BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai berbagai macam kebudayaan daerah. Masing-masing kebudayaan ini tumbuh dan berkembang sejak zaman nenek moyang sampai sekarang. Banyak pendapat sarjana atau ilmuwan mengungkapkan atau mendefinisikan
tentang
pengertian
kebudayaan.
Menurut
Widyosiswoyo
(2004:30) kebudayaan berasal dari kata budh dalam bahasa Sanskerta yang berarti akal, kemudian menjadi budhi (tunggal) atau budhaya (majemuk), sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Dengan demikian, kebudayaan yang dilakukan nenek moyang ialah tidak lain untuk menunjukkan bahwa kebudayaan dapat membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Kehidupan masyarakat dalam berkebudayaan ini mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia. Pikiran-pikiran manusia tertuju atas kebudayaan yang bersifat abstrak dan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan sebagainya. Tidak lepas dari kebiasaan masyarakat Jawa ialah melihat, mencermati dan kemudian menafsirkan berbagai gejala alam. Masyarakat Jawa sangat percaya bahwa berbagai gejala alam mengandung pelajaran yang berharga dibaliknya. Seperti kebiasaan masyarakat Jawa, yaitu memelihara binatang ternak ataupun
1
2
binatang piaraan. Kebiasaan-kebiasaan tersebut banyak menggunakan sistem kebahasaan yang tumbuh dari nenek moyang mereka, yakni suatu pemberian nama atau istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa berdasarkan ciri-ciri warna bulu yang dimiliki binatang tersebut. Istilah-istilah warna bulu yang dimiliki binatang itu dapat mempengaruhi kebudayaan dan keadaan alam di sekitarnya. Brent Berlin dan Paul Kay (Keraf, 1990:134) pernah melakukan penelitian mengenai warna dalam beberapa bahasa di dunia. Berlin dan Kay dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa sistem tata warna dalam bahasabahasa tidak sama. Ada bahasa yang hanya memiliki dua istilah warna, ada pula empat, lima, enam, tujuh, dan delapan, sehingga penyebutan istilah warna bergantung dalam kebudayaan masa lampau ataupun masa sekarang. Di kalangan masyarakat Jawa pun cara penyebutan istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa dapat dilihat dari segi warna bulu yang dimiliki binatang, yaitu setiap binatang mempunyai warna bulu sesuai dengan ciri-cirinya. Ada yang menyebutnya dalam satu leksikon ataupun lebih dari satu leksikon. Contohnya dalam binatang kucing mempunyai tiga variasi warna bulu, yaitu merah agak kekuning-kuningan, hitam, dan putih, sehingga penyebutan ketiga warna tersebut disebut kembang telon. Tidak hanya binatang kucing yang mempunyai sebutan istilah warna bulu dalam bahasa Jawa, melainkan terdapat dalam binatang piaraan yang lainnya, seperti ayam, burung, kuda, dan sebagainya. Selain pemberian istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa, terdapat pula kepercayaan-kepercayaan yang mengandung nilai magis yang berkembang di masyarakat Jawa, seperti kucing kembang telon yang sudah dijelaskan di atas,
3
dalam masyarakat Jawa kucing kembang telon mengandung nilai magis yang bersifat positif, yakni apabila seseorang memelihara kucing kembang telon mempunyai nasib yang baik, diberi keselamatan, ataupun didekatkan rezekinya. Pandangan masyarakat Jawa tersebut dapat dibuktikan dengan adanya manfaat dari kembang ‘bunga’. Bagi dunia tanaman kembang ‘bunga’ merupakan harapan, yakni mempunyai harapan yang ditunjukkan dengan adanya buah, bunga bagi yang memerlukan (Bratasiswara, 2000:327). Begitu juga kucing kembang telon mempunyai harapan yang baik bagi yang memeliharanya. Bahkan istilah-istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa yang lainnya pun juga terdapat pada binatang lainnya yang dianggap masyarakat Jawa bernilai magis. Masyarakat Jawa memberikan istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa tersebut berdasarkan ciri-ciri yang dimilikinya dan memiliki pula kepercayaan mistis dibalik pemberian istilah warna bulu binatang. Entah memang ada suatu kejadian nyata yang terjadi di masalampau dengan binatang-binatang tersebut atau hanya sekadar pemberian istilah warna bulu saja, dalam skripsi ini peneliti mengambil topik Istilah-Istilah Warna Bulu Binatang Dalam Bahasa Jawa (Sebuah Kajian Linguistik Antropologis). Topik tersebut mempunyai banyak permasalahan yang akan ditulis dalam rumusan masalah dan dibahas satu per satu dalam pembahasan.
1.2 Rumusan Masalah Sebagaimana yang dikemukakan di atas, penyebutan istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa dipengaruhi kebudayaan dan keadaan alam di
4
sekitarnya. Seperti yang dikatakan Berlin dan Kay bahwa setiap sistem tata warna dalam bahasa-bahasa tidak sama. Demikian juga dengan penyebutan istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa di setiap binatang mempunyai penyebutan istilah warna bulu yang berbeda pula. Deskripsi ini dilakukan dengan pendekatan linguistik antropologis, yaitu dengan melihat fakta bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas. Dengan demikian, dalam skripsi ini akan dicoba dijawab dua pertanyaan pokok, yaitu: (a) jenis binatang dan apa saja istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa yang diberikan masyarakat Jawa dan (b) bagaimana pandangan budaya yang melatarbelakanginya suatu pemberian istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa.
1.3 Tujuan Penelitian Studi mengenai istilah-istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa (sebuah kajian linguistik antropologis) secara umum bertujuan untuk mengetahui berbagai jenis binatang dan istilah-istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa yang terdapat di lingkungan masyarakat Jawa dan menafsirkan pandangan budaya yang melatarbelakanginya suatu pemberian istilah-istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa. Tujuan umum ini akan dicapai dengan cara: (a) mengiventarisasikan istilah-istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa dari berbagai jenis binatang, (b) mendeskripsikan dari masing-masing jenis binatang dan istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa dan (c) menjelaskan manfaat dan kegunaan istilah warna bulu binatang dalam budaya masyarakat Jawa.
5
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian dalam skripsi ini meliputi ruang lingkup data, dan ruang lingkup pembahasan. Ruang lingkup data penelitian terdapat empat binatang, yaitu dara ‘merpati’, pitik ‘ayam’, kucing, dan jaran ‘kuda’ yang dijadikan sampel. Peneliti memilih keempat binatang tersebut, karena keempat binatang itu memiliki istilah warna bulu dalam bahasa Jawa lebih banyak dibandingkan dengan binatang lainnya. Warna bulu keempat binatang itu mengandung nilai-nilai keindahan dan keunikan. Keberadaan keempat binatang itu sangat dekat dengan lingkungan masyarakat Jawa dan keempat binatang tersebut juga dapat menunjukkan status sosial bagi pemelihara binatang. Penyebutan istilah-istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa dengan cara menelusuri kosakata atau leksikon dari berbagai sumber. Baik sumber tulis maupun sumber lisan. Data tulis mengambil sumber dari Baoesastra Djawa, Pepak Jawa dan Kitab Primbon Betaljemur Adammakna. Data lisan mengambil sumber dari sejumlah informan yang tinggal di berbagai tempat di Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni tiga kabupaten (Bantul, Sleman, dan Kota Madya). Penelitian di Kabupaten Bantul terdapat tiga tempat, yaitu di kecamatan Banguntapan di desa Wirokerten, di kecamatan Imogiri di desa Kebonagung, dan di desa Guwosari. Penelitian di Kota Madya terdapat dua tempat, yaitu di PASTY (Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta) jalan Bantul dusun Dongkelan dan di daerah Kraton Yogyakarta di dalem Yudhanegaran, jalan Ibu Ruswo. Penelitian di Kabupaten Sleman terletak di Fakultas Peternakan dan Fakultas Kedokteran Hewan UGM Bulaksumur. Dipilihnya sumber tulis dan sumber lisan yang sudah
6
disebutkan di atas, karena ketiga buku tersebut menyimpan kosakata atau leksikon lebih banyak dibandingkan dengan sumber lainnya. Wilayah pengambilan sampel data tersebut lebih berpotensi atau keberadaan binatang lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan wilayah lainnya. Para informan yang dipilih sebagai sumber lisan merupakan penutur asli bahasa Jawa yang dalam kehidupan sehari-harinya dekat dengan dunia binatang seperti pedagang, peternak, kolektor atau penggemar binatang. Usia informan pada umumnya di atas empat puluh lima tahun. Dipilihnya informan dalam usia ini dengan pertimbangan mereka lebih menguasai seluk beluk dunia binatang dalam bahasa Jawa dibandingkan dengan penutur bahasa Jawa yang berusia muda. Ruang lingkup yang kedua yaitu ruang lingkup pembahasan. Pembahasan dalam skripsi ini berdasarkan latar belakang di atas yaitu suatu budaya merupakan sebuah hal yang sangat luas untuk dipelajari. Dalam unsur budaya Jawa terdapat hal-hal yang tersembunyi yang sangat menarik untuk diungkap, baik berdasarkan kebiasaan maupun hal-hal lain yang mendasari suatu budaya berkembang. Pembahasan yang pertama mengenai deskripsi jenis binatang dan istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa. Pembahasan yang kedua mengenai klasifikasi warna bulu binatang dalam bahasa Jawa.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam dua hal, yakni manfaat secara teoritis dan praktis. Manfaat yang pertama yaitu secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam ilmu linguistik, terutama dalam kajian
7
linguistik antropologis yang mengkaji bahasa dan budaya masyarakat Jawa, karena hubungan antara bahasa dan budaya merupakan aspek kebahasaan yang menjadi jendela untuk mengamati dan memahami budaya, kehidupan mental, dan proses keberlangsungan masyarakat tertentu, sehingga dalam penelitian yang berjudul istilah-istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa dapat mengetahui bahasa yang digunakan oleh masyarakat Jawa dengan kebudayaan suatu pemberian nama atau istilah warna bulu yang berdasarkan ciri dan tingkah laku binatang tersebut. Manfaat yang kedua yaitu secara praktis, penelitian ini juga dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat Jawa ataupun badan instansi mengenai bahasa dan budaya masyarakat Jawa yang dikaji dalam bidang ilmu linguistik antropologis, karena di Indonesia tidak banyak yang meneliti dalam bidang ini, sehingga perlu adanya pelestarian dan pengembangan bahasa dan budaya masyarakat Jawa mengenai pemberian nama atau istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa, serta penelitian ini juga memberikan informasi tentang tingkat ancaman terhadap keberlangsungan hidup bahasa dan budaya masyarakat Jawa, khususnya istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa. Diharapkan masyarakat Jawa dapat menyadari pentingnya peran mereka sebagai penentu pelestarian budaya ataupun sebaliknya.
1.6 Tinjauan Pustaka Fungsi tinjauan pustaka adalah untuk memberikan pengetahuan tambahan terhadap penelitian terdahulu yang ada hubungannya dengan penelitian warna
8
yang dilakukannya, baik dalam bentuk buku, skripsi, makalah, resensi, maupun opini. Sejauh pengamatan peneliti tidak banyak penelitian tentang warna bulu binatang dalam bahasa Jawa. Melainkan banyak yang meneliti warna dalam bahasa Indonesia ataupun dalam bahasa lainnya. Peneliti hanya menemukan beberapa penelitian yang membahas atau memberikan informasi tentang warna. Darmojuwono (1989) dalam penelitiannya yang berjudul “Klasifikasi Semantis Bidang Warna Kepada Persepsi Manusia” mengemukakan bahwa proses pembentukan konsep mendahului proses penamaan. Dapat dilihat pada responden mengelompokan kartu-kartu warna yang kemudian kartu-kartu tersebut diberi nama dengan cara membandingkan persamaan atau perbedaan antara kartu yang satu dengan kartu yang lainnya. Dalam mengelompokkan warna, warna yang secara leksikalis tidak mempunyai istilah serta tidak menjadikan dasar pengelompokan. Damarwarih (2013) dalam skripsi berjudul “Leksikon Warna dalam Bahasa Indonesia” memaparkan hasil penelitiannya yang berupa klasifikasi dan identifikasi bentuk leksikon warna berdasarkan jenis leksemnya, pemakaian warna untuk objek tertentu serta pemaparan pemakaian warna dalam idiom. Ada beberapa yang menjelaskan warna bulu binatang, yakni warna bulu ayam. Penggunaan warna-warna bulu ayam ini dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat Jawa. Kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Jawa ini tidak lain ialah senang untuk memelihara unggas atau binatang peliharaan. Binatang-binatang tersebut
9
dapat dipelihara karena daging, telur dapat dikonsumsi, sedangkan warna bulu dapat dijadikan hiasan ataupun aduan. Penelitian Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1984) mengenai istilah warna dalam bahasa Indonesia yang sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Daftar Istilah Warna. Buku tersebut berisi daftar warna dalam bahasa Indonesia yang disusun sesuai abjad. Penyusunan warna ini mengambil dari bahasa Indonesia dan mencari padanannya dengan bahasa Inggris dan bahasa Malaysia. Pola penyusunan ini menimbulkan keganjalan dalam memadankan istilah warna dalam bahasa Indonesia dengan istilah dalam bahasa Inggris. Misalnya, dalam bahasa Indonesia ada istilah merah jambu, akan tetapi padanannya dalam bahasa Inggris bukan guava red, melainkan pink. Selain itu, dalam penyusunan istilah warna terdapat beberapa kosakata berbahasa Jawa, seperti cemani, kinantan, dan deragem. Pada dasarnya kosakata tersebut berasal dari bahasa Jawa dan digunakan untuk penamaan binatang unggas, namun sering digunakan dalam bahasa Indonesia. Suhandano (2004) disertasi yang berjudul “Klasifikasi Tumbuh-tumbuhan dalam Bahasa Jawa (Sebuah Kajian Linguistik Antropologis)”. Disertasi ini membahas identifikasi dan klasifikasi tumbuh-tumbuhan dalam bahasa Jawa yang berdasarkan kelas dan kategori tumbuhan.Apabila seorang peneliti ingin mengetahui jenis tumbuhan yang terdapat di sekitar masyarakat Jawa, maka terlebih dahulu mengetahui identifiksai tumbuhan, dan kemudian diklasifikasikan atau dikelompokkan berdasarkan tumbuhannya. Seperti pada kata-kata dalam bahasa Jawa yaitu alang-alang (imperata cylindrica), krokot (partulaca aleracea),
10
měniran (phylanthus niruri), sěmanggi (hydrocotyle sibthorpyoides), těki (cyperus rotundus), dan sejenisnya. Kemudian tumbuh-tumbuhan tersebut diklasifikasikan dalam satu kelompok yang disebut sukět ‘rumput’. Beda lagi dengan tumbuhan sepertisěre (andropogon nardus), bayěm (amaranthus spinosus), kěnikir (tagetes erecta), suruh (piper betle), slendri (apium gravedens).Tumbuh-tumbuhan tersebut tidaklah dikategorikan dalam tumbuhan sukět ‘rumput’, melainkan melainkan dikategorikan sebagai wit ‘pohon’. Dapat dikatakan demikian, karena tumbuh-tumbuhan tersebut dimakan manusia, dan juga karena tumbuh-tumbuhan tersebut sudah dikenal luas dan sudah dibudidayakan oleh masyarakat. Dari beberapa penelitian yang telah dipaparkan di atas, peneliti dapat mengetahui cara mengelompokkan dan mengidentifikasikan suatu data yang telah dikumpulkan sebelumnya dan kemudian diolah menjadi suatu hal yang berbeda. Penelitian Damarwarih berjudul leksikon warna dalam bahasa Indonesia terdapat penjelasan mengenai warna bulu ayam. Tidak hanya sebatas warna bulu ayam saja, melainkan binatang-binatang lainnya pun yang dianggap masyarakat Jawa perlu dibedakan warna bulunya sesuai dengan ciri-ciri yang dimilikinya. Oleh karena itu, dalam skripsi yang berjudul isilah-istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa akan dijelaskan jenis binatang, macam-macam istilah warna bulu dalam bahasa Jawa, serta alasan atau latarbelakang pemberian istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa berdasarkan kebudayaan Jawa.
11
1.7 Landasan Teori Linguistik antropologis merupakan salah satu dari empat cabang ilmu linguistik yang berkaitan dengan bahasa dan budaya. Seperti yang dijelaskan oleh Foley (dalam Suhandano, 2004:33--34) bahwa linguistik antropologis merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas. Tujuan linguistik antropologis adalah untuk mencoba mencari makna tersembunyi yang ada dibalik pemakaian bahasa, pemakaian bentuk-bentuk bahasa yang berbeda, pemakaian register dan gaya. Linguistik antropologis itu juga merupakan disiplin interpretif (interpretive discipline) yang mengupas bahasa untuk mendapatkan pemahaman budaya. Seorang perintis studi etnolinguistik, Edward Sapir pernah mengemukakan adanya hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Salah satu pendapatnya mengatakan bahwa dalam bahasa tercermin suatu pengetahuan masyarakat bahasa tersebut mengenai lingkungannya, sehingga lingkungan yang sama pada dasarnya belum tentu dilihat secara sama oleh setiap masyarakat yang memiliki bahasa berbeda (Sapir dalam Ahimsa-Putra, 1997:4). Beberapa pendapat dari Edward Sapir kemudian dikembangkan oleh Benjamin Lee Whorf yang menurutnya cara orang memandang, memahami, dan menafsirkan berbagai gejala alam, sebenarnya sangat mempengaruhi bahasa yang digunakannya, sehingga bahasa yang dimiliki oleh suatu masyarakat tanpa disadari mempengaruhi masyarakat terhadap lingkungannya. Seperti pendapat Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorfyang telah dijelaskan tersebut dikenal dengan nama hipotesis Sapir-Whorf. Hipotesis
12
ini antara lain menyatakan bahwa bahasa membentuk persepsi manusia terhadap realitas dunia (Sampon dalam Suhandano, 2004:18). Bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Ditinjau dari pengertiannya, bahwa bahasa berperan sebagai alat komunikasi dan merupakan kebenaran yang tidak bisa disangkal lagi, selain itu sulit membayangkan batasan istilah yang memuaskan tanpa menghubungkannya dengan pengertian komunikasi (Lyons dalam Sibarani, 1992:20), sedangkan ditinjau dari sudut kebudayaan, bahasa merupakan wujud dari kebudayaan itu sendiri. Bahasa sebagai suatu wadah dan dari bahasa, kita dapat mengetahui seberapa tinggi tingkat kebudayaan suatu bangsa. Menurut Koentjaraningrat (dalam Chaer, 1995:217) menyatakan kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama berkembangnya masyarakat manusia. Istilah-istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa yang berkembang di masyarakat sesuai dengan ciri-ciri yang dimilikinya berupa warna bulu maupun bentuk fisik suatu binatang. Hal tersebut merupakan bagian dari bentuk kebudayaan yang berhubungan dengan bahasa. Seperti yang telah diungkapkan oleh Koentjaraningrat di atas bahwa kebudayaan berkembang bersama perkembangan manusia. Istilah-istilah warna bulu binatang dalam bahsa Jawa yang digunakan masyarakat Jawa dalam menentukan makna dapat dilihat dari unsur leksikon bahasanya. Bentuk leksikon warna dalam bahasa Indonesia ada dua macam, yakni leksem primer dan leksem sekunder. Seperti yang dikatakan Berlin (dalam Suhandano, 2004:54) membedakan bentuk linguistik yang digunakan untuk
13
melabeli kategori etnobiologi menjadi leksem primer dan leksem sekunder. Leksem primer adalah leksem yang berupa kata monomorfemik dan merupakan satu kesatuan semantik, sedangkan leksem sekunder berupa gabungan dua leksem atau lebih yang berbentuk leksem primer dan diikuti atribut tertentu. Warna yang termasuk leksem primer misalnya hitam, putih, biru, hijau dan sebagainya. Warna yang termasuk dalam leksem sekunder misalnya biru kehijauan, merah kekuningan dan sebagainya. Penelitian mengenai istilah-istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa menggunakan teori-teori yang sudah dijelaskan di atas, yakni warna primer atau warna dasar dan warna sekunder atau warna turunan, karena dari proses analisisdapat diketahui dan dipahami latar belakang suatu pemberian istilah warna bulu baru di tengah-tengah budaya masyarakat Jawa. Budaya tersebut berkembang seiring dengan berkembangnya unsur-unsur warna baru yang terbentuk dari hasil persilangan warna dasar binatang dengan warna dasar maupun warna sekunder dari binatang yang lain pula. Sebuah pendapat dari Rouffaer dan Juynboll yang mempelajari tentang rasa warna (sense of color) orang-orang Indonesia di Pulau Jawa, ia mengatakan bahwa sebenarnya orang-orang Jawa telah cukup kaya pengetahuan warnanya dan boleh dikatakan asli (Darmaprawira, 2002:159). Pengarang Belanda tersebut menyatakan kekagumannya atas pengetahuan masyarakat Jawa terhadap warna yang telah ada sejak lama di lingkungan kehidupan masyarakat Jawa. Istilah-istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa yang lahir di kebudayaan Jawa tidak hanya dilihat dari sisi warna bulu, tetapi juga dilihat dari
14
unsur pendukung yang dimiliki binatang tersebut. Selain sebagai ciri pembeda, juga terdapat unsur magis yang dipercaya masyarakat Jawa dari berbagai istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa. Dengan cara melihat ciri warna bulu, masyarakat Jawa terbiasa menyamakan warna bulu tersebut dengan lingkungan di sekitarnya, sehingga terbentuk suatu leksikon warna bulu yang disamakan dengan benda lain. Seperti klawu berasal dari kata awu yang berarti abu, seperti yang kita ketahui kata awu identik dengan warna abu-abu, dengan melihat unsur leksikon yang terdapat dalam istilah warna bulu berdasarkan masyarakat Jawa tersebut dapat diketahui latarbelakang lahirnya istilah warna bulu di tengah-tengah masyarakat Jawa.
1.8 Metode Penelitian Tahap-tahap penelitian terbagi menjadi tiga, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan pemaparan hasil analisis data (Sudaryanto, 1993). Tahap pertama yaitu pengumpulan data.Tahap ini merupakan tahap pencarian data istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa dengan mengumpulkan dan menelusuri kosakata atau leksikon dari sumber tulis dan sumber lisan. Kedua sumber tersebut dapat dilihat dalam ruang lingkup penelitian (hal 5--6). Metode yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah metode simak dengan teknik catat, metode cakap dengan teknik cakap bertemu muka, serta menggunakan teknik rekam dan teknik catat (Mastoyo, 2007:41--45), sedangkan teknik pengumpulan data foto istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa dengan metode cakap bertemu muka dengan menggunakan teknik pemotretan, teknik rekam dan teknik
15
catat, serta metode penelusuran web dengan teknik catat. Pengumpulan data dengan merekam dan mencatat istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa menggunakan unsur warna dalam Baoesastra Djawa, dan sumber yang sudah disebutkan sebelumnya dengan transkripsi ortografis. Tahap kedua, yaitu tahap analisis data. Pada tahap analisis data, metode yang akan digunakan adalah metode padan, yakni metode analisis data yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13), lebih tepatnya dengan metode padan referensial. Teknik yang digunakan dalam metode ini adalah teknik analisis komponen. Data yang diperoleh diklasifikasikan dan dicatat dalam kartu data. Setelah diklasifikasikan, istilah warna bulu dianalisis berdasarkan jenis binatangnya, dan makna atau mitos yang terkandung di dalam penyebutaan istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa. Tahap ketiga yaitu tahap pemaparan hasil analisis data. Hasil analisis data dalam penelitian ini akan dipaparkan dengan metode informal dan formal. Pemaparan dengan metode informal, yaitu perumusan dengan kata-kata biasa, sedangkan metode formal yaitu perumusan dengan tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993:145). Pada skripsi ini menggunakan metode formal, yaitu metode dengan menggunakan menyajikan data berupa tabel. Hasil analisi data disajikan dalam beberapa bab.
16
1.9 Sistematika Penulisan Penulisan karya ilmiah ini dibagi menjadi empat bab. Bab I adalah pendahuluan yang terdiri atas beberapa subbab, subbab yang pertama membahas tentang latar belakang, subbab kedua berisi rumusan masalah, subbab ketiga adalah tujuan penelitian, subbab keempat adalah ruang lingkup penelitian, subbab kelima adalah manfaat penelitian, subbab keenam adalah tinjauan pustaka, subbab ketujuh adalah landasan teori, subbab kedelapanadalah metode penelitian, dan subbab terakhir dalam bab I pendahuluan adalah sistematika penulisan. Bab II dibicarakanmengenai berbagai jenis binatang besertamacam-macam istilah warna bulu binatang dalam bahasa Jawa. Bab III dijelaskan mengenai klasifikasi warna bulu binatang dalam bahasa Jawa. Klasifikasi tersebut dibagi dalam empat subbab, yaitu subbab yang pertama membahas tentang klasifikasi warna bulu binatang berdasarkan jenis leksikon, subbab kedua berisi klasifikasi warna bulu binatang berdasarkan kesamaan penyebutan terhadap benda lain,subbab ketiga adalah klasifikasi warna bulu binatang berdasarkan atas manfaat, dan subbab keempat adalah klasifikasi warna bulu binatang berdasarkan ciri-ciri pendukung yang dimiliki binatang.