BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik demi konflik menjadi status yang tidak terhindarkan bagi sebagian negara di dunia.Seperti konflik antarsuku, ras, agama, atau kudeta dan lainlain.Konflik-konflik itu tidak bisa lepas dari penggunaan senjata yang mana itu dapat membahayakan peradaban umat manusia.Senjata berbahaya tersebut banyak diselundupkan ke negara lain yang notabenya tidak memiliki senjata itu. Banyak pasar gelap tentang penjualan senjata itu yang berakibat bentrokan semakin tidak bisa dihindari.Ironisnya, belum ada peratifikasian atau pembentukan suatu norma atau aturan mengenai perdagangan senjata tersebut sehingga perjanjian perdagangan senjata sangat diperlukan untuk mengurangi masalah tersebut. Rezim internasional perdagangan senjata konvensional menjadi hal yang penting karena seiring dengan meningkatnya perdagangan senjata di dunia. Pada era Perang Dingin jumlah perdagangan konvensional senjata sebesar US$37.8 triliun.1Akan tetapi setelah berakhirnya Perang Dingin angka dari perdagangan senjata justru terus meningkat dan pada tahun 2008 mencapai sebesar US$55 triliun. Menurut laporan dari lembaga Women’s International League for Peace and Freedom menunjukkan bahwa total dari perdagangan senjata dunia setiap tahunnya berjumlah US$ 50 triliun dan angka tersebut terus meningkat tiap tahunnya.2 Sedangkan taksiran dari badan Amnesty International dan Oxfam memperkirakan perdagangan senjata 1 1
Rachel Stohl, U.S. Policy and the Arms Trade Treaty, (London: Chatham House, 2010), hal 11. Women‟s International League for Peace and Freedom,WILP Resolution on the Arms Trade Treaty,(Geneva: Quadrennial,2011), hal 1. 2
global bernilai US$ 85 triliun per tahun. Meskipun terdapat peningkatan angka dari perdagangan senjata internasional, namun belum ada peraturan internasional yang mengatur mengenai perdagangan senjata tersebut. Belum adanya peraturan mengenai perdagangan senjata internasional membuat peredaran senjata menjadi tidak terkontrol. Negara-negara seperti di Somalia, Kongo, Liberia, Sierra Leone, dan Sudan yang meskipun telah di embargo oleh PBB tetapi dapat dengan mudah mendapatkan senjata konvensional. Senjata konvensional yang diperoleh negara-negara tersebut didapatkan dari internal wilayah Afrika seperti Ghana, dan eksternal wilayah Afrika seperti China, Israel, dan bahkan sebagian negara di Eropa.3 Dampak dari lemahnya pengontrolan perdagangan senjata konvensional pada akhirnya
menimbulkan peningkatan terhadap arms violence dan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga Small Arms Survey menunjukkan konflik kekerasan bersenjata dari tahun 1990 hingga 2007 telah menelan korban jiwa sebanyak 500.000 orang setiap tahunnya. Sedangkan United Nation
Development
Program
(UNDP)
yang
menggunakan
data
statistik
menunjukkan bahwa jumlah kematian yang diakibatkan oleh senjata konvensional berjenis small arms di negara-negara yang berbeda sebanyak 0.01 kematian per 100,000 orang di Hong Kong, 30 per 100,000 di El Salvador, 55 per 100,000 di Kolombia, dan jumlah tersebut meningkat 580 per 100,000 tiap tahunnya.
3
http://www.oxfam.org/en/pressroom/pressrelease/2013-06-03/governments-sign-historicglobal-treaty-regulate-85bn-arms-trade diakses 19 Mei 2014.
Melihat dari fenomena perdagangan senjata yang tidak diatur sehingga berakibat pada krisis terhadap kemanusiaan membuat individu, negara, dan entitas di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil langkah-langkah untuk menangani masalah ini dengan membentuk suatu rezim internasional terkait dengan perdagangan senjata. Rezim internasional mengenai perdagangan senjata tersebut adalah Perjanjian Perdagangan Senjata, (The Arms Trade Treaty/ATT). Ide yang melandasi terbentuknya ATT telah dimulai pada tahun 1990an. Pada perkembangannya di tahun 2006, digelar Sidang Majelis Umum PBB ke 61. Tujuan dari sidang ini adalah untuk meminta seluruh negara anggota PBB memberikan pandangan mereka terkait dengan pembentukan ATT, di mana lebih dari 100 negara terlibat dalam sidang tersebut, yang salah satunya adalah Indonesia. Indonesia dan 85 negara lainnya memberikan dukungan terhadap pengembangan suatu instrumen mengikat secara hukum dalam ATT untuk membentuk standar internasional yang meliputi ekspor, impor, dan transfer senjata konvensional. Setelah Sidang Majelis Umum PBB ke 61 pada tahun 2006, dimulai proses perumusan ATT. Proses perumusan pertama ATT dilakukan melalui Kelompok Ahli Pemerintah (Group of Government Expert/GGE) pada tahun 2008, lalu Open Ended Working Group (OEWG) pada tahun 2009, dan Preparatory Comitte (PrepCom) pada tahun 2011. Setelah proses perumusan selesai, pada tahun 2012 diselenggarakan Konferensi mengenai ATT, dimana konferensi tersebut bertujuan untuk mengadopsi ATT. Oleh karena itu pada bulan Maret 2013, akhirnya Sidang Majelis Umum PBB melaksanakan penandatanganan terkait dengan ATT yang dimulai pada tanggal 3 Juni 2013. Terdapat beberapa hal menarik dalam sidang tersebut, seperti sikap Amerika Serikat sebagai salah negara utama eksportir senjata yang mendukung dan menandatangani ATT. Hal ini menarik karena sebelumnya Amerika Serikat adalah
negara yang menentang terbentuknya ATT. Hal menarik lainnya adalah sikap Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara yang mendukung pembentukan ATT justru mengambil sikap abstain. Hal ini justru bertolak belakang dengan sikap Indonesia sebelumnya ketika pertama kali ATT diusulkan, dimana Indonesia mendukung sepenuhnya perjanjian ini dan bahkan menjadi salah satu negara yang paling aktif memberikan pendapatnya di Sidang Majelis Umum PBB. Jadi, penelitian ini akan membahas tentanganalisa teori rational choice mengenai sikap Indonesia yang abstain terhadap perjanjian perdagangan senjata ( Arms Trade Treaty/ ATT) tahun 2013. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai negara pendukung pembentukan ATT, MengapaIndonesia abstain terhadap perjanjian perdagangan senjata ( Arms Trade Treaty/ATT) tahun 2013? C. Tujuan Penelitian Mengacu pada latar belakang dan rumusan masalah yang penulis paparkan, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui secara jelas mengenai apa yang mendasari Indonesia harus abstain terhadap perjanjian perdagangan senjata tersebut. Selain itu, penulis berharap bahwa kita dapat memahami keuntungan dan kerugian apa yang akan didapatkan Indonesia sehingga ia harus bersikap abstain terhadap perjanjian itu. D. Kerangka Teori D.1. Teori Rezim Internasional Sejarah pergaulan antarnegara di dunia ini melahirkan banyak peraturan dan nilai-nilai untuk mengatur negara-negara tersebut agar lebih baik lagi.Pada saat ini hubungan internasional mengalami fenomena yang berubah-ubah seiring dengan
munculnya isu-isu baru yang terjadi antar aktor dalam suatu komunitas lokal, regional maupun global. Salah satu cara untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan isu-isu yang ada aktor-aktor di dalam hubungan internasional disamping melakukan hubungan bilateral, multilateral, kerjasama, dan bahkan aliansi mereka juga membentuk suatu peraturan yang disebut rezim internasional. Rezim internasional yang terkait dengan hal ini adalah mengenai ATT pada tahun 2013 yang merupakan salah satu bentuk rezim persenjataan yang dibentuk oleh aktor negara. D.2. Pengertian dan Ruang Lingkup Sebuah aturan dan norma dalam hubungan internasional ini tidak hanya digencarkan oleh organisasi-organisasi internasional yang selama ini lebih menonjolkan pemikiranya, tetapi juga berasal dari sebuah rezim yang diciptakan guna membentuk suatu badan yang bergerak di bidang masing-masing.Keadaan ini semakin marak kita lihat di zaman ini yang mana pertumbuhan hubungan negaranegara selalu diwarnai dengan berbagai kejadian baik kekerasan, paksaan, pencaplokan wilayah, perdamaian dan kerjasama.Semua ini membuat beberapa negara atau bahkan organisasi untuk melakukan upaya dalam meminimalisir kejadiankejadian yang dianggap dapat meresahkan kesejahteraan rakyat, sehingga mereka berusaha membentuk suatu rezim yang dapat menjaga kestabilan hubungan negaranegara walaupun itu tidak serta merta dapat terlaksana dengan sempurna. Menurut Stephen D. Krasner, rezim internasional adalah suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan keputusan, baik bersifat eksplisit maupun implisit, yang berkaitan dengan ekspektasi atau pengharapan aktoraktor dan memuat kepentingan aktor tersebut dalam Hubungan Internasional.4Stephen
4
Stephen D. Krasner, International Regime,( New York: Cornell University,1983),hal. 7. Dalam buku Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani,Pengantar Ilmu Hubungan Internasional,(Bandung: Remaja Rosdakarya,2006), hal 28.
Haggard dan Beth A. Simmons (1987) mengatakan bahwa rezim internasional muncul sebagai fokus penting dari riset empiris dan debat teoritis di dalam hubungan internasional. Kepentingan rezim timbul karena adanya ketidakpuasan dengan konsep dominan dari tata aturan internasional, kewenangan, dan organisasi. Kehadiran suatu rezim berisikan perjanjian multilateral dapat menggantikan perjanjian bilateral, berisikan standar yang dapat diterapkan secara efisien dalam berbagai bentuk seperti International Monetary Fund (IMF), Biological Weapons Conventions, dan Kyoto Protocol (Protokol Kyoto). Rezim internasional harus dipahami sebagai sesuatu yang lebih besar dari perjanjian sementara (temporary agreement)yang mengalami perubahan setiap kali ada pergeseran atau perpindahan dalam “Power” dan “Interest”. Ada empat hal yang mutlak ada pada sebuah rezim international ini antara lain: -
Principles yakni prinsip atau kepercayaan atas fact, causation, dan rectitude.
-
Norms yakni standar perilaku yang dituangkan dalam hak dan kewajiban
-
Rules yakni bentuk ketentuan dan larangan spesifik yang berkenaan dengan perilaku tadi
-
Decision Making Procedures yakni praktek umum untuk membuat dan mengimplementasikan keputusan bersama (Collective Choices).
D.3. Sifat dan Jenis Rezim Internasional Dilihat dari resiko/uncertainty dalam rezim, maka ada beberapa tipe rezim internasional antara lain: 1. Control-Oriented Regimes Hampir seluruh rezim internasional memiliki sifat ini
Masing-masing anggota mempertahankan tingkat pengawasan perilaku masing-masing untuk mengurangi ketidakpastian dan kecurangan dalam aktifitas yang tidak terkondisikan Tipe rezim ini memiliki 2 bentuk yakni: a. Internal Regulation Ditujukan pada pengaturan pola dan perilaku diantara anggota rezim tersebut. b. Environmental Regulation Ditujukan sebagai aturan bagi anggota berperilaku di luar lingkungan rezim tersebut. 2. Mutual-Oriented Regimes Tipe ini jarang digunakan dan biasanya disebut sebagai Insurance Regimes. Dengan pengertian dan penjelasan tersebut, ATT merupakan salah satu tipe rezim yang Control-Oriented Regimes dengan bentuk Internal Regulation.Artinya, perjanjian perdagangan senjata ini memuat aturan-aturan yang memang harus ditaati dan diemplementasikan dengan baik oleh para negara anggota yang telah bersepakat dalam pembentukanya.Sehingga, ketidakefektifan suatu perjanjian ini bisa dilihat setelah negara anggota saling bertindak untuk perjanjian tersebut. Tujuan dan keinginan negara-negara dalam perumusan ATT ini diliputi rasa bangga sekaligus cemas.Mengapa demikian? Di satu sisi kita akan merasa lebih tenang karena puncak senjata yang biasanya digunakan dalam konflik akan terorganisir dengan baik. Akan tetapi, efektif tidaknya perjanjian ini belum bisa kita lihat sehingga perlu tindakan yang cukup serius terutama negara-negara anggotanya.
Jadi rezim internasional adalah suatu tatanan berisi prinsip, norma, aturan, baik bersifat eksplisit maupun implisit yang didalamnya terdapat pengharapan aktor-aktor yang juga memuat kepentingan dari aktor-aktor dan pada akhirnya diterima dan disepakati oleh mereka. ATT merupakan contoh dari rezim internasional. Pada penelitian ini teori rezim internasional digunakan untuk menganalisa mengenai apa hal yang membentuk ATT, prinsip, norma, aturan, dan ekspektasi atau harapan aktor-aktor di dalam ATT. D.4. Teori Rational Choice Pada dasarnya, negara mempunyai berbagai alasan dan tujuan mengapa ia bekerjasama atau menolak suatu kerjasama dengan negara lain atau kelompok negara. Setiap negara menggunakan kebijakan luar negeri sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan nasional. Untuk mencapai hal tersebut, negara sebagai aktor yang rasional berusaha untuk memilih tiap pilihan alternatif untuk memaksimalkan benefit dan meminimalkan cost yang diterima. Untuk menganalisa cost dan benefit yang diterima oleh negara, maka pada penelitian ini akan menggunakan teori pilihan rasional. Rational choice theory atau teori pilihan rasionaldalam ilmu Hubungan Internasional terbentuk di awal 1960-an. Teori pilihan rasional diartikan sebagai instrumen mengenai maksud-tujuan atau pilihan dari tujuanterarah suatu aktor.5 Untuk memutuskan pilihan apa yang akan diambil oleh aktor, teori pilihan rasional berupaya untuk memberikan penjelasan mengenai pilihan optimal bagi para pembuat keputusan. Teori pilihan rasional merupakan teori yang digunakan untuk menjawab mengenai apa keputusan terbaik untuk mencapai kepentingan dari aktor di lingkungan internasional. Penjelasan lebih rinci mengenai teori pilihan rasional dinyatakan oleh Stephen M. Waltz
5
Robert Jackson & Geor Sorensen,Pengantar Studi Hubungan Internasional,(Yogyakarta: Pustaka Belajar,2009), hal 297.
dalam jurnalnya yang berjudul Rigor or Rigor Mortis? Rational Choice and Security Studies. Pada jurnalnya, Waltz menyatakan bahwa: 1.Rational choice theory is individualistic: social and political outcomes are viewed as the collective product of individual choices (or as the product of choices made by unitary actors). 2. Rational choice theory assumes that each actor seeks to maximize its “subjective expected utility.” Given a particular set of preferences and a fixed array of possible choices, actors will select the outcome that brings the greatest expected benefits. 3. The specification of actors’ preferences is subject to certain constraints: (a) an actor’s preferences must be complete (meaning we can rank order their preference for different outcomes); and (b) preferences must be transitive (if A is preferred to B and B to C, then A is preferred to C).”[16] Pada penjelasan di atas terdapat tiga poin yang dijelaskan oleh Waltz mengenai teori pilihan rasional(rational choice). Pertama, teori pilihan rasional bersifat individu yaitu hasilhasil sosial dan politik dipandang sebagai produk kolektif atas pilihan individu (atau sebagai produk dari pilihan yang dibuat oleh aktor kesatuan). Dapat dikatakan Waltz menambahkan mengenai aktor kesatuan (negara) pada aktor teori pilihan rasional, yang sebelumnya dijelaskan oleh Latsis yaitu individu. Kedua, Waltz mengasumsikan bahwa aktor berusaha memaksimalkan kepentingannya, hal tersebut dilakukan oleh aktor dengan mengambil suatu pilihan yang akan membawa hasil maksimal terhadap pencapaian kepentingannya. Ketiga, teori pilihan rasional menspesifikasikan preferensi dari aktor terhadap kendala tertentu, misalkan aktor memiliki beberapa pilihan (artinya peneliti dapat membentuk urutan peringkat dari preferensi untuk hasil yang berbeda). Selain itu, pilihan harus bersifat transitif
(jika pilihan A lebih dinilai penting dibanding dengan pilihan B dan C, maka aktor akan memilih A). Waltz pada intinya menyatakan bahwa teori pilihan rasional merupakan alat untuk membuat kesimpulan logis tentang bagaimana manusia (atau negara) membuat keputusan. Dari penjelasan mengenai teori pilihan rasional dapat disimpulkan bahwa teori pilihan rasional merupakan instrumen mengenai maksud dan tujuan atau pilihan terarah dari negara untuk mencapai kepentingannya di lingkungan internasional. Teori pilihan rasional digunakan pada penelitian ini untuk menganalisa apa maksud dan tujuan dari negara, dan untuk menganalisa cost dan benefit dari pilihan yang dilakukan negara untuk mencapai kepentingannya. D.5. Sejarah Rational Choice Pada awal mula teori rational choice ini muncul sebagai suatu teori yang banyak digunakan sebagian para pembuat keputusan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan apa yang seharusnya diambil untuk memenuhi kepentinganya.Teori ini muncul dari ilmu ekonomi yang mana mencoba menjelaskan tingkah laku manusia sebagai akibatnya pada pilihan rasional.Teori ini menjadi inti dari sebuah teori ekonomi neoklasik yang sudah tumbuh berabad-abad tahun yang lalu, sehingga keksistensianya dapat dipertanggung jawabkan sebagai teori yang mampu berkembang dari zaman ke zaman sampai saat ini. Teori ini merupakan bagian terpenting dari pemikiran orang-orang barat sejak sistem pasar diganti menjadi sebuh sistem ekonomi dunia.Penjelasan teoritik dari menonjolnya kepentingan pribadi, kelompok, atau partai dalam dunia politik justru lahir pertama kali dari seorang ahli ekonomi, yaitu James Buchanan. Ia telah memasukkan unsur-unsur pertimbangan ekonomis dalam perilaku para politikus yang kemudian dikenal sebagai “Teori Pilihan Rasional” (Rational Choice Theory). Teori inilah yang mengantarkannya sebagai
salah satu penerima hadiah Nobel dalam ilmu ekonomi. Teorinya ini kemudian juga dianggap melahirkan disiplin ilmu ekonomi-politik. Dalam teori tersebut, Buchanan mengatakanbahwa sebuah pilihan bisa dikatakan rasional jika seseorang terjun ke dunia politik terutama memperjuangkan kepentingan pribadinya. Perjuangan kepentingan individu para politikus tersebut di samping bisa bertentangan dengan kepentingan masyarakat atau mereka yang diwakilinya, bisa juga menciptakan hal-hal yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme. Sebagai contoh, jika seorang anggota DPRD melihat jalan-jalan di kotanya rusak, sehingga ia tak nikmat menyetir mobil, dan lalu mengusulkan perbaikan jalan kepada wali kota, maka bukan hanya si anggota DPRD yang diuntungkan, tetapi juga masyarakat umum di kota itu. Jika demikian yang terjadi, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan adanya motivasi kepentingan pribadi dalam diri politikus. Teori ini sebenarnya mirip dengan teori ekonomi klasik yang pertama kali dikemukakan oleh bapak ilmu ekonomi Adam Smith. Smith juga mengatakan bahwa pemerintah tidak usah repot-repot mengatur masyarakat, khususnya di bidang ekonomi, karena individu-individu dalam masyarakat akan memperjuangkan kepentingan ekonominya sendiri-sendiri. Perjuangan kepentingan ekonomi individu-individu itu di samping menciptakan persaingan, juga menciptakan ketergantungan yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme. Untuk memperjelas hal tersebut, Adam Smith pernah menulis dalam tulisanya yakni: “Jika seorang membuat roti untuk dijual kepada orang lain, maka motivasinya bukan karena ia orang baik hati yang tak ingin melihat orang lain kelaparan, melainkan karena ia sendiri butuh uang untuk makan yang bisa ia dapat dengan membuat dan menjual roti itu.”
Dalam perkembangannya, memang banyak yang tidak setuju dengan pandangan Buchanan ini. Fakta membuktikan bahwa perjuangan kepentingan pribadi para politikus tersebut seolah tanpa batas dan jarang sekali yang bersinggungan dengan kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Keadaan demikian membuat proses perumusan kebijakan akan selalu didasari atas kepentingan pribadi, bagaimana aktor melihat implikasi dan dampak yang akan diperoleh jika ia memilih suatu tindakan tersebut, begitu juga sebaliknya. Dengan berbagai sumber mengenai penjelasan dan pengertian tentang rational choice, ia lahir sebagai teori ekonomi yang kemudian menjelma sebagai teori pilitik yang sudah terbukti keefektifanya dalam menjelaskan fenomena-fenomena para pembuat keputusan dalam menciptakan kebijakan di dunia global. D.6. Pengertian Teori Rational Choice Pilihan rasional merupakan teori ekonomi yang diaplikasikan pada sektor publik. Teori ini mencoba menjembatani antara mikro ekonomi dengan politik dengan melihat tindakan-tindakan warga negara, politisi, dan pelayan publik sebagai sebuah analogi terhadap kepentingan pribadi produsen dan konsumen (Buchanan, 1972). Ada beberapa nama untuk konsep ini, seperti ekonomi politik atau welfare economics, namun yang paling sering dipakai adalah istilah pilihan rasional atau pilihan publik. Teori ini bermula dari tulisan Adam Smith yang berjudul The Wealth of Nations (pertama kali dipublikasikan pada tahun 1776) yang merupakan konstruksi teori ekonomi neoklasik. Menurut Smith, manusia bertindak yang didasari kepentingan pribadi, melalui mekanisme “invisible hand”, bisa menghasilkan manfaat kolektif yang berguna bagi masyarakat. Contohnya, seorang pengusaha mungkin termotivasi hanya untuk memperkaya diri sendiri, namun kemampuan mereka untuk memperoleh keuntungan bergantung pada
kemampuan mereka memproduksi barang-barang yang lebih murah dan lebih berkualitas dibandingkan para pesaingnya. Barang berkualitas dengan harga lebih murah pastinya bermanfaat bagi setiap orang. Jika ini benar, maka implikasinya permintaan sosial dan kepentingan kolektif dapat dihasilkan melalui mekanisme pasar bukan melalui kekuasaan pemerintah. Unsur-unsur dasar berupa pelaku dengan motif kepentingan pribadi, kompetisi antar produsen, dan pasar yang relatif tidak terregulasi merupakan ciri-ciri pemikiran ekonomi neoklasik yang merupakan pusat dari teori pilihan rasional. Walaupun dasar teori pilihan rasional sudah ada sejak abad ke-18, penerapannya di bidang administrasi publik baru dikenal melalui buku An Economic Theory of Democracy karya Anthony Downs (1957) dan The Calculus of Consent karya James Buchanan dan Gordon Tullock (1962). Karya Buchanan dan Tullock dipandang sebagai pendiri formal teori ini. Menurut kerangka teori ini warga dan pelayan publik tidak terikat secara politik karena komitmen, namun terikat secara politik karena alasan yang sama dengan prilaku ekonomi, yaitu mereka termotivasi atas dasar kepentingan pribadi. Sebagaimana dikemukakan oleh Buchanan dan Tullock, ada dua asumsi kunci dalam teori pilihan rasional, yaitu 1) rata-rata individu memaksimalkan kepentingan untuk dirinya sendiri. Artinya setiap orang mengetahui tujuan dan pilihan-pilihannya. Ketika mereka dihadapkan pada seperangkat pilihan maka mereka akan memilih hal-hal yang memberi kemanfaatan maksimal dan biaya minimal bagi dirinya. 2) Hanya individu dan bukannya kelompok yang membuat keputusan, yang dikenal dengan istilah individualisme metodologi (methodological individualism) yang menganggap
keputusan kolektif
merupakan jumlah dari pilihan individu. Dari premis sederhana ini para pemikir pilihan rasional telah mengkonstruksi secara deduktif seluruh teori perilaku individu dan organisasi, kemudian memperluas implikasinya ke dalam pengembangan administrasi pemerintahan. Kita tidak bisa memandang sebelah mata pada teori ini karena dampak dari teori ini terdapat
pada tiga area primer berikut ini: 1) Prilaku organisasi, teori ini menawarkan sebuah kerangka berpikir untuk menjawab pertanyaan “mengapa birokrasi dan birokrat melakukan apa yang mereka kerjakan?” 2) Pelayanan publik, teori ini menawarkan sebuah penjelasan bagaimana public goods dihasilkan dan dikonsumsi, yang merupakan awal dari reformasi sektor publik yang mengubah anggapan tentang administrasi publik tradisional 3) Klaim atas orthodoks baru, para pembela teori ini berpendapat bahwa teori pilihan rasional merupakan penerus ideide Wilson dan Weber. Secara normatif teori pilihan rasional merupakan cara untuk menggabungkan teori ekonomi yang diformulasikan oleh Adam Smith dengan teori demokrasi yang diformulasikan oleh James Madison dan Alexander Hamilton. D.7. Birokrat Rasional, Birokrat yang Memaksimalkan Diri Sendiri Menurut asumsi dasar teori pilihan rasional, apa yang dilakukan oleh birokrasi dapat dipahami dengan cara memandang birokrasi sebagai pihak yang memaksimalkan manfaat untuk kepentingan diri sendiri. Tullock menjelaskan bahwa birokrat akan mencari keuntungan maksimal untuk kepentingan diri sendiri melalui peningkatan karir, dan untuk mencapai peningkatan karir tersebut biasanya melalui rekomendasi atasannya. Karenanya, untuk mencapai peningkatan karir seorang birokrat akan memberikan informasi yang baik kepada atasannya dan menyembunyikan informasi
yang tidak baik. Pada situasi yang
ekstrim, sampai pada kondisi “bureaucratic free enterprise”, artinya lebih mengejar kepentingan mereka sendiri daripada melaksanakan misi publik yang diembannya. Sementara itu, Downs menggolongkan tipe kepribadian birokrat menjadi lima golongan: 1) climber, birokrat yang ingin memaksimalkan kekuasaan, penghasilan, dan prestisnya 2) conserver, birokrat yang ingin memaksimalkan rasa aman dan kesenangan dan cenderung mempertahankan hak istimewa dan fungsinya daripada mencoba untuk berinovasi hal-hal baru 3) zealot, birokrat yang termotivasi untuk membuat kebijkaan-kebijakan tertentu walaupun kebijakan itu menghadapi banyak hambatan. Mereka biasanya bukan administrator
yang baik, sehingga jarang mencapai jenjang organisasi yang tinggi 4) advocate, seperti zealot yang secara agresif ingin membuat kebijakan tertentu hanya saja lebih terbuka terhadap pengaruh dari rekan kerja dan atasan 5) statesmen, birokrat yang mengedepankan kepentingan publik dengan mempromosikan tujuan-tujuan kebijakan secara luas. Pada jangka waktu yang panjang, birokrat cenderung menjadi conserver. Secara keseluruhan Downs menyimpulkan bahwa birokrat yang rasional dan memaksimalkan kepentingan dirinya sendiri akan menjadi aparat publik yang susah diatur, dan maksimal hanya berorientasi setengah hati terhadap kepentingan publik yang diduga terkandung dalam misi mereka. William Niskanen adalah seorang tokoh yang memasukkan peran penting teori pilihan rasional dalam menjelaskan perilaku birokratik. Niskanen berhasil menciptakan teori ekonomi prilaku birokratik formal yang pertama, yang berdasar pada derivasi matematika mengenai manfaat dan fungsi produktivitas dari birokrat dan birokrasi. Niskanen menganalogikan birokrat dengan individu sebagai pelaku ekonomi yang ingin mendapatkan keuntungan personal melalui keputusan-keputusan yang bisa meningkatkan manfaat seperti gaji, bonus, kekuasaan, prestis, dukungan, reputasi, dan agency output. Jika manfat-manfaat tersebut dihubungkan dengan keseluruhan anggaran sebuah lembaga pemerintah, birokrat yang rasional tentunya akan membuat anggaran yang sebesar-besarnya. Walaupun tidak semua birokrat hanya mementingkan dirinya sendiri, namun keterbatasan informasi tentang hal-hal yang benar-benar menjadi kepentingan publik menyebabkan birokrat tidak bisa secara efektif memenuhi kepentingan publik. Karenanya tidak mungkin seorang birokrat untuk bertindak atas dasar kepentingan publik, bukan karena dia tidak memilki motivasi tapi lebih disebabkan oleh keterbatasan informasi yang dimiliki dan karena konflik kepentingan dengan birokrat-birokrat lainnya. Niskanen kemudian membuat sebuah analogi pasar dimana birokrat merupakan produsen monopoli dari pelayanan publik dan legislatif merupakan pembeli monopsoni.
Birokrat memaksimalkan anggaran dengan “menjual” pelayanan publik pada level tertentu pada legislatif. Pasar dengan produsen monopoli dan pembeli dominan hasilnya mudah ditebak, yaitu inefisiensi dalam produksi dan suplai melebihi permintaan. Untuk mengatasi disfungsi pada pelayanan publik ini, Niskanen menyarankan pembiayaan pelayanan publik ditekan hingga level bawah dan persetujuan anggaran harus disetujui 2/3 suara legislatif.
D.8. Pilihan Rasional Sebagai Ortodoks Baru Para pendukung teori pilihan rasional menunjukkan bahwa pilihan rasional bukanlah semata-mata kerangka berpikir ilmu ekonomi yang diadaptasikan untuk memahami perilaku birokratis dan produksi pelayanan publik, namun juga sebagai sebuah normatif, yaitu teori demokratis dari administrasi. Vincent Ostrom dalam bukunya The Intellectual Crisis in Public Administration (1989) menjelaskan bahwa dasar intelektual administrasi public dibangun atas dasar preposisi teoritis yang diformulasikan oleh Woodrow Wilson, yaitu: 1) selalu terdapat pusat kekuasaan yang dominan dalam system pemerintahan, 2)semakin banyak kekuasaan dipecah, semakin tidak bertanggungjawab dan semakin sulit dikontrol. 3) struktur konstitusi menentukan komposisi kekuasaan pusat 4) proses pemerintahan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu penentuan keinginan Negara (politik) dan pelaksanaan keinginan Negara (administrasi) 5)meskipun institusi dan proses politik bervariasi antar satu pemerintahan dengan pemerintahan lainnya, semua pemerintahan mempunyai kemiripan structural yang kuat dalam administrasi 6) administrasi yang “baik” diperoleh dari hierarki jasa public professional yang benar 7)penyempurnaan administrasi yang baik adalah kondisi yang penting untuk peningkatan kesejahteraan manusia. Ostrom berpendapat bahwa teori preposisi Wilson ini mengabaikan konsep Max Weber yang mendeskripsikan alternatif yang demokratis untuk dasar hirarki dan otorisasi yang melekat dalam birokrasi. Menurut Weber administrasi yang demokratis mempunyai cirri-ciri sebagai berikut: 1) semua orang
diasumsikan mampu untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan urusan public 2) keputusan yang penting terbuka bagi semua anggota masyarakat dan wakil pilihannya 3) kekuasaan membaur secara luas, tidak terkonsentrasi dalam pusat yang dominan 4) fungsionaris administrative adalah pelayan public, bukan elit teknokratik sebagai tuan (Ostrom, 1973: 65-86). Ostrom menyatakan bahwa teori pilihan rasional bisa menjadi alat yang jelas untuk mewujudkan teori demokrasi dalam garis Weber yang dianggap sulit diwujudkan karena menuntut pengetahuan tinggi yang tidak realistis. Asumsinya, jika pasar dapat dengan efisien menyesuaikan penawaran dan permintaan barang dan jasa dengan sedikit pusat kekuasaan atau konsolidasi jurisdictional yang terpusat, kenapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama untuk barang dan jasa public? Ostrom menyimpulkan bahwa membangun kembali usaha intelektual dari administrasi publik yang berdasarkan pilihan rasional sesuai dengan prinsipprinsip demokratis yang tercantum dalam Konstitusi. Pendapat Ostram mendapat sanggahan dari Haque (1996) yang menyatakan bahwa nilai-nilai pasar yang terkandung dalam pilihan rasional mengancam kredibilitas dan eksistensi administrasi public sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen. Dia beralasan bahwa kontradiksi antara pasar dan demokrasi mempunyai implikasi yang penting dalam praktek dan studi administrasi public. Etika dasar jasa public yang dibuat oleh American Society of Public Administrators menekankan pada norma seperti legalitas, tanggungjawab, akuntabilitas, komitmen, responsiveness, keadilan dan pengungkapan public (Mertins dan Hennigan 1982).
E. Metode Penelitian Metode penelitian dalam penulisan proposal penelitian ini antara lain: 1. Jenis Penilitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitataif dengan rumusan masalah yang menanyakan “Bagaimana” Teori Rational Choice sikap Indonesia yang abstain terhadap ATT 2013. Penelitian jenis ini merupakan penelitian yang menggambarkan suatu masalah dengan menganalisis
dan
menjelaskan
teori-teori
yang
digunakan
untuk
menjelaskanya. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yakni data sekunder ( buku-buku, jurnal, internet). 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yakni dengan mengumpulkan sumber-sumber data sekunder( buku,internet, dan jurnal). 4. Teknik Analisis Data Langkah-langkah dalam menganalisis data setelah data-data terkumpul yakni: -
Menelaah Data Data-data yang telah dikumpulkan melalui buku-buku, internet, jurnal dibaca,dipelajari dan ditelaah lebih lanjut.
-
Penyusunan secara urut dan konsisten.
-
Mengadakan pemeriksaan keabsahan data.
5. Sistematika Penulisan BAB I
: Pada bab ini berisi tentang pendahuluan, rumusan masalah, kerangka
teori, metode penelitian,dan sistematika penulisan.
BAB II
:Sejarah Pembentukan ATT Dan Partisipasi Indonesia Dalam
Perumusan ATT. Pada bab ini penulis akan memberikan gambaran umum mengenai sejarah terbentuknya ATT, tujuan ATT, Pasal-pasal penting dalam ATT, Isi ATT, sikap beberapa negara mengenai ATT selain Indonesia dan Bagaimana Partisipasi Indonesia Dalam Pembentukan ATT. BAB III
: Analisa Teori Rational Choice Mengenai Sikap Abstain Indonesia
Dalam Perjanjian Perdagangan Senjata (Arm Trade Treaty) Tahun 2013. Pada bab ini berisi sebagai berikut: -
Analisa Teori Rational Choice Mengenai Sikap Abstain Indonesia Dalam ATT Tahun 2013
-
Sikap Setuju Indonesia Terhadap ATT
-
Sikap Indonesia Yang Menolak ATT
-
Sikap Abstain Indonesia Terhadap ATT
BAB IV
: Penutup
Pada bab ini berisi tentang kesimpulan yang akan diambil dari pembahsan permasalahan dari bab-bab sebelumnya. DAFTAR PUSTAKA Buku a. Perwita, Anak Agung Banyu dan Yani, Yanyan Mochamad. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: Remaja Rosdakarya.
b. Stohl, Rachel. 2010. U.S. Policy and the Arms Trade Treaty. London: Chatham House. c. Witarti, Denik Iswardani. 2003. Isu SALW (Small Arms and Light Weapons) Sebagai Isu Keamanan Nasional (National Security) Studi Kasus: Indonesia. Tesis (tidak diterbitkan). Jakarta: Universitas Indonesia. Jurnal
Brahma, Nupur. (2012). The Arms Trade Treaty, New Delhi: Institute for Defence Studies and Analyses.
Muggah, Robert and Batchelor, Peter. (2002). Development Held Hostage: Assesing the effect of the small arms on human development. UNDP.
Nuchterlein, Donald E.. (1979). The Concepts of National Interest: A Time for New Approach. Vol. 23, No. 1.
Sipri. (2011). Reporting to the United Nations Register of Conventional Arms. Sona: Stockholm International Peace Research Institute.
Waltz, Stephen M.. (1999). “Rigor or Rigor Mortis? Rational Choice and Security Studies”. MIT Press Journals. Spring.
Website
Forumkompas. (2013, 6 Juni). “Indonesia Abstain Soal Traktat Perdagangan Senjata. ”http://forum.kompas.com/internasional/251558-indonesia-abstain-soaltraktat-perdagangan-senjata.html diakses 20Mei 2014. o
General Assembly. (2 April 2013). Overwhelming Majority of States in General Assembly Say „Yes‟ to Arms Trade Treaty to Stave off
Irresponsible Transfers That Perpetuate Conflict Human Suffering. http://www.un.org/News/Press/docs/2013/ga11354.doc.htm
diakses
2
April 2014. o
Jakartapost. (2013, 27 Juni). “Indonesia and Arms Trade Treaty,” http://www.thejakartapost.com/news/2013/06/27/indonesia-and-armstrade-treaty.html diakses 22Mei 2014.
o
Tempo. (2013, 4 Juni). “Indonesia Refuses to Sign Arms Trade Treaty. ”http://en.tempo.co/read/news/2013/06/04/074485771/Indonesia-Refusesto-Sign-Arms-Trade-Treaty diakses 20 Mei 2014.