BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
僕の体の中に記憶の辺土とでも呼ぶべき暗い場所あって, 大事な記憶は全部そこにつもってやわらかい 泥と化してまっているのではあるまいか、と。 “Jangan-jangan di dalam tubuhku ada tempat gelap, yang juga harus disebut sebagai wilayah kenangan, dan kenangan yang penting bertumpuk di situ, lalu berubah menjadi lumpur becek.” (Noruwei no Mori: 18) “What makes us the most normal,” said Reiko, “is knowing that we’re not normal” (Norwegian Wood)
Jepang mengalami dua gelombang pengaruh asing dalam dunia kesusastraannya. Pada gelombang pertama, China merupakan negara yang berpengaruh mulai abad keempat masehi dan berlangsung selama ratusan tahun. Pengaruhnya bukan hanya dalam bidang sastra bidang sastra melainkan dalam hal tulisan, agama, tata sosial dan budaya, sedangkan gelombang kedua yang masih berpengaruh pada kesusastraan Jepang sampai saat ini adalah pengaruh dari dunia Barat. Hal yang terlihat dari pengaruh barat ini salah satunya adalah banyaknya kata-kata asing yang digunakan dalam bahasa Jepang (Rosidi, 1989: 63). Pengaruh terhadap sastra dimulai pada tahun 1882 ketika terbit sekumpulan terjemahan puisi Inggris dan Amerika dalam bahasa Jepang. Kemudian setelah itu muncullah beberapa sastrawan Jepang yang karya-karyanya secara kuat 1
dipengaruhi oleh Inggris dan Amerika seperti Akutagawa Ryuunosuke (18921927), Mori Oogai (1862-1922),
Natsume Soseki (1867-1916), Kawabata
Yasunari dan Mishima Yukio (1925-1970), dan Haruki Murakami (1960-1980). Karya-karya ciptaan Haruki Murakami cukup dapat mewakili karya sastra Jepang yang dipengaruhi oleh dunia barat. Salah satu karyanya mendapat sambutan luar biasa, yaitu sebuah novel berjudul Noruwei no Mori yang diterbitkan pada tahun 1987. Novel ini telah menjadi karya best seller tidak hanya di Jepang namun juga di negara-negara lain dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing lainnya. Novel populer ini sempat memunculkan fenomena Murakami Boom di kalangan anak-anak muda Jepang. Fenomena itu disebabkan oleh karena novel Noruwei no Mori dianggap mampu mewakili perasaan yang dimiliki oleh anak-anak muda Jepang pada tahun 1960-an sehingga mulai dibaca oleh banyak remaja dan bahkan wajib digunakan di sekolah-sekolah sebagai media pembelajaran sastra. Hangatnya persahabatan, berlikunya cinta, rumitnya kehidupan, dan pahitnya kematian demi kematian diungkapkan oleh Murakami dengan lugas dan bebas. Murakami seolah mengajak pembaca untuk melihat gambaran kehidupan anak muda di Jepang pada dekade 1960-an. Murakami mencoba menggambarkan gelora cinta remaja, yang penuh dengan saat-saat memilukan, tenang, namun menghanyutkan. Selain itu Noruwei no Mori juga sarat dengan gejolak masa muda
setelah
perang
di
Jepang
berakhir
yang
digambarkan
melalui
pemberontakan mahasiswa, seks bebas, dan juga pencarian jati diri.
2
Noruwei no Mori merupakan novel keempat dari Haruki Murakami dan mampu membawa Murakami menjadi sastrawan terkenal tidak hanya di Jepang namun di beberapa negara lainnya. Sebelumnya, penghargaan Gunzo Prize telah diterima Murakami untuk novel pertamanya yang berjudul Kaze no Uta o Kike. Tidak hanya itu, berbagai penghargaan seperti Tanizaki Prize dan Yomiuri Literary Prize jugalah yang mengiringinya sebagai pengarang novel populer yang cukup produktif. Novel Noruwei no Mori memiliki kompleksitas makna di dalamnya dan tidak dapat dilihat secara eksplisit. Pada masa itu novel tersebut cukup mendapat banyak kritikan dari para kritikus sastra Jepang. Noruwei no Mori dianggap sebagai novel yang terlalu kebarat-baratan dan kurang mencerminkan Jepang. Murakami memang terlihat memberikan sajian westernisasi yang sangat kental, hal tersebut bisa dilihat dari lagu-lagu barat seperti The Beatles, Stevie Wonder, Bob Dylan, Simon, dan Garfunkel, serta para pemusik sejamannya yang mengalun dalam penceritaan novel ini. Selain itu di dalam novel juga disebutkan karya sastra barat seperti Great Gatsby, dan pengarang-pengarang barat seperti Truman Capote, John Updike, Scottt Fitzgerald, Raymond Chandler dan memang tidak disebutkan sama sekali tentang karya sastra Jepang. Murakami lahir dalam kultur tradisional Jepang yang sangat kuat pada tahun 1949, setelah Perang Dunia II berakhir. Namun ia menemukan dunianya bukan di dalam kesusastraan Jepang, melainkan dalam karya sastra Barat yang mulai disukainya semenjak masa remaja. Kesukaannya tidak hanya tertuju pada karya-karya sastra saja, namun juga pada jenis musik asal negeri barat seperti 3
musik jazz pada saat itu. Murakami merasa menemukan dunia lain yang lebih menarik daripada Jepang itu sendiri. Bahkan Murakami sempat memiliki sebuah kafe jazz sebelum dia memutuskan untuk menjadi penulis. Hal-hal seperti inilah yang mempengaruhi penciptaan Murakami terhadap karya-karyanya yang kebaratbaratan. Kekalahan Jepang saat Perang Dunia II membawa Jepang pada perubahan struktural yang fundamental. Perubahan struktural yang terjadi beriringan dengan munculnya kegagalan politik di Jepang, hal itu bersumber dari etos yang telah dipupuk cukup lama sehingga menimbulkan rasa kesangsian terhadap nilai-nilai lama yang ada, akibatnya adalah dirasakan oleh generasi muda sebagai generasi yang peka terhadap perubahan. Perubahan tersebut berpengaruh pada cara berpikir generasi muda Jepang yang diakibatkan dari keteganganketegangan karena perubahan sosial yang mendadak dengan unsur sosial pra modern yang masih ada, dan juga dihadapkan pada masalah sosial seperti pada negara industri lainnya. Kaum muda Jepang pada masa itu menjadi lebih bersifat egois dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Selain itu, para pemuda terlihat masih ragu-ragu tentang tujuan hidup mereka, kecenderungan inilah yang menjadi ciri khas pemuda secara keseluruhan pada jaman tersebut di mana disebabkan karena pola modern dengan sistem nilai yang beraneka ragam. Melalui karyanya, dapat dilihat bahwa Murakami merupakan representasi pemuda Jepang pada generasinya. Murakami merupakan seorang penulis yang cuk7up bisa mewakili kaum muda Jepang dalam masa perubahan setelah Perang Dunia II.
4
Noruwei no Mori merupakan novel yang sarat akan kesuraman, kehidupan yang tanpa harapan dan seakan menganggap kematian merupakan satusatunya jalan ketika tidak ada lagi yang bisa diperjuangkan. Kehidupan di Jepang seolah tergambar begitu gelap dan penuh keputusasaan, namun Murakami mampu menyajikan kegelapan budaya Jepang tersebut melalui tulisannya yang indah dan unsur-unsur lain di dalamnya yang cukup bisa mengalihkan pembaca terhadap kesuraman yang terdapat di dalam novel. Kisah dalam Noruwei no Mori dimulai dari hangatnya persahabatan yang terjadi di antara Watanabe, Kizuki, dan Naoko. Naoko merupakan kekasih Kizuki dan akhirnya menjadi teman dekat Watanabe setelah Kizuki meninggal. Hal itu membuat Watanabe merasa sangat berarti karena dia merupakan laki-laki penyendiri yang sulit memiliki teman. Namun di saat Watanabe berada pada titik ternyaman di kehidupannya, dia harus merasakan pahitnya kehilangan Kizuki. Kehidupan dan pola pikir Watanabe sedikit demi sedikit mulai berubah semenjak Kizuki meninggal karena bunuh diri. Watanabe merasa mati karena separuh diri, dan kekuatannya ada pada Kizuki. Kizuki-lah satu-satunya orang yang mampu membuat masa remaja Watanabe menarik dan berarti. Bahkan ketika akhirnya Watanabe bertemu dengan sosok baru yang bisa dianggapnya sebagai teman karena kesukaannya pada karya sastra yang sama, dia tetap membandingbandingkannya dengan Kizuki yang sudah tiada. Tidak ada orang sempurna seperti Kizuki yang bisa dianggapnya sebagai sahabat. Lika-liku percintaan Watanabe rasakan dengan Naoko yang merupakan kekasih Kizuki semasa hidup. Watanabe dan Naoko pada awalnya tidak sengaja 5
bertemu lagi ketika menjalani masa mahasiswa mereka. Perasaan senasib akan masa lalu membuat mereka merasa saling membutuhkan sampai pada akhirnya tanpa disadari Watanabe dan Naoko melakukan hubungan seksual pada malam ulang tahun Naoko. Setelah kejadian tersebut, Naoko pergi begitu saja meninggalkan Watanabe tanpa pesan. Berbagai macam pertanyaan tak tentu muncul menghantui Watanabe dan membuatnya merasa bersalah pada apa yang telah dilakukannya. Permasalahan ini disebut oleh Mitchell di dalam bukunya yang berjudul Psychoanalysis Feminism (2000) sebagai perasaan bersalah yang dihasilkan melalui wilayah ketidaksadaran.
“Unconscious sense of felt guilt by most people, even though they have not actually done wrong.” (Mitchell, 2000: xx) “Rasa ketidaksadaran berupa perasaan bersalah dirasakan oleh sebagian besar orang walaupun sebenarnya mereka tidak benar-benar melakukan hal yang salah.”
Akibat perasaan bersalah yang Watanabe rasakan, dia merasakan kecemasan yang terus menerus. Kecemasan tersebut memudar setiap kali Watanabe bertemu lagi dengan Naoko di kemudian hari karena rasa nyaman yang dirasakan oleh keduanya.
Namun Watanabe kembali merasakan kehilangan
ketika Naoko memutuskan untuk bunuh diri karena sakit jiwa yang dideritanya. Pengalaman demi pengalaman pahit yang dialami Watanabe mulai memperburuk kepribadiannya. Sekuat apapun fisik seseorang, masa lalu yang masih menghantui akan menggerogoti jiwa mereka terutama ketika didera rasa takut dan kecemasan akan sesuatu. Kemudian manusia selalu termotivasi untuk mencari kesenangan 6
untuk menurunkan ketegangan dan kecemasan tersebut. Murakami mencoba menampilkan akibat dari trauma masa lalu yang dialami Watanabe dan Naoko dapat merusak jiwa mereka dengan cara yang kasar sehingga meninggalkan jejak terdalam berupa gejala-gejala kecemasan-kecemasan. Freud (via Feist: 1964) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan situasi afektif yang dirasa tidak menyenangkan yang diikuti oleh sensasi fisik yang memperingatkan seseorang akan bahaya yang mengancam. Kecemasan berada di dalam alam bawah sadar (unconscious) yang mana merupakan cara alami seseorang untuk menunjukkan sesuatu yang telah ada di dalam dirinya, yaitu berupa perasaan tidak nyaman. Cara yang digunakan untuk mengungkapkan rasa kecemasan berbeda-beda, tergantung dari naluri alam bawah sadar, ego, dan konvensi kultural di dalam masyarakat. Sigmund Freud, seorang teoritikus kepribadian yang muncul paling awal menganggap pikiran-pikiran yang paling menakuti kita adalah pikiran-pikiran yang bertentangan dengan anggapan masyarakat tentang moral dan kebaikan. Tentang sebuah gagasan pikiran yang dibuatnya sendiri, seperti “Apa kata orang tentang hal ini?” kemudian manusia berusaha merepresi perasaannya dengan caranya sendiri (Baker, 2007: 75). Kecemasan yang di alami oleh seorang individu menimbulkan ketegangan di dalam dirinya, sehingga menuntut untuk diungkapkan. Salah satu pelepas ketegangan yang dapat dilakukan adalah melalui seksualitas. Aktivitas seksual dianggap normal sebagai dorongan diri yang bertujuan menimbulkan kesenangan (Freud, 2009: 230). Namun dorongan tersebut seharusnya dilakukan sesuai dengan norma dan aturan yang ada di dalam masyarakat sehingga tidak 7
menimbulkan rasa bersalah maupun pengulangan kecemasan setelahnya. Jika dorongan seksual tersebut dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan masyarakat, maka hal itu akan menimbulkan penyakit yang diawali dari rasa takut atau kecemasan dikarenakan adanya tekanan psikologis yang menyerang. Seksualitas menjadi unsur yang menonjol di dalam novel Noruwei no Mori, hal itu dapat dilihat dari cara Murakami mengungkapkan hal-hal berbau seksualitas dengan sangat gamblang. Karakter Watanabe selalu digambarkan berusaha menurunkan kecemasan dan ketegangan
di dalam dirinya melalui
dorongan seks yang dia keluarkan. Seksualitas yang vulgar tersebut tidak hanya ditunjukkan melalui Watanabe, namun juga melalui karakter-karakter lain di dalam novel. Seksualitas sebenarnya merupakan suatu hal yang tertutup untuk dibicarakan terlebih bagi masyarakat timur khususnya Jepang, karena seksualitas berada dalam ranah pribadi. Akan tetapi, masuknya pengaruh budaya asing khususnya budaya Barat membuka peluang hadirnya unsur-unsur seksualitas dalam dunia penciptaan karya sastra Jepang. Novel Noruwei no Mori dapat dikatakan merupakan satu-satunya novel populer dengan unsur seksualitas yang sangat gamblang dan berlebihan namun terasa cukup riil, tidak terlalu absurd seperti kebanyakan karya sastra Jepang. Terlebih, karya-karya Murakami memang dipengaruhi oleh sastra Barat yang disukainya semenjak remaja. Murakami juga sering memasukkan unsur-unsur seksualitas yang diungkapkan secara vulgar di dalam karya-karyanya yang lain. Penggambaran seksualitas yang dilakukan oleh Murakami yaitu dengan menampilkan seksualitas secara eksplisit, biologis, vulgar, 8
atau penggambaran persetubuhan antara laki-laki dan perempuan, juga perempuan dengan perempuan. Namun di dalam penciptaan karyanya terjadi perbenturan antara struktur norma Jepang dengan kebebasan seksualitas yang Murakami ingin ungkapkan, sehingga hal itu menimbulkan beban psikologis yang dapat dilihat dari cara penceritaan Murakami. Beban psikologis yang dialami oleh Murakami pada dasarnya adalah karena masyarakat dan para kritikus memprotes caranya mengeksploitasi seksualitas. Di sisi lain, beberapa kritikus menganggap eksploitasi seksualitas di dalam karya sastra sebagai kebebasan berekspresi yang merupakan bentuk seni. Namun sebagian masyarakat Jepang masih melihat pornografi dan erotisme membawa dampak yang dapat merusak tatanan moral. Seksualitas yang masuk ke dalam wilayah ketidaksadaran (unconscious) merupakan bagian penting dari perilaku manusia, dan hal ini terlibat erat dalam kaitannya dengan ilmu psikologi. Psikologi dan sastra memang berangkat dari hal yang berbeda namun keduanya dapat mempunyai titik temu. Sebuah karya sastra merupakan produk dari manusia yang menceritakan perilaku, kehidupan dan perjalanan manusia (jagad realita). Aspek kejiwaan yang diungkapkan melalui karakter-karakter yang terdapat di dalam novel merupakan bagian dari ranah psikologi dalam kaitannya dengan penelitian sastra. Selain itu, karya sastra akan dapat diterima dengan baik oleh individu maupun sosial dengan salah satu tujuan untuk membantu individu melindungi egonya dari kecemasan sebagai pengalihan. Menurut Freud (Siswantoro, 2005: 53) karya sastra bisa dijadikan sebagai ambisi tidak sadar yang tidak terwujud di dalam realita, secara fiktif dipindah ke dalam 9
realita sebuah novel atau bentuk sastra lainnya. Hal inilah yang dilakukan Murakami di dalam novel Noruwei no Mori, karya sastranya berusaha merekam gejala kejiwaan yang terungkap lewat perilaku karakter-karakter di dalam novelnya. Gejala-gejala kejiwaan tersebut dapat dilihat dari penyimpangan seksualitas yang dilakukan oleh setiap individu dalam caranya memaknai seksualitas di dalam kehidupannya. Hubungan seksualitas yang terjadi salah satunya ditunjukkan oleh Murakami melalui karakter Watanabe dengan semua wanita sebagai objek seksualnya. Sosok Watanabe digambarkan sebagai sosok pria yang mampu memenangkan hati para wanita dan menguasainya dalam hal seksual. Dalam karya-karyanya yang lain pun, Murakami selalu menampilkan karakter perempuan sebagai objek dengan karakter yang dilemahkan. Berpijak pada pandangan Freud tentang psikoanalisis, seorang feminis Juliet Mitchell mencoba menitikberatkan psikoanalisisnya pada makna seksualitas di dalam kehidupan seorang individu dan juga fakta-fakta yang mempengaruhi pola pikir dan kelakuan seorang individu. Pola pikir dan kelakuan individu itulah yang akan membentuk cara pandang terhadap sexual difference. Mitchell (2000: xxiii) mengatakan bahwa cara seorang individu memandang sexual difference berakar dari bagaimana individu tersebut diposisikan, yaitu berasal dari hubungan kekerabatan (kinship network) di dalam keluarga. Sistem kekerabatan tersebut menjadi pengaruh utama yang membentuk pola pikir individu sebagai bagian dari masyarakat sebagai bagian dari perubahan dunia. “The family is always changing it’s social and economic form and function, yet ideologically it is conceived of as 10
though it were still centre of moving world.” (Mitchell, 2000: xviii) “Keluarga selalu mengubah bentuk dan fungsi dari sosial dan bentuk ekonomi, yang mana dipahami secara ideologi masih menjadi pusat utama dalam perubahan dunia”
Pembentukan pola pikir individu dapat dipahami melalui psikoanalisis, sedangkan pandangan mengenai sexual difference dapat dipahami melalui feminisme. Psikoanalisis dan feminisme pada awalnya memang berangkat dari hal yang berbeda, namun Mitchell beranggapan bahwa psikoanalisis mampu membuka jalan untuk menyelesaikan masalah gender yang berlangsung cukup lama. Mitchell (2000: xvi) kembali menekankan bahwa psikoanalisis berguna untuk memahami bagaimana individu menempatkan dirinya bukan sebagai kajian fisik atau anatomik, melainkan sebagai subjek yang berbeda secara seksualitas atau secara gender.
1.2 Rumusan Masalah Noruwei no Mori merupakan salah satu novel Haruki Murakami dengan pengaruh Barat yang sangat kental. Hal tersebut dapat dilihat dari latar waktu, sosial, budaya, maupun perilaku dan kebiasaan, termasuk cara penggambaran seksualitas yang gamblang. Novel dengan latar tahun 1960-an ini menggambarkan bagaimana para pemuda Jepang mencoba menerima pengaruh dari dunia Barat, namun berlawanan dengan nilai-nilai tradisional yang ada. Kedua kondisi tersebut menimbulkan beban psikologis berupa perbenturan ideologi, karena seksualitas
11
yang dieksploitasi di dalam novel berlawanan dengan norma Jepang yang melingkupi kehidupan sosial pengarang. Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut adalah: 1. Bagaimana pertarungan antara ideologi Barat dengan norma-norma Jepang yang tergambar melalui seksualitas sebagai sebuah energi yang dihasilkan dari ketidaksadaran, di dalam novel Noruwei no Mori karya Haruki Murakami? 2. Bagaimana Murakami meredefinisikan makna seksualitas di dalam novel Noruwei no Mori?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang tertuang di atas, maka tujuan penelitian yang ingin penulis capai adalah mengetahui perbenturan ideologi Barat yang dimiliki oleh pengarang dengan norma-norma Jepang yang melingkupinya, melalui seksualitas sebagai sebuah energi yang dihasilkan dari ketidaksadaran seorang individu guna melepaskan ketegangan yang dimiliki. Selanjutnya akan diketahui redefinisi pengarang terhadap makna seksualitas melalui novel Noruwei no Mori tersebut.
1.4 Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini penulis ingin memberikan manfaat yang mencakup dua dimensi yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis dari 12
penelitian ini adalah membenarkan bahwa teori Psikoanalisis yang dibangun kembali oleh Juliet Mitchell, mengenai ideologi yang dimiliki oleh subjek timbul berdasarkan pandangan tentang sexual difference dibentuk dari hubungan kekerabatan. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat menjadi bahan pembelajaran bagi pembaca tentang kasus serupa, bagaimana kita dituntut untuk lebih bijak menyikapi di mana lingkungan kita tumbuh dengan sebisa mungkin tidak berakibat pada penyimpangan perilaku. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk memperkaya pengetahuan pembaca tentang karya sastra Jepang khususnya Noruwei no Mori karya Haruki Murakami melalui sudut pandang feminis psikoanalisis.
1.5
Tinjauan Pustaka Karya sastra yang dibahas di dalam penelitian ini adalah sebuah novel
yang ditulis oleh Haruki Murakami dengan judul Noruwei no Mori. Novel ini sebelumnya pernah dianalisis oleh Dian Annisa Nur Ridha sebagai tesis mahasiswi Pascasarjana Ilmu Sastra UGM pada tahun 2013. Dian Annisa mengambil judul Pandangan Dunia Dalam Novel Noruwei No Mori Karya Murakami Haruki: Analisis Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann. Dalam penelitian tersebut, Dian bermaksud mengetahui struktur novel Noruwei no Mori dan mengetahui pandangan dunia kelas sosial yang ada di dalamnya menggunakan teori Lucien Goldmann. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa judul novel Noruwei no Mori sama dengan judul lagu Norwegian Wood 13
karya The Beatles. Persamaan yang ada di dalam judul dan lagu berupa struktur isi yaitu unsur masa lalu yang dikenang, masa kini, dan tokoh manusia yang memilih di antara keduanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang Jepang selalu mempertahankan harmoni sebagai nilai-nilai otentik dalam kehidupannya demi keseimbangan antara dirinya sendiri dengan manusia di sekelilingnya dan dengan alamnya. Selain itu, novel Noruwei no Mori pernah diteliti sebagai tesis oleh mahasiswa jurusan Regional Studies- East Asia Harvard University, Jacqueline Ostrofsky (2011) dengan judul Progressive Women and non-Mainstream Men; Analyzing Feminist Elements in Haruki Murakami Novels. Jacqueline memfokuskan penelitian pada tiga karya Murakami yaitu Norwegian Wood, Sputnik Sweetheart, dan The Wind-Up Bird Chronicle dengan melihat bagaimana wanita selalu diposisikan sebagai sexual minorities dan selalu menjadi korban dari perbedaan gender. Novel Noruwei no Mori juga pernah diteliti oleh Dhian Ekowati, mahasiswi Sastra Jepang Universitas Gadjah Mada di dalam skripsinya yang berjudul Motif Bunuh Diri Tokoh Naoko Dalam Novel Noruwei no Mori pada tahun 2011. Penelitian tersebut menggunakan teori personologi Henry Murray yang merumuskan teori kebutuhan atau teori motif di mana kebutuhan-kebutuhan tersebut mendorong manusia untuk bertindak atau berperilaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan atau motif yang ada pada diri Naoko adalah kebutuhan otonomi, kebutuhan mengimbangi, kebutuhan sex, dan kebutuhan
14
penolakan. Keputusan Naoko melakukan bunuh diri dipengaruhi oleh motif-motif tersebut. Sementara itu ada beberapa penelitian yang menggunakan objek formal seksualitas yaitu tesis dengan judul Seksualitas Perempuan Dalam Novel Saman & Larung Karya Ayu Utami: Sebuah Tinjauan Psikoanalisis Lacanian yang ditulis pada tahun 2004 oleh Ririe Rengganis, mahasiswi sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada. Dalam penelitiannya tersebut, Ririe bertujan untuk memaparkan seksualitas perempuan sebagai subjek-subjek yang berbicara di dalam novel Saman dan Larung melalui pandangan, perilaku dalam hubungannya dengan latar belakang pendidikan dan sosial yang mempengaruhi keberadaannya sebagai subjek perempuan di dalam masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa dalam novel-novel tersebut terdapat empat karakter perempuan yang merupakan representasi pengarang yaitu Ayu Utami dalam memandang fenomena sosial yang terjadi di masyarakat mengenai subjektivitas perempuan. Penelitian menggunakan tema seksualitas yang lain terdapat dalam penelitian dengan judul Seksualitas Dalam Sastra Anak Pada Komik Titeuf: Tinjauan Semiotika ditulis oleh Welcy Fine mahasiswa Sastra Prancis Universitas Gadjah Mada pada tahun 2013. Tujuan Welcy dalam penelitiannya tersebut adalah menjelaskan unsur-unsur seksualitas yang diajarkan kepada anak-anak di Prancis melalui karya sastra. Unsur-unsur seksualitas tersebut dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu anatomi seksual dan aksi seksual. Kemudian klasifikasi tentang anatomi seksual dibagi lagi berdasarkan cara pemaparannya, yaitu cara verbal (kata-kata), dan cara visual (gambar). 15
Kedua penelitian di atas memang mengangkat masalah seksualitas namun diteliti dengan menggunakan teori lain sehingga sejauh yang penulis ketahui, penelitian dengan tujuan mengungkapkan makna seksualitas di dalam karya sastra menggunakan teori feminis psikoanalisis yang dikemukakan oleh Juliet Mitchell belum pernah ada sebelumnya. Dapat dikatakan penelitian novel Noruwei no Mori karya Haruki Murakami ini tidak hanya sekedar mereproduksi penelitian yang sudah ada sebelumnya.
1.6 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan teori feminis psikoanalisis dari Juliet Mitchell yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul Psychoanalysis Feminism dan diterbitkan ulang pada tahun 2000. Mitchell merupakan seorang psikoanalis
yang
teorinya
berfokus
pada
peran
psikoanalisis
terhadap
pembentukan seorang individu. Pembentukan seorang individu yang berdasar pada proses-proses ketidaksadaran dapat membentuk aspek-aspek cara berpikir yang dimiliki oleh individu tersebut. Selanjutnya, bagaimana hal tersebut akan berpengaruh terhadap cara individu memandang perbedaan status perempuan dan laki-laki (sexual difference). Teori feminis psikoanalisis Mitchell terpengaruh oleh psikoanalisis yang dikemukakan oleh Freud. Mitchell muncul sebagai penengah akan adanya kritik dari para feminis yang tidak sependapat dengan penelitian-penelitian Freud. Kritik dari para feminis berfokus pada pandangan Freud mengenai pembagian laki-laki dan perempuan dari sisi biologis yang pada akhirnya akan menyudutkan posisi 16
perempuan, termasuk di dalamnya adalah mengenai pandangan bahwa seksualitas adalah hak istimewa bagi para laki-laki. Namun Mitchell tidak ingin memperbesar masalah yang ditimbulkan dari pandangan di atas, ia hanya ingin memetakan dari mana ketidaksadaran diri seorang individu muncul, dalam hubungannya dengan cara berpikir yang dimiliki oleh individu (Mitchell, 2000: xxv). Mitchell (2000) membantah konsep Freud yang berfokus pada kajian tentang fisik, tentang manusia sebagai objek. Masalah tersebut berpusat pada pembentukan laki-laki dan perempuan yang diciptakan dengan jenis kelamin yang berbeda dimulai dari saat kelahirannya. Laki-laki dianggap lebih sempurna karena memiliki penis, sedangkan tubuh perempuan dianggap ‘kurang’ karena terdapat bagian yang hilang dari tubuhnya. Psikoanalisis Freud berpusat pada gejala-gejala penyakit mental, termasuk pembagian mengenai feminity dan masculinity yang menjadi takdir biologis. Menurut Mitchell feminity dan masculinity bukanlah merupakan bagian dari penyakit mental (kelainan) yang tercipta dari dalam diri seorang individu, melainkan pembagian tersebut muncul karena adanya interpretasi biologis dari masyarakat yang telah dikonstruksi. Beberapa konsep Mitchell yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah “Pembentukan Individu melalui Ketidaksadaran” yang menjelaskan tentang pembentukan mental atau kepribadian manusia melalui alam bawah sadarnya. Kemudian “Normal and Abnormality” yang akan berisi tentang penjelasan mengenai pembentukan seksualitas beserta penyimpangannya pada manusia. Konsep selanjutnya adalah “Hubungan Kekerabatan (Kinship System)” yang
17
merupakan penjelasan mengenai keluarga sebagai sebuah sistem dasar yang membentuk cara pandang individu terhadap sexual difference .
1.6.1 Pembentukan Individu melalui Ketidaksadaran Ketidaksadaran di dalam diri seorang individu menjadi dasar utama bagaimana dirinya terbentuk menjadi subjek dalam hubungannya dengan orang lain. “The context of the mechanism of unconscious mental lifethe laws of the primary process (the laws that govern the working of the unconscious) are replaced by these critics by those secondary process (conscious decision and perception), and as a result the whole point is missed.” (Mitchell, 2000: 8) “Mekanisme dari ketidaksadaran yang mempengaruhi mental seseorang individu berasal dari proses primer yang berupa ketidaksadaran kemudian digantikan dengan proses selanjutnya yang berupa persepsi dan keputusan sehingga dihasilkan tindakan”
Mitchell (2000: 6-8) memiliki pandangan bahwa pembentukan individu terbentuk dari primary process dan secondary process. Primary process merupakan proses awal yang di dalamnya terdapat insting, naluri, hasrat-hasrat liar, aturan-aturan (normalitas), dan berbagai dorongan yang menguasai wilayah ketidaksadaran. Semua yang terdapat di dalam wilayah ketidaksadaran tersebut digerakkan oleh nalar. Nalar membuat seorang individu ingin berdampingan dengan orang lain sebagai sebuah komunitas sehingga individu tersebut berusaha menekan hasrat liarnya. Hasrat liar seorang individu ditekan oleh normalitas yang berupa aturan-aturan masyarakat. 18
Kemudian secondary process merupakan proses lanjutan dari primary process di mana tanggapan-tanggapan muncul dari wilayah ketidaksadaran dan menghasilkan sebuah keputusan. Keputusan yang dihasilkan tersebut dapat berupa tindakan maupun pola pikir. Wujud ketidaksadaran yang berbentuk pola pikir inilah yang menjadi dasar sebuah ideologi. “Unconscious thought processes’ are mostly ordinary thoughts turned into ones of which we are completely unaware. It is the process of transformation from awareness that makes for their bizarre appearance even they become manifest once more – as they do in dreams, neurotic symptomps, psychotic behaviour, jokes, and the many psychopathologies of everyday life.” (Mitchell, 2000: xxi). “Proses ketidaksadaran pada umumnya dapat dikenali sendiri melalui perwujudan perilaku-perilaku yang sering dilakukan seperti dalam mimpi, gejala neurotic, cara bercanda, dan halhal lainnya.”
Mitchell menganggap ketidaksadaran sebagai sebuah random expression yang dimiliki oleh setiap manusia dan dapat dikenali sendiri. Ekspresi-ekspresi tersebut merupakan cara dari ketidaksadaran menunjukkan perilaku aneh yang terwujud dalam mimpi, salah tulis, salah ucap, cara bercanda, kelakuan gila, gejala neurosis, hysteria dan hal-hal lain yang dalam kesehariannya berhubungan dengan mental atau jiwa. Naluri (keinginan) menjadi sebuah rangsangan tidak sadar yang terdapat di dalam jiwa semua individu sebagai perintah untuk mengurangi ketegangan yang dimilikinya. Ketegangan tersebut menjadi rentetan perasaan yang ingin dilepaskan, cara pelepasannya pun berbeda-beda karena biasanya dipengaruhi oleh kelompok di mana dia berasal. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, 19
manusia cenderung ingin dikatakan ‘normal’ untuk bisa diterima di dalam masyarakat sehingga berusaha melepaskan kecemasan yang dimilikinya dengan cara yang dianggap ‘normal’. Pelepasan kecemasan dan ketegangan yang ada di dalam diri individu dikeluarkan paling mudah adalah melalui seksualitas. Seksualitas merupakan sebuah insting dalam diri individu yang kemudian diubah menjadi sebuah karakter kejiwaan yang merupakan perwujudan seorang individu sebagai makhluk sosial. Menurut Mitchell (2000: 28), setiap rangsangan seksual telah aktif secara alamiah baik di dalam tubuh perempuan maupun laki-laki sehingga keduanya memiliki hak yang sama dalam menggunakan naluri seksualnya. Dalam novel Noruwei no Mori, Murakami sebagai pengarang menjadikan seksualitas sebagai kekuatan terbesar yang dimiliki oleh Watanabe dan juga individu lain di dalamnya. Kepribadian individu-individu tersebut dapat dilihat melalui aktivitas-aktivitas seksual yang tergambar di dalam novel. Perkembangan seksualitas yang dimiliki oleh seorang individu tumbuh dengan melewati tahap-tahap pertumbuhan. Tahap pertama adalah ketika bayi mulai mencari kesenangan melalui area sensitif seksual tertentu, yaitu pada puting sang ibu. Energi seksual atau libido tersebut digambarkan sebagai kekuatan pendorong
di
belakang
perilaku.
Setelah
melewati
tahapan
tersebut,
perkembangan selanjutnya adalah ketika seorang bayi merasa puas karena mampu menghasilkan sesuatu untuk sang ibu (sekresi). Kemudian tahap terakhir adalah ketika bayi merasa perlu menginginkan segalanya dan berusaha keluar dari dunianya. Kepribadian seorang individu sebagian besar dibentuk pada usia lima 20
tahun tersebut. Awal perkembangan tersebut berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan terus mempengaruhi perilaku di kemudian hari. Ciri-ciri di mana seorang individu berkembang adalah adanya rasa kehilangan suatu kenikmatan atas apa yang selama ini dirasakannya. Kemudian rasa kehilangan itu memunculkan kewaspadaan agar tidak terjadi hal yang sama untuk kedua kalinya (Mitchell, 2000: 24). Jika tahapan-tahapan tersebut berjalan sebagai mana mestinya maka individu tersebut akan menjadi pribadi yang sehat. Namun tahapan seksual pada manusia tidak selalu berjalan normal, terdapat kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan seorang individu terbelenggu dalam
perkembangannya karena
sebuah peristiwa yang membentuknya. Ketika seorang individu terjebak pada sebuah tahap, individu tersebut sangat primitif di dalamnya, sehingga kesadarannya untuk menerima nilai-nilai dari masyarakat akan menghukumnya. Individu
tersebut
senantiasa diserang
oleh
insting-insting
primitif
dan
kesadarannya. Insting primitif tersebut kemudian ingin merangkak keluar namun kesadaran selalu berjuang untuk menyuruhnya kembali, individu tersebut akan menghabiskan seluruh waktunya untuk berjuang sehingga menimbulkan ketergantungan pada hal tertentu yang dianggapnya nyaman. Perjuangan yang dilakukan untuk menekan insting primitif tidaklah mudah, seringkali individu mengalami kegagalan sehingga menimbulkan gejalagejala kegelisahan, gangguan fisik, perilaku antisosial, kriminalitas, gejala
21
gangguan kejiwaan, ketakutan, kecemasan, phobia, gejala-gejala histeria, obsesi dan juga bunuh diri (Mitchell, 2000: 81). 1.6.2 Normality and Abnormality Setiap individu memiliki kecenderungan yang berbeda terhadap pola pikir maupun perilaku yang dimilikinya. Sebuah pola pikir atau perilaku yang terbentuk dari sebuah naluri merupakan sebuah energi sebagai cara untuk melawan kecemasan yang menimbulkan ketegangan. Sebagian mengalihkan kecemasan tersebut ke dalam energi yang lebih berguna seperti bekerja, berkarya, berolahraga, berdoa namun sebagian lain malah menerima kecemasan tersebut dan mengalihkannya ke dalam energi yang tidak disadari, misalnya adalah makan dan tidur secara berlebihan, menangis, dan memanfaatkan insting seksual dimilikinya. “...sexuality as a complete, so to speak ready-made-thing in itself which could then diverge, he found that ‘normal’ sexuality itself assumed its form only as it travelled over a long and tortuous path, maybe eventually, and even then only precariously, establishing itself.” (Mitchell, 2000: 17) “Seksualitas adalah hal kompleks yang sudah ada di dalam diri setiap individu. Seksualitas yang normal sendiri berasa pada jalur yang panjang dan rumit.”
Pada awalnya, seksualitas yang ada pada diri seorang individu tergeneralisir. Namun adanya faktor berupa masa lalu membuat perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lain dalam mewujudkan insting seksualnya. Pada seksualitas yang normal, individu akan menunjukkan seksualitasnya dalam bentuk kewajaran yang sesuai dengan aturan moralitas. 22
Moral menjadi kekuatan utama dalam mereaksikan rasa tertekan dan terbelenggu dengan melawan rasa muak dan rasa malu menjadi sesuatu yang lebih berguna. Namun seksualitas yang normal-pun digambarkan berada pada jalur yang sangat rumit sehingga perwujudannya menjadi tidak dapat diduga (Mitchell, 2000: 17). Perwujudan seksualitas juga dapat menjadi bentuk yang menyimpang dan dianggap tidak normal untuk dilakukan. Menurut Mitchell (2000: 28) seksualitas dianggap menyimpang apabila perwujudannya tidak sesuai dengan aturan dan norma di dalam masyarakat. Selain itu adalah jika seksualitas tidak digunakan untuk melepaskan ketegangan namun menjadikannya sebagai fungsi lain sehingga perwujudannya menimbulkan ketegangan yang berulang. Misalnya adalah kekerasan seksual yang berupa masokisme dan sadisme yang bertujuan melecehkan korbannya. Seksualitas yang menyimpang
merupakan representasi alternatif dari
keinginan terlarang dari ketidaksadaran yang telah rusak. Keinginan (hasrat) tersebut berusaha dibuang menjadi bentuk kesadaran dalam bentuk yang dapat dikenali. Gejala tersebut memadatkan diri menjadi energi dari rangsangan seksual dan hal tersebut digunakan untuk merepresi kecemasan. Keinginan dan kesadaran terletak berdampingan namun berusaha saling melepaskan satu sama lain. Namun karena adanya aturan-aturan dan normalitas masyarakat di mana individu tersebut tinggal, hal itu menjadi kemelut tersendiri bagi seorang individu. Kemelut yang dirasakan berupa perbenturan dari keinginan terlarang dan aturan yang membelenggunya. Kegagalan upaya individu untuk mengeluarkan hasratnya disebut dengan neurosis. 23
“Freud said that the neuroses were the negative of pervesions: pervesions are the acting out by the adult of one or other of the undirected, hence polymorphously perverse, sexual drives that the child manifest, neurotic symptomps are the failure of the effort not to thus act out such drives and desire.” (Mitchell, 2000: 10) “Neurosis merupakan perbuatan tak wajar yang dilakukan oleh seorang dewasa untuk menunjukkan hasrat seksual yang dimilikinya. Simptomp neurotik ini merupakan kegagalan seseorang dalam mewujudkan hasrat dan nalurinya.” Neurosis
dianggap
sebagai
kegagalan
upaya
seseorang
untuk
mengeluarkan rangsangan dan hasratnya, dan hal ini dapat terjadi pada setiap individu. Sebagian mewujudkan keinginannya dengan cara yang wajar, dan sebagian lain mewujudkannya dengan cara yang berlebihan. Ada anggapan bahwa laki-laki lebih mempunyai peluang yang lebih besar untuk melakukan perbuatan yang tidak wajar dalam hal kaitannya dengan seksualitas. Sedangkan perempuan di mana aktivitas seksualnya lebih dibatasi oleh norma di dalam masyarakat akan berusaha membelenggu perasaannya sehingga lebih dimungkinkan akan mengalami gejala neurotik. “...neurotic behaviour was the clue to normal behaviour, or an exaggerated manifestatition of the same mental process... The symptomps of the neuroses revealed their content as being both infantile and sexual and the sexuality they exhibited was perverse as well as normal.” (Mitchel, 2000: 20-21) “Kelakuan neurotic dapat menjadi tanda dalam menentukan kelakukan individu secara normal. Hal ini salah satunya ditunjukkan dalam perwujudan seksualitas yang normal.”
Mitchell (2000:28) berpendapat bahwa setiap komponen di dalam seksualitas baik secara sendiri maupun bersamaan dapat terfiksasi sehingga 24
mengalami kemunduran sebagai akibat dari kejadian atau peristiwa yang dialami. Peristiwa yang dialami dapat menjadi momok yang menghantui sehingga individu tersebut akhirnya mengalami perbuatan tak wajar sebagai pelepas kecemasan yang dirasakannya. Perbuatan tak wajar tersebut misalnya adalah gejala histeria yang merupakan variasi neurosis berupa obsesi dan kecemasan. Gejala histeria merupakan perwujudan dari keinginan terlarang dari wilayah ketidaksadaran yang telah rusak. Keinginan tersebut kemudian dibuang menjadi perilaku dan menjadi bagian dari wilayah kesadaran ketika dilakukan berulang-ulang kali. Melalui perwujudan seksualitas baik yang normal maupun menyimpang tersebut dapat diketahui bagaimana cara berpikir seorang individu dalam memandang individu lainnya. Mitchell menemukan kenyataan bahwa cara berpikir tentang sexual difference pertama kali dibangun melalui hubungan kekerabatan (kinship) di dalam keluarga.
1.6.3 Sistem Kekerabatan (Kinship System) Mitchell (2000: xxx) berpendapat bahwa psikoanalisisnya juga terpengaruh dari teori tentang hubungan kekerabatan di dalam keluarga yang dikemukakan oleh Levi Strauss. Pandangan Levi Strauss berkaitan erat dengan bentuk atau susunan sosial masyarakat, yaitu bagaimana cara dia membaca suatu fenomena sebagai sebuah struktur yang dibentuk. Mitchell mampu melihat kaitan teori sistem kekerabatan dengan teori psikoanalisis adalah melalui ketidaksadaran yang mampu memetakan struktur jiwa manusia. Teori feminis psikoanalisis yang dikemukakan oleh Mitchell tidak terlepas dari aturan dan hubungan yang ada di 25
dalam keluarga yang mana digunakan untuk dapat memahami bagaimana pandangan seorang individu tentang sexual difference. “Kinship and the family, and the reasons for using psychoanalysis to investigate their processes, were the fall guys; the question raised about ideology and kinship/the family were obmitted or reprimanded as naively universalizing and essentialits.” (Mitchell, 2000: xxiii). “Sistem kekerabatan dan keluarga merupakan alasan untuk menggunakan psikoanalisis sebagai salah satu faktor pembentuk kepribadian seorang individu. Termasuk dapat dilihat faktor yang menyebabkan seseorang ‘jatuh’.”
Mitchell (2000: xxxii) berpendapat bahwa keluarga dijadikan sebagai tempat di mana pandangan cara berpikir seorang individu pertama kali dibentuk. Termasuk cara pandang terhadap laki-laki dan perempuan yang dapat dilihat dari bagaimana cara individu tersebut memandang makna seksualitas di dalam kehidupannya. Seorang individu bisa merasakan rangsangan di dalam dirinya aktif dan kemudian membuat keputusan untuk menunjukkan perwujudan dirinya sebagai subjek. Perwujudan diri merupakan hasrat bagaimana seorang individu terlihat aktif atau pasif dalam hubungannya dengan orang lain. Namun masyarakat membentuk aturan-aturan yang bersifat mengekang, dan hal tersebut dimulai dari dalam keluarga. Dari dalam keluarga itulah muncul istilah the power of fathers, di mana individu mulai dibentuk untuk melihat fisik sebagai sebuah kekuatan. Pandangan seperti itu yang nantinya selalu menjadikan perempuan sebagai objek dan posisi yang dinomorduakan.
26
“For a kinship structure to exist, three types of family relationship must always be satisfied: consanguinity, affinity, and descent.” (Mitchell, 2000: 373)
Mitchell sependapat tentang penggolongan status individu di dalam teori kekerabatan. Penggolongan tersebut didasari pada hubungan antar anggota keluarga, di mana consanguinity merupakan hubungan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan, affinity merupakan hubungan antara suami dan istri, sedangkan descent merupakan hubungan antara ayah dan anak laki-laki. Dari pembagian hubungan kekerabatan tersebut dapat dilihat bagaimana masyarakat membentuk struktur bahwa laki-laki mencoba berkuasa atas anggota keluarganya yang berjenis kelamin perempuan. Seseorang yang ingin berkuasa harus bisa menggantikan tempat ayahnya, dan hanya anak laki-lakilah yang berhak untuk itu. Sedangkan wanita yang ingin memberontak, hanya boleh mampu diam dan akan merasa tertekan karena dipenjara oleh hukum sosial yang ada. Sistem yang ada di dalam keluarga tersebut dimanfaatkan untuk menjadikan wanita terbentuk demikian dan selalu seperti itu.
27
1.7 Metode Penelitian Metodologi yang akan digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam beberapa bagian yaitu tahap pengumpulan data, tahap klasifikasi data, tahap pemilihan data, tahap analisis data, dan menentukan kesimpulan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara menentukan data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari objek material yaitu novel Noruwei no Mori karya Haruki Murakami, sedangkan data sekunder berupa data-data pendukung diperoleh dari buku Psychoanalysis and Feminism Juliet Mitchell, berikut jurnal-jurnal dan buku teori pelengkap lainnya. Tahapan yang pertama kali penulis lakukan adalah melakukan pengamatan dalam menentukan korpus data, termasuk menentukan novel Noruwei no Mori sebagai sumber data utama. Korpus data dalam penelitian ini adalah berupa keseluruhan wacana isi cerita dan dialog-dialog yang terdapat di dalam novel Noruwei no Mori. Isi cerita dan dialog yang digunakan sebagai korpus data adalah kata-kata, kalimat, dan paragraf yang mengandung unsur seksualitas baik yang digambarkan secara vulgar maupun secara tersirat oleh Haruki Murakami sebagai pengarang novel. Korpus data tersebut adalah kata-kata, kalimat atau paragraf yang menggambarkan aktivitas seksual para individu di dalam novel. Tahap selanjutnya adalah klasifikasi data yaitu mencakup bentuk-bentuk seksualitas yang terdapat di dalam novel. Unsur-unsur seksualitas yang menjadi sebagai korpus data dikelompokkan sesuai dengan pembahasan yaitu unsur-unsur seksualitas yang mengandung perbenturan idealisme yang menimbulkan beban psikologis bagi pengarang. Korpus data yang digunakan dalam pembahasan ini 29
contohnya terdapat dalam “Lagipula aku tak mengijinkanmu masuk ke tubuhku kan?”, kalimat tersebut diucapkan oleh Midori, salah satu wanita yang dekat dengan Watanabe. Kalimat tersebut memunculkan perbenturan idealisme karena sebagai teman dekat mereka tidak bisa melakukan hubungan seksual walaupun sebenarnya Midori ingin melakukannya dengan Watanabe. Selain itu, digunakan juga unsur seksualitas yang mampu mewakili pandangan pengarang dalam memandang makna seksualitas di dalam kehidupannya melalui trauma masa lalu. Korpus data yang digunakan dalam pembahasan ini adalah kata-kata, kalimat, maupun paragraf yang mengandung seksualitas secara umum karena peneliti ingin melihat bagaimana pengarang meredefinisi makna seksualitas di dalam novelnya. Korpus data tersebut misalnya, “Tidak ada jalan lain lagi, kalau aku terus berada di sini, keteganganku akan memuncak dan akhirnya baut-baut di kepalaku akan beterbangan lagi”, dalam kalimat tersebut menunjukkan bahwa Watanabe mulai menjadikan aktivitas seksualnya menjadi satu-satunya kekuatan yang dimiliki di dalam hidupnya. Setelah tahap klasifikasi data, tahap yang dilakukan selanjutnya adalah tahap seleksi data. Begitu banyaknya materi yang mengandung unsur seksualitas di dalam novel Noruwei no Mori mengharuskan peneliti untuk menyeleksi data tersebut agar tidak terkesan terulang-ulang dalam pembahasan. Data yang akhirnya diambil melalui tahap seleksi data ini dilihat melalui kata-kata, kalimat, atau paragraf yang mencakup dan mewakili peristiwa secara kompleks. Data-data yang telah didapatkan tersebut kemudian masuk ke dalam tahap analisis. Hal yang pertama dilakukan adalah melakukan pembacaan secara 30
rinci terhadap novel Noruwei no Mori dan dianalisa dengan menggunakan teori feminis psikoanalisis yang terdapat di dalam buku Psychoanalysis and Feminism yang ditulis oleh Juliet Mitchell dan juga review terhadap beberapa buku maupun artikel yang berhubungan dan menunjang kajian. Tahapan ini dilakukan dengan cara menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi pola pikir pengarang dalam membuat sebuah karya sastra dengan unsur seksualitas yang sangat gamblang meskipun itu berlawanan dengan norma Jepang yang ada. Analisis selanjutnya adalah tentang bagaimana cara pengarang memandang makna seksualitas yang dapat dilihat dari makna awal seksualitas pada manusia dan penyimpangan yang dilakukannya. Selain itu, dalam analisis juga dijabarkan latar sosial guna menambah pengetahuan tentang kondisi sosial di negara Jepang. Setelah tahap analisis akan didapatkan kesimpulan bahwa pola pikir seorang individu mengenai pandangan tentang gender dipengaruhi oleh hubungan kekerabatan akibat dari pola keluarga tradisional Jepang yang akan diuraikan secara deskriptif.
1.8 Sistematika Penulisan Dalam rencana penulisan penelitian ini akan terbagi menjadi empat bab. Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Permasalahan akan dijawab di dalam Bab II dan Bab III. Bentuk-bentuk seksualitas yang menimbulkan pertarungan batin bagi pengarang yang terdapat dalam novel Noruwei no Mori akan dijabarkan dalam Bab II. 31
Sedangkan Bab III menjelaskan bagaimana pengarang meredefinisi makna seksualitas berdasarkan bentuk-bentuk seksualitas tersebut. Bab terakhir yaitu bab IV berisi kesimpulan dari hasil penelitian. 32