BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan zaman yang sering disebut dengan globalisasi, kini telah membawa dampak yang luar biasa dalam segala bidang kehidupan. Salah satunya adalah kemajuan di bidang bisnis. Kemajuan ini dapat dilihat dari banyaknya transaksi bisnis dan kontrak bisnis lintas batas negara. Bahkan kemajuan dalam dunia bisnis kini telah menghantarkan negara maju maupun negara berkembang ke dalam free market dan free competition. Menyadari bahwa hubungan bisnis yang diadakan tidak selamanya akan berjalan baik, terkadang akan menimbulkan beberapa permasalahan yang akan berujung sengketa, maka dari itu negara-negara di dunia memberntuk multinational agreement
yang bertujuan
untuk
memperlancar dan menyehatkan persaingan pasar bebas kedepanya agar dapat terhindar dari sengketa yang timbul akibat dari perjanjian dan transaksi tersebut.1 Adanya sengketa dapat berimbas pada pembangunan ekonomi yang tidak efisien, penurunan produktivitas, kemandulan dunia bisnis, dan biaya produksi yang meningkat.2 Maka dari itu sengketa sudah seharunya tidak dibiarkan berlama-lama karena sengketa merupakan suatu masalah yang harus diselesaikan. Penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis dapat diselesaikan melalui jalur litigasi
1
Frans Hendra Winarta, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, h. 1. 2
Ibid.
1
(merupakan penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan) ataupun non litigasi (merupakan penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan).3 Namun penyelesaian sengketa di bidang bisnis melalui jalur litigasi dianggap kurang efektif dan kurang efisien dikarenakan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi biasanya membutuhkan waktu yang lama dan biayanya relatif mahal. Oleh karena itu, model penyelesaian melalui pengadilan pada umumnya kurang diterima dalam dunia bisnis.4 Sehingga timbulah penyelesaian sengketa alternatif yang sering disebut dengan ADR (Alternative Dispute Resolution) sebagai salah satu sistem penyelesain sengketa di luar pengadilan. Ada beberapa model ADR yang sering digunakan dalam dalam penyelesaian sengketa bisnis yaitu: negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.5 Dewasa ini banyak pihak yang lebih memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase dikarenakan arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian yang homogen, menguntungkan, dan memberikan rasa aman kepada semua pihak.6 Arbitrase sebenarnya sudah sangat dikenal di kalangan masyarakat internasional, baik arbitrase internasional maupun arbitrase nasional sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan. The United nations Convention on the Recognition and enforcement of Foreign Arbitral Awards atau yang sering disebut dengan Konvensi New York 1958 merupakan salah satu konvensi yang mengatur 3
Ibid. h. 13.
4
Bambang Sutiyoso, 2008, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Gama Media, Yogyakarta, h. 16. 5
Ibid.
6
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001, Seri Hukum Bisnis : Hukum Arbitrase, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disebut Gunawan I), h. 2.
2
mengenai penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 Indonesia telah meratifikasi dan membawa Konvensi New York 1958 masuk dalam sistem tata hukum nasional.7 Bedasarkan konvensi ini, putusan arbitrase yang dibuat diluar negeri atau dibuat di dalam negeri namun memiliki keterkaitan dengan unsur asing diakui dan dapat dilaksanakan di dalam negeri negara anggota konvensi. Namun yang patut diingat Indonesia meratifikasi dengan mengajukan persyaratan asas resiprositas dan sebatas sengketa komersial. Maka putusan arbitrase dapat berlaku di Indonesia selama negara yang sebagai tempat menjatuhkan perkara meratifikasi konvensi ini serta sengketa tersebut merupakan sengketa komersial.
Pengaturan mengenai arbitrase internasional maupun
nasional di Indonesia kini telah diatur dalam Undang – Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut dengan UU Arbitrase) serta pengaturan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1990
tentang Tata Cara Pelaksaan Putusan Arbitrase Asing. Hal ini
menandakan bahwa Indonesia sebagai negara yang meratifikasi Konvensi New York 1958 sudah mengakui dan menghormati segala putusan arbitrase internasional yang akan dieksekusi di Indonesia. Putusan arbitrase bersifat final binding, yang dimaksud final binding adalah bahwa putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau
7
M.Yahya Harahap, 2004, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta, h. 21.
3
peninjauan kembali.8 Inilah mengapa penyelesaian sengketa melalui arbitrase penyelesaianya relatif cepat. Maka dari itu pihak yang kalah sudah seharusnya melaksanakan putusan tersebut secara suka rela. Namun ketika putusan arbitrase itu meimbulkan keraguan keabsahanya atau keadilanya, tidak menutup kemungkinan bahwa putusan arbitrase tersebut dapat diajukan permohonan pembatalan atau penolakan yang diajukan oleh pihak tereksekusi. Kasus-kasus permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional sering ditemui di Indonesia. Penulis teringat kembali mengenai sengketa tentang pembatalan putusan arbitrase internasional yang dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Salah satu sengketa yang cukup terkenal ialah sengketa KBC dengan PERTAMINA dan PT.PLN. Kasus ini bermula dari akibat adanya krisis ekonomi yang kemudian mendorong Pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden Nomor 47 Tahun 1997 ke dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997 yang isinya antara lain menghentikan proyek geothermal yang di dalamnya juga melibatkan PLN sebagai pihak.9 Akibat dari penangguhan tersebut pihak KBC menanggung kerugian yang cukup besar. Merasa dirugikan KBC mengajukan gugatan perdata kepada PERTAMINA dan PT. PLN di peradilan arbitrase Jenewa-Swiss sesuai dengan perjanjian arbitrase yang dibuat terdahulu. Pada tanggal 18 Desember 2000 Peradilan arbitrase Jenewa-Swiss telah menjatuhkan putusan agar PERTAMINA dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC. Walaupun keputusan badan arbitrase 8
Frans Hendra, op.cit, h. 71 dikutip dari Suyud Margono, 2014, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 132 . 9
Noah Rubins, 2005, “The Enforcement and Annulment of International Arbitration Awards in Indonesia”, American University, Washington, h. 374, Paragraf 2.
4
internasional sudah ditetapkan, tetapi pertamina telah menolak untuk membayar kewajiban legalnya. Upaya hukum lainnya yang dilakukan oleh Pertamina adalah meminta penolakan pelaksanaan putusan arbitrase Jenewa di pengadilanpengadilan yang oleh KBC diminta untuk melakukan eksekusi serta melakukan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase Jenewa kepada Pengadilan Indonesia (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) pada tanggal 14 maret 2002. Pada tanggal 27 Agustus 2007 majelis hakim mengabulkan gugatan tertulis PERTAMINA dan memerintahkan KBC untuk tidak melakukan tindakan apa pun, termasuk eksekusi putusan arbitrase dan menetapkan denda sebesar US$ 500 ribu perhari apabila KBC tidak mengindahkan larangan tersebut. Putusan tersebut diambil dikarenakan putusan arbitrase internasional tersebut melanggar ketertiban umum. Berkaca dari kasus di atas tak sedikit dijumpai kasus yang mencontoh upaya hukum yang dilakukan PERTAMINA dalam membatalakan putusan arbitrase internasional. Beberapa pihak yang kalah tidak mau melakukan putusan arbitrase tersebut dengan sukarela, tapi malah mengajukan banding atas putusan arbitrase internasional, berharap putusan arbitrase
tersebut dapat
dibatalkan. Seperti pada kasus Transpac Capital Pte Ltd dan Transpac Industrial Holdings Limited melawan PT Sumber Subur Mas (selanjutnya disebut SSM), keduabelah pihak telah memilih SIAC (The Singapore International Arbitrase Centre) dalam menyelesaikan sengketa dikedua belah pihak. Kasus ini bermula dari SSM tersendat membayar kewajibannya sebesar US$12.2 juta kepada
5
Transpac.10
Dalam penyelesaiannya, SIAC
mengeluarkan putusan
yang
memerintahkan SSM untuk membayar kewajibannya sebesar US$12,2 juta. Selain itu, SSM juga dihukum membayar bunga sebesar 8 persen per tahun sejak pembayaran terakhir SSM Juni 2002 hingga pelunasan pembayaran. Tidak hanya itu, SSM juga diperintahkan membayar biaya arbitrase sebesar SIN$302.801 dan US$18 ribu. Merasa tidak puas dengan putusan tersebut SSM melakukan gugutan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan bahwa adanya akta perjanjian yang tidak disertakan dalam proses arbitrase di Singapura, dan tidak dihadiri pihak klien atau kuasa hukumnya. Tidak hanya itu ada pula kasus sengketa bisnis antara KT. Corporation melawan Global Mediacom. Putusan arbitrase London itu mewajibkan Global Mediacom membeli 406,6 juta lembar saham Mobile-8 Telecom milik KT Corporation dengan harga US$13,85 juta. Nilai tersebut masih ditambah dengan bunga yang perhitungannya dimulai sejak 6 Juli 2009 sampai dengan pembayaran dilakukan.11 Bukanya melaksanakan putusan arbitrase tersebut pihak Global Mediacom justru mengajukan gugatan pembatalan ke PN Jakarta Pusat dengan No.188/PDT.G/2012/PN.JKT.PST yang didaftarkan pada 18 April 2012. Alasanya karena putusan tersebut mengandung tipu muslihat yang dilakukan oleh
10
Windarto, 2013, “Salah Menggugat Putusan Arbitrase Internasional”, Sindo Weekly, URL: http://m.sindoweekly-magz.com/artikel/46/i/17-23-januari-2013/case/99/salah-menggugat putusan-arbitrase-internasional, diakses tanggal 4 Januari 2015. 11
M. Taufikul Basari, 2012, ”Sengketa Saham: KT Corporation Tunggu Eksekuatur Putusan ArbitraseLondon”,Bisnis.com, URL : http://m.bisnis.com/quicknews/read/20121030/16/102233/sengketa-saham-kt-corporation-tunggueksekuatur-putusan-arbitrase-london,diakses tanggal 4 Januari 2015.
6
salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa arbitrase.12 Melihat kasus di atas membuat penulis bertanya-tanya mengenai pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional. Karena pada kasus di atas para pihak dengan mudahnya mengajukan pemohonan pembatalan tersebut ke Pengadilan Negeri padahal penyelesainya tidak dilakukan di Indonesia. Maka untuk mengetahui lebih lanjut, penulis tertarik untuk mengangkat kasus tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul “KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DALAM PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL”
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis mengangkat beberapa permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional berdasarkan Konvensi New York 1958? 2. Apakah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mempunyai kewenangan dalam membatalkan putusan arbitrase internasional yang akan dieksekusi di Indonesia? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah perlu ditegaskan mengenai materi yang diatur di dalamnya. Hal ini sangat diperlukan untuk menghindari agar isi atau materi yang terkandung di dalamnya tidak menyimpang dari pokok
12
Ibid.
7
permasalahan yang telah dirumuskan sehingga dengan demikian dapat diuraikan secara sistematis. Untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan, diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan mengenai pengertian Arbitrase Internasional, pengaturan mengenai putusan arbitrase internasional serta pelaksanaan putusan arbitrase internasional berdasarkan Konvensi New York 1958. 2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan mengenai kewenangan Pengadilan Negeri dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia, serta membahas mengenai keadaaan yang bagaimanakah Pengadilan Negeri khususnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat membatalkan Putusan Arbitrase Internasional. 3. 1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain: a. Tujuan Umum Tujuan umum dalam penulisan skripsi ini yaitu :
8
1. Untuk lebih memahami dan memperdalam pemahaman mengenai penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional. 2. Untuk mengetahui mekanisme hukum yang dapat ditempuh dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. b. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus penulisan skripsi ini, yaitu : 1. Untuk mengetahui pengaturan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional serta prosedur penolakan putusan arbitrase internasional berdasarkan Konvensi New York 1958. 2. Untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Negeri dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional serta mengetahui pengadilan yang berwenang dalam membatalkan suatu putusan arbitrase internasional.
1.5 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase dalam kasus perdata internasional. Khususnya memberikan pengetahuan tentang bagaimana pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional berdasarkan
9
Konvensi New York 1958. Selain itu diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk pengembangan ilmu hukum secara umum. b. Manfaat Praktis Dari segi praktis, berguna sebagai upaya yang dapat diperoleh langsung manfaatnya, seperti peningkatan keahlian meneliti dan keterampilan menulis, sumbangan pemikiran dalam pemecahan suatu masalah hukum, acuan pengambilan keputusan yuridis, dan bacaan baru bagi penelitian ilmu hukum.13
1.6 Landasan Teoritis a. Perjanjian Arbitrase Definisi perjanjian arbitrase berdasarakan Undang – Undang Arbitrase Pasal 1 butir 3 yaitu suatu kesepakatan berupa kalusula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
b. Putusan Arbitrase Internasional Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Pasal 1 butir 9 Undang – Undang No. 30 Tahun 1999 adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan
13
Abdul Kadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 66.
10
hukum
Republik
Indonesia
dianggap
sebagai
suatu
putusan
arbitrase
internasional. c. Asas final and binding Dalam Pasal 3 Konvensi New York 1958, dinyatakan bahwa setiap negara peserta harus mengakui putusan arbitrase internasional sebagai putusan yang mengikat dan mempunyai kekuatan ekseskusi kepada para pihak. Dengan adanya penegasan tersebut, setiap putusan arbitrase internasional yang diajukan permintaan eksekusi kepada pengadilan sama halnya dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya tidak ada alasan lagi untuk menolak atau menyatakan pemberian exequatur tidak dapat diterima, kecuali putusan melanggar asas-asas yang ditentukan.14 d. Asas Resiprositas Di dalam konvensi berlaku asas resiprositas, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat 3 yaitu :‘any state may on the of reciprocity declare that it will apply the Convention to the recognition and enforcement of awards made only in the territory of another Contracting State’. Dengan berlakunya asas resiprositas, maka negara tempat dimana putusan arbitrase akan dijatuhkan, harus mempunyai ikatan hubungan “bilateral” atau “multilateral” maupun sama-sama terikat dalam suatu konvensi internasional, perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
14
Moch Basarah, 2011, Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase Traditional dan Modern Online, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 81.
11
e. Asas Pengakuan Terbatas Sepanjang Hukum Dagang Yaitu hanya terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang. Pasal I ayat 3 Konvensi New York 1958 membenarkan kebolehan pembatasan oleh anggota negara peserta melaluo
deklarasi
pada
saat
ratifikasi
bahwa
jangkauan
pengakuan
pengeksekusian putusan arbitrase internasional, terbatas pada ruang ringkup bidang hukum dagang nasional saja.15 f. Asas Ketertiban Umum Asas lain yang menjadi fundamentum pengakuan serta pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing ialah “ketertiban umum”, atau public policy. Asas ini diatur dalam Pasal 3 ayat (3) Perma. Di situ ditegaskan, putusan arbitrase asing yang diakui serta yang dapat dieksekusi di Indonesia hanya terbatas pada putusan – putusan yang tidak bertentangan denga “ketertiban umum”.16 1.7 Metode Penelitian Skripsi sebagai salah satu bentuk dari penulisan karya tulis, tentunya harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk itu mutlak diperlukan suatu penelitian dan dalam mencari kebenaran ilmu hukum, diperlukan suatu metodologi yang tentunya bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan ilmiah yang bersahaja. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Jenis Penelitian
15
16
Ibid, h. 83. M.Yahya Harahap, op.cit, hal. 38.
12
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif berarti penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Soerjono Soekanto menyatakan, bahwa penelitian hukum normatif terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.17 Maka dari itu, penulis menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu, dari sejumlah pendekatan yang dikenal dalam penelitian hukum normatif. b.
Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, antara lain
pendekatan peraturan perundang- undangan, pendekatan kasus, pendekatan historis,
pendekatan
komparatif,
dan
pendekatan
konseptual.18
Adapun
pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan fakta (fact approach) dan pendekatan kasus (cases approach). Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) adalah metode penelitian dengan menelaah semua undang-undang, memahami hirarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. Dikatakan bahwa pendekatan perundang-undangan berupa legislasi dan regulasi yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan
17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 14. 18
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h. 93.
13
mengikat secara umum.19 Namun demikian, dalam penulisan penelitian ini, penulis menganalisis instrumen-instrumen hukum internasional dan relevansinya dengan kasus sehingga akan ditemukan substansi dari permasalahan yang akan dibahas, sedangkan Pendekatan kasus (case approach) adalah pengkajian yang dilakukan oleh penulis dengan mencari dan menganalisis kasus-kasus yang berkaitan dengan tulisan ini. Pendekatan fakta (fact approach) adalah pengkajian yang dilakukan oleh penulis terkait suatu peristiwa hukum yang berkaitan dengan kasus yang diangkat. c. Sumber Bahan Hukum Dalam tulisan ini, digunakan sumber-sumber data sekunder yang terdiri dari: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum, terdiri atas asas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi atau putusan pengadilan, peraturan dasar dan perjanjian internasional. Menurut Peter Mahmud Marzuki bahan hukum primer ini bersifat otoritatif, artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.20 Adapun sejumlah bahan hukum primer, yang berasal dari peraturan perundang-undangan serta ketentuan-ketentuan yang lebih khusus yang berkaitan dan digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain :
19
Ibid. h. 97.
20
Peter Mahmud Marzuki, op.cit, h. 144-154.
14
Undang-Undang
Arbitrase
dan
Alternatif
Penyelesaian
Sengketa, No. 30 Tahun 1999,
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990
Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1989
Putusan Mahkamah Agung No. 444 PK/Pdt/2007
Putusan
Mahkamah
Agung
No.
494/PDT.ARB/
2011/PN.JKT.PST
Putusan Mahkamah Agung No. 212 K/Pdt.Sus-Arbt/2013
The United nations Convention on the Recognition and enforcement of Foreign Arbitral Awards (The New York Convention) (1958)
UNICITRAL Model Law
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti rancangan peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar, pamflet, brosur, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat di media massa dan berita di internet.21 Terkait skripsi ini maka digunakan sumber dari kepustakaan seperti bukubuku, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, yaitu mengenai Kewenangan Pengadilan Negeri dalam Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia. 21
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit, h. 47.
15
3. Bahan hukum tersier menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan bahan non hukum yang digunakan untuk menjelaskan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.22 c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang dipergunakan adalah teknik studi dokumen, yaitu dalam pengumpulan bahan hukum terhadap sumber kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dengan cara membaca dan mencatat kembali bahan hukum tersebut yang kemudian dikelompokkan secara sistematis yang berhubungan dengan masalah dalam penulisan skripsi ini. Untuk menunjang penulisan skripsi ini pengumpulan bahanbahan hukum diperoleh melalui 1. Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara mengumpulan instrument internasional yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. 2. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan bahan hukum yang bersumber dari buku-buku, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di internet yang terkait dengan permasalahan yang hendak dibahas dalam skripsi ini.
22
Ibid.
16
3. Pengumpulan
bahan
hukum
tersier
dilakukan
dengan
menggunakan kamus hukum.
d. Teknik Analisa Bahan Hukum Adapun teknik pengolahan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.23 Bahan hukum primer dan sekunder yang terkumpul selanjutnya diberikan penilaian (evaluasi), kemudian
dilakukan
interpretasi
dan
selanjutnya
diajukan
argumentasi.
Argumentasi disini dilakukan oleh peneliti untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang seyogyanya menurut hukum terhadap peristiwa yang terjadi. Dari hal tersebut nantinya akan ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain. Teknik lainnya yang penulis gunakan adalah teknik Analisis, yaitu pemaparan secara mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada tahap sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis.
23
Ronny Hanitijo, 1991, Metode Penelitian Hukum, Cet. ke II Ghalia Indo, Jakarta, h. 93.
17