BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan suatu negara yang luas, terbagi diantara beberapa pulau yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke. Disetiap wilayahnya terdapat daerah-daerah yang kemudian disatukan dan membentuk negara Indonesia. Hal ini juga diperjelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat 1, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah–daerah provinsi, dari daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Dari pengertian Undang-undang tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa desa merupakan bagian dari pemerintahan daerah. Pada dasarnya kehidupan berdemokrasi yang dapat disesuaikan secara langsung dengan nilai-nilai yang ada pada bangsa ini dapat dimulai dari demokrasi di desa. Secara historis, akar pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan desa atau sistem pemerintahan desa. Artinya, sebelum pemerintahan Indonesia menjalankan perannya yang ada adalah pemerintahan desa. Di Indonesia saat ini terdapat kurang lebih tujuh puluh ribu desa dan mayoritas masyarakat Indonesia masih tinggal di desa. Secara umum masyarakat desa bertempat tinggal di suatu wilayah administrasi, dimana setiap penduduk saling mengenal dan masih didominasi
13 Universitas Sumatera Utara
dengan nilai-nilai leluhur dari penduduk desa tersebut. Desa sebagai tempat hidup masyarakat didominasi oleh mata pencaharian dari pertanian dan juga biasanya penduduk desa bersifat homogen. Masyarakat desa sebagai sistem sosial berbeda dengan contoh sistem sosial lain, seperti kelompok sosial atau organisasi sosial. Mayarakat desa merupakan sistem sosial yang komprehensif. Artinya di dalam masyarakat desa terdapat semua bentuk pengorganisasian atau lembaga-lembaga yang diperlukan untuk kelangsungan hidup dan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan dasar manusia. Namun ini tidak berarti keseluruhan masyarakat itu secara ekonomi benar-benar dapat memenuhi kebutuhan kebutuhannya sendiri1. Desa tidak diatur dalam undang-undang tersendiri, karena sesuai amanat UUD 1945 secara eksplisit tidak disebutkan kedudukan pemerintahan desa dalam susunan sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. UndangUndang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan peraturan perundang-undangan terakhir yang mengatur tentang desa. Dimana dengan diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 tersebut membawa konsekuensi desa menjadi terdesentralisasi dan memiliki hak otonom berdasarkan asal-usul dan adat istiadat untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan bertanggungjawab terhadap Bupati atau Walikota2. Dan dalam Undang-Undang terbaru, yaitu UU No 6 tahun 2014 tentang desa, pada pasal 1 (1) dijelaskan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk 1 2
Jabal Tarik Ibrahim. 2003. Sosiologi Pedesaan. Malang: UMM Pres. Hal. 30. Moch Solekhan. 2012. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Malang: Setara Press. Hal. 38.
2 Universitas Sumatera Utara
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa, pasal 1 ayat (6) menyebutkan bahwa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan desa terdapat dua institusi
yang
mengendalikannya,
yaitu
Pemerintah
Desa
dan
Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). Berdasarkan sudut pandang politik, desa akan diidentifikasi sebagai sebuah organisasi kekuasaan. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa pemerintahan desa adalah pelaksana kegiatan penyelenggara pemerintahan yang terendah langsung di bawah Pemerintahan Kecamatan. Pemerintahan desa terdiri atas kepala desa, BPD dan perangkat desa yaitu sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 1999 telah memberikan peluang dan kesempatan bagi desa dalam memberdayakan masyarakat desa, untuk menghidupkan kembali parlemen desa dengan tujuan membangun relasi yang demokratis (desentralisasi dan demokrasi lokal) melalui perluasan ruang partisipasi politik pada masyarakat desa, untuk menghapus dan
3 Universitas Sumatera Utara
mengakhiri sentralisasi dalam mewujudkan suatu masyarakat yang otonom (desa otonom)3. Pemerintah Orde Baru mengatur Pemerintahan Desa/Marga melalui UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini bertujuan untuk menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa. Pada masa ini hak ulayat desa tidak dijadikan salah satu hal yang dapat menjadi nilainilai dalam mengambil keputusan terkait kepentingan desa, sebagai institusi dengan kedudukannya sebagai pemerintahan terendah di level bernegara, tepat dibawah
kekuasaan
pemerintahan
kecamatan.
Sehingga
menimbulkan
penyelenggaraan pemerintahan dan tata kelola desa akan didominasi persetujuan berdasarkan dari pihak Kecamatan. Secara otomatis kemandirian desa akan terpasung dan masyarakat desa yang diwakili oleh pemerintahan desa tidak memiliki kewenangan dalam mengelola serta mengatur wilayahnya sendiri. Demokrasi yang diharapakan sebagai jembatan peningkatan kesejahteraan masih jauh dari harapan pada masa ini. Desa sebagai pemerintahan level terendah tidak bisa bertindak sesuai dengan kehendaknya sendiri. Dalam kenyataan dengan berbagai peraturan dan ketentuan, masyarakat desa bukan diberdayakan akan tetapi
lebih
dibudidayakan/diperlemah
karena
diambil
berbagai
sumber
penghasilannya dan hak ulayatnya sebagai masyarakat tradisonal, hal yang sangat bertolak belakang dengan maksud penyeragaman desa untuk memperkuat
3
Ibid.
4 Universitas Sumatera Utara
pemerintahan desa agar mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pasca berakhirnya Orde Baru dengan lengsernya Presiden Soeharto, Pemerintahan Desa diatur dalam UU No. 22/1999 yang diperbarui menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, setelah hadirnya Undang-Undang ini Indonesia memasuki era desentralisasi dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengatur rumahtangganya secara mandiri. Provinsi, kabupaten, kota, dan bahkan desa saat ini tidak lagi menjadi kepanjangan tangan pusat melainkan sebagai mitra strategis dalam menjalankan dan mengelola pemerintahan diberbagai sektor. Menurut Undang-Undang dalam Bab XI pasal 200 s/d 216, desa atau disebut dengan nama lain yang disesuikan dengan daerah dan bahasa daerahnya, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adatistiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD. Setelah lahirnya UU ini maka desa tidak lagi berada dibawah kontrol langsung kecamatan, namun dikontrol langsung oleh kabupaten. Selain itu terdapat pemisahan antara Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa. Melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No.22 Tahun 1999
5 Universitas Sumatera Utara
tentang Pemerintahan Daerah, undang–undang ini memberikan wacana dan paradigma
baru
dalam
upaya
mempercepat
terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan pemberdayaan, dan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan, serta daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, dan keadilan. Dalam UU 32 Tahun 2004 pasal 209 terjadi perubahan mendasar terhadap peran dan fungsi BPD, dimana LKMD diganti dengan istilah Badan Permusyawaratan Desa dan mengalami penurunan derajat dan wewenang, sehingga tidak ada lagi fungsi kontrol terhadap kepala desa, BPD juga tidak memiliki kewenangan dalam pengolahan keuangan desa, termasuk penetapan APBDes dan penetapan tata cara pungutan objek pendapatan dan belanja desa. Undang–undang ini menempatkan lembaga BPD bukan dibawah kepala desa implisit, melainkan BPD sebagai partner kepala desa dalam memfasilitasi warganya. Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Selain itu desa diartikan sebagai arena pertarungan ekonomi politik, antara kuasa politik dan modal berhadapan dengan masyarakat yang berlangsung dalam sejarah yang panjang. Pada tiap karakter kekuasaan suatu rezim, cenderung berdampak pada perlakuan pada desa, dimana hal ini tercermin dalam bentuk regulasi, kebijakan maupun program-program pembangunan yang
6 Universitas Sumatera Utara
diterapkan mulai dari orde lama, orde baru sampai era reformasi. Desa juga memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri dalam ikatan
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI)4. Penyelenggaraan
pemerintahan desa harus sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pasal 202 tentang pemerintahan daerah. Pemerintahan desa memiliki peranan signifikan dalam pengelolaan proses sosial di dalam masyarakat. Tugas utama yang harus diemban pemerintah desa adalah bagaimana menciptakan kehidupan demokratik, memberikan pelayanan sosial yang baik sehingga dapat membawa warganya pada kehidupan yang sejahtera, rasa tentram dan berkeadilan5. Pemerintahan desa diharapkan harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat, agar masyarakat senantiasa memiliki rasa nyaman dan turut bertanggung jawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa. Dijelaskan juga dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005, bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Pemerintahan desa dipimpin oleh seorang kepala desa. Kepala Desa adalah seorang tokoh di desa yang memenuhi berbagai persyaratan dan berhasil 4
Widjaja HAW. 2001. Pemerintahan Desa/Marga. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Suatu Telaah Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Press. Hal. 65. 5 Ari Dwi Payana. 2003. Membangun Good Governance di Desa. Yogyakarta: IRE Press. Hal. 33.
7 Universitas Sumatera Utara
memenangkan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Kepala Desa dipilih oleh rakyat desa yang telah memiliki hak memilih secara langsung. Syarat dan tata cara pemilihannya diatur dalam peraturan daerah yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 pasal 51 ayat 1 Kepala Desa Terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota paling lama 15 (lima belas) hari terhitung tanggal penerbitan keputusan Bupati/Walikota. Pemilihan kepala desa merupakan pesta rakyat, dimana pemilihan kepala desa dapat diartikan sebagai suatu kesempatan untuk menampilkan orang-orang yang dapat melindungi kepentingan masyarakat desa6. Masyarakat desa memiliki kesempatan untuk memilih secara langsung siapa yang akan menjadi pemimpin di desanya. Pemilihan Kepala Desa tidak lepas dari partisipasi politik masyarakat desa. Partisipasi politik pada hakikatnya sebagai ukuran untuk mengetahui kualitas kemampuan warga negara dalam menginterpretasikan sejumlah simbol kekuasaan (kebijaksanaan dalam mensejahterakan masyarakat sekaligus langkahlangkahnya) ke dalam simbol-simbol pribadi. Atau dengan perkataan lain, partisipasi
politik
adalah
proses
memformulasikan
ulang
simbol-simbol
komunikasi berdasarkan tingkat rujukan yang dimiliki baik secara pribadi maupun secara kelompok (individual reference, social references) yang berwujud dalam aktivitas sikap dan perilaku7. Pemilihan Kepala Desa pada umumnya mendapat campur tangan dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Dimana hal ini berdampak pada 6 7
Duta Sosialismanto. 2001. Hegemoni Negara. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Hal. 191. Soemarsono. 2002. Komunikasi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. Hal. 4-5.
8 Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan demokrasi ditingkat desa tidak seperti yang diharapkan dan masih banyak yang dijadikan alat bagi para elit ekonomi untuk penguasaan dan memperkaya
diri
maupun
kelompok
tertentu,
dan
tidak
lagi
untuk
menyejahterakan rakyat. Desa yang memiliki kewenangan dalam mengatur pemerintahannya, sehingga begitu rentan dan mudah dieksploitasi oleh kuasa politik dan modal. Desa yang memiliki kewenangan yang jelas dan diakui secara legal sebagaimana dalam Undang-Undang. Hal ini selaras dengan pengertian bahwa demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan desa sangat penting mengingat potensi kekuasaan elit desa yang tidak terkontrol. Desa dengan institusi-institusi supra desa dalam kerangka otonomi dan kewenangan desa, semestinya perlu meletakkan kedaulatan pada rakyatnya, bukan berkiblat pada penguatan kekuasaan elit lokal. Pada fakta di lapangan bahwa proses politik dalam pemilihan kepala desa bukan merupakan proses demokrasi, melainkan proses dominasi, dimana kekuatan-kekuatan para elit lokal mendominasi sistem pemerintahan desa. Disebut proses dominasi karena proses politik mengarah pada pembentukan dominasi kekusaan desa yang dilakukan oleh elit sosial, ekonomi dan politik desa terhadap keseluruhan warga desa. Proses ini juga memanfaatkan alat-alat kekuasaan desa untuk mengatur kebijakan melalui pemerintahan desa, dan mempengaruhi masyarakat desa agar tunduk dan taat terhadap aturan-aturan desa itu. Seringkali desa merupakan perpanjangan tangan dari birokrasi diatasnya dan
9 Universitas Sumatera Utara
meneruskan pesan yang lebih sering berupa perintah yang diterapkan pada warga masyarakat desa8. Merekalah yang terlibat di dalam proses pengimbangan atau pengendalian terhadap masyarakat yang lain, sehingga berbagai kepentingan dari berbagai pengikut kelompok bisa terpelihara. Senantiasa adanya dorongan kemanusiaan yang tak dapat dihindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan yang memicu elit politik atau kelompok-kelompok elit untuk memainkan peranan aktif dalam politik9. Seperti halnya dengan kekuasaan desa yang dilakukan oleh elit politik, dimana setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil masyarakat yang mempunyai kualitas dalam mengarahkan masyarakat untuk menjatuhkan pilihan pada pemilihan kepala desa. Melalui pemilihan kepala desa, elit-elit yang ada di desa memperebutkan kekuasaan yang ada di desa tersebut untuk membuat dan menjalankan segala aturan-aturan yang akhirnya berpihak pada kepentingan elit-elit desa. Seperti contoh, pada penelitian yang dilakukan oleh Arfan Habibi yang berjudul Konstelasi Politik Dalam Pemilihan Kepala Desa yang terjadi di Desa Hutaibus Kecamatan Lubuk Barumun Kabupaten Padang Lawas. dimana pada Pemilihan Kepala Desa didesa tersebut terjadi aktivitas-aktivitas dalam Pemilihan Kepala Desa di Desa Hutaibus. Aktivitas tersebut adalah adanya pengaruh dari kelompok yang berkepentingan pada saat pemilihan berlangsung yang bertujuan dapat mempengaruhi masyarakat Desa Hutaibus pada saat pemberian suara berlangsung 8 T. Nick Wiratmoko dkk. 2004. Yang Pusat dan Yang Lokal Antara Dominasi, Resistensi, dan Akomodasi Politik di Tingkat Lokal. Salatiga: Pustaka Percik. Hal. 221-222. 9 S.P. Varma. loc.cit.
10 Universitas Sumatera Utara
dengan cara memberikan imbalan atas partisipasinya memilih calon Kepala Desa (Kades) sesuai dengan keinginan kelompok tadi. Dalam pemilihan Kepala Desa Hutaibus minat masyarakat begitu tinggi untuk ikut berpartisipasi dalam proses Pilkades tersebut, karena bagi sebagian masyarakat tidak ada lagi tekanan dan intimidasi politik dari pihak manapun dan sebagian masyarakat adanya paksaan dari salah satu kandidat calon Kepala Desa (Kades) melalui tim suksesnya dengan membagikan kaos dan stiker serta adanya tekanan-tekanan para pemodal yang hadir dalam pelaksanaan pemilihan berlangsung. Dimana para pemodal tersebut memberikan uang secara cuma-cuma kepada sebagian masyarakat agar memilih calon yang sesuai keinginan pemodal tersebut, banyak sekali masyarakat yang mengikuti keinginan para pemodal tersebut untuk memilih salah satu calon karena telah diberikan imbalan sebelum masuk kedalam bilik suara. Selain itu ada juga sebagian masyarakat lainnya memilih calon Kepala Desa tersebut karena memiliki hubungan kekeluargaan (trah) dengan salah satu calon tersebut10. Demikian juga pada penelitian yang dilakukan oleh Wensdy Tindaon, yang berjudul Pemanfaatan Modal Sosial dan Kekuasaan Dalam Strategi Pemenangan Kepala Desa di Desa Bahapal Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun. Dimana pada Pemilihan Kepala Desa, calon Kepala Desa sudah membangun citra yang baik di dalam masyarakat dalam kurun waktu yang sudah lama dengan berpartisipasi secara aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Hal ini dibuktikan dengan strategi ini menjadikan calon Kepala Desa telah memenangi
10
Dikutip dari http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/40654. diakses pada tanggal 14 Agustus 2015, pukul 16.30 WIB.
1 Universitas Sumatera Utara
dua periode pemilihan secara berturut-turut. Selain itu sang calon Kepala Desa telah menghimpun dukungan dari elit yang di desa, seperti Tokoh Adat, Tokoh Agama, Tokoh Pendidikan, kaum muda-mudi, dan calon Kepala Desa yang kalah. Hubungan baik yang sudah dibangun sejak lama menghasilkan timbal balik dari warga desa untuk memberikan kepercayaan kepada Kepala Desa yang terpilih. Disamping itu, calon Kepala Desa memanfaatkan modal sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai, dan moral sebagai kekuatan untuk menggerakkan atau memobilisasi dukungan agar bisa terpilih sebagai Kepala Desa11. Seperti pada contoh diatas, dapat dijelaskan bahwa setiap calon Kepala Desa juga menghimpun dukungan dari elit-elit yang ada di Desa. Elit-elit ini adalah seperti elit ekonomi, elit sosial, dan juga elit politik. Para elit-elit yang ada di desa yang pada akhirnya menghimpun suara untuk calon Kepala Desa. Dimana dalam penghimpunan masyarakat tentunya keberadaan para elit yang ada di desa dalam menghimpun masyarakat akan semakin meyakinkan masyarakat pada calon Kepala Desa tersebut. Disamping itu para elit-elit di desa juga mampu menjangkau pusat kekuasaan sosial dan politik yang penuh, dimana dalam hal ini adalah kepala desa di tingkatan terendah dalam sistem pemerintahan. Kepala desa memainkan peranan aktif dalam sistem politik yang disebabkan adanya kekuasaan yang diakui oleh masyarakat yang berdampak pada seluruh lapisan, termasuk pada lapisan ekonomi sehingga memunculkan para elit ekonomi yang sangat
11
Dikutip dari http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/49275. diakses pada tanggal 14 Agustus 2015, pukul 17.00 WIB.
12 Universitas Sumatera Utara
berpengaruh pada sistem pemerintahan desa hingga pada penentuan pemerintahan desa itu sendiri. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa elit ekonomi membawa pengaruh yang sangat kuat dan juga mendominasi pada setiap aspek kehidupan masyarakat, termasuk pada struktur pemerintahan desa. Hal ini dikarenakan, para elit ekonomi yang mendominasi sumber-sumber kekuasaan, sehingga mampu memegang kendali atas pemerintahan desa. Seperti halnya pada pemilihan kepala desa di desa Simare, kecamatan Bor Bor, Kabupaten Toba Samosir pada tahun 2010. Dimana elit ekonomi berperan dalam mengarahkan pilihan masyarakat desa kepada satu calon tertentu. Setelah pemekaran Desa Simare di tahun 2009, pada tahun 2010 diadakan pemilihan kepala desa (Pilkades) untuk pertama kalinya di Desa Simare, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir. Pada saat pemilihan kepala desa terlihat peran para elit ekonomi dalam penentuan Kepala Desa, selain itu terdapat juga peran dari kalangan elit sosial yang mengarahkan masyarakat desa Simare untuk menjatuhkan pilihannya pada satu calon. Dimana pihak yang mencalonkan diri tetap merupakan bagian dari pelaku ekonomi. Hal ini seperti yang dikatakan oleh salah satu masyarakat yang tinggal di desa Simare, Bapak Parasian Tampubolon, yang juga sebagai karyawan di PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (PT. TPL). Parasian Tampubolon juga mengatakan bahwa dalam pemekeran desa Simare tidak terlepas dari kekuatan para wirausahaan yang merupakan penduduk asli desa tersebut dalam melaksanakan serangkaian
1 Universitas Sumatera Utara
persyaratan dan juga melakukan pendekatan ke beberapa pejabat dan pemangku kekuasaan di Pemerintahan Kabupaten Toba Samosir. Hal inilah yang membuat calon kepala desa tetap merupakan pelaku ekonomi, karena disaat proses pemekaran tokoh yang mendominasi terjadinya pemekeran merupakan pihak dari pelaku ekonomi. Parasian Tampubolon juga menuturkan bahwa lobi politik terjadi bukan hanya pada proses pemekaran, juga berlanjut pada proses pemilihan kepala desa. Dimana dalam pemilihan kepala desa, para wirausahawan (elit ekonomi) desa ikut mengarahkan masyarakat untuk memilih salah satu calon kepala desa, yang memiliki tujuan untuk mempermudah kepentingan para pelaku ekonomi di desa tersebut melalui salah satu calon kepala desa yang dianggap mampu membantu dan mempermudah kepentingan usahanya. Desa Simare merupakan desa pemekaran dari Desa Lintong pada tahun 2009. Pada proses pemekarannya tahun 2008, elit ekonomi berperan penuh dalam mengusulkan agar terjadinya pemekaran desa Simare dari desa Lintong kepada pemerintah kabupaten. Disamping alasan untuk mempercepat urusan administrasi desa, dan keberadaan kantor sektor PT. TPL yang berada di desa Simare dapat membantu pertumbuhan ekonomi masyarakat desa Simare, dan juga membuka peluang yang sangat besar kepada para elit ekonomi yang menjadi penguasa dalam pemerintahan desa untuk mencapai tujuan suatu kelompok tertentu. Adanya dominasi kekuatan ekonomi pada penentuan eksekutif desa atau kepala desa di Desa Simare dikarenakan keberadaan kantor sektor PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (PT. TPL) yang bergerak dalam bidang produksi bahan pembuatan
14 Universitas Sumatera Utara
kertas yang tepat berada di Desa Simare. Dengan keberadaan kantor sektor PT. Toba Pulp Lestari memberi peluang yang sangat besar kepada masyarakat di Desa Simare untuk berwirausaha sesuai dengan apa yang dibutuhkan dalam proses pembuatan bahan produksi PT. Toba Pulp Lestari. Masyarakat yang berwirausaha tersebut menjadi kelompok-kelompok elit ekonomi yang berpengaruh di Desa Simare dalam penentuan eksekutif desa pada pemilihan kepala desa (Pilkades) tahun 2010 untuk masa jabatan 2010 – 2016. Dengan keberadaan kantor sektor PT. Toba Pulp Lestari di desa Simare yang memunculkan para elit ekonomi yang berasal dari kalangan wirausahaan, sehingga membawa pengaruh pada penentuan ekskutif desa Simare tahun 2010. Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul Dominasi Kekuatan Ekonomi Dalam Penentuan Kepala Desa di Desa Simare, Kecamatan Bor – Bor, Kabupaten Toba Samosir.
1.2 Perumusan dan Pembatasan Masalah 1.2.1 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka yang jadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Dominasi Kekuatan Ekonomi Dalam Penentuan Kepala Desa Di Desa Simare Kecamatan Borbor Kabupaten Toba Samosir.
1 Universitas Sumatera Utara
1.2.2 Pembatasan Masalah Agar penelitian terfokus pada permasalahan, akan lebih baik jika dibuat pembatasan masalahnya. Adapun masalah yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah : 1. Kekuatan pemilik modal dalam pemekaran desa di desa Simare. 2. Pengaruh dan keterkaitan pemilik modal dalam pemilihan Kepala Desa. 3. Kepentingan pemilik modal dalam pemilihan kepala desa (Pilkades) 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan pernyataan mengenai apa yang hendak dicapai oleh peneliti. Tujuan penelitian dicantumkan agar pihak lain yang membaca laporan penelitian dapat mengetahui dengan pasti tentang apa tujuan penelitian kita sesungguhnya. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dan pendekatan yang digunakan oleh elit ekonomi desa dalam usaha untuk mengarahkan pilihan masyarakat pada pemilihan kepala desa di desa Simare untuk masa jabatan 2010-2016.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bermanfaat kepada semua pihak yang secara umum, yaitu:
16 Universitas Sumatera Utara
1. Manfaat akademik, penelitian ini bermanfaat untuk mengasah kemampuan berpikir penulis dalam membuat suatu karya tulis ilmiah serta memberikan pengetahuan yang baru bagi peneliti sendiri tentang posisi Desa Simare. 2. Manfaat keilmuan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti yang lain untuk memahami politik di tingkat desa. 3. Manfaat praktis, penelitian ini bermanfaat sebagai masukan yang berguna bagi pengambil kebijakan khususnya tentang desa. 1.4 Kerangka Teori
Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, seorang penulis perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berfikir umtuk menggambarkan dari segi mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih12. Hal ini menjadi penting karena disamping sebagai landasan berfikir, kerangka teori
akan
digunakan sebagai pisau analisis dalam mengkaji masalah yang telah dipaparkan diatas. Menurut Masri Singarimbun, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, dan defenisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep13. Teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori kekuasaan, dan teori elit.
12 13
Hadari Nawawi. 1987. Metodologi Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 40. Masri Singarimbun dkk. 1955. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES. Hal. 37.
1 Universitas Sumatera Utara
1.4.1 Teori Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku14. Konsep kekuasaan erat sekali hubungnnya dengan konsep kepemimpinan. Dengan kekuasaan pimpinan memperoleh alat untuk mempengaruhi pengikutnya. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah satu pihak yang memberi perintah, satu pihak yang mematuhi perintah dari yang memerintah. Tidak ada persamaan martabat, hirarki hadir sebagai aturan utama, selalu yang satu lebih tinggi daripada yang lain dan selalu ada unsur paksaan dalam hubungan kekuasaan. Paksaan tidak selalu perlu dipakai secara gamblang, tetapi adanya kemungkinan paksaan itu dipakai, sering sudah cukup. Kekuasaaan merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua pemahaman pertama pemahaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan kedua pemahaman tentang orang yang dikuasai atau tunduk pada kekuasaan. Pemahaman sentral yang berkenaan dengan ini berkisar pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan dan bahkan menerima tekanan pada sisi lain.
14
Miriam Budiardjo. 2008. Dasar Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 17.
18 Universitas Sumatera Utara
Legitimasi sebagai dasar berfungsinya kekuasaan bisa bermacam macam, di dalam perspektif lebih teknis rincian dari sumber kekuasaan khususnya secara formal administratif ada 6 sebagai berikut15 : 1. Kekuasaan balas jasa (reward power) yaitu kekuasaan yang legitimasinya bersumber dari sejumlah balas jasa yang bersifat positif (uang perlindungan, perkembangan karir, janji positif dan sebagainya) yang diberikan kepada pihak penerima guna melaksanakan perintah atau persyaratan lain. Faktor ketundukan seseorang pada kekuasaan dimotivisir oleh hal itu dengan harapan jika telah melakukan sesuatu akan memperoleh seperti yang dijanjikan. 2. Kekuasaan paksaan (coercive power) berasal dari perkiraan yang dirasakan orang bahwa hukuman (dipecat, ditegur) akan diterima jika mereka tidak melaksanakan perintah pimpinan. Kekuasaan menjadi suatu motivasi yang bersifat refresif terhadap kejiwaan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan pimpinan itu dan melakukan seperti apa yang dikehendaki. Jika tidak paksaan yang diperkirakan akan dijatuhkan. 3. Kekuasaan
legitimasi
(legitimate
power),
yaitu
kekuasaan
yang
berkembang atas dasar dan berangkat dari nilai nilai intern yang mengemuka dari dan sering bersifat konvensional bahwa seorang pimpinan mempunyai hak sah untuk mempengaruhi bawahannya. Sementara itu pada sisi lain seorang mempunyai kewajiban untuk
15
Samsul Wahidin. 2007. Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 3.
19 Universitas Sumatera Utara
menerima pengaruh tersebut karena seorang lainnya ditentukan sebagai pimpinannya atau petinggi sementara dirinya seorang bawahan. Legitimasi demikian bisa diperoleh atas dasar aturan formal tetapi bisa juga bersumber pada kekuasaan yang muncul karena kekuatan alamiah dan kekuatan akses dalam pergaulan bersama yang mendudukkan seseorang beruntung memperoleh legitimasi suatu kekuasaan. 4. Kekuasaan pengendalian atas informasi, kekuasaan ini ada dan berasal dari kelebihan atas suatu pengetahuan dimana orang lain tidak mempunyai. Cara ini digunakan dengan pemberian atau penahanan informasi yang dibutuhkan oleh orang lain yang mau tidak mau tunduk (secara terbatas) pada kekuasaan pemilik informasi. Pemilik informasi dapat mengatur segala sesuatu yang berkenaan denga peredaran informasi, atas legitimasi kekuasaan yang dimiliki. 5. Kekuasaan panutan (referent power), kekuasaan ini muncul di dasarkan atas pemahaman secara kultural dari orang orang dengan yang berstatus sebagai pemimpin. Masyarakat menjadikan pemimpin tersebut sebagai panutan atau simbol dari perilaku mereka. Aspek kultural yang biasanya muncul dari pemahaman religiusitas direfleksikan pada kharisma pribadi, keberanian, sifat simpatik dan sifat sifat lain yang tidak ada pada kebanyakan orang. Hal ini menjadikan orang lain tunduk pada kekuasaannya.
20 Universitas Sumatera Utara
6. Kekuasaan keahlian (expert power), kekuasaan ini ada dan merupakan hasil dari tempaan yang lama dan muncul karena suatu keahlian atau ilmu pengetahuan. Kelebihan ini menjadikan seorang menjadi winasis dan secara
alamiah
berkedudukan
sebagai
pemimpin
dalam
bidang
keahliannya itu. Sang pemimpin bisa merefleksikan kekuasaan dalam batas-batas keahliannya itu dan secara terbatas pula orang tunduk pada kekuasaan yang bersumber dari keahlian yang dimiliki karena adanya kepentingan terhadap keahlian sang pemimpin. Sumber daya kekuasaan sebagai hal yang tentunya harus terpenuhi terlebih dahulu untuk mencapai kekuasaan politik. Menurut Charles F. Adrian seperti yang dikutip oleh P. Antonius Sitepu, sumber daya kekuasaan atau tipe sumber daya kekuasaan dibagi menjadi lima, yaitu16 : 1. Tipe sumber daya fisik, seperti senjata, senapan bom, rudal, penjara, kerja paksa, teknologi dan aparat yang menggunakan senjata-senjata itu dan sebagainya yang sejenis dengan itu. Motivasi untuk Mematuhi, (B) berusaha untuk menghindari cedera fisik yang disebabkan oleh (A). Pada masyarakat yang maju, senjata modernseperti nuklir dan misil tidak dipergunakan untuk mempengaruhi proses politik dalam negeri. Di negara itu, senjata modern berfungsi sebagai penangkal (deterrent) da sumber pengaruh dalam percaturan politik internasional. Dalam negara-negara berkembang, senjata konvesional tidak hanya dipergunakan untuk
16
P. Antonius Sitepu. 2012. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 55-56.
21 Universitas Sumatera Utara
mempertahankan kedaulatan dari penetrasi luar, tetapi juga mematahkan oposisi dan kelomok-kelompok yang dianggap menentang kekuasaan dengan alasan demi ketertiban dan kestabilan. 2. Tipe sumber daya ekonomi, seperti misalnya kekayaan (uang, emas, tanah, barang-barang berharga, dan surat-surat berharga), dan harta benda, pendapatan, serta kontrol atas barang dan jasa. Motivasi untuk Mematuhi, (B) berusaha untuk memperoleh kekayaan dari (A). Mereka yang memiliki kekayaan dalam jumlah yang besar, setidak-tidaknya secara potensial akan memiliki kekuasaan politik. Para bankir, industrialis, pengusaha, dan tuantuan tanah adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan politik potensial. Pengaruh pemilik kekayaan ini timbul tidak hanya karena pembuat dan pelaksanaan keputusan politik dapat “dibeli” secara langsung dengan uang, akan tetapi secara tidak langsung pemerintah dapat dipengaruhi dengan melalui lembaga-lembaga ekonomi, seperti pasar, bank, perdagangan dan pelayanan masyarakat lainnya yang menguasai kehidupan masyarakat. 3. Tipe sumber daya normatif, seperti misalnya moralitas, kebenaran, tradisi, religius, legitimasi, dan wewenang. Motivasi untuk Mematuhi, (B) mengakui bahwa (A) memiliki hak moral untuk mengatur perilaku (B). Sementara itu, para pemimpin agama dan pemimpin suku, ditaati oleh anggota masyarakatnya bukan karena senjata atau kekayaan yang mereka miliki namun kebenaran agama yang “diwakili” dan disebarluaskan oleh pemimpin agama, dan adat dan tradisi yang dipelihara dan ditegakkan oleh
22 Universitas Sumatera Utara
pemimin suku tersebut. Selain itu, sebagian anggota masyarakat menaati kekuasaan atau kewenangan pemerintah bukan karena takut paksaan fisik atau takut akan kehilangan pekerjaan, melainkan melulu karena kesadaran hukum demi ketertiban umumdan pencapaian tujuan masyarakat-negara. 4. Tipe sumber daya personal, seperti kharisma pribadi, daya tarik, persahabatan, kasih sayang, popularitas, dan sebagainya sejenis dengan itu. Motivasi untuk Mematuhi, (B) mengidentifikasi diri (merasa tertarik) dengan (A). Penampilan bintang terkenal, pemain sepakbola yang cemerlang, penyanyi yang terkenal dan dipuja orang ataupun pemimpi yang kharismatik, merupakan sumber kekuasaan popularitas pribadi (pribadi terkenal). Pengaruh orang-orang ini terutama muncul rasa kagum orang-orang yang dipengaruhi terhadap mereka. 5. Tipe sumber daya ahli, seperti misalnya informasi, pengetahuan, intelegensia, keahlian teknis dan sebagainya sejenis dengan itu. Motivasi untuk Mematuhi (B) merasa bahwa (A) mempunyai pengetahuan dan keahlian yang lebih. Pengetahuan, teknologi, dan keterampilan, merupakan sejumlah bentuk kekuasaan keahlian. Pasa dokter di daerah pedesaan, para ahli ekonomi, dan insyinyur serta para ilmuan lainnyayang berada di daerah perkotaan, cenderungmemiliki pengaruh yang cukup besar karena keahlian tersebut. Cakupan kekuasaan menunjuk pada kegiatan, perilaku, serta sikap dan keputusan-keputusan yang menjadi objek dari kekuasaan. Istilah wilayah
23 Universitas Sumatera Utara
kekuasaan menjawab pertanyaan siapa-siapa saja yang dikuasai oleh orang atau kelompok yang berkuasa, jadi menunjuk pada pelaku, kelompok organisasi atau kolektivitas yang kena kekuasaan. Dalam suatu hubungan kekuasaan (power relationship) selalu ada satu pihak yang lebih kuat dari pihak lain. jadi, selalu ada hubungan tidak seimbang atau simetris. Ketidakseimbangan ini sering menimbulkan ketergantungan (dependency); dan lebih timpang hubungan ini, lebih besar pula sifat ketergantungannya. Hal ini oleh generasi pemikir dekade 20-an sering disebut sebagai dominasi, hegemoni, atau penundukan17. Konsep yang selau dibahas bersama dengan kekuasaan adalah pengaruh. Pada umumnya masyarakat berpendapat bahwa kekuasaan dapat mengadakan sanksi dan pengaruh. Namun dalam forum diskusi ilmiah sering dipertanyakan apakah kekuasaan dan pengaruh merupakan dua konsep yang berbeda, dan apakah satu diantaranya merupakan konsep pokok, dan yang lainnya bentuk khususnya. Pengaruh
biasanya
tidak
merupakan
satu-satunya
faktor
yang
menentukan perilaku seseorang, dan sering bersaing dengan faktor lain. Bagi pelaku yang dipengaruhi masih terbuka alternatif lain untuk bertindak. Akan tetapi, sekalipun pengaruh sering kurang efektif dibandingkan dengan kekuasaan, ia kadang-kadang mengandung unsur psikologis dan menyentuh hati, dan karena itu sering kali cukup berhasil18. 17 18
Miriam Budiardjo. op.cit.,hal. 63. Ibid. hal. 67.
24 Universitas Sumatera Utara
1.4.2 Teori Elit
Pengertian elit memiliki cakupan yang cukup luas dan dapat dilihat dari berbagai perspektif. Istilah elit juga dikupas dalam sosiologi, dimana elit menunjukkan suatu kelompok yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan, politik, ekonomi, dan agama. Orang Indonesia sejak tahun 1900 mengakui adanya dua tingkatan di dalam masyarakat yaitu rakyat jelata dan priyayi. Administrasi, pegawai pemerintahan, dan orang-orang Indonesia yang berpendidikan dianggap sebagai elit atau priyayi. Jadi yang disebut elit adalah orang yang mempunyai stratifikasi di atas rakyat jelata dan mempunyai kedudukan memimpin, memberi pengaruh, menuntun, dan mengatur masyarakat19. Ketika dilekatkan pada otoritas dan kekuasaan, maka elit mempunyai dua tipe, yaitu elit yang memerintah secara formal dan elit yang tidak memerintah secara formal. Selain itu, kata elit juga diartikan sebagai orangorang yang menentukan dalam pemerintah. Pada abad ke-17 elit menunjukkan pada kelompok-kelompok sosial yang unggul, misalnya unitunit militer atau tingkatan bangsawan. Jika dalam karya-karya klasik golongan elit dipusatkan pada suatu kelompok yang mempunyai pengaruh besar atau kekuasaan politik besar, maka dalam masyarakat Cina istilah shen-
19
Robert Van Niel. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya. Hal. 30.
25 Universitas Sumatera Utara
shih atau elit menggambarkan sekelompok manusia yang memiliki posisi dan fungsi tertentu di dalam masyarakat tradisional Cina20. Vilfredo Pareto (1848-1923) menggunakan kata elit untuk menjelaskan adanya ketidaksetaraan kualitas individu dalam setiap lingkup kehidupan sosial. Pareto percaya bahwa dalam setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan bagi kehidupan mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan yang terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang-orang yang berhasil menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Lebih jauh, Pareto membagi kelas elit kedalam dua kelas yaitu pertama, elit yang memerintah (governing elit) yang terdiri dari individu-individu yang secara langsung atau tidak langsung memainkan peranan yang besar dalam memerintah. Kedua, elit yang tidak memerintah (non-governing elit). Jadi menurutnya, dalam masyarakat memiliki dua lapisan, lapisan yang rendah dan lapisan yang tinggi yang di bagi menjadi dua, elit yang memerintah dan elit yang tidak memerintah21. Tidak jauh berbeda dengan Pareto, Gaetano Mosca (1858-1941) memberikan gagasannya tentang elit, bahwa dalam kehidupan masyarakat selalu muncul dua kelas yaitu, kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas yang menguasai jumlahnya lebih sedikit, melaksanakan semua fungsi 20 21
Sartono Kartodirjo. 1981. Elit Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES. Hal. 114. S.P. Varma. op.cit., hal. 200.
26 Universitas Sumatera Utara
politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keistimewaan. Sedangkan kelas yang dikuasai jumlahnya lebih banyak, diperintah dan dikendalikan oleh kelas yang memerintah dengan cara yang pada masa sekarang ini kurang lebih legal diktatorial dan kejam22. Mosca percaya, bahwa yang membedakan karakteristik elit adalah kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik, sekali kelas yang memerintah tersebut kehilangan kepercayaan dan orang-orang diluar kelas tersebut menunjukkan kecakapan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh penguasa baru. Skema konseptual yang telah diwariskan oleh Pareto dan Mosca mencakup gagasan-gagasan umum bahwa dalam setiap masyarakat ada dan harus ada suatu minoritas yang menguasai anggota masyarakat yang lain. Minoritas itu adalah kelas politik atau elit yang memerintah yang terdiri dari mereka yang menduduki jabatan-jabatan komando politik dan secara lebih tersamar, mereka yang dapat langsung mempengaruhi keputusan-keputusan politik. Dalam perspektif Pareto maupun Mosca, elit merujuk pada suatu kelompok yang memerintah, menjalankan fungsi-fungsi sosial yang penting, dan mewakili sebagian dari nilai-nilai sentral masyarakat. Di setiap lingkungan masyarakat terdapat peran dan pengaruh. Peran dan pengaruh tersebut harus digunakan secara optimal oleh orang-orang yang memiliki keunggulan. Pada kenyataanya orang yang memiliki keunggulan
22
Ibid. hal. 202-203.
27 Universitas Sumatera Utara
hanya berjumlah sedikit dari anggota masyarakat yang lainnya. Orang yang berjumlah sedikit itulah yang disebut dengan elit23. Dalam hal ini, Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto membagi stratifikasi elit menjadi tiga kategori, yaitu elit yang memerintah (governing elite), elit yang tidak memerintah (non-governing elite), dan massa umum (non-elite). Kajian ini membagi dua kategori elit yaitu24 : 1. Elite politik lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatanjabatan politik (kekuasaan) di ekskutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis ditingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi ditingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. 2. Elit non politik lokal adalah seseorang yang menduduki jabatanjabatan stratefis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang dalam lingkup masyarakat. Kaum elit mempunyai kekuasaan besar dalam suatu kelompok atau masyarakat dan mampu memperoleh bagian terbesar dari suatu sistem kekuasaan. Kaum elit adalah kelompok kekuasaan yang paling tinggi dalam suatu sistem politik sihingga mampu menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuannya. Kaum elit juga sering memegang peranan penting di beberapa negara berkembang. Sedangkan menurut Heather Sutherland para pejabat pribumi atau elit lokal pada masa penjajahan merupakan suatu kelas 23 Haryanto. 2005. Kekuasaan Elite Suatu Bahasan Pengantar. Yogyakarta: S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM. Hal. 74. 24 Maurice Deverger. 1982. Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali Press. Hal. 178.
28 Universitas Sumatera Utara
penguasa yang ditakuti dan dikagumi, tetapi mereka itu merupakan wakilwakil bawahan dari kekuasaan asing25. Dalam menganalisa kedudukan elit dalam masyarakat, elemen yang perlu diperhatikan adalah konsep kekuasaan. Hal ini didasari bahwa elit dan kekuasaan merupakan dua variabel yang tidak dapat dipisahkan, karena elit merupakan sekelompok orang yang memiliki sumber-sumber untuk mencapai kekuasaan. Kekuasaan merupakan salah satu unsur terbentuknya elit. “Elit politik adalah sekelompok orang yang memiliki kekuasaan politik. Bahwa jumlah penguasa selalu lebih sedikit daripada yang dikuasai”26. Teori elit dibangun diatas pandangan atau persepsi bahwa keberadaan elit baik elit politik maupun elit agama tidak dapat dielakkan dari aspek-aspek kehidupan modern yang serba kompleks. Secara
umum,
elit
merupakan
sekolompok
orang
menempati
kedudukan-kedudukan tinggi. Dimana dalam arti yang lebih khusus, elit juga ditunjuk oleh sekelompok orang terkemuka dalam bidang-bidang tertentu dan khususnya kelompok kecil yang memegang pemerintahan serta lingkungan dimana kekuasaan itu diambil. Dengan demikian, konsep tentang elit cenderung menekankan kepada elit politik dengan merujuk pada pembagian kekuasaan antara elit yang berkuasa dan elit yang tidak berkuasa yang mengarah pada kepentingan yang berbeda.
25
Heather Sutherland. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan. Hal. 25. Mochtar Mas’ud dkk. 2001. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 77. 26
29 Universitas Sumatera Utara
Elit politik merupakan individu-individu memiliki keistimewaan dalam pemahaman, pemaparan dan pengalaman mengenai sistem kekuasaan. Selain itu, pengakuan masyarakat terhadap elit politik sebagai suatu minoritas yang memiliki status sosial dalam setiap peran dan fungsinya ditengah-tengah masyarakat. Sehingga dengan adanya keistimewaan inilah kemudian elit politik menjadi faktor penentu yang berperan dalam mendorong dan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. Dalam suatu pemerintahan yang menganut sistem demokrasi, tidak terlepas dari keberadaan elit. Dimana elit akan berperan penting dalam berjalannya
demokrasi.
Sebagai
kaum
minoritas
yang
mempunyai
keistimewaan, tentunya elit dapat mempengaruhi masyarakat. Dalam hal ini, elit tidak bisa dilepaskan dari adanya proses sosial yang berkembang. Keller mengemukakan empat proses sosial utama yang mendorong perkembangan elit yakni pertumbuhan penduduk, pertumbuhan spesialisasi jabatan, pertumbuhan organisasi formal atau birokrasi dan perkembangan keagamaan moral. Konsekuensinya, kaum ekitpun semakin banyak, semakin beragam, dan lebih bersifat otonom27. Huky membagi elit dalam tiga kategori yaitu28 : 1. Elit karena kekayaan Kekayaan menjadi suatu sumber kekuasaan. Orang-orang kaya tergabung ke dalam kelompok tertentu baik bersifat konkrit maupun 27
Suzanne Keller. 1995. Penguasa dan Kelompok Elite, Peranan Elite Penentu dalam Masyarakat Modern. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 87. 28 Partisipasi Politik di Indonesia dalam http://birokrasikomplek.blogspot.com/2011/06/partisipasi-politik-diindonesia-suatu.html, diakses pada tanggal 12 Februari 2015, pukul 22.23 WIB
30 Universitas Sumatera Utara
abstrak dan mengontrol masyarakat di sekitarnya, seperti majikan dengan posisi elit dalam mengontrol bawahannya. 2. Elit karena ekskutif Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang mempunyai posisi strategis dalam bidang tertentu. Dengan posisi yang strategis ini, elit memperoleh kekuasaan untuk mengontrol dan mempengaruhi orang lain. Misalnya pejabat-pejabat pemerintah. 3. Elit komunitas Orang-orang tertentu dalam suatu kelompok yang
dipandang
sebagai kelompok yang dapat mempangaruhi kelompok lain Dari pendapat yang dikemukakan dapat disimpulkan bahwa elit meliputi semua pemegang kekuasaan dalam suatu bangunan politik (body politic). Dalam masyarakat terdapat dua kategori elit, yaitu elit yang memerintah atau yang berkuasa dan elit yang tidak memerintah atau yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan kekuasaan. Elit lokal merupakan orang-perorangan atau aliansi dari orang yang dinilai pintar dan mempunyai pengaruh didalam masyarakat, misalnya para tokoh masyarakat, pemuka agama, para birokrat, dan orang-orang yang
mempunyai
kemampuan
finansial yang relatif lebih tinggi dibanding masyarakat umum. 1.5 METODOLOGI PENELITIAN 1.5.1 Jenis Penelitian
Berangkat dari uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka dasar diatas, penelitian ini adalah kualitatif dengan metode deskriptif. Dengan metode kualitatif, penelitian sama-sama mempersoalkan
31 Universitas Sumatera Utara
realibitas, validitas, pengukuran dan alat ukur juga berbeda29. Penelitian deskriptif adalah suatu cara yang digunakan untuk dmemecahkan masalah yang ada pada masa sekarang berdasarkan fakta dan data-data yang ada. Menyajikan data, meganalisis dan menginterpretasi dan juga bersifat komperatif dan korelatif30. Secara khusus penelitian deskriptif yang penulis gunakan
dapat
diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan keadaan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Fakta atau data yang ada dikumpulkan, diklarifikasi dan kemudian akan dianalisa.
1.5.2 Data dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data-data dari data primer dan data sekunder. 1. “Data primer, yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama dilapangan”31. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara pada key informan, yaitu : a. Firman Pasaribu sebagai salah satu wirausahaan dan calon Kepala Desa.
29 Burhan Bungin. 2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Air Langga University Press. Hal. 71. 30 Abu Achmadi dkk. 1997. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 44. 31 Burhan Bungin. op.cit,. hal. 128.
32 Universitas Sumatera Utara
b. Bapak Parasian Tampubolon, ST sebagai salah satu masyarakat dan juga karyawan di PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. c. Naek Hutapea yang merupakan kepala desa terpilih. d. Bapak Hiras Hutapea sebagai tokoh masyarakat. e. Demas Simangunsong sebagai salah satu elit ekonomi di Desa Simare. f. Marihot Hutapea sebagai Ketua Panitia Pemilihan Kepala Desa. g. Robert Pulungan sebagai tokoh masyarakat. h. Monang Hutapea sebagai tokoh masyarakat. i. Perdi Hutapea sebagai tokoh masyarakat. Alasan saya memilih narasumber ini adalah karena mereka merupakan tokoh yang berperan dalam pemekaran desa Simare, dan juga sebagai penggerak massa dalam pemilihan kepala desa Simare pada tahun 2010. 1. “Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder”32. Data diperoleh dari literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, jurnal, artikel, peraturan-peraturan, laporan-laporan serta bahan-bahan lain yang berhubungan dengan penelitian ini. 1.5.3 Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasaikan guna mencari makna dan implikasi 32
Ibid.
33 Universitas Sumatera Utara
yang lebih luas dari hasil-hasil penelitian. Sesuai dengan jenis penelitian yang menggunakan metode kualitatif, maka penelitian ini menggunakan beberapa tahapan sebagai proses analisis untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Tahapan pertama adalah data-data dikumpulkan dari lembaga terkait baik itu yang masih mentah ataupun sudah disusun secara formal. Kemudian datadata tersebut dianalisis sesuai dengan permasalahan yang ingin dianalisis oleh peneliti. Selain itu, data yang di dapat berdasarkan metode wawancara akan sangat membantu peneliti untuk menganalisis yang akan dilakukan perbandingan terhadap konsep yang ada pada data tertulis yang didapatkan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk menguatkan argumen dara hasil analisis. 1.5.4 Lokasi Penelitian
Lokasi yang dipilih menjadi tempat penelitian adalah Desa Simare, Kecamatan Bor - Bor, Kabupaten Toba Samosir. Sebagai desa yang jauh dari pusat pemerintahan kabupaten, dimana jaraknya desa Simare dengan Balige sebagai ibukota kabupaten Toba Samosir adalah berjarak sekitar 20 Kilometer. Dimana Desa Simare melaksanakan Pemilihan Kepala Desa pada tahun 2010 yang mendapat campur tangan dari elit ekonomi yang tinggal di desa tersebut.
34 Universitas Sumatera Utara
1.6 SISTEMATIKA PENULISAN Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari penelitian ini, maka penulisan dilakukan secara terperincidan sistematis sebagai salah satu syarat penelitian ilmiah. Penelitian ini terdiri atas 4 (empat) bab, yaitu : BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini berisikan mengenai Latar Belakang Masalah, Rumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II : DESKRIPSI MENGENAI LOKASI DAN PROFIL ELIT LOKAL YANG BERPENGARUH DI DESA SIMARE Dalam bab ini akan menguraikan tentang gambaran umum tentang deskriptif lokasi penelitian seperti profil Desa Simare, dan gambaran umum eksekutif Desa Simare. BAB III : ANALISIS DOMINASI KEKUATAN EKONOMI DALAM PENENTUAN KEPALA DESA Bab ini akan memuat analisis penulis mengenai dominasi kekuatan ekonomi dalam penentuan eksekutif desa dalam pemilihan kepala desa (Pilkades) Desa Simare tahun 2010 masa jabatan 2010 - 2016. BAB IV : PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisikan tentang kesimpulan kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan. Pada bab ini juga akan terjawab pertanyaan tentang apa yang dilihat dalam
35 Universitas Sumatera Utara
penelitian yang dilakukan, serta berisi saran-saran, baik yang bermanfaat bagi penulis secara pribadimaupun lembaga-lembaga yang terkait secara umum.
36 Universitas Sumatera Utara