BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pemanasan global (global warming) disebabkan oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca termasuk CO2 dari pembakaran minyak bumi (fosil) merupakan isu utama dalam perubahan lingkungan global. Untuk mengurangi pengaruh emisi gas rumah kaca tersebut diperlukan upaya untuk mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer antara lain dengan pendekatan teknologi budidaya pertanian. Sektor pertanian terutama lahan budidaya padi sawah selain merupakan penyumbang gas-gas rumah kaca dalam bentuk CO2 dan metan, juga berpotensi sebagai sistem yang dapat menambat CO2 melalui proses fotosintesis. Tingkat konsentrasi CO2 atmosfer dapat dikurangi dengan dua cara yaitu (1) mengurangi emisi anthropogenic ke atmosfer dan (2) memindahkan karbon dari atmosfer dengan sekuestrasi karbon (C sequestration) dalam simpanan lain (Ingram dan Fernandes, 2001). Olson et al. (2013) menambahkan bahwa ide dari penyimpanan C adalah: (i) mencegah emisi C yang disebabkan oleh aktivitas manusia masuk ke atmosfer dengan cara menambat dan menyimpannya dalam tempat yang aman, atau (ii) memindahkannya dari atmosfer dengan berbagai cara dan meningkatkan waktu simpannya di dalam tanah (mean residence time). Sekuestrasi karbon (C) tanah adalah proses transformasi CO2 dari atmosfer ke dalam tanah melalui sisa tanaman dan larutan organik lain, dan dalam bentuk yang tidak segera terlepaskan (Sundermeier et al., 2004; Lal, 2007). Transfer atau sekuestrasi C tersebut membantu menurunkan emisi yang berasal dari 1
2 pembakaran bahan minyak dari fosil dan aktivitas pelepasan karbon dengan cara lain, sehingga meningkatkan kualitas tanah dan produktifitas tanaman dalam waktu yang panjang (Sundermeier et al., 2004). Karbon (C) organik tanah dapat menurun atau meningkat karena pengelolaan pertanian yang berbeda. Optimasi pengelolaan lahan pertanian dapat menambat CO2 atmosfer dan menambah akumulasi C-organik tanah (Sampson dan Scholes, 2000). Senyawa karbon tersebut harus disimpan sebanyak dan selama mungkin karena kehilangannya bersama dengan CO2 hasil fotosintesis tanaman padi, respirasi dan mikroba tanah (Pantawat, 2012) akan berkontribusi kepada CO2 yang berlebih dalam emisi global. Di lain pihak, penggunaan input (pupuk dan pestisida) kimia secara berlebihan untuk meningkatkan produksi pertanian pada sistem pertanian konvensional berakibat pada degradasi lahan dan ekosistem. Untuk mengatasi masalah degradasi lahan pertanian penerapan sistem pertanian organik merupakan salah satu solusinya, karena pertanian organik berperan secara luas bagi sistem produksi pertanian secara berkelanjutan (Hsieh, 2005). Sistem pertanian organik adalah sistem yang sepenuhnya menggunakan input (terutama pupuk dan pestisida) organik, sementara sistem konvensional menggunakan input kimia dan hampir tidak menggunakan input organik. Dalam sistem organik, C-organik meningkat selain karena penambahan pupuk organik juga karena sisa tanaman respirasi mikroba tanah dan juga karena simpanan Corganik akibat sekuestrasi C atmosfer. Oleh karena itu pertanian organik juga meningkatkan potensi sekuestrasi C tanah (Booshan dan Prasad, 2011) karena dapat mempengaruhi agronomi, fisiologi dan perbaikan efisiensi N, P, dan K
3 tanah (Rahman, 2013), mempertahankan kesuburan tanah, melindungi kualitas tanah dan air yang terkait dalam siklus hara, air, dan biologi (Lal, 2004a). Untuk menjaga ketersediaan kandungan C-organik yang cukup dalam tanah, selalu dilakukan evaluasi cadangan atau simpanan C-organik tanah baik pada sistem pertanian organik maupun konvensional, karena dengan demikian dapat diketahui perubahan yang terjadi pada kualitas tanah sebagai respon terhadap praktek pengelolaan pertanian (Ikemura dan Shukla, 2009). Simpanan C-organik tanah (soil organic carbon storage) dapat menjadi suatu ukuran bagi sekuestrasi C di dalam tanah (Huang et al., 2010). Di samping berat isi dan kandungan Corganik tanah, kedalaman tanah juga menentukan besar sekuestrasi atau simpanan C-organik tanah (Komatsuzaki dan Syuaib, 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekuestrasi C-organik ternyata berbeda sesuai dengan kedalaman tanah. Sekuestrasi C-organik sebesar 25 Mg ha-1 dan 17,6 Mg ha-1 masing-masing ditemukan oleh Komatsuzaki dan Syuaib (2010) pada lahan padi sawah dengan sistem organik dan konvensional pada kedalaman tanah 10 cm selama 6 tahun di Jawa Barat. Sementara Minasny et al. (2011) juga melaporkan bahwa pertanaman padi sawah yang dilakukan terus menerus telah mampu menambat (mensekuestrasi) C-organik lebih dari 1.7 Tg (1012 g) pada kedalaman 15 cm pada tanah-tanah di Jawa selama 30 tahun. Kemungkinan sekuestrasi C-organik semakin meningkat pada lapisan yang makin dalam dan waktu yang makin lama. Perubahan paradigma pertanian dari sistem konvensional ke sistem organik yang dicanangkan sejak beberapa tahun terakhir di Indonesia, termasuk di Bali,
4 mengakibatkan banyak petani padi sawah mulai mengembangkan sistem organik dengan harapan dapat meningkatkan produksi gabah di samping kualitas tanah secara berkelanjutan. Harapan tersebut kemungkinan sulit dicapai tanpa pemahaman yang cukup tentang simpanan C-organik dan pengelolaan bahan organik tanah. Petani akan kecewa jika sistem organik tidak dapat memenuhi harapan mereka karena hasil gabah yang diperoleh tidak akan sama dengan yang diperoleh pada sistem konvensional terutama pada fase awal penggunaan sistem organik. Di samping itu pengelolaan usahatani dengan sistem organik mensyaratkan adanya sertifikat organik dari lembaga yang berkompeten dan terpercaya. Kenyataannya penggunaan sistem pertanian konvensional memberikan produksi gabah yang cukup tinggi secara cepat karena penggunaan input (pupuk dan pestisida) kimia yang banyak, namun tanpa disadari akan terjadi penurunan kualitas tanah karena simpanan C-organik tanah sangat rendah sehingga pada akhirnya produktivitas lahan dan produksi tanaman padi tidak dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Sistem pertanian berkelanjutan hanya mensyaratkan penggunaan input kimia seminimal mungkin dan tidak berarti harus 100% organik, sehingga peluang untuk memperoleh produksi padi yang sama dengan sistem konvensional masih dapat dicapai setidaknya dalam waktu tidak terlalu lama. Sementara itu penelitian dan data tentang sekuestrasi C-organik tanah dan kualitas tanah di sentra-sentra produksi padi baik dengan sistem organik maupun konvensional di Bali belum banyak tersedia. Di samping itu, data mengenai kombinasi dosis
5 pupuk organik dan anorganik yang tepat untuk memperoleh hasil gabah yang relatif sama dengan yang dihasilkan pada sistem konvensional masih belum tersedia. Kabupaten Tabanan dan Gianyar adalah dua dari sembilan kabupaten/kota yang memiliki luas sawah terluas di Bali, yaitu masing-masing 22.465 ha dan 14.743 ha atau sebesar 27,42 % dan 13,99 % dari luas sawah di Bali yang luasnya 81.931 ha (BPS Provinsi Bali, 2010). Pada kedua daerah tersebut selain dilakukan budidaya padi sawah dengan sistem pertanian konvensional, juga telah berkembang budidaya padi sawah dengan sistem pertanian organik, terutama di Kabupaten Tabanan, yaitu di Subak Jatiluwih dan Subak Wangaya Betan Kecamatan Penebel. Di Subak Jatiluwih dikembangkan oleh Kelompok Tani Beras Merah Jatiluwih sejak tahun 2010, sedangkan di Subak Wangaya Betan telah dilakukan pengembangan sistem pertanian organik oleh Kelompok Tani Padi Organik Somya Pertiwi sejak tahun 2009. Kedua sistem pertanian organik tersebut mengembangkan varietas lokal merah dan telah mendapat sertifikat dari Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (LESOS) (Lampiran 4.1a dan 4.1b). Praktek pemberian input pada kedua sistem pertanian tersebut sangat berbeda. Pada sistem pertanian konvensional dilakukan pengelolaan secara intensif dengan input kimia dosis tinggi, sehingga memicu terjadinya penurunan kandungan Corganik, kualitas dan produktivitas tanah. Sebaliknya praktek sistem pertanian organik dilakukan dengan input organik, karena memang ditujukan untuk mitigasi dampak negatif dari sistem pertanian konvensional.
6 Berdasarkan alasan dan pertimbangan yang diuraikan di atas perlu dilakukan penelitian tentang sekuestrasi C-organik dan kualitas tanah, terutama pada kedalaman tertentu, di lahan sawah dengan sistem organik dan konvensional terutama di sentra-sentra produksi padi di Bali. Di samping itu perlu ditemukan kombinasi dosis pupuk organik dan anorganik yang dapat memberikan hasil gabah kering giling yang tidak berbeda dengan yang dihasilkan pada sistem pertanian konvensional.
1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan masalahmasalah sebagai berikut : (a)
Apakah kandungan C-organik dan hara tanah pada sistem pertanian organik lebih tinggi dibandingkan pada sistem konvensional ?
(b)
Apakah sekuestrasi C-organik pada lahan sawah dengan sistem pertanian organik lebih tinggi dibandingkan pada sistem konvensional ?
(c)
Pada kedalaman tanah berapa sekuestrasi C-organik tertinggi di lahan padi sawah dengan sistem organik dan konvensional ?
(d)
Apakah kualitas tanah pada lahan sawah dengan sistem pertanian organik lebih baik dibandingkan dengan sistem konvensional ?
(e)
Pada kombinasi dosis pupuk organik dan anorganik berapa diperoleh sekuestrasi C-organik tertinggi dan kualitas tanah yang lebih baik serta hasil padi sawah yang tertinggi ?
7 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan beberapa permasalahan yang diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penelitian dengan tujuan : (a)
Menganalisis kandungan C-organik dan hara tanah pada lahan padi sawah yang dibudidayakan dengan sistem pertanian organik dan konvensional.
(b)
Menganalisis sekuestrasi C-organik pada lahan padi sawah yang dibudidayakan dengan sistem pertanian organik dan konvensional.
(c)
Menentukan kedalaman tanah dengan sekuestrasi C-organik tertinggi pada lahan padi sawah dengan sistem organik dan konvensional.
(d)
Menganalisis perbedaan kualitas tanah pada lahan sawah dengan sistem pertanian organik dan konvensional.
(e)
Menentukan kombinasi dosis pupuk organik dan anorganik yang memberikan sekuestrasi C-organik tertinggi dan kualitas tanah terbaik serta hasil padi sawah yang tertinggi.
1.4 Manfaat Penelitian Secara akademis hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat peningkatan kasanah ilmu pengetahuan tentang sekuestrasi C-organik dan kualitas tanah pada lahan sawah yang dibudidayakan dengan sistem pertanian organik dan konvensional. Selain itu juga akan memberikan mafaat bagi peningkatan pengetahuan tentang pengaruh kombinasi pupuk organik dan anorganik yang memberikan sekuestrasi C-organik tertinggi dan kualitas tanah terbaik serta hasil padi sawah yang tertinggi pada lahan sawah yang dibudidayakan dengan sistem pertanian konvensional.
8 Dari segi praktis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat petani dalam hal pentingnya menjaga kualitas tanah melalui sekuestrasi C-organik sambil membantu mengurangi emisi CO2 ke atmosfer untuk memperkecil efek pemanasan global. Selanjutnya bagi pemerintah akan memberikan manfaat dalam menyusun rekomendasi manajemen bahan organik untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia pada lahan sawah, sehingga kualitas dan produktivitas lahan sawah dapat ditingkatkan secara lestari. Dengan demikian dari hasil penelitian ini pemerintah dapat menggunakan sebagai dasar penerapan usaha tani padi sawah yang ramah lingkungan dan terciptanya sumber daya lahan sawah yang terhindar dari pencemaran secara berkelanjutan.