1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Untuk mendapatkan sebuah kehidupan yang baik dan layak, setiap orang tentu saja akan berusaha sebaik mungkin, mereka berkeinginan untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dengan adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka setiap orang akan berusaha dengan berbagai cara untuk bersaing mencapai taraf kehidupan yang lebih baik lagi atau bahkan melebihi taraf kehidupan ratarata orang-orang kebanyakan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk meraih kehidupan yang baik dan layak tersebut. Salah satu diantaranya adalah dengan mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dan sebaik mungkin. Individu saat ini berlomba-lomba untuk dapat duduk di bangku perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Di perguruan tinggi ditawarkan banyak sekali jurusan-jurusan yang dapat dipilih oleh setiap calon mahasiswanya sesuai dengan minat mereka. Setiap jurusan tentu saja memiliki prospek kerjanya masing-masing sesuai dengan bidangnya. Dengan mencapai gelar setinggi mungkin, diharapkan individu lebih memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Salah satu institut yang menjadi tujuan banyak orangtua untuk mendaftarkan putra putri mereka sekarang ini adalah Institut ”X” Kota Bandung
Universitas Kristen Maranatha
2
(Kompas, 07 September 2009). Institut ”X” dapat dikatakan merupakan salah satu Institut yang sedang berkembang dan memiliki kualitas pendidikan yang baik dan mampu bersaing dengan Institut favorit lainnya. Institut ”X” telah dikenal sebagai lembaga pendidikan tinggi yang memiliki komitmen kuat untuk memberikan pendidikan berkualitas bagi mahasiswanya. Hal ini dibuktikan dengan sudah banyak lulusan Institut ”X”, baik lulusan program S1 maupun lulusan program MM, yang saat ini sudah menduduki posisi penting di berbagai perusahaan terkemuka dan telah memiliki akreditasi A (www.Institut Manajemen ”X”.com). Lahir dan berada di lingkungan komunitas industri dan bisnis telekomunikasi, Institut ”X” faham dengan kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh dunia industri & bisnis saat ini, yaitu sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam bidang Information and Communication Technology (ICT). Kondisi inilah yang mendasari penyusunan kurikulum seluruh program studi yang ada di Institut ”X” menjadi berbasis ICT (www. Institut ”X”.com). Sistem kurikulum berbasis ICT ini memiliki perbedaan dibandingkan dengan sistem pembelajaran pada Institut atau Universitas-universitas yang lain. Dengan adanya kurikulum ICT ini maka terdapat penambahan-penambahan mata kuliah yang diberikan kepada mahasiswa dan mahasiswi Institut ”X” yang bertujuan untuk memberikan nilai plus bagi para lulusannya nanti. Penambahan tersebut adalah di bagian Bisnis Telekomunikasi seperti Pengantar Sistem Telekomunikasi, Pemasaran Jasa Telekomunikasi (high-tech), Costing, Tariffing & Pricing Bisnis Telekomunikasi, Interkoneksi, Manajemen Logistik dan Pemeliharaan Telekomunikasi, Regulasi Sektor Telekomunikasi, Pengenalan
Universitas Kristen Maranatha
3
Teknologi dan Jasa Telekomunikasi, Manajemen Penyelenggaraan Jaringan. Sedangkan penambahan mata kuliah di bagian Bisnis Informatika adalah Pengantar Informatika dan Internet, Pengantar Pemprograman Bisnis Data, dan Sistem Informasi Manajamen. Mata kuliah-mata kuliah tersebutlah yang dianggap menjadi keunggulan dari Institut ”X”. Sejak awal, selain menerapkan kurikulum berbasis ICT, Institut ”X” juga menerapkan pola link & match, yang diwujudkan dalam sistem belajar intensif yaitu tatap muka, responsi, praktikum dan program kemitraan. Pola Link & match yang dimaksudkan ialah adanya kerjasama antara kampus Institut ”X” dengan perusahaan-perusahaan
yang
membutuhkan
lulusan
manajemen
Bisnis
Telekomunikasi dan Informatika. Sedangkan program kemitraan itu sendiri merupakan suatu program dimana tujuannya ialah mengenalkan para mahasiswa dan mahasiswi Institut ”X” kepada dunia kerja yang sebenarnya. Program kemitraan ini diberikan hanya kepada mahasiswa dan mahasiswi yang minimal telah menempuh 90% mata kuliah wajib yang diberikan oleh Institut ”X”. Selain itu, terdapat program mutu institusi. Program tersebut merupakan program yang dibuat untuk menjaga dan meningkatkan kualitas mata kuliah-mata kuliah yang menjadi nilai plus bagi para lulusan Institut ”X”, yaitu mata kuliah Bisnis Telekomunikasi dan Bisnis Informatika. Metoda pembelajaran dengan sistem berbasis ICT, dibekali entrepreneurial skill dan ditambah transculture communication skill (kemampuan berbahasa asing), menjadikan lulusan Institut ”X” ini memiliki nilai lebih apabila dibandingkan dengan lulusan lainnya dengan jurusan yang sama. Kerjasama dengan perguruan tinggi asing yang telah
Universitas Kristen Maranatha
4
dilakukan sejak awal pendirian serta transformasi dari sekolah tinggi menjadi institut, merupakan wujud nyata dari upaya Institut ”X” untuk menuju Institut yang berkualitas. Selain itu, mahasiswa Institut ”X” juga dibekali dengan sertifikat dari lembaga-lembaga sertifikasi terkemuka untuk menunjang profesi yang bersangkutan apabila mereka sudah masuk di dunia kerja, antara lain : Microsoft, Oracle, CISCO Network, SAP, dan Lembaga sertifikasi profesi telematika. Sebagai salah satu Institut Manajemen yang berbasis ICT, mahasiswa dan mahasiswi dihadapkan pada berbagai macam tuntutan dan hambatan yang tidak mudah untuk dilalui. Berbagai macam tuntutan dan hambatan yang dihadapkan kepada mahasiswa dan mahasiswi Institut “X“ tersebut antara lain adalah mahasiswa dan mahasiswi dituntut untuk dapat mengikuti dan berhasil melewati mata kuliah entreupreneurship (kewirausahaan) dengan baik, harus mendapatkan nilai TOEFL minimal 400 sebelum mereka mengikuti sidang skripsi di akhir perkuliahan, setiap mahasiswa dan mahasiswi yang ingin terseleksi dalam program Co-op yang merupakan program kemitraan yang dapat mempermudah link pekerjaan setelah mereka lulus maka mereka diwajibkan mendapatkan IPK minimal 3,00. Selain itu, seringkali dari sekian banyak tugas yang diberikan oleh dosen-dosen mereka di setiap mata kuliah tugas-tugas itu berupa tugas dengan menggunakan bahasa Inggris, baik berupa tugas menterjemahkan maupun tugas menganalisis suatu permasalahan dan mereka harus mempresentasikannya di depan kelas.
Universitas Kristen Maranatha
5
Selain tuntutan dalam segi akademik seperti yang telah diuraikan, tuntutan dalam segi finansial pun dirasakan mahasiswa dan mahasiswi Institut ”X” sebagai hal lain yang kadang-kadang menjadi beban bagi mereka. Biaya perkuliahan yang cukup mahal diikuti dengan sistem paket pembayaran studi yang tidak dapat diulang secara per mata kuliah, juga tidak adanya penawaran program semester pendek (SP) seperti yang dilakukan di perguruan-perguruan tinggi lainnya. Kendala tersebut merupakan beban yang cukup berpengaruh karena berdampak kepada keyakinan diri mereka dalam menyelesaikan seluruh tuntutan yang ada baik tuntutan berupa tuntutan akademik maupun finansial dan menyelesaikan kegiatan perkuliahan setiap semesternya terutama semester VII dengan tepat waktu. Dari keseluruhan tuntutan dan hambatan yang ada di setiap semester sistem pembelajaran Institut “X” ini, semester VII menjadi semester yang paling dianggap sulit (berdasarkan hasil wawancara terhadap mahasiswa dan mahasiswi Institut ”X” kota Bandung) bagi para mahasiswa dan mahasiswi Institut “X”. Hal ini dikarenakan tuntutan-tuntutan akademik dan juga hambatan yang dihadapkan pada mahasiswa dan mahasiswi semester VII ini berbeda dan dianggap paling sulit untuk dilewati dibandingkan dengan semester-semester sebelumnya. Pada semester VII ini mahasiswa dan mahasiswi Institut “X” dihadapkan pada kegiatan perkuliahan yang cukup padat dan menyita waktu karena jumlah SKS yang dihadapkan pada mereka masih terbilang cukup banyak yaitu 13 SKS dengan 5 SKS sebagai mata kuliah praktikum yang harus 90% mereka ikuti.
Universitas Kristen Maranatha
6
Banyak diantara mahasiswa dan mahasiswi semester VII Institut ”X” mengeluhkan banyaknya tuntutan dan hambatan yang dihadapkan pada mereka ketika proses perkuliahan sedang berlangsung seringkali membuat semangat dan keyakinan yang ada pada diri untuk dapat lulus tepat waktu sesuai dengan target mereka menjadi menurun. Tuntutan-tuntutan yang seringkali dihadapi dan membuat mereka merasa tidak yakin untuk dapat berhasil melewatinya antara lain : keharusan untuk dapat membagi waktu pikiran dan tenaga antara tugas perkuliahan dengan kegiatan entrepreneurship yang juga cukup banyak menyita waktu di luar waktu kuliah wajib, biaya perkuliahan dengan sistem paket yang terbilang cukup memberatkan menurut mereka, terdapat lebih banyak praktikum atau kegiatan lapangan daripada di semester-semester sebelumnya yang membuat mereka harus mulai beradaptasi dengan kegiatan-kegiatan tersebut, adanya targettarget yang harus mereka capai untuk dapat mengikuti program Co-op dimana mereka harus memiliki IPK minimal 3,00. Mereka mengeluhkan kondisi semangat mereka yang jauh relatif menurun di semester VII ini diikuti keyakinan dalam diri mereka yang juga menurun. Selain tuntutan yang begitu banyak yang dihadapkan pada para mahasiswa dan mahasiswi semester VII ini, mereka pun mengeluhkan adanya hambatan dari dalam diri mereka (berdasarkan hasil wawancara terhadap mahasiswa dan mahasiswi Institut ”X”). Hambatan-hambatan itu antara lain sulitnya mencari teman sekelompok yang benar-benar saling mendukung, terdapatnya dosen yang kurang kompeten dalam menyampaikan materi perkuliahan, fasilitas dan sarana yang kurang mendukung, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut diatas menjadi
Universitas Kristen Maranatha
7
perhatian peneliti untuk mengetahui bagaimana keyakinan para mahasiswa akan kemampuan dalam menjalani dan menghadapi keadaan tersebut; yang disebut sebagai self-efficacy. Mahasiswa yang memiliki kemauan untuk memenuhi tuntutan akademik mereka, tentu akan selalu berusaha seoptimal mungkin serta harus memiliki keyakinan akan kemampuannya guna mencapai tujuannya hingga berhasil (dalam Jurnal, Hubungan antara Self-efficacy dengan penyesuaian akademik dan prestasi akademik, Volume 14 Nomer 2, September 2004). Hal ini didukung oleh Pajares (2002). Dalam penjelasannya bahwa, ”Self-efficacy also help to determine how much effort people will expend on an activity, how long they will perserve when confronting obstacles, and how resilient they will be in the face of adversive situations”. Self-efficacy tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan berdasarkan pemaknaan dan penghayatan mahasiswa akan sumber-sumber informasi pembentuk self-efficacy. Self-efficacy adalah penilaian diri seseorang akan kemampuan dirinya untuk memulai dan dengan sukses melakukan tugas spesifik pada level tertentu, mengerahkan usaha yang lebih kuat, dan bertahan dalam menghadapi kesulitan, memiliki rasa bahwa individu mampu untuk mengendalikan lingkungan sosialnya (Bandura, 1977, 1986). Secara lebih ringkas, self-efficacy adalah keyakinan akan kemampuan diri dalam melakukan suatu tugas tertentu. Disampaikan oleh Bandura bahwa self-efficacy merupakan faktor penting yang menentukan seorang remaja (mahasiswa) berhasil atau tidak secara akademis karena untuk dapat memenuhi tuntutan akademis dengan baik diperlukan faktor-faktor seperti usaha
Universitas Kristen Maranatha
8
dan juga daya tahan atau keuletan mahasiswa. Kurangnya usaha dan kegigihan yang dimiliki dapat menyebabkan kegagalan mahasiswa untuk melakukan tuntutan akademik. Hasil penelitian akhir-akhir ini menunjukkan self-efficacy memegang peranan penting yang signifikan dalam memprediksi dan menjelaskan academic performance dalam berbagai area (Lent, Brown, Larkin; Marsh, Walker, Debus; Schunk;
Schunk;
Zimmerman,
Bandura,
Martinez-Pons
dalam
www.positivepractices.com/Efficacy/selfEfficacy.html). Mahasiswa yang yakin bahwa dirinya mampu menguasai materi akademik dan bisa mengatur cara belajar sendiri akan lebih banyak mencoba atau meraih tujuannya dan akan lebih sukses daripada mahasiswa yang tidak memiliki keyakinan tersebut. Self-efficacy membantu mahasiswa untuk memenuhi tuntutan dan persyaratan akademis dengan keyakinan akan kapabilitas yang dimiliki untuk mencapai penyesuaian akademik serta prestasi akademik dengan baik (Pajares, 2002). Mahasiswa yang berusaha untuk mencapai kriteria akademiknya akan berusaha mencari cara-cara efektif dan efisien agar dapat memenuhinya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Pintrich & Gracia (1991) yang menyatakan bahwa mahasiswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan menggunakan strategi kognitif dan metakognitif yang lebih baik. Cara-cara efektif dan efisien menunjukkan adanya kemampuan untuk mengatur kemampuan dan waktu yang dimiliki (dalam Jurnal, Hubungan antara Self-efficacy dengan penyesuaian akademik dan prestasi akademik, Volume 14 Nomer 2, September 2004).
Universitas Kristen Maranatha
9
Menurut Bandura (2002), individu yang memiliki self-efficacy belief yang rendah mempunyai keraguan akan kemampuan dirinya dalam hal menyelesaikan tuntutan akademik yang sedang dihadapinya. Mereka menghindari tugas-tugas sulit yang dipandang sebagai ancaman terhadap diri mereka, memiliki aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan-tujuan yang telah mereka tetapkan. Ketika berhadapan dengan tugas-tugas yang sulit mereka terpaku pada kelemahan-kelemahan dan hambatan yang akan dihadapi dan kemungkinan hasil yang tidak menyenangkan daripada berkonsentrasi bagaimana berusaha untuk mencapai sukses. Mereka menurunkan usahanya dan cepat menyerah dalam menghadapi kesulitan. Mereka lama bangkit dari kegagalan karena melihat performa yang kurang sebagai kemampuan yang tidak mencukupi, hanya dengan sedikit kegagalan saja mereka bisa kehilangan keyakinan mengenai kemampuan dirinya serta mudah terkena stress dan depresi. Sebaliknya, individu yang memiliki self-efficacy belief yang tinggi mempunyai keyakinan kuat pada kemampuan dirinya dalam hal menyelesaikan tuntutan-tuntutan akademik yang sedang dihadapinya. Hal tersebut mendorong prestasi dan kesejahteraan pribadi dalam banyak cara. Mereka menganggap tugas yang sulit dengan tantangan yang harus dikuasai dan bukan sebagai ancaman atau sesuatu yang harus dihindari. Usaha yang penuh keyakinan tersebut memunculkan minat yang berasal dari dalam diri dan usaha itu menyerap perhatian yang mendalam pada aktivitas. Mereka menentukan tujuan yang menantang dan berkomitmen
terhadap
tujuan
tersebut.
Mereka
meningkatkan
dan
mempertahankan usaha pada waktu menghadapi kegagalan. Mereka memandang
Universitas Kristen Maranatha
10
kegagalan sebagai usaha yang tidak memadai atau kurangnya pengetahuan dan keterampilan yang sebetulnya dapat diperoleh. Mereka mendekati situasi-situasi mengancam dengan penuh keyakinan itu menghasilkan prestasi pribadi, mengurangi stress dan menurunkan kerentanan terhadap depresi. Self-efficacy belief dapat tumbuh dan berkembang dalam diri seorang individu dikarenakan oleh sumber-sumber yang membentuknya. Sumber-sumber pembentuk self-efficacy belief itu sendiri terdapat empat macam, yaitu : mastery experience, vicarious experience, social/verbal persuation, dan juga physiological and affective states. Menurut Bandura, peran dari self-efficacy belief dan kaitannya dengan bagaimana manusia berfungsi dikatakan bahwa tingkat motivasi, keadaan afektif, dan tindakan seseorang lebih berdasarkan pada apa yang dia percaya daripada apa yang secara objektif benar (Bandura, 1997). Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy belief dengan prestasi siswa, namun masih sedikit yang mendalami bagaimana peranan sumber-sumber self-efficacy belief yang dirumuskan oleh Bandura terhadap self-efficacy belief itu sendiri. Penelitian yang telah dilakukan oleh Schunk secara khusus menyoroti bagaimana sumber selfefficacy dan pengaruhnya pada mahasiswa. Dari penelitiannya didapat hasil bahwa student self-efficacy belief seringkali berasal atau datang dari vicarious experience (Schunk, 1991), yang merupakan salah satu dari sumber self-efficacy belief. Dengan itu peneliti ingin mengetahui kontribusi sumber-sumber informasi pembentuk self-efficacy belief terhadap self-efficacy belief para mahasiswa dalam
Universitas Kristen Maranatha
11
menghadapi tantangan dan tuntutan di dunia pendidikan, karena self-efficacy menentukan bagaimana cara mahasiswa dalam menghadapi tantangan akademis. Berdasarkan hasil wawancara awal peneliti kepada 30 orang mahasiswa di Institut “X” Kota Bandung yang berada di semester VII, didapatkan hasil sebagai berikut : Dari 30 orang mahasiswa yang diwawancarai mengenai kontribusi sumber self-efficacy belief yang pertama, yaitu mastery experience, pada pengalaman keberhasilan, sebanyak 27 orang (90%) mengatakan mereka dapat menyelesaikan dan melewati semester-semester sebelumnya dengan baik sehingga mereka yakin dapat menyelesaikan semester VII dengan tepat waktu, 1 orang (3%) mengatakan menjadi kurang yakin akan kemampuan diri untuk menyelesaikan dan melewati semester VII ini dengan
baik dan tepat waktu karena merasa pengalaman
keberhasilan yang mereka alami sebelumnya hanyalah sebuah keberuntungan, dan bagi 2 orang (7%) lainnya mengatakan bahwa mereka tidak merasa pengalaman keberhasilan tersebut berkontribusi kepada keyakinan mereka untuk mampu menyelesaikan dan melewati proses perkuliahan di semester VII ini. Pengalaman kegagalan bagi 1 orang (3%) mahasiswa menjadikan ia lebih yakin untuk dapat berhasil karena membuat ia lebih meningkatkan cara belajar dengan lebih bersungguh-sungguh setelah mendapatkan pengalaman kegagalan sebelumya. Bagi 26 orang (87%) mahasiswa menjadi tidak yakin dapat berhasil karena merasa pengalaman kegagalan tersebut akan terulang lagi dan 3 orang (10%) mahasiswa lainnya merasa tidak berkontribusi pada keyakinan akan kemampuannya dalam menjalani semester VII ini setelah menghayatinya.
Universitas Kristen Maranatha
12
Pada sumber self-efficacy belief yang kedua, vicarious experience, kontribusi pengalaman kegagalan dan keberhasilan teman dekat dan senior, bagi 2 orang (7%) mahasiswa membuat mereka menjadi lebih yakin diri ketika mengetahui senior atau teman dekat yang mereka kagumi dan memiliki kemiripan karakteristik dengan diri mereka dalam hal Indeks Prestasi Kumulatif yang tidak jauh berbeda dan juga pola belajar yang hampir serupa berhasil menyelesaikan dan melewati semester VII mereka dengan baik dan tepat waktu. Bagi 3 orang (10%) mahasiswa membuat kurang yakin diri untuk dapat menyelesaikan dan melewati semester VII dengan baik dan tepat waktu walaupun senior dan teman dekat yang mereka anggap memiliki banyak kesamaan karakteristik dengan mereka telah lebih dahulu berhasil menyelesaikan dan melewati semester VII dengan baik karena mereka menghayati kesamaan karakteristik pada senior dan teman dekat mereka itu sebagai faktor luar saja. Bagi 25 orang (83%) mahasiswa mereka merasa keberhasilan dan kegagalan senior dan teman dekat tersebut tidak berkontribusi kepada keyakinan diri mereka untuk dapat menyelesaikan dan melewati semester VII ini dengan baik dan tepat waktu. Sedangkan sumber self-efficacy belief yang ketiga, social/verbal persuation, kontribusi umpan balik positif, meningkatkan keyakinan diri dari 25 orang (83%) mahasiswa, menurunkan keyakinan diri dari 1 orang (3%) mahasiswa karena ia merasa pemberian umpan balik positif tersebut hanya sebuah pujian biasa, dan 4 orang (13%) mahasiswa merasa tidak berkontribusi pada keyakinan akan kemampuannya dalam menyelesaikan dan melewati semester VII ini dengan baik dan tepat waktu setelah menghayatinya. Sedangkan kontribusi
Universitas Kristen Maranatha
13
umpan balik negatif, bagi 20 orang (67%) mahasiswa membuat menjadi lebih yakin diri karena umpan balik tersebut membuat mereka merasa lebih terdorong untuk menampilkan hasil yang lebih baik. Bagi 5 orang (17%) mahasiswa mengatakan bahwa mereka merasa kurang yakin dapat menyelesaikan dan melewati semester VII dengan baik karena umpan balik negatif tersebut seringkali teringat oleh mereka pada saat menghadapi kegiatan perkuliahan, 5 orang (17%) mahasiswa lainnya mengatakan bahwa umpan balik negatif mereka rasakan tidak berkontribusi pada keyakinan diri yang mereka miliki untuk dapat menyelesaikan dan melewati semester VII dengan baik dan tepat waktu. Pada sumber self-efficacy belief yang keempat, physiological and affective states, berkontribusi pada 28 dari 30 orang (93%) mahasiswa akan kemampuan dalam menjalani seluruh tahap-tahap kegiatan perkuliahan di semester VII ini dengan baik dan tepat waktu setelah mereka menghayatinya. Sedangkan 2 orang (7%) mahasiswa lainnya mengatakan bahwa keadaan fisik dan psikis mereka tidak terlalu berpengaruh terhadap kegiatan perkuliahan yang sedang mereka jalani. Berdasarkan hasil survei terhadap sumber-sumber self-efficacy belief diatas dapat terlihat bahwa setiap mahasiswa dan mahasiswi memiliki penghayatan yang berbeda-beda mengenai sumber-sumber self-efficacy belief terhadap diri mereka. Keempat sumber self-efficacy belief ini tentu saja menjadi faktor penting yang sangat mempengaruhi bagaimana para mahasiswa dan mahasiswi Institut “X” Kota Bandung ini dapat mengembangkan self-efficacy belief yang ada pada diri mereka masing-masing dan bagaimana pada akhirnya mahasiswa dan mahasiswi Institut “X” Kota Bandung dapat melewati tuntutan
Universitas Kristen Maranatha
14
dan hambatan yang mereka hadapi selama proses untuk melewati dan menyelesaikan kegiatan perkuliahan di semester VII dengan tepat waktu. Kesulitan yang tinggi dan tekanan yang besar membuat seorang mahasiswa atau mahasiswi harus memiliki beberapa sumber self-efficacy belief dalam dirinya. Hal ini membuat self-efficacy belief
yang kuat di
menjadi penting untuk
dimiliki oleh mahasiswa dan mahasiswi semester VII Institut “X” Kota Bandung agar dapat bertahan hingga dapat melewati seluruh rangkaian kegiatan perkuliahan di semester VII dengan tepat waktu. Berdasarkan gejala dan fakta pada uraian di atas yang didapatkan dari survei awal, maka peneliti ingin melakukan penelitian yang lebih memfokuskan pada seberapa besar kontribusi dari masing-masing sumber-sumber self-efficacy belief terhadap self-efficacy belief mahasiswa dan mahasiswi semester VII Institut “X” kota Bandung dalam upaya mereka melewati tuntutan dan hambatan yang ada di semester tersebut.
Universitas Kristen Maranatha
15
1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang masalah, maka identifikasi masalah yang dapat dirumuskan pada penelitian ini adalah mengenai seberapa besar kontribusi masing-masing sumber self-efficacy belief terhadap self-efficacy belief pada mahasiswa dan mahasiswi semester VII di Institut “X” Kota Bandung.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang bersifat empirik mengenai sumber self-efficacy belief terhadap self-efficacy belief pada mahasiswa dan mahasiswi semester VII di Institut “X” Kota Bandung.
1.3.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar kontribusi masing-masing sumber self-efficacy belief terhadap self-efficacy belief mahasiswa dan mahasiswi semester VII di Institut “X” Kota Bandung.
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah
Sebagai masukan bagi ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Pendidikan mengenai kontribusi masing-masing sumber self-efficacy belief terhadap self-efficacy belief.
Universitas Kristen Maranatha
16
Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai sumber-sumber self-efficacy belief.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Sebagai masukan bagi mahasiswa dan mahasiswi yang sedang menempuh semester VII di Institut “X” Kota Bandung untuk lebih dapat mengetahui sumber self-efficacy belief manakah yang berperan dominan pada diri mereka dan dapat mereka tingkatkan.
Memberikan informasi kepada mahasiswa dan mahasiswi semester VII bersangkutan mengenai sumber-sumber self-efficacy dan self-efficacy; sehingga mereka dapat mempertahankan atau meningkatkan self-efficacy belief mereka dalam kehidupan akademis.
Sebagai masukan bagi dekan dan staff pengajar Institut “X” Kota Bandung mengenai self-efficacy belief serta faktor-faktor yang menunjang peningkatan
self-efficacy
belief
sehingga
dapat
dijadikan
pertimbangan dalam meningkatkan self-efficacy belief
bahan
pada masing-
masing mahasiswa dan mahasiswi yang sedang menempuh semester VII.
Universitas Kristen Maranatha
17
1.5 Kerangka Pemikiran
Seorang individu terlebih dahulu menempuh pendidikan formal di sekolah, mulai dari jenjang TK, SD, SMP, SMU, dan pada akhirnya mencapai Perguruan Tinggi. Menurut tahap perkembangan yang diuraikan oleh Santrock 2007, mahasiswa dan mahasiswi semester VII dengan kategori usia 21-22 tahun termasuk ke dalam kategori tahap perkembangan late adolescence (remaja akhir). Masa remaja adalah masa pencarian identitas diri, masa yang penuh harapan dan tuntutan sosial untuk segera mencapai kemandirian dalam berbagai aspek kehidupan. Tugas perkembangan dan harapan sosial terhadap orang di masa remaja banyak sekali berkaitan dengan masalah kemandirian (Hurlock, 1990). Remaja dituntut untuk mandiri dalam segala aspek kehidupan. Tentu saja ini bukan sesuatu yang mudah, mengingat sebelumnya mereka banyak tergantung pada orang tua atau orang dewasa lain di sekitarnya. Pada kenyataannya, pemenuhan harapan sosial tersebut seringkali tidak berjalan mulus sesuai dengan rencana. Rintangan dan kesulitan dalam berbagai bentuk akan muncul tanpa diketahui dengan pasti kapan datangnya. Tuntutan ini mendorong remaja untuk terus berupaya keras memenuhinya supaya penerimaan sosial diperoleh, kendati banyak kesulitan yang muncul pada masa yang ini. Tuntutan dan harapan sosial terhadap perilaku mahasiswa membuat mahasiswa merasa mengalami kesulitan, sehingga mahasiswa harus mampu memilih dengan bijak hal-hal apa yang baik untuk dilakukannya. Ketangguhan dan daya juang dalam memenuhi tuntutan sosial harus dimiliki seorang
Universitas Kristen Maranatha
18
mahasiswa kalau dia tidak ingin dikatakan sebagai orang yang menyimpang dan ingin mendapatkan penerimaan dari masyarakat. Transisi yang dialami siswa pada setiap jenjang pendidikan dapat menimbulkan stress bagi siswa, karena pada masa transisi ini berlangsung banyak perubahan pada remaja, yaitu perubahan fisik, kognitif, dan sosial; serta terjadi perubahan di dalam keluarga dan sekolah secara serentak (Eccles & Midgley dalam Santrock, 2002). Dalam pandangan Piaget, mahasiswa dan mahasiswi membangun dunia kognitifnya sendiri; informasi tidak hanya tercurah ke dalam benak mereka dari lingkungan.
Untuk
memahami
dunianya,
mahasiswa
dan
mahasiswi
mengorganisasikan pengalaman mereka. Data yang ada menunjukkan bahwa mahasiswa membangun pandangan mengenai dunianya berdasarkan pada pengamatan dan pengalaman dan para pendidik seharusnya mempertimbangkan hal ini saat mengembangkan kurikulum untuk mereka (Burbules & Linn, 1998; Danner, 1989; Lin, 1987, 1991). Pemikiran mereka menjadi semakin abstrak, logis, dan idealistis; lebih mampu menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran orang lain, dan apa yang orang lain pikirkan tentang diri mereka; serta cenderung menginterpretasikan dan memantau dunia sosial. Fungsi kognitif diatas disebut oleh Piaget sebagai tahap formal operational yang merupakan tahap keempat dalam perkembangan kognitif. Hypothetical-deductive reasoning merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan pemikiran remaja yang lebih logis. Sebagai mahasiswa perubahan yang mereka alami salah satunya adalah meningkatkan fokus mereka pada prestasi (Santrock, 2002). Dimana pencapaian
Universitas Kristen Maranatha
19
prestasi bagi mahasiswa merupakan suatu bagian dari tuntutan dan harapan sosial yang berkembang di lingkungan sosial mereka. Prestasi yang perlu dicapai oleh mahasiswa dan mahasiswi semester VII Institut “X” adalah menjalani kegiatan mata kuliah enterpreneurship dengan baik agar dapat lulus mata kuliah tersebut dengan sekali mengontrak, memperoleh IPK ≥ 3,00 agar dapat mengikuti kegiatan Co-op yang mana kegiatan Co-op ini merupakan salah satu dari tujuan utama mayoritas mahasiswa dan mahasiswa Institut “X” , mendapatkan hasil tes TOEFL ≥ 400, dan lain sebagainya. Selain itu, proses menjalani seluruh tugas dan kegiatan-kegiatana kuliah di semester VII adalah suatu tuntutan yang harus dihadapi oleh mahasiswa dan mahasiswi, antara lain: perasaan malas, ketidakpercayaan diri, kesulitan dalam memahami materi, situasi kampus yang dirasakan tidak kondusif, rekan mahasiswa yang kadangkala kurang mendukung, kurangnya fasilitas dan sarana yang tersedia, dosen yang dirasakan oleh mahasiswa kurang kompeten, perubahan kurikulum, tuntutan belajar yang tinggi, serta persaingan yang sangat ketat. Kesemua hal-hal tersebut diatas menjadi suatu tantangan bagi mahasiswa dan mahasiswi semester VII Institut “X”. Agar dapat menghadapi tantangan dan tuntutan tersebut dengan mantap, yang dibutuhkan bukanlah sekedar kemampuan intelektual dan kesiapan teknis melainkan juga keyakinan dalam dirinya. Dikatakan oleh W.S Winkel (1983) faktor yang mempengaruhi prestasi akademik yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah; dan yang menjadi faktor internal
Universitas Kristen Maranatha
20
salah satunya adalah keyakinan diri. Keyakinan diri dalam diri siswa, oleh Bandura (2002) disebut dengan istilah self-efficacy belief. . Self-efficacy belief adalah keyakinan tentang kemampuan individu dalam mengatur dan menggunakan sumber-sumber dari tindakan yang dibutuhkan untuk mengatur situasi-situasi yang berorientasi ke masa depan. Self-efficacy belief merupakan salah satu bentuk dari belief karenanya pengembangan terhadap self efficacy mahasiswa dan mahasiswi juga dipengaruhi oleh belief-nya yang merupakan suatu keyakinan dari mahasiswa dan mahasiswi yang ditampilkan pada apa yang dilakukannya. Self-efficacy belief menentukan saat seseorang merasa, berpikir, memotivasi diri dan bertingkah laku (Bandura, 2002). Keyakinan diri merupakan hal yang luas atau beragam dan bersifat lebih kondisional dan kontekstual (Bandura, 1997), artinya tergantung pada konteks yang dihadapi. Umumnya self-efficacy akan memprediksi dengan baik suatu tampilan yang berkaitan erat dengan keyakinan tersebut (dalam Jurnal, “Hubungan antara Self-efficacy dengan penyesuaian akademik dan Prestasi akademik. Volume 14, Nomer 2, September 2004). Keyakinan mahasiswa dan mahasiswi semester VII Institut “X” secara kognitif dapat dikembangkan melalui empat pengaruh sumber utama, yaitu mastery experience, vicarious experience, social/verbal persuasion, dan physiological and affective states (Bandura, 2002). Mahasiswa menerima informasi-informasi tersebut dari lingkungan kampus, lingkungan rumah, dan lingkungan sosial (Bandura, dalam Pajares, 2006).
Universitas Kristen Maranatha
21
Sumber self-efficacy belief yang pertama adalah mastery experience, berasal dari pengalaman keberhasilan dan kegagalan mahasiswa dan mahasiswi semester VII dalam menjalani perkuliahan di semester-semester sebelumnya. Pengalaman keberhasilan ataupun kegagalan yang dialami mahasiswa dimaknai sebagai tolak ukur akan kemampuannya yang kelak akan membentuk keyakinan diri mahasiswa. Sumber self-efficacy belief mastery experience (pengalaman keberhasilan) ini merupakan sumber yang sangat berpengaruh dalam self-efficacy karena memberikan bukti apakah seorang mahasiswa dapat mengerahkan segala kemampuannya untuk mencapai keberhasilan akademis. Keberhasilan dalam melewati semester sebelumnya akan semakin memperkuat penghayatan terhadap self-efficacy belief yang mereka miliki. Sedangkan kegagalan dapat menurunkan self-efficacy belief mereka. Mahasiswa dan mahasiswi semester VII Institut “X” yang telah sering memiliki pengalaman keberhasilan dalam melewati kegiatan perkuliahan, seperti misalnya mendapatkan hasil ujian mata kuliah yang cukup sulit dengan nilai memuaskan maka mahasiswa dan mahasiswi tersebut akan memiliki self-efficacy belief yang tinggi terhadap mata kuliah itu, dan akan mencapai suatu keberhasilan dengan mudah jika suatu saat kembali dihadapkan dengan situasi serupa yang menuntut kemampuan tersebut. Tetapi jika mahasiswa dan mahasiswi semester VII Institut “X” yang sering mengalami kegagalan dalam melewati kegiatan perkuliahan tertentu, maka self-efficacy belief mahasiswa dan mahasiswi tersebut akan menurun bila suatu saat dihadapkan kembali pada situasi serupa yang menuntut kemampuan tersebut.
Universitas Kristen Maranatha
22
Sumber self-efficacy belief yang kedua adalah vicarious experience, yang berkembang dengan cara mengamati dan melakukan perbandingan dengan keberhasilan dan kegagalan orang lain (yang memiliki karakteristik yang serupa dengan dirinya). Pemaknaan terhadap hasil pengamatan dan perbandingan terhadap orangtua, teman, keluarga atau orang lain yang dianggap signifikan hasilnya akan berbeda-beda. Jika diantara model dan mahasiswa atau mahasiswi semester VII Institut “X” sebagai peniru terdapat banyak kesamaan atau beberapa kesamaan, maka mahasiswi dan mahasiswi semester VII Institut “X” tersebut akan meniru apa yang akan dilakukan oleh model. Jika model melakukan suatu kegiatan dan ternyata berhasil, maka mahasiswa dan mahasiswi yang bersangkutan akan memiliki self-efficacy belief yang tinggi terhadap kegiatan yang sama. Demikian sebaliknya, jika model melakukan suatu kegiatan dan ternyata gagal, maka mahasiswa dan mahasiswi yang bersangkutan akan memiliki self-efficacy belief yang rendah terhadap kegiatan tersebut. Seorang mahasiswa atau mahasiswi semester VII Institut “X” yang melihat senior atau teman dekat yang memiliki kesamaan cara belajar dengan diri mereka ternyata memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tidak jauh berbeda mereka berhasil dengan nilai memuaskan melalui rangkaian kegiatan perkuliahan di semester VII dan dapat selesai tepat waktu, maka akan menimbulkan keyakinan pada diri mahasiswa dan mahasiswi semester VII Institut ”X” dapat melakukan hal yang sama dengan senior atau teman dekat yang dianggap sebagai model tersebut. Oleh karena itu, modelling berpengaruh kuat terhadap self-efficacy belief, tergantung pada banyak
Universitas Kristen Maranatha
23
sedikitnya kesamaan karakteristik mahasiswa atau mahasiswi dengan model yang diamati. Sumber self-efficacy belief yang ketiga adalah social/verbal persuasion, berasal dari perkataan atau tindakan yang diberikan oleh lingkungan antara lain orangtua, dosen, teman, senior, atau orang yang signifikan lainnya kepada mahasiswa dan mahasiswi semester VII Institut ”X” yang menyatakan mampu atau tidaknya individu melakukan kegiatan-kegiatan perkuliahan yang sedang dijalani. Ungkapan verbal dari orangtua, dosen, teman, senior, atau orang yang dianggap
signifikan
mengenai
kemampuan
mahasiswa
atau
mahasiswi
menghadapi tantangan tertentu diolah secara kognitif untuk pembentukan selfefficacy belief. Pemaknaan terhadap ungkapan-ungkapan yang diterima oleh mahasiswa atau mahasiswi tentu saja akan berbeda-beda, tergantung dari bentuk ungkapan yang diberikan positif atau negatif. Secara verbal, mahasiswa dan mahasiswi yang dipersuasi bahwa mereka mampu dan memiliki kemungkinan untuk berhasil dalam melakukan kegiatan perkuliahan dengan baik, akan membuat mereka merasa yakin dan mampu untuk melakukan kegiatan perkuliahan dengan baik dan akan membayangkan suatu peristiwa keberhasilan yang menyertai mereka. Self-efficacy belief akan semakin diperkuat jika ternyata mereka berhasil dalam melakukan kegiatan tersebut. Akan tetapi sebaliknya, jika mahasiswa atau mahasiswi dipersuasi bahwa mereka tidak mampu melakukan kegiatan tersebut dan tidak akan berhasil, maka mereka tidak akan memiliki self-efficacy belief yang tinggi, merasa kurang mampu, dan akan membayangkan situasi kegagalan yang akan menyertai mereka. Hal ini membuat
Universitas Kristen Maranatha
24
mahasiswa dan mahasiswi menghindari kegiatan-kegiatan yang menantang dan akan mudah menyerah bila menghadapi hambatan atau kesulitan. Seorang mahasiswa atau mahasiswi semester VII Institut “X” yang dipersuasi melalui cara pemberian pujian bahwa dirinya memiliki kemampuan yang memadai untuk melewati kegiatan perkuliahan di semester VII dengan baik, maka ia akan memiliki keyakinan yang lebih kuat terhadap kemampuannya dan akan mengoptimalkan usahanya. Sebaliknya, jika mereka dipersuasi tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melewati kegiatan perkuliahan dengan baik, maka ia akan cenderung mudah menyerah dan meragukan kemampuannya. Sumber self-efficacy belief yang keempat adalah physiological and affective states, berasal dari pandangan mahasiswa dan mahasiswi semester VII Institut ”X” mengenai keadaan fisik dan psikisnya. Physiological and affective states merupakan bentuk reaksi fisiologis dan emosional seperti kecemasan, stress, kelelahan, ketenangan, kekecewaan, kemarahan dan kesedihan yang dirasakan mahasiswa atau mahasiswi semester VII sewaktu menghadapi tugas akademis. Mahasiswa seringkali menginterpretasikan ketergugahan fisiknya sebagai indikator dari kompetensi diri. Seringkali mahasiswa dan mahasiswi memandang keadaan secara fisik atau psikis yang mereka alami dapat menghambat kegiatan yang mereka lakukan. Hal ini mengakibatkan mahasiswa dan mahasiswi seringkali menghindari kegiatan-kegiatan yang membutuhkan ketahanan secara fisik atau psikis. Ini akan menyebabkan menurunnya selfefficacy belief mahasiswa dan mahasiswi tersebut. Dengan mengubah pandangan mereka tentang keadaan fisik dan psikisnya, maka mahasiswa dan mahasiswi akan
Universitas Kristen Maranatha
25
memahami keadaan fisik dan psikis sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kegiatan yang akan mereka lakukan. Hal ini akan membuat mahasiswa dan mahasiswi memiliki kemungkinan untuk berhasil dalam suatu kegiatan dan akan memperkuat self-efficacy belief mereka. Selain itu, reaksi emosional yang kuat terhadap tugas-tugas pembelajaran seringkali menjadi petunjuk bagi kesuksesan atau kegagalan mahasiswa atau mahasiswi. Secara umum, meningkatkan kesejahteraan fisik dan emosional seseorang dan mengurangi keadaan emosional yang negatif dapat menguatkan self-efficacy belief (Usher & Pajares, 2005). Ketika kondisi fisik mahasiswa dan mahasiswi sedang dalam keadaan tidak fit misalnya, akan tetapi mereka mengubah pandangan negatif terhadap kondisi fisik yang sedang mereka alami tersebut, maka mereka akan memiliki keyakinan dan mampu untuk menyelesaikan setiap kegiatan perkuliahan yang sedang mereka hadapi dengan baik dan kemungkinan akan mengalami keberhasilan. Keyakinan diri seseorang dapat berubah, meningkat atau menurun berdasarkan kontribusi salah satu sumber atau kombinasi dari beberapa sumber dalam pembentukannya. Keempat sumber self-efficacy belief tersebut adalah kumpulan informasi bagi mahasiswa dan mahasiswi yang kemudian akan diolah secara kognitif dalam pembentukan keyakinan diri. Mahasiswa dan mahasiswi menyeleksi, mengintegrasi, dan menginterpretasikan kumpulan informasi sebagai sesuatu yang dapat mempengaruhi keyakinan diri mereka dalam mengatasi rintangan dan mencapai tujuannya. Adanya pemahaman kognitif mengenai
Universitas Kristen Maranatha
26
sumber-sumber self-efficacy belief tersebut kemudian mempengaruhi penghayatan mahasiswa dan mahasiswi terhadap self-efficacy belief yang ada di dalam diri mereka. Jadi, self-efficacy belief tidak terbentuk dengan sendirinya berdasarkan keempat sumber yang tersedia, namun harus diolah secara kognitif terlebih dahulu oleh mahasiswa dan mahasiswi hingga pengolahan diri dari empat sumber selfefficacy belief disimpan dan dapat diterapkan pada situasi serupa di masa yang akan datang. Kontribusi
keempat
sumber
self-efficacy
belief
tersebut
akan
mempengaruhi tinggi rendahnya self-efficacy belief pada mahasiswa dan mahasiswi semester VII Institut “X” kota Bandung yang ingin menyelesaikan perkuliahan semester VII mereka dengan tepat waktu, terlihat pada keyakinan mereka dalam rangkaian tindakan yang dipilih, keyakinan akan besar usaha yang dikerahkan, keyakinan untuk bertahan selama berhadapan dengan hambatan dan kegagalan, keyakinan akan kemampuan mengatasi tekanan dalam tuntutan lingkungan, serta keyakinan akan taraf pencapaian yang telah diraih. Secara singkat, mahasiswa dan mahasiswi semester VII Institut “X” dengan self-efficacy belief rendah diprediksi menghindari banyak tugas khususnya yang dianggap sulit, sedangkan mahasiswa dan mahasiswi semester VII Institut “X” dengan selfefficacy belief yang tinggi bersedia mengerjakan tugas yang dianggap sulit sebagai tantangan dan mungkin akan tekun berusaha menguasai tugas pembelajaran ketimbang mahasiswa dan mahasiswi dengan self-efficacy belief yang rendah (Santrock, 2007).
Universitas Kristen Maranatha
27
Untuk lebih jelasnya mengenai bagaimana kontribusi dari sumber-sumber self-efficacy belief terhadap self-efficacy belief pada mahasiswa dan mahasiswi yang ingin menyelesaikan perkuliahan di semester VII, digambarkan pada skema pemikiran sebagai berikut :
Universitas Kristen Maranatha
28
Sumber-sumber Self Efficacy: 1. Mastery Experience 2. Vicarious Experience 3. Social / Verbal Persuation 4. Physiological dan affective states
Mahasiswa dan mahasiswi semester VII Institut “X” Kota Bandung
Self-efficacy belief tinggi
Proses Kognitif
Self-efficacy belief
1. 2. 3.
4. 5.
Indikator Self Efficacy : Pilihan yang dibuat Usaha yang dikeluarkan Berapa lama mahasiswa semester VII dapat bertahan saat dihadapkan pada rintangan dan kegagalan Penghayatan perasaan Taraf pencapaian yang telah diraih
Self-efficacy belief rendah
1.1 Skema Kerangka Pemikiran
Universitas Kristen Maranatha
29
1.6 Asumsi
Terdapat empat sumber self-efficacy belief yaitu : mastery experience, vicorious experience, social/verbal persuasion, pshysiological and affective states. Keempat sumber self-efficacy ini merupakan sumber pembentuk self-efficacy belief individu.
Dalam pembentukan self-efficacy belief, empat sumber tersebut akan diolah melalui proses kognitif.
Self-efficacy belief pada mahasiswa atau mahasiswi dapat mempengaruhi pilihan yang dibuat oleh mahasiswa atau mahasiswi, besar usaha yang dikeluarkannya, berapa lama mahasiswa atau mahasiswi bertahan saat dihadapkan pada rintangan (dan saat dihadapkan dengan kegagalan) dan bagaimana penghayatan perasaannya.
Kekuatan self-efficacy belief mahasiswa atau mahasiswi semester VII Institut ”X” kota Bandung, akan menentukan tujuan yang ditetapkan untuk diraih, dan semakin kuat pula komitmen mahasiswa atau mahasiswi terhadap tujuan tersebut.
1.7 Hipotesis Penelitian
Terdapat kontribusi Mastery experience terhadap self-efficacy belief mahasiswa dan mahasiswi semester VII angkatan 2006 di Institut “X” Kota Bandung.
Universitas Kristen Maranatha
30
Terdapat kontribusi Vicarious experience terhadap self-efficacy belief mahasiswa dan mahasiswi semester VII angkatan 2006 di Institut “X” Kota Bandung.
Terdapat kontribusi Social/Verbal persuasion terhadap self-efficacy belief mahasiswa dan mahasiswi semester VII angkatan 2006 di Institut “X” Kota Bandung.
Terdapat kontribusi Physiological and Affective states terhadap selfefficacy belief mahasiswa dan mahasiswi semester VII angkatan 2006 di Institut “X” Kota Bandung.
Universitas Kristen Maranatha