1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang potensial sebagai sumber bahan baku minyak atsiri. Indonesia menghasilkan 40 jenis dari 80 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di pasar dunia. Dari jumlah tersebut 15 jenis telah memasuki pasar atsiri dunia, salah satunya adalah minyak cengkeh (Departemen Perindustrian, 2008). Sebanyak 60 % minyak cengkeh yang diproduksi oleh Indonesia telah diekspor ke berbagai negara di dunia (Departemen Pertanian, 2007). Pulau Jawa adalah salah satu wilayah di Indonesia yang menjadi pemasok utama minyak cengkeh Indonesia. Potensi Pulau Jawa sebagai produsen minyak atsiri dari tahun ke tahun terus berkembang. Hampir setiap tahun ada pertambahan jumlah penyuling/pengrajin yang memproduksi minyak cengkeh. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi pasar minyak cengkeh yang relatif stabil beberapa tahun terakhir dibandingkan jenis minyak atsiri lainnya. Hampir semua minyak atsiri yang berbahan baku dari bagian tanaman cengkeh selalu dapat diserap pasar bahkan untuk semua jenis kualitas yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh permintaan minyak cengkeh yang terus meningkat. Kemudahan pasar inilah yang membuat orang tertarik untuk berinvestasi dalam pengolahan minyak atsiri cengkeh.
2
1.2. Identifikasi Masalah Permasalahan utama pada produksi minyak atsiri secara umum adalah ketersediaan bahan baku. Terbatasnya bahan baku cengkeh juga telah lama menjadi permasalahan utama bagi para penyuling/pengrajin minyak cengkeh. Pertambahan unit produksi minyak cengkeh yang tidak sebanding dengan ketersediaan
bahan
baku
menjadi
masalah
yang
krusial
bagi
para
penyuling/pengrajin minyak cengkeh. Kondisi ini membuat tingkat persaingan dalam memperoleh bahan baku menjadi semakin tinggi. Akibatnya banyak produsen baru minyak cengkeh hanya dapat berproduksi sesaat sementara bagi produsen yang sudah lama tingkat produksinya semakin menurun atau bahkan tidak dapat berproduksi lagi karena tidak tersedianya bahan baku yang cukup. Pada umumnya produksi minyak cengkeh hanya bisa dilakukan selama semusim selama kurun waktu 6-8 bulan dalam setiap tahun yang dimulai setiap menjelang musim kemarau sampai awal musim hujan. Pola produksi semacam ini sudah dilakukan secara turun temurun di hampir seluruh wilayah pulau Jawa. Pola produksi semacam ini dilakukan oleh para pengrajin mengikuti siklus produksi atau pola siklus panen dari tanaman cengkeh yang merupakan bahan baku utama minyak cengkeh. Pada umumnya tanaman cengkeh di Pulau Jawa, musim panen jatuh pada bulan Mei-Agustus (Muljana, 2006). Bagian dari tanaman cengkeh yang biasa digunakan sebagai bahan baku minyak atsiri di Jawa adalah daun dan gagang. Daun diperoleh dari para petani yang mengumpulkan daun kering yang sudah gugur, sedangkan gagang diperoleh pada saat panen. Daun biasa dikumpulkan oleh para petani pada saat musim
3
kemarau sampai menjelang musim hujan. Pada musim kemarau daun terdapat dalam jumlah banyak, mendekati awal musim hujan jumlah daun semakin berkurang terutama pada saat musim hujan. Pada saat musim hujan hampir tidak ada petani yang mengumpulkan daun. Selain karena jumlah daun yang sangat sedikit, juga disebabkan oleh kualitas daun yang tidak baik. Pada musim hujan kondisi daun kotor dan basah, sehingga rendemen dan kadar eugenol dari daun menjadi kecil dan sangat tidak menguntungkan apabila diproses untuk diambil minyaknya. Penyebab lain berkurangnya produksi daun adalah musim cengkeh berbunga dan musim panen. Pada musim panen tidak banyak daun yang gugur sehingga pada saat tersebut bahan baku minyak cengkeh mulai beralih pada gagang. Gagang diperoleh bersamaan dengan musim panen cengkeh karena letak gagang yang menjadi satu dengan bunga cengkeh. Pada saat panen cengkeh, petani dapat memetik bunga cengkeh dan sekaligus gagangnya. Gagang hasil panen dari bunga cengkeh inilah yang kemudian digunakan sebagai bahan baku minyak cengkeh. Produksi gagang cengkeh berjumlah sekitar 32-35 % dari bunga cengkeh. Melimpahnya gagang pada saat musim panen cengkeh ternyata tidak dapat terserap secara maksimal oleh para pengrajin minyak atsiri cengkeh karena mereka harus bersaing dengan pabrik rokok yang juga menggunakan gagang cengkeh sebagai salah satu bahan baku dalam pembuatan rokok. Gagang cengkeh ini digunakan oleh hampir semua pabrik-pabrik kecil yang memproduksi rokok
4
yang ada di Jawa. Gagang cengkeh ini digunakan oleh pabrik rokok sebagai pencampur bahan aroma untuk rokok. Harga beli gagang cengkeh oleh pabrik rokok umumnya juga lebih tinggi daripada harga beli yang diberikan oleh para pengrajin minyak atsiri. Tingginya harga beli gagang oleh pabrik rokok tidak dapat diikuti oleh para pengrajin karena harga minyak gagang cengkeh yang tidak sebanding dengan harga rokok. Hal ini membuat pengrajin minyak atsiri cengkeh kalah bersaing sehingga hanya sebagian kecil gagang yang dapat diperoleh pada saat panen cengkeh. Umumnya pengrajin hanya mendapat gagang cengkeh yang dipetik petani pada awal sampai pertengahan musim panen cengkeh karena sebagian besar petani cengkeh terutama petani besar lebih suka mengumpulkan seluruh hasil panennya dan baru menjual setelah musim panen berakhir sambil menunggu pabrik rokok memberikan harga pembelian untuk gagang cengkeh. Semakin mendekati berakhirnya musim panen cengkeh dan mulai masuk musim penghujan, maka semakin tinggi pula harga jual gagang karena sistem stok yang dilakukan oleh para petani besar dan pengumpul gagang cengkeh. Kondisi demikian benar-benar membuat para pengrajin minyak atsiri cengkeh kesulitan melakukan proses produksi secara kontinyu karena terbatasnya ketersediaan bahan baku. Berbagai upaya dilakukan oleh para pengrajin untuk dapat menjaga keberlangsungan proses produksi. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan limbah gagang cengkeh atau biasa disebut ladek yang bisa diperoleh dari para pengumpul gagang cengkeh, penggilingan gagang cengkeh maupun pabrik rokok. Ladek ini merupakan hasil reject dari proses penggilingan gagang cengkeh.
5
Beberapa pengrajin mulai mencoba memanfaatkan ladek untuk diproses menjadi minyak cengkeh. Dari beberapa percobaan yang dilakukan pada pengolahan ladek menjadi minyak cengkeh diperoleh hasil yang berbeda-beda. Ladek yang diproses menghasilkan rendemen minyak antara 1,5 – 3 % dan kadar eugenol
antara 76 – 87 %. Hasil percobaan yang dilakukan oleh beberapa
pengrajin belum banyak diikuti oleh pengrajin yang lain karena minyak cengkeh yang diproduksi dari ladek dianggap kurang menguntungkan karena biaya produksi yang lebih tinggi jika dibandingkan biaya produksi minyak cengkeh dari daun maupun gagang. Waktu proses yang relatif lebih lama dan tingkat kesulitan proses yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses produksi pada daun dan gagang juga membuat para pengrajin enggan untuk mencobanya. Proses produksi minyak cengkeh berbahan ladek yang telah dilakukan selama ini berkisar antara 12 – 24 jam, sedangkan untuk daun 8 – 10 jam dan gagang 10 – 12 jam dengan kapasitas suling berkisar antara 700 – 1.000 kg untuk setiap kali proses. Waktu proses yang lama membuat kebutuhan bahan bakar menjadi banyak sehingga biaya produksi menjadi tinggi. Pada produksi minyak cengkeh umumnya pengrajin menggunakan bahan bakar berupa kayu. Produksi minyak cengkeh dari daun merupakan proses produksi yang menggunakan kayu bakar paling sedikit atau bahkan tidak memerlukan kayu bakar karena limbah suling daun cengkeh dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar proses suling berikutnya. Limbah daun dari satu kali proses dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk satu kali proses suling berikutnya. Sedangkan pada produksi minyak dari gagang masih memerlukan sedikit kayu
6
bakar sebagai bahan bakar tambahan karena limbah suling gagang tidak cukup untuk bahan bakar satu kali proses suling berikutnya. Limbah suling ladek tidak dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar karena ukurannya yang terlalu kecil dan padat sehingga proses suling ladek menggunakan bahan bakar 100% dari kayu. Tingginya kebutuhan kayu bakar menjadikan biaya produksi untuk minyak ladek juga tinggi. Selain tingginya biaya produksi, tingkat kesulitan pengolahan ladek menjadi minyak juga relatif tinggi jika dibandingkan dengan proses pengolahan daun maupun gagang. Kondisi proses yang kurang baik akan membuat rendemen dan kualitas minyak ladek menjadi rendah yang tentunya akan mempengaruhi harga jualnya. Hal ini tentunya menjadi kurang menguntungkan bagi para pengrajin.
1.3. Perumusan Masalah Dari kondisi di atas penulis mencoba mengkaji pemanfaatan ladek secara optimal sebagai salah satu sumber alternatif bahan baku minyak cengkeh dengan memperbaiki proses produksi ladek. Perbaikan proses produksi akan dilakukan dengan menggunakan metode pencampuran bahan baku dengan komposisi tertentu agar diperoleh hasil yang lebih baik dan menguntungkan secara ekonomis bagi para pengrajin minyak atsiri cengkeh. Pencampuran bahan baku akan dilakukan dengan mencampur ladek dengan daun menggunakan variasi komposisi yang berbeda-beda. Pemilihan daun sebagai bahan pencampur dilakukan untuk menambah porositas antar bahan. Penambahan porositas akan meningkatkan
7
jumlah uap yang melewati bahan baku sehingga rendemennya meningkat. Permasalahan yang timbul adalah : a. Apakah rendemen minyak atsiri dan kadar eugenol penyulingan bahan campuran daun cengkeh dan ladek dari pengrajin masih dapat ditingkatkan? b. Apakah secara ekonomi penyulingan bahan campuran daun cengkeh dan ladek menguntungkan ?
1.4. Tujuan Penelitian a. Mengetahui dan menganalisa aspek produksi dari penggunaan variasi komposisi bahan baku yang berbeda yang meliputi rendemen dan kadar eugenol. b. Mengetahui dan menganalisa aspek finansial dari penggunaan variasi komposisi bahan baku yang berbeda.
1.5. Manfaat Penelitian a. Memberikan gambaran peluang usaha pemanfaatan limbah giling gagang cengkeh (ladek) sebagai alternatif sumber bahan baku bagi industri minyak atsiri cengkeh. b. Sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan teknologi proses pengolahan ladek gagang yang dapat memberikan added value bagi pengrajin minyak atsiri cengkeh.