BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Jakarta tumbuh dan berkembang hingga menjadi pusat pemerintahan, kondisi ibukota Jakarta saat ini sudah menjadi kota metropolitan yang sangat dipengaruhi oleh modernisasi. Secara historis, proses urbanisasi di kota Jakarta sudah terjadi sejak awal berdiri. Pertambahan penduduk akibat banyaknya pendatang dari beberapa provinsi lain yang ingin mengadu nasib di Ibukota menjadi dampak yang tidak bisa terbendung. Alhasil, Jakarta diserbu oleh para pendatang dan proses menetapnya masyarakat urban tersebut memunculkan budaya-budaya baru yang berkiblat pada modernisasi. Ada tiga karakteristik dari urban culture, yaitu ukuran (size), kepadatan (density) dan heterogenitas (heterogenity) (Soemantri, 2007:11). Tiga karakteristik tersebut menimbulkan konsekuensi dalam suatu kota, seperti marginalisasi dan masalah identitas sosial. Ini dikarenakan semakin besar ukuran, kepadatan dan heterogenitas suatu masyarakat di kota, semakin besar pula diferensiasi sosial dalam masyarakat. Transformasi desa kota yang terpacu oleh proses pemekaran kota dalam skala perubahan yang tinggi dan tak terkendali cendrung mendorong ke arah komitmen pengintegrasian sistem kehidupan budaya modern perkotaan sebagai satu-satunya konsekuensi. Masyarakat kota merupakan produk dari kekuatan sosial yang bersifat kompleks. Semakin besar pertambahan
1
2
penduduk, akan semakin jelas corak kekotaan suatu tempat. Akibatnya ikatan sosial yang didasarkan pada tradisi menjadi lemah, luntur bahkan menghilang. Membludaknya kaum pendatang yang membanjiri Jakarta harus dibayar mahal. Etnis Betawi sebagai etnis khas Jakarta eksistensinya kian terancam. Data dari Badan Pusat Statistik menyatakan jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2010 adalah sebanyak 9.607.787 jiwa (BPS, 2010). Jika jumlah etnis Betawi saat ini hanya 25% dari empat juta yang tinggal di Jakarta, maka hanya ada satu juta jiwa penduduk etnis Betawi di antara 9 juta lebih penduduk Jakarta (sekitar 10,4% saja). Meskipun etnis Betawi merupakan warga asli, namun keberadaannya saat ini semakin terpinggirkan (Knorr, 2007 dalam Firdaus 2015). Proses marginalisasi etnis Betawi sudah berlangsung sejak lama dikarenakan etnis ini merupakan fusi dari berbagai etnis seperti Jawa, Arab, Cina, Sunda, Melayu dan beberapa etnis lain. Secara identitas kultural etnis Betawi tidak tunggal karena berasal dari berbagai macam latarbelakang budaya. Etnis Betawi menyatu berdasarkan geografis (wilayah) yang berada di Jakarta dan telah menetap dalam jangka waktu yang lama. Masyarakat Betawi kini banyak yang pindah ke pinggiran Jakarta dan tinggal di kota Depok, tangerang, bekasi dan serang. Etnis Betawi yang semakin marginal juga tidak lepas dari struktur kekuasaan yang terus mengancam keberadaan mereka. Kontribusi Orde lama dengan semangat pembangunan mampu merelokasi penduduk Betawi di daerah Senayan, Petunduan, Pejompongan dan Bendungan (kampung Betawi besar di Selatan) ke arah Tebet dan sekitarnya,
3
beberapa pindah lebih jauh ke daerah Pasar Minggu, Srengseng dan sekitar Ciputat. Sementara itu kontribusi orde baru semakin membatasi ruang Betawi untuk berkembang, penggusuran demi penggusuran demi perumahan elit, perkantoran dan lahan industri baru. Keberadaan orang Betawi yang kurang dalam memegang peranan penting di institusi pemerintahan mengakibatkan orang Betawi sangat tergantung kepada pemerintah. Dari sekian banyak etnis di indonesia, etnis Betawi adalah etnis yang semakin tergusur dan semakin sedikit karena pembangunan (Suprapto, 2012). Lebih jauh Yasmine Z. Shahab (2001) menyatakan dalam penelitiannya bahwa jika tidak ada orang pemerintahan yang melakukan rekacipta tradisi orang Betawi maka kebudayaan itu akan hilang seiring berjalannya waktu. Untuk mempertahankan Etnis Betawi, ditetapkanlah Condet sebagai kawasan perkampungan Betawi pada masa kepemimpinan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dalam perjalanannya, Condet terus bergerak dan berkembang. Berbagai macam perubahan terjadi di daerah tersebut. Hasilnya Condet tidak mampu bertahan dan kawasan perkampungan Betawi dipindahkan ke Setu Babakan, Kawasan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Perpindahan ini tentu saja mengandung berbagai aspek yang tak dapat dipisahkan dari perubahan sosial yang terjadi di Condet sebagai bagian yang terintegrasi dari struktur sosial, politik dan ekonomi Jakarta. Condet menjadi keniscayaan ketika harus terkorporasi dalam pembangunan Jakarta. Penetapan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan merupakan “space” untuk masyarakat etnis Betawi dalam upaya resistensi
4
terhadap modernisasi budaya. Tidak sedikit dari masyarakat asli Betawi mengalami de-Betawisasi. Masyarakat Betawi ibarat orang pedalaman di tengah kota yang dianggap tidak layak, karenanya Betawi tidak diperhatikan oleh pembangunan. Perkampungan Budaya Betawi merupakan kampung rekayasa yang dibangun untuk suatu kebutuhan identitas dan sejarah. Jadi sesungguhnya masyarakat dan budaya Betawi masih ada dan hidup berdampingan dengan menyesuaikan perkembangan jaman, hanya saja ironisnya sudah tidak memiliki wilayah yang strategis. Betawi sebagai etnis yang mendiami Jakarta lebih lama dibandingkan para pendatang kini semakin terpinggirkan keberadaannya. Yazmine Z. Shahab (1997) menyebutkan bahwa adanya stereotip mengenai orang Betawi seperti memiliki pendidikan rendah, tidak mampu berkembang, tidak kritis, enggan menerima budaya modern dan lain sebagainya. Hasil dari pengkristalan perilaku kolektif masyarakat menciptakan suatu budaya yang khas. Duncan (1980, dalam Gresswell, 2013) mengatakan bahwa budaya adalah produk dari masyarakat dan mengarahkan tindakan manusia. Sikap egaliter orang Betawi menyebabkan terjadinya proses pencampuran baik dari segi bahasa maupun pemikiran. Dibutuhkan sikap kritis masyarakat Betawi untuk menanggapi berbagai informasi yang bergulir agar tidak terbawa arus dan menghilang. Sikap egaliter orang Betawi dalam menanggapi perubahan dan perbedaan para pendatang tidak ditanggapi dengan kekerasan, bahkan mereka menjaga kerukunan agar hidup nyaman.
5
Memahami situasi orang Betawi untuk bersikap dan bertindak kritis tidak lepas dari pengalaman yang membentuk cara pandang seseorang terhadap sebuah peristiwa di sekitarnya. Pasca rezim Soeharto Betawi mulai memperlihatkan
perannya
pada
dunia
perpolitikan
lokal,
kemudian
bermunculan lembaga Betawi yang mewadahi kebutuhan mereka seperti Badan Musyawarah Betawi (Bamus Betawi) dan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) yang merupakan bentuk nyata dari sikap kritis mereka terhadap melihat fenomena sosial politik etnis Betawi. Munculnya para agensi sosial dan budaya yang secara institusional maupun individu memliki kepentingan atas “proyek kebudayaan” Setu Babakan, maka fenomena tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan konsep Arena, Habitus, Agensi, Modal dan Doxa yang dikenalkan oleh Bourdieu. Perkampungan Budaya Betawi (PBB) dapat dikatakan menjadi arena kultural dengan praktik rekacipta politik dan budaya dimana para agensi yang terlibat di dalamnya seperti pemerintah (Unit Pengelola Kawasan) dan elit Betawi dalam naungan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Forum Pengkajian dan Pengembangan (jibang), Satuan Tugas (satgas), masyarakat Betawi dan non Betawi saling bertukar modal untuk mendapatkan kepentingannya masing-masing. Modal yang mereka bawa adalah modal ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Praktik rekacipta yang terjadi di Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu babakan menjadi menarik untuk diteliti dan dikaji lebih mendalam dalam sebuah tesis dengan judul “Agensi Sosial dan Budaya dalam Praktik Rekacipta Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan“.
6
B. RUMUSAN MASALAH Dari paparan diatas, secara ringkas dapat dirumuskan ke dalam perumusan masalah yang menjadi acuan penelitian dengan beberapa pertimbangan berdasarkan keterbatasan dan kemampuan penelitian. Rumusan masalah tersebut adalah sebagaimana dirumuskan ke dalam dua pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan menjadi arena rekacipta politik, ekonomi, sosial dan budaya ? 2. Bagaimana peran agensi sosial dan budaya dalam praktik rekacipta Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan ?
C. TUJUAN PENELITIAN Berdasar uraian pada latarbelakang dan rumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengidentifikasi latar belakang munculnya Perkampungan Betawi Setu Babakan sebagai arena rekacipta politik, sosial, ekonomi dan budaya. 2. Mengidentifikasi peran agensi sosial dan budaya yang terlibat dalam praktik rekacipta Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.
7
D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik secara teoritis maupun praktis, berikut uraiannya. 1. Manfaat teoritis Secara teoritis, manfaat penelitian ini terdiri dari dua hal, yaitu untuk keperluan pengembangan ilmu dan keperluan pengembangan penelitian selanjutnya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran maupun gagasan dalam kajian sosiologi, terutama bagi pemikir kritis sosiologi budaya. Tentunya dalam penelitian ini masih terdapat kekurangan yang disebabkan oleh berbagai faktor baik intern maupun ekstern. Mengingat bahwa dinamika masyarakat selalu berkembang maka hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya. 2. Manfaat praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan referensi kepada masyarakat luas (khususnya Betawi) untuk dapat membuka wawasan tentang bagaimana, apa, siapa dan untuk siapa pengembangan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan itu dilakukan. Ilmuwan sosiologi dalam hal ini berperan mendefinisikan, mengolah informasi hingga menyajikannya, menyusun konsep dan selanjutnya berkerja sama dengan semua pihak dalam rangka sosialisasi hasil-hasil temuan peneltian kepada masyarakat luas sebagai wujud nyata pengabdian bagi pegembangan masyarakat. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi tata kehidupan masyarakat
8
di lingkungan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan pada khususnya, karena dapat mengkaji lebih dalam terkait konteks maupun konten oleh dan untuk siapa pengembangan budaya Betawi itu dilakukan.
E. PENELITIAN TERDAHULU Penelitian ini yang secara spesifik mengkaji tentang Agensi Sosial dan Budaya dalam Praktik Rekacipta Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan. Sejauh pengetahuan penulis penelitian terkait Betawi memang sudah banyak dilakukan tetapi jika melihat dari sisi kajian peran agensi sosial dan Budaya dalam praktik rekacipta Perkampungan Budaya Betawi (PBB) belum banyak dilakukan sebelumnya. Penelitian ini menitikberatkan pada praktik rekacipta Perkampungan Budaya Betawi (PBB) itu sendiri, dengan beberapa hal yang bersinggungan yaitu terkait politik, ekonomi, sosial, budaya (tradisi) dan pariwisata. Penelitian yang telah dilakukan Tahun 2015 oleh Muhamad Lutfi Firdaus dari fakultas Psikologi UGM dengan judul “Berpikir Kritis Pada Masyarakat Betawi”. Dalam penelitiannya Firdaus menitikberatkan pada konsep berpikir kritis dalam konteks budaya masih sangat jarang dilakukan. Selama ini konsep berpikir kritis selalu mengacu pada kajian psikologi Barat. Sedangkan di Indonesia memiliki berbagai macam suku/etnis/budaya dan tentunya setiap-setiap etnis mempunyai karakter tersendiri dalam pola pikirnya. Berpikir kritis diperlukan dalam memahami berbagai peristiwa keseharian dari berbagai sudut pandang dan pola pikir yang terbentuk.
9
Penelitian firdaus bertujuan untuk mengetahui konsep berpikir kritis pada masyarakat Betawi. Studi ini menggunakan pendekatan fenomenologi dan menggunakan analisis fenomenologi empirik. Alat yang digunakan untuk mengambil data penelitian adalah Lembar Vignette. Vignette berisikan gambaran situasi urutan berpikir kritis serta tanpa menyebutkan kata kritis dan diberikan beberapa pertanyaan untuk mengungkap cara berpikir kritis pada masyarakat Betawi. Penelitian tersebut mampu mengungkap bahwa dalam cara berpikir kritis masyarakat Betawi terdapat tiga tahap dalam proses berpikirnya. Tahap pertama adalah konseptualisasi, kedua adalah tahap kritikal, dan ketiga adalah pemecahan masalah. Poin ketiga dalam tahapannya terdapat proses penerimaan yang tidak terdapat dalam teori konsep berpikir kritis menurut kajian psikologi Barat. Dalam proses penerimaan terdapat pertimbangan norma masyarakat untuk menjaga keharmonisan yang menjadi bagian dari konsep dalam berpikir kritis mastarakat Betawi. Penelitian selanjutnya dilakukan tahun 2015 oleh Leski Rizkinaswara Yustafa dari Program Studi Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Dalam penelitiannya yang berjudul “Strategi Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Setu babakan Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya Di Provinsi DKI Jakarta” Leski menitikberatkan pada bagaimana potensi pariwisata di Perkampungan budaya Betawi dapat dioptimalkan oleh masyarakat setempat. Penelitiannya bertujuan untuk menganalisis potensi wisata yang ada di perkampungan budaya Betawi Setu Babakan dan strategi pengembangan
10
perkampungan budaya Betawi Setu Babakan sebagai objek wisata budaya di provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini menentukan potensi yang layak dikembangkan di perkampungan budaya Betawi Setu Babakan dan strategi pengembangannya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitiannya yaitu melalui analisis SWOT (Strenghts, weaknesses, opportunity, threats). Hasil dari penelitiannya adalah (1) perkampungan budaya Betawi Setu Babakan memiliki potensi budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Selain potensi budaya, perkampungan budaya Betawi Setu Babakan juga memiliki potensi wisata air dan wisata agro yang menjadi pelengkap wisata budaya yang menjadi unggulan dari objek wisata ini. (2) Faktor internal dan faktor eksternal memiliki pengaruh besar untuk mengembangkan perkampungan budaya Betawi Setu Babakan. (3) Matriks SWOT menunjukan bahwa ada beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk pengembangan perkampungan budaya Betawi Setu Babakan.
11
F. Teori Agensi, Arena, Habitus, Modal dan Doxa
Menurut Pierre
Bourdieu Kajian ini menempatkan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan Setu Babakan sebagai praktik rekacipta yang dibangun oleh pemerintah kota Jakarta melalui Pemerintah Daerah Jakarta Selatan. Dalam perspektif Pierre Bourdieu Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan Setu Babakan dapat dilihat sebagai sebuah arena kultural dengan praktik rekacipta politik, ekonomi, sosial dan budaya bagi sejumlah agen yang berpartisipasi di dalamnya. Berikut penjelasan teoritik yang disampaikan Bourdieu untuk dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di lapangan. a. Agen, Habitus dan Modal Agen dalam kelas sosial menentukan keberagaman budaya. Agen atau kelas agen menyembunyikan kesatuan dalam keberagaman dan multiplisitas. Teori Bourdieu berpusat pada agen dan reproduksi kelas dimana para praktik-praktik kelas meliputi selera makan, cara berpakaian, disposisi tubuh, model rumah dan pilihan sosial dalam kehidupan seharihari (Harker, 2009:139). Selanjutnya Chris Wilkes (Harker, 2009:145) menjelaskan kelas-kelas merupakan kumpulan agen yang menduduki posisi-posisi serupa yang ditempatkan dalam kondisi serupa dan ditundukkan pada pengkondisian serupa, memiliki segala kemungkinan untuk memiliki disposisi dan kepentingan serupa, dan karenanya memiliki segala
12
kemungkinan untuk mereproduksi praktik dan mengadopsi sikap mental serupa. Pierre Bourdieu (Harker, 2009:160) menjelaskan trajektori kelas sosial (fraksi-fraksi kelas) untuk merujuk pada gerakan di dalam struktur kelas. Konsepsi ini digunakan untuk menjelaskan berbagai perubahan dalam struktur kerja ataupun struktur kelas dalam lintasan waktu historis. Terma trajektori kelas juga merujuk pada kemajuan individual suatu agen kelas dalam lintasan sejarah hidup mengapa fraksi-fraksi kelas sosial tertentu dapat berbelok ke arah selera-selera kelas lainnya karena asal usul atau potensi terhadap keberadaan arah kelas lainnya. Kelas sosial didefinisikan Bourdieu berdasarkan struktur hubungan di antara semua barang milik bersangkutan yang memberi nilai spesifikasinya kepada mereka dan kepada dampak-dampak yang mereka desakkan pada praktikpraktik (Harker, 2009:165). Habitus dilihat sebagai produk pengkondisian sosial yang dapat ditransformasikan. Habitus menurut Bourdieu (Damsar, 2009:221) adalah keniscayaan yang diinternalisasikan dan dialihkan ke dalam disposisi yang melahirkan praktik bermakna dan persepsi yang memberikan makna. Habitus adalah disposisi umum dan dapat digerakkan yang mengandung aplikasi universal dan sistematis di luar batas hal-hal yang telah dipelajari secara langsung terhadap keniscayaan yang inheren dalam kondisi-kondisi belajar.
13
Habitus (Bourdieu, 2010:xv-xvi) adalah sistem diposisi yang bertahan lama dan bisa dipindahkan (transposable), struktur yang distrukturkan diasumsikan berfungsi sebagai penstruktur struktur-struktur, yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan praktik-praktik dan representasi-representasi yang bisa diadaptasikan secara objektif kepada hasil-hasilnya tanpa mengandaikan suatu upaya dasar mencapai tujuan-tujuan tertentu atau penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlakukan untuk mencapainya. Habitus digambarkan sebagai logika permainan (feel for the game) yang mendorong agen bertindak dan beraksi dalam situasi spesifik dengan suatu cara yang tidak selalu bisa dikalkulasikan sebelumnya dan bukan sekedar kepatuhan sadar pada aturan-aturan. Disposisi direpresentasikan oleh habitus bersifat: pertama, bertahan lama dalam rentang waktu tertentu dari kehidupan seorang agen. Kedua, bisa di-alih pindahkan dalam bentuk praktik di berbagai arena aktivitas yang beragam. Ketiga, struktur yang distrukturkan dengan mengikutsertakan
kondisi
sosial
objektif
dalam
pembentukannya.
Keempat, struktur-struktur yang menstrukturkan dimana praktik yang dilakukan sesuai dengan situasi khusus dan tertentu (Bourdieu, 2010:xvi). Kritik kepada Bourdieu adalah pada pemahamannya tentang konsep habitus, karena memberi penjelasan lebih dari yang ditentukan atas aksi sosial dari “determinisme struktural yang tak terhindarkan” di jantung pendekatan konseptualnya (Jenkins, 2010:79-83). Habitus dalam praktik
14
sebagai tindakan sosial merupakan suatu produk dari relasi antara habitus sebagai produk sejarah dan ranah yang juga merupakan produk sejarah. Tidak terhindarkan penggunaan strukturalis dalam pemikiran Bourdieu saat menjelaskan habitus sebagai struktur terdalam (deep structure) yang dijadikan referensi bagi tindakan perorangan dan masyarakat. Pelanggaran atasnya menjadikan kehidupan sosial terganggu, kurang nyaman dan bahkan tidak aman.
b. Relasi kuasa/perjuangan antar agen Ranah merupakan ruang interaksi terbatas dimana agen melakukan praktik. Ranah adalah jaringan antar posisi objektif. Posisi berbagai agen (individu atau kolektif) dalam ranah terkait dengan jumlah modal yang dimiliki, terutama modal ekonomi dan budaya. Modal ekonomi berupa harta kekayaan material, sedangkan modal budaya berupa modal pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat pembedaan atau penaksiran nilai, terutama berasal dari pendidikan (Damsar, 2009:220). Arena dibentuk dari jaringan relasi antara posisi yang dihuni oleh agen atau institusi. Arena juga berupa system kekuasaan antara posisiposisi yang menentukan apakah suatu posisi dominan, subordinat atau setara terhadap posisi lain, yang ditentukan oleh aksesnya terhadap sumber daya tertentu yang dihargai dan diperebutkan dalam arena tersebut. Sebuah arena selalu merupakan arena perebutan, pergulatan dan perjuangan. Batas
15
sebuah arena dan hubungannya dengan arena lain tidak pernah tetap, selalu berubah dan justru menjadi bagian dari pertaruhan yang diperjuangkan. Arena lebih bersifat relasional (dinamis) karena didalamnya selalu terjadi perubahan, baik karena pertarungan internal antara berbagai posisi di dalamnya maupun karena pergesekan dengan arena-arena lain (Bourdieu dalam Wacquant, 1989:39). Arena sebagai sesuatu yang dinamis merupakan kekuatan yang bersifat otonom dan di dalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi. Perjuangan ini dalam rangka mentransformasikan atau mempertahankan arena kekuasaan. Posisi-posisi ditentukan oleh pembagian modal untuk para aktor yang berlokasi di arena tersebut. Ketika posisi telah dicapai maka mereka dapat melakukan interaksi dengan habitus untuk menghasilkan sikap yang berbeda-beda dan memiliki efek tersendiri pada ekonomi, pengambilan posisi di dalam arena tersebut. Arena
merupakan
ruang
dominasi
yang
distrukturkan
dan
mensubordinasi posisi-posisi yang didasarkan pada jenis dan jumlah modal (capital). Field pada dasarnya adalah arena kekuasaan, sebuah meta-arena di mana arena-arena yang berbeda dan para agen yang terlibat di dalamnya saling bersaing untuk menenntukan prinsip struktur antar arena dan prinsip konversi atau nilai tukar antar jenis modal yang dihargai dalam masing-masing arena. Sedangkan habitus dan arena adalah relasi dua arah. Arena hanya bisa eksis sejauh agen-agen sosial memiliki kecondongan dan seperangkat skema perseptual yang dibutuhkan untuk membentuk arena itu. Seiring dengan itu, denga partisipasi dalam arena,
16
agen-agen memasukkan pengetahuan (know-how) yang memadai ke dalam habitus. Agen terlibat dalam suatu arena untuk mengejar sumber daya yang dihargai dan diperebutkan, oleh Bourdieu disebut dengan modal (capital). Bentuk modal bisa beragam, bergantung pada arena tertentu. Sesuatu yang dihargai artinya menjadi modal, disebuah arena belum tentu juga dihargai di arena lain (Bourdieu dama Wacquant, 1989:42). Bourdieu menjelaskan bahwa modal digunakan sebagai kerja yang terakumulasi, jika dimiliki secara privat, yakni secara eksklusif, oleh agen atau sekelompok agen, memungkinkan mereka memiliki energi sosial dalam bentuk kerja yang direifikasi maupun yang dihidup atau dengan kata lain sekumpulan sumber daya dan kekuasaan yang benar-benar dapat digunakan. Modal (capital) yang dimiliki seseorang akan menetukkan posisinya dalam struktur arena dan juga kuasaan yang dimilikinya (Bourdieu, 1995:245).
c. Praktik agen dalam Arena Ruang interaksi terbatas atau arena didefinisikan Bourdieu (2010:xvii) sebagai ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi-relasi kekuasaanya sendiri yang terlepas dari kaidah politik dan ekonomi kecuali dalam kasus arena ekonomi dan politik itu sendiri. Terdapat dua bentuk modal yang penting dalam arena produksi kultural (Bourdieu, 2010:xix) yaitu yang pertama, modal simbolis yang mengacu kepada derajat akumulasi prestise, kehormatan dan dibangun diatas dialektika pengetahuan dan pengenalan.
17
Kedua, model kultural dalam bentuk pengetahuan kultural, kompetisi dan disposisi tertentu. Arena dilihat dalam ruang yang tersedia baik perkembangan historis ruang maupun para produsen berdasarkan strategi, habitus dan kelas serta posisi objektif meraka. Termasuk struktur arena yaitu posisi yang ditempati para produsen dan legitimasi sebagai produk kultural. Bagi Bourdieu (2010:xxiii) ekonomi arena kultural didasarkan pada suatu kepercayaan khusus tentang apa yang membentuk sebuah karya kultural dan nilai estetis atau nilai sosialnya. Arena produksi skala besar (Bourdieu, 2010:xxxiv) mencakup budaya massa atau popular seperti televisi swasta, produksi film popular, radio, sastra yang diproduksi massa. Arena (Jenkins, 2010:121-125) adalah suatu sistem posisi sosial yang terstruktur yang dikuasai oleh individu atau institusi. Arena didefinisikan suatu perjuangan dimana strategi manusia dikaitkan dengan peneguhan atau peningkatan posisi mereka sehubungan dengan pendefinisian modal para arena. Arena kekuasaan dianggap sebagai arena dominan dalam masyarakat. Arena kekuasaan adalah sumber relasi kekuasaan hierarkis yang menstrukturkan arena lain. Kritik juga diarahkan kepada konsep arena (field), yang disebutnya sebagai arena pertarungan yang dianggap telah mereduksi „dunia kehidupan‟ (Haryatmoko, 2003:23). Konsep ini menjadikan relasi sosial hanya pada pertarungan untuk memperoleh posisi semata. Hubunganhubungan sosial lainnya, seperti cinta kasih, kerja sama, solidaritas dan
18
sebagainya terabaikan dalam konsep arena. Terdapat bentuk hubungan lain dalam kehidupan sosial yang tidak hanya kepentingan posisi semata. Konsep tersebut dapat menyembunyikan perjuangan nyata di antara kelompok-kelompok. Padahal Bourdieu merancangkan sebuah teori reproduksi sosial. Pada titik ini, Bourdieu dikritik karena dalam teorinya tidak memerhatikan perubahan sosial. Teorinya terlalu menekankan pada mekanisme-mekanisme dan strategi reproduksi. Pemikiran Boerdieu tidak memberikan analisis yang relevan bagi perubahan sosial. Terdapat pemberontakan dalam model ini, namun tragisnya tidak ada revolusi (Jenkins. 2010:137). Kelemahan paling krusial dari teori Bourdiau adalah ketidak-mampuannya mengatasi
subjektivitas. Terdapat aktor dinamis
dalam teorinya, yakni seorang aktor yang mampu “tanpa sengaja menemukan improvisasi secara teratur” (Jenkins, 2010:97).
d. Perolehan dalam praktik pertukaran antar agen Pertukaran modal seperti modal simbolik dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan legitimasi pemilikan berbagai tingkat dan konfigurasi ketiga bentuk modal yang lainnya (modal ekonomi, modal sosial dan modal budaya). Reproduksi sosial dilakukan agen untuk mendapatkan ketrampilan mengatur simbol sosial. Modal sosial (Field, 2010:23) adalah jumlah sumber daya, aktual atau maya yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa
19
hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalisasikan. Sedangkan menurut Coleman (Field, 2010:38) modal sosial adalah seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas dan yang berguna bagi perkembangan kognitif atau sosial anak atau orang yang masih muda. Putman mendefinisikan modal sosial (Field, 2010:51) sebagai bagian dari kehidupan sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Modal budaya Bourdieu (Damsar, 2009:218-219) dibatasi sebagai budaya pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat pembedaan atau penafsiran nilai. Modal budaya merupakan kepemilikan kompetensi atau pengetahuan kultural yang menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi tertentu, yang dilembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan.
e. Doxa, Orthodoxy, dan Heterodoxy Bourdieu menggunakan habitus sebagai sumber legitimasi struktur, selain itu secara sosiologis Bourdieu menguraikan gagasan tengang Doxa. Doxa merupakan konsep yang diadopsi dari Husserl yang digunakan oleh Bourdieu untuk mendeskripsikan dan menjelaskan praktik dan tindakan alami dalam masyarakat tradisional. Doxa merupakan hubungan kepatuhan langsung yang dibentuk dalam praktik antara habitus dan arena
20
yang berkesesuaian, dan merupakan sesuatu yang diterima begitu saja dari dunia yang mengalir dari pikiran (Bourdieu, 1990:68). Kesesuaian habitus dengan logika arena (logic of field) dikarenakan oleh kehadiran Doxa-the unwritten rule of the game yang mendasari praktik-praktik di dalam arena. Doxa memiliki sejumlah makna terkait dengan jenis pemahaman yang bekerja, tetapi konsep secara luas mengacu pada kesalahpenggenalan (misrecognition)
dari
bentuk
kesewenang-wenangan
sosial
yang
menimbulkan ketidakteraturan, non discursive, tetapi dihayati dan pengakuan praktis atas kesewenang-wenangan sosial yang sama. Hal ini memberikan kontribusi untuk reproduksinya dalam lembaga-lembaga sosial, struktur dan hubungan serta pikiran dan tubuh, harapan dan perilaku (Mc. Grenfell, 2008:119-120). Doxa mengacu pada pra-refleksif pengetahuan
intuitif
yang
dibentuk
oleh
pengalaman,
kepada
kecenderungan fisik dan relasional yang diwarisi secara tidak sadar. Doxa adalah seperangkat keyakinan dasar (a set of fundamental belief) yang bahkan tidak perlu ditegaskan dalam bentuk yang eksplisit, dogma yang disadari dengan sendirinya (Bourdieu, 2000:16). Doxa terdiri dari seperangkat kepercayaan yang menginformasikan habitus bersama (shared habitus) yang beroperasi ke dalam arena (field) Doxa dalam hal ini merupakan hasil dari penaklukan melalui pernyataan performatif dan normatif yang sering diekspresikan dan direpresentasikan melalui elemen-elemen yang berpengaruh di dalam arena, yang menempatkan arena sebagai dunia dengan aturan dan hukumnya sendiri (nomos), bentuk-bentuk diskursif (logos), kepercayaan normatif (illusion),
21
kondisi sosial historis (epoche), tidakan dan perilaku yang diharapkan dan tantangan-tantangannya. Konsep
Doxa
sebagai
kepercayaan
bersama
yang
tidak
dipertanyakan lagi membentuk sebuah arena, mendasari gagasan yang menggabungkan pada kekuasaan simbolik, secara khusus relevan dengan pemahaman relasi sosial dalam masyarakat modern. Dalam konteks ini, Doxa mengambil bentuknya sebagai kekuasaan simbolik yang memediasi berbagai bentuk akumulasi modal (budaya, ekonomi, sosial, politik). Kekuasaan ini dijalankan melalui kebiasaan, mekanisme, perbedaan dan asumsi-asumsi, kekuatan dan legitimasinya berada di dalam kesalahpengenalan (misrecognition) atas karakter kemunculan dan reproduksi sosial historis yang sewenang-wenang. Kekuasaan simbolik berasal dari institusi-institusi yang dikenal bersamaan dengan relasi sosial yang terinstitusionalkan (pendidikan, agama, seni) yang memiliki kekuasaan untuk membangun kategori dan mengalokasikan nilai berbeda di dalam simbol dan yang melegitimasi diri mereka sendiri lebih lanjut dalam proses. Doxa dalam hal ini merupakan bentuk kekuasaan simbolik (Bourdieu, 2000:121) Doxa juga dapat dipahami sebagai landasan bidang dalam beberapa arena sejauh itu menentukan stabilitas struktur sosial obyektif yang direproduksi dan mereproduksi diri dalam persepsi agen sosial dan praktik, dengan kata lain dalam habitus tersebut. Saling penguatan antara arena dan habitus memperkuat kekuatan berlakunya Doxa, yang memandu sesuai tabiat untuk pertarungan yang terlibat di dalam arena melalui pengandaian
22
yang terkandung dalam Doxa itu sendiri (Bourdieu & Wacquant, 1992:6674). Dengan demikian, hubungan saling mengkonstitusi antara arena dan habitus mendorong daya berlaku dari Doxa itu sendiri, yatu orthodoxy dan heterodoxy. Berikut ini skema tentang relasi konsep Doxa, heterodoxy dan orthodoxy (Bourdieu, 1995:168). Bagan 1. Outline of A Theory of Practice Universe of undisputed (undisputed) Doxa
Opinion Heterodoxy Orthodoxy (-) (+)
Universe of discourse (argument) Dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa kepercayaan kepada Doxa hanya bisa diungkapkan ketika dibentuk secara negatif oleh pembentukan arena opini (field of opinion), lokus konfrontasi penentangan wacana, dimana kepercayaan politik terhadap Doxa bisa dinyatakan secara jelas atau tetap tersembunyi bahkan di dalam keterkaitannya dalam atau dibawaah kedok agama atau disposisi filosifis (Bourdieu, 1995:168). Hal itu didasarkan pada universal of opinion bahwa Doxa yang diterima begitu saja harus diselidiki. Sedangkan field of opinion digambarkan perjuangan kelas dimana definisi sosial dipertaruhkan dalam masyarakat kelas baik secara terbuka ataupun laten. Field of opinion yang secara eksplisit dipertayakan dan field of Doxa yang berada diluar pertanyaan setiap agen secara diam-diam meyetujui
23
dengan fakta bertindak sesuai dengan konvensi sosial (Bourdieu, 1995:169). Hal itu merupakan tujuan mendasar yang dipertaruhkan dalam bentuk perjuangan kelas yang merupakan perjuangan untuk memaksakan sistem klasifikasi dominan. Kelas yang didominasi memiliki kepentingan dalam mendorong kembali batas Doxa dan mengungkap kesewenangwenangan yang diterima begitu saja. Kelas dominan memiliki kepentingan dalam mempertahankan integritas Doxa atau dengan kata lain orthodoxy. Doxa memiliki seperangkat nilai dan wacana, sebagai prinsip-prinsip fundamental bagi arena, dimana kebenaran terkandung di dalamnya. Sikap doxial yang sebenarnya tidak masuk akal dan bersifat mengikat. Doxa beroperasi seolah-olah itu adalah kebenaran obyektif di ruang sosial secara keseluruhan. Dengan demikian, Doxa sesungguhnya merupakan kebenaran obyektif yang diterima dalam lintas ruang sosial, dari praktik dan persepsi individu menjadi praktik dan persepsi yang diterima kelompok atau institusi sosial lainnya (universe of undispute). Artinya Doxa dapat menciptakan legitimasi bagi wacana dominan yang diproduksi dan direproduksi oleh institusi yang ada di dalam masyarakat. Sebagaimana ruang sosial yang selalu bergerak, di dalam Doxa terdapat pertarungan dunia wacana (universe of discourse) antara heterodoxy dan orthodoxy. Heterodoxy adalah opini (wacana) yang berusaha memberikan penilaian negatif terhadap Doxa, sedangkan orthodoxy adalah wacana yang terus berusaha mempertahankan (semakin membenarkan) Doxa (Bourdieu, 1995:168-169).
24
Doxa dan habitus dalam konsepsi Bourdieu diletakkan sebagai sumber legitimasi praktik-praktik sosial. Pada dasarnya, keduanya resisten terhadap perubahan namun terdapat proses adaptasi yang selalu terjadi ketika habitus berhadapan dengan situasi-situasi baru, tapi proses tersebut cenderung berjalan lambat, tak disadari dan cenderung mengelaborasi dari pada menrubah secara fundamental kecenderungan mendasar (Swartz, 1997:107). Situasi-situasi baru tersebut hadir karena adanya perubahan sosial (realitas objektif). Perubahan tersebut diikuti oleh munculnya resistensi terhadap Doxa yang ada. Dengan demikian, Doxa maupun habitus merupakan sumber legitimasi bagi terjadinya dominasi yang berlangsung melalui kekuasaan simbolik. Kekuasaan tersebut ditopang oleh relasi saling konstitutif diantara arena dan habitus yang membentuk sikap doxial (doxic attitude).
f. Konseptualisasi Dalam penelitian ini, konseptualisasi digunakan untuk memetakan konsep pemikiran peneliti agar lebih mudah dipahami. Konseptualisasi ini sebagai acuan dalam peneliti melakukan penelitian. Peta konsep dibawah ini menggambarkan bagaimana teori Pierre Bourdieu menjelaskan suatu fenomena praktik rekacipta Perkampungan Budaya Betawi di Setu babakan terjadi, berikut faktor/konteks yang melatarbelakangi dan peran agensi yang terlibat dalam arena tersebut.
25
Bagan 2. Konseptualisasi Pemikiran
Agen (modal ekonomi)
Habitus
Doxa
Arena Praktik Rekacipta Perkampungan Budaya Betawi Agen (Modal Budaya)
Pertukaran modal antar agen
Agen (modal Politik)
Interaksi antar agen
Agen (modal sosial)
Sumber : Diolah Peneliti (Ariesta .A)
G. METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan wawancara mendalam (indepth interview). Penentuan metode tersebut didasarkan atas kebutuhan data yang mendalam dengan karakteristik, sejarah, dan perkembangan masyarakat Betawi dari dulu hingga saat ini. Sesuai dengan pengertiannya wawancara mendalam merupakan cara yang ditempuh untuk betul-betul mendapatkan akurasi data sesuai dengan kebutuhan peneliti. Dalam pelaksanaannya wawancara tidak dilakukan hanya sekali, melainkan berulang-ulang dengan intensitas yang ditentukan peneliti. Peneliti melakukan pengamatan sebagai data pendukung wawancara untuk mengukur kesesuaian hasil wawancara dengan kenyataan di lapangan.
26
Itulah sebabnya wawancara dilakukan secara silih berganti dengan terus mengecek hasil wawancara dari informan satu ke informan yang lain. Analisis secara kualitatif diharapkan mampu mendeskripsikan segala sesuatu situasi atau area populasi tertentu yang bersifat faktual secara sistematis dan akurat dengan menggambarkan atau mendeskripsikan suatu keadaan objek penelitian. Untuk memperoleh fokus dalam penelitian ini, maka saya menentukkan beberapa informan yang diasumsikan memiliki informasi mengenai sejarah perkembangan masyarakat dan perubahan di Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan. Kriteria utama yang ditentukan peneliti atas pemilihan informan didasari oleh tujuan untuk memperoleh informasi yang dianggap cukup signifikan khususnya mereka yang memahami arah penentuan kebijakan. Sementara itu, informan lain juga merupakan anggota masyarakat yang berada di dalam agensi yang dilibatkan dalam praktek kebijakan menjadikan Kampung Setu Babakan sebagai „Kampung Budaya‟. Mereka ini merupakan warga Betawi yang memiliki pengetahuan mengenai sejarah pengembangan masyarakat dan budaya Betawi.
2. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan, Kawasan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan yang mana
di
daerah
tersebut
merupakan
kawasan
yang
ditetapkan
sebagaikawasan konservasi budaya dan lingkungan dengan wajah
27
Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan. Waktu Penelitian dirancang dantelah ditindaklanjuti setelah proposal disetujui untuk pengambilan data di lapangan. Dalam prosesnya saya melalui tahap-tahap tertentu dimana terhitung selama kurang lebih dua bulan pertama untuk penyusunan prosposal hingga diujikan, empat bulan saya melakukan pengamatan, proses wawancara dan sekaligus penyusunan hasil akhir penelitian.
3. Objek Penelitian Penentuan wilayah Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu babakan, Jagakarsa, berdasarkan potensi keadaan sosial masyarakat atas penetapan kawasan pelestarian budaya Betawi. Dalam hal ini saya akan melihat bagaimana everydaylife masyarakat (Betawi dan non Betawi) dan dinamika perkembangan maupun perubahan sosial ekonomi sejalan dengan ditetapkannya Setu Babakan sebagai kawasan Perkampungan Budaya Betawi (PBB). Selain itu, keterkaitan antara kebijakan pemerintah dengan proses pengembangan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan juga menjadi fokus dalam penelitian saya untuk melihat bagaimana dan siapa saja agensi-agensi yang terlibat dalamnya. Objek dalam penelitian ini tidak murni Perkampungan Budaya Betawi sebagai suatu kesatuan masyarakat, tetapi juga institusi-insitusi maupun individu yang ada disekitarnya seperti UPK dan Forum Jibang maupun komunitas/organisasi sosial yang ada seperti sanggar dan gerakan sosial
28
masyarakat PBB Setu Babakan. Agensi-agensi tersebut yang kemudian berpartisipasi mengkonstruksi praktik rekacipta Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Objek dari penelitian selalu menggambarkan uniquely situated realities dimana situasi tersebut memiliki konteks waktu, tempat, keterlibatan informan, musim, dan semuanya berjalan secara continue tanpa bisa terulang kembali.
4. Sumber Data a. Sumber Data Primer Sumber data primer merupakan sumber data yang diperoleh dengan cara menggali secara langsung melalui informan. Penentuan Informan dilakukan melalui purposive sampling dimana informan ditentukan dengan pertimbangan (kriteria) khusus sehingga layak untuk dijadikan sebagai informan. Maksud dari sampling adalah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber. Tujuannya untuk merinci kehususan yang ada di dalam konteks penelitian dan untuk menggali informasi yang akan menjadi dasar penyusunan hasil penelitian. Seorang peneliti diharuskan untuk menentukan siapa dan berapa jumlah orang yang akan diteliti, kemudian mengidentifikasi sampling berdasarkan prioritas atas penentuan kritareia oleh peneliti. Teknik tersebut digunakan peneliti dengan beberapa pertimbangan, karena dibutuhkan banyak informasi terkait Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu babakan. Beberapa informan dibawah ini dipilih atas
29
beberapa pertimbangan yaitu para informan yang kesehariannya berinteraksi secara intensif dengan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan setu babakan, memiliki kekayaan informasi terkait Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan setu babakan sehingga
data
yang
diperoleh
dapat
dipertanggungjawabkan
kebenarannya. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak secara langsung didapat peneliti. Sumber data sekunder merupakan sumber pendukung yang dapat berupa studi kepustakaan (media cetak/media elektronik) seperti buku, jurnal dan internet sebagai sumber pendukung dan penguat hasil penelitian.
5. Pengumpulan Data (Data Collecting) Tahapan setelah penentuan informan yakni pengumpulan data. Tahap ini merupakan hal yang terpenting dalam penelitian karena tujuan utama penelitian adalah mendapatkan data sesuai dengan kebutuhan penelitian. Berikut proses yang dilalui saya selama mengumpulkan data dilapangan, meliputi: a. Observasi Observasi merupakan suatu pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala sosial yang sedang diteliti, yang mana harus sesuai dengan tujuan penelitian dan dicatat secara terstruktur sesuai
30
dengan keinginan peneliti dan juga dapat dikontrol reliabilitas dan validitasnya. Observasi merupakan metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat informasi sebagaimana yang disaksikan selama penelitian (fieldnotes). Observasi melibatkan dua komponen yaitu oberver (pelaku observasi) dan observe (objek yang diobservasi). Observasi yang dilakukan kurang lebih dua minggu pertama saya berada dilapanagan, tujuannya untuk mengamati secara langsung keadaan fisik maupun sosial masyarakat setu babakan yang digunakan sebagai pedoman awal penelitian dan selanjutnya ditindaklanjuti dalam penelitian yang sesungguhnya. Beberapa point yang menjadi pedoman dalam melakukan observasi yaitu terkait kondisi fisik, sosial dan ekonomi masyarakat di Perkampungan Budaya Betawi, kegiatan masyarakatnya,
interaksi
masyarakatnya,
dan
juga
terkait
data
administratif seperti jumlah penduduk dan lain sebagainya. Meskipun pada saat melakukan penelitian, saya mengobservasi setiap kejadian yang ada di lokasi penelitian. Observasi menjadi proses yang penting dalam sebuah penelitian, karena pada saat itulah saya mampu melihat bagaimana
tradisi
budaya
Betawi
diwacanakan
kembali,
direpresentasikan dengan wujud Perkampungan Budaya dan menjadi rekacipta politik bagi agensi yang terlibat. b. Wawancara Proses ini merupakan bagian dari kelanjutan proses observasi (tidak semua yang lihat, tidak menggambarkan semua proses observasi).
31
Wawancara merupakan sebuah percakapan yang dilakukan dengan maksud tertentu dan dilakukan oleh dua pihak yaitu interviewer (pewawancara) yang mengajukan pertanyaan dan interviewee (yang diwawancarai)
yang
memberikan
jawaban
atas
pertanyaan
itu.Wawancara merupakan bentuk komunikasi langsung antara peneliti dengan informan. Komunikasi langsung dalam bentuk tanya jawab dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik informan merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal. Saya menggunakan teknik wawancara terstruktur yaitu wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaanpertanyaan yang akan diajukan. Wawancara tersebut diajukan pada Tokoh Masyarakat Setu Babakan, Pemerintah Lokal (Ketua RT, Kepala UPK, Forum Jibang), Budayawan Betawi, Masyarakat setempat, beberapa komunitas Betawi dan wisatawan. Sedangkan wawancara semi terstruktur ditujukan kepada pihak-pihak relevan yang berada di lingkungan kawasan setu babakan untuk dapat memperkuat data. Dalam prosesnya saya mengkondisikan suasana yang santai, mengalir tanpa berusaha memberi tekanan pada informan. Seluruh point pertanyaan yang saja ajukan mengalir sesuai dengan kapasitas dan alur logika masing-masing informan.Berikut data informan yang berhasil di wawancarai oleh peneliti :
32
Tabel 1. Daftar Informan Informan Tokoh Masyarakat
Jumlah 2 orang
Pemerintah Lokal (Kepala UPK,Forum Jibang, Ketua RT/RW)
3 orang
Budayawan Betawi
2 orang
Komunitas Betawi
3 orang
Masyarakat setempat
3 orang
Wisatawan
2 orang Jumlah
15 orang
Sumber : Diolah Peneliti (Ariesta .A) c. Dokumentasi Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang ditujukam kepada subjek penelitian. Dokumentasi dalam penelitian ini lebih fokus pada pengumpulan dokumentasi pendukung data-data penelitian yang dibutuhkan. Dokumentasi proses dan pelaksanaan penelitian sangat mendukung sebagai sarana pelengkap data selain observasi dan wawancara dimana akan terlihat bagaimana proses penelitian itu dilakukan. Dokumentasi juga menjadi bukti nyata dari setiap kejadian yang terjadi selama penelitian berlangsung.
6. Analisis Data Analisis data merupakan proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diimplementasikan. Analisis data dilakukan dengan tujuan agar informasi yang dihimpun akan menjadi
33
jelas. Teknik analisis data digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian, seperti yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992) yaitu teknik analisis data kualitatif model interaktif sebagai berikut. a. Pengumpulan Data Pertama, peneliti menggali data dari berbagai sumber yaitu wawancara
yang
dilakukan
dengan
15
informan
terkait,
mengumpulkan kelengkapan data administratif Unit Pengelola Kawasan (UPK) Perkampungan Budaya Betawi Setu babakan dan juga pengambilan dokumentasi penelitian. Sumber-sumber tersebut yang dijadikan sebagai data utama dalam penelitian. b. Reduksi Data Reduksi
berlangsung
secara
continue
selama
penelitian
berlangsung di lapangan. Reduksi dilakukan peneliti dengan pengolahan data awal yang berasal dari informan penelitian yang kemudian dikembangkan menjadi data yang siap untuk disajikan. c. Penyajian Data Penyajian data merupakan upaya penyusunan sekumpulan informasi ke dalam suatu matriks, tabel, diagram atau konfigurasi yang mudah untuk dipahami. Penyajian data disajikan setelah penelitian berlangsung yang menghasilkan sejumlah data dari informasi penelitian. Peneliti kemudian mengolah kembali agar penyajiannya lebih praktis dan mudah diterima.
34
d. Verifikasi/penarikan kesimpulan Penarikan kesimpulan menyangkut interpretasi peneliti, yaitu penggambaran makna dari data yang ditampilkan. Peneliti berupaya mencari makna dari data yang telah dihasilkan dalam penelitian, serta menganalisa data dan kemudian membuat kesimpulan. Verifikasi atau penarikan kesimpulan ditempuh guna memadatkan dari keseluruhan informasi data yang ada menjadi lebih singkat dan mudah untuk di pahami tanpa mengurangi esensi yang ada. Pengunpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan ini merupakan empat tahap dalam menganalisis data dengan siklus interaktif. Bagan 2. Model Analisis Data Interaktif Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Verifikasi/ Penarikan Kesimpulan
Sumber : Miles dan Huberman (1992:)
BAB II DESKRIPSI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI (PBB) SETU BABAKAN
Perkampungan Budaya Betawi adalah suatu kawasan di Jakarta Selatan dengan komunitas yang ditumbuhkembangkan oleh budaya yang meliputi gagasan dan karya fisik maupun non fisik, yaitu adat istiadat, foklor, sastra, kuliner, pakaian serta arsitektur yang bercirikan keBetawian. Sebagai kawasan wisata budaya, wisata agro dan wisata air, perkampungan budaya Betawi memiliki potensi lingkungan alam yang asri dan sangat menarik yang sulit ditemukan ditengah kota Jakarta dengan hiruk pikuk kehidupannya. Untuk lebih memahami kondisi fisik maupun non fisik yang ada di sekitar Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan, berikut ini merupakan deskripsi wilayah maupun potensi yang ada didalamnya. A. Kondisi geografis Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan terletak di kelurahan Srengseng Sawah, kecamatan Jagakarsa, Kota Madya Jakarta Selatan yang memiliki luas lahan total 289 Ha dari total kelurahan sreng seng sawah yaitu 674,70 Ha. Kepemilikan lahan Setu Babakan ini terbagi menjadi 2, yaitu 70 Ha aset pemerintah dan 219 Ha hak milik masyarakat. Di dalamnya terdapat 4 RW, 50 RT, 5000 KK, dengan pemduduk sekitar 22.000 jiwa, yang terdiri dari masyarakat Betawi dan non Betawi.
35
36
Gambar 1. Peta Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan
Sumber : Database Indra Sutisna
Letak geografis setu babakan yaitu berbatasan dengan : 1. Sebelah Utara : Jalan Mochamad Kahfi II sampai dengan Jalan Desa Putra. 2. Sebelah Timur : Jalan Desa Putra, Jalan Mangga Bolong Timur dan Jalan Lapangan Merah. 3. Sebelah Selatan : Batas Wilayah provinsi DKI Jakarta dengan kota Depok. 4. Sebelah Barat : Jalan Mochamad Kahfi II.
B. Kondisi Demografis Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Perkembangan penduduk di kelurahan Srengseng Sawah cukup pesat, hal ini disebabkan selain karena suasana yang cukup menyenangkan dan kelestarian alam masih terjaga dengan baik, juga karena tersedianya fasilitas sarana umum yang memadai, pendidikan, peribadatan dan lainnya. Pada umumnya penduduk kelurahan Srengseng Sawah adalah masyarakat Betawi,
37
sehingga adat istiadat yang berlaku adalah adat istiadat Betawi. Wilayah kelurahan Srengseng Sawah kecamatan jagakarsa kotamadya Jakarta selatan, terbagi dalam 19 RW dengan 156 RT dimana jumlah penduduknya pada bulan oktober 2015 sebanyak 61.615 jiwa yang terdiri atas 31.420 jiwa laki-laki dan 30.195 perempuan. Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dihuni oleh masyarakat yang berdiam di sebagian wilayah yaitu RW 05, RW 06, RW 07, RW 08 serta RW 09 dengan jumlah penduduk pada bulan oktober 2015 sebanyak 21.938 jiwa yang terdiri dari 11.176 jiwa laki-laki dan 10.762 perempuan. Tabel 2. Jumlah Penduduk Perkampungan Budaya Betawi RW
Laki-laki
Perempuan
JML
5
170
149
319
6
2256
2174
4430
7
1620
2545
5165
8
2801
2742
5543
9
3329
3152
6481
Sumber : Data Monografi Kelurahan Srengseng Sawah
C. Potensi Budaya Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan memiliki lingkungan alam yang asri dan sangat menarik, yang sulit ditemukan ditengah padatnya aktivitas kota Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. Adanya lingkungan asri yang dikelilingi pohon hijau dan tanaman buah khas Betawi seperti kecapi, belimbing, rambutan, sawo, melinjo, papaya, pisang, jambu, nangka yang tumbuh mengelilingi halaman rumah menjadikan daya tarik
38
tersendiri. Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan memiliki beberapa daya tarik yang terbagi da;am beberapa kategori yaitu : wisata budaya, wisata air dan wisata agro. 1. Wisata Budaya Wisata busaya merupakan suatu kegiatan sebagai upaya menumbuhkan kembali nilai-nilai tradisional yang dikemas sehingga layak untuk ditonton dan dijual. Wisaya budaya yang dapat dinikmati di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan adalah : a. Tata graha Pengunjung Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dapat melihat langsung bangunan-bangunan dan rumah bernuansa Betawi tradisional yang masih menggunakan atap berbentuk pelana kuda, memiliki aksen gigi balang dan memiliki halaman yang luas. Meskipun saat ini bangunan pendatang yang mulai menjamur di kawasan Setu Babakan sudah jarang yang menggunakan aksen gigi baling, karena sudah terbangun dengan model yang minimalis. b. Tata busana Para pengujung juga dapat melihat bahkan menyewa pakaianpakaian khas Betawi untuk keperluan berfoto distudio maupun prewedding. Pakaian-pakaian yang disewakan diantaranya pakaian menari, pakaian pengantin, pakaian abang none, serta pakaian adat Betawi lainnya.
39
c. Kesenian Para wisatawan yang datang ke Perkampungan Budaya Betawi (PBB) setu babakan dapat menikmati kesenian khas Betawi seperti musik, tarian tradisional, dan seni pertunjukan. Keunikan musik khas Betawi yang jarang ditemukan ditempat lain seperti musik gambus, orkes
tanjidor,
dan
gambang
kromong
dapat
ditemukan
di
Perkampungan Budaya Betawi (PBB) setu babakan. d. Daur hidup tradisi masyarakat Betawi Atraksi wisata budaya Betawi lainnya yang dapat disaksikan di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan adalah daur hidup tradisi masyarakat Betawi. Para pengunjung dapat melihat langsung acara adat Betawi seperti pernikahan, khitanan, aqiqah, khatam quran, dan nujuh bulan. Prosesi-prosesi tersebut masih dilakukan dengan tata cara tradisional kebudayaan Betawi oleh masyarakat Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Prosesi tersebut hanya dapat disaksikan jika wisatawan secara tidak sengaja berkunjung pada saat yang bersamaan dengan upacara adat terselenggara. e. Kuliner tradisional Betawi Para pengunjung dapat menikmati dan membawa ulang kuliner khas Betawi. Selain itu pengunjung juga dapat mempelajari cara mengolah makanan dan minuman tersebut. Makanan yang dapat dinikmati di setu babakan antara lain : kerak telor, ketoprak, soto
40
Betawi, asinan Betawi, bir pletok, es selendang mayang dan lain sebagainya. Gambar 2. Demo Kerak Telor Untuk Para Pengunjung
Sumber : Dokumentasi peneliti 2. Wisata air Wisata air merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan daya tarik wisata dari aspek olah raga air. Setu/situ yang berarti danau Babakan dan Manggabolong menjadi salah satu pelengkap objek wisata alam dengan sajian permainan air. Saat ini objek wisata air yang dapat dinikmati adalah sepeda air, memancing juga menjala ikan. 3. Wisata agro Wisata
argo
merupakan
bentuk
kegiatan
pariwisata
yang
memanfaatkan usaha-usaha pertanian (agro) sebagai objek wisata dengan tujuan rekreasi, keperluan pengetahuan, memperkaya pengalaman dan memberikan penguang usaha dibidang pertanian. Daya tarik dan keunikan wisata
agro
di
perkampungan
budaya
Betawi
adalah
lokasi
pertanian/perkebunan tidak berasa pada areal khusus, melainkan ia ada di halaman-halaman rumah penduduk.
41
D. Aksesibilitas Aspek pengembangan daya tarik wisata yaitu aspek transportasi yang mana akan diganti menjadi aksesibilitas agar cakupan penelitian dapat lebih luas. Secara keseliruhan akses menuju Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dapat dikatakan terjangkau dan mudah untuk didatangi. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, kondisi jalanan yang dilalui menuju pintu gerbang masuk relatif baik dan sudah beraspal dengan baik, namum tergolong sempit sehingga terkadang terjadi kemacetan apabila pengunjung yang hendak berkunjung menumpuk di sepanjang jalan Moh. Kahfi II. Pada jalan setelah masuk ke perkampungan masih terdapat kerusakan dan jalan yang sempit membuat angkutan besar seperti bus agak kesulitan untuk menjangkau tempat wisata. Bagi yang belum pernah datang ke Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan juga tidak akan begitu kesulitan untuk menemukannya, terdapat cukup banyak papan penunjuk jalan yang menunjukan arah ke Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Secara umum terdapat 4 pintu masuk utama, yaitu dari arah barat melalui Cinere, Ciganjur, dan Pondok Labu, dari arah timur melalui jalan Srengseng Sawah, arah utara melalui jalan Mochammad Kahfi II dan Lenteng Agung, serta dari arah selatan melalui kota Depok dan daerah Lebak Bulus melalui jalan Kukusan.
42
E. Fasilitas Untuk menunjang sebuah objek wisata diperlukan fasilitas penunjang di kawasan wisata tersebut.Secara umum fasilitas penunjang yang ada di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan sudah cukup baik, walaupun masih belum lengkap. Berdasarkan pengamatan peneliti beberapa fasilitas yang ada di sekitar perkampungan budaya Betawi diantaranya : 1. Pintu Gerbang Pintu gerbang merupakan tempat penanda awal masuk suatu kawasan wisata. Pintu gerbang perkampungan budaya Betawi setu babakan berarsitektur Betawi dan di beri nama pintu masuk bang pitung. Pintu gerbang ini dilengkapi dengan pos keamanan. 2. Panggung Teater Terbuka Gambar 3. Panggung Teater Terbuka
Sumber : Dokumentasi peneliti
Panggung teater terbuka memiliki luas 355 m2 dan terletak ditengah tengah kompleks kantor pengelola (saat ini forum jibang). Ditempat inilah
43
atraksi atau pertunjukan budaya Betawi ditampilkan. Tempat ini dilengkapi dengan fasilitas properti seni pertunjukan dan ruang rias. 3. Wisma Betawi Wisma Betawi merupakan rumah warga yang disewakan kepada pengunjung yang ingin bermalam ataupun menggunakan tempat itu untuk keperluan acara pengajian, arisan maupun yang lain. Saat ini wisma Betawi yang tersedia masih terbatas jumlahnya yaitu 3 unit. Gambar 4. Wisma Betawi
Sumber : Dokumentasi peneliti 4. Mushola Bagi wisatawan yang ingin melaksanakan ibadah sholat disediakan sarana ibadah berupa mushola yang terletak dibelakang kantor pengelola (forum jibang). Mushola ini dapat menampung kurang lebih 50 jamaah dan dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan tempat wudlu terpisah antara laki-laki dan perempuan.
44
5. Toilet Setiap kawasan wisata harus memiliki fasilitas toilet. Di kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan ini terdapat 4 toilet umum yang tersebar disekitar kawasan wisata dan 2 di kompleks pengelola. 6. Sarana parkir Sarana parkir masih menjadi kendala bagi pengelola Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Belum tersedianya kawasan parkir yang luas bagi para pengunjung menjadikan penataan parkir diletakkan pada setiap lahan kosong disepanjang bantaran setu.
F. Agensi Sosial dan Budaya dalam Praktik Rekacipta dan Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan Bourdieu menjelaskan bahwa agen-agen tidak bertindak dalam ruang hampa, melainkan berada di dalam situasi-situasi sosial konkret yang diatur oleh seperangkat relasi sosial yang objektif. Dalam suatu arena, agen-agen yang menempati berbagai macam posisi yang tersedia (atau yang menciptakan posisi baru) terlibat dalam kompetisi untuk memperebutkan kontrol kepentingan atau sumber daya yang khas dalam arena bersangkutan. Dalam konteks pembangunan Kampung Budaya Setu Babakan, dapat diidentifikasi agensi-agensi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang terlibat di dalam proses pengembangannya. Identifikasi ini menghasilkan subjek penelitian yang dapat saya uraikan sebagai institusi maupun individu yang terlibat di dalam agensi tersebut; yakni.
45
1. Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Gambar 5. Logo LKB
Sumber : www.lembagakebudayaanBetawi.com a. Visi Menjadi pusat pengembangan kebudayaan Betawi yang komprehensif dan adaptif dalam lingkup nasional dan internasional. b. Misi 1. Menyelenggarakan pengakjian dan penelitian budaya yang mengarah pada peningkatan kualitas sumber daya manusia bagi pelaku dan masyarakat. 2. Menyelenggarakan tranformasi, sosialisasi dan pelatihan yang mengarah pada peningkatan sumber daya manusia bagi pelaku budaya dan masyarakat
dalam memperoleh pengetahuan,
keterampilan, dan sikap. 3. Menyelenggarakan
publikasi
guna
menumbuh
kembangkan
motivasi dan kepedulian masyarakat luas. 4. Memperkuat
jaringan
kemitraan
yang
mengarah
perlindungan, pengembangan dan pemberdayaan budaya.
pada
46
5. Menyelenggarakan pagelaran yang mengarah pada pengenalan produk unggulan budaya kepada masyarakat luas. c. Tujuan 1. Terciptanya
lingkungan yang mendorong pelaku budaya
mengembangkan kemampuan diri secara optimal. 2. Terbentuknya masyarakat yang terampil, berpengetahuan dan beretika serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 3. Terciptanya media informasi, dokumentasi dan komunikasi yang berdaya guna dan berhasil guna 4. Terwujudnya desiminasi hasil pendidikan dan pengajaran serta penelitian kepada pelaku budaya sehingga terjadi transformasi berkelanjutan untuk kehidupan yang lebih sejahtera. 5. Terbangunnya pengembangan nilai-nilai luhur budaya
sebagai
salah satu landasan berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam kehidupan. 6. Terciptanya kerjasama harmonis dengan seluruh komponen masyarakat dalam pelestarian budaya Betawi. 7. Terwujudnya ruang apresiasi pelaku seni budaya yang dikelola secara professional. 2. Unit Penglola Kawasan (UPK) Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan Sesuai bunyi amanat Pergub Nomor 305 Pasal 3 TAHUN 2014 tentang Pembentukan, Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pengelola Kawasan
47
Perkampungan Budaya Betawi. Terbentuknya UPK didasarkan pada perlindungan dan penyelamatan asset budaya yang terdapat di kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi merupakan (1) Unit Pelaksana Teknis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dalam pelaksanaan pelestarian Perkampungan Budaya Betawi; Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi dipimpn oleh seorang Kepala Unit yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas. a. Tugas dan Fungsi Pasal 4 dalam Pergub 305 menjelaskan tentang tugas dan fungsi yang harus dipahami oleh pengelola yang baru yakni UPK. (1) Unit
Pengelola
mempunyai
Kawasan
tugas
Perkampungan
melaksanakan
Budaya
pengelolaan
Betawi Kawasan
Perkampungan Budaya Betawi. (2) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Unit
Pengelola
Kawasan
Perkampungan
Budaya
Betawi
menyelenggarakan fungsi : a. penyusunan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi; b. pelaksanaan rencana strategis dan dan dokumen pelaksanaan anggaran Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi;
48
c. penyusunan pedoman, standar dan prosedur teknis pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi; d. pelaksanaan pengelolaan, pengembangan dan pelestarian lingkungan Perkampungan Budaya Betawi; e. pengelolaan kegiatan rekreasi Perkampungan Budaya Betawi; f. penghimpunan,
pengolahan,
pemeliharaan,
penyajian,
pengembangan dan pemanfaatan data dan informasi mengenai Perkampungan Budaya Betawi; g. penyelenggaraan promosi dan pameran budaya Betawi; h. pemberian bimbingan dan pelayanan edukatif kultural kepada masyarakat pengunjung Perkampungan Budaya Betawi; i. penyusunan dan pelaksanaan rencana dan pengadaan koleksi museum serta sarananya; j. pelaksanaan pembuatan deskripsi dan registrasi koleksi museum; k. penyimpanan, penataan dan perawatan koleksi museum; l. pelaksanaan kerja sama dengan SKPD, UKPD dan/atau instansi pemerintah/swasta
dalam
rangka
pengembangan
Perkampungan Budaya Betawi; m. pemeliharaan Perkampungan
kebersihan, Budaya
keindahan
Betawi,
dan
termasuk
keasrian penyediaan,
pemeliharaan dan perawatan prasarana serta sarana kebersihan;
49
n. pemeliharaan
ketertiban,
ketenteraman,
keamanan
dan
kenyamanan Kawasan Perkampungan Budaya Betawi; o. penataan, penempatan dan pemeliharaan taman serta pohon dalam Kawasan Perkampungan Budaya Betawi; p. penataan dan pembinaan kegiatan usaha dalam Kawasan Perkampungan Budaya Betawi; q. pengaturan
dan
pelayanan
pengunjung,
parkir,
pemanfaatan/penggunaan area Perkampungan Budaya Betawi; r. pelaksanaan,
pemeliharaan
dan
perawatan
kawasan
Perkampungan Budaya Betawi, termasuk prasarana, sarana, perpustakaan, museum dan pedestrian s. pemantauan, pengawasan dan pengendalian pembangunan oleh SKPD/UKPD dan/atau Instansi Pemerintah/Swasta dalam Kawasan Perkampungan Budaya Betawi; t. fasilitasi program dan kegiatan Forum Pengkajian dan Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi; u. pengelolaan kearsipan Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi; v. pelaksanaan kegiatan ketatausahaan dan kerumahtanggaan Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi; w. pelaksanaan publikasi kegiatan dan pengaturan acara Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi;
50
x. pengelolaan kepegawaian, keuangan dan barang Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi; y. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi. b. Susunan Organisasi Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi, terdiri dari : a. Kepala Unit; b. Sub bagian Tata Usaha; c. Satuan Pelaksana Pelayanan dan Informasi; d. Satuan Pelaksana Prasarana dan Sarana; dan e. Sub kelompok Jabatan Fungsional. 3. Forum Pengkajian dan Pengembangan (Jibang) Dalam pengembangannya yang semakin kompleks, pemerintah terus memperbaiki kualitas pengelolaan aset yang ada. Pengelolaan yang awalnya berada pada wilayah kekuasaan Lembaga Pengelola, kini telah dilimpahkan kepada Unit Pengelola Kawasan dengan berbagai alasan perbaikan sistem pengelolaan. Maka keberadaan Lembaga pengelola saat ini direvisi menjadi Forum Pengkajian dan pengembangan, dimana kedudukannya saat ini menjadi mitra strategis Unit Pengelola Kawasan. Keduanya
saling bekerjasama
dan
bersinergi
demi
mewujudkan
Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan sesuai amanat master plan. Dalam Pergub 197 Tahun 2015 yang berlaku per 10 juli 2015, beberapa
51
pasal mengatur terkait asas, prinsip, tujuan, fungsi, kedudukan dan lain sebagainya. Berikut penjelasannya. a. Asas Pelaksanaan tugas, fungsi dan kegiatan Forum Pengkajian dan Pengembangan PBB didasarkan pada asas : 1) demokratis artinya Forum Pengkajian dan Pengembangan PBB dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kegiatannya memperhatikan dan mempertimbangkan aspirasi masyarakat, baik yang bertempat tinggal dalam Kawasan Perkampungan Budaya Betawi maupun masyarakat dari luar Kawasan Perkampungan Budaya Betawi; 2) partisipasi artinya dalam pelaksanaan pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi, Forum Pengkajian dan Pengembangan PBB mengikutsertakan masyarakat dari dalam maupun dari luar kawasan Perkampungan Budaya Betawi; 3) pelestarian artinya dalam pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi,
Forum
Pengkajian
dan
Pengembangan
PBB
mempertahankan pelestarian budaya Betawi; 4) taat hukum artinya pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan 5) kemitraan artinya Forum Pengkajian dan Pengembangan PBB dalam
melaksanakan
tugas,
fungsi
dan
kegiatannya
mengembangkan kemitraan serta kerja sama dengan SKPD/UKPD, instansi Pemerintah Pusat, swasta dan masyarakat.
52
b. Prinsip Forum Pengkajian dan Pengembangan PBB dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kegiatan menerapkan prinsip : 1) efisiensi artinya pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi dilaksanakan dengan alokasi anggaran terukur, jelas dan rasional; 2) efektivitas artinya pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi harus berhasil melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi sebagai bagian dari ciri khas Jakarta; 3) profesionalisme artinya setiap pelaksanaan kegiatan pengelolaan dilaksanakan secara terencana, konseptual dan terarah dengan tujuan yang jelas oleh tenaga yang mempunyai kapabilitas/ kompetensi untuk itu; 4) produktivitas artinya kegiatan pengelolaan dilaksanakan dengan frekuensi, intensitas dan variasi yang berkesinambungan serta konsisten dari waktu ke waktu; 5) transparansi artinya setiap kegiatan pengelolaan khususnya penggunaan anggaran dalam jumlah sekecil apapun dilaksanakan secara tertib dan terbuka; dan 6) akuntabilitas artinya setiap pelaksanaan kegiatan dan anggaran harus
dapat
dipertanggungjawabkan
secara
rasional
ketentuan peraturan perundang undangan. c. Tujuan Forum Pengkajian dan Pengembangan PBB mempunyai tujuan :
sesuai
53
1. memelihara dan melindungi tata kehidupan dan nilai budaya Betawi; 2. menciptakan dan menumbuhkembangkan seni budaya Betawi; 3. menata dan memanfaatkan potensi lingkungan fisik, baik alami maupun buatan yang bernuansa Betawi; dan 4. mengendalikan pemanfaatan lingkungan fisik dan non fisik sehingga saling bersinergi untuk mempertahankan pelestarian budaya Betawi. d. Kedudukan Forum Pengkajian dan Pengembangan PBB merupakan wadah pengorganisasian unsur masyarakat dalam pelaksanaan pengkajian dan pengembangan Perkampungan Budaya Betawi serta memberikan pengarahan, pertimbangan dan/atau masukan kepada Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi dalam rangka pelestarian budaya Betawi. Forum Pengkajian dan Pengembangan PBB dipimpin oleh seorang Ketua Forum yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Kepala Dinas. Tempat kedudukan Forum Pengkajian dan Pengembangan PBB berada dalam Kawasan Perkampungan Budaya Betawi pada gedung perkantoran milik Pemerintah Daerah. e. Tugas dan Fungsi Forum Pengkajian dan Pengembangan PBB mempunyai tugas melaksanakan pengkajian dan pengembangan Perkampungan Budaya
54
Betawi serta memberikan pengarahan, pertimbangan dan/atau masukan kepada Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi dalam rangka pelestarian budaya Betawi. Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Forum Pengkajian dan Pengembangan PBB menyelenggarakan fungsi : 1. pelaksanaan pengkajian mengenai Perkampungan Budaya Betawi; 2. pemberian
pertimbangan,
saran
dan
pendapat
dalam
penyelenggaraan tugas dan fungsi Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi; 3. penerimaan dan penyampaian pendapat tentang penyelenggaraan kegiatan pengembangan Perkampungan Budaya Betawi. 4. pengusulan rencana kerja program
dan
kegiatan tahunan
pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi kepada Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi; 5. penyelenggaraan kegiatan pelestarian dan pengembangan seni budaya Betawi dalam Kawasan Perkampungan Budaya Betawi; 6. pengajuan kerja sama pelestarian dan pengembangan seni budaya Betawi dengan berbagai pihak baik pemerintah, swasta dan masyarakat; 7. pemantauan, pengawasan dan pengendalian pembangunan dalam Kawasan Perkampungan Budaya Betawi; 8. pelaksanaan kerjasama dan koordinasi dengan tokoh, pemerhati, ahli, pecinta seni budaya Betawi, SKPD/UKPD dan/atau Instansi Pemerintah/swasta serta masyarakat Perkampungan Budaya Betawi
55
dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Forum Pengkajian dan Pengembangan PBB; 9. penyusunan dan sosialisasi Master Plan, Detail Plan, rencana strategis/pembangunan jangka menengah dan rencana kerja pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi dengan masyarakat dalam Kawasan Perkampungan Budaya Betawi; 10. pelaksanaan sosialisasi tata kehidupan dan nilai budaya Betawi kepada masyarakat dalam Kawasan Perkampungan Budaya Betawi; 11. pembinaan kehidupan keagamaan masyarakat dalam Kawasan Perkampungan Budaya Betawi; 12. pelaksanaan pergelaran, pameran, lomba, pendidikan, pelatihan, dan pendokumentasian seni budaya Betawi dalam rangka pengkajian dan pengembangan Perkampungan Budaya Betawi; dan 13. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi Forum Pengkajian dan Pengembangan PBB. f. Susunan Organisasi Susunan Organisasi Forum Pengkajian dan Pengembangan PBB, terdiri atas : 1. Ketua Forum; 2. Sekretaris; 3. Komite Tata Kehidupan dan Budaya; 4. Komite Kesenian dan Pemasaran; 5. Komite Pengkajian, Pelatihan dan Pendidikan; dan
56
6. Komite Pengawasan dan Pengendalian. 4. Sanggar Setu Babakan Sanggar setu babakan merupakan salah satu komunitas seni yang ada di wilayah setu babakan. Sanggar tersebut beridiri sejak 30 juni 2002, dengan Babe romi rojali sebagai ketua. Sanggar ini terbentuk setelah selang beberapa waktu dengan penetapan setu babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi pada januari 2001, ada fasilitas pendukung dan kemudian ada program pembelajaran juga pembinaan kesenian untuk masyarakat sekitar. Program kegiatan tersebut berjalan satu tahun, karena pembinaan tidak selamaya berjalan untuk menampung aspirasi masyarakat yang ingin belajar maka dibuatlah sanggar. Visi misinya diungkapkan oleh ketua sanggat setu babakan saat ini yaitu Bang Aat yakni turut melestarikan dan megembangkan budaya Betawi. Sanggar setu babakan difasilitasi UPK dan forum jibang sebagai bentuk apresiasi terhadap seni tradisi Betawi dengan menyediakan tempat latihan secara gratis. Latihan terfokus pada hari minggu pagi. Untuk perform tergantung undangan dan perlombaan. Perform biasanya jika ada kunjungan sekolah. Seminggu bisa tiga kali perform di setu babakan. Sistem perform dibuat ada beberapa tim inti dan di gilir untuk perform. Anggota sanggar secara administrasi sejak th 2002 ada 600, yang aktif sekitar 350an. anggotanya variatif anak muda remaja dan dewasa terbagi ke beberapa bidang ada seni tari, seni musik, silat. Kebanyakan dari luar
57
yaitu depok, Jakarta timur, ciputat, dll. Rata-rata motivasi ikut sanggar ada yang untuk keahlian keperluan casting, untuk pendidikan guru tk, ada juga yang memang ingin bisa kesenian Betawi. Ada banyak non Betawi yang juga turut belajar kesenian Betawi. Secara tidak langsung belajar kesenian Betawi juga turut melestarikan budaya Betawi. Hambatan yang dihadapi saat ini salah satunya terbatasnya pelatih yaitu hanya satu pelatih tari, satu pelatih musik dengan dua asisten, satu pelatih silat. 5. Masyarakat Betawi Setu Babakan Masyarakat Betawi setu babakan menjadi salah satu agensi budaya yang mengkonstruksi habitus dalam suatu arena kemasyarakatan sekitar Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan. Masyarakat asli Betawi sebagian besar terserap dalam sektor informal (pedagang kuliner/souvenir khas Betawi). Mereka tentu menjadi agen dalam mewujudkan atmosfer keBetawian di sekitar setu dengan menjajakan makanan/minuman khas Betawi yang sudah sulit ditemukan saat ini. Namun demikian, dengan jumlah proporsi masyarakat pendatang yang sama dengan masyarakat asli tentu banyak memberikan perubahan atmosfer keBetawian yang ada di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.
58
6. Wisatawan Beberapa tabel dibawah ini akan menunjukkan data kunjugan wisatawan yang berkunjung ke Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan 5 tahun terakhir yaitu dari tahun 2010 sampai yang terbaru tahun 2014. Tabel tersebut diharapkan dapat memberikan informasi serta gambaran mengenai karakteristik wisatawan yang berkunjung ke Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Tabel 3. Data Kunjungan Wisatawan ke Perkampungan Budaya Betawi Per-tahun 2010-2014 Lokal Asing LSM, LSM, Tahun Mahasiswa Masyarakat Mahasiswa Masyarakat Lembaga Lembaga dan pelajar umum dan pelajar umum Pemerintah Pemerintah 2010 6 5 39 8.852 9.255 106.911 2011 40 3 55 10.683 10.163 125.271 2012 18 1 52 12.926 9.558 171.541 2013 107 10 21 11.023 12.437 176.041 2014 129 63 24 14.091 11.601 178.449 Jumlah 300 82 191 57.575 53.014 758.263 (sumber : Database Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan) Tabel diatas menunjukkan bahwa hadinya Perkampungan Budaya Betawi disambut baik masyarakat Betawi maupun masyarakat umum. Data diatas menjelaskan bahwa selama 5 tahun terakhir jumlah kunjungan wisatawan baik Betawi maupun non Betawi mengalami peningkatan disetiap tahunnya. Data tersebut menjadi motivasi untuk seluruh pihak yang ada di dalam pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan agar terus meningkatkan kualitas pelayanan untuk lebih banya
Jumlah 125.068 146.215 194.096 199.639 204.407 869.425
59
menarik wisatawan. Harapannya akan memberikan dampak positif untuk kelangsungan tradisi dan budaya Betawi secara berkelanjutan. Berikut data spesifik jumlah kunjungan pada tahun 2014. Tabel 4. Data kunjungan wisatawan ke perkampungan budaya Betawi pada tahun 2014 per bulan dan per harinya Hari kunjungan Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu Januari 305 762 531 475 3261 1.406 3.261 Februari 150 766 649 879 737 2892 2.892 Maret 970 435 1401 1082 5099 4030 4.030 April 275 798 1113 1197 789 4535 4.535 Mei 390 899 1008 1680 900 4735 4.735 Juni 200 1757 2390 1010 4931 1.200 4.931 Juli 6010 5506 2178 2500 1.700 5.000 2.500 Agustus 785 2158 1973 4178 1.168 14.712 14.712 September 756 1336 1331 1163 2.651 5.439 5.439 Oktober 860 2951 2991 2365 1.812 4.620 4.620 November 551 2107 2063 1150 1.523 7.290 7.290 Desember 4474 2366 2467 1.200 3.122 4.915 4.915 Jumlah 8.142 20.139 26.370 23.989 22.511 63.860 63.860 (sumber : Database Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi Setu Bulan
Jumlah 10025 6915 14685 10547 12117 13948 24644 36365 15924 18601 19135 22001 204.907
Babakan)
Kesimpulan dari data yang didapatkan peneliti selama melakukan penelitian adalah bahwa hari sabtu dan minggu merupakan hari yang paling banyak dikunjungi wisatawan ke Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Hal tersebut dikarenakan pada hari sabtu dan minggu ditampilkan acara-acara kebudayaan Betawi di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Bulan agustus tahun 2014 merupakan bulan yang menghasilkan wisatawan terbanyak dalam satu tahun, hal tersebut dikarenakan pada bulan tersebut ada banyak pertunjukan dan bertepatan
60
dengan liburan hari raya. Berdasarkan data pengunjung tersebut juga dapat disimpulkan bahwa masyarakat umum menjadi penyumbang wisatawan terbanyak, kemudian berikutnya mahasiswa/pelajar, disusul oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan lembaga Pemerintahan. Oleh karena itu pengembangan harus terus berlanjut. Terutama untuk pengembangan non fisik yang sifatnya pelestarian kebudayaan haruslah berjalan secara continue.
BAB III SEJARAH TERBENTUKNYA PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI (PBB) SETU BABAKAN DAN PENGEMBANGANNYA
A. Asal Usul Masyarakat Betawi Saidi, 2001 dalam penelitian etnografinya menjelaskan mengenai asalusul masyarakat, kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Betawi yang dilakukan oleh pakar seperti muhadjir dari sudut bahasa atau Lance Castle dari sudut demografi lebih berorientasi pada kawasan kali besar dan sekitarnya . Kawasan kali besar dan sekitarnya sejak abad ke 12 menjadi amat penting peranannya ketika kekuasaan sunda padjajaran membangun pelabuhan sunda kelapa. Budayawan Ridwan Saidi berkesimpulan bahwa dipahami kalau studi tentang masyarakat Betawi tempo dulu dari segi geografis identik dengan kawasan kali besar sehingga pakar yang menganut pendekatan ini disebut sebagai Mahzab Kali besar. Mahzab kali besar menganggap bahwa bahasa yang digunakan di kasawasan kali besar mencerminkan bahasa Betawi dan disekitarnya sudah dipastikan pula populasi Betawi. Tata pikir mahzab kali besar adalah bertitik tolak dari runtuhnya keraton jayakarta yang diserbu pasukan Jan Pieterzon Coen pada yahun 1916. Keraton jayakarta yang didirikan di tepi kali besar itu dibakar dan seluruh penghuninya baik kerabat keratin maupun rakyat biasa, diusir keluar kawasan kali besar (Saidi, 2001). Coen membangun kota baru bernama Batavia dan untuk itu 61
62
coen mendatangkan budak dari berbagai penjuru nusantara untuk dijadikan pekerja paksa. Tujuan coen adalah menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan VOC (Shahab, 2002). Budak dari luar seperti arakan (Burma), Andaman dan Malabar (India). Budak budak ini lah yang menurut pandangan Castle merupakan leluhur orang Betawi. Dalam buku Dari Holotan Ke Djakarta yang ditulis oleh Prof Slamet Mulyana (Saidi, 2001) mengungkapkan bahwa dalam satu ekskavasi di kawasan condet, Jakarta timur ditemukan kapak genggam dari zaman Neolithikum. Ini memberikan petunjuk bahwa condet merupakan daerah hunian purba di Jakarta. Saidi merasa bahwa kehadiran orang Betawi sudah ada sejak zaman purbakala, bukan seperti Lance Castle sampaikan. Buku Sejarah nasional Indonesia II (Saidi, 2001) mengungkapkan bahwa ketika orang Belanda pertama kali tahin 1596 di Kalapa, mereka menceritakan bahwa banyak sekali dijumpai pencari ikan. Disebutkan dalam hikayat banjar bahwa kependudukan yang berada di dalam dan diluar keratin jayakarta berjumlah 3000 keluarga. Bila tiap keluarga memiliki rata-rata 5 jiwa, maka jumlah penduduk di kalapa diperkirakan 15.000 orang yang berdiam di keraton dan sekitarnya. Tawanan dan budak itu ditempatkan terpisah dengan pribumi dan tidak berbaur, sehingga tercipta daerah sentra sesuai etnis yang menghuni suatu tempat tertentu. Etnis Betawi ini mulanya mengandalkan persaudaraan sesama mereka saja, oleh karena itu banyak dari mereka yang masih memiliki
63
hubungan darah di banyak tempat. Contoh daerah seperti Tugu dan Cilincing Jakarta utara adalah tempat singgah bagi para budak Portugis (Saidi, 2001). Penamaan Betawi pada tahun 1865 bermula dari orang-orang melayu yang beragama islam mempunyai nama dari para pendatang seperti Arab dan Cina. Mereka menyebut orang Melayu muslim Jakarta ini dengan panggilan orang selam, karena mereka kebanyakan memeluk agama islam. Tetapi dalam perkembangannya sebutan orang selam sudah tidak dipakai lagi oleh orang Betawi. Sebutan kaum Betawi mulai popular kembali ketika Mohammad Husni Thamrin mendirikan perkumpulan Kaum Betawi pada tahun 1918, sebagai etnis/suku baru dimunculkan dalam sensus penduduk mulai tahun 1930. Merunut sejarah kota-kota modern di Asia Tenggara (termasuk Jakarta) perkembangan kota dibentuk oleh warisan sejarahnya. Dalam dinamikanya banyak kota terlahir sebagai akibat pusat-pusat politik tradisional seperti istana kerajaan, pusat-pusat perdagangan, pusat kekuasaan administrasi, politik, keamanan, ekonomi dan kebudayaan. Kota Jakarta mengalami perkembangan sebagai kota, sejak kekuasaan Belanda, yang kala itu kota dibangun sesuai dengan kepentingan Belanda. Ruang-ruang yang tersedia di Kota Jakarta (Batavia), adalah didaerah berawa-rawa di pinggir dataran aluvial, yang dilintasi beberapa sungai yang membelah kota seperti sungai Ciliwung, Citarum, Cisadane. Perkembangan Jakarta kemudian menjadi semakin menonjol karenakedudukannya sebagai ibukota Negara Indonesia, yang
64
mempunyai corak dan kebudayaan yang majemuk, penuh kontras dan kosmopolitan. Saat ini Jakarta mempunyai ciri kehidupan perkotaan yang berorientasi pada ekonomi kapitalistik, yang berorientasi pada pasar. Sebagai buktinya berbagai sumber daya alamiah maupun budayanya ditransformasikan menjadi modal industri dan perdagangan. Berbagai keanekaragaman kultural (modal non ekonomi) seperti tradisi Betawi yang dahulu kala mewarnai kehidupan Jakarta dianggap tidak popular dibanding dengan modal ekonomi. Kemampuan dalam
melakukan pertukaran
ekonomi
terlihat
melalui
banyaknya mall, pasar modern, menunjukkan budaya popular lebih menonjol dibanding dengan pertukaran sosial, sebab publik dibayangkan homogen (Pirous, 2011). Sebuah paradoks mengingat fungsinya sebagai ibukota Negara, Jakarta seharusnya menjadi tempat yang sangat strategis, tempat bertemunya berbagai kebudayaan dari seluruh dunia. Ciri pluralisme dikuatkan oleh hasil penelitian Lance Castle (2007) tentang Profil Etnik Jakarta yang menunjukkan keanekaragaman etnis sejak jaman kolonial. Dengan demikian pluralisme membutuhkan perencanaan pengembangan kota yang komprehensif. Yasmine Z. Shahab (2004:85) menggolongkan orang Betawi menjadi Betawi Kota, Betawi Tengah, Betawi Pinggir, Betawi Pesisir, Arab Betawi, Cina Betawi, dan Betawi Udik. Pada mulanya penggolongan tersebut mendapat protes dari sebagian kecil Betawi yang melihatnya sebagai pemecah belah. Saat ini penggolongan tersebut praktis semakin menghilang mendekati
65
homogenitas, karena mayoritas Betawi saat ini berdomisili di daerah Pinggiran, sehingga akan sangat sulit mencari orang Betawi Kota. Salah satu pertimbangan
utama
ditetapkannya
wilayah
Setu
Babakan
sebagai
perkampungan budaya Betawi oleh pemerintah daerah Jakarta adalah karena kawasan ini termasuk salah satu wilayah berkomunitas Betawi yang masih bertahan di tengah perkembangan masyarakat Jakarta yang semakin heterogen. Hal tersebut senada disampaikan oleh salah satu informan IS yaitu, “ Betawi saat ini sangat luarbiasa menerima asupan budaya dari luar sebagai proses yang tidak bisa dihindari, sejalan dengan jakarta sebagai icon Indonesia. Betawi saat ini merupakan sebuah konsekuensi dan tidak bisa dihindari. Sebenarnya masyarakat Betawi
merupakan
inti
kebudayaan
Jakarta.
Walaupun
prosentasenya menurun. Bahwa Betawi awalnya memang egaliter jadi tidak ada instruksi secara khusus berbeda dg suku naga atau badui yang masih sangat kental dengan struktur adat. Pengaruh agama yang semakin berkembang tentu saja berdampak pada sistem budaya yang menyusut karena banyak pengaruh islami yang kuat. Tetapi saat ini Betawi mulai muncul dan dikembangkan kembali karena semangatnya mulai kembali membara dan dikuatkan dengan regulasi dari pemerintah daerah” (Petikan wawancara dengan Informan IS, 23 Oktober 2015)
Upaya yang dapat dilakukan dalam perwujudan konservasi kebudayaan salah satunya adalah dengan melakukan pengelompokkan penduduk asli dalam suatu daerah. Akan tetapi hal ini mengandung maslah-masalah etis jika ingin dipaksakan untuk dilaksanakan, kecuali jika penduduk sendiri yang menghendakinya. Untuk mempertahankan suatu kawasan dengan komunitas
66
tertentu di tengah perkembangan masyarakat yang semakin heterogen merupakan hal yang sulit. Keberhasilan pengembangan suatu tempat diperlukan iklim sosial yang kondusif dalam bentuk dukungan dan penerimaan masyarakat terhadap pengembangan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan. Kesadaran masyarakat akan potensi wilayah sekitar akan menggambarkan partisipasi dan dukungan oleh masyarakat dalam rangka
penciptaan
kondisi
yang
mampu
mendorong
tumbuh
dan
berkembangnya wisata budaya Betawi di Setu Babakan. Dalam perkembangan global saat ini, karakter sosial tidak secara otomatis berkembang pada diri warga Setu Babakan. Diperlukan rekayasa sosial yang dirancang dan dilaksanakan secara sadar dengan arah yang jelas. Rekayasa sosial ini semakin penting, karena karakter bersifat multidimensi. Karakter sosial dibentuk oleh berbagai campuran dari sifat-sifat yang ada seperti sosialibilitas, ketulusan, kejujuran, kebanggan, keterbukaan, kerja keras, dan semangat. Karakter sosial akan muncul sebagai keterpaduan dan keseimbangan dari berbagai karakteristik moral diatas. Oleh karena itu, suatu karakter sosial mesti dikembangkan berdasarkan nilai-nilai tradisi dan dipadukan dengan konteks bangsa yang ada, seperti lembaga, life style, budaya, dan agama yang dianut mayoritas warga. Dapat dikatakan bahwa karakter sosial merupakan suatu basis untuk melahirkan kesadaran sosial. Dalam kaitannya membangun jati diri dan identitas diri sebagai suatu masyarakat yang berbudaya, maka diperlukan kerjasama yang saling menguatkan satu dengan lainnya sebagai upaya mewujudkan pelestariaan budaya yang utuh.
67
B. Sejarah Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan Perkampungan Budaya Betawi merupakan suatu kawasan di Jakarta Selatan dengan komunitas yang ditumbuh-kembangkan dengan budaya Betawi, yang meliputi seluruh hasil gagasan, karya dan rekacipta fisik maupun non fisik yang bercirikan keBetawian. Gagasan untuk membangun kawasan Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, kelurahan Srengseng Sawah, kecamatan Jagakarsa, kota administrasi Jakarta selatan, sudah dirintis sejak tahun 1987 oleh para tokoh masyarakat Betawi yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap pelestarian budaya Betawi. Beberapa alasan mendasar yang melatarbelakangi gagasan tersebut antara lain : 1. Gagalnya konservasi kampung Betawi di kawasan Condet, Jakarta Timur dan sekitarnya yang digagas di masa gubernur Ali Sadikin oleh berbagai sebab. 2. Pentingnya menjaga sejarah perkembangan permukiman kota Jakarta dan budaya masyarakatnya. Konservasi ini merupakan salah satu langkah antisipasi
dari
semakin
berkembangnya
jaman
agar
kedepannya
masyarakat kota Jakarta tidak kehilangan “Betawi”, baik dari sisi sejarah maupun asal usulnya. Pada awalnya konservasi perkampungan budaya Betawi semata-mata untuk dua kepentingan, yaitu sejarah dan identitas (Sejarah perkembangan pembangunan kota Jakarta dan pelestarian identitas budaya masyarakat Betawi).
Kawasan Setu Babakan, Jakarta Selatan pada mulanya adalah
68
wilayah Pinggiran yang penampilannya kurang lebih sama dengan daerah Pinggiran lain di Jakarta. Alamnya yang masih terpelihara, banyak tumbuhan yang membuat kawasan itu menjadi sejuk dan nyaman untuk ditinggali. Sementara penduduknya adalah sebagian besar masyarakat Betawi yang masih cukup
kuat
mempertahankan
keaslian
budaya
mereka.
Dengan
menggandalkan Setu Manggabolong dan Setu Babakan, masyarakat sekitar mendapatkan bukan hanya air untuk menumbuhkan padi, tanaman, dan pohonpohon mereka, tetapi juga berbagai jenis ikan untuk dibudidayakan. Festival sehari di Setu Babakan pada tanggal 13 september 1997 menjadi momentum dimana Setu Babakan menampilkan berbagai macam atraksi budaya Betawi, diantaranya penanaman pohon langka, pelepasan bibit ikan ke setu, lomba masak sayur asem, lomba hias getek, dan lomba mancing. Antusias pengunjung dalam acara tersebut sangat tinggi, ada sekitar 2000 orang turut meramaikan Festival sehari di Setu Babakan. Atas respon yang baik dari masyarakat sejalan dengan perkembangan Setu Babakan sebagai obyek wisata berwawasan lingkungan, maka Suku Dinas Pariwisata dan sederet elit Betawi memunculkan ide untuk menjadikan Setu Babakan menjadi Perkampungan Budaya Betawi. Hal tersebut senada disampaikan oleh informan BR yang menyatakan bahwa : “…dulu awalnya ada festival setu disini, yang bikin acara ya orang Betawi. Didukunglah sama bang yos dia kan orang Betawi jadi ikut seneng kalo ada acara-acara Betawi. Setelah itu Setu Babakan jadi rame, jadi banyak kegiatan yang bernuansa Betawi” (Petikan wawancara dengan Informan BR, 7 Oktober 2015)
69
Menyambut ide tersebut Gubernur Sutiyoso menggelar upacara pindah rumah dinas Gubernur DKI Jakarta dengan adat Betawi, kemudian sederet kegiatan sebagai upaya perwujudan perkampungan budaya Betawi mulai digelar. Mulai dari sarasasehan, rapat koordinasi, membuat master plan, penyiapan anggaran, lokakarya, studi banding, hingga keluarnya Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 92 Tahun 2000 Tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa Kotamadya Jakarta Selatan pada tanggal 10 oktober 2000 dan Keputusan Gubernur no.3381 tahun 2000 tentang pembentukan Tim Koordinasi Pembangunan BB di kelurahan srengseng sawah, kecamatan jagakarsa, Jakarta Selatan. Peletakan batu pertama pembangunan perkampungan budaya Betawi Setu Babakan dilakukan oleh Gubernur Sutiyoso pada Jumat, 15 september 2000. Dalam perjalanannya kemudian Perkampungan Budaya Betawi (PBB) menarik banyak perhatian masyarakat luas untuk dikunjungi dengan berbagai asalan, baik sekedar ingin tahu, ingin bernostalgia dengan Betawi ataupun ingin sekedar menikmati suasana di sekitar Perkampungan Budaya Betawi (wisata). Perkampungan Budaya Betawi (PBB) sebagai suatu perkampungan yang asri di tengah gemerlap metropolitan tentu saja menarik dan membawa fantasi tersendiri bagi banyak orang. Terpilihnya Setu Babakan sebagai perkampungan budaya Betawi yang ditetapkan dengan perangkat hukum adalah keistimewaan tersendiri. Pada awal proses penetapan sempat dicari alternatif daerah yang memungkinkan untuk dapat menjadi kawasan
70
perkampungan budaya Betawi. Selain Setu Babakan, sedikitnya ada dua daerah lain yang sempat dicalonkan yaitu marunda, Jakarta utara dan condet, Jakarta timur. Pilihan terhadap Setu Babakan menjadi semacam obat terhadap kegagalan condet sebagai “agrowisata buah dan cagar budaya” di masa orde baru. Penetapan condet dan Setu Babakan mempunyai sedikit perbedaan. Posisi condet sebagai cagar budaya membuatnya istimewa karena bermakna sebagai daerah perlindungan untuk melestarikan budaya Betawi. Namun, seiring perjalanan waktu perkembangan kota Jakarta dan efek buruk modernisasi maupun globalisasi membuat daerah konservasi budaya itu mengalami kegagalan. Sementara waktu Setu Babakan ditetapkan sebagai perkampungan budaya Betawi dengan posisi yang lebih netral. Ia tidak dibebankan sebagai cagar budaya tetapi diposisikan sebagai semacam etalase yang dapat menampikan aneka bentuk budaya Betawi yang masih ada maupun yang direkonstruksi. Sebuah perkampungan tentu saja akan menunjukkan ciriciri tradisionalitasnya, yakni keaslian budaya Betawi, tetapi ia juga mampu berdampingan dan menyerap modernisasi kota. Pernyataan tersebut juga disampaikan oleh salah seorang budayawan Betawi, yaitu YA : “ya kalo condet dulu memang kurang diperhatikan, sebenarnya condet itu bukan jadi cagar Betawi tetapi cagar buah-buah kaya macem agrowisata buah karena dulu condet wilayahnya subur banget. Tapi karena banyak orang Betawinya ya jadi terkenal juga cagar budaya.lalu kebanyakan asetnya milik masyarakat jadi setika banyak pembangunan gedung, perkantoran, sekolah elit pemerintah tidak punya hak melarang karena itu bukan milik pemerintah. Nah sekarang ada PBB ini ya semoga lebih terjaga” (Petikan wawancara dengan Informan YA, 29 Oktober 2015)
71
Dengan posisinya sebagai perkampungan budaya Betawi, Setu Babakan juga melayani satu imajinasi yang tersisa tentang keaslian budaya tradisional Betawi hari ini. Bahwa ketika kota berkembang sedemikian rupa, ketika yang tradisional tergerus oleh yang modern, maka kita mengimpikan satu wilayah, tempat orang Betawi bisa bernostalgia tentang keaslian budaya mereka, dan itu berada di wilayah Pinggiran, atau jika ada etnis lain yang tertarik melihat budaya asli Betawi yang masih tersisa, mereka dapat melongok perkampungan budaya Betawi di Setu Babakan. Jadi dalam kasus Condet dan Setu Babakan merupakan gerak sentrifugal (gerak manjauhi pusat menuju pinggiran). Bahwa untuk mempertahankan keasliannya, sebuah budaya tradisional bergerak menjauhi pusat menuju pinggiran. Ketika di pusat kota relatif riuh oleh pembangunan, keaslian budaya Betawi relatif sulit ditemukan maka di daerah pinggiran Jakarta hal itu masih dapat ditemukan. Perkampungan budaya Betawi sebagai sebuah rekacipta menjadikan beban tersendiri. Bahwa masyarakat Betawi di Setu Babakan sejak semula sudah menunjukkan karakteristiknya sebagai masyarakat yang mempertahankan keaslian budaya Betawi, itu terjadi secara alamiah tanpa sentuhan apapun. Namun, ide pembentukannya sebagai perkampungan budaya Betawi lebih banyak datang dari atas (top-down) seperti elite Betawi (BAMUS, LKB) dan PEMDA DKI Jakarta (Suku Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jakarta Selatan). Awalnya diragukan dan dipertanyakan. Tetapi siapa yang menyangka begitu muncul ternyata kehadiran perkampungan budaya Betawi mendapat sambutan positif, tak hanya dari masyarakat Betawi saja tetapi juga dari
72
masyarakat non Betawi. Maka pihak-pihak terkait pun gencar menguatkan pijakan-pijakan bagi tumbuh kembangnya perkampungan Betawi ini. Pemerintah semakin intensif mengulik proses pembangunan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan. Pemerintah melibatkan LKB dan BAMUS untuk menggodok beberapa kebijakan terkait payung hukum Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan. Berikut Landasan Hukum yang dikeluarkan dalam rangka penguatan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan (Yahya, dkk., 2014) : 1. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. 2. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 bahwa Kawasan Perkampungan Budaya Betawi di Situ Babakan merupakan Kawasan Warisan Budaya. 3. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 92 Tahun 2000 Tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa Kotamadya Jakarta Selatan. 4. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 129 Tahun 2007 tentang Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kota Administrasi Jakarta Selatan.
73
5. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 151 Tahun 2007 tentang Pembangunan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kota Administrasi Jakarta Selatan. 6. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 754 Tahun 2008 Tentang Susunan Pengurus Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi. 7. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 1837 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah menjadi Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 1745 Tahun 2011 tentang Penetapan Lokasi untuk Perluasan Pembangunan Perkampungan Budaya Betawi di Situ Babakan Jalan Moch. Kahfi II, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kota Administrasi Jakarta Selatan.
C. Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Sesuai Perda No. 3 tahun 2005 menetapkan Perkampungan Budaya Betawi berlokasi di Kelurahan Srengseng Sawah. Secara administratif, Kawasan Setu Babakan merupakan bagian dari wilayah Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kota Administratif Jakarta Selatan dengan luas kurang lebih 289 ha yang dihuni oleh penduduk sebanyak 5.863 jiwa. Salah satu kewenangan Pemda Propinsi, dalam hal ini Propinsi DKI Jakarta, adalah menyelenggarakan penataan ruang kawasan strategis propinsi. Penetapan ruang didasarkan pada pengaruhnya terhadap kedaulatan Negara, pertahanan, keamanan, ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan, termasuk kawasan
74
yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Master Plan Perkampungan Budaya Betawi 2000-2010 (Dinas Tata Kota Pemda DKI Jakarta, 2001: IV-1 – IV-8) menetapkan
konsep-konsep
pengembangan
lingkungan
Perkampungan
Budaya Betawi (PBB) supaya dapat mengakomodir kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan budaya. Secara garis besar konsep tersebut dijabarkan ke dalam 2 (dua) kerangka besar: Gambar 6. Master Plan Zonasi PBB Setu Babakan
Sumber : Database Indra Sutisna 1. Lingkungan Alam/Zona Dinamis Zona
dinamis
adalah
zona
atau
wilayah
dalam
kawasan
Perkampungan Budaya Betawi (PBB) yang merupakan lingkungan alami (apa adanya) atau bukan merupakansuatu zona yang sengaja direncanakan untuk menunjang kawasan PBB. Terdiri dari Zona kampung, yaitu tempat pertumbuhan
dinamis
dari
kebudayaan
Betawi
yang
mampu
mempertahankan nilai-nilai budaya Betawi yang paling berharga dari
75
masyarakat itu. Kemudian Zona Fasilitas Penunjang, adalah areal yang memiliki fasilitas penunjang untuk kegiatan penduduk seperti sekolah, masjid, dll. 2. Lingkungan Buatan/Zona Statis Sementara Zona Statis meliputi zona kesenian yaitu areal yangmemuat dan menampung kesenian Betawi seperti tari, drama, musik; zona sejarah atau areal yang memuat dan menampung budaya Betawi; zona wisata agro yaitu areal yang berada dalam kawasan PBB baik berupa lahan kosong yang dimiliki oleh warga setempat maupun lahan yang dibebaskan oleh pemerintah; zona wisata air yaitu memanfaatkan setu yang berada di kawasan dan dilengkapi dengan perahu-perahu air; dan zona wisata industri yaitu yang memanfaatkan kawasan sekeliling setu maupun rumah adat untuk berjualan baik makanan, minuman maupun souvenir khas Betawi. Kawasan ini merupakan suatu zona dalam kawasan PBB yang sengaja direncanakan guna menunjang kawasan PBB tersebut. Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan menjadi program unggulan dari gubernur ke gubernur berikutnya. Pengembangan budaya tradisi betawi menjadi strategi politik digunakan secara strategis para calom pemimpin DKI Jakarta untuk menarik minat pemilih. Pada masa kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo, dirancang pembangunan lebih luas dan modern. Pembangunan fisik dan intrastruktur hingga saat ini masih terus dilakukan. Saat ini dalam perencanaannya terdapat tiga zona yang sedang dikembangkan, yaitu :
76
a) Zona A Luas Zona A diperkirakan sekitar 3,2 ha dimana akan dikembangkan Rumah Kebaya (pusat informasi), Pembinaan kuliner khas Betawi, museum sejarah, pusat pendidikan dan pelatohan seni budaya, rumah adat dan Youth hostel.
Gambar 7. Peta Perencanaan Zona A
Sumber : Database Indra Sutisna Beberapa titik di Zona A masih menjadi milik masyarakat setempat dan belum dibebaskan, yaitu total sekitar 7000 m2. Tampak dari penggambarannya Zona merupakan “embiro baru” bagi kelangsungan Perkampungan Budaya Betawi dimasa yang akan datang.
Jika dilihat
lebih setail seperti gambar dibawah ini merupakan skema proyek pemerintah meskipun dalam teknisnya menjadi tanggung jawab Unit Pengelola Kawasan.
77
Gambar 8. Site Plan Zona A
Sumber : Database Indra Sutisna Site plan tersebut meliputi detail-detail penempatan ruang-ruang bangunan yang menggambarkan Betawi baik pesisir, tengah, kota, maupun Betawi pinggir. Rumah kebaya berada paling depan rumah kebaya difungsikan untuk pusat informasi, kantor UPK, dan ruangan-ruangan kedinasan. Wisma Betawi letaknya ada di samping kiri rumah kebaya dan wisma Betawi ini belum terbangun. Pusat pendidikan dan pelatihan seni budaya terletak di samping kanan rumah kebaya, hingga berlangsungnya penelitian gedung tersebut belum terbangun. Museum sejarah dan purbakala juga belum rampung proses pembangunannya, tetapi museum ini dibangun untuk kebutuhan kesejarahan Betawi. gedung kesenian dan serbaguna dibangun untuk keperluan wisatawan yang ingin menggunakan fasilitas gedung untuk acara-acara tertentu.
78
Gambar 9. Denah Amphitheater
Sumber : Database Indra Sutisna Zona amphitheater merupakan zona yang dipersiapkan untuk kebutuhan pertunjukan seni budaya, baik lenong,tari, gambang kromong dan lain sebagainya. Nantinya zona pertunjukkan ini akan menggantikan panggung teater terbuka yang ada di sekitar forum jibang. Dapat dikatakan bahwa zona ini merupakan salah satu ruh yang dingin dikembangkan, bahwa aka nada pertunjukkan rutin yang digelar setiap hari minggu maupun untuk keperluan acara-acara tertentu. Disekitar teater ini di bangun rumah-rumah adat yang difungsikan untuk properti pertunjukan yang meliputi, rumah adat gudang digunakan untuk ruang musik/sound system, rumah kebaya digunakan untuk ruang rias wanita, rumah adat joglo digunakan untuk ruang rias laki-laki, rumah adat bapang digunakan untuk ruang monitor, rumah adat pesisir
79
digunakan untuk ruang persiapan, dan rumah adat pesisir pulai seribu digunakan untuk gudang properti. b) Zona B Gambar 10. Site Plan Zona B
Sumber : Database Indra Sutisna Zona B merupakan zona yang nantinya akan dikembangkan kuliner nusantara, mulai dari kuliner Betawi beserta kuliner nusantara lainnya. Arena seluas 3700 m2 ini diperuntukkan bagi penampungan para pedagang kuliner yang diperkirakan dapat menampung 200 PKL. Pengembangan zona kuliner ini juga merupakan solusi atas permasalahan kumuhnya penataan PKL yang saat ini berada di sekitar pinggiran setu. Hal tersebut dikarenakan adanya pedagang yang menempati pinggiran setu dianggap menganggu pemandangan setu, dan untuk konservasi lingkungan hal tersebut dikhawatirkan akan merusak kualitas air setu dan peresapan air disekitar PKL berada.
80
c) Zona C Gambar 11. Site Plan Zona C
Sumber : Database Indra Sutisna Sementara Zona C dengan luas 2,8 ha akan dikembangkan sebagai resort di atas danau dan nantinya akan disewakan kepada pengunjung. Pengelola membangun dermaga yang akan difungsikan sebagai pintu masuk, 22 unit resort untuk disewakan, plaza dan information center, convention
hall,
restoran,
penjualan
souvenir.
Pihak
pengelola
membayangkan zona C ini merupakan zona yang akan merepresentasikan kehidupan Betawi, karena dalam perencanaannya nantinya akan benarbenar dikondisikan kehidupan tradisional Betawi mulai dari pembuatan kuliner has, batik Betawi maupun acara-acara adat maupun keagamaan bernuansa Betawi. Hingga saat ini pembangunan masih dalam tahap pemadatan tanah, karena lokasinya dibangun di atas setu. Setu diperluas untuk tetap menjaga kualitas air dan ikan yang hidup didalamnya.
81
Gambar 12. Ilustrasi Bangunan di Zona C
Sumber : Database Indra Sutisna Ilustrasi tersebut merupakan penggambaran yang nantinya akan terbangun di zona C, dimana nuansa perkampungan budaya Betawi akan dimunculkan. Persiapan lahan untuk pembangunan juga terus dilakukan, hingga diperkirakan waktu yang diperlukan untuk membangun zona C ini paling tidak 5 tahun ke depan. Progress zona C ini belum terlihat, karena pembangunan baru difokuskan untuk zona A dan B. Secara keseluruhan zonasi tersebut dibangun untuk tujuan representasi Betawi di Jakarta. Program percepatan terus dilakukan agar pembangunan segera rampung pada tahun 2020. Beberapa Tujuan dan sasaran Perkampungan Budaya Betawi (PBB) yang menjadi cita-cita pengelola bersama masyarakat Betawi yaitu membina dan
melindungi
nilai-nilai
budaya
Betawi,
menciptakan
dan
82
menumbuhkembangkan
nilai-nilai
seni
budaya
Betawi,
menata
dan
memanfaatkan potensi lingkungan fisik yang bernuansa Betawi, juga mengendalikan
pemanfaatan
lingkungan
fisik
dan
non
fisik
untuk
mempertahankan ciri khas Betawi. Sementara itu, ada beberapa point yang menjadi sasaran Perkampungan Budaya Betawi (PBB) yaitu tumbuh dan berkembangnya kesadaran masyarakat komunitas budaya Betawi sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian PBB, terbina dan terlindunginya sistem nilai, norma dan kegiatan budaya Betawi, dimanfaatkannya potensi lingkungan guna kepentingan peningkatan kesejahteraan sosial, dan juga terkendalinya pemanfaatan ruang sesuai dengan peraturan. PBB menggunakan konsep tradisional pengembangan kawasan, yakni pembangunan berwawasan lingkungan, yang artinya seluruh bangunan di dalam PBB harus menampilkan citra tradisional Betawi, namun juga menggambarkan suatu perkembangan yang mengacu pada konsep lingkungan. Berikut tahap-tahap pengembangan Setu Babakan 15 tahun ke depan. Tabel 5. Tahap-Tahap Pengembangan Setu Babakan 15 Tahun ke Depan
ASPEK Pengelolaan Tim Pengelola
Karyawan
Kesadaran
Tahap Pembentukan 2011-2012 Telah terbentuk Tim pengelola dan masih banyak pekerjaan yang matrix. Masih menggunakan karyawan yang sudah ada. Tim Pengelola
Tahap Transisi
Tahap Maturity
2013-2018
>2018
Pengelola sudah Pengelola telah mulai bekerja sesuai mencapai dengan profesionalisme. spesialisasinya. Sudah menambah karyawan kebutuhan Masyarakat
mulai Jumlah karyawan sudah sesuai sesuai dengan kebutuhan. sudah Masyarakat
83
Masyarakat
mulai menginformasikan kepada masyarakat.
Sponsor
Tim pengelola membuat proposal pengembangan dan mencari instansi-instansi dan perusahaanperusahaan yang berpotensi untuk pengembangan Setu Babakan.
Media partner
Tim pengelola membuat proposal dan mulai mencari media partner untuk lebih memperkenalkan Setu Babakan.
Media partner telah mulai bertambah sehingga calon pengunjung lebih sadar terhadap Setu Babakan.
Membuat layout zona tersebut dan membuat konsep teknis pelaksanaannya serta mulai membenahi kondisi danau dan agrowisata. Akan tetapi, kawasan wisata danau dan agrowisata yang ada masih terus beroperasi seperti biasa.
Setelah mendapatkan sponsor, pengelola akan mulai mengembangkan fun scenary zone terlebih dahulu karena zona ini sudah terbentuk sebelumnya sehingga hanya membutuhkan sedikit biaya untuk pembenahan dan penambahan material seperti : alat permainan air,
PRODUK Fun Scenary Zone
paham terhadap rencana ini dan mulai berpartisipasi dalam eksekusi pengembangan Setu Babakan. Pengelola mulai mendapatkan dana ataupun materi yang dibutuhkan dalam pengembangan Setu Babakan dan masih terus mencari sponsor untuk pengembangan selanjutnya.
sudah ikut berpartisipasi dan mendukung bisnis pariwisata Setu Babakan. Sponsor terus bertambah sehingga pembangunan terus berjalan dan pengelola menjaga hubungan baik dengan pihak sponsor dan terus mencari sponsor lainnya demi pembangunan Setu Babakan yang berkelanjutan. Menjalin hubungan yang baik dengan pihak media partner.
Telah terbentuk fun scenary zone yang seutuhnya dan beroperasi seperti rencana dan terus ditingkatkan pelayanannya.
84
Culture and learning centre
Performing Zone
Shopping Zone
Resort Zone
Membuat layout zona tersebut dan membuat konsep teknis pelaksanaannya. Akan tetapi kegiatan ini bisa mulai dilaksanakan di panggung yang sudah tersedia dan spot-spot potensial lainnya yang sudah ada guna memberikan ruang bagi masyarakat untuk turut berkontribusi dalam zona ini. Membuat layout zona tersebut dan membuat konsep teknis pelaksanaannya. Akan tetapi, kegiatan ini bisa dilaksanakan di panggung yang sudah tersedia dan terus mencari performer. Membuat layout zona tersebut dan konsep pelaksanaannya. Akan tetapi proses pembelanjaan masih dilakukan masyarakat Setu Babakan yang sudah tersedia. Membuat layout konsep dari zona
penambahan flora dan tempat walking kitchen. Mulai dibangun dengan menambah 3 panggung outdoor untuk tempat latihan sanggar-sanggar, silat dan kegiatan kesenian seni budaya Betawi. Dan pada tahap ini sudah berlangsung kegiatannya secara utuh.
Zona ini sudah terbentuk sempurna dan kegiatan latihan seni budaya Betawi terus terlaksana di zona tersebut dan sanggar-sanggar seni sudah terorganisir dengan teratur.
Balai Betawi mulai Balai Betawi dirancanakan sudah mulai dibangun dengan pembangunannya. dana sponsor besar dan di akhir 2020 sudah terbangun dan mulai beroperasi.
Mulai membangun area shopping zone dan selesai di akhir 2018.
Di 2018 shopping zone telah beroperasi dan dapat mulai memberikan pemasukan yang tinggi bagi Setu Babakan.
Mencari sponsor Rezort zone khusus yang mau selesai dibangun mengembangkan dan mulai
85
ini.
resort zone ini.
PROMOSI
Terus melakukan pelayanan kerjasama dengan media yang sudah ada dan terus mencari media partner. Membuat proposal kerjasama dengan instansi dan perusahaan yang potensial agar melakukan kunjungan ke Setu Babakan. Melakukan roadshow. Menyiapkan konsep Setu Babakan fair. Mencari tempat wisata lain untuk bekerjasama mencari instansi atau perusahaan atau organisasi untuk dapat bekerja sama dalam memberikan diskon. Menciptakan logo dan membuat penunjuk arah yang efektif menuju Setu Babakan.
Menjalin kerjasama yang cukup banyak dengan media partner dan menjaga rutinitas iklan. Instansi dan perusahaan tersebut mulai melakukan kunjungan wisata di Setu Babakan. Roadshow lebih diintensifkan. Sudah bisa dimulai Setu Babakan fair kecil-kecilan. Mulai membuka stand information centre Setu Babakan di tempat wisata Jakarta lainnya. Membuat dan memberikan diskon atau penawaran khusus. Logo sudah mulai di kenal masyarakat, khususnya calon pengunjung.
PELAYANAN
Pengelola mulai Pengaplikasian membuat konsep konsep dan teknik dan teknik pelayan yang dibuat pelayanan yang dan melakukan
beroperasi di tahun 2022. Sudah mulai menggunakan jasa iklan televisi. Terjalin hubungan yang baik dengan banyak instansi dan perusahaan agar menjadi konsumen tetap Setu Babakan. Program roadshow sudah tidak terlalu digunakan. Setu Babakan fair mulai dilakukan secara besar dan dikenal masyarakat. Terus berkembang stand information centre Setu Babakan. Terus mengembangkan penawaran khusus untuk calon pengunjung agar tetap menjaga minat pengunjung tersebut. Logo sudah dikenal masyarakat Indonesia. Telah terbentuk sistem pelayanan yang ideal dan sangat
86
ideal bagi Setu Babakan dan membandingkan pelayanan dengan tempat wisata terkemuka lainnya.
evaluasi terhadap hal tersebut dan mencari yang masih kurang baik dan terus mengaplikasikannya kemudian kembali di evaluasi. Membuat Sudah HARGA ekspektasi budget mengaplikasikan dan penerimaan harga dengan teknik pada sales-oriented dan pengembangan introductory price, dan pengoperasian terutama ketika sudah terbentuk Setu Babakan. zona-zona baru. (Windi Natriavi dkk, dalam Beky, 2014)
memuaskan bagi pengunjung.
Harga telah sesuai dan sudah mendapat profit optimum.
BAB IV PERAN AGENSI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM PRAKTIK REKACIPTA PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI (PBB) SETU BABAKAN
A. Konteks Sejarah Rekacipta Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan dan Keterlibatan Agensi Perkampungan Budaya Betawi saat ini bukan hanya wacana, tetapi sudah teraktualisasi di wilayah Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah Jakarta Selatan diwakili oleh Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mulai menunjukkan keseriusannya, bahwa kebijakan yang mereka turunkan mulai diaplikasikan dengan hadirnya kembali Betawi (Perkampungan Budaya Betawi) ditengah masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Ada beberapa aspek yang kemudian melatarbelakangi Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan menjadi arena praktik rekacipta. Dalam setiap kebijakan yang diturunkan pemerintah tidak lepas dari adanya konteks politik, ekonomi, sosial, budaya dan juga pariwisata, mengingat Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan merupakan aset budaya yang cukup potensial bagi pemerintah dan kelangsungan Betawi kedepannya. Berikut beberapa uraian terkait beberapa konteks sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya Perkampungan Budaya Betawi.
87
88
1. Konteks Dinamika Politik Penasionalisasian tradisi lokal tampaknya telah berjalan cukup lama dalam sejarah perjalanan umat manusia (Hobsbawm, 1987:86). Sebagian telah berlangsung sejak 200 tahun yang lalu dan sebagian lainnya baru terlaksana beberapa tahun terakhir. Sebagian dari proses ini direkacipta dengan sadar dan sengaja dalam usaha nasionalisasi tradisi lokal, dan sebagian lagi terjadi tanpa disengaja yang akhirnya menuju pada nasionalisasi tradisi lokal. Proses nasionalisasi tradisi lokal terus berjalan hingga kini dalam kedua bentuknya, yang sengaja dinasionalisasikan, serta yang tidak sengaja telah ternasionalisasikan. Baik disengaja atau tidak, tradisi-tradisi lokal dengan wajah dan fungsi baru itulah yang dikategorikan sebagai rekacipta tradisi, mengenai rekacipta tersebut umumnya membahas tujuan serta faktor-faktor yang melatar-belakangi proses rekacipta ini. Hal tersebut senada disampaikan oleh salah satu informan yang merupakan budayawan Betawi. “pada kenyataannya Betawi yang ada diSetu Babakan memang rekacipta, artinya diproduksi lagi secara kultural untuk menyesuaikan perkembangan jaman. Saat ini sangat susah mempertahankan keaslian, karena yang lampau betul-betul sudah hilang bersamaan dengan generasi yang terus berganti” (Petikan wawancara dengan Informan YS, 12 November 2015) Proses rekacipta tradisi Betawi memberi peluang luas untuk membahas sisi otoritas dalam proses rekacipta tradisi. Pertama, rekacipta tradisi Betawi dilakukan oleh orang Betawi dan orang nonBetawi, oleh
89
lembaga Betawi dan lembaga non Betawi, oleh lembaga pemerintah dan oleh lembaga non-pemerintah. Kedua, dalam proses rekacipta ini (yang telah dan sedang terus berlangsung sejak tahun tujuh puluhan) ternyata telah terjadi pergeseran kekuasaan dalam arti waktu dan ruang dalam pengambilan keputusan batasan keBetawian. Terdapat perbedaan pendapat terutama pada aspek pelabelan hasil rekacipta, apakah produk rekacipta tersebut dianggap tradisi Betawi sehingga dapat dikategorikan sebagai Betawi atau sebagai non Betawi. Adanya dua pihak utama dalam proses rekacipta ini : Betawi dan non Betawi, lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah, menyebabkan proses ini amat diwarnai dengan pertentangan-pertentangan, suatu prasyarat untuk mengukur sisi otoritas dalam proses ini. Representasi masing-masing kelompok yang terdapat dalam proses rekacipta yang sekaligus menjadi subyek dalam hal ini adalah Dinas Kebudayaan DKI yang merupakan representasi Pemda DKI; Lembaga Kebudayaan Betawi yang merupakan representasi masyarakat Betawi; Orang Betawi yang berkiprah dalam proses rekacipta ini umumnya adalah kelompok elit Betawi melalui organisasi-organisasi Betawi. Dua kelompok dalam proses rekacipta ini, khususnya kelompok pemerintah dan Betawi, merupakan kelompok-kelompok yang amat berbeda dalam arti kekuasaan. Pernyataan tersebut juga disampaikan oleh salah satu informan yang merupakan budayawan Betawi, “jadi tidak ada istilah bottom-up dalam rekacipta Betawi, semuanya di top-downkan karena Betawi punya elit yang menjadi perantara. LKB menjadi perantara yang cukup baik
90
karena memang yang orang-orang LKB punya dedikasi terhadap Betawi, berbeda dengan BAMUS yang memang lahirnya setelah LKB. BAMUS tidak menyentuh hingga tataran budaya karena mereka semua hanya politisi saja, yang urusannya juga hanya untuk politik” (Petikan wawancara dengan Informan YA, 29 Oktober 2015) Pengertian elit dan kekuasaan di sini akan difokuskan dalam batasan elit dan kekuasaan yang membagi kelompok elit atas dua bagian, yaitu elit yang memerintah yang terdiri dari individu yang secara langsung maupun tidak langsung memainkan bagian yang berarti dalam pemerintahan; elit yang memerintah yang terdiri dari mereka yang tidak termasuk dalam kelompok pertama. Semua masyarakat, dari yang belum begitu berkembang hingga masyarakat yang sudah kuat dan berkembang pesat, senantiasa muncul dua kelas: kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang pertama senantiasa lebih sedikit jumlahnya, mempunyai monopoli kekuasaan, dan memperoleh semua keuntungan yang timbul karena itu; kelas yang kedua yang jumlahnya lebih banyak, dipimpin dan diawasi oleh kelas pertama. Kelompok pertama ini dapat memerintah karena kelompok ini memang terorganisasi, terdiri dari individu-individu yang lebih unggul. Anggota-anggota dari kelompok ini memiliki atribut yang mendapat penghargaan dan pengaruh dalam masyarakat tempat mereka berada. Kelompok kedua merupakan kelompok elit dari masyarakat yang lebih luas, yang berperan atas nama kelompok yang lebih luas itu. Dalam masyarakat modern, kelompok
91
pertama tidak begitu saja ditempatkan di atas seluruh masyarakat, tetapi berhubungan erat dengan masyarakat melalui kelompok kedua yang kurang berhubungan dengan pelaksanaan kekuasaan, walaupun mereka ini mempunyai pengaruh sosial yang penting. Yang tersebut terakhir adalah kelompok-kelompok fungsional dan pemangku jabatan yang memiliki status tinggi dalam suatu masyarakat. Pemda DKI merupakan kelompok elit yang memiliki kekuasaan formal, dan LKB merupakan kelompok elit Betawi yang berfungsi sebagai representasi Betawi, penghubung antara pemda DKI dan masyarakat Betawi. Awal berdirinya organisasi Betawi pada umumnya diprakarsai orang Betawi Kota, sejumlah kecil orang Betawi Tengah, dan tidak ada satu pun orang Betawi Pinggir yang berpartisipasi. Oleh karena itu, dalam diskusi selanjutnya sebutan Betawi menunjuk pada orang Betawi Kota dan Tengah. Hanya ketika berbicara tentang Betawi Pinggir, maka akan disebut label tambahan pada kata Betawi. Sampai beberapa saat yang lalu, bila berbicara mengenai kelompok elit Betawi, kata ini menunjuk pada Betawi Kota dan Betawi Tengah. Kelompok elit agama lebih menunjuk pada kelompok Betawi Tengah, sedang kelompok elit politik lebih menunjuk pada kelompok Betawi Kota. Walaupun kini mulai terdapat pergeseran dan perubahan, lebih dominannya orang Betawi Kota dalam kelompok elit politik dan dominannya orang Betawi Tengah dalam kelompok elit agama merefleksikan sisa sejarah. Sehingga dalam perjalannannya Betawi cukup
92
banyak didominasi oleh peran LKB dan pemerintah. BAMUS dalam hal ini dijadikan penyangga untuk memberikan kekuatan terhadap Betawi di kancah perpolitikan.
2. Konteks Perkembangan Ekonomi Dalam banyak sisi, rekacipta Betawi membutuhkan banyak kucuran dana. Pembangunan demi pembangunan gencar dilakukan dengan penyalur dana terbesar berasal dari Pemerintah daerah. Pihak swasta sementara ini terbatas menyalurkan bantuan melalui program Corporate Soscial Responsibility (CSR) mereka. Sejak awal dalam upaya mewujudkan rekacipta Betawi tentu salah satu tantangan pemerintah adalah penyediaan dana yang tidak sedikit karena proses ini benar-benar dimulai dari nol dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Dana untuk pembebasan lahan, pembangunan, perawatan merupakan hal yang menjadi fokus utama dalam pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan ini. Hal tersebut juga disampaikan oleh kepala Unit Pengelola Kawasan, “kawasan PBB Setu Babakan merupakan konsen pemerintah terutama dalam hal pendanaan, memang ini semua berasal dari pemerintah yang menginginkan hak milik PBB menjadi milik pemerintah. Ini merupakan salah satu langkah pemerintah untuk mengantisipasi kegagalan pengembangan seperti yang terjadi di condet pada masa itu. Pemerintah menginginkan asset yang ada dimiliki dan diatur oleh pemerintah, untuk itu dibentuk juga UPK sebagai tangan
93
kanan pemerintah dalam hal pengelolaan. Tidak menutup kemungkinan bahwa pada masanya nanti ini akan berubah menjadi BLUD” (Petikan wawancara dengan Informan SA, 27 Oktober 2015) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI menganggarkan dana sebesar Rp 254 miliar untuk menyelesaikan pembangunan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan, Jagakarsa, Jaksel. Kepala Disparbud DKI mengatakan, total alokasi anggaran untuk pembangunan PBB Setu Babakan sebesar Rp 291 miliar. Hingga tahun ini, anggaran yang baru terpakai hanya sekitar Rp 37 miliar saja, di antara anggaran tersebut Rp 24 miliar dianggarkan tahun ini. Sisanya direncanakan akan dianggarkan secara bertahap selama lima tahun kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Namun karena Gubernur menginginkan pembangunan Setu Babakan dapat rampung dalam dua tahun, maka anggaran pembangunan akan dibagi menjadi dua tahap. Kepemimpinan ahok saat ini fokus pada pembebasan lahan untuk percepatan pembangunan zona B dan C. Di sisi lain, di Jakarta berkembang sektor bisnis informal yang mampu bertahan di tengah badai krisis. Pengalaman krisis pada saat ini menunjukkan bahwa mereka yang bergerak di sektor informal mampu tetap eksis. Sektor informal yang ada disekitar babakan cukup untuk membuat masyarakatnya berada dalam taraf hidup yang baik. Dampak positif yang dirasakan masyarakat sekitar dari proyek pembangunan
94
Perkampungan Budaya Betawi adalah banyak kunjungan yang menjadi peluang bisnis untuk mengembangkan kuliner khas Betawi. Penggunaan lahan pedagang yang digunakan untuk menjajakan produknya ditempatkan pada sekeliling bantaran setu. Tercatat ada 224 PKL yang saat ini ada disekitar Setu Babakan (pendataan PKL Setu Babakan tahun 2015) dengan catatan jumlah tersebut tidak semua pedagang menjual kuliner khas Betawi. Produk yang djual beragam mulai dari soto Betawi, ketoprak, es selendang mayang, toge goreng, kerak telor, kue rangi, bir pletok hingga jajanan pada umumnya seperti bakso, mie ayam, popmi, segala minuman (jus, pop ice). Berikut macam kuliner yang saat ini tersedia di kawasan PBB Setu Babakan. Tabel 6. Daftar PKL Kuliner Khas Betawi Kuliner Betawi Jumlah Pedagang 24 Kerak telor 16 Ketoprak 6 Toge goring 21 Dodol Makan ringan (akar kelapa, 16 kembang goyang 18 Soto Betawi 10 Gado-gado 8 Karedok 4 Pecak ikan mas 4 Sayur asem 26 Es selendang mayang 7 Kue rangi 5 Lontong sayur 8 Asinan Betawi 13 Tape uli 15 Bir pletok Sumber : Data primer diolah Peneliti, Ariesta .A
95
Penataan PKL ini masih menjadi pekerjaan rumah pihak pengelola untuk diselesaikan, karena belum ada regulasi yang mengatur keberadaan PKL di bantaran Setu. Pengelola sangat mendukung adanya para PKL, artinya ada kesadaran mengenai pengaruh keberadaan mereka di kawasan PBB Setu Babakan. Hanya saja keberadaan mereka ini sifatnya illegal karena dari pihak Dinas PU yang membatasi penggunaannya dalam suatu regulasi yang menyatakan bahwa disekitar bantaran setu dilarang didirikan bangunan-bangunan walaupun berupa warung-warung tenda sekalipun yang sifatnya temporer. Hanya bangunan-bangunan tertentu saja seperti pos jaga, dermaga dan pos kesehatan yang diperbolehkan berdiri secara permanen. Pembatasan ini untuk menghindari adanya dampak negatif seperti tercemarnya lingkungan dan kualitas air di Setu Babakan. Kondisi yang demikian jelas meresahkan pedagang kaki lima, kesan yang muncul para pedagang adalah tidak ada dukungan dari pihak pengelola. Untuk itu, pengelola terus menerus mencari solusi atas permasalahan yang ada, kemudian muncul ide untuk relokasi pedagang dan kemudian dilokalisasi dilahan tertentu yang representatif untuk para pedagang dan pembeli. Zona B dirancang untuk lokalisasi pedagang yang ada dibantaran setu tetapi hingga kini masih dalam tahap pembangunan. Hal tersebut disampaikan oleh mantan ketua forum jibang, “saat ini pembangunan masih terus berlangsung, diantaranya pembangunan zona B yang nantinya akan dikhususkan untuk para pedagang. Nantinya akan berkonsep seperti foodcourt atau pusat jajanan Betawi yang kemudian semua makanan
96
bisa didapatkan di zona B itu.” (Petikan wawancara dengan Informan IS, 23 Oktober 2015) Mata pencaharian warga Betawi sebagian besar bergerak dalam sektor informal yang menjadi tumpuan kemandirian ekonomi mereka. Maka pembangunan yang dilakukan janganlah selalu memimpikan kemakmuran dalam semua sisi dan hasrat mencari surplus ekonomi semata. Tetapi pembangunan perlu memperhatikan surplus sosial, seperti, pengalaman belajar bertoleransi dan percaya akan kemampuan sendiri. Sebagai kota Jakarta harus melayani warganya sebagai makhluk budaya, memberikan ruang kontemplatif untuk mempelajari perbedaan budaya dan sejarah. Sehingga tercipta kota yang memihak warganya, dengan berbagai fasilitas publik yang murah seperti transportasi, perpustakaan, museum, berbagai festival rakyat, tanpa meminggirkan salah satu warganya.
3. Konteks Budaya Budaya Betawi sedikit banyak terwarnai oleh para pendatang yang menetap di Batavia. Salah satu budaya yang mempengaruhi budaya Betawi berasal dari budaya jawa dengan berbagai jenis kesenian wayang. Budaya luar selain jawa juga memiliki peran dalam warna kebudayaan Betawi, seperti budaya bali, bugis, cina, arab dan eropa. Bentuk pengaruh yang dipertahankan hingga saat ini adalah dalam bentuk kesenian topeng, lenong, tanjidor, gambang kromong, dan lain sebagainya. Sikap egaliter kaum Betawi menjadikan mereka memiliki kebudayaan meltingpot dengan
97
menggabungkan mereka kebudayaan dengan para pendatang. Terjadinya pencampuradukan kebudayaan pada kaum Betawi tentunya tidak secara mentah diterima seutuhnya, namun setengah-setengah dari masing-masing budaya. Akulturasi budaya orang Betawi sangat sering terjadi pada masa kolonial hingga nama Batavia menjadi Jakarta (Saidi, 2001). Pengadopsian yang setengah-setengah dan tidak memiliki suatu tanda tertentu seperti kerajaan, pada akhirnya orang Betawi menjadikan Islam sebagai dasar kebudayaan Mereka. Melihat segala kebudayaan menggunakan sudut pandang islam, apabila tidak sesuai dengan khasanah islam, maka orang Betawi akan meninggalkannya (Shahab, 2002). Orang Betawi tidak menggunakan stratifikasi sosial dalam kesehariannya. Derajat manusia dianggap terhormat satu sama lainnya, seperti halnya dalam islam. Terdapat dua kedudukan yang disegani oleh orang Betawi yaitu mereka para ulama dan mahir bela diri. Model kepemimpinan dengan orang yang memahami agama dan menjadi juara dalam bela diri merupakan hal yang terus dijaga oleh masyarakat Betawi. Prinsip moral dan etika orang Betawi dalam keseharian sangat erat kaitanya dengan doktrin agama. Hal serupa disampaikan oleh salah satu informan, yaitu. “tradisi Betawi sangat kental dengan keislaman, jaman dulu kalau sekolah ya pasti di sekolah agama atau dipesantren . Kegiatan orang Betawi dulu cuma ngaji, sholat jamaah dimasjid.” (Petikan wawancara dengan Informan RR, 6 November 2015)
98
Kreativitas warga, kemampuan mengembangkan budaya dan tradisi, penjagaan terhadap budaya tidak boleh diabaikan. Prinsip egalitarian orang Betawi merupakan modal sosial. Pada bulan Desember 196 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 15 No. 1 Tahun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengadakan kongres sebagai ajang dan upaya melestarikan kebudayaan Betawi. Kongres tersebut sesuai amanat UU No. 29/2007 tentang Pemprov DKI Jakarta dan SKB Menbudpar dan Mendagri No. 40 dan No. 42 tahun 2008 tentang pedoman Pelestarian Kebudayaan. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta wajib mengembangkan budaya lokal Betawi bersamaan dengan budaya lain yang tumbuh berkembang di ibukota. Ada 11 aspek kebudayaan yang dibahas dalam kongres tersebut antara
lain:
kebahasaan,
kesenian,
kepurbakalaan,
kesusastraan,
tradisi,
kesejarahan,
kehidupan
religi,
permuseuman, kepustakaan,
kenaskahan, dan perfilman. Lenong Usaha pertama Pemda DKI dalam menyentuh tradisi lokal adalah menggali dan mengembangkan teater rakyat Betawi, Lenong, dengan menunjuk Soemantri, Ali Shahab dan S.M. Ardan (Widjaja, 1976) sebagai tim untuk Menghidupkan kembali lenong yang sedang menuju pada kepunahan. Setelah berbulan-bulan bekerja, ketiga orang anggota tim rekacipta lenong ini berhasil menampilkan lenong perdana pada tahun 1968 di Taman Ismail Mardjuki. Keberhasilan mereka tidak saja tampak pada meledaknya jumlah penonton, tetapi diikuti dengan munculnya grup-
99
grup lenong dengan berbagai wajah; lenong rakyat yang berhasil mengangkat banyak aktor dan aktris lokal ke tingkat selebritis; lenong departemen sebagai media penyampaian program-program pemerintah; lenong mahasiswa yang pemainnya serta mayoritas konsumennya kelompok berpendidikan; lenong kelompok elit yang pemainnya anakanak di bawah umur dan sebagainya, yang kesemuanya merupakan warna baru dalam lenong (Shahab, 2002). Gambar 13. Kesenian Lenong Betawi
Sumber : kampungbetawi.com
Sebenarnya, lenong yang asalnya adalah milik orang Betawi di pinggiran Jakarta, pernah ditolak oleh orang Betawi Kota, khususnya kelompok menengah atas. Kelompok ini merupakan kelompok Betawi yang dominan jumlah dan perannya dalam proses pengkreasian kembali tradisi Betawi (Abayasekere 1985; Shahab 1994). Walaupun demikian, penolakan terhadap lenong hasil rekacipta tidak terlalu keras. Salah satu faktor penyebab mudahnya lenong diterima kelompok Betawi Kota pada
100
umumnya ialah adanya dua dari tiga orang tim rekacipta lenong adalah anak Betawi Kota. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Prof. Yasmine yang menyatakan bahwa, “Dalam melaksanakan pekerjaan ini telah diperhitungkan halhal yang dapat diterima dan hal-hal yang tidak dapat diterima orang Betawi, sehingga lenong tersebut mereka lihat sebagai representasi orang Betawi. Sebagai contoh kontras misalnya, munculnya Lenong Rumpi yang dinilai oleh orang Betawi tidak merefleksikan masyarakat Betawi. Demikian keras penolakan terhadap Lenong Rumpi, sehingga untuk menyelesaikannya diadakan Seminar Lenong Rumpi di Universitas Indonesia dengan peserta Lenong Rumpi, LKB, Pemda DKI, dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia.” (Petikan wawancara dengan Informan YS, 12 November 2015) Diskusi seminar menunjukkan bahwa hal-hal yang menyebabkan Lenong Rumpi tidak dapat diterima oleh masyarakat Betawi adalah pertama, hal-hal yang berhubungan dengan agama; kedua, Lenong Rumpi tidak memenuhi pakem lenong; ketiga, cerita yang dibawakan Lenong Rumpi tidak menggambarkan orang Betawi masa kini. Lenong mulai berkembang akhir abad ke-19. Sebelumnya masyarakat mengenal komedi stambul dan teater bangsawan. Hampir di semua wilayah Jakarta ada perkumpulan atau grup lenong. Lenong bukan cuma sekadar hiburan saja, tetapi juga sarana ekspresi perjuangan dan protes sosial. Lakonnya mengandung pesan moral, menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Hampir dalam semua lakonnya selalu muncul
101
seorang yang berjiwa kesatria untuk membela rakyat kecil yang tertindas . Lenong ada dua jenis: preman dan denes. Lenong denes menyajikan cerita-cerita kerajaan dalam pementasannya, antara lain : Indra Bangsawan, Jula-Juli Bintang Tujuh, dan cerita Cerita 1001 Malam. Pementasan lenong denes menggunakan bahasa Melayu tinggi. Contoh kata-kata yang sering digunakan antara lain : tuanku, baginda, kakanda, adinda, beliau, daulat tuanku, syahdan, hamba. Dialog dalam lenong denes sebagian besar dinyanyikan. Adegan-adegan perkelahian dalam lenong denes tidak menampilkan silat, tetapi tinju, gulat, dan main anggar (pedang). Lenong preman kebalikan dari lenong denes. Lenong preman membawakan cerita drama rumah tangga sehari-hari, disebut juga lenong jago. Disebut demikian kerena cerita yang dibawakan umumnya kisah para jagoan, antara lain : Si Pitung, Jampang Jago Betawi, Mirah Dari Marunda, Si Gobang, Pendekar Sambuk Wasiat, Sabeni Jago Tenabang, dan lain-lain. Dengan begitu diketahui cerita tentang kepahlawanan dan kriminal menjadi tema utama lakon lenong. Lenong preman menggunakan bahasa Betawi dalam pementasannya. Dengan menggunakan bahasa Betawi, terjadi keakraban antara pemain dan penonton. Banyak penonton yang memberi respon spontan dan pemain menanggapi. Dialog dalam lakon lenong umumnya bersifat polos dan spontan. Karena cerita yang
102
dibawakan masalah sehari-hari, kostum/pakaian yang digunakan adalah pakaian sehari-hari. Gambang Kromong Pada perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1880-an barulah orkestra gambang tersebut ditambah dengan kromong, kendang, kempul, goong, kecrek. Dengan demikian terciptalah Gambang Kromong. Dari pusat kota Batavia ketika itu, musik Gambang Kromong kemudian tersebar ke seluruh penjuru kota. Kini ia tidak hanya dikenal di Jakarta, tetapi juga di bagian utara Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek), bahkan sebelah barat Karawang sekarang ini. Kawasan-kawasan tersebut memang merupakan area budaya Betawi. Gambar 14. Kesenian Gambang Kromong Betawi
Sumber : kampungbetawi.com
Kesenian Betawi lainnya yang diangkat pemda DKI adalah gambang keromong, jenis musik asal Betawi Pinggir yang penampilannya seringkali
103
berasosiasi dengan perayaan-perayaan yang diwarnai dengan pergaulan bebas, alkohol, dan judi. Warna gambang keromong amat bertentangan dengan warna paling mendasar dari Betawi, yaitu Islam. Oleh karena itu, gambang keromong mendapat penolakan keras dari masyarakat Betawi ketika pemda mengangkat gambang keromong sebagai musik Betawi. Tetapi,
karena
inisiator
pemunculan
gambang
keromong
adalah
pemerintah, banyak acara yang di-sponsori pemerintah DKI memunculkan gambang keromong sebagai satu-satunya musik Betawi yang telah tersentuh program Dinas Kebudayaan. Para pelaksana program itu bukan orang Betawi. Penolakan orang Betawi ditampilkan dengan cara walk out tokohtokoh Betawi dari acara, segera setelah gambang keromong dimainkan. Sebaliknya, tidak ada kegiatan-kegiatan yang dijalankan orang Betawi Kota dan Betawi Tengah pada waktu itu yang memunculkan gambang keromong. Penolakan gambang keromong sebagai kesenian Betawi oleh orang Betawi cukup nyata sampai dengan akhir tahun delapan-puluhan. Pemunculan gambang keromong dalam acara Pemda amat berbeda penampilannya dengan pemunculan gambang keromong dalam bentuk aslinya. Pada acara-acara Pemda DKI, gambang keromong muncul tanpa alkohol, judi, dan penari-penari erotis. Secara bertahap, gambang keromong dengan wajah barunya diterima oleh orang Betawi. Kini,
104
gambang keromong telah mewarnai acara-acara keBetawian, baik yang diselenggarakan oleh Pemda maupun oleh masyarakat Betawi. Pada mulanya penerimaan ini hanya terbatas pada public life orang Betawi. Ketika Persatuan Wanita Betawi menawarkan latihan gambang keromong kepada para anggotanya, tidak ada respon, kecuali tawa derai. Tampaknya mereka melihat tawaran ini sebagai hal yang lucu dan sulit diterima. Jadi, walaupun kelompok elit mulai belajar untuk menerima rekacipta tradisi Pemda dan mencoba mensosialisasikannya pada kelompok Betawi, usaha ini ternyata tidaklah mudah. Gambang keromong tidak dilihat sebagai tradisi Betawi oleh orang Betawi. Setelah beberapa dekade, tampak bahwa Gambang keromong telah sepenuhnya diterima oleh masyarakat Betawi. Cabang seni ini telah mewarnai acara-acara keBetawian, baik yang diselenggarakan Pemda DKI maupun yang diselenggarakan orang Betawi, dalam public and private sphere mereka. Awalnya lagu-lagu yang dibawakan oleh orkestra Gambang Kromong hanya lagu-lagu instrumentalia yang disebut lagu-lagu pobin. Lagu-lagu pobin dapat ditelusuri kepada lagu-lagu tradisional Tionghoa di kampung halaman mereka di propinsi Hokkian (Fujian) di Cina selatan. Lagu-lagu pobin inilah yang kini merupakan lagu tertua dalam repertoar Gambang Kromong. Di antara lagu-lagu pobin yang kini masih ada yang mampu memainkannya, meskipun sudah sangat langka, adalah pobin Khong Ji Liok, Pèh Pan Thau, Cu Tè Pan, Cai Cu Siu, Cai Cu Teng, Seng
105
Kiok, serta beberapa pobin lain yang khusus untuk mengiringi berbagai upacara dalam pernikahan dan kematian Tionghoa tradisional.
Keroncong Tugu dan Cokek Gambar 15. Kesenian Tari Cokek Betawi
Sumber : Setubabakan.wordpress.com
Ketika Keroncong Tugu diangkat menjadi musik Betawi, praktis tidak ada penolakan dalam proses ini, walaupun keroncong Tugu berasal dari kelompok keturunan Portugis di daerah Tugu yang beragama Kristen. Tetapi, acara keroncong itu sendiri dalam pertunjukannya tidak berhubungan dengan unsur yang bertentangan dengan agama. Mungkin itu sebabnya tidak ada kesulitan dalam mengangkat keroncong Tugu sebagai musik Betawi.
106
Pengalaman gambang keromong amat berbeda dengan sejarah perjalanan cokek yang juga berasal dari pinggiran Jakarta. Seperti gambang keromong, pertunjukan cokek tidak dapat dipisahkan dari alkohol, judi, dan wanita. Tampaknya, usaha mencabut ketiga unsur ini dari cokek belum berhasil. Sejauh ini cokek berperan sebagai lahan inspirasi kreasi tari Betawi kontemporer. Kegagalan memisahkan faktorfaktor yang bertentangan dengan ajaran agama menyebabkan cokek tidak pernah dimunculkan dalam acara keBetawian, khususnya acara formal pemerintah dan Betawi pada umumnya. Tari cokek diiringi musik gambang kromong. Sejak awal tari cokek merupakan tari pergaulan dan hiburan. Dalam sebuah hajatan, para tamu disambut oleh para penari cokek. Beberapa penari wanita memberikan selendang kepada tetamu. Pemberian selendang itu sebagai tanda bahwa tamu diajak menari. Gerakan tari ini bertujuan humor belaka. Atau untuk memberikan kesan meriah pada setiap pertunjukan. Tari-Tarian Betawi Tari merupakan cabang seni lainnya yang umumnya berasal dari pinggiran kota Jakarta, (Betawi Pinggir) yang paling banyak dikreasi dan dimunculkan dalam acara keBetawian. Walaupun pada mulanya sering terdapat penolakan dari masyarakat Betawi terhadap hasil rekacipta tari Betawi karena tidak dilihat sebagai tari Betawi, secara lambat laun dalam waktu yang tidak terlalu lama, tari hasil kreasi ini muncul dengan label
107
Betawi. Bukan saja tidak ada alasan ataupun kekurangan dari penampilannya, melainkan akan miskinlah tradisi kontemporer orang Betawi bila selalu menolak. Gambar 16. Tari-tarian Betawi
Sumber : Setubabakan.wordpress.com
Demikian peringatan yang selalu diberikan oleh para kreator tradisi kepada orang Betawi yang menolak kreasi mereka. Selain itu, orang Betawi juga mengakui keindahan tari rekacipta ini, dan menganggapnya sebagai suatu hal yang dapat dibanggakan sebagai identitas Betawi. Deskripsi berikut melukiskan pengalaman seorang tokoh Betawi dalam menanggapi tari Betawi hasil kreasi dari Dinas Kebudayaan. Salah satu faktor utama penyebab mudahnya tari diterima masyarakat Betawi karena penampilannya sendiri tidak bertentangan dengan agama, sopan dalam gerak dan busana. Walau demikian, pada awal proses digalakkannya tari
108
Betawi, tidak ada orang tua Betawi yang mengijinkan anaknya menjadi penari. Bahkan, koreografer Betawi yang cuma dua orang jumlahnya, gagal untuk melibatkan anak Betawi. Hal itu karena orang Betawi masih melihat tari sebagai profesi yang „tercela‟, tercerminkan pada julukan kembang latar untuk para penari. Kini, pandangan negatif terhadap profesi tari mulai bergeser dengan mulai terlibatnya anak Betawi dalam sanggar tari. Ada perbedaan dalam proses rekacipta tari yang dilakukan Pemda dan para koreografer nonBetawi dengan rekacipta tari yang dilakukan oleh koreografer Betawi. Pihak pertama lebih memusatkan lahannya pada tari yang
berasal
dari
Betawi
Pinggir,
dan
pihak
kedua
lebih
mengkonsentrasikan lahan rekaciptanya pada tari milik Betawi Kota dan Betawi
Tengah.
Perbedaan
menyolok
antara
keduanya
adalah
didominasinya produk rekacipta Betawi Kota dan Tengah oleh penari lakilaki dengan busana, iringan lagu, dan musik berwarna religius (Shahab, 2002). Pengantin Betawi Budaya Betawi kemudian dapat dilihat sebagai wajah multikultural. Tak dapat dipungkiri bahwa proses menjadi budaya Betawi melwati etapeetape panjang dan melelahkan. Dalam etape itu terjadi metamorfosa sehingga berhenhenti pada bentuk yang paling diterima oleh berbagai unsur. Kita lihat saja misalnya kasus pernikahan. Bila diteliti secara seksama, dalam proses menuju hidup berumah tangga antara sepasang manusia berlainan jenis kelamin itu, setelah ijab kabul, ketika akan
109
disandingkan dalam puade (pelaminan) pengantin perempuan atau mempelai perempuan menggunakan pakaian penganten bernama busana pengantin care Cine (atau sering disebut rias gede dandanan care none penganten Cine). Busana care Cine ini terdiri dari : 1. Tuaki, yaitu baju bagian atas yang terbuat dari bahan yang gemerlap, 2. Kun, yaitu rok bagian bawah yang dibuat agak lebar, 3. Teratai Betawi, yaitu sebagai hiasan penutup dada dikenakan sehelai kain bertatahkan emas yang dibuat mengelilingi leher dan berkancing di belakang yang disebut delime, yaitu delapan bentuk dirangkai menjadi satu sehingga menyerupai belahan buah delima. 4. Alas kaki, yaitu penutup kaki mempelai putri berupa selop berbentuk Perahu Kolek yang diperindah dengan tatahan emas dan manikmanik disebut Selop Kasut. Gambar 17. Prosesi Adat Pengantin Betawi
Sumber : lembagakebudayaanbetawi.com
110
Sementara mempelai laki-laki biasanya dipanggil Tuan Raje Mude, menggunakan busana yang disebut rias gede dandanan penganten care haji. Lengkapnya rias gede dandanan care haji ini adalah : 1. Jubah, ataa jube, yaitu pakaian luar yang longgar dan besar serta terbuka pada bagian tengah depan dari leher sampai ke bawah, dengan kepanjangan yang kirakira tiga (3) jari dari pakaian dalamnya atau boleh juga sama panjangnya dengan pakaian dalamnya, 2. Gamis, yaitu pakaian dalam jubah berwarna muda, kalem, dan lembut yang tidak terlalu kontras dengan warna jubahnya. Gamis ini tidak dikasih hiasan alias polos. 3. Selempang. Selempang dipakai sebagai tanda kebesaran. Namun demikian pemaakaian selempang ini dipakai dibagian dalam jubah. Lebarnya kira-kira 15 cm, cara memakainya diselempangkan pada pundak kiri menuju pinggang kanan. Ini artinya hidup manusia cenderung salah arah alias ke arah kiri, namun pada hakekatnya arah jalan idup manusia harus selalu digiring ke arah kanan, ke arah kebaikan. 4. Alpie, yaitu tutup kepala khas sorban haji setinggi 15 cm atau 20 cm, dililit sorban putih atau emas. Hiasan alpie adalah melati tiga untai/ronce, nyang bagian atasnya diselipkan bunga mawar merah dan ujungnya ditutup dengan bunga cempaka. 5. Sirih dare, yaitu lima (5) sampai tujuh (7) lembar daun sirih dilipat terbalik, ujung atau batangnya tidak dibuang. Di dalamnya diselipkan bunga mawar merah. Ini merupakan lambang cinta kasih suami kepada istrinya. Biasanya di bawah bunga mawar merah
di dalam susunan sirih itu
111
diselipin juga uang dengan nilai tertinggi sebagai uang sembe. 6. Alas kaki. Sejak jaman Belanda, penganten pria orang Betawi mulai memakai sepatu tutup alias vantopel. Jelaslah wajah multikultural yang amat serasi antara kelokalan dengan unsur dari Tionghoa dan timur tengah, dalam hal ini Arab. Lihatlah nama-nama pakaiannya, antara lain mempelai perempuan menggunakan pakaian penganten bernama busana pengantin care Cine ( atau sering disebut rias gede dandanan care none penganten Cine). Sementara mempelai laki-laki biasanya dipanggil Tuan Raje Mude, menggunakan busana yang disebut rias gede dandanan penganten care haji. Apabila pesta perkawinan itu diselenggarakan oleh orang kaya, tentu ia akan meramaikan pesta perkawinan anaknya itu dengan amat meriah. Tentu akan digelar hiburan kesenian gambang kromong dengan teater lenongnya, orkes sambrah, tanjidor, atau topeng Betawi. Gambang Kromong tercipta ketika orang-orang Tionghoa Peranakan sudah semakin banyak di kota Batavia (Yahya A.S, 2008). Di waktu senggang mereka memainkan lagu-lagu Tionghoa dari kampung halaman kakek-moyang mereka di Cina dengan instrumen gesek Tionghoa su-kong, the-hian, dan kong-a-hian, bangsing (suling), dan ningning, dipadukan dengan gambang. Gambang yang merupakan instrumen yang diambil dari khazanah instrumen Sunda/Jawa digunakan sebagai pengganti fungsi iang-khim, yakni semacam kecapi Tionghoa, tetapi dimainkan dengan semacam alat pengetuk yang dibuat dari bambu pipih.
112
Orkes Sambrah dan Tonil Sambrah Gambar 18. Kesenian orkes sambrah
Sumber : kembagakebudayaanbetawi.com
Orkes Sambrah adalah ansambel musik Betawi. Instrumen musiknya antara lain : harmonium, biola, gitas, string bas, tamborin, marakas, banyo, dan bas betot. Dalam menyajikan lagu, unsur alat musik harmonium sangat dominan. Maka orkes sambrah disebut pula sebagai orkes harmonium. Orkes ini dimanfaatkan sebagai sarana hiburan dalam berbagai acara. Terutama untuk memeriahkan resepsi pesta pernikahan. Tonil sambrah pengembangan dari teater bangsawan dan komedi stambul . Ia sudah muncul di Betawi sekitar tahun 1918. Tonil sambrah termasuk kesenian yang komplit: musik, pantun, tari, lawak, dan lakon. Seluruh pemain tonil sambrah umumnya laki-laki. Karena dalam pengertian
113
mereka tidak boleh jika ada perempuan yang bergabung dengan laki-laki hukumnya haram. Pada tahun 1940-an, khususnya pada masa pendudukan Jepang, tonil sambrah menghilang. Baru pada tahun 1950-an tonil ini muncul kembali, tetapi namanya menjadi Orkes Harmonium. Tonil sambrah sesudah kemerdekaan ini ditata lebih rapi. Dikemas seperti halnya
persiapan
pementasan
teater.
Pemain
perempuan
sudah
diperbolehkan ikut meramaikan pementasan. Tanjidor Gambar 19. Kesenian Tanjidor
Sumber : setubabakan.wordpress.com Musik tanjidor sangat dipengaruhi musik Belanda. Alat musiknya terdiri atas klarinet, peston, Trombon, Tenor, Bass, Gendang dan Drum (Beduk). Lagu-lagu yang dibawakan antara lain : Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, Cakranegara. Judul lagu itu berbau
114
Belanda meski dengan ucapan Betawi. Lagu-lagu tanjidor bertambah dengan membawakan lagu-lagu Betawi seperti : Jali-Jali, Surilang, Sirih Kuning, Kicir-Kicir, Cente Manis, stambul, dan persi. Topeng Topeng dalam bahasa Betawi mempunyai tiga arti: kedok penutup wajah, teater atau pertunjukan, dan primadona atau penari. Topeng yang dimaksud di sini dalam pengertian pertunjukan atau teater rakyat Betawi. Awalnya pertunjukan topeng tidak menggunakan panggung tapi di tanah. Bila perkumpulan topeng mengadakan pementasan, properti yang digunakan hanya colen atau lampu minyak bercabang tiga dan gerobak kostum diletakkan di tengah arena. Dengan kondisi itu pemain dan penonton tidak dibatasi dengan tirai atau dekor apapun. Pergantian adegan dilakukan dengan mengitari colen. Gambar 20. Tari Topeng Blantek Betawi
Sumber : Dokumentasi Peneliti
115
Pertunjukan topeng diiringi oleh musik tabuhan topeng. Tabuhan topeng terdiri dari rebab, kromong tiga, gendang besar, kulanter, kempul, kecrek, dan gong buyung. Lagu yang dimainkan khas daerah pinggir Jakarta. Nama lagunya antara lain : Kang Aji, Sulamjana, Lambangsari, Enjot-enjotan, Ngelontang, Glenderan, Gojing, Sekoci, Oncom Lele, Buah Kaung, Rembati,
Lipet Gandes, Ucing-Ucingan, Gegot, Gapleh,
Karantangan, Bombang, dan lain-lain. Ada jenis lain, yaitu Topeng Blantek. Blantek awalnya diakui sebagai teater topeng tingkat pemula. Di kalangan seniman topeng, jika ada pemain topeng yang bermain jelek, diejek dengan menyebutnya sebagai pemain topeng blantek. Pada perkembangannya, blantek memiliki identitas sendiri. Musik pengiringnya rebana biang. Di awal pertunjukan dibawakan lagu-lagu zikir dan shalawat. Kreativitas mereka berkembang dengan menampilkan tari blenggo, pencak silat, dan sulap. Pertunjukan blantek merupakan campuran antara tari, nyanyi, guyonan, dan lakon. Walaupun kreasi Pemda tidak berwarna religius, tidak ada unsur dalam koreografinya yang bertentangan dengan agama, rekacipta tari berhubungan erat dengan rekacipta busana. Akhirnya, yang berkembang bukan cuma rekacipta busana tari, melainkan juga rekacipta busana Betawi pada umumnya (Shahab, 2001). Banyak dari usaha rekacipta ini yang akhirnya menuntut direkaciptanya tradisi terkait, seperti misalnya upacara, simbol, dan sebagainya.Ini semua menghidupkan kembali banyak tradisi
116
Betawi yang sudah menghilang. Bahkan, banyak upacara lingkaran hidup yang mulai ditinggalkan orang Betawi telah dihidupkan kembali sebagai efek samping dari kegiatan rekacipta tradisi Betawi. Terlibatnya orang Betawi sebagai narasumber telah merangsang orang Betawi untuk terlibat lebih jauh dalam proses rekacipta ini. Secara tidak sengaja, usaha pemerintah telah menghidupkan tradisi Betawi yang sedang menuju pada kepunahan. Orang Betawi yang pada tahun 50-an hingga tahun 70-an sedang mengalami krisis identitas, telah difasilitasi oleh banyak „Tradisi Rekacipta‟ yang pada gilirannya telah memunculkan eksistensi Betawi. Usaha pemerintah ini juga telah merangsang orang Betawi yang telah semakin nyata eksistensinya untuk melakukan hal yang sama, dan perlahan-lahan mengambil alih peran yang selama ini dijalankan oleh pemerintah. Hal ini dimungkinkan bukan saja karena orang Betawi adalah pemilik tradisi tersebut dan yang paling mengetahui akan isi tradisi, melainkan juga karena eksistensi dan pengakuan terhadap eksistensi oleh pihak luar meningkat terus dari waktu ke waktu. Masyarakat Betawi memang tidak terlalu mempermasalahkan apapun unsur yang mempengaruhi dan membentuk kebudayaannya. Justru pengaruh kebudayaan asing tersebut akan memperkaya kebudayaan Betawi itu sendiri. Bagi masyarakat Betawi, yang terpenting adalah menjaga kebudayaannya agar tetap eksis dan berkembang sehingga masyarakat Betawi tidak kehilangan identitasnya sebagai penduduk asli Jakarta. Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan menjadi sebuah
117
cerminan lingkungan dan kehidupan masyarakat Betawi sebagai penduduk asli Jakarta. Berbagai hal yang bernuansa Betawi dapat dijumpai, mulai dari aktivitas, asat istiadat, kesenian, dan kuliner. Meskipun terkesan dibuat-buat/rekacipta, Perkampungan Budaya Betawi merupakan tempat hidup manusia-manusia modern yang peduli dengan budaya Betawi.
4. Konteks Pariwisata Seni dan budaya tidak hanya manifestasi ekspresi dan sejarah suatu kedaerahan tertentu, namun juga dapat dikelola untuk menghasilkan manfaat dan nilai tambah yang mampu mendorong perekonomian daerah tersebut. Masyarakat Betawi yang banyak tersebar dibeberapa sudut kota dan salah satunya Setu Babakan. Perkampungan Budaya Betawi sangat potensial sebagai tempat pelestarian seni budaya Betawi dan juga konservasi lingkungan Jakarta. Keberhasilan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan tidak akan terlepas dari optimalisasi seluruh potensi yang ada didalamnya, yang tentunya akan menjadi produk wisata utama. Terdapat dua alasan utama pengembangan wisata. Alasan pertama ada pengembangan wisata pada suatu daerah tujuan wisata selalu akan diperhitungkan dengan keuntungan dan manfaat bagi orang yang terlibat didalamnya. Alasan kedua lebih bersifat non-ekonomis. Salah satu wisatawan yang datang berkunjung pada satu daerah tujuan wisata adalah untuk menyaksikan dan melihat keindahan alam, dan termasuk di dalamnya cagar alam, kebun raya, tempat bersejarah, bangunan kuno,
118
perkebunan dan sawah ladang. Seluruh area di dalam kawasan Perkampungan Budaya Betawi merupakan daerah wisata budaya yang diperuntukkan bagi pelestarian tata kehidupan dan tata ruang komunitas budaya masyarakat Betawi. Atraksi budaya merupakan aspek penting dalam pengembangan kawasan
wisata.
Agensi
budaya
yang
mendominasi
proses
penyelenggaraan kegiatan kesenian. Obyek wisata dan segala atraksi yang diperlihatkan merupakan daya tarik utama mengapa seseorang datang berkunjung pada suatu tempat, oleh karena itu keaslian dari obyek dan atraksi yang disuguhkan haruslah dipertahankan sehingga wisatawan hanya dapat melihat dan menyaksikan obyek/atraksi tersebut ditempat yang bersangkutan. Beberapa produk andalan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dalam aspek wisata yaitu. 1. Wisata budaya Kondisi alam dengan suasana yang asri, dimana Setu Babakan merupakan kawasan dengan vegetasi yang cukup rimbun ditambah adanya setu (danau) yang menjadi daya tarik tersendiri. Para wisatawan dapat melihat bahkan mempelajari kesenian Betawi seperti tari, gambang kromong, dan lenong yang setiap akhir pekan secara berkala berlatih di kompleks Perkampungan Budaya Betawi dan mengadakan pertunjukan setiap akhir pekan. Selain itu berbagai perlombaan biasanya akan diadakan disetiap acara-acara penting seperti ulang tahun Jakara, prosesi isidental juga
119
terdakang didapati wisatawan misalnya prosesi akekahan, sunatan, khatam Al-Qur‟an, nikahan, nujuhbulanan dan pindah rumah. Semenjak dikenal orang dan pengunjung semakin ramai, wisatawan disuguhi objek visual langsung berupa rumah Betawi, pohon-pohon khas Betawi, dan dapat melihat secara langsung proses pembuatan makanan/minuman khas Betawi seperti dodol, tape uli, bir pletok dan kerak telor. 2. Wisata air Wisata air merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan daya tarik wisata dari aspek olah raga air. Setu/situ yang berarti danau babakan dan amnggabolong menjadi salah satu pelengkap objek wisata alam dengan sajian permainan air. Saat ini objek wisata air yang dapat dinikmati adalah sepeda air, memancing juga menjala ikan. 3. Wisata agro Wisata argo merupakan bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha-usaha pertanian (agro) sebagai objek wisata dengan
tujuan
rekreasi,
keperluan
oengetahuan,
memperkaya
pengalaman dan memberikan penguang usaha dibidang pertanian. Daya tarik dan keunikan wisata agro di Perkampungan Budaya Betawi adalah lokasi pertanian/perkebunan tidak berasa pada areal khusus, melainkan ia ada di halaman-halaman rumah penduduk. Potensi pariwisata Setu Babakan sebagai Perkampungan Budaya Betawi cukup menjanjikan. Pemerintah tentu memiliki aset yang potensial
120
sebagai salah satu cara untuk mendapatkan pendapatan daerah. Data kunjungan selama 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa Setu Babakan cukup menjadi destinasi wisata favorit untuk warga Jakarta. Selain alasan lokasi yang asri dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan, budaya Betawi itu sendiri yang menjadi daya tarik atas keunikan budaya tradisional Jakarta. Pengembangan yang saat ini berjalan juga tidak luput dari peningkatan kualitas wisata untuk menambah minat wisatawan. Berikut mapping product yang telah didesign sebagai daya tarik pengunjung. Bagan 3. Mapping Product Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Fun & Scenary Zone : pemancingan, sepeda air, rakit, bila air, walking kitchen Shopping Zone : Gudang Betawi (oleh-oleh Betawi) & Gubuk Betawi (tempat makan) PRODUCT
Culture and Learning Zone : Pelatihan sanggar-sanggar Betawi dan Open Museum Performing Zone : balai Betawi (pertunjukan kesenian Betawi) Resort Zone : Rumah Betawi (tempat penginapan wisatawan)
Sumber : Beky Madani, 2014
121
B. Agensi Sosial dan Budaya dalam Praktik Rekacipta Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan Kajian ini menempatkan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan sebagai praktik artikulasi rekacipta yang dibangun oleh Pemerintah Kota Jakarta melalui Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jakarta Selatan. Dalam perspektif Pierre Bourdieu Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan Setu Babakan dapat dilihat sebagai sebuah arena reproduksi politik, sosial, ekonomi maupun budaya bagi sejumlah agensi yang terlibat di dalamnya. 1. Agen dan Modal Deskripsi mengenai proses rekacipta tradisi Betawi akan terfokus pada peran dari Suku Dinas Kebudayaan DKI dan Lembaga Kebudayan Betawi (LKB) dalam usaha melakukan generalisasi untuk mencapai pengertian siapakah sebenarnya pemegang kekuasaan dalam proses rekacipta tradisi budaya Betawi. Hal itu sekaligus menjawab mengapa kekuasaan berada di tangan mereka, dan apa saja faktor-faktor kontributor penentu kekuasaan tersebut. Menilik Sejarah berdirinya Perkampungan Budaya Betawi (PBB), Suku Dinas Kebudayaan DKI dan Lembaga Kebudayaan Betawi tidak dapat dipisahkan dari latar belakang proses rekacipta tradisi Betawi. Keduanya menjadi agensi dominan, meskipun realitasnya saat ini terdapat beberapa agensi yang turut berpartisipasi dalam mengkonstruksi prktik rekacipta di kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, diantaranya adalah Pengelola yang terdiri dari UPK dan forum jibang,
122
komunitas seni, dan masyarakat baik Betawi maupun non Betawi (pengunjung). Hal tersebut senada disampaikan oleh Prof. Yasmine Shahab yang menyatakan bahwa, “ LKB merupakan wujud aksi nyata bagi kelangsungan tradisi Betawi. Para sejarawan, budayawan menyatukan visi dan misi sebagai bentuk dari kepedulian terhadap Betawi. Rekacipta tradisi dan Perkampungan Budaya Betawi menjadi hasil dari segala upaya yang kita perjuangkan kepada pemerintah”. (Petikan wawancara dengan Informan YS, 12 November 2015) Latar belakang rekacipta tradisi Betawi tidak dapat dipisahkan dari peran Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977, Ali Sadikin. Dari sini jelas bahwa proses rekacipta tradisi Betawi diawali oleh kelompok elit pemerintah. Ali Sadikin yang dalam awal pemerintahannya ditantang oleh kas DKI yang amat minim (Abayasekere, 1989), serta wajah Jakarta yang kumuh, dilengkapi dengan minat dan kepeduliannya yang besar terhadap seni dan sejarah telah membawa Gubenur Jakarta ini pada programprogram pengembangan Jakarta dan Betawi (Shahab, 1994). Usaha ini menuntut penambahan satu devisi dalam struktur pemerintahan DKI yang tugasnya khusus menangani masalah kebudayaan, sehingga dibentuklah satu divisi baru yang dinamakan Dinas Kebudayaan DKI pada tahun 1968 (Shahab, 1994). Ternyata usaha untuk mengangkat keBetawian ke permukaan dalam rangka mewarnai Jakarta dengan tradisi lokal tidaklah semudah yang diperkirakan. Bukan saja miskinnya pengetahuan serta perhatian yang pernah diberikan kepada kelompok ini,
123
melainkan juga banyak ketidakjelasan, variasi serta pertentanganpertentangan yang terdapat di dalamnya. Pertentangan-pertentangan ini berupa perbedaan pengertian serta penafsiran KeBetawian antara kelompok-kelompok Betawi, serta antara orang Betawi dan pengamat Betawi. Untuk mengatasi usaha ini Pemda DKI menyelenggarakan „Pra-Lokakarya Kebudayaan Betawi‟ pada tahun 1975 (Widjaja, 1976). Salah satu hasilnya adalah pembentukan Lembaga Kebudayaan Betawi dengan SK Pemda DKI pada tahun 1976 yang bertugas menangani segala aktivitas keBetawian sebagai kepanjangan tangan dari Dinas Kebudayaan DKI yang terakhir bertugas menangani seluruh masalah kebudayaan yang ada di Jakarta. Chris Wilkes (Harker, 2009:145) menjelaskan kelas-kelas merupakan kumpulan agen yang menduduki posisi-posisi serupa yang ditempatkan dalam kondisi serupa dan
ditundukkan
pada
pengkondisian
serupa,
memiliki
segala
kemungkinan untuk memiliki disposisi dan kepentingan serupa, dan karenanya memiliki segala kemungkinan untuk mereproduksi praktik dan mengadopsi sikap mental serupa. Kegagalan condet tentu saja menjadi bukti nyata kelalaian pemerintah atas kebijakan yang dibuatnya sendiri. Perjuangan setelah Condet kemudian dialihkan ke Setu Babakan juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Para elit Betawi membutuhkan sekitar 30-an tahun untuk betul-betul mewujudkan aspirasinya. Dalam hal ini peran elit Betawi sebagai agen sekaligus wujud representasi masyarakat Betawi
124
secara umum jelas melakukan negosiasi sebagai proses interaksinya dengan pemerintah. Adapun arena (field) lebih dipandang Bourdieu (Ritzer, 2010:228) secara relasional daripada secara struktural. Ranah adalah jaringan relasi antarposisi objektif di dalamnya (Ritzer, 2010:234). Keberadaan relasirelasi ini terpisah dari kesadaran dan kehendak individu. Ranah merupakan: (1) arena kekuatan sebagai upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya atau modal dan juga untuk memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hirarki kekuasaan; (2) semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa di sadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Ranah kepentingan budaya merupakan ruang interaksi terbatas dimana para elit Betawi melakukan praktik. Posisi berbagai elit Betawi, pemerintah dan juga masyarakat baik secara individu maupun kolektif dalam ranah terkait dengan jumlah modal yang dimiliki, terutama modal ekonomi dan budaya. Terdapat empat kategori, yaitu : modal ekonomi, modal sosial (berbagai jenis relasi bernilai dengan pihak lain yang bermakna), modal kultural (pengetahuan sah satu sama lain), dan modal simbolis (prestise dan gengsi sosial) (Jenkins, 2010:87). Agensi dominan seperti Unit Pengelola Kawasan (UPK) saat ini sedang didorong oleh pemerintah daerah untuk melakukan percepatan pembangunan Zona B dan C demi pencapaian master plan pada tahun 2020. Unit Pengelola Kawasan (UPK) menjadi tangan kanan pemerintah
125
untuk pelaksanaan teknis di lapangan, agensi yang lain yang terdominasi hanya mampu melakukan pengawasan tanpa kekuatan yang berarti. Artinya saat ini proyek pembangunan sudah diambil alih oleh Unit Pengelola Kawasan (UPK) secara keseluruhan, mulai dari pengelolaan keuangan, koordinasi dengan pemerintah daerah hingga pembebasan sebagian tanah yang masih menjadi milik masyarakat setempat. Arena kultural yang seharusnya mencerninkan praktik keBetawian justru menjadi proyek kebudayaan bagi agensi dominan. Master plan yang ditetapkan 5 tahun silam mulai memunculkan berbagai “dugaan” yang meresahkan warga Betawi disekitar Setu khususnya. Tradisi budaya yang penuh dengan nilai-nilai keagamaan dan kesederhanaan saat ini direkacipta menjadi produk yang diperkirakan mampu mendatangkan keuntungan. Hubungan relasional yakni struktur objektif dan representasi subjektif, agen dan pelaku, terjalin secara dialektik, saling mempengaruhi, tidak saling menafikan, tapi saling bertaut dalam sebuah social practice (praktik sosial), antara lain; (1) modal ekonomi yang mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, dan buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang; (2) modal budaya (keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga); (3) modal sosial atau jaringan sosial; (4) modal simbolik (segala bentuk prestise, status, otoritas dan legitimasi yang terakumulasi sebagai bentuk).
126
Praktik sosial merupakan integrasi antara habitus dikalikan modal dan ditambahkan ranah. Praktik sosial dapat dirumuskan sebagai beikut: (Habitus x Modal) + Arena = Praktik. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan spesifik yang beroperasi dalam ranah dan setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal khusus agar dapat hidup secara proporsional dan bertahan di dalamnya. Dalam ranah pertarungan sosial akan selalu terjadi, dimana mereka yang memiliki modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu melakukan
tindakan
mempertahankan
atau
mengubah
struktur
dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki modal. Posisi agen ditentukan oleh jumlah dan bobot relatif dari modal yang mereka miliki. Bourdieu membahas empat macam modal yaitu: modal ekonomi, kultural (berbagai pengetahuan yang sah), sosial (hubungan yang bernilai antara individu) dan simbolik dari kehormatan dan prestise seseorang. Pertukaran modal seperti modal simbolik dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan legitimasi pemilikan berbagai tingkat dan konfigurasi ketiga bentuk modal yang lainnya (modal ekonomi, modal sosial dan modal budaya). Dalam praktik Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan para agen yang terlibat saling bertukar modal, hal tersebut terihat pada keseharian aktivitas yang ada di sekitar kawasan Setu Babakan. Pemerintah dalam hal ini mempunyai modal ekonomi yang cukup untuk bertukar dengan lahan masyarakat yang akan dialih fungsikan sebagai pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.
127
Modal sosial dan modal budaya juga dipertukarkan masyarakat Betawi dengan para pengunjung, dimana para pengunjung dapat menikmati keseharian masyarakat Betawi yang ada di Setu Babakan sekaligus memperoleh keuntungan secara ekonomi dengan berjualan makanan maupun minuman khas Betawi. Reproduksi kelas dilakukan agen untuk mendapatkan ketrampilan mengatur simbol sosial. Modal sosial (Field, 2010:23) adalah jumlah sumber daya, aktual atau maya yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalisasikan. Sedangkan menurut Coleman (Field, 2010:38) modal sosial adalah seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas dan yang berguna bagi perkembangan kognitif atau sosial anak atau orang yang masih muda. Modal sosial yang dimiliki masyarakat sekitar mendorong kesadaran masyarakat untuk aktif menjadi bagian dari pengembangan Perkampungan Budaya Betawi, meskipun prosentasenya belum maksimal. Hal tersebut senada di dalam penjelasan Putman yang mendefinisikan modal sosial (Field, 2010:51) sebagai bagian dari kehidupan sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Modal budaya Bourdieu (Damsar, 2009:218-219) dibatasi sebagai budaya pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat pembedaan atau
128
penafsiran nilai. Modal budaya merupakan kepemilikan kompetensi atau pengetahuan kultural yang menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi
tertentu,
yang dilembagakan dalam
pendidikan. Pernyataan
bentuk
kualifikasi
yang disampaikan oleh Indra Sutisna terkait
kondisi kaderisasi untuk kompetensi dan pengetahuan budaya Betawi, bahwa, “salah satu tantangan yang saat ini dinilai kami cukup berat adalah kaderisasi seniman Betawi, karena masih sangat sedikit jiwa muda yang peduli terhadap Betawi. Bahkan SMA maupun SMK yang ada dijakarta semakin sedikit yang bermuatan lokal Betawi. Selain karena kondisinya sudah tergabung antara pendatang dan Betawi, muatan lokal Betawi pun masih belum terkualifikasi secara pendidik.” (Petikan wawancara dengan Informan IS, 23 Oktober 2015) Untuk mengatasi permasalahan diatas dalam kaitannya dengan modal budaya, Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan sedang mengkondisikan sekolah khusus kesenian yang saat ini masih dalam proses pembangunan. Sekolah Menengah Kesenian (SMK) ini diperuntukkan bagi siswa yang ingin memperdalam bidang keseniannya, selain itu SMK ini juga dipersiapkan bagi proses kaderisasi seniman Betawi. Karena pada kenyataannya saat ini masih sangat sedikit untuk generasi muda yang mampu memahami Betawi secara mendalam. Mengingat reproduksi kelas yang berkaitan dengan tradisi budaya Betawi selama ini hanya dilakukan secara informal oleh sanggar-sanggar yang dalam praktiknya tidak terlalu efisien karena motivasi peserta yang
129
beragam. Diharapkan SMK ini mampu mempersempit kemungkinan punahnya seniman Betawi, harapannya ke depan ini akan terus berkelanjutan dan menarik minat yang lebih banyak lagi. Bourdieu melihat bahwa sistem pendidikan sangat besar perannya dalam mereproduksi dan melestarikan relasi kekuasaan dan hubungan kelas yang ada di masyarakat. 2. Habitus dan Doxa Habitus dilihat sebagai produk pengkondisian sosial yang dapat ditransformasikan. Identitas sosial biasanya merujuk pada proses interaksi dan identifikasi. Proses ini menjadi dasar identifikasi diri warga Betawi, bagaimana Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan di kondisikan secara sosial budaya sebagai representasi dari masyarakat Betawi yang ada di Jakarta. Sebagai mana dikatakan Bourdieu, Habitus adalah sistem diposisi yang bertahan lama dan bisa dipindahkan (transposable), struktur yang di strukturkan diasumsikan berfungsi sebagai penstruktur strukturstruktur,
yaitu
sebagai
prinsip-prinsip
yang
melahirkan
dan
mengorganisasikan praktik-praktik dan representasi-representasi yang bisa diadaptasikan secara objektif kepada hasil-hasilnya tanpa mengandaikan suatu upaya dasar mencapai tujuan-tujuan tertentu atau penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlakukan untuk mencapainya. Habitus digambarkan sebagai logika permainan (feel for the game) yang mendorong agen bertindak dan beraksi dalam situasi spesifik dengan suatu
130
cara yang tidak selalu bisa dikalkulasikan sebelumnya dan bukan sekedar kepatuhan sadar pada aturan-aturan. Habitus (Jenkins, 2010:121) merupakan sumber dari praksis objektif kehidupan sosial. Menurut pierre Bourdieu, pertama habitus hanya beroperasi dalam kaitannya dengan suatu arena sosial. Kedua, habitus dapat ditransformasikan oleh situasi yang berubah dan aspirasi atau harapan akan berubah bersamanya. Ketiga, habitus dapat dikontrol sebagai hasil dari kesadaran dan sosioanalisis. Disposisi direpresentasikan oleh habitus bersifat : pertama, bertahan lama dalam rentang waktu tertentu dari kehidupan seorang agen. Kedua, bisa di alih pindahkan dalam bentuk praktik di berbagai arena aktivitas yang beragam. Ketiga, struktur yang distrukturkan dengan mengikutsertakan kondisi sosial objektif dalam pembentukannya. Keempat, struktur-struktur yang menstrukturkan dimana praktik yang dilakukan sesuai dengan situasi khusus dan tertentu (Bourdieu, 2010:xvi). Hal itu terlihat pada penetapan Perkampungan Budaya Betawi dimana pada awalnya ada di Condet kemudian saat ini berada di Setu Babakan, penempatan keduanya tentu karena terdapat kekhasan tersendiri yang dimiliki kedua wilayah tersebut yakni memiliki jiwa keBetawian yang kuat di lihat dari everydaylife masyarakat setempat yang masih melibatkan unsur tradisi Betawi disetiap elemen sosial masyarakatnya. Habitus di Perkampungan Budaya Betawi terbentuk karena ada struktur-struktur masyarakat yang menstrukturkan praktik keBetawian.
131
Hal tersebut pada awalnya terjadi secara alamiah, namun untuk menjaganya tetap terjaga maka beberapa agensi seperti Forum Jibang dan sanggar Setu Babakan yang secara continue melakukan pengkondisian terhadap kualitas aktivitas keBetawian dalam keseharian masyarakat sekitar Setu Babakan. Pengkondisian tersebut tentu memiliki tujuan atas kepentingan para agensi dengan modal yang mereka miliki agar sejalan dengan tujuan keduanya. Pengkondisian tersebut berwujud aktivitas keBetawian yang rutin dilakukan, seperti latihan seni Betawi setiap rabu malam dan minggu pagi, dan pertunjukan seni itu sendiri setiap hari minggunya. Selain itu kegiatan hari-hari lain juga sangat padat disusun oleh Forum Jibang, seperti kunjungan sekolah, instansi, maupun swasta yang biasanya bergerak dibidang kuliner perhotelan. Semuanya yang datang akan disuguhi berbagai macam atraksi budaya sesuai kebutuhan, mulai dari tari, musik, hingga demo masak Betawi. Sehingga habitus yang diciptakan saat ini lebih mengarah kepada wisata budaya, masyarakat setempat pun pada akhirnya terkonstruksi untuk terlibat dengan menjadi pedagang kuliner maupun souvenir khas Betawi. Doxa memiliki sejumlah makna terkait dengan jenis pemahaman yang bekerja, tetapi konsep secara luas mengacu pada kesalahpenggenalan (misrecognition)
dari
bentuk
kesewenang-wenangan
sosial
yang
menimbulkan ketidakteraturan, non discursive, tetapi dihayati dan pengakuan praktis atas kesewenang-wenangan sosial yang sama. Hal ini
132
memberikan kontribusi untuk reproduksinya dalam lembaga-lembaga sosial, struktur dan hubungan serta pikiran dan tubuh, harapan dan perilaku (Mc. Grenfell, 2008:119-120). Doxa mengacu pada pra-refleksif pengetahuan
intuitif
yang
dibentuk
oleh
pengalaman,
kepada
kecenderungan fisik dan relasional yang diwarisi secara tidak sadar. Doxa adalah seperangkat keyakinan dasar (a set of fundamental belief) yang bahkan tidak perlu ditegaskan dalam bentuk yang eksplisit, dogma yang disadari dengan sendirinya (Bourdieu, 2000:16). Dalam hal ini, wujud Perkampungan Budaya Betawi yang fungsi utamanya didefinisikan sebagai „penolakan‟ habis-habisan terhadap „yang komersial‟, pada hakikatnya merupakan penyangkalan kolektif terhadap kepentingan dan keuntungan (profits) komersial. Dengan kata lain, di dalam usaha mengejar laba „ekonomi‟, yang memperlakukan bisnis barang-barang kultural sama seperti bisnis-bisnis lainnya dan semata-mata menyesuaikan diri dengan permintaan klien (pengunjung) yang sudah diubah cara memandang selera seninya, juga terdapat ruang untuk akumulasi modal simbolis. Modal simbolis ini harus dipahami sebagai modal ekonomi atau politik yang disangkal, disalahkenali (misrecognized) dan karenanya mengakui (sehingga legitim) adanya suatu „kredit‟ yang dalam kondisi tertentu dan hanya dalam jangka waktu panjang mampu menjamin laba „ekonomis‟. Singkatnya ketika satu-satunya modal efektif yang bisa digunakan adalah modal legitim yang (keliru) dikenali (misrecognized) yang disebut prestise atau otoritas, maka modal ekonomi yang umumnya
133
dibutuhkan oleh kegiatan-kegiatan kultural tidak bisa mengamankan laba spesifik yang diproduksi arena –karena bukan laba ekonomis yang selalu diimplikasikan arena ini- kecuali modal ekonomi tersebut harus dikonversi-ulang menjadi modal simbolis. 3. Praktik Agensi dalam Arena Arena (field) menurut Bourdieu lebih bersifat relasional daripada struktural. Field bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukan pula inter subjektif antar individu. Penghuni posisi mungkin agen individual atau institusional, dan penghuni posisi ini dikendalikan oleh struktur lingkungan. Dalam kehidupan sosial terdapat sejumlah lingkungan semiotonom, misalnya: kesenian, keagamaan, ekonomi dan semuanya dengan logika khusus sendiri-sendiri membangkitkan keyakinan di kalangan agensi mengenai sesuatu yang dipertaruhkan dalam arena. Boudieu (Ritzer, 2010:220) menyatakan bahwa ada tiga langkah proses untuk menganalisis arena, yaitu: pertama, menggambarkan keutamaan arena (lingkungan) kekuasaan (politik) untuk menemukan hubungan setiap lingkungan khusus dengan lingkungan politik; kedua, menggambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam arena tertentu; ketiga, analisis harus mencoba menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam arena. Bourdieu
(2010:xxxvi)
menjelaskan
bahwa
disetiap
arena,
kepentingan tertentu dipertaruhkan bahkan jika kepentingan-kepentingan tersebut diingkari pelakunya atau pasti ada investasi tertentu meski tidak
134
pernah diakui sebagai sebuah investasi. Dalam praktik rekacipta yang terjadi pada masyarakat Perkampungan Budaya Betawi tergolong pada arena reproduksi ekonomi dibandingkan reproduksi kultural. Arena ini dikuasai oleh para produsen (agen dominan) untuk memperoleh laba ekonomi yang biasanya disangkal dan hierarki otoritas didasarkan pada beraneka bentuk laba simbolis. Reproduksi kultural yang terjadi di Perkampungan Budaya Betawi merupakan kekuatan simbolis yang dipertahankan pihak Forum Jibang mencakup artefak-artefak Betawi yang masih dapat dijaga hingga saat ini menjadi museum sejarah yang terletak di Zona A. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, didapatkan bahwa saat ini pengelolaan PBB Setu Babakan terkonsentrasi pada UPK, Unit pengelola dari pihak pemerintah terbentuk karena aset di PBB Setu Babakan tidak semua milik masyarkat, namun ada juga aset pemerintah sehingga
harus
dikelola oleh pemerintah.
Unit
pengelola
yang
beranggotakan pegawai negeri sipil ini akan bersinergi dan berjalan beriringan dengan forum Jibang. Untuk urusan yang berhubungan dengan pemerintahan menyangkut dana dan anggaran akan ditangani oleh Unit Pengelola Kawasan sedangkan untuk pengembangan yang sifatnya kebudayaan akan diurus oleh Forum Kajian dan Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi yang terdiri dari tokoh masyarakat Betawi. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kepala UPK, Bp. Supli Ali, beliau menyatakan bahwa,
135
“saat
ini
UPK
dan
Forum
Jibang
sedang
berusaha
memaksimalkan pelayanan masyarakat. Karena ini termasuk pada masa transisi dimana banyak urusan yang sekiranya masih diurus oleh kami secara bersama-sama. Hingga saat ini semuanya masih berjalan sesuai dengan masterplan, artinya kehadiran UPK akan mempermudah dalam melakukan percepatan pembangunan PBB Setu Babakam.” (Petikan wawancara dengan Informan SA, 27 Oktober 2015)
Dana untuk pembangunan Perkampungan Budaya Betawi diperoleh dari pemerintah provinsi DKI Jakarta. Bantuan tersebut berbentuk fresh money (uang) yang dimanfaatkan untuk pembangunan. Dinas pariwisata dan kebudayaan juga bersinergi dengan dinas dan instansi lain di lingkup DKI Jakarta yang juga turut berperan serta dalam pembangunan kawasan Perkampungan Budaya Betawi, antara lain Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kehutanan serta Dinas kebersihan dan Pertamanan. Arena didefinisikan Bourdieu (2010:xvii) sebagai ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasirelasi kekuasaanya sendiri yang terlepas dari kaidah politik dan ekonomi kecuali dalam kasus arena ekonomi dan politik itu sendiri. Terdapat dua bentuk modal yang penting dalam arena produksi kultural (Bourdieu, 2010:xix) yaitu yang pertama, modal simbolis yang mengacu kepada derajat akumulasi prestise, kehormatan dan dibangun diatas dialektika pengetahuan dan pengenalan. Kedua, modal kultural dalam bentuk pengetahuan kultural, kompetisi dan disposisi tertentu. Arena dalam
136
pengembangan PBB Setu Babakan terstruktur dalam ruang yang berbeda, saat ini jelas arena produksi kultural menjadi tanggungjawab forum jibang sebagai mitra dari UPK. Tetapi untuk arena politik dan ekonomi menjadi ranah UPK. Arena dilihat dalam ruang yang tersedia baik perkembangan historis ruang maupun para produsen berdasarkan strategi, habitus dan kelas serta posisi objektif mereka. Termasuk struktur arena yaitu posisi yang ditempati para produsen dan legitimasi sebagai produk kultural. Bagi Bourdieu (2010:xxiii) ekonomi arena kultural didasarkan pada suatu kepercayaan khusus tentang apa yang membentuk sebuah karya kultural dan nilai estetis atau nilai sosialnya. Arena (Jenkins, 2010:121-125) adalah suatu sistem posisi sosial yang terstruktur yang dikuasai oleh individu atau instutusi. Arena didefinisikan suatu perjuangan dimana strategi manusia dikaitkan dengan peneguhan atau peningkatan posisi mereka sehubungan dengan pendefinisian modal para arena. Arena kekuasaan dianggap sebagai arena dominan dalam masyarakat. Arena kekuasaan adalah sumber relasi kekuasaan hierarkis yang menstrukturkan arena lain. Bagaimana hubungan relasional itu muncul bersamaan dengan kontestasi antar agensi yang membawa modal sebagai langkah yang ditempuh untuk dapat bertukar modal dengan agensi lainnya. Reproduksi kelas akan didominasi oleh kelompok pemilik modal terbesar. Kelompok dengan modal terbesar dan memiliki kekuatan hukum yang kuat untuk mengatur bagaimana pengembangan Perkampungan Budaya Betawi Setu
137
Babakan. Dalam hal ini Pemerintah menjadi motor penggerak arena kultural dengan memaksimalkan modal ekonomi yang dibawa, kemudian koordinasi dilakukam dengan pihal LKB dan Forum Jibang untuk mengawasi praktik rekacipta Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan dengan menggerakkan sanggar Setu Babakan dan masyarakat sekitar baik Betawi maupun Non Betawi untuk mendukung penciptaan habitus dan doxa sesuai dengan kepentingan pemerintah. Berikut bagan yang menggambarkan relasi kekuasaan dalam pengembangan PBB Setu Babakan. Bagan 4. Relasi Kekuasaan PBB Setu Babakan
PEMDA Jakarta Selatan (Suku dinas pariwisata dan kebudayaan)
Habitus
Elit Betawi (Bamus dan LKB)
Doxa
PBB Setu Babakan (Arena Reproduksi politik, sosial,budaya, Ekonomi)
Pengelola (UPK dan Forum Jibang)
Interaksi antar agen
Pertukaran modal antar agen Masyarakat (Betawi dan non Betawi)
Komunitas Betawi (sanggar Setu Babakan, Gerakan sosial PBB dan Masyarakat Peduli PBB)
Sumber : Analisis Peneliti (Ariesta .A)
138
4. Kontestasi Agensi Sosial dan Budaya dalam Praktik Rekacipta Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Rekacipta yang diartikulasikan dalam bentuk Perkampungan Budaya Betawi (PBB) namun dalam praktiknya tidak menjamin adanya redistribusi kekuasaan atau sumber daya yang mampu memberdayakan masyarakat Betawi di sekitar Setu Babakan. Betawi sebagai salah satu etnis yang ada di indonesia tentu telah diakui keberadaanya. Hal itu terwujud dengan Perkampungan Budaya Betawi yang telah diperjuangkan para elit Betawi sejak tahun 70-an. Berbagai kekuatan hukum bergulir untuk menguatkan setiap kebijakan-kebijakan
yang
ditetapkan
pemerintah
dalam
upaya
pengembangan budaya Betawi. Meskipun dalam perjalanannya banyak tantangan yang harus dihadapi. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak selalu berjalan dengan semestinya. Progress yang lambat cukup mewarnai proses pengembangan budaya Betawi dinilai sebagian masyarakat sebagai kebijakan setengah hati, pemerintah tidak secara serius dalam memberi ruang Betawi untuk dapat berkembang. Hal tersebut senada disampaikan dalam wawancara peneliti dengan salah satu informan, beliau merupakan ketua Masyarakat Peduli Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. “Kebijakan yang dibuat pemerintah hanya dibibir saja, kebijakannya masih setengah-setengah, karena aplikasinya di lapangan ya akhirnya seperti sekarang itu, lebih banyak yang tidak sesuai dengan masterpla.Wujudnya saja megah secara fisik
139
tapi “isinya” masih kosong. Jangan sampai PBB Setu Babakan hanya menjadi komoditas pemerintah saja.” (Petikan wawancara dengan Informan LS, 4 November 2015) Arena sosial dengan nafas kultural tersebut menjadi suatu sistem posisi sosial yang terstruktur (dikuasai oleh individu mauapun institusi) yang mendefinisikan situasi untuk mereka anut. Ini merupakan suatu sistem kekuatan yang ada diantara posisi tersebut; suatu arena yang distrukturkan secara internal dalam konteks relasi kekuasaan. Posisinya ada dalam relasinya dengan dominasi dan subordinasi satu sama lain karena akses yang dapat mereka raih atas modal yang dipertaruhkan di arena
tersebut.
Eksistensi
suatu
arena
menjelaskan
dalam
keberfungsiannya dan menciptakan suatu kepercayaan pada sisi partisipan dalam legitimasi dan nilai modal yang dipertaruhkan. Kepentingan yang sah dalam arena ini diproduksi oleh proses historis yang sama memperoduksi arena itu sendiri (Jenkins, 2010:95). Proses rekacipta Perkampungan Budaya Betawi tentu diwarnai kontestasi para agensi yang memiliki modal dan akses yang mendukung terhadap perencanaan maupun pelaksanaan proses rekacipta tersebut. Dilihat dari segi politik, sosial, ekonomi dan budaya, lebih banyak di dominasi oleh kelompok Betawi kota dengan modal ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung. Dalam proses dinamika politik sudah disinggung pada penjelasan sebelumnya bahwa para elit Betawi yang terorganisir dalam Badan Musyawarah Betawi (BAMUS) merupakan para
140
warga Betawi kota yang kemudian duduk di jajaran pemerintahan baik pusat maupun daerah. BAMUS sebagai jembatan para elit Betawi untuk masuk lebih jauh di dalam dunia perpolitikan, meskipun semangat yang dibawa adalah semangat keBetawian namun dalam praktiknya hanya segelintir
orang
yang
betul-betul
mendedikasikan
dirinya
untuk
kemaslahatan masyaraat Betawi. Dalam konteks budaya (tradisi Betawi) seperti tari-tarian dan kesenian yang lain juga sebagian besar didominasi oleh Betawi Kota. Meskipun wujud kesenian betawi lebih banyak muncul dari Betawi Pinggir, Pesisir, dan Udik, akan tetapi wujudnya di rekacipta kembali agar dapat diterima oleh Betawi Kota. Kesenian betawi pinggir tidak jarang memuat hal-hal yang masih bersifat mistis dan senonoh, artinya wujud tariannya sering diiringi dengan kegiatan ritual tertentu maupun kegiatan perjudian. Berbagai macam kepentingan yang mewarnai kontestasi para agensi dengan menggunakan modal yang mereka miliki. Kontestasi yang terjadi hanya pada lapisan (layer) elitis dimana kekuatan modal tersebut berasal, para agensi dominan tentu mempunyai keleluasaan atas kepentingan yang sedang diperjuangkan dengan mengkondisikan arena kultural tersebut agar sesuai dengan kepentingan yang dituju. UPK dalam hal ini menjadi motor penggerak atas instruksi Pemerintah Daerah dengan memaksimalkan seluruh potensi yang ada untuk pencapaian MasterPlan Komprehensif Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Modal ekonomi yang dibawa Pemerintah Daerah mampu memposisikan dirinya dalam reproduksi kelas dominan dengan
141
UPK sebagai mesin yang menggerakkan dan mendistribusikan modal tersebut. Forum Jibang dalam hal ini tidak mampu lagi untuk sejejar karena kekuatan hukum lambat laun dilemahkan, modal yang dimiliki hanya modal sosial dan budaya yang kemudian diakumulasikan menjadi ekonomi oleh pemerintah. Bourdieu menjelaskan bahwa modal digunakan sebagai kerja yang terakumulasi, jika dimiliki secara privat, yakni secara eksklusif, oleh agen atau sekeolompok agen, memungkinkan mereka memiliki energi sosial dalam bentuk kerja yang dimunculkan maupun yang dihidup atau dengan kata lain sekumpulan sumber daya dan kekuasaan yang benar-benar dapat digunakan. Modal (capital) yang dimiliki seseorang akan menentukkan posisinya dalam struktur arena dan juga kuasaan yang dimilikinya (Bourdieu, 1996:245).
C. Kontradiksi dalam Praktik Pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan yang direpresentasikan sebagai kehidupan masyarakat Betawi di Jakarta telah berdiri lebih dari 10 tahun yang lalu. Pada awalnya konservasi Perkampungan Budaya Betawi semata-mata untuk dua kepentingan, yaitu sejarah dan identitas (sejarah perkembangan pembangunan kota Jakarta dan pelestarian identitas budaya masyarakat Betawi). Berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah sebagai langkah awal dalam pengorganisasian Betawi menjadi pekerjaan serius bagi
142
sederet elit Betawi untuk menggodok regulasi tersebut berikut dengan konsep aplikasinya di lapangan. Konsep perkampungan pun menjadi pro dan kontra pada awal perencanaan, beberapa budayawan menyatakan bahwa ketakutan mereka terhadap gagalnya condet akan terulang. Pro dan kontra yang terjadi adalah seputar penafsiran akan kampung dan perkampungan yang dipahami berbeda. Jika pola kampung, pastinya tidak perlu terlalu banyak konsep karena ada rekayasa di lingkungan sosial “kampung”. Berbeda dengan konsep perkampungan yang kemudian menjadi Perkampungan Budaya Betawi adalah merupakan sebuah perkampungan rekayasa yang nantinya akan difungsikan sebagai kawasan konservasi lingkungan dan juga konservasi budaya Betawi itu sendiri. Pasalnya jika konsepnya tidak direncanakan secara matang serta arah kelanjutan kedepannya akan seperti apa nantinya dikhawatirkan akan kembali gagal. Konsep perkampungan itu sendiri salah satunya muncul dari ide Prof. Yasmine Z. Shahab pada sekitar tahun 1999. Beberapa kriteria disampaikan Prof. Yasmine yaitu, “diantaranya menempatkan Setu Babakan karena merupakan wilayah dengan resapan air dan wadah penampungan air (setu) di Jakarta selatan. Setidaknya dinamakan Perkampungan Budaya Betawi tujuannya adalah tetap menjaga keaslian dailylife masyarakat Setu Babakan yang mayoritas betawi dengan beberapa pendukung untuk menarik wisatawan seperti wisata budaya, wisata agro dan wisata kuliner betawi” (Petikan wawancara dengan Informan YS, 12 November 2015)
143
Senada dengan konsep perkampungan yang selama ini diwujudkan, warga setempat khususnya warga Betawi mengharapkan bahwa kelestarian kampung Setu Babakan sebagai kampung Betawi pun tetap terjaga. Berdasarkan Hasil wawancara dengan Bp. Barudi sebagai Ketua RT 09, beliau menyatakan bahwa tidak setuju jika menjadi tempat wisata saja, “jujur saya tidak setuju kalau ini jadi tempat wisata, nantinya tidak sesuai dengan judulnya Perkampungan Budaya, dimana masyarakatnya turut menjadi bagian. Nah kalo jadi tempat wisata, masyarakatnya kemana. Tidak lagi melibatkan masyarakat tentunya karena fokusnya sudah pariwisata. Sekarang juga sebenernya Perkampungan budayanya sudah tidak kental seperti jaman dulu, karena yang difokuskan hanya masalah pembangunan fisik saja tetapi masyarakatnya tidak diperhatikan. (Petikan wawancara dengan informan BR, 7 Oktober 2015)
Pada awal pembangunan rencana dipublikasikan melalui lokakarya yang dilakukan 31 Agustus 1999, menyatakan dengan jelas bahwa hasilnya dimulai dengan pembentukan Tim Asistensi Perkampungan Budaya Betawi, dengan beberapa fokus yakni Perkampungan Budaya Betawi jangan hanya menjadi akuarium budaya, maka yang perlu dipersiapkan adalah penguatan dailylife Betawi, komunitas Betawi, sumber daya manusia, kaderisasi baru kemudian pengembangan fisik dan wisata (Yasmine Z. S, 1999). Selain itu penekanan Tim Asistensi Perkampungan Budaya Betawi juga menitikberatkan pada 3 prinsip yaitu tidak ada penggusuran, tidak ada pembebasan dan yang terakhir adalah meminimalkan pembangunan fisik.
144
Konsepnya tidak seperti membuat kampung baru, bangunan-bangunan yang ada tetap seperti apa adanya, yang kemudian akan dibangun pemerintah hanya fasilitas-fasilitas termasuk perbaikan akses masuk, gedung kesenian, mushola, kantor pengelola dan lain sebagainya. Setelah masa-masa sulit pada awal pembangunan dan pengelolaan terlewati, konservasi lingkungan pun terus berjalan dari mulai penanaman pohon hingga pelepasan bibit ikan di setu dilakukan pemerintah. Tetapi konservasi budaya ini lah yang sepertinya mengalami pergeseran dari tujuan awal untuk kepentingan sejarah dan identitas, kini lebih cenderung kepada pengakumulasian kepentingan ekonomi dan wisata. Hal senada ditegaskan oleh Bp Latief, “anda lihat sendiri saja bagaimana wujudnya sekarang, bagi saya kantor UPK saja sudah terlampau mewah. Juga bangunanbangunan lain, itu sama sekali tidak mencerninkan masyarakat Betawi yang egaliter.” (Petikan wawancara dengan Informan LS, 4 November 2015) Konsep perkampungan yang pada awalnya diagung-agungkan pun pada kenyataannya lambat laun diragukan pula keberadaannya. Hal tersebut terlihat pada pola pengembangan yang sejak 5 tahun terakhir direncanakan pemerintah bekerjasama dengan pihak pengelola dinilai tidak lagi sesuai dengan nafas tradisi budaya Betawi. Perencanaan besar-besaran dilakukan hingga terbentuk tiga zonasi wilayah yang akan terus dikembangkan hingga 2020 mendatang. Atmosfer perkampungan jelas tersisihkan dengan perencanaan yang serba „mewah‟. Dana yang dikucurkan bahkan mencapai lebih dari 250 miliar.
145
Perkampungan yang polanya alamiah, asri dan tidak direkayasa secara berlebihan sudah dialihkan dengan pola master plan yang tujuannya lagi-lagi untuk wisata. Alih-alih menunjung tinggi tradisi Betawi tetapi yang terlihat hanyalah semacam museum Betawi, karena miniatur rumah Betawi di zona A sudah terbangun yang belum dimaksimalkan fungsinya. Tujuan yang dicapai hanya untuk sejarah saja, menjadi tontonan masyarakat Betawi maupun non Betawi yang ingin melihat Betawi di masa lampau. Berkaitan dengan representasi, Prof. Yasmine Z. Shahab mengungkapkan dengan tegas bahwa saat ini belum merepresentasikan Betawi, “kampung Betawi Setu Babakan belum mewakili kampung Betawi. Karena ketika datang atmosfer yang terasa masih sama dengan kampung yang lain, memang tidak mudah untuk menampilkan sebuah kampung rekacipta. Belum lagi dampak pariwisata terhadap perkembangan masyarakat lokal” (Petikan wawancara dengan informan YS, 12 November 2015) Dalam proses pengembangannya pun terjadi pro kontra antara pedagang yang menempati pinggiran setu dengan pengelola. Wacana relokasi bangunan PKL yang beridiri dibantaran setu ditolak oleh para pedagang, karena bagi para pedagang penyediaan lahan yang baru belum siap. Berikut pernyataan Babe Jali terkait hal tersebut, “Para pedagang emosi karena tiba-tiba ada segerombolan satpol PP datang untuk merobohkan bangunan PKL, alasannya nantinya akan direlokasi ke Zona B, tapi masalahnya sampe sekarang zona B belum juga rampung dibangun, bahkan nantinya
146
banyak persyaratan jika ingin berjualan kembali di Zona B” (Petikan wawancara dengan informan RR 6 November 2015)
Babe Jali juga menambahkan bahwa pihak pengelola terlalu terburu-buru untuk masalah relokasi, disiapkan dulu tempatnya baru tempat yang lama digusur. Jalan tengah pada saat proses penggusuran pada akhirnya melakukan seleksi atas bangunan PKL yang menyalahi aturan, misal menganggu pembuangan air/saluran air maupun bangunan yang ditempatkan tidak pada tempatnya, bangunan-bangunan tersebut yang pada akhirnya digusur dan sisanya masih ada walaupun tidak terlalu banyak. Meskipun terdapat pro dan kontra dalam penertiban PKL yang berada di bantaran setu sejak Perkampungan
Budaya
Betawi
berdiri,
berbagai
sektor
mengikuti
perkembangannya seperti sektor informal masyarakat sekitar dengan banyaknya pedagang yang membuka lahan. Terbukti dengan dibukanya kesempatan mempromosikan kuliner Betawi, para pedagang mampu bengkit dari pengangguran dan perekonomiannya yang terbatas. Setidaknya lebih dari 100 pedagang yang aktif menjajakan berbagai macam kuliner khas Betawi maupun kuliner khas nusantara lainnya turut merasakan dampak yang positif dengan mendapatkan penghasilan yang cukup stabil dari usaha berdagang kuliner. Selain itu proses penertiban pedagang kaki lima yang menuai pro dan kontra, proses pembebasan tanah hingga saat ini pun belum rampung dilakukan, kenyataannya terdapat hambatan-hambatan yang pada akhirnya
147
mempersulit percepatan pembangunan. Berikut disampaikan Bp. Supli Ali dengan penjelasannya terkait hal tersebut diatas, “saat
ini
yang
perlu
dilakukan
pemerintah
untuk
mengantisipasi kegagalan adalah dengan melakukan pembebasan tanah warga untuk dapat menjadi milik pemerintah. Agar dalam proses pembangunan tidak terlalu banyak penolakan.” (Petikan wawancara dengan informan SA, 27 Oktober 2015)
Program
percepatan
pembangunan
demi
pembangunan
yang
dianggarkan menghabiskan dana milyaran rupiah merupakan langkah yang dilakukan pemerintah untuk segera merealisasikan kebijakan yang telah disepakati bersama jajaran stakeholder terkait. Meskipun demikian yang terjadi tidak sesuai dengan prinsip pembangunan pada awal perencanaan (tahun 90an). Perkampungan Budaya Betawi saat ini dan kedepannya yang seharusnya fokus pada reproduksi sosial budaya justru lebih fokus pada reproduksi ekonomi. Tidak dipungkiri bahwa sektor ekonomi secara otomatis akan mengikuti karena Perkampungan Budaya Betawi memang diciptakan sebagai ruang terbuka bagi masyarakat umum untuk menikmati nuansa keBetawian, tetapi kemudian banyak sektor lain yang harus terus didukung seiring dengan percepatan pembangunan fisik yaitu potensi budaya dan sumber daya masyarakat Betawi itu sendiri yang akan menjadi pelaku. Secara keseluruhan Teori Bourdieu membaca fenomena yang terjadi di Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan sebagai Arena kultural yang berada dalam posisi subordinat atau terdominasi dalam arena kekuasaan
148
dimana prinsip legitimasinya didasarkan pada kepemilikan modal ekonomi atau politik. Bisnis seni, sebuah perdagangan barang-barang yang tidak berharga (price) adalah bagian dari praktik kelas dimana logika ekonomi prakapitalis hidup. Praktik-praktik ini, yang berfungsi sebagai negasi praktis (bisa bekerja hanya dengan berpretensi tidak mengerjakan apa yang sebenarnya dikerjakan). Dengan menyangkal logika umum, dia membiarkan diri hanyut di dalam dua pembacaan yang saling berlawanan, dan sama-sama keliru. Bukan lain karena kedua pembacaan itu sama-sama membatalkan dualitas dan duplisitas esensial praktik-praktik tersebut dengan mereduksinya menjadi penyangkalan atau apa yang disangkal (Bourdieu, 2010). Dalam hal ini, wujud Perkampungan Budaya Betawi yang fungsi utamanya didefinisikan sebagai „penolakan‟ habis-habisan terhadap „yang komersial‟, pada hakikatnya merupakan penyangkalan kolektif terhadap kepentingan dan keuntungan (profits) komersial. Dengan kata lain, di dalam usaha mengejar laba „ekonomi‟, yang memperlakukan bisnis barang-barang kultural sama seperti bisnis-bisnis lainnya dan semata-mata menyesuaikan diri dengan permintaan klien (pengunjung) yang sudah diubah cara memandang selera seninya, juga terdapat ruang untuk akumulasi modal simbolis. Modal simbolis ini harus dipahami sebagai modal ekonomi atau politik yang disangkal, disalahkenali (misrecognized) dan karenanya mengakui (sehingga legitim) adanya suatu „kredit‟ yang dalam kondisi tertentu dan hanya dalam jangka waktu panjang mampu menjamin laba „ekonomis‟.
149
Singkatnya ketika satu-satunya modal efektif yang bisa digunakan adalah modal legitim yang (keliru) dikenali (misrecognized) yang disebut prestise atau otoritas, maka modal ekonomi yang umumnya dibutuhkan oleh kegiatankegiatan kultural tidak bisa mengamankan laba spesifik yang diproduksi arena –karena bukan laba ekonomis yang selalu diimplikasikan arena ini- kecuali modal ekonomi tersebut harus dikonversi-ulang menjad modal simbolis. Penyangkalan bukanlah negasi sebenarnya terhadap kepentingan ekonomi yang selalu menghantui praktik-praktik yang tak berkepentingan dan bukan pula sekadar „penyembunyian‟ aspek-aspek perdagangan praktik ini, seperti yang banyak diduga sebelumnya. Dunia usaha yang menyangkal ekonomi yang dijalani „bankir kultural‟ tempat dimana seni dan bisnis bertemu dalam praktik rekacipta politik yang menempatkan keduanya dalam peran kambing hitam –tidak bisa berhasil, bahkan dalam pengertian ekonomis, kecuali
ia
dibimbing
oleh
penguasaan
praktis
atas
hukum-hukum
keberfungsian arena dimana barang-barang kultural diproduksi dan beredar (Bourdieu, 2010). Fakta bahwa penyangkalan ekonomi bukan sekadar topeng ideologis ataupun pengindaran sederhana dari kepentingan ekonomi menjelaskan mengapa disatu sisi para produsen baru yang hanya bermodal keyakinan bisa memapankan diri mereka di dalam pasar dengan berpegang pada nilai-nilai yang dipakai figur-figur dominan dalam mengakumulasi modal simbolis mereka, dan mengapa disisi lain hanya mereka yang mamapu menyesuaikan diri dengan batasan-batasan ekonomis yang terpateri di dalam ekonomi penuh
150
penyangkalan ini saja yang bisa memperoleh laba ekonomis yang maksimal dari modal simbolis mereka. Kontradiksi
demi
kontradiksi
yang
terjadi
dalam
pengelolaan
Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan menjadi cermin bahwa koordinasi antara pihak pemerintah dan juga institusi lain yang terkait dengan pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi tidak terjalin dengan baik. Tujuan luhur yang ingin dicapai LKB sebagai representasi betawi dan masyarakat betawi pada umumnya, akhirnya hanya “mimpi” belaka ketika berbagai kepentingan yang mengatasnamakan pribadi maupun instansi menjadi penyebab utama Perkampungan Budaya Betawi (PBB) Setu Babakan mengalami alih fungsi. Pentingnya pemahaman kesatuan visi dan misi pembangunan Perkampungan Budaya Betawi menjadi kunci atas keberhasilan seluruh pihak dalam mengkonservasi budaya Betawi di Jakarta.