskan makna dari tiap warna dalam agama Buddha dengan melambangkan sifat para dewa dan elemen yang terdapat di alam. Menurut Geertz (1992:51), menganalisis simbol sakral dapat dilakukan dengan cara menanggapi sebuah makna dari sebuah kepercayaan yang kemudian dianggap sebuah simbol. Simbol yang dimaksud merupakan sesuatu yang bermuatan normatif komprehensif atau sesuatu yang secara teguh memegang nilai-nilai dalam kepercayaan tersebut. Dalam skripsi ini nilai-nilai dalam kepercayaan yang diambil adalah Zen.
7
Selain itu penulis menggunakan teori nilai budaya Koentjaraningrat. Menurut Koentjaraningrat (2005:75-76), nilai-nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberikan arahan kepada masyarakat tersebut. Suatu nilai budaya bersifat sangat umum, luas dan tidak konkret. Nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti dengan nilai budaya yang lain dalam waktu singkat, nilai budaya dapat dapat berubah setelah melalui waktu yang lama.
1.6 Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa penelitian yang dijadikan referensi dalam penelitian ini, yaitu skripsi yang berjudul “Simbol-simbol Ajaran Zen Pada Masakan Kaiseki”, ditulis oleh Onny Aulia mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Jepang Universitas Gadjah Mada pada tahun 2008. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui simbol-simbol Zen apakah yang terdapat dalam seni penyajian masakan Kaiseki atau masakan yang disajikan sebelum menggelar upacara minum teh. Penulis menggunakan hasil penelitan ini karena penelitian tersebut merupakan analisis simbol dan menggunakan teori analisis simbol sakral Clifford Geertz seperti yang penulis teliti. Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Ony Aulia yang membahas mengenai simbol-simbol Zen pada seni masakan kaiseki, pada penelitian
8
ini penulis membahas mengenai makna dan perubahan makna simbol Zen yang terdapat dalam shoujin ryouri pada katei ryouri. Selain itu penulis juga menggunakan hasil penelitian berjudul “Epistemologi Zen” yang ditulis oleh Arief Gunawan Susilo, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Jepang Universitas Gadjah Mada pada tahun 2006. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk melengkapi pembahasan ilmiah tentang Zen sebagai salah satu khazanah pemikiran Jepang. Penulis menggunakan hasil penelitian tersebut sebagai tinjauan pustaka untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai konsep dan praktik Zen. Pemahaman mengenai Zen merupakan hal yang diperlukan dalam penelitian yang penulis teliti. Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Arief Gunawan, dalam penelitian ini penulis meneliti simbol-simbol Zen yang terdapat dalam shoujin ryouri pada hidangan rumahan Jepang.
1.7 Metode Penelitian Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dan deskriptif. Metode penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang menggunakan data-data yang didapatkan, baik dari sumber buku maupun data lapangan kemudian dipaparkan sehingga mendapatkan data deskriptif. Pada penelitian kualitatif lebih menekankan kepada proses sebuah produk terbentuk daripada produk dari penelitiannya. Selanjutnya, penulis kemudian mengolah data mulai dari mengedit sampai menyajikan hasil olahan data dengan ringkas (Muhadjir,
9
2000: 42-44). Penulis menggunakan metode studi pustaka untuk memperoleh data yang diperlukan dengan cara mendapatkannya dari literatur berupa buku dan jurnal sebagai sumber utama serta dengan penelusuran menggunakan akses internet sebagai media untuk membantu mencari data utama ataupun informasi-informasi yang mendukung.
1.8 Sistematika Penelitian BAB I, dalam bab ini memuat pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, dan sistematika laporan. BAB II berisi sejarah budaya makan di Jepang. BAB III berisi mengenai ajaran Zen dan aturan makan dalam Zen. BAB IV memuat pemaparan konsep shoujin ryouri dan katei ryouri. BAB V dalam bab ini berisi pembahasan simbol-simbol Zen dalam shoujin ryouri serta analisis makna dan perubahan makna simbol-simbol Zen dalam shoujin ryouri yang terdapat dalam katei ryouri. BAB VI berisi kesimpulan penelitian.