BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan galian itu, meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi (“Migas”), batubara, dan lain-lain.1 Sebagai suatu cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, maka penguasaannya diatur oleh Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”2 Pengaturan mengenai hal ini kemudian lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (“UU Migas”) bahwa, “Minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara.”3 Dalam pengusahaan Migas, pemerintah dapat melaksanakan sendiri dan/atau menunjuk kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah.4 Apabila kegiatan usaha Migas dilaksanakan oleh kontraktor, maka kedudukan pemerintah dalam hal ini adalah sebagai pemberi izin kepada kontraktor yang bersangkutan. Walaupun Negara 1 2 3 4
H. Salim HS, 2014, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 1. Lihat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152). H. Salim HS, Op.Cit., hlm. 1.
1
diberikan kewenangan untuk mengusahakan bahan galian, namun perusahaan yang paling menonjol untuk mengusahakan bahan galian didominasi oleh perusahaan asing, baik perusahaan yang seluruh modalnya berasal dari asing maupun patungan antara perusahaan asing dengan perusahaan domestik.5 Akan tetapi, dalam praktiknya, walaupun negara diberikan kewenangan untuk mengusahakan kegiatan Migas, pihak yang paling banyak berperan untuk mengusahakan kegiatan hulu Migas (mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi) adalah pihak asing melalui izin yang diberikan oleh pemerintah berupa Kontrak Kerja Sama (“KKS”) atau Production Sharing Contract (“PSC”) sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001.6 Secara sederhana PSC dapat dijelaskan sebagai berikut: Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.7 Sistem kontrak ini merupakan kontrak bagi hasil antara Pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (“K3S”). Prinsip yang diatur dalam kontrak ini adalah pembagian hasil Migas antara badan pelaksana dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, yang paling sedikit memuat ketentuan-ketentuan pokok: 8
5 6 7 8
Ibid., hlm. 5. Lihat Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152). Lihat Angka 19 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152). Lihat Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152).
2
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q.
penerimaan negara; wilayah Kerja dan pengembaliannya; kewajiban pengeluaran dana; perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi; jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak; penyelesaian perselisihan; kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri; berakhirnya kontrak; kewajiban pascaoperasi pertambangan; keselamatan dan kesehatan kerja; pengelolaan lingkungan hidup; pengalihan hak dan kewajiban; pelaporan yang diperlukan; rencana pengembangan lapangan; pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri; pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat; pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
Industri hulu Migas merupakan industri yang memiliki risiko investasi yang tinggi. Dalam beberapa tahun terakhir industri hulu Migas berada dalam kondisi sulit akibat turunnya harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. PricewaterhouseCoopers Oil and Gas Guide menampilkan grafik jumlah produksi dan konsumsi Migas untuk kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun 2015 sebagai berikut: 9
9
PricewaterhouseCoopers, 2016, Oil and Gas in Indonesia, May 2016 – 7th edition, PwC Publication, Jakarta, hlm. 6.
3
Sumber: PricewaterhouseCoopers, Oil and Gas in Indonesia, May 2016 – 7th edition. Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa produksi minyak di Indonesia sedang mengalami penurunan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2015. Hal ini tentu menjadi salah satu pertimbangan K3S untuk mengalihkan risiko investasi kepada pihak lain, salah satunya melalui pengalihan hak dan kewajibannya atau yang biasa disebut sebagai Participating Interest-nya di suatu wilayah kerja. Meningkatnya pengalihan risiko investasi melalui transaksi pengalihan Participating Interest dalam beberapa tahun terakhir diiringi dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 (“PP No. 79 Tahun 2010”) tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi tanggal 20 Desember 2010. Dalam kosideran menimbang huruf c PP 79 Tahun 2010 diatur bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31 D Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
4
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU No. 36 Tahun 2008”), perlu menetapkan peraturan pemerintah tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi. 10 Berdasarkan konsideran di atas, tujuan diundangkannya PP No. 79 Tahun 2010 yaitu untuk melaksanakan amanah ketentuan Pasal 31D UU No. 36 Tahun 2008 yang berbunyi, “Ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.”11 Dari perspektif lainnya, diharapkan bahwa melalui diundangkannya PP No. 79 Tahun 2010 akan menciptakan adanya kepastian hukum serta dapat dijadikan sebagai sarana untuk dapat mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor Migas. PP No. 79 Tahun 2010 antara lain mengatur pengenaan pajak atas transaksi pengalihan Participating Interest. Atas transaksi pengalihan Participating Interest tersebut dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 5% atau 7% (tergantung pada masa eksplorasi atau eksploitasi wilayah kerja).12 Selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (4) PP No. 79
10
11
12
Lihat konsideran huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5173). Lihat Pasal 31D Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893). Lihat Pasal 27 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5173).
5
Tahun 2010 mengatur bahwa tata cara pemotongan dan pembayaran atas pajak penghasilan atas transaksi pengalihan Participating Interest akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Keuangan.13 Dalam melaksanakan amanah dari Pasal 27 ayat (4) PP No. 79 Tahun 2010, Pemerintah melalui Kementrian Keuangan kemudian mengundangkan Peraturan Menteri Keuangan No. 257/PMK.03/2011 (“PMK No. 257 Tahun 2011”) tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Lain Kontraktor Berupa Uplift atau Imbalan Lain yang Sejenis dan/atau Penghasilan Kontraktor dari Pengalihan Participating Interest (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 946), yang mulai mengikat umum sejak tanggal 1 Januari 2012. Namun, dalam implementasinya, ketentuan PP No. 79 Tahun 2010 dan PMK No. 257 Tahun 2011 seringkali dianggap tidak efisien mengingat substansi yang ada di dalamnya pada dasarnya telah diatur pada kontrak (PSC) dan juga diatur di dalam peraturan lembaga/badan yang terkait seperti Kementerian ESDM dan BP Migas. Terbitnya PMK Migas tersebut tidak lebih hanya sebagai salah satu instrumen untuk menggali potensi penerimaan dari sektor migas yang oleh sejumlah pihak diyakini masih sangat besar. 14 Implementasi kebijakan dalam sektor hulu Migas ini dianggap belum dapat memenuhi asas kepastian hukum sebagaimana disebutkan dalam asas-asas material dalam pembentukan peraturan perundang-
13
14
Lihat Pasal 27 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5173). Komaidi Notonegoro, “Konsistensi Kebijakan Sektor Hulu Migas”, http://www.reforminer.com/2012/1193-konsistensi-kebijakan-sektor-hulu-migas, diakses 15 Maret 2016.
6
undangan. Sehubungan dengan ketentuan pemajakan atas pengalihan Participating Interest di sektor usaha hulu Migas, PP No. 79 Tahun 2009 hanya mengatur ketentuan pemajakan final atas transaksi pengalihan Participating Interest dan tidak mengatur pendelegasian kewenangan pengaturan atas penghasilan kena pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan atau yang disebut sebagai Branch Profit Tax. Dalam Pasal 27 ayat (4) PP No. 79 Tahun 2010 disebutkan bahwa pengaturan terkait tata cara pemotongan dan pembayaran atas Pajak Penghasilan final atas pengalihan Participating Interest akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan.15 Merujuk pada Pasal 27 ayat (4) PP No. 79 Tahun 2010 di atas, diketahui bahwa PP No. 79 Tahun 2010 terkesan hanya mengatur pendelegasian wewenang terkait tata cara pemotongan dan pembayaran atas Pajak Penghasilan final atas pengalihan Participating Interest. Namun, ketentuan PMK No. 257 Tahun 2011 tidak hanya mengatur tata cara pemotongan dan pembayaran atas Pajak Penghasilan final atas pengalihan Participating Interest. Pasal 10 ayat (1) PMK No. 257 Tahun 2011, juga mengatur mengenai Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan yang bersifat final yang berasal dari pengalihan Participating Interest terutang Branch Profit Tax. 16 Selanjutnya, apabila merujuk pada Pasal 12 ayat (3) PMK No. 257 Tahun 2011 disebutkan bahwa atas ketetentuan pemajakan atas
15
16
Lihat Pasal 27 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5173). Lihat Pasal 10 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Lain berupa Uplift atau Imbalan Lain yang Sejenis dan/atau Penghasilan Kontraktor dari Pengalihan Participating Interest.
7
Branch Profit Tax hanya berlaku untuk penghasilan dari pengalihan Participating Interest yang diterima atau diperoleh setelah berlakunya PMK No. 257 Tahun 2011, yaitu tanggal 1 Januari 2012. 17 Sehubungan dengan penentuan saat terutangnya pemajakan atas Branch Profit Tax atas transaksi pengalihan Participating Interest tersebut, beberapa K3S yang melakukan pengalihan Participating Interest di tahun 2011 juga telah mengajukan penegasan yang ditujukan Direktur Jenderal Pajak. Dari beberapa surat penegasan yang diterbitkan oleh Kementrian Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak (“DJP”), pemerintah berpandangan bahwa ketentuan pemajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan yang bersifat final yang berasal dari pengalihan Participating Interest yang terjadi sebelum 1 Januari 2012 belum terutang Branch Profit Tax. Namun, di tahun 2015, DJP kembali mengeluarkan surat edaran yang mendalilkan berbeda, bahwa atas pengalihan Participating Interest terutang Branch Profit Tax sejak tanggal 1 Januari 2009, yakni sejak saat diundangkannya UU No. 36 Tahun 2008. Adanya perbedaan penafsiran terkait penentuan saat terutanng Branch Profit Tax atas pengalihan Participating Interest di atas menunjukkan bagaimana pentingnya keterkaitan dan ketergantungan satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya serta surat edaran yang diterbitkan DJP. Hal ini diperlukan, demi terciptanya konsistensi dalam pengaturan suatu norma hukum yang mengikat serta bertujuan untuk
17
Lihat Pasal 12 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Lain berupa Uplift atau Imbalan Lain yang Sejenis dan/atau Penghasilan Kontraktor dari Pengalihan Participating Interest.
8
memenuhi asas kepastian hukum dalam pembentukan peraturan perundangundangan yang baik. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menganalisis lebih jauh mengenai ketentuan pemajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan yang bersifat final (Branch Profit Tax) yang berasal dari pengalihan Participating Interest serta menganalis apakah ketentuan peraturan perundang-undangan
Branch
Profit
Tax
atas
transaksi
pengalihan
Participating Interest telah secara konsisten diarahkan terhadap pemenuhan asas kepastian hukum. Melalui penelitian ini, penulis juga akan menganalisis kekuatan mengikat dari suatu surat edaran dan surat penegasan yang diterbitkan oleh DJP. Melalui pertimbangan tersebut, maka penulis menetapkan judul penelitian sebagai berikut: ANALISIS KONSISTENSI KETENTUAN BRANCH PROFIT TAX ATAS TRANSAKSI
PENGALIHAN
PARTICIPATING
INTEREST
OLEH
KONTRAKTOR KONTRAK KERJA SAMA DI SEKTOR HULU MINYAK DAN GAS BUMI B. Rumusan Penelitian Berdasarkan permasalahan pokok yang telah penulis paparkan dalam latar belakang penelitian, maka berikut ini adalah rumusan penelitian yang akan diteliti lebih lanjut oleh penulis: 1.
Bagaimana konsistensi ketentuan pengenaan Branch Profit Tax atas transaksi pengalihan Participating Interest oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama?
9
2.
Apakah ketentuan peraturan perundang-undangan Branch Profit Tax atas transaksi pengalihan Participating Interest telah secara konsisten diarahkan terhadap pemenuhan asas kepastian hukum?
C. Keaslian Penulisan Berdasarkan penelusuran penulis, belum ada penelitian sebelumnya mengenai suatu Analisis Konsistensi Ketentuan Branch Profit Tax Atas Transaksi Pengalihan Participating Interest Oleh Kontraktor Kerja Sama di Sektor Hulu Minyak Dan Gas Bumi. Oleh karena itu, penelitian yang penulis lakukan bersifat asli. Adapun kerangka berpikir penulis berangkat dari penelitian karya Fajar Andhika dengan judul “Pengenaan Pajak Penghasilan atas Transaksi Pengalihan Participating Interest Kontraktor Minyak dan Gas Bumi” yang berasal dari Tesis Program Magister Akuntansi Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2014. Dalam tulisan tersebut, Fajar Andhika meneliti mengenai pertentangan pengenaan Pajak Penghasilan atas transaksi pengalihan Participating Interest sebagaimana diatur dalam PP No. 79 Tahun 2010 serta PMK No. 257 Tahun 2011 dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Berdasarkan
penelusuran
kepustakaan
tersebut,
maka
penulis
ingin
melanjutkan penelitian dengan menganalisis lebih dalam terkait aspek konsistensi ketentuan Branch Profit Tax atas transaksi pengalihan Participating Interest oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama di sektor hulu minyak dan gas bumi.
10
D.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan penelitian pada sub-bab sebelumnya, tujuan dari
penelitian ini yaitu: 1.
Melakukan
penilaian
secara
teoritis
terhadap
konsistensi
ketentuan
Branch Profit Tax atas transaksi pengalihan Participating Interest, sehingga diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif yang dapat digunakan dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Penghasilan atas pengalihan Participating Interest. 2.
Untuk mengetahui konsistensi ketentuan peraturan perundang-undangan Branch Profit Tax atas transaksi pengalihan Participating Interest terhadap pemenuhan terhadap pemenuhan asas kepastian hukum.
E.
Kegunaan Penelitian Manfaat yang diharapkan tercapai melalui penelitian ini adalah sebagai
berikut: 1.
Manfaat Teoritis: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum dalam menafsirkan ketentuan pengenaan Branch Profit Tax atas transaksi pengalihan Participating Interest yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Teori tersebut diharapkan dapat memberikan ketegasan demi menjamin kepastian hukum.
2.
Manfaat Praktis: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak terkait mengenai ketentuan pengenaan Branch Profit Tax atas transaksi pengalihan Participating Interest,
11
sehingga diperoleh suatu kesatuan pemahaman akan ketentuan hukum yang mengatur F.
Sistematika Penulisan Tesis BAB I: PENDAHULUAN, yang menguraikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, dan keaslian penelitian. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA, yang membahas tentang asas dan landasan hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, teori kepastian hukum, konsistensi ketentuan hukum, serta konsep teoritis kegiatan hulu Migas. BAB III: METODE PENELITIAN, bagian ini terdiri dari pengertian, jenis dan pendekatan penelitian, cara penelitian, sumber data, analisis data, dan keterbatasan penulisan. BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, pada bab ini berisikan tentang hasil penelitian yang telah penulis lakukan berikut pembahasannya, dimana penulis menjawab permasalahan yang disebutkan diatas dengan menggunakan acuan kepada peraturan perundang-undangan sebagai kajian yuridis dan didukung dengan berbagai berbagai literatur. BAB V: PENUTUP yaitu yang berisi tentang kesimpulan dan saran. DAFTAR PUSTAKA
12