1
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pada dasarnya setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ketentuan dalam pasal 28B ayat (2) Undang – Undang Dasar (untuk selanjutnya disebut UUD) 1945 ini jelas melahirkan norma konstitusi bahwa setiap anak memiliki hak atas status hukum dan diperlakukan sama di hadapan hukum. Artinya, UUD 1945 mengedepankan norma hukum sebagai bentuk keadilan terhadap siapapun tanpa diskriminatif. Hal ini sejalan dengan konsep Hukum Islam dan hukum adat pada umumnya. menganut prinsip
Agama Islam
bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah
sehingga tidak ada alasan untuk membeda-bedakan setiap anak yang lahir, termasuk anak luar kawin sekalipun.1 Tetapi Undang-undang Perkawinan (untk selanjutnya disebut UUP) berkata lain, dalam UU Perkawinan dijelaskan bahwa Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
sehingga stigma yang berkembang dalam masyarakat bahwa
perkawinan yang sah adalah perkawinan yang telah dicatat saja dan apabila perkawinan yang tidak dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan dianggap tidak sah. Perkawinan yang tidak dicatat tersebut biasa disebut sebagai perkawinan sirri, dan anak yang lahir dari perkawinan siri ini dianggap sebagai anak luar kawin. Hal inilah yang mendasari uji materiil terhadap isi 1
http://irmadevita.com/2012/pengertian-anak-luar-kawin-dalam-putusan-mk diakses tgl 30 April 2012
2
undang-undang perkawinan yaitu pasal 43 terhadap Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (untuk selanjutnya disebut MK) Indonesia. Dalam UU No.8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (1) huruf a menegaskan bahwa salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sekalipun pasal 1917 BW jo. Pasal 21 AB menegaskan bahwa putusan pengadilan hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan tidak mengikat hakim lain yang akan memutus perkara yang serupa, namun ketentuan ini tidak dapat diberlakukan bagi putusan Mahkamah Konstitusi sebab substansi putusan MK tersebut bersifat umum yakni berupa pengujian suatu UU terhadap UUD, karena itu putusan MK tentang anak luar kawin (Putusan Nomor 46/PUUVIII/2010) tersebut pada dasarnya mengikat semua warga negara. Namun karena Negara juga menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu sebagaimana tertuang dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945, maka putusan MK dimaksud harus dibaca spiritnya sebagai “Payung Hukum Untuk Perlindungan Terhadap Anak Dan Tidak Menyangkal Lembaga Perkawinan Yang Sah” sebagaimana diatur dalam UU N0. 1 Tahun 1974 jo. PP 9/1975 jo. INPRES No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Karena itu perlindungan terhadap anak diluar perkawinan harus dilaksanakan secara proporsional yakni dikembalikan kepada peraturan peraturan perundangundangan yang berlaku dan adat istiadat setempat dengan tidak menafikan hukum agama yang bersangkutan.
3
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka perubahan besar dalam sistem hukum perdata pun akhirnya tak bisa dihindari. Dimana sebelumnya dalam pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan yang di ajukan yudisial riview ke MK adalah “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Permohonan yidisial riview Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan yang sah dan dicatat berdasarkan peraturan perundang - undangan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Misalnya dalam hukum waris. Berdasarkan KUHPerdata, anak luar kawin yang mendapat warisan adalah anak luar kawin yang telah diakui dan disahkan. Namun sejak adanya Putusan MK tersebut maka anak luar kawin diakui sebagai anak yang sah dan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya2. Kedudukan anak luar kawin terhadap warisan ayah biologisnya juga semakin kuat. Pasca putusan MK ini, anak luar kawin merasa berhak atas warisan ayahnya. Dampak yang dapat diprediksi pasca putusan MK tersebut adalah akan banyaknya pihak-pihak yang mengajukan perkara ke Pengadilan Agama (bagi yang beragama islam) dan Pengadilan Negeri (non Islam) dalam kaitan dengan gugatan hak-hak keperdataan anak
2
Amar putusan MK nomor 46/PUU-VIII/2010, h. 43.
4
luar kawin, baik berupa Itsbat Nikah (bagi yang telah kawin sirri) maupun pengesahan asal -usul anak (bagi yang tidak kawin sirri), nafkah anak, waris dsb.
Selain itu Kantor Pencatatan Sipil juga akan banyak menangani
permohonan akte kelahiran dan ini akan berdampak pula pada Instansi terkait lainnya seperti Kantor Kelurahan dsb. yang berkaitan dengan pembuatan Surat Keterangan pemohon, termasuk juga Pegawai Pencatat Nikah (KUA) yang berkaitan dengan administrasi pernikahan dan sebagainya. Dengan urain tersebut maka penulis bermaksud untuk membuat tulisan hukum dengan judul “KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 46/PUU-VIII/2010”
2. Rumusan Masalah Dari urain tersebut maka penulis merumuskan beerapa rumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah kedudukan hukum anak luar kawin menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974? b. Bagaimanakah kedudukan hukum anak luar kawin sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor46/PUU-VIII/2010?
3. Penjelasan Judul a. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Anak merupakan anugrah dan titipan dari Tuhan Yang Maha Esa, sudah semestinya kita berkewajiban memberikan yang terbaik bagi anakanak. Anak-anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus, kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara
5
sehat dan wajar. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah,3 dan perkawinan yang sah adalah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu4. Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsipprinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita. Tampaknya saat ini lembaga perkawinan sendiri bukanlah sesuatu yang sakral. Indonesia sekarang ini adalah negara yang berkembang sehingga menyerap berbagai macam unsur baik di bidang teknologi maupun budaya dari negara lain. Penyerapan unsur-unsur tersebut sudah tidak dapat disaring lagi dan akhirnya membawa dampak positif dan negative bagi para pemuda di negara Indonesia. Salah satu contoh dampak positif dari masuknya budaya asing
adalah
semakin
tingginya
kesadaran
masyarakat
akan
ilmu
pengetahuan dan hukum. Akan tetapi dampak negatif dari masuknya unsur budaya asing adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan yang tidak mempunyai ikatan perkawinan. Pergaulan bebas itu tidak hanya dilakukan oleh anak-anak dewasa, bahkan adanya hubungan seksual pranikah semakin menjamur di dalam masyarakat. Bahkan mereka yang telah memiliki ikatan perkawinan pun tak pelak mempunyai hubungan perkawinan lagi secara diam –diam atau sering disebut dengan kawin siri.
3 4
LN RI Tahun 1974, Nomor 1, Pustaka Yayasan Peduli Anak Negeri, 1974, h. 2. Ibid
6
Definisi Anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya5. UU No. 4 Tahun 1979 pasal 2 ayat (3) dan (4) tentang Kesejahteraan Anak berbunyi sebagai berikut: “Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sudah melahirkan.” “Anak berhak atas perlindungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.” Kedua ayat ini dengan jelas menyatakan demi
mendorong
perlu
adanya
perlindungan
anak
dalam
rangka
mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak. Apabila keadilan dikaitkan dengan perlindungan anak maka antara lain dapat dikatakan
bahwa
dimana
ada
keadilan,
disitu
seharusnya
terdapat
perlindungan anak yang baik. Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat malaksanakan hak dan kewajibannya. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, maka perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Didalam pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 sendiri dijamin bahwa Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
5
R. Subekti, Burgerlick Wetboek, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, h.69.
7
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
b. Putusan Mahakamah Konstitusi nomor 46/PUU – VII/2010
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Pasal 51 ayat 1 UU 24/2003 untuk mengajukan perkara konstitusi si pemohon harus memiliki kedudukan hukum (legal standing),
Mahkamah Konstitusi memberikan putusan mengabulkan
sebagian permohonan para pemohon. Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi.
Pencatatan
secara
administratif
yang dilakukan
Negara
dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak
8
dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti. Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.
Komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan hampir 50 juta anak di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai sebab antara lain karena pernikahan tidak sah atau tercatat di atau kawin siri, angka ini hampir separuh dari total jumlah anak dibawah 5 tahun yang ada di Indonesia. KPAI sangat mengapresiasi putusan MK beberapa waktu lalu yang mengabulkan permohonan uji materiil atas pasal anak diluar pernikahan sah dalam UU perkawinan.
Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
9
alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. “
4. Alasan Pemilihan Judul Kedudukan anak luar kawin selama ini terus menjadi perdebatan panjang, mulai dari sisi perlindungan hukum ataupun hak- hak yang harus mereka
peroleh
seakan
teredusir
oleh
ketidak
selarasan
peraturan
perundang-undangan, yaitu dalam UU nomor 1 tahun 1974 pasal 43 ayat (1) dijelaskan bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu kandungnya dan keluarga ibu kandungnya. Hal ini tentu sangat diskriminatif dimana seorang anak tidak mungkin ada (lahir) tanpa seorang ayah jadi dimana kewajiban seorang ayah kandung pada anaknya tidak diperkuat dalam undang-undang. Padahal dalam pasal 28 B ayat 2 UUD 1945 jelas bahwa Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dari ketidak selarasan undang-undang perkawinan dengan konstitusi itulah maka keluar putusan Mahkamah Konstitusi atas yudisial riview yang diajukan. Dengan dikabulkannya yudisial riview tersebut maka perubahan besar terjadi dimana anak luar kawin kini juga memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya dengan dibuktikan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini merupakan issue hukum yang sangat penting dan perlu diketahui oleh semua elemen khususnya praktisi hukum maupun akademisi dibidang hukum, sehingga dalam tulisan ini penulis memilih issu hukum terkait Kedudukan Anak Luar kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU – VIII/2010 ini sebagai judul skripsi atau tugas akhir guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana.
10
5. Tujuan Penulisan Skripsi Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : a. Untuk mengetahui konsep hukum perkawinan di Indonesia b. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana kedudukan hukum anak luar kawin menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan setelah keluarnya putusan MK nomor 46/PU – VIII/2010. c. Untuk mengetahui apa saja hak anak luar kawin yang harus diberikan oleh ayah biologisnya pasca putusan MK nomor 46/PU – VIII/2010.
6. Manfaat Penulisan a. Manfaat Teoritis Adapun manfaat akademis dari penelitian ini adalah memperkaya serta menambah wawasan ilmiah dalam khasanah ilmu hukum khususnya hukum Perkawinan Indonesia. Dengan adanya perubahan undang – undang perkawinan yang di lakukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi yaitu pasal 43 ayat dua (2) UU nomer 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam hal ini terkait perkembangan hukum di masyarakat yang slalu dinamis sehingga perlu adanya kajian baru sesuai perkembangan tersebut. . b. Manfaat Praktis Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: a) Hasil penulisan ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa khususnya mahasiswa fakultas hukum Universitas Wijaya Putra tentang
11
pengaturan Hukum perkawinan di Indonesia serta perubahan atas uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi dalam pasal 43 ayat 2 (dua) UU no 1 tahun 1974. b) Hasil penulisan ini dapat bermanfaat terhadap akademisi dan masyarakat untuk lebih mengerti dan memahami tentang anak luar kawin yang telah memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya sebagaimana telah diatur dalam pasal 43 ayat 2 (dua) UU no 1 tahun 1974.
7. Metode Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif, oleh karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah (norm). Pengertian kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam arti sempit (value), peraturan hukum konkrit. Penelitian yang berobjekan hukum normatif berupa asas-asas hukum, sistem hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal.. a. Tipe Penelitian Pemilihan metode penelitian disesuaikan dengan batasan isu hukum yang akan dicari jawabannya yaitu tentang Kedudukan Anak Luar kawain Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Untuk dapat menganalisis dan menjawab rumusan masalah tersebut maka digunakan tipe penelitian hukum normatif. Dimana penelitian ini akan mengkaji isi dari putusan MK tersebut dan dikaitkan dengan permasalahan yang muncul di masyarakat dan mengkajinya dengan norma – norma hukum lain baik itu norma yang ada dalam undang –
12
undang maupun norma yang hidup dimasyarakat, seperti aturan hukum adat dan kompilasi hukum Islam. b. Pendekatan Dalam
penulisan
ini
digunakan
pendekatan
perundang
–
undangan (statute approach) yaitu dilakukan dengan cara melakukan menelaah undang – undang dan Regulasi yang sesuai dengan isu hukum dalam penelitian ini. khusunya undang – undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dengan UUD 1945 khususnya pasal 28 B dan 28D, yang menjadi kajian dalam yudisial riview MK dan telah mendapat putusan hukum tetap. Disini akan dikaitkan dengan norma hukum lain yang hidup dalam masyarakat seperti norma hukum adat dan norma hukum islam yang mengatur tentang perkawinan dan hubungan anak yang merupakan buah dari perkawinan tersebut. c. Bahan Hukum Dalam penelitian hukum normatif, tentu ada beberapa sumber yang menjadi acuan maupun rujukan sehingga penelitian hukum ini tetap berdasarkan yuridis-normatif. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Bahan hukum primer yang mencakup ketentuan perundang-undangan termasuk asas hukum. 2) Bahan hukum sekunder mencakup dasar-dasar teoritik atau doktrin yang relevan. 3) Bahan hukum tertier adalah bahan yang berasal dari kamus atau Ensiklopedi dan Kamus hukum.
13
d. Langkah – Langkah Kajian Dalam penulisan skripsi hukum perlu dilakukan langkah-langkah strategis agar dapat menghasilkan karya yang mudah dipahami dan mudah dimengerti oleh pembaca. Langkah pertama yang dilakukan adalah menjelaskan diskripsi dari anak luar kawin sesuai dengan yang diatur dalam regulasi yang ada serta berdasarkan pendapat para ahli dibidang hukum yang berkembang selama ini. Kemudian mengklasifikasikannya dalam diskripsi yang mudah dipahami oleh pembaca. Langkah kedua adalah mengkaji dan memahami isi dari putusan mahkamah Konstitusi nomer 46/PUU-VIII/ 2010 yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini. Apakah ada ketidak selarasan dan konsistensi dari perundang-undangan yang dijadikan bahan
dalam
penulisan
ini
sehingga
ditemukan
suatu
diskripsi
bagaimanakah sebenarnya anak luar kawin itu dan kedudukannya dimata hukum serta hak –hak apa saja yang harus tetap diberikan pada anak luar kawin tersebut. Selanjutnya untuk memperoleh jawaban dari permasalahan ini digunakan penafsiran sistematis, yaitu penafsiran yang didasarkan pada hubungan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya. Pasal yang satu dengan pasal yang lainnya dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan poko bahasan. Serta norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
14
8. Pertanggung Jawaban Sistematika Berdasarkan rumusan permasalahan dalam penulisan ini maka penulisan dibagi menjadi 4 (empat) Bab, yaitu : BAB I PENDAHULUAN Bagian ini merupakan pendahuluan dari konsep materi yang akan dibahas. Bagian pendahuluan ini terdiri dari latar belakang penulisan, perumusan masalah, penjelasan judul serta alasan pemilihan judul. Dalam bab ini juga memaparkan tujuan dan manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika pertanggung jawaban. BAB II
KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM UNDANG –
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Dalam Bab ini akan dijelaskan gambaran umum mengenai pengaturan perkawinan yang sah di Indonesia serta devinisi anak luar kawin, kedudukan, serta hak –hak yang harus diberikan pada anak luar kawin.
BAB III KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU – VIII/2010 Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai devinisi anak luar kawin sesuai putusan MK nomor 46/PUU – VIII/2010, hak – hak anak luar kawin, mulai dari pengakuan (pembuktian), serta hak-hak anak luar kawin.
15
BAB IV PENUTUP Merupakan bagian akhir dari penulisan yang terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban singkat atas rumusan maslah serta bagian saran sebagai sumbangan pemikiran masukan dalam khasanah ilmu hukum.
16
BAB II KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN DALAM UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
1. Perkawinan Menurut Undang – Undang nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Sebelum terbentuknya undang-undang tentang perkawinan di Indonesia yaitu undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah terdapat berbagai peraturan perundang–undangan yang mengatur hal–hal tersebut, yang semuanya terjadi dan bersumber pada pertengahan abad ke XIX. Beberapa ketentuan dari perundang-undangan tersebut mengatur tentang perlangsungan perkawinan dan catatan sipil bagi gologan kristen bumi putera. Salah satunya tertuang dalam Staatsblad 1840 nomor 2, peraturan yang mengatur tentang pendaftaran kelahiran, perkawinan dan kematian bagi masyarakat depok dan tugu, akan tetapi tidak mengandung materi hukum perkawinan.6 Kemudian didaerah daerah kepulauan berlakulah ketentuan-ketentuan dari S. 1864 No. 142 yang kemudian ditambah dengan S.1885 No. 185. Juga reglement ini selalu berlaku didaerah-daerah yang tidak dikuasai oleh Moluksche Huwelijks Reglement dan ketentuan-ketentuan S.1933 No. 74, akan tetapi juga seperti halnya dengan
Moluksche Huwelijks Reglement
tidak mengatur materi hukum perkawinannya. Semua reglement diatas hanya mengatur tentang catatan sipil yang sifatnya terbatas dan tidak lengkap. Jadi menegenai hukum perkawinannya “an sich” tidak ada satupun 6
Prawirohamidjojo R.Soetojo,Pluralisme dalam perundang-undangan perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1986, h.13.
17
peraturan yang mengaturnya. Sehingga munculah undang-undang nomor 1 tahun 1974. Pasal 1 UUP memberikan devinisi “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. Bila definisi tersebut kita telaah, maka terdapatlah lima unsur didalamnya : a. Ikatan lahir batin; b. Antara seorang pria dan seorang wanita; c. Sebagai suami istri; d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal; e. Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa; a. Ikatan lahir batin Yang dimaksud ikatan lahir batin ialah, bahwa ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau batin saja, akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir batin merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Dengan kata lain, hal itu disebut hubungan formal. Hubungan formal ini nyata, bagi pihak-pihak yang mengikatkan dirinya muapun bagi pihak ketiga. Sebaliknya ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Ikatan batin ini merupakan dasar ikatan lahir. Ikatan batin inilah yang dijadikan dasar fundasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia. Dalam membina keluarga yang
18
bahagia sangatlah perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk meletakan perkawinan sebagai ikatan suami istri atau calon suami istri dalam kedudukan mereka yang semestinya dan suci seperti yang diajarkan oleh agama yang kita anut masing-masing dalam negara yang berdasarkan pamcasila. Perkawinan bukan hanya menyangkut unsur lahir, akan tetapi juga menyangkut unsur batiniah yang dalam dan luhur.7 b. Antara Seorang Pria dan Seorang Wanita Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita. Dengan demikian, maka kesimpulan yang dapat saya tarik pertama-tama bahwa hubungan perkawinan selain antara pria dan wanita tidaklah mungkin terjadi, misalnya antara seorang pria dengan seorang priaatau seorang wanita dengan seorang wanita ataupun seorang wadam dengan seorang wadam yang lain. Disamping itu kesimpulan yang dapat saya tarik adalah bahwa unsur kedua ini terkandung asas monogami. Yaitu asas dimana seorang laki-laki dapat menikahi seorang perempuan saja. Akan tetapi poligami atau menikah lebih dari seorang istri diperbolehkan bilamana hukum yang bersangkutan membolehkannya.8 c. Sebagai Suami Istri Ikatan atau persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita dapat dipandang sebagai suami atau istri, yaitu bila mana ikatan mereka didasarkan pada suatu perkawinan yang sah. Suatu perkawinan adalah sah, bila mana memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undangundang, baik syarat intern maupun syarat externnya. dengan syarat intern adalah
7 8
Yang dimaksud
yang menyangkut pihak-pihak yang
Ibid, h. 38. Supomo, Hukum Perdata Adat Djawa Barat, Djambatan, Djakarta, 1967, h. 29.
19
melakukan perkawinan yaitu : kesepakatan mereka, kecakapan dan juga adanya izin dari pihak lain yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat-syarat extern adalah yang menyangkut formalita-formalita pelangsungan perkawinan9. Syarat-syarat inter untuk pelangsungan perkawinan : a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak; b) Harus mendapatkan izin dari kedua orang tua, bilamana masingmasing calon belum mencapai umur 21 tahun; c) Bagi pria harus sudah mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 tahun, kecuali ada dispensasi yang diberikan pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua belah pihak; d) Bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamnya mengizinkan untuk berpoligami; e) Bagi seorang wanita yang akan melakukan perkawinan untuk kedua kali dan seterusnya, undang-undang yang mensyaratkan setelah lewatnya masa tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi mereka yang putus perkawinan karena perceraian, 130 hari bagi mereka yang putus perkawinannya karena kematian suaminya. Syarat-syarat extern untuk pelangsungan perkawinan :
9
a)
Laporan;
b)
Pengumuman;
c)
Pencegahan;
d)
Pelangsungan;
Prawirohamidjojo,op.cit, h. 39.
20
Perkawinan itu terkait pada bentuk tertentu, yaitu harus dilakukan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh negara. Setiap orang yang akan melangsungkan kehendaknya
perkawinannya itu
kepada
diwajibkan
pegawai
pencatat
memberitahukan perkawinan
akan
dilangsungkan yang akan dilakukan sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (pasal 3 PP 9/1975). Pemberitahuan dapat dilakukan secara lisan maupu tertulis yang dapat dilakukan oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakil mereka (pasal 4 PP 9/1975). Atas pemberitahuan ini, maka pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan wajib meneliti apakah syarat-syarat perkawinan bagi yang bersangkutan telah dipenuhi secara lengkap, yaitu sesuai syarat-syarat yang ditentukan oleh pasal 6 PP 9/1975. Baru setelah dipenuhi segala tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan dan tiada sesuatu halangan perkawinan,
maka
pegawai
pencatat
dapat
menyelenggarakan
pengumuman dengan cara menempelkan surat pengumuman tersebut pada Kantor Pencatat Perkawinan di tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan naskah ini dibiarkan sampai sepuluh hari atau sampai perkawinan dilangsungkan. Dengan persyaratan dan formalitas-formalitas beserta penunjukan pejabat-pejabat tertentu yang terkait dalam pelangsungan perkawinan, undang-undang bermaksud untuk adanya : 1. Keterbukaan, lebih-lebih untuk memberikan kesempatan bagi mereka yang mengetahui adanya halangan perkawinan untuk masih dapat mencegahnya;
21
2. Jaminan bahwa para pejabat tidak begitu saja dengan mudah dapat melangsungkan perkawinan; 3. Perlindungan terhadap suami istri atas perbuatan yang tergesa-gesa (overijling); 4. Pencegahan atas apa yang disebut sebagai perkawinan klandistin; 5. Kepastian tentang adanya perkawinan Berdasarkan Burgerjelick Weetboek (untuk selanjutnya disebut B.W.) pengumuman harus oleh pejabat catatan sipil yang berwenang di daerah hukum, tempat perkawinan itu akan dilangsungkan. Kecuali bilamana calon pengantin itu mempunyai domisili yang berlainan, maka pengumuman dilakukan di dua tempat pula, yaitu domisili masing-masing calon pengantin (pasal 53 B.W.). Hal ini sama kita ketahui dalam penjelasan PP 9/1975. d. Tujuan Perkawinan adalah Membentuk Keluarga (rumah tangga) yang Bahagia dan Kekal. Yang dimaksud dengan keluarga disini ialah suatau kesatuan yang terdiri atas ayah, ibu dan anak atau anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia. Dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sangat penting artinya kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga. Karena tidak dapat lain, masyarakat yang bahagia akan terdiri atas keluarga-keluarga yang berbahagia pula. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan yang merupakan pula tujuan perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Untuk dapat mencapai hal ini, maka diharapkan kekekalan dalam perkawinan, yaitu bahwa sekali orang
22
melakukan perkawinan, tidak akan bercerai untuk selam-lamanya, kecuali cerai karena kematian. Suatu perkawinan yang tidak bertujuan membentuk keluarga seperti yang dikenal dengan nikah mut’ah, yaitu kawin untuk kesenangan, haruslah dilarang, meskipun mengenai hal ini ada madhab-madhab yang menerimanya, kecuali madhab Syafi’i. Nikah mut’ah adalah suatu perkawinan hanya untuk suatu waktu tertentu, misalnya untuk 3 hari, 1 minggu, 1 bulan, akan tetapi tidak lebih dari 45 hari10. Sedangkan akibat-akibat dari dari nikah mut’ah adalah : a) Suami istri tidak dapat saling mewaris, jika tidak disyaratkan dalam akad; b) Anak yang dilahirkan akibat nikah mut’ah mempunyai kedudukan yang sama dengan nikah biasa, antara lain berhak mewaris dari ayahnya. e. Berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa Berbeda dengan konsepsi perkawinan baik yang terdapat dalam Ordonansi perkawinan Kristen Bumiputra (Huwelijks Ordonnantie Chirtian Inlanders) dan atau B.W. yang memandang perkawinan hanya sebagai hubungan keperdataan saja (lahiriah), UUP
mendasarkan hubungan
perkawinan atas dasar kerokhanian.11 Sebagai negara yang berdasarkan pancasila, yang sila yang pertama Ke Tuhanan Yang maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama/kerokhanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, akan tetapi unsur batin/rokhani juga mempunyai peranan penting. Bilamana kita mengikuti ketentuan pasal 1 secara murni, maka jelas bagi mereka yang tersebut di atas tidak
10 11
Prawirohamidjojo, op.cit, h. 40. Ibid
23
dimungkinkan melakukan perkawinan. Akan tetapi di Indonesia di samping hukum yang tertulis, masih ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu hukum adat, sehingga sesuai dengan ketentuan pasal 131 ayat 6 I.S yo pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, hukum Adat masih tetap berlaku. Demikian pula dengan hukum perkawinan. Kiranya bagi mereka tidak terjangkau
oleh
Ketentuan
pasal
1
UU
1/1947,
masih
dapat
melangsungkan perkawinannya menurut hukum adat mereka masingmasing. Apabila sekiranya dewasa ini di Indonesia masih terdapat orang-orang yang
belum
beragama,
maka
sesungguhnya
tidak
ada
yang
mengharuskan orang-orang itu kawin menurut cara-cara (salah satu cara) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan undang-undang ini. Di dalam suatu perkawinan, sama sekali bukanlah dimaksud untuk membuka kesempatan kepada para pemeluk agama tertentu untuk melangsungkan perkawinan mereka menurut anjuran agama lain yang tidak dianutnya. Sebagai pemeluk agama yang baik tentu diharapkan seseorang akan melaksanakan dengan ikhlas dan senanghati ketentuan-ketentuan sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya. Namun demikian, apabila seseorang menghendaki dan sepakat untuk kawin menurut cara lain yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya / dianutnya, maka sepanjang cara itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perkawinan itu sah pula dengan pengertian, bahwa orang tersebut pada saat melangsungkan perkawinan memeluk agama sesuai dengan cara-cara perkawinan yang dipilihnya12.
12
Surat Sekretariat Negara republik Indonesia, tanggal 31 januari 1974, Nomor: B-93/M – Sekneg/1/74
24
a. Masalah penting yang sekiranya perlu ditegaskan dalam kasus suami istri yang berbeda agama ialah, bahwa tidak terkandung maksud dalam UU 1/1974 untuk mengadakan pemaksaan/desakan agama yang satu terhadap yang lain dan sama sekali bukan pula dimaksudkan untuk menganjurkan seseorang untuk berpindah agama atau kawin dengan orang yang berbeda agama. Kebebasan untuk memeluk
agamanya
masing-masing
dan
beragama
menurut
agamanya dan kepercayaannya itu, jelas dijamin menurut UUD. Oleh karena itu sepanjang perkawinan itu dilakukan menurut salah satu cara sesuai dengan undang-undang perkawinan ini, tentunya dipilih/ disepakati oleh kedua calon mempelai, maka perkawinan itu adalah sah; b. Perpindahan dari agama satu pada agama yang lain setelah dilangsungkan perkawinan menurut cara-cara agama semula, tidak mempengaruhi sahnya perkawinan itu sendiri. Sudah barang tentu, apabila yang bersangkutan setelah berpindah agama akan melakukan tindakan yang berhubungan dengan perkawinan, maka tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku menurut hukum agama yang dipeluknya pada saat ia akan melakukan tindakan tersebut.
2.
Akibat Hukum Perkawinan Pada dasarnya perkawinan adalah sebuah ikatan atau perjanjian secara hukum, dimana para pihak saling sepakat untuk membangun sebuah rumah tangga yang sakinah mawadah dan warahma. Dengan adanya perkawinan
25
tersebut tentunya akan menimbulkan suatu akibat hukum pula yang terjadi setelah perkawinan tersebut telah diikrarkan. Akibat hukum itu bisa terjadi baik terhadap suami istri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.
a. Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri Akibat yang muncul dalam sebuah perkawinan yaitu timbulnya hak dan kewajiban suami istri yang terikat dalam suatu perkawinan, dimana para pihak memiliki tanggung jawab serta hak yang harus diberikan demi terpeliharanya sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia. Adapun hubungan suami istri tersebut antara lain :13
1) Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30). Perkawinan adalah suatu perbuatan yang mulia karena pada hakekatnya perkawinan adalah ajaran dari setiap agama, dengan perkawinan berarti menjaga keturunan, dengan demikian baik suami maupun istri tentunya sam-sama mengemban tanggung jawab yang sama dalam menjaga ikatan mulia tersebut. 2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)). Suami dan Istri samasam mempunyai kedudukan yang sama dimata hukum, meskipun suami adalah pemimpin dalam sebuah keluarga akan tetapi eksistensi
13
http://kuliahade.wordpress.com/2010/04/02/hukum-perdata-akibat-hukum-perkawinan diakses tanggal 27 Juni 2012
26
seorang istri sangatlah penting dalam menjaga dan kelangsungan berumah tangga serta peran serta dalam masyarakat. Untuk itu keselarasan dan keseimbangan sangatlah penting dalam menjaga keutuhan rumah tangga. 3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (ayat 2). Dalam ketentuan 1330 B.W. seseorang dapat dikatakan cakap atau dapat melakukan perbuatan hukum apabila orang tersebut Orang yang belum dewasa dari umurnya belum cukup untuk dianggap sebagai orang dewasa, mereka yang ditaruh dibawah peng-ampu-an (Otaknya yang tidak waras, hingga tidak dapat mengendalikan sendiri pikirannya) serta wanita yang bersuami. Wanita yang bersuami dapat melakukan perbuatan hukum dengan seizin atau sepengetahuan suaminya, begitupula suami dalam melakukan perbuatan hukum dewasa ini juga mulai nampak klausul yang menyertakan istri untuk mengetahui hal tersbut. Dengan demikian nampaklah keseragaman dan keseimbangan dalam kedudkan suami istri dalam rumah tangga. Kedewasaan seseorang atau dapat dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum. 4) Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Seorang suami mempunyai kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya (keluarga), disamping itu suami juga wajib melindungi keluarganya. Meskipun tanggung jawab suami kelihatan berat, akan tetapi tanggung jawab istripun sama besarnya, istri sebagai ibu rumah tangga harus bisa memeberikan motifasi dan
27
menopang tugas suami, selain itu istri juga menjaga kehormatan suami dan keluarga dalam kehidupan bermasyarakat. 5) Suami istri menentukan tempat kediaman mereka. Disisi lain perkawinan juga melahirkan sebuah keluarga baru, jadi membutuhkan kediaman baru juga. Oleh karenanya suami istri bisa menentukan kediaman mereka sendiri, dalam tradisi jawa suami biasanya mengikuti kediaman istri, meskipun tidak secara mutlak akan tetapi biasanya tergantung pada kebutuhan dan kesepakatan antara kedua belah pihak.14 6) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia. Sebuah rumah tangga akan slalu harmonis biala didasarkan pada sebuah kesetiaan dari suami istri yang lahir dari rasa cinta yang tulus dan saling menghargai satu sama lain. 7) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Diatas telah dijelaskan bahwa suami adalah pemimpin bagi istrinya, secara otomatis suami harus menjaga dan memberikan sesuatu yangg diperlukan istrinya dengan kadar kemampuan yang wajar. 8) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Berikutnya seorang istri, selaku pendamping suami, ia memegang amanah sebagai pengatur urusan dalam rumah suaminya berikut
14
Imam Sudiyat, Hukum Adat, sketsa Asas, Liberti, Yogyakarta, 1981, h. 104.
28
anak-anak suaminya dan ia pun kelak akan ditanya tentang pengaturannya dan tentang anak-anaknya.15
b. Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan
Akibat hukum lain yang timbul setelah terjadunya perkawinan adalah timbul harta bawaan dan harta bersama sebagaimana diatur dalam pasal 35 UUP.
1) Harta bawaan Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.16 Dari peraturan ini kita akan memperoleh pengertian bahwa dalam perkawinan dikenal dua macam kategori harta yaitu harta bawaan (Pasal 35 ayat 2) misalnya ; pemberian, warisan. Dan harta bersama (pasal 35 ayat 1) yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung Terhadap harta bawaan, Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatakan bahwa masing-masing pihak mempunyai hak dan untuk mengaturnya sendiri-sendiri. Karena itu harta bawaan tidak dimasukan kedalam harta bersama dalam perkawinan. 2) Harta Bersama Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Dari bunyi aturan tersebut dapat 15
16
http://kebunhidayah.wordpress.com/2009/09/28/tanggung-jawab-suami-dan-istri-dalammengelola-rumah-tangga/ diakses tanggal 27 juni 2012 LN RI No.1 tahun 1974, op.cit, h. 8.
29
diketahui,
bahwa
yang
berhak
mengatur
harta
bersama
dalam
perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui,
bahwa
yang
berhak
mengatur
harta
bersama
dalam
perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu. 3) Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun. 4) Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama.17
c. Akibat Perkawinan Terhadap Anak
Selain akibat hukum yang timbul antara suami dan istri dalam perkawinan juga akan timbul akibat hukum lain yaitu ketika perkawinan dikaruniai kuturunan atau anak. Anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang sah tentunya mempunyai hak-hak yang harus diberikan oleh orangtuanya. Adapun akibat hukum yang harus diperoleh anak dari orang tuany aadalah sebagai berikut : 17
Ibid
30
1) Kedudukan anak Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42). Dalam pasal ini masih menimbulkan pro dan kontra dimana perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing. Kemudian dalam pasal (2) dijelaskan bahwa perkawinan yang sah harus dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bila dilihat secara harfiah pasal tersebut tentu saja menimbulkan berbagai macam penafsiran dan celah hukum, dimana perkawinan yang sah dan tidak dicatat, dan dalam perkawinan itu telah dilahirkan anak maka anak tersebut dalam kenyataannya sering dianggap sebgai anak yang tidak sah. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja. Yang dimaksud dengan anak diluar perkawinan dalam undang-undang ini adalah anak hasil zina atau anak yang lahir sebelum adanya ikatan perkawinan yang sah. terhadap anak luar kawin ini anak tidak memiliki hubungan hukum dengan ayah biologis (secara ilmu biologi yang membuahi), anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu kandungnya dan kerabat dari ibu kandungnya saja. 2) Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45). Sebagai orang tua tentulah mempunyai kewajiban mendidik serta membimbing anaknya dengan baik sehingga anak tersebut bisa berbakti
31
kepada kedua orang tua. Orang tua berkewajiban mememenuhi hak-hak anaknya hingga dewasa dan bisa mencukupi kebutuhannya sendiri, bahkan hingga anak tersebut menikah atau telah membangun rumah tangga sendiri. Begitupula seorang anak yang sudah dewasa dan mandiri berkewajiban
membalas
kebaikan
kedua
orang
tuanya
dengan
memberikan kasih sayang serta menjaga kehormatan orang tua sebgaimana orang tua telah mengasishi anaknya dari lahir hingga dewasa. Anak juga berkewajiban merawat serta menghidupi orang tua mereka yang sudah tidak mampu lagi membiayai hidupnya sendiri. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik. Karena anak tidak mungkin tanpa orang tua sehingga anak sudah seharusnya menghargai dan mentaati kehendak orang tua. Sebagai orang tua tentunya akan mengarahkan anak-anaknya pada hal yang bijak dan bisa memberi manfaat bagi kepentingan anak dan orang tuanya. Selain itu anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya.18 3) Kekuasaan orang tua Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan orang tua. Berarti orang tua bertanggung jawab penuh terhadap apa yang dilakukan anak. Anak yang demikian dikatakan belum cakap artinya belum bisa melakukan perbuatan hukum. Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan. Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan 18
LN RI No.1 tahun 1974, op.cit, h. 10.
32
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila: a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak b. Ia berkelakuan buruk sekali c. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.
Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah kekuasaan yang dilakukan atau dimiliki oleh ayah dan ibu terhadap anakanak mereka yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Adapun isi dari kekuasaan orang tua terhadap anak-anak mereka adalah:
1. Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta kekayaannya. 2. Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hokum di dalam maupun di luar pengadilan.
Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya dan kekuasaan orang tua berakhir apabila anak itu dewasa, anak itu telah kawin atau pernah melaksanakan perkawinan dan ketika kekuasaan orang tua dicabut.
3. Pengertian Anak Luar Kawin
33
Pada dasarnya tidak ada seorang pun yang ketika terlahir ke dunia telah memiliki dosa dan secara biologis tidak ada seorang pun anak terlahir tanpa memiliki bapak. Mengenai beragamnya penyebutan terhadap status anak sendiri hendaknya harus disikapi dengan bijak kaitannya dengan dukungan kita terhadap perlindungan anak. Banyak pengertian dari istilah anak luar kawin atau anak luar nikah dalam aturan hukum yang berlaku. Beberapa aturan hukum yang menguraikan tentang istilah “anak luar nikah” adalah sebagai berikut :19 a. Anak Luar Kawin berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Anak luar kawin atau anak luar nikah menurut hukum Islam hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini sesuai dengan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, anak luar kawin menurut hukum Islam terhadap ibu yang melahirkannya mempunyai hubungan hukum secara otomatis walaupun tidak diakui secara tegas dan kedudukannya sama dengan anak yang sah yang lahir dari atau akibat perkawinan yang sah. Terhadap laki-laki yang menghamili ibunya menurut hukum Islam, anak luar kawin tidak mempunyai hubungan hukum atau hubungan nasab dengan laki-laki yang menghamili ibunya walaupun laki-laki yang menghamili ibunya tersebut ingin mengakui anak luar kawinnya, sehingga di antara mereka tidak ada hubungan waris mewaris.20 Hal ini terlihat sangat berbeda dengan anak angkat, dimana anak angkat adalah anak yang tidak mempunyai hubungan darah sama sekali dengan orang tua angkatnya. Walaupun demikian, anak angkat tetap 19 20
http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/8514852198_abs.pdf diakses tanggal 05 Juli 2012 http://www.scribd.com/doc/55076599/Kedudukan-Anak-Kandung-Sah-Dan-Anak-Luar-KawinMenurut-Hukum-Adat-Serta-Hukum-Perdata diakses tanggal 5 Juni 2012
34
berhak untuk memperoleh hibah, wasiat atau wasiat wajibah yang sebesar-besarnya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya. Oleh karena itulah, sangat bijaksana kalau anak luar kawin dianalogikan sebagai anak angkat, karena anak luar kawin tersebut adalah anak biologis dari laki-laki yang menghamili ibunya, sehingga ikatan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya lebih kuat dibandingkan dengan anak angkat karena adanya hubungan darah di antara mereka. Dengan demikian, maka anak luar kawin juga dapat memperoleh haknya dari ayah biologisnya, baik berupa hibah, wasiat atau wasiat wajibah yang sebesar-besarnya sepertiga dari harta warisan.21 b. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat Kedudukan hukum seorang anak yang dilahirkan diluar ikatan perkawinan menurut hukum adat adalah sama seperti seorang anak sah dalam hubungan terhadap ibunya. jadi anak itu pada dasarnya mempunyai hubungan hukum sebagai anak dengan orangtuanya hanya terhadap wanita yang melahirkannya, sedangkan dengan lelaki yang menyebabkan ia lahir tidak terdapat hubungan hukum. Sedangkan dalam hukum adat yang hukum keluarganya bersistem parental, kiranya tidak membawa kesulitan. Oleh karena anak tersebut dapat mewaris secara penuh dari ibunya maupun menggantikan kedudukan ibunya dalam mewaris dari neneknya.22 Hukum adat bersumber pada peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Masyarakat hukum adat yaitu
21 22
Ibid Imam Sudiyat, op.cit, h. 102.
35
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal.23 Berbeda dengan hukum islam yang dapat berlaku pada semua pemeluknya dimanapun berada, hukum adat hanya berlaku pada daerah tertentu. Oleh karena itu pengertian anak luar kawin sendiri dalam hukum adat tidaklah berlaku dalam seluruh wilayah hukum negara Indonesia. Belum ada keseragaman mengenai definisi tersebut sehingga pemberlakuan tersebut hanya berseifat komunal. c. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Anak luar nikah merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan diluar pernikahan yang sah. Predikat sebagai anak luar nikah tentunya akan melekat pada anak yang dilahirkan diluar pernikahan tersebut. Menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata pengertian anak luar nikah dibagi menjadi dua macam yaitu sebagai berikut :24 a. Anak luar nikah dalam arti luas adalah anak luar pernikahan karena perzinahan dan sumbang Anak Zina adalah Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah, antara laki-laki dan perempuan dimana salah satunya atau kedua-duanya terikat pernikahan dengan orang lain. Sementara anak sumbang adalah Anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi. Sebagaimana kita ketahui, Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun
23 24
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat diakses tanggal 5 Juli 2012 www.teckiprees.blogspot.com diakses tanggal 27 Juli 2012
36
1974 tentang Perkawinan melarang Perkawinan antara dua orang yang:25 a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. Seperti dengan ibu/bapak kandung serta keatas dengan kakek/nenek; b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang. f. suami beristeri lebih dari seorang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang menikah. b. Anak luar nikah dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan diluar pernikahan yang sah Anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki hubungan dengan ayah dan ibunya. Bila anak itu terpaksa disahkan pun tidak ada akibat hukumnya.27. Kedudukan anak itu menyedihkan. Namun pada prakteknya dijumpai hal-hal yang meringankan, karena biasanya hakikat zina dan sumbang itu hanya diketahui oleh pelaku zina itu sendiri Status sebagai anak yang dilahirkan diluar pernikahan
25
Ibid
37
merupakan suatu masalah bagi anak luar nikah tersebut, karena mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak dan kedudukan sebagai anak pada umumnya seperti anak sah karena secara hukumnya mereka hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tidak akan memperoleh hak yang menjadi kewajiban ayahnya, karena ketidak absahan pada anak luar nikah tersebut.26 Konsekuensinya adalah laki-laki yang sebenarnya menjadi ayah tidak memiliki kewajiban memberikan hak anak tidak sah. Sebaliknya anak itupun
tidak bisa
menuntut ayahnya untuk memenuhi
kewajibanya yang dipandang menjadi hak anak bila statusnya sebagai anak tidak sah. Hak
anak dari kewajiban ayahnya yang
merupakan hubungan keperdataan itu, biasanya bersifat material Anak luar nikah dapat memperoleh hubungan perdata dengan bapaknya, yaitu dengan cara memberi pengakuan terhadap anak luar nikah.27 Pasal 280 – Pasal 281 KUHPerdata menegaskan bahwasanya dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, timbulah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya. Pengakuan terhadap anak di luar nikah dapat dilakukan dengan suatu akta autentik.29 Bila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu pelaksanaan pernikahan. Pengakuan demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil, dan didaftarkan dalam daftar kelahiran menurut hari penandatanganan. Pengakuan itu harus 26
R.Subekti, Op.Cit, h. 71.
27
Ibid
38
dicantumkan pada margin akta kelahirannya, bila akta itu ada. Bila pengakuan anak itu dilakukan dengan akta otentik lain, tiap-tiap orang yang berkepentingan berhak minta agar hal itu dicantumkan pada
margin
akta
kelahirannya.
Bagaimanapun
kelalaian
mencatatkan pengakuan pada margin akta kelahiran itu tidak boleh dipergunakan untuk membantah kedudukan yang telah diperoleh anak yang diakui itu.28 Adapun prosedur pengakuan anak diluar nikah, diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menegaskan hal-hal sebagai berikut : 1. Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan. 2. Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir di luar hubungan pernikahan yang sah. 3. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Pengakuan Anak dan menerbitkan Kutipan Akta Pengakuan Anak Adapun syarat-syarat dokumen yang dibutuhkan dalam Akta Pengakuan Anak.
28
R.Subekti, loc.cit
39
d. Anak Luar Kawin Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Undang-Undang ini tidak secara tegas memberikan pengertian tentang istilah “anak luar nikah” tetapi hanya menjelaskan pengertian anak sah dan kedudukan anak luar nikah. Hal ini sebagaimana bunyi Pasal 42 – 43 yang pada pokoknya menyatakan “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat pernikahan yang sah. Anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” Dilihat dari bunyi pasal tersebut di atas kiranya dapat ditarik pengertian bahwa anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan diluar pernikahan dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya saja. Perkawinan yang tidak dicatatkan berakibat tidak diperolehnya perlindungan hukum yang diberikan oleh negara meskipun perkawinan dipandang sah karena dilakukan sesuai ketentuan masing-masing agama dan kepercayaannya. Tatkala salah satu pihak yang terikat perkawinan melakukan tindakan wanprestasi maka pihak yang merasa dirugikan akan kesulitan mengajukan gugatan karena ketiadaan akta autentik untuk membuktikan adanya ikatan perkawinan.29 Masalah krusial lain dalam hukum keluarga adalah status hak keperdataan anak luar kawin yang menurut undang-undang hanya memiliki hubung perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Aturan ini dirasa tidak adil bagi kepentingan anak. Sebab seorang anak yang tidak berbuat dosa harus menanggung kesalahan yang diperbuat oleh orang tuanya, padahal pria yang menyebabkan kelahiran anak tersebut
29
http://teckywaskito.wordpress.com/2011/01/28/status-hukum-dan-pengakuan-anak-luar-nikah/ diakses tanggal 5 Juli 2012
40
terbebas dari kewajiban hukum untuk memelihara, mendidik dan memberikan perlindungan yang seharusnya diberikan orang tua kepada anak. Dalam pasal 43 ayat 1 UU no.1 Tahun 1974 mengatakan : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Dan ayat 2 nya mengatakan : “Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.” Hingga sekarang peraturan pemerintah yang akan mengatur tentang kedudukan anak luar kawin, belum terlaksana. Dengan keadaan seperti ini, maka sulitlah memecahkan persoalanpersoalan yang menyangkut kehadiran anak luar kawin itu, misalnya, dalam bidang pewarisan.30 Oleh karena undang-undang tidak mengadakan ketentuan maka dengan menggunakan asas analogi, kapan anak luar kawin boleh diakui, maka dianggap bahwa anak itu dapat diakui sebagai anak dalam usia berapapun, tanpa ada batasan. Berhubung dengan ketentuan pasal 2 B.W. bahwa anak yang masih dalam kandungan seorang wanita dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan anaknya menuntutnya, dapat disimpulkan, bahwa anak yang masih dalam kandunganpun dapat diakui pula. Juga pengakuan terhadap seorang anak yang telah meninggal duniapun tidak dilarang oleh undangundang, maka dengan demikian harus dianggap dibolehkan. Pengakuan yang demikian tiada tanpa kepentingan, bilamana anak yang meninggal dunia itu meninggalkan keturunan.
30
Prawirohamidjojo, op.cit, h. 182
41
BAB III KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU – VIII/2010
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono mantan Menteri Sekretaris Negara di era Soeharto memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Berdasarkan Pasal 51 ayat 1 UU 24/2003 untuk mengajukan perkara konstitusi si pemohon harus memiliki kedudukan hukum (legal standing), sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undangundang, yaitu :31 a.
perorangan warga Negara Indonesia;
b.
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.
31
badan hukum public atau privat; atau
www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1715-analisis-hukum-putusan-mahkamah-konstitusinomor-46puu-viii2010-tgl-13-feb-2012-tentang-status-anak-luar-kawin.htm diakses tanggal 6 Juli 2012
42
d.
lembaga negara Dengan demikian, para pemohon dalam pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD 1945) harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu : 1.
kedudukannya sebagai para pemohon sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat 1 UU 24/2003.32
2.
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian
Adapun yang diajukan Permohonan Uji materiil adalah sebagai berikut : UUD 1945
UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 2 “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku “ Pasal 43 ayat 1 “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “
Pasal 28 B ayat 1 “ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah “ Pasal 28 B ayat 2 “ Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi “ Pasal 28 D ayat 1 “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum “ Sumber : Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon. Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi 32
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
43
Mahkamah
Konstitusi
memberikan
keputusan
mengabulkan
sebagian
permohonan para pemohon. Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta autentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hakhak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki.33 sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan lakilaki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur / administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan
33
http://www.jimlyschool.com/read/analisis/256/putusan-mahkamah-konstitusi-tentang-status-anakluar-kawin/ diakses tanggal 23 Mei 2012
44
hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. “34
1. Anak Luar Kawin dalam Putusan MK Setelah mencermati isi putusan mahkamah konstitusi no 46/PUUVII/2010 dalam pengujian pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, dapat diambil beberapa poin penting yang melandasi putusan MK tersebut antara lain:
a. Pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan. Sahnya perkawinan adalah bila telah dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masingmasing pasangan calon mempelai; dan b. Pencatatan
merupakan
kewajiban
administratif
yang
diwajibkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, MK berpendapat bahwa perkawinan sirri juga merupakan perkawinan yang sah. Tidak dicatatkannya suatu perkawinan dalam catatan administratif negara, tidak lantas menjadikan perkawinan tersebut tidak sah.
34
Perubahan setelah adanya Putusan MK nomor 46/PUU-VIII/2010
45
Namun, terdapat permasalahan sebagai akibat dari tidak dicatatnya perkawinan dalam catatan administratif negara. Salah satu akibatnya adalah terhadap hubungan hukum antara si Bapak dan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatat. Anak tersebut tidak serta merta bisa mencantumkan nama lelaki sebagai Bapaknya dalam akta kelahirannya. Dengan kata lain, dalam praktek anak yang lahir dalam perkawinan sirri digolongkan pada anak luar kawin. Dengan diakuinya perkawinan yang sesuai dengan ajaran agama masing-masing mempelai namun tidak dicatatkan sebagai suatu perkawinan yang sah maka seharusnya anak yang lahir dari perkawinan tersebut termasuk sebagai anak sah. Namun kenyataannya, anak itu digolongkan sebagai anak luar nikah.
Berkaitan dengan kondisi diatas, MK dalam melakukan penafsiran atas Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan berpendapat bahwa “Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.” Pendapat ini sejalan dengan Konvensi HakHak Anak (Convention on the Rights of Child) yang mengatur bahwa “anak akan didaftar segera setelah lahir dan akan mempunyai hak sejak lahir atas nama, hak untuk memperoleh suatu kebangsaan dan sejauh mungkin, hak untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya”.
Kemudian, Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur bahwa “Setiap anak berhak untuk
46
mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri”. Hak anak untuk mengetahui identitas kedua orang tuanya akan memperjelas status serta hubungan antara anak dengan orang tuanya.
2. Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK Putusan mahkamah konstitusi tersebut memberikan imbas yang cukup besar terhadap dinamika hukum perdata di Indonesia. Apabila dicermati secara detail, putusan tersebut sebenarnya telah memberikan titik terang terhadap isu hukum yang selama ini merebak di masyarakat, yaitu terkait dengan akibat hukum dari perkawinan sirri. Perkawinan sirri yang selama ini memunculkan perdebatan panjang terkait anak yang dilahirkan akibat dari perkawinan sirri ini apakah termasuk anak sah atau tergolong anak luar kawin kini telah menemui jawaban. Apabila di cermati dalam putusan MK tersebut, anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri, seharusnya, termasuk dalam anak sah karena dengan adanya putusan MK telah diakui bahwa perkawinan yang dilakukan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh agama masing-masing pasangan calon mempelai adalah perkawinan yang sah meskipun perkawinan itu tidak dicatat dalam catatan administratif negara. Akan tetapi, dalam prakteknya anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri justru digolongkan kedalam anak luar kawin sehingga si anak tidak memperoleh hak-hak keperdataan sebagaimana mestinya. Si anak dalam akta kelahirannya tidak dicantumkan nama Bapaknya sehingga muncul stigma negatif di masyarakat. Ditambah lagi, berkembang praktek di masyarakat
bahwa
perkawinan
sirri
merupakan
praktek
poligami
terselubung. Pihak laki-laki, terutama, seringkali menyangkal adanya
47
perkawinan tersebut sehingga hak-hak anak yang lahir dalam perkawinan tersebut tidak dipenuhi. Proses pengakuan anak Luar kawin menjadi anak sah dapat dilhat dalam perbandinangan berikut : Berdasarkan KUH Perdata dan UU Perkawinan Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
Anak luar kawin berdasarkan putusan MK ini dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan jika anak memiliki hubungan darah dengan ayahnya. Jika ia terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan anak pewaris maka anak tersebut mempunyai hak waris yang sama besarnya dengan ahli Anak Luar Kawin dalam BW dan KUH waris lainnya. Perdata bisa mendapat bagian waris melalui proses pengakuan yang Peraturan pelaksana putusan MK ini ditetapkan oleh pengadilan. Walaupun belum ada sehingga masih terdapat dengan adanya perbuatan hukum kekosongan hukum bagaimana anak pengakuan ini sang anak maksimal luar kawin mendapat jaminan ia akan mendapat 1/3 bagian waris. mendapatkan warisannya. Ketika pewaris meninggal, timbulah warisan dan ahli waris. Keberadaan anak luar kawin yang sudah ditetapkan pengadilan tetap akan mendapatkan bagian waris. Apabila ahli waris lain menolak, nama sang ahli waris ( anak luar kawin yang mendapatkan pengakuan ) sudah tercatat dan harus dimasukkan dalam surat keterangan waris.
Kemajuan yang dibuat putusan MK ini setelah dilakukannya pembuktian melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain tidak dapat menyangkal keberadaan anak luar kawin ini.
Karena secara ilmu pengetahuan anak luar kawin ini adalah anak dari pewaris. Surat keterangan waris dapat dibuat namun dapat terjadi permasalahan dalam administrasi pengurusan surat Notaris akan mengecek terlebih dahulu keterangan waris. berapa jumlah ahli waris yang tercatat oleh Negara. Dengan demikian jika ahli waris di luar anak luar kawin yang mendapat pengakuan menyangkal, surat keterangan waris tidak dapat dibuat.
48
Proses pengakuan anak luar kawin sebagaimana dalam putusan MK diatas kalau dilihat sekilas tentunya lebih sederhana dibandingkan dengan yang sebelumnya diatur dalam KUH Perdata. Akan tetapi proses pembuktian melalui teknologi ini sebenarnya adalah proses yang membutuhkan biaya tidak murah, namun sebelum mnenggunakan proses tersebut tentunya ada proses lain yang bisa dilakukan sebagaimana diatur dalam KUH Perdata :
a. Pengakuan Sukarela
Pengakuan sukarela yaitu : suatu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan undang-undang, bahwa ia adalah bapaknya (ibunya) seorang anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan). Dengan adanya pengakuan, maka timbulah hubungan Perdata antara si anak dan si bapak (ibu) yang telah mengakuinya sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 281 KUHPerdata, yaitu :
1) Dalam akta kelahiran si anak Menurut Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata, untuk dapat mengakui seorang anak luar kawin bapak atau ibunya dan atau kuasanya berdasarkan kuasa otentik harus menghadap di hadapan pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut. 2) Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat pula dilakukan pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2). Jo Pasal
49
272 KUHPerdata. Pengakuan ini akan berakibat si anak luar kawin akan menjadi seorang anak sah. 3) Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akta oteintik seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata. 4) Dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil, yang dibutuhkan dalam register kelahiran catatan sipil menurut hari Penanggalannya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) KUHPerdata.
b. Pengakuan Paksaan Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi secara paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar perkawinan itu, dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya kepada Pengadilan Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak bapak atau ibunya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 287-289 KUHPerdata. Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan bapak yang tidak terikat perkawinan yang sah baik di antara mereka maupun dengan orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak sumbang) Menurut KUHPerdata ahli waris yang berhak mewaris dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu : 1) Golongan I : Anak, atau keturunannya dan janda/duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 852, 852a, 852b, dan 515 KUHPerdata.
50
2) Golongan II : Orang tua (bapak/ibu), saudara-saudara atau keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam pasal 854, 855, 856, dan 857 KUHPerdata. 3) Golongan III : Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 853, 858 ayat (1) KUHPerdata. 4) Golongan IV : Sanak keluarga di dalam garis menyamping sampai tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 858 ayat (2), 861, 832 ayat (2), 862, 863, 864, 856 dan 866 KUHPerdata.
Terhadap proses pengakuan anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri yang menimbulkan sengketa maka harus dapat dibuktikan kebenaran mengenai laki-laki yang menjadi ayah dari si anak melalui proses peradilan. Proses peradilan dalam pemeriksaan dan pembuktian kebenaran ayah dari si anak, tidak serta merta mengukuhkan perkawinan yang dilakukan secara sirri menjadi tercatat secara administratif menurut aturan administrasi negara. Bila peradilan membenarkan adanya “hubungan darah” antara bapak dan anak dalam perkawinan sirri tersebut maka kedudukan anak adalah sebagai anak yang sah, sehingga hak-hak keperdataan anak menjadi layaknya hak-hak keperdataan anak sah.
Putusan MK ini berimbas juga pada anak yang dilahirkan akibat perbuatan zina. Terhadap kelompok anak luar kawin ini maka pemberlakuan aturan hukum harus dilakukan secara cermat, sesuai dengan konteks hukum
51
yang berlaku. Pemberlakuan aturan hukum bagi anak zina adalah sebagai berikut:35
a. Terhadap anak zina dalam KUHPerdata
-
KUHPerdata menetapkan bahwa anak yang dilahirkan akibat dari perbuatan zina, (dimana salah satu atau keduanya terikat dalam perkawinan) tidak dapat diakui dan disahkan.
-
Anak yang dilahirkan dari pasangan yang “hidup bersama” dapat diakui dan disahkan bila keduanya kemudian melaksanakan pernikahan.
b. Terhadap anak hasil zina dalam Hukum Islam berlaku akibat yang sesuai dengan ajaran Islam.
Karena definisi “zina” menurut hukum Islam berbeda dengan yang diatur dalam KUHPerdata. Hal ini dikukuhkan dengan aturan yang ditentukan dalam UU Administrasi Kependudukan bahwa “Kewajiban melaporkan pengakuan atau pengesahan anak luar kawin dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan dan pengesahan anak yang lahir diluar hubungan perkawinan yang sah”.
Dalam Kompilasi Hukum Islam asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan
akta
kelahiran.
Akan
tetapi
Pengadilan
Agama
diberikan
kewenangan untuk mengeluarkan ketetapan (itsbat) bila tidak ada akta kelahiran dari anak tersebut. Pengadilan memeriksa asal-usul anak dengan
35
www.hukumonline.com diakses tanggal 18 Mei 2012
52
mendasarkan pada alat-alat bukti yang sah, seperti keterangan saksi-saksi, tes DNA, pengakuan ayah (istilhaq), sumpah ibunya dan alat-alat bukti lain yang sah menurut hukum. Akibat hukum dari anak yang dilahirkan akibat perbuatan zina dalam syariat Islam diatur bahwa si anak tidak mempunyai hubungan keturunan (nasab), waris dan hak untuk menjadi wali nikah (bagi anak perempuan) dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Akan tetapi, lelaki yang menjadi bapaknya dapat dikenakan hukuman (ta’zir) untuk memberikan nafkah atau kebutuhan hidup si anak dan memberikan hartanya (hak waris) bila dia meninggal melalui wasiat wajibah.
Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa dibolehkan wanita yang hamil diluar nikah kemudian menikah dengan lelaki yang menghamilinya. Anak yang dihasilkan dari perbuatan tersebut tidak digolongkan sebagai anak zina, meskipun perbuatan yang mereka lakukan sebelum menikah adalah perbuatan zina menurut kaedah hukum Islam.
3.
Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan MK ini bukan hanya sebuah wacana yang kemudian tidak ditindak lanjuti.
Implementasi dari putusan tersebut
tentunya
akan
memberikan dampak terhadap berbagai macam instansi yang terkena imbas dari putusan tersebut. Dampak yang dapat diprediksi adalah akan banyaknya pihak-pihak yang mengajukan perkara ke Pengadilan baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Dalam kaitan dengan gugatan hak-hak keperdataan anak luar kawin, baik berupa Itsbat Nikah ( bagi yang telah kawin sirri ) maupun pengesahan asal -usul anak (bagi yang tidak kawin sirri), nafkah anak, waris dan sebagainya. Selain itu Kantor
53
Pencatatan Sipil juga akan banyak menangani permohonan akte kelahiran dan ini akan berdampak pula pada Instansi terkait lainnya seperti Kantor Kelurahan. yang berkaitan dengan pembuatan Surat Keterangan pemohon, termasuk juga Pegawai Pencatat Nikah yang berkaitan dengan administrasi pernikahan. Kendala yang akan ditemui dalam pelaksanaan atau implementasi putusan MK tersebut menurut penulis adalah selain beberapa instansi diatas juga berpengaruh pada notaris. Dari sisi praktisi notaris yang berwenang untuk membuat suatu keterangan waris, hal ini agak merepotkan, karena untuk membuat suatu keterangan waris diharuskan untuk menerima buktibukti otentik berupa akta kelahiran yang menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari hasil perkawinan kedua orangtuanya. Ada kekhawatiran didalam praktik dimasyarakat, tiba-tiba akan bermunculan berbagai kasus sehubungan dengan adanya tuntutan dari anak-anak luar kawin yang tidak/belum pernah diakui oleh pewaris, yang menuntut bagian dari warisan tersebut. Untuk dapat menjadi seorang ahli waris KUHPerdata telah menetapkan syarat-syarat sebagai berikut : a. Berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata untuk dapat menjadi ahli waris harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. Dimungkinkan menjadi ahli waris melalui pemberian melalui surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUHPerdata. b. Berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata Ahli waris, harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Namun, ketentuan ini disimpangi oleh Pasal 2 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam
54
kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya. Ketentuan Pasal 832
KUHPerdata
memperjelas kedudukan
masing-masing ahli waris harus didasari oleh suatu hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Dalam hal ini, perlu diidentifikasi lebih lanjut tentang kedudukan anak-anak pewaris sebagai ahli waris. Mengingat dalam suatu pewarisan menurut KUHPerdata dikenal anak luar kawin baik yang diakui secara sah maupun tidak. KUHPerdata tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian yang jelas tentang anak luar kawin. KUHPerdata hanya memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah
sebagaimana
diatur
dalam
Pasal
250
KUHPerdata
yang
menyebutkan bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan dan atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan batasan yang diberikan oleh Pasal 250 KUHPerdata dapat ditarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya tanpa harus didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat dapat dibuktikan adanya hubungan biologis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu pengetahuan, misalnya melalui hasil tes DNA. Namun demikian, apabila ada penyangkalan mengenai anak luar kawin ini dari anak-anak ahli waris yang sah, maka menurut saya
55
dalam hal ini tetap perlu dimohonkan Penetapan Pengadilan mengenai status anak luar kawin tersebut sebagai ahli waris yang sah. Mengharapkan pemerintah dengan putusan MK tersebut membuat sinkronisasi hukum dan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya sehingga tidak menimbulkan pendapat/
opini yang tumpang tindih yang
menimbulkan banyak masalah baru dan diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan dimasyarakat dapat terwujud.
56
BAB IV PENUTUP
1. Kesimpulan Dari pembahasan tentang kedudukan anak luar kawin pasca putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka sampailah kepada pengajuan kesimpulan yang merupakan intisari dari keseluruhan pembahasan skripsi ini, adapun kesimpulan yang dapat disampaikan oleh penulis yaitu :
a. Pada dasarnya setiap anak yang dilahirkan kedunia ini adalah dalam keadaan suci, tidak menanggung beban dosa dari perbuatan orang tuanya. Artinya setiap anak yang lahir berhak mendapatkan hak-hak dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Begitupun dengan anak luar kawin (nikah). Hal ini telah diamanahkan dalam konstitusi, akan tetapi karena persoalan undang-undang dan keberagaman aturan mengenai hukum perkawinan sehingga hak anak-anak luar kawin teredusir olehnya. Kehadiran putusan MK terkait status anak luar kawin ini merupakan angin segar bagi mereka anak-anak yang selama ini hanya memiliki status atau hubungan dengan ibu (keluarga ibu) kandungnya saja, dengan adanya putusan MK tersebut anak-anak luar kawin kini juga memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti tes genetik atau deoxyribonucleic acid (DNA). b. Adapun yang dimaksud dengan anak luar kawin dalam putusan MK tersebut adalah anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang dilakukan berdasarkan syarat-syarat yang sesuai agama dan keyakinan masing-
57
masing mempelai, meskipun secara administratif perkawinan tersebut tidak didaftarkan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundangundangan. Akan tetapi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas juga dapat dimaknai bahwa anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah. Berarti disini anak hasil dari hubungan diluar perkawinan pun dapat menuntut hak terhadap ayah biologis yang dapat dibuktikan melalui ilmu pengetahuan, dengan mengabaikan adanya ikatan perkawinan terlebih dahulu. Seharusnya putusan MK tersebut terbatas pada anak yang dihasilkan dari perkawinan yang sah berdasarkan agama dan keyakinan mempelai. Inilah yang menimbulkan kerancauan dan banyak penafsiran terkait anak luar kawin setelah putusan MK tersebut.
2. Saran Dari kesimpulan diatas maka penelis dapat memberikan saran agar kedepan permasalahan mengenai satutus anak luar kawin dalam putusan MK tersebut dapat diterimah masyarakat dan implementasinya memberikan keadilan. a. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 memberikan warna baru terhadap hukum perkawinan di Indonesia yang sangat plural, hingga saat skripsi ini ditulis putusan tersebut masih menimbul kan dua pandangan yang berbeda. Pandangan yang pertama dengan adanya putusan tersebut maka telah memperjelas status atau kedudukan anak yang lahir dari perkawinan sirri yang selama ini menjadi permasalan dan isu hukum ditengah masyarakat. Kedua, dengan adanya putusan tersebut juga dikhawatirkan akan ada kerancauan norma hukum yang tumbuh dimasyarakat karena anak yang lahir dari perbuatan zinah atau tanpa ada
58
dasar perkawinan pun apabila bisa dibuktikan dengan tes DNA, maka anak tersebut pula memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Untuk itu seharusnya Pemerintah harus memberikan penafsiran secara jelas bahwa dalam putusan MK tersebut yang dimaksud anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang sah menurut agama dan keyakinan melalui Undang-Undang perkawinan. b. Agar tidak menimbulkan karancauan peraturan perundang-undangan akibat putusan MK ini, hendaknya Pemerintah segera merivisi UndangUndang nomor 1 tahun 1974 yang sudah tidak dapat mengakomodir kepentingan bangsa terkait permasalahan perkawinan, atau membuat undang-undang tentang perkawinan baru yang lebih mengakomodir permasalahan perkawinan. Selain itu perlu ada keseragaman atau sinkronisasi hukum dan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan perkawinan di Indonesia yang sangat beragam, sehingga tidak menimbulkan pendapat/opini yang tumpang tindih yang menimbulkan banyak masalah baru dan diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan di masyarakat dapat diwujudkan oleh semua pihak khususnya pemirintah sebagai penegak hukum dan keadilan.
59
DAFTAR BACAAN
Halim, A Ridwan, Hukum Perdata dalam Tanya Jawab, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta 1954 Prawirohamidjojo,
R.Soetojo,
Pluralisme
Perkawinan di Indonesia,
Dalam
Perundang-undangan
Penerbit Airlangga University Press,
Surabaya, 1956 Subekti, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pedata, Penerbit Pradnya Pramita, Jakarta 1999. Sudiyat, Imam, Hukum Adat Sketsa Asas, Penerbit Liberti, Yogyakarta, 1981. Supomo, Hukum Perdata Adat Djawa Barat, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1967.
Surat Sekretariat Negara republik Indonesia, tanggal 31 januari 1974, Nomor: B93/M – Sekneg/1/74 LN RI Tahun 1974, Nomor 1, Tentang Perkawinan, Pustaka Yayasan Peduli Anak Negeri, 1974.
www.alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/8514852198_abs.pdf www.irmadevita.com/2012/pengertian-anak-luar-kawin-dalam-putusan-mk www.jimlyschool.com/read/analisis/256/putusan-mahkamah-konstitusi-tentangstatus-anak- luar-kawin/ www.kebunhidayah.wordpress.com/2009/09/28/tanggung-jawab-suami-dan-istridalam- mengelola-rumah-tangga/
60
www.kuliahade.wordpress.com/2010/04/02/hukum-perdata-akibat-hukumperkawinan www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1715-analisis-hukum-putusanmahkamah-konstitusi-nomor-46puu-viii2010-tgl-13-feb-2012-tentangstatus-anak-luar-kawin.htm www.scribd.com/doc/55076599/Kedudukan-Anak-Kandung-Sah-Dan-Anak-LuarKawin-Menurut-Hukum-Adat-Serta-Hukum-Perdata www.teckywaskito.wordpress.com/2011/01/28/status-hukum-dan-pengakuananak-luar-nikah/