BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembatasan impor minyak oleh Amerika memunculkan ketegangan antara Jepang dan Amerika. Jepang merupakan negara kecil yang sangat bergantung pada impor karena tidak memiliki sumber daya alam yang bisa mendukung industrinya. Apabila tidak bisa mendapatkan minyak maka industri yang sedang berkembang di Jepang akan terpuruk. Oleh karenanya Jepang pun mencari jalan untuk mendapatkan suplai minyak. Jepang pun bermaksud untuk mencari sumber penghasil minyak ke daerah Selatan seperti Indonesia yang pada saat itu berada di bawah kekuasaan Hindia-Belanda. Invasi 1 ke daerah Selatan merupakan bagian dari usaha Jepang untuk membangun suatu kawasan Asia Raya di samping pentingnya daerah jajahan penghasil minyak di kawasan Selatan untuk mendukung perang Asia Pasifik. Demi kelancaran invasi ke daerah selatan, Jepang pun merencanakan berbagai strategi. Pasukan militer Jepang pun bergerak menuju daerah-daerah penghasil minyak di Kalimantan dan Sumatera, yaitu Tarakan dan Balikpapan serta Palembang 2 . Setelah berhasil mengalahkan pasukan militer Hindia-Belanda, kekuasaan pun secara resmi beralih ke tangan Jepang.
1
Hal atau perbuatan memasuki wilayah negara lain dengan mengerahkan angkatan bersenjata dengan maksud menyerang atau menguasai negara tersebut. 2 Nojiri, Tadamura. Taiheiyou Sensou Hikiwake Ron. (Tokyo: Genshuu Shuppansha, 2012), hlm. 97.
1
2
Pendudukan Jepang di Indonesia meskipun cukup singkat tetapi membawa pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan Indonesia. Pada masa pendudukannya, Jepang berusaha merebut simpati rakyat Indonesia dengan tujuan untuk menghimpun massa demi kepentingan perang. Jepang pun berusaha menghilangkan segala pengaruh Barat pada semua bidang, mulai dari politik dan pemerintahan, ekonomi, sampai tatanan sosial masyarakat. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah militer Jepang di Indonesia mempunyai tujuan utama untuk menghapus pengaruh-pengaruh Barat khususnya Belanda di kalangan rakyat Indonesia dan juga memobilisasi rakyat demi kepentingan Jepang3. Untuk menghilangkan pengaruh Barat, pihak Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Bahasa Jepang diupayakan agar bisa berkembang di masyarakat, akan tetapi tidak banyak rakyat yang mampu menguasai bahasa Jepang4. Karena penyebaran bahasa Jepang di kalangan rakyat sangat lambat dan juga sangat sulit untuk berkomunikasi dengan rakyat menggunakan bahasa Jepang, penggunaan bahasa Indonesia pun menjadi tak terhindarkan. Penguasa Jepang menaruh perhatian atas bahasa yang digunakan dalam menjalankan propaganda karena perbedaan bahasa bisa menghambat penyerapan pesan propaganda. Pemerintah Jepang pun mulai menyiapkan propaganda yang efektif untuk meyakinkan rakyat bahwa Indonesia dan Jepang merupakan saudara seperjuangan
3
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terj. (Jakarta: Serambi, 2005). hlm. 409. 4 Ibid., hlm. 410.
3
dalam perang yang luhur untuk membentuk suatu tatanan baru di kawasan Asia5. Propaganda merupakan cara yang tepat untuk mempengaruhi sikap, pandangan, dan perilaku orang lain. Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, propaganda dijalankan untuk mencapai tujuan yang diinginkan Jepang. Demi tercapainya tujuan, propaganda tentunya membutuhkan teknik yang tepat agar menjadi efektif seperti yang yang diharapkan. Sejak awal pendudukannya, propaganda merupakan kewajiban pokok dan merupakan salah satu hal yang paling penting dari pemerintahan militer Jepang. Langkah awal yang dilakukan oleh pemerintah militer Jepang adalah membentuk suatu departemen propaganda yang bertugas untuk menyampaikan informasi serta kegiatan yang bersifat propaganda. Departemen propaganda ini kemudian dibagi ke dalam beberapa badan yang memiliki kewajiban serta fungsi masing-masing dalam kegiatan propaganda. Departemen propaganda, Sendenbu, dibentuk sebagai bagian dari pemerintahan militer (Gunseikanbu) pada Agustus 1942 6 . Jaringan propaganda tersebut dikembangkan ke setiap daerah di Jawa. Staf propaganda Jepang pun dikirim ke kota-kota besar untuk menjalankan misi propaganda. Dari setiap kota tersebut juga didirikan badan-badan propaganda daerah agar dapat menjangkau daerah-daerah pelosok7. Ketika menduduki Indonesia, Jepang memanfaatkan berbagai sarana sebagai media propagandanya. Orang-orang yang terlibat dalam propaganda
5
Ibid. Kurasawa, Aiko. Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945. (Jakarta: PT Grasindo, 1993), hlm. 229. 7 Ibid., hlm. 232. 6
4
memiliki latar belakang yang berbeda. Mulai dari reporter dan editor surat kabar, penyair, novelis, penyiar radio, produser film, bahkan juga guru. Guru-guru sekolah, para seniman, tokoh-tokoh yang anti-Belanda dipekerjakan untuk tujuan propaganda pemerintah pendudukan Jepang8. Jepang menganggap media audiovisual merupakan media yang paling efektif bagi penduduk desa yang pada masa itu kebanyakan masih buta huruf dan kurang berpendidikan. Film, sandiwara, dan juga radio banyak digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan propaganda. Majalah, surat kabar, buku, dan media tulis lainnya dianggap akan lebih berdampak pada masyarakat kota yang sudah lebih terdidik. Dengan demikian, Jepang
lebih
sering
menggunakan
cara
mengirim
kelompok-kelompok
propagandis yang berpindah dari satu daerah ke daerah lain sambil melakukan pertunjukan yang menarik penonton karena menyadari bahwa penduduk desa haus akan hiburan9. Pertunjukan kesenian yang diadakan memiliki fungsi utama sebagai alat propaganda dan komunikasi, sedangkan fungsi sebagai hiburan serta seni menjadi nomor dua. Pertunjukan yang diadakan oleh propagandis Jepang salah satunya adalah sandiwara. Ketika Jepang menduduki Indonesia, sandiwara modern di Indonesia belum memiliki sejarah yang panjang. Kelompok sandiwara pertama dibentuk oleh orang Indo-Eropa, baru setelah itu berkembang secara perlahanlahan di kalangan pribumi. Pada awalnya, sandiwara Indonesia hanya berupa tarian, nyanyian, dan musik tradisional saja. Baru kemudian sekitar tahun 1920-an
8
Nagazumi, Akira. Pemberontakan Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hlm. 9. 9 Kurasawa, Op. Cit., hlm. 237.
5
terdapat perubahan yang cukup berarti bagi perkembangan sandiwara. Hal ini ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok baru yang menampilkan cerita berdialog dengan topik-topik yang mencerminkan kehidupan sehari-hari10. Masih kurang berkembangnya sandiwara Indonesia tentu saja menjadi kesempatan
yang
baik
bagi
pemerintah
pendudukan
Jepang
untuk
memanfaatkannya. Jepang pun kemudian melakukan terobosan-terobosan untuk mengembangkan sandiwara Indonesia meskipun dengan maksud tertentu di baliknya. Pemerintah pendudukan Jepang pertama-tama berusaha meningkatkan kualitas serta mengubah gambaran mengenai sandiwara. Pada masa itu, sandiwara belum begitu diperhatikan oleh kalangan terpelajar. Kaum terpelajar menganggap sandiwara kurang begitu berharga dibandingkan dengan bentuk kesusastraan lainnya seperti novel dan puisi serta dianggap sebagai hiburan murahan bagi kaum tak terpelajar. Jepang kemudian mengangkat standar sandiwara menjadi seni panggung11. Sebuah organisasi yang khusus menangani propaganda di bidang kesenian yang merupakan cabang luar Sendenbu, yaitu Keimin Bunka Shidosho pun didirikan oleh pemerintah Jepang. Keimin Bunka Shidosho merupakan satu badan yang bertujuan untuk mempromosikan kesenian asli Indonesia, memperkenalkan dan menyebarkan kebudayaan Jepang, serta mendidik dan melatih para ahli kesenian12. Para pengarang, pelukis, musikus, dan juga dramawan dikumpulkan dalam wadah Keimin Bunka Shidosho dan dikerahkan untuk membuat sajak, lagu10
Ibid., hlm. 246. Ibid. 12 Djawa Baroe, No. 8 thn. 2603 (1943), hlm. 8. 11
6
lagu,
lukisan,
sandiwara,
slogan-slogan
yang
dapat
digunakan
untuk
membangkitkan semangat serta menambah kepercayaan rakyat pada keunggulan bala tentara Jepang13. Meskipun Keimin Bunka Shidosho menjadi wadah bagi pengembangan sandiwara Indonesia, para seniman sandiwara tidak bisa sepenuhnya bebas untuk membuat sandiwara yang sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini dikarenakan pemerintah pendudukan Jepang memberlakukan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh para seniman. Aturan yang dikeluarkan berkaitan dengan jenis cerita apa yang boleh dipentaskan dan juga tema apa yang harus ditekankan. Naskah sandiwara yang telah dihasilkan juga harus diperiksa oleh badan sensor sebelum ditampilkan. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini akan membahas mengenai propaganda yang dijalankan oleh pemerintah Pendudukan Jepang di Indonesia dengan menggunakan sandiwara sebagai salah satu media. Media audio-visual diyakini oleh pemerintah Jepang sebagai media yang efektif dalam menyebarkan pesan propaganda. Penulis juga tertarik dengan sikap seniman sandiwara dengan adanya berbagai macam kebijakan yang dibuat pemerintah pendudukan Jepang dalam bidang sandiwara. Tema ini menjadi menarik untuk dikaji karena dapat menambah khazanah pengetahuan sejarah Indonesia pada masa pendudukan Jepang.
13
Rahmanto, B. Politik Penguasa dan Siasat Pemoeda. (Yogyakarta: Kanisius, 1994),
hlm. 124.
7
1.2 Rumusan Masalah Pada saat menduduki Indonesia, Jepang melangsungkan propaganda pada semua bidang yang ada. Semua itu dilakukan dengan tujuan untuk mengambil simpati rakyat Indonesia dan juga mempengaruhi rakyat agar mau mendukung Jepang pada perang Pasifik. Media propaganda yang dianggap cukup efektif adalah audio-visual, salah satunya adalah sandiwara. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana pemerintah pendudukan Jepang memanfaatkan sandiwara sebagai media propagandanya di Indonesia? 2. Bagaimana sikap seniman sandiwara dengan adanya berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pendudukan Jepang? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini tidak akan membahas mengenai sandiwara secara umum. Penelitian ini difokuskan pada pembahasan mengenai sandiwara yang dijadikan sebagai media propaganda oleh pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia pada kurun waktu 1942 hingga 1945. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai bagaimana pemerintah pendudukan Jepang memanfaatkan sandiwara sebagai salah satu media propagandanya di Indonesia serta memaparkan sikap seniman sandiwara terhadap berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pendudukan Jepang sehubungan dengan propaganda melalui sandiwara.
8
1.4 Tinjauan Pustaka Sudah ada beberapa penelitian dalam bentuk buku maupun laporan hasil penelitian yang membahas mengenai sandiwara pada pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1942 sampai tahun 1945. Buku yang ditulis oleh Cahyaningrum Dewojati pada tahun 2012 berjudul Drama: Sejarah, Teori, dan Penerapannya, menjelaskan mengenai seluk beluk drama, mulai dari jenis-jenisnya, sejarah perkembangannya, hingga penerapan teori untuk pengkajian teks sandiwara secara akademis. Di dalam buku tersebut dijelaskan mengenai konsep serta genre drama, sejarah drama dan teater Barat, perkembangan drama di Indonesia serta macam-macam teater tradisional. Dalam pembahasan mengenai sejarah drama di Indonesia, disinggung pula sandiwara pada masa pendudukan Jepang. Artikel berjudul Drama di Masa Pendudukan Jepang (1942-1945): Sebuah Catatan Tentang Manusia Indonesia di Zaman Perang yang ditulis oleh M. Yoesoef pada tahun 2010, menjelaskan adanya nuansa propaganda yang cukup kuat pada naskah sandiwara yang dipentaskan pada masa pendudukan Jepang. Naskah sandiwara pada masa itu sebagian besar menceritakan mengenai peristiwa yang berkaitan dengan tentara Jepang, pentingnya membantu tentara Jepang, semangat pemuda untuk ikut bergabung dalam tentara Pembela Tanah Air serta propaganda tentang upaya pembangunan budaya Timur dan mengikis budaya Barat. Dijelaskan pula bahwa hampir semua sandiwara yang ditulis pada masa Jepang mengungkapkan semangat zaman yang digerakkan oleh dinas propaganda pemerintah militer Jepang.
9
Penelitian oleh Dewi Yuliati pada tahun 2010 yang berjudul Sistem Propaganda Jepang di Jawa 1942-1945 menjelaskan mengenai sistem propaganda Jepang telah dipersiapkan secara matang dari tingkat pemerintahan pusat sampai ke daerah-daerah. Lembaga-lembaga, metode, materi, dan kemasan materi propaganda merupakan jaringan integral yang sulit untuk dipisahkan, karena semua itu dikontrol secara ketat dengan pemberlakuan undang-undang yang sangat mengikat kebebasan arus komunikasi pada masa itu. Propaganda dalam bentuk kesenian sangat diutamakan oleh Jepang karena kesenian dengan nilai entertainingnya dapat mengurangi kesadaran khalayak bahwa mereka telah diindoktrinasi. Tinjauan pustaka selanjutnya adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Rivai Idris yang berjudul Fasisme Jepang di Panggung Sandiwara Indonesia (1942-1945) pada tahun 2013. Dalam penelitian ini dijelaskan mengenai kebijakan fasisme Jepang yang menjadikan sandiwara sebagai salah satu sarana propaganda mereka. Disebutkan juga mengenai peran sandiwara modern sebagai ‘kendaraan’ untuk mempengaruhi pikiran masyarakat Jakarta. Seni sandiwara digunakan sebagai penyalur bakti kepada pemimpin agar mendukung peperangan serta mewujudkan cita-cita politik Jepang. Berdasarkan data yang ditemukan, penelitian yang membahas mengenai propaganda pemerintah pendudukan Jepang melalui sandiwara telah ada. Namun, yang membahas lebih jauh mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang dalam menjalankan propaganda melalui sandiwara sejauh ini belum ditemukan. Penulis juga akan memaparkan mengenai sikap para seniman sandiwara pada
10
masa itu dalam menerima kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang. Dengan demikian penelitian ini tidak akan mengulangi apa yang telah dilakukan oleh para penulis di atas. 1.5 Kerangka Teori Penelitian ini nantinya akan memaparkan bagaimana propaganda melalui sandiwara yang dilaksanakan oleh pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia dalam rentang waktu tahun 1942-1945. Pemerintah pendudukan Jepang melakukan berbagai cara demi tercapainya tujuan propaganda. Selain dalam bidang politik dan pemerintahan, Jepang juga tidak segan-segan menggunakan kesenian serta kesusatraan sebagai media propaganda mereka. Berbagai kebijakan mengenai propaganda pun diambil oleh pemerintah pendudukan Jepang. Dengan dalih mengembangkan kebudayaan Timur 14 , Jepang mencoba menarik simpati kalangan seniman, tak terkecuali seniman sandiwara. Propaganda diartikan sebagai penerangan (paham, pendapat) yang benar atau salah yang dikembangankan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu, biasanya disertai dengan janji yang muluk-muluk 15 . Tujuan dari porpagandis adalah untuk mengontrol sikap dari sebuah kelompok dan pada akhirnya dapat mengontrol tindakan mereka 16 . Propaganda adalah usaha atau kegiatan di mana komunikator17 telah mempunyai
14
Pada masa pendudukan Jepang terdapat istilah Dai toua bunka yang berarti “kebudayaan Asia Timur Raya”. 15 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat 2014, hlm. 1105. 16 Doob, Leonard W. Propaganda its Psychology and Technique. (New York: Henry Holt and Company, 1943), hlm. 94. 17 Orang atau kelompok orang yang menyampaikan pesan kepada komunikan.
11
niat untuk memulainya mengendalikan sikap dan tingkah laku orang lain. Cara yang digunakan adalah dengan menyebarkan berita yang telah diatur sedemikian rupa yang tujuannya untuk menarik perhatian. Berita yang disebarkan, diharapkan untuk bisa merangsang emosi baik yang rasional maupun yang irasional18. Lasswell berpendapat bahwa perubahan sikap yang dilakukan oleh propagandis19 cenderung berupa sikap yang disengaja, sehingga kegiatan dalam mengubah sikap seseorang ini berbeda dengan pendidikan. Propaganda bukan suatu cara yang sengaja dilakukan untuk membuat pendengar merenungkan apa yang disampaikan, menganalisa apa yang disampaikan atau dikemukakan, memikirkan apa yang dikemukakan dan juga tidak untuk dicari kelemahan atau dicari permasalahannya sehingga bisa mengajukan pertanyaan. Jika diperhatikan lebih jauh, sebenarnya propaganda mengundang orang untuk mengubah sikap dan tingkah laku atau memperteguh sikap dan tingkah lakunya dan untuk melibatkan orang pada suatu bentuk kegiatan20. Untuk mengetahui dan lebih mengerti mengenai pengaruh kebijakan dan sikap para seniman sandiwara terhadap propaganda Jepang, penulis menggunakan konsep kekuasaan. Kekuasaan dianggap sebagai suatu kemampuan dari pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku pelaku terakhir tersebut menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang memiliki kekuasaan. Dalam hal ini pelaku bisa berupa seseorang, sekelompok
18
Sunarjo, Djoenaesih S. Propaganda (Konsep dan strategi di Uni Soviet). (Yogyakarta: Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 1980), hlm.9. 19 Orang yang pekerjaan tetapnya melakukan propaganda. 20 Sunarjo, Op. Cit., hlm.10.
12
orang, atau suatu kolektivitas. Jadi, A mempunyai kekuasaan atas B jika A dapat menyebabkan B untuk bertindak sesuai dengan keinginan A21. Pengaruh dapat dilihat sebagi bentuk khusus atau bentuk lunak dari kekuasaan. Pengaruh berusaha mencapai tujuannya dengan jalan meyakinkan (persuasi) dan membujuk, atau dengan cara lain misalnya memberikan informasi yang lengkap, atau menyediakan konsultasi atau tenaga ahli. Pengaruh biasanya tidak merupakan satu-satunya faktor yang menentukan tingkah laku pelaku, akan tetapi sering bersaing dengan pengaruh lain, dan bagi pelaku masih terbuka alternatif lain untuk bertindak atau memilih. Sekalipun pengaruh sering kurang efektif daripada kekuasaan, pengaruh kadang-kadang mengandung unsur psikologis dan menyentuh hati karena itu sering kali cukup membawa hasil22. 1.6 Metode Penelitian Dalam melaksanakan penelitian mengenai penggunaan sandiwara sebagai media propaganda pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia ini menggunakan metode historis yang meliputi pengumpulan data, verifikasi data, analisis, serta pemaparan hasil analisis. Tahap awal dalam penelitian sejarah adalah pengumpulan data. Data dikumpulkan melalui studi pustaka, yaitu mencari data dari buku, majalah, dan juga surat kabar yang berkaitan dengan masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dari data yang berhasil diperoleh kemudian diklasifikasikan
21
Budiardjo, Miriam. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), hlm. 9-10 22 Ibid., hlm. 11.
13
sebagai data primer dan data sekunder. Data-data utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa: 1. Majalah dwimingguan Djawa Baroe. 2. Surat kabar Soeara Asia. 3. Majalah Keboedajaan Timoer. 4. Nomor Kenang-kenangan 1 Tahoen Soeara Asia. Majalah dan surat kabar yang terbit selama kurun waktu antara tahun 1942 hingga 1945 tersebut menjadi acuan bagi penulis dalam memperoleh informasi mengenai kegiatan propaganda selama masa pendudukan Jepang di Indonesia. Majalah dan surat kabar tersebut dapat diakses di Perpustakaan Nasional RI. Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan sumber literatur berupa buku, artikel, serta jurnal berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa Jepang. Datadata tersebut kemudian diverifikasi dan kemudian dipilih yang memiliki relevansi terhadap tema yang sedang dibahas. Setelah data-data pendukung penelitian diperoleh, maka selanjutnya dilakukan analisis data. Tahap terakhir dalam penelitian ini adalah penyajian hasil analisis. Analisis data penelitian kualitatif berlangsung mulai dari awal penelitian sampai penelitian berakhir yang dituangkan dalam laporan. Interpretasi atau penafsiran data dilakukan dengan mengacu kepada rujukan teoritis yang berhubungan dengan masalah penelitian.Tahap terakhir adalah penyusunan hasil penelitian dalam bentuk historiografi.
14
1.7 Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembaca dalam memahami alur pembahasan, maka penelitian ini akan diuraikan dalam beberapa bab pembahasan dengan sistematika sebagai berikut: Bab I berisi latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori yang digunakan, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berupa penjelasan mengenai awal kedatangan Jepang di Indonesia serta badan propaganda bentukan pemerintah pendudukan Jepang. Bab III berisi penjelasan mengenai perkembangan sandiwara pada masa sebelum kemerdekaan. Pada bab IV akan dipaparkan mengenai berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Jepang dalam bidang sandiwara. Analisis pengaruh kebijakan pada seniman sandiwara juga akan dibahas pada bab ini. Bab V merupakan penutup yang berupa kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.