1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Unsur penting dalam negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman (judicial power) untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif(executive power) dan kekuasaan legislatif (legislative power). Salah satu perwujudan kontrol dari kekuasaan kehakiman adalah melakukan pengujian peraturan perundang-undangan melalui mekanisme judicial review.5 Secara teoritis, pembentukan dan pengujian undang-undang berdasarkan ajaran Hans Kelsen, yaitu teori norma hukum berjenjang (stufenbau des recht), bahwa norma hukum yang dimuat dalam suatu peraturan tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang diatur pada peraturan yang secara hierarki berada diatasnya. Kerangka ajaran stufenbau theorieyang demikian dapat dijadikan pijakan untuk melakukan judicial review.6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) memberi kewenangan pada Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) dan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) untuk judicial review.Kewenangan MK kemudian diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang5
Imam Soebechi, 2012, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 8. 6 Ibid., hlm. 9.
1
2
undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutusperselisihan tentang hasil pemilu.” Kenyataannya meskipun banyak putusan MK yang dirasa baik dan adil, ada beberapa putusan MK yang menjadi kontroversial dan mendapatkan sorotan karena “dianggap” kurang berpihak pada upaya demokratisasi dan penegakan hukum. Bahkan di kalangan penggiat penegakan hukum telah muncul kecemasan bahwa MK telah menjadi superbody yang mengatasi lembaga-lembaga lain secara
sepihak,menafsirkan
putusannya
bersifat
final
UUD dan
tanpa
dapat
mengikat.
dipersoalkan MK
mengingat
dipandang
sering
mengambilperspektifnya sendiri, padahal ada perspektif lain yang juga argumentatif. Putusan MK kemudian tak dapat dilihat sebagai kebenaran yang secara substantif sejalan dengan isi atau politik hukum UUD 1945 melainkan hanya sejalan dengan pilihan perspektifnya sendiri.7 Putusan MK sering menjadi sorotan publik dan menimbulkan pro kontra dalam masyarakat. Salah satu putusan MK yang menimbulkan polemik di dalam masyarakat
yaitu
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
71/PUU-
IX/2011.Pemohon mengajukan permohonan kepada MK untuk menguji Pasal 14 huruf e UU No. 33 Tahun 2004 yang berbunyi : “Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 1. 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk Pemerintah; dan 2. 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah.”
7
Moh Mahfud MD, 2013, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi , Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 100.
3
Pemohon adalah: 1) Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu; 2) Sundy Ingan; 3) Andu; 4) Luther Kombong; 5) H. Awang Ferdian Hidayat; 6) Muslihuddin Abdurrasyid; 7) H. Bambang Susilo,mereka adalah warga Kaltim dan beberapa anggota DPD RI yang merasa pola bagi hasil terhadap eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam, terutama minyak dan gas bumi yang tidak berkeadilan. Daerah hanya mendapatkan 15,5 % dari hasil pendapatan di sektor tersebut. Bagi hasil ini dirasa masih belum cukup untuk menanggung ongkos kerusakan lingkungan yang diakibatkan, apalagi untuk membiayai pembangunan Kaltim secara proporsional baik di kota, pedalaman, dan perbatasan. Provinsi Kalimantan Timur (selanjutnya disebut Kaltim) merupakan pemberi kontribusi devisa besar untuk negara, di wilayah Kaltim terkandung sumberdaya alam yang terdiri dari minyak bumi, gas bumi, dan kehutanan.Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik,hasil sektor migas yang berasal dari Kaltimmenyumbang rata-rata 76,3% penerimaan negara. Hal inilah yang mendasari upaya Pemohon untuk mendapatkan bagi hasil yang adil dan wajar dari sektor migas, berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintah Daerah (selanjutnya disebut UU No.33 Tahun 2004).8 MK melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU Nomor 33 Tahun 2004 menolak judicial review yang diajukan pemohon. MK beralasan, ketentuan dalam Pasal 14 huruf e dan huruf f UU Perimbanganjustru menunjukkan adanya keselarasan dan keadilan dalam hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan
8
Paparan Tim Naskah Akademik Otonomi Khusus Provinsi Kalimantan Timur, 2015.
4
sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan berdasarkan UUD 1945, dengan alasan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18A ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional pengaturan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 tersebut mengamanatkan bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dilaksanakan secara adil dan selaras harus dituangkan dalam undang-undang yang dibuat dan disetujui bersama antara Pemerintah dan DPR yang merupakan representasi rakyat Indonesia. Wujud nyata penjabaran Pasal 18A ayat (2) UUD 1945, dibuktikan dengan terbitnya berbagai undang-undang yangmengatur tentang hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, salah satunya UU No. 33 Tahun 2004.Undang-undang tersebut di atas, merupakan produk bersama antaraPemerintah dengan DPR selaku representasi rakyat Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, segala ketentuan yang ada dalam UU No. 33 Tahun 2004, khususnya kebijakan yang mengatur mengenai hubungankeuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, telahmendapat persetujuan dari rakyat melalui wakilnya di DPR. Haltersebut merupakan suatu bentuk jaminan dan perlindungan kepadarakyat dari perlakuan sewenang-wenang Pemerintah. Selain itu, undang-undang tersebut telah mengatur secara jelas, adil, dan selaras mengenai hubungan keuangan antara PemerintahPusat dan Pemerintah Daerah sehingga tercipta hubungan keuanganPemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
5
yang adil dan selaras,tidak terdapat ketimpangan alokasi penerimaan antara pemerintahpusat dengan pemerintah daerah yang kaya dengan sumber daya alam dandaerah yang tidak memiliki kekayaan sumber daya alam9, kemudian jika judicial reviewatas UU Nomor 33 Tahun 2004dikabulkan, maka akan membuat instabilitas ekonomi di Indonesia, terutama bagi daerah-daerah yang bukan penghasil minyak dan gas (Migas). Setelah dikeluarkan keputusan MK tersebut sampai dengan saat ini Provinsi Kaltim masih mengalami pergolakan tuntutan Kaltim akan Dana Bagi Hasil (selanjutnya disebut DBH)yang adil bagi Provinsi Kaltim masih terus diusahakan, hingga pada akhirnya karena jalur judicial review ditolak,Kaltim menuntut Otonomi Khusus (Otsus) untuk Provinsi Kaltim.Negara Indonesia memberi ruang penerapan desentralisasi, yang diatur dalam Pasal 18A ayat (1) dan 18B ayat (1), Pasal 18A ayat (1) UUD 1945 Menyatakan: “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan mempertahankan kekhususan dan keragaman daerah”. Kemudian Pasal 18B ayat (1) menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang mengatur dengan undang-undang”.Secara legal konstitusional, Indonesia
mempunyai
landasan
kuat
untuk
menerapkan
desentralisasi
asimetris.Salah satu hal penting yang perlu dicatat ialah ruang pengaturan 9
Pernyataan Pendahuluan Pemerintah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUUIX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
6
desentralisasi asimetris, ruang keistimewaan daerah tetap ada dan dijamin dalam kosntitusi. Adanya ruang untuk desentralisasi asimetrisitulah yang mendorong Kaltim mengajukan Otsus.Berkaitan dengan pengajuan Otsus Kaltim, penulis ingin mengetahui bagaimana penerapan asas Keadilan (Nilai Dasar)dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU Nomor 33 Tahun 2004 karena putusan MK yang bersifat final dan mengikat seharusnya sudah mencerminkan diperhatikannya asas keadilan di dalamnya, namun yang terjadi adalah walau sudah dikeluarkan putusan MK tersebut Provinsi Kaltim masih berupaya untuk mengajukan Otsus Kaltim. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana penerapan asas keadilan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004? 2. Alasan apa yang mendasari Provinsi Kalimantan Timur mengajukan Otonomi KhususPasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-IX/2011? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif Tujuan objektif dari penelitian yang akan dilakukan ada 2 (dua) yaitu:
7
a. Mengetahui dan menganalisis pemenuhan asas keadilan dalam putusan MK Nomor 71/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004; b. Mengetahui
alasan
yang
mendasari
Provinsi
Kalimantan
Timurmengajukan Otsus Pasca dikeluarkannya putusan MK Nomor 71/PUU-IX/2011. 2. Tujuan Subjektif Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data yang berhubungan dengan objek yang diteliti guna menyusun tesis sebagai syarat dalam memperoleh gelar Magister Hukum pada Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini dalah : 1. Manfaat Teoritis Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, dan khususnya yang berkaitan dengan hukum ketatanegaraan. 2. Manfaat Praktis Memberikan gambaran yang jelas dan diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman kepada pihak-pihak terkait yang berkepentingan terhadap Putusan MK Nomor 71/PUU-IX/2011.
8
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran penulis tentang penelitian yang penulis lakukan ternyata belum banyak hasil penelitian yang berkaitan dengan analisis terhadap Putusan MK atas judicial review UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintah Daerah, namunada beberapajudul penelitian yang menyerupai dengan penelitian ini yaitu :
1. Tinjauan Yuridis Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Peimbangan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi (Studi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-IX/2011 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), yang ditulis oleh Nelly Hikmah. Perbedaan penelitian ini adalah
10
dari
pendekatan yang digunakan untuk menganalisis putusan MK tersebut, Meskipun objek penelitian sama dengan penelitian skripsi ini, namun tetap terdapat perbedaan, yakni terletak pada pendekatannya penulis lebih memfokuskan pendekatannya dilihat dari asas keadilan sedangkan Nelly Himah
terhadap
hukum
acaranya.
Perbedaan
juga
ditemui
dalam
pengembangan masalah yang diteliti, apabila penelitian sebelumnya hanya berhenti 10
pada hasil
putusan MK, namun
peneliti
mengembangkan
Nelly Hikmah, 2013, “Tinjauan Yuridis Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Perimbanan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-IX/2011 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945)”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda.
9
permasalahan sampai pada pengaruh yang ditimbulkan setelah dikeluarkan putusan MK tersebut karena setelah ditolaknya judicial review terhadap UU No. 33 Tahun 2004 Provinsi Kaltim mengajukan Otonomi Khusus dengan salah satu dasar pengajuan tersebut adalah Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang dirasa tidak memenuhi rasa keadilan. 2. Perlukah Otonomi Khusus Bagi Kalimantan Timur? Analisa dari Sudut Pandang Pendapatan Daerah dan Kondisi Ekonomi Daerah, 11 yang dilakukan oleh Laura C. Lawung. Penelitian ini mengkaji mengenai urgensi otonomi khusus bagi Kalimantan Timur ditinjau dari kondisi pendapatan daerah dan kondisi ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur yang tergolong cukup tinggi dan cukup baik dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, sehingga berdasarkan alasan tersebut, Laura C. Lawung menilai bahwa Provinsi Kalimantan Timur tidaklah urgentmembutuhkan adanya status otonomi khusus maupun tambahan dana transfer dari pusat melalui DBH atau dana otsus.Penelitian ini berbeda dengan penelitian penulis, yang mengkaji pengajuan otonomi khusus Kalimantan Timur berkaitan dengan penerapan asas keadilan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-IX/2011. 3. Urgensi Otonomi Khusus Batam Dikaitkan dengan Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN 201512, yang dilakukan oleh Muhammad Sapta Murti. Penelitian ini dengan penelitian Penulis sama-sama mengkaji mengenai
11
12
Laura C. Lawung, “Perlukah Otonomi Khusus Bagi Kalimantan Timur? Analisa dari Sudut Pandang Pendapatan Daerah dan Kondisi Ekonomi Daerah”, diakses dari https://www.academia.edu/12610675/Analisa_Kebutuhan_Otonomi_Khusus_bagi_Kalimanta n_Timur pada tanggal 22 April 2016 pukul 09.00 WIB. Muhammad Sapta Murti, “Urgensi Otonomi Khusus Batam Dikaitkan dengan Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN” 2015, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 3, No. 2, Agustus 2014.
10
pengajuan otonomi khusus, namun berbeda objek penelitian. Obyek penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Sapta Murti adalah pengajuan otonomi khusus Provinsi Batam, sedangkan objek penelitian Penulis adalah Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian yang dlakukan Muhammad Sapta Murti mengkaji
mengenai
urgensi
otonomi
khusus
Batam
dalam
rangka
penyelesaian persoalan tumpang tindih kewenangan terkait penyelenggaraan Batam serta dikaitkan dengan tantangan AEC 2015, sedangkan penelitian penulis mengkajimengenai keterkaitan penerapan asas keadilan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-IX/2011 dengan pengajuan otonomi khusus Kalimantan Timur.