BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gaung Pulau Bali sebagai daerah tujuan wisata di Indonesia sangat terdengar jelas. Setiap kali mendengar nama Pulau Bali, yang langsung terlintas di kepala setiap orang adalah wisata. Tidak dapat dipungkiri bahwa pesona yang dimiliki Pulau Bali memang tidak akan pernah ada habisnya untuk dinikmati dan ditelusuri. Kekayaan alam, budaya dan keramahtamahan masyarakatnya menjadi paket lengkap dari daya tarik Pulau Bali. Hal inilah yang menjadikan Pulau Bali sangat identik dengan pariwisata. Bali yang terdiri dari 9 kabupaten/kota, 57 kecamatan dan 716 desa memiliki potensi wisata yang sangat besar. Semua bagian dari Pulau Bali bisa dikembangkan untuk menjadi daya tarik wisata. Salah satu bagian dari Pulau Bali yang memiliki daya tarik adalah desa. Setiap desa yang ada di Pulau Bali memiliki keunikan tersendiri bagi setiap orang yang berkunjung ke Bali. Keunikan desa yang ada di Pulau Bali yaitu dari segi alam dan budaya. Keunikan inilah yang menjadi salah satu alasan terbentuknya desa wisata di Pulau Bali. Perkembangan desa wisata di Pulau Bali sangat pesat. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya desa yang dikembangkan menjadi desa wisata, seperti yang diutarakan oleh Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Periode 2009-2013), Ida Bagus Subhiksu dalam kompas.com 30 Oktober 2013 bahwa :
1
“Pemda Bali mencanangkan program pengembangan 100 desa wisata dalam program pembangunan Bali bidang pariwisata. Ini untuk mengembangkan destinasi wisata di Bali.” Pernyataan ini mengindikasikan bahwa pemerintah cukup menaruh perhatian dalam pengembangan serta pertumbuhan desa wisata di Bali. Secara umum, perkembangan desa wisata terjadi karena pergeseran pariwisata massal menjadi pariwisata alternatif, dimana desa wisata juga merupakan salah satu bentuk pariwisata alternatif. Wisatawan semakin sadar akan dampak yang terjadi akibat adanya pariwisata massal, sehingga mereka mulai beralih ke pariwisata alternatif. Dampak-dampak yang terjadi akibat adanya pariwisata massal terjadi di berbagai bidang, baik secara perekonomian, lingkungan dan sosial budaya. Seperti yang diungkapkan oleh Arida (2010) dalam penelitiannya, bahwa konsekuensi dibukanya Bali bagi pengembangan pariwisata massal berakibat pada terjadinya degradasi lingkungan dalam berbagai ranah, seperti berkurangnya ruang publik di pantai, perusakan sempadan sungai oleh pembangunan hotel atau villa, pengambilan air tanah secara berlebihan dan sebagainya. Melihat hal itu, para stakeholder mulai menggali potensi yang dimiliki oleh setiap daerah dan sebisa mungkin mengelolanya menjadi bentuk pariwisata alternatif. Ini merupakan langkah yang positif tentunya dan juga untuk mewujudkan pariwisata yang sifatnya berkelanjutan. Keberlanjutan pariwisata tentunya dapat dilakukan dengan meminimalisir dampak yang terjadi akibat adanya pariwisata itu sendiri. Namun, mewujudkan pariwisata berkelanjutan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Semua pihak harus benar-benar terlibat di dalamnya. Pihak-pihak yang dimaksudkan
2
dalam hal ini adalah stakeholder pariwisata, yang terdiri dari pihak pemerintah, pihak swasta dan masyarakat lokal. Demi mewujudkan pariwisata yang sifatnya berkelanjutan, maka partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sebuah destinasi wisata terutama yang tergolong pariwisata alternatif sangat dibutuhkan. Hal ini diperlukan karena tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat lokallah yang menjadi penerima langsung dampak yang ditimbulkan oleh pengembangan pariwisata di sebuah destinasi wisata. Sebagai contoh, hasil penelitian yang dilakukan oleh Wowor (2011) di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara dimana persoalan sampah akibat kegiatan pariwisata menjadi momok bagi masyarakat lokal di Bunaken. Bahkan ketika sampah terdampar di Bunaken, bukan saja menjadi beban bagi penduduk Bunaken sekarang tetapi dalam jangka panjang akan menjadi masalah bagi penduduk Bunaken di masa yang akan datang dan bagi pengembangan pariwisata itu sendiri. Selain itu, keberadaan dan partisipasi masyarakat lokal di sebuah destinasi wisata menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan dan keberlanjutan destinasi wisata tersebut. Keberlanjutan pengembangan pariwisata sangat bergantung pada besarnya kontrol masyarakat lokal terhadap daerahnya. Ini menjadi penting mengingat masyarakat lebih mengetahui dan mengenal kondisi daerahnya dibandingkan dengan orang lain di luar komunitasnya. Arismayanti (2010) mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini, peran masyarakat lokal dalam partisipasinya mengontrol lingkungan tempat tinggalnya semakin minim, sehingga masyarakat lokal semakin terpinggirkan, atau semakin terdesaknya
3
masyarakat
lokal
dari
prosedur
pengambilan
keputusan,
dan
semakin
mengkhawatirkan keberlanjutan pembangunan pariwisata itu. Berbeda dengan fenomena-fenomena yang terjadi di atas, salah satu desa yang ada di Pulau Bali, menunjukkan sebuah bentuk pengelolaan pariwisata yang jarang diterapkan pada pengelolaan destinasi wisata lainnya. Desa yang dimaksudkan adalah Desa Wisata Blimbingsari yang terletak di Kabupaten Jembrana. Bentuk pengelolaan yang diterapkan oleh desa ini adalah pengelolaan pariwisatanya yang berbasis masyarakat. Selain itu, desa ini juga memiliki keunikan yaitu adanya pembauran antara budaya Bali yang sangat kental dengan penduduk yang memiliki latar belakang agama yang berbeda dengan mayoritas penduduk Bali pada umumnya. Melihat fenomena-fenomena tersebut, maka penelitian ini penting dilakukan dalam mengkaji sebuah organisasi pariwisata sebagai bentuk keterlibatan masyarakat dalam pengembangan sebuah destinasi pariwisata, khususnya pariwisata alternatif. Oleh karena itu, perlu mengidentifikasi jenis partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan di Desa Wisata Blimbingsari, kemudian mengetahui status dan peran dari organisasi pariwisata yang ada serta mengetahui seperti apa implikasi yang terjadi dengan keberadaan organisasi pariwisata tersebut. Selain itu, penelitian ini juga penting untuk dilakukan karena tidak semua destinasi wisata melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaannya. Seperti yang diungkapkan oleh Damanik (2009), bahwa pengembangan desa wisata di Indonesia lebih banyak difasilitasi negara, sedangkan masyarakat cenderung pasif. 4
1.2. Rumusan Masalah 1. Apa jenis partisipasi masyarakat di Desa Wisata Blimbingsari Kabupaten Jembrana? 2. Bagaimana status dan peran Komite Pariwisata yang ada di Desa Wisata Blimbingsari Kabupaten Jembrana? 3. Apa implikasi dari keberadaan Komite Pariwisata bagi kepariwisataan di Desa Wisata Blimbingsari? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengidentifikasi jenis partisipasi masyarakat di Desa Wisata Blimbingsari Kabupaten Jembrana. 2. Untuk mengetahui status dan peran Komite Pariwisata yang ada di Desa Wisata Blimbingsari Kabupaten Jembrana. 3. Untuk mengetahui implikasi dari keberadaan Komite Pariwisata bagi kepariwisataan di Desa Wisata Blimbingsari. 1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu : 1. Manfaat Akademis Dengan dilakukannya penelitian ini, secara akademis diharapkan dapat menambah wawasan dalam bidang pariwisata, yaitu dalam memahami partisipasi masyarakat di sebuah destinasi wisata khususnya di desa
5
wisata. Selain itu, dapat juga dijadikan landasan untuk penelitian sejenis yang lebih mendalam lagi. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi pihakpihak pengelola pariwisata bahwa partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan
sebuah
destinasi
wisata
sangat
diperlukan
untuk
kesejahteraan masyarakat lokal dan keberlangsungan sebuah destinasi, dalam hal ini Desa Wisata Blimbingsari. 1.5. Sistematika Penulisan Penelitian yang berjudul “Komite Pariwisata sebagai Bentuk Partisipasi Masyarakat di Desa Wisata Blimbingsari Kabupaten Jembrana” ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diuraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II
: LANDASAN KONSEP DAN TEORI ANALISIS Dalam bab ini diuraikan hasil penelitian sebelumnya dan deskripsi konsep meliputi Landasan Konsep dan Teori Analisis tentang : konsep masyarakat, konsep desa wisata, konsep religious tourism, konsep community based tourism (CBT),
6
konsep kedudukan (status) dan peranan (role), konsep implikasi, tipologi partisipasi masyarakat serta teori struktural fungsional. BAB III : METODE PENELITIAN Dalam bab ini diuraikan tentang lokasi penelitian, ruang lingkup penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik penentuan informan dan teknik analisis data BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan diuraikan tentang gambaran umum lokasi penelitian, hasil dan pembahasan terhadap masalah yang diteliti. BAB V
: SIMPULAN DAN SARAN Bagian ini merupakan bagian penutup yang terdiri atas simpulan yang diperoleh dari hasil dan pembahasan tentang permasalahan yang diteliti dan saran-saran bagi hasil penelitian tersebut.
7