BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang KASKUS adalah salah satu forum yang sering dikunjungi pengguna internet di Indonesia. KASKUS didirikan pada tanggal 6 November 1999 oleh tiga pemuda, Andrew
Darwis
dan
kedua
kawannya,
Budi,
dan
Ronald
(https://www.maxmanroe.com/andrew-darwis-pemilik-forum-terbesar-di-indonesiakaskus-co-id.html diakses pada 22 Oktober 2015). Awalnya situs ini berisi berita-berita Indonesia yang diterjemahkan. Tidak lama, KASKUS berubah menjadi situs yang berupa forum berbagi media dan pendapat serta jual beli. KASKUS berada di peringkat 8
situs
yang
sering
dikunjungi
di
Indonesia
pada
tahun
2014
(alexa.com/siteinfo/kaskus.co.id diakses pada 28 Oktober 2014). KASKUS diklaim mampu menyediakan tempat yang bebas berpendapat bagi sekitar 6,5 juta identitas virtual yang terdaftar di situs ini (support. kaskus.co.id/ about/sejarah_ kaskus.html diakses pada 28 Oktober 2014).
KASKUS
menyediakan
berbagai
ruang
berinteraksi
bagi
pengguna-
penggunanya. Pengguna bisa memulai berbagai tema pembicaraan yang bisa dilihat dan ditanggapi pengguna lain. KASKUS menyediakan ruang-ruang tematik bagi pengguna untuk berinteraksi. Berbagai ruang ini dibagi dalam KASKUS menjadi forum dan subforum. Salah satu subforum yang sering dikunjungi adalah subforum Soccer atau sepakbola.
1
Di subforum Soccer ini, pengguna bisa berbagi informasi mengenai sepakbola. Saat ini, trit1 yang paling banyak diminati adalah ruang berinteraksi fans tim sepakbola tertentu. Setiap trit ini merupakan tempat berkumpul fans club atau tim nasional sepakbola. Kita bisa menjumpai trit fans club Eropa terkenal seperti Real Madrid atau Manchester United, sampai negara kecil seperti Samoa Amerika. Aktivitas di setiap trit ini cukup tinggi. Trit fans Manchester United misalnya telah dikunjungi sebanyak 440.881 kali dan berisi 5.842 interaksi pengguna di dalamnya sepanjang tahun 2014 (kaskus.co.id/forum/104/soccer-amp-futsal-room diakses pada 28 Oktober 2014). Semua aktivitas ini diawasi oleh moderator, pengguna yang ditunjuk KASKUS yang memiliki hak dan kewajiban khusus.2 Semua trit ini menampung berbagai bentuk fanatisme terhadap tim sepakbola tertentu. Fanatisme adalah berbagai aksi-aksi yang menggambarkan suatu ekstasi, eforia, atau kebanggaan terhadap sesuatu (King, 1997, dalam Derbaix dkk., 2014). Menurut Crawford (2004: 3), seorang fan merupakan individu yang terobsesi dan memiliki minat yang berlebih terhadap sebuah tim, selebriti, atau musisi. Seorang fan sepakbola dalam praktiknya menunjukkan dukungan terhadap sebuah tim dan mengharapkan timnya tersebut menang. Salah satu bentuk fanatisme dalam ruang siber adalah flaming.
Gambar 1.1. Contoh Praktik Flaming di KASKUS
1
Adaptasi dari kata thread, sebuah ruang tema pembicaraan yang dibuat pengguna dan bisa diakses serta ditanggapi oleh pengguna lain. 2 Moderator mengawasi aktivitas pengguna di forum. Moderator membuat peraturan dan menerima laporan pelanggaran. Moderator bisa memberikan sanksi kepada pengguna seperti banned ID.
2
Flaming adalah berbagai teks yang mengandung hinaan, umpatan, atau penggunaan semacamnya dengan bahasa yang kasar (Moor dkk., 2010, dalam Elliot, 2014: 5). Flaming dalam bingkai fanatisme adalah posting yang dilakukan pengguna yang isinya menyerang dan menyinggung fans, pemain, pelatih, atau klub tertentu. Aktivitas ini bisa dilakukan di trit fans klub yang ingin diserang. Praktik flaming antara lain dalam bentuk kata-kata, penggunaan emot icon, atau dengan gambar. Contoh praktik flaming di KASKUS bisa dilihat di Gambar 1.1. Praktik flaming di gambar itu dibuat oleh seorang pengguna dalam subforum Soccer yang ditujukan kepada klub Manchester United. Sedangkan di Gambar 1.2 merupakan contoh praktik saling berbalas flaming yang dilakukan pengguna di KASKUS. Gambar itu menunjukkan posting saling berbalas flaming antara pendukung AC Milan dan Juventus.
Gambar 1.2. Contoh Posting Saling Berbalas Flaming di KASKUS Flamer bisa menerima sanksi jika melakukan flaming di trit fans tertentu. Flamer akan diberi sanksi oleh KASKUS (http://www.kaskus.co.id/ /53af7c05529a45c5 0f8b4675/general-rules-laporan-approval-thread-soccer-room/ diakses pada 28 Oktober 2014). Sanksi yang bisa diterima adalah pemberian bata oleh pengguna lain atau banned 3
id pengguna oleh moderator. Pemberian bata merupakan penanda citra buruk bagi pengguna yang bersangkutan, sedangkan dengan menerima banned maka id pengguna tersebut dimatikan oleh moderator. Id pengguna yang telah terkena banned tidak bisa lagi menggunakan id tersebut untuk beraktivitas. Banned bisa diberikan dalam jangka waktu tertentu atau selamanya. Banned bisa diberikan karena kebijakan langsung dari moderator atau laporan pengguna lain, terutama TS (Thread Starter). Selain sanksi di atas, posting yang dikategorikan flaming juga bisa dihapus oleh TS atau moderator. Aktivitas flaming ini ternyata diwadahi oleh KASKUS dengan kemunculan trit Spectre. Spectre merupakan salah satu trit di subforum Soccer yang dibuat oleh moderator KASKUS. Dibuat sejak tahun 2005, trit ini bertujuan agar tidak ada lagi anggota KASKUS yang membuat rusuh (flaming) di berbagai trit di ruang sepak bola KASKUS atau membuat trit khusus yang dimaksudkan menghina pemain, pelatih, atau klub. Adanya Spectre ini juga bertujuan agar tidak ada lagi orang yang membuat identitas
khusus
hanya
untuk
memancing
keributan
(http://www.kaskus.co.id/thread/54ce2861582b2e2f7c8b456b/ spectre-soccer- room2014-2015------part-2/ diakses pada 28 Oktober 2014). Spectre menjadi sebuah ruang khusus fanatisme dalam bentuk flaming oleh pengguna yang disediakan oleh KASKUS. Walau menampung praktik flaming, Spectre juga memiliki netiquette. Netiquette adalah aturan-aturan berkomunikasi yang ada di ruang siber. Aturan yang biasa dalam netiquette adalah mengatur bahasa yang sopan, mengatur jumlah posting, hingga mengatur perilaku pengguna baru (McLaughlin, Osborne, dan Smith, 1995, dalam Bell, 2004: 114). Salah satu cara mengatur perilaku pengguna dalam Spectre adalah mengharuskan pengguna yang ingin posting di Spectre untuk sudah ISO (kaskus.co.id/post/ 5241afbffbca17927e000006 diakses pada 28 Oktober 2014). Istilah ISO diambil dari International Standart Organisation, yang menunjukkan standar 4
internasional tertentu. ISO adalah istilah yang menunjukkan pengguna sudah posting di KASKUS sebanyak minimal 2.000 posts. Dengan ini maka pengguna telah memiliki reputasi khusus di KASKUS. Raihan reputasi ini dimaksudkan agar pengguna tidak membuat id hanya untuk flaming. Selain itu, dengan id yang telah ISO maka pengguna akan lebih khawatir jika diberi sanksi. Posting sebanyak 2.000 posts tidak mudah dan perlu waktu dan usaha. Jika id ISO tersebut diberi sanksi banned permanen, maka pengguna harus membuat id baru dan membuat posting sebanyak 2.000 posts agar bisa posting di Spectre lagi. Beberapa netiquette lain bisa kita lihat di Gambar 1.3. Spectre melarang penggunanya untuk posting yang menghina SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Pengguna juga dilarang menghina pengguna lain secara langsung secara personal. Contoh dari hal personal ini adalah menghina orangtua atau keluarga pengguna.
Gambar 1.3. Contoh Beberapa Netiquette di Spectre
5
Peraturan lain adalah larangan untuk menghina unsur suporter tim yang ada di KASKUS. Peraturan-peraturan ini mengikat aktivitas pengguna dengan adanya sanksi, termasuk banned id pengguna. moderator KASKUS menjadi pengawas dalam setiap aktivitas di Spectre. Pelanggaran juga bisa diketahui setelah ada laporan sesama pengguna. Jadi flaming di Spectre KASKUS tidak sepenuhnya bebas. Ada peraturan yang dibuat subyek-subyek tertentu, dengan tujuan tertentu. Jika pengguna posting di Spectre namun belum ISO, maka biasanya pengguna lain akan mengingatkan dan post pengguna tersebut di Spectre akan dihapus. Sedangkan jika pengguna menghina dengan menggunakan unsur SARA atau menghina secara personal kepada pengguna lain juga akan diingatkan pengguna lain untuk diedit. Ketika posting ini tidak diedit setelah diingatkan maka pengguna bisa diberi sanksi banned id permanen. Gambar 1.4 menjelaskan kejadian ketika salah satu pengguna dikenai sanksi banned id permanen oleh moderator karena melanggar netiquette yang disepakati di Spectre KASKUS. Dijelaskan di gambar itu bahwa salah seorang pengguna melakuksn personal insult kepada pengguna lain. Karena tidak mengubah isi posting setelah diperingatkan pengguna lain, maka pengguna itu dikenai sanksi banned id permanen.
Gambar 1.4. Contoh Pemberian Sanksi di Spectre Sebagai sebuah aktivitas yang melanggar peraturan trit fans, maka flaming termasuk sebuah praktik yang melanggar netiquette di subforum Soccer. Namun
6
KASKUS memilih untuk mewadahi aktivitas ini dengan membuat trit khusus. Spectre juga akhirnya menjadi salah satu trit yang sering dikunjungi.3 Bahkan KASKUS memasang trit ini dalam kategori sticky, alias selalu berada di bagian atas di halaman pertama subforum Soccer (kaskus.co.id/forum/104/soccer-amp-futsal-room diakses pada 28 Oktober 2014). Aktivitas yang semestinya dilarang, karena melanggar etiket trit fans,
ternyata diwadahi oleh KASKUS. Sebagai aktvitas yang melanggar netiquette, ternyata praktik ini digemari pengguna. Fakta ini jika melihat berkembangnya trit Spectre KASKUS hingga mencapai beberapa part setiap musim sepakbola. Pengguna bisa memproduksi bentuk flaming, dan juga mengkonsumsinya, di Spectre dengan bebas tanpa khawatir disanksi. Namun Spectre juga memiliki netiquette tersendiri, berbeda dengan netiquette subforum Soccer, yang memengaruhi praktik produksi dan konsumsi flaming. Aktivitas flaming semakin banyak jika ada tim besar kalah. Fans rival akan melakukan flaming, baik di Spectre atau trit fans. Jadi peneliti juga akan mengkaji bagaimana praktik produksi dan konsumsi flaming di Spectre oleh fans saat menyikapi kekalahan dan kemenangan. Praktik flaming juga akan sering terjadi jika salah satu pengguna blunder. Salah satu kategori blunder dalam Spectre adalah dengan posting berisi hinaan atas suatu hal namun bertentangan dengan realitas. Contoh dari praktik ini bisa kita lihat di Gambar 1.5. Salah satu pengguna posting menjelaskan bahwa ibukota Italia adalah Milan. Karena kesalahannya ini, maka dia disindir dan dicela oleh pengguna-pengguna lain di Spectre. Jika melakukan blunder, memang pengguna akan disindir dan dicela oleh pengguna lain. Pengguna juga akan dicela oleh pengguna lain jika menetapkan aturan yang menguntungkan klub yang didukung namun tidak 3
http://www.kaskus.co.id/forum/104/soccer-amp-futsal-room, hanya dua belas hari setelah dimulainya trit terbaru, Spectre sudah dikunjungi 42.767 pengguna dan ada 1.106 posting. Data diambil pada tanggal 28 Oktober 2014 pukul 21.06. Trit Spectre part terbaru dimulai pada tanggal 17 Oktober 2014.
7
disepakati atau tidak disukai oleh pengguna lain. Contoh dari kasus ini adalah ketika pengguna membatasi perbandingan prestasi klub pada era tertentu saja. Pembatasan ini akan terlihat menguntungkan klub yang didukung karena prestasinya lebih banyak pada era tersebut. Perilaku semacam ini juga seringkali akan disindir dan dicela oleh pengguna lain.
Gambar 1.5. Daftar Beberapa Praktik Blunder yang Dilakukan Pengguna di Spectre Pendukung suatu klub biasanya posting di Spectre ketika timnya menang atau tim rival kalah. Jika tim yang didukung kalah, maka pengguna biasanya tidak akan posting di Spectre sesering jika timnya menang. Pengguna juga akan lebih sering posting di trit ini jika ada pengguna lain yang blunder. Spectre menjadi ruang pertarungan fanatisme antara pendukung berbagai macam klub. Pengguna-pengguna yang mendukung klub-klub tertentu ini mempraktikkan fanatisme dalam bentuk flaming. Pengguna tidak hanya memproduksi flaming untuk melampiaskan fanatisme namun juga mengkonsumsi flaming ketika tim yang didukung diserang oleh pengguna lain, atau dalam kata lain merupakan prosumption (production-consumption). Ciri khas prosumption flaming ini dipengaruhi oleh netiquette dan sanksi. Karakter ruang Spectre 8
berpengaruh pada pemaknaan pengguna terhadap praktik flaming. Adanya netiquette dan sanksi membuat praktik produksi dan konsumsi flaming dalam trit ini memiliki ciri sendiri yang menarik untuk dikaji. Jadi saat fanatisme tidak cukup hanya lewat dukungan, maka Spectre menjadi ruang khusus pertarungan dan pergaulan fans virtual lewat praktik produksi dan konsumsi flaming. 1.2. Rumusan Masalah Spectre merupakan ruang khusus praktik flaming dalam subforum Soccer KASKUS. Peneliti melihat ada beberapa faktor yang terkait dengan konstruksi flaming di Spectre. Praktik flaming yang dilarang di trit lain diwadahi di Spectre, dengan batasan-batasan tertentu. Selain itu, flaming di Spectre dikaitkan dengan konsep budaya fanatisme sepakbola. Dari permasalah itu, peneliti merumuskan dua pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Bagaimana praktik produksi dan konsumsi flaming dalam trit Spectre KASKUS? 2. Mengapa pengguna memproduksi dan mengkonsumsi flaming dalam trit Spectre KASKUS? 1.3. Tujuan Penelitian Praktik produksi dan konsumsi flaming di Spectre memiliki ciri tertentu yang menarik. Flaming dipraktikkan pengguna, tidak hanya ketika mereka memproduksi namun juga saat mengkonsumsi, atau disebut juga sebagai prosumption. Peneliti akan mengkaji praktik prosumption flaming dalam bingkai fanatisme sepakbola di Spectre. Dari prosumption flaming ini, peneliti akan mengkaji konstruksi fanatisme baru di Spectre. Konstruksi praktik flaming di Spectre juga terkait netiquette. Peneliti akan mengkaji bagaimana kaitan netiquette dengan konstruksi fanatisme di Spectre.
9
Selanjutnya, peneliti akan mengkaji kaitan netiquette dengan bentuk praktik produksi dan konsumsi fanatisme dalam bentuk flaming di Spectre. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Memberikan kajian kritis seputar praktik produksi dan konsumsi flaming dalam bingkai fanatisme. 2. Memberikan
sumbangan
akademis
mengenai
netiquette
virtual
dan
hubungannya dengan praktik flaming. 3. Memberikan sumbangan pengalaman akademis mengenai penelitian etnografi virtual. 1.5. Batasan Penelitian Penelitian dilakukan sepenuhnya di ruang siber khususnya KASKUS. Peneliti akan mencari data lewat dan dari ruang siber. Data yang diambil dibatasi pada aktivitas pengguna di Spectre. Data pendukung juga akan dicari dari berbagi posting pengguna di KASKUS yang terkait dengan tujuan penelitian. Peneliti fokus pada pengalaman pengguna dalam memproduksi dan mengkonsumsi flaming di Spectre. 1.6. Tinjauan Pustaka Kajian peneliti kali ini lebih memfokuskan pada praktik produksi dan konsumsi flaming dalam bingkai fanatisme pendukung sepakbola di ruang siber. Kajian mengenai praktik agresif fanatisme pendukung sepakbola sudah banyak. Penelitian Suryanto dan Djamaluddin Ancok (1997) yang berjudul Agresi Penonton Sepakbola membahas hubungan perilaku agresif penonton sepakbola yang dengan fanatisme, rangsang situasional, dan frustasi. Penelitian ini menggunakan sampel berbagai foto dalam 27 pertandingan sepakbola di Surabaya. Foto-foto ini kemudian diperlihatkan kepada dua orang. Dua orang ini melihat dan menilai foto-foto tersebut. Sebelumnya, mereka akan 10
diberi pelatihan seputar observasi ini. Setelah itu, peneliti membandingkan hasil penilaian dari dua orang ini. Hasil penelitian ini adalah terbukti jika perilaku agresif penonton sepakbola dipengaruhi fanatisme, rangsang situasional, dan frustasi. Penelitian ini tidak melihat secara lebih jauh mengenai alasan terjadinya pengaruh fanatisme, rangsang situasional, dan frustasi terhadap perilaku agresif. Kajian mengenai pelaku praktik agresif juga kurang didalami oleh Suryanto dan Ancok. Pemaknaan perilaku agresif dari pelaku sangat penting untuk melihat alasan-alasan khusus praktik tersebut tetap dilakukan. Pemahaman dari sudut pandang pelaku juga berguna untuk menangkap hal-hal tertentu yang tidak dipahami oleh orang yang bukan pelaku. Selain itu, perlu dilihat juga bagaimana pendukung sepakbola tertentu mengkonsumsi praktik agresif fanatisme dari lawan. Subyek juga diposisikan secara pasif sehingga tidak bisa menjelaskan alasan-alasan melakukan suatu bentuk fanatisme tertentu. Penelitian Mohammad Mahdi Rahmati dan Omid Momtaz (2013) yang berjudul Does Frustration Cause Aggression? Case Study: Soccer Fans in Iran melihat hubungan perilaku agresif fanatisme dan frustasi. Rahmati dan Momtaz menggunakan metode yang lebih kompleks. Penelitian ini memakai observasi, studi lapangan, dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data-datanya. Metode ini memungkinkan peneliti lebih memahami subyek penelitian. Subyek penelitian ini adalah 284 pendukung sepakbola dari dua klub Iran, Persepolis dan Esteqlal. Hasil penelitian ini adalah rasa frustasi menjadi salah satu penyebab perilaku agresif pendukung sepakbola, walau tidak selalu menjadi penentu utama. Kekalahan yang diderita tim atau kekecewaan terhadap wasit misalnya, tidak langsung mengarahkan penonton untuk berperilaku agresif.
11
Metode ini memang cukup bisa memperoleh data yang mendalam dari subyek penelitian. Subyek penelitian diposisikan secara aktif untuk menyuarakan alasan melakukan fanatisme tertentu. Walau begitu, penelitian ini kurang mengkaji konstruksi motivasi pendukung mempraktikkan bentuk fanatisme tertentu. Metode yang digunakan juga akan sulit dipakai untuk melihat rekam jejak fanatisme dari subyek penelitian. Rekam jejak ini perlu dipakai sebagai pembanding dari data yang diperoleh lewat wawancara dan studi lapangan. Rekam jejak subyek penelitian memang lebih mudah dilihat di penelitian ruang siber. Lewat fasilitas teknologi, peneliti bisa lebih mudah menelusuri berbagai aktivitas pengguna di ruang siber. Penelitian mengenai pendukung sepakbola di ruang siber pernah dilakukan oleh Maria Iliycheva (2005) yang berjudul Faithful Until Death: Sports Fans and Nationalist Discourse in Bulgarian Internet Forums. Iliycheva melihat fanatisme pendukung sepakbola yang dipertahankan mati-matian dalam ruang siber di Bulgaria. Iliycheva memfokuskan penelitian praktik agresif di ruang siber dalam bingkai nasionalisme Bulgaria dan unsur historisnya. Penelitian ini menganalisis berbagai teks yang diproduksi pengguna di ruang siber untuk memahami wacana seputar fanatisme. Ilyicheva memfokuskan penelitian pada bahasa yang digunakan oleh pendukung sepakbola di ruang siber. Selain itu, peneliti juga membahas masalah identitas pengguna yang menunjukkan nasionalisme. Penelitian ini juga melakukan wawancara kepada pendukung sepakbola di ruang siber untuk memahami sisi emosional subyek-subtek yang terkait dengan penelitin. Iliycheva mengamati berbagai perilaku pengguna di ruang siber yang berhubungan dengan penelitian. Iliycheva juga menelusuri berbagai posting pengguna. Berbagai posting ini bisa dipakai sebagai data rekam jejak pengguna dan merupakan bahan pembanding saat melakukan wawancara dengan pengguna. Peneliti juga melihat 12
karakter situs yang diteliti. Karakter seperti peraturan dan fasilitas memungkinkan bentuk-bentuk posting tertentu. Dengan pembatasan tema nasionalisme, maka penelitian ini tidak melihat kemungkinan lain dalam praktik produksi dan konsumsi. Iliycheva juga tidak menganalisis lebih dalam kemungkinan pemenuhan kesenangan dalam praktik dukungan agresif di ruang siber. Selain itu, peneliti juga tidak mengkaji terbentuknya netiquette dalam ruang siber yang dihubungkan dengan praktik agresif. Netiquette dalam ruang siber sangat penting dalam terbentuknya konstruksi praktik agresif pengguna. Thomas Peter Elliot (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Flaming and Gaming: Computer-mediated-communication and Toxic Disinhibition berusaha melihat pengaruh karakter ruang terhadap perilaku agresif pengguna. Elliot melihat perilaku flaming yang dilakukan oleh gamer lewat komunikasi yang termediasi komputer. Penelitian ini menggunakan survei untuk mengukur pendapat pastisipan. Selain lewat ukuran, penelitian ini juga memakai batasan-batasan tertentu untuk memperoleh hasil penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku flaming oleh gamer ruang siber lebih diterima. Tidak hanya dipandang sebagai perilaku yang mengganggu, ada juga pengguna yang melihat flaming sebagai perilaku yang menarik. Penelitian ini melihat penerimaan perilaku ini dikarenakan karakter lingkungan online-gaming yang lebih kompetitif sehingga merangsang perilaku produksi dan konsumsi flaming. Elliot melihat adanya pengaruh netiquette terhadap perilaku flaming tertentu. Namun peneliti tidak mengkaji mengenai bagaimana netiquette ini berpengaruh pada karakteristik dan konstruksi praktik flaming. Penelitian ini juga tidak menganalisis saat meningkatnya frekuensi praktik flaming dan apa saja penyebabnya.
13
Dengan batasan jawaban penelitian, maka Elliot juga tidak mengkaji lebih dalam mengenai alasan dan motivasi pengguna melakukan flaming. Motivasi ini akan berpengaruh pada bentuk flaming yang dipraktikkan pengguna. Praktik flaming memang ada beberapa jenis. Pembagian bentuk praktik flaming dilakukan oleh Ankush Bansal dkk. (2014) dalam Classification of Flames in Computer Mediated Communications. Penelitian ini memperoleh data dari berbagai literatur dan praktik flaming di ruang siber. Namun peneliti tidak menjelaskan batasan atau rincian mengenai obyek penelitian. Berdasarkan isi pesan, Bansal dkk. membagi tipe flaming menjadi flaming secara langsung atau flaming tidak langsung. Sedangkan dari gaya penggunaan bahasa, flaming dibagi menjadi flaming secara lugas dan flaming yang berupa sindiran. Peneliti melihat bahwa flaming secara langsung dan lugas biasanya terjadi di ruang siber yang tidak memerlukan identitas tetap pengguna. Hal ini membuat pengguna tidak merasa khawatir atas sanksi dari pengelola situs atau pengguna lain. Praktik flaming secara tidak langsung dan berbentuk sindiran akan lebih sering dilakukan jika ruang siber melibatkan identitas nyata pengguna atau identitas virtual pengguna yang dianggap penting. Pembagian flaming ini menjadi lebih rumit jika melihat karakteristik flaming dalam Spectre, yang memiliki identitas dan peraturan khas. Pengguna di Spectre disyaratkan telah mencapai identitas virtual tertentu yang tidak mudah diperoleh. Netiquette di Spectre juga membentuk praktik flaming tertentu yang tidak bisa dengan mudah dimasukkan dalam kategori tertentu di penelitian ini. Kesulitan ini terjadi saat peneliti membandingkan pemaknaan praktik produksi dan konsumsi flaming yang dilakukan pengguna. Dengan bertujuan hanya mengklasifikasi, penelitian ini tidak menganalisis lebih jauh apa saja penyebab dan motivasi pengguna memilih praktik flaming dalam bentuk tertentu. Penjelasan klasifikasi flaming ini akan menjadi lebih 14
menarik jika dihubungkan dengan bagaimana pengguna mengkonsumsi masing-masing kategori flaming tersebut. Tidak hanya produksi flaming, peneliti ini juga perlu memperhatikan praktik konsumsi flaming di Spectre. Fokus ini sangat penting karena pengguna bisa mengkonsumsi flaming tanpa memproduksi flaming. Melihat hal di atas, maka penelitian mengenai praktik flaming juga akan memperhatikan netiquette dan konsumsi flaming. Peneliti tidak hanya mengkaji pengaruh netiquette, namun juga perlu mengkaji bagaimana netiquette itu disusun dan disepakati. Selain itu, penelitian ini juga akan mengkaji lebih dalam pengalaman pengguna. Pengguna akan dilihat sebagai subyek aktif dalam melakukan berbagai tindakannya. Karena itu, wawancara yang dilakukan akan lebih dalam agar bisa menggali pengalaman pengguna tentang produksi dan konsumsi flaming. Penelitian ini akan menjadikan pengalaman peneliti selama di ruang siber sebagai arahan ketika melakukan wawancara dengan pengguna lain. Cara ini mengharuskan peneliti tidak hanya sebagai pengamat namun juga sebagai subyek aktif dalam produksi dan konsumsi flaming. Dengan cara ini, maka peneliti bisa memahami dan mengkaji lebih dalam mengenai motivasi pengguna dalam memproduksi dan mengkonsumsi flaming di ruang siber. 1.7. Landasan Teori 1.7.1. Praktik Ruang Siber dan Netiquette Ruang siber merupakan sebuah teknologi yang memfasilitasi citraan dan ide. Sebagai sebuah teknologi, ruang siber sendiri merupakan produk budaya sekaligus faktor yang mempengaruhi budaya (Bell, 2001: 2). Sedangkan menurut Michael Benedikt, ruang siber merupakan dunia baru yang dimungkinkan oleh adanya teknologi
15
komunikasi dan jaringan komputer (Bell, 2001: 7). Ruang siber merupakan ruang yang memungkinkan cara pergaulan-pergaulan baru dengan menggunakan fasilitas teknologi. Cara-cara baru ini tidak selalu terlepas dari praktik budaya offline sebelum adanya teknologi pembentuk ruang siber. Praktik budaya ruang siber tidak begitu saja lepas dari praktik lama kehidupan sehari-hari. Misalnya kebiasaan membaca koran diganti dengan membaca situs berita di ruang siber. Seringkali budaya di ruang siber merupakan cara baru dalam mempraktik budaya sehari-hari di luar ruang siber. Teknologi dan fasilitas di ruang siber menyajikan kemungkinan pemenuhan praktik budaya lama dengan cara yang baru. Teknologi tidak serta merta membuat pengguna mempraktikkan budaya baru. Namun pengguna juga tidak menggunakan teknologi di ruang siber secara otonom dan mandiri tanpa pengaruh dari teknologi itu sendiri atau dari orang lain. Hal ini sesuai dengan cara pandang mengenai ruang siber, yaitu social construction of technology (SCOT) dan critical theory of technology. Seperti dijelaskan dalam Bell (2001: 67), cara pandang SCOT melihat teknologi ruang siber bisa dipraktikkan secara berbeda oleh pengguna yang berbeda. Perbedaan ini bisa dikarenakan konstruksi nilai dan budaya atau cara bagaimana pengguna itu mempelajari teknologi ruang siber untuk pertama kalinya. Misalnya ada pengguna yang memakai teknologi ruang siber hanya sebagai fasilitas untuk berkomunikasi dengan orang lain. Padahal fasilitas yang disediakan oleh teknologi ruang siber memungkinkan lebih daripada hanya aktivitas komunikasi dengan orang lain. SCOT memandang teknologi akan berpengaruh pada perilaku manusia, namun konstruksi budaya manusia juga berpengaruh pada cara dia menggunakan teknologi tersebut. Cara pandang critical theory of technology lebih jauh lagi dalam melihat budaya ruang siber. Teknologi internet bisa dipakai oleh pihak tertentu untuk menciptakan dan melanggengkan suatu dominasi. Namun di sisi lain teknologi internet juga bisa dipakai untuk mendestabilisasi 16
nilai tertentu (Bakardjieva, 2005: 17). Teknologi internet memungkinkan pengguna untuk menciptakan dan melanggengkan suatu hal. Hal ini bisa dipengaruhi oleh kepentingan politik atau ekonomi. Misalnya adalah teknologi unduh lagu secara online yang membuka peluang pemasukan ekonomi baru bagi musisi. Salah satu contoh lain dari penggunaan teknologi ruang siber adalah konstruksi identitas. Identitas seseorang di dunia nyata sendiri merupakan dampak dari konstruksi sosial (Bell, 2001: 115). Identitas akan dibentuk dan membentuk struktur sosial (Berger dan Luckmann, 1991: 194-195). Ruang siber akan menawarkan peluang sekaligus kompleksitas dalam memahami konstruksi identitas. Fasilitas yang dimiliki ruang siber memungkinkan seseorang menampilkan identitas yang lebih fleksibel dan rumit. Identitas seseorang bahkan bisa menjadi anonim. Identitas dalam kondisi ini benarbenar terpisah dan tidak bisa dirujuk kepada siapa identitas itu dimiliki. Identitas pengguna tidak hanya tunggal, namun juga bisa beragam. Identitas ini bisa membentuk suatu hierarki visual, yang bisa berhubungan atau tidak berhubungan dengan hierarki offline. Pengguna bisa melanggengkan hierarki offline atau menyusun ulang hierarki offline untuk kemudian diberlakukan dalam ruang siber. Pengguna bisa mengubah jenis kelamin atau menjadi hewan peliharaan di ruang siber. Pengguna bisa juga menjadi identitas yang disegani pengguna di ruang siber karena memiliki kemampuan yang tidak dihargai di ruang offline. Kita bisa menempatkan suatu keahlian yang tidak dihargai di ruang offline menjadi sesuatu yang berharga di ruang siber tertentu. Misalnya adalah keahlian dalam mencuri software atau film. Teknologi ruang siber memungkinkan konstruksi sosial yang berbeda sama sekali dibandingkan dengan di ruang offline.
17
Konstruksi ini semakin terlihat dalam era web 2.0. Web 2.0 merupakan media internet yang mendukung fasilitas riber berupa jaringan sosial, pembentukan komunitas online, produksi dan berbagi informasi bersama, produksi konten dari pengguna, difusi, dan konsumsi (Fuchs dkk., 2012: 3). Web 2.0 mampu menghubungkan berbagai pengguna di seluruh penjuru dunia dengan lebih mudah dan massal. Contoh dari web 2.0 ini adalah media sosial dan forum-forum di internet. Web 2.0 memungkinkan pengguna memproduksi dan mengkonsumsi konten secara lebih mudah, dengan fasilitas dan teknologi yang ada. Para pengguna ini juga bisa saling berinteraksi dalam sebuah ruang siber dengan memproduksi konten yang lebih bebas dan beragam. Hal ini membuat ruang siber berisi banyak macam bentuk produksi konten dari berbagai karakter pengguna. Pengguna-pengguna ini juga mengkonsumsi konten secara beragam, yang menghasilkan relasi yang beragam pula. Karakter pergaulan dan konstruksi di sebuah situs ruang siber juga bisa berbeda dengan situs lainnya. Karena itu masing-masing situs ruang siber seringkali memiliki aturan sendiri-sendiri. Dalam ruang siber kita mengenal istilah netiquette. Netiquette adalah aturan-aturan berkomunikasi yang ada di ruang siber. Salah satu pengertian netiquette adalah: Netiquette is a set of commonly agreed standards of conduct, or rules of communication, that operate within domains of cyberspace. Netiquette represents an attempt to lay down loose „rules‟ governing behaviour, and these are necessarily evolving as cyberspace itself evolves. Often policed informally from within the particular virtual environment, but sometimes delegated to „peacekeepers‟, these rules can include: defining acceptable forms of writing (forbidding swearing, „shouting‟, offensive language and so on), regulating the behaviour of newbies (not asking too many obvious questions, not spending too much time lurking ), reventing the wasting of bandwidth via crossposting or spamming , and so on (McLaughlin, Osborne dan Smith, 1995 dalam Bell, 2004: 114).
18
Dari pengertian di atas, penulis melihat bahwa netiquette merupakan serangkaian kesepakatan mengenai perilaku pengguna dan bentuk komunikasi dalam ruang siber. Netiquette seringkali terbentuk secara proses informal dalam pergaulan di ruang siber. Namun seringkali aturan juga dibentuk oleh orang yang memiliki kapasitas dan kewajiban mengatur pergaulan di ruang siber. Peraturan-peraturan dibentuk untuk mengatur bagaimana bentuk komunikasi yang boleh dan tidak boleh di ruang siber. Beberapa perilaku yang diatur antara lain adalah bahasa yang digunakan, perilaku spamming, perilaku bagi pengguna baru, hingga pengaturan bentuk posting sehingga tidak menghabiskan bandwidth pengguna lain. Netiquette merupakan panduan saat posting teks di ruang siber, khususnya forum-forum (http://www.webopedia.com/ sgsearch/results?cx=partner-pub-768004398756183%36766915980&cof=FORID% 3A10&ie=UTF-8&q=netiquette 19 April 2015). Peraturan-peraturan ini biasanya dibentuk dari moral-moral yang diterima secara umum (Hamelink, 2000: 42). Kizza (2014: 62) menjelaskan bahwa etiket di ruang siber seringkali mengacu pada relasi antar persona di ruang offline. Pengguna biasanya mengacu pada etiket-etiket yang dia kenal di ruang offline ketika berinteraksi dan beraktivitas di ruang siber. Aturan-aturan etiket sendiri pada praktiknya bisa berbeda antar forum online. Netiquette ini dibentuk oleh kepentingan tertentu, tidak bebas nilai, dan tidak terbentuk secara alami. Netiquette dalam sebuah ruang siber disusun oleh subyek-subyek dan bergantung dalam konteks, ruang, dan kepentingan tertentu. Netiquette juga berisi sanksi bagi pelanggarnya. Sanksi ini diberlakukan agar pengguna tidak mengabaikan netiquette. Salah satu sanksi yang sering diberikan bagi pelanggar netiquette adalah penghapusan identitas online pengguna. Identitas online di beberapa forum tidak signifikan, namun di sebagian forum lainnya cukup signifikan. Faktor inilah yang bisa menjadi kekuatan netiquette untuk membatasi perilaku 19
pengguna di ruang siber. Teknologi ruang siber memang memungkinkan pengguna untuk bebas menyampaikan pesan. Namun dengan adanya pergaulan dengan pengguna lain, maka netiquette diperlukan untuk membatasi perilaku di ruang siber. 1.7.2. Fanatisme dan Flaming Fanatisme adalah dukungan tanpa kompromi dan ekstrim dari sebuah kelompok atau partai yang bisa berawal dari ide atau opini (Vaneigem, 1978-1980, dalam Derbaix dkk.,2014). Fanatisme juga berarti aksi-aksi yang menggambarkan suatu ekstasi, eforia, atau kebanggaan terhadap sesuatu (King, 1997, dalam Derbaix dkk.,2014). Fanatisme menghasilkan praktik dukungan terhadap sesuatu yang didasari ciri tersebut. Penggemar sepakbola juga bisa tidak lepas dari fanatisme ini. Pendukung sepakbola tidak hanya menonton tim favoritnya bertanding, namun juga menunjukkan dukungannya dengan berbagai cara. Beberapa bentuk dukungan ini adalah bernyanyi atau memakai atribut ketika menonton tim favorit bertanding. Bentuk fanatisme ini juga bisa dipraktikkan ketika tim yang didukung tidak bertanding. Contoh bentuk fanatisme ini adalah bergaul di suatu komunitas fans club tertentu. Menurut Crawford (2004: 3), seorang fan merupakan individu yang terobsesi dan memiliki minat yang berlebih terhadap sebuah tim, selebriti, tontonan, atau musisi. Obsesi ini bisa ditunjukkan dalam berbagai hal. Seorang fan sepakbola dalam praktiknya menunjukkan dukungan terhadap sebuah tim dan mengharapkan timnya tersebut menang. Menjadi seorang fan bukan sekedar kategorisasi, namun juga merupakan identitas dan mewujud dalam fanatisme tertentu. Dengan melihat hal ini, maka fanatisme para fans menjadi sangat subyektif. Sekelompok penggemar tim olahraga bisa saja melabeli fanatisme mereka sebagai fanatisme fans murni, sedangkan praktik pendukung lain bukan sebagai fanatisme fans (Crawford, 2004: 19-20). Padahal
20
jika melihat bentuknya sebagai sebuah obsesi terhadap suatu hal, maka bentuk fanatisme menjadi luas. Praktik obsesif fans bisa ditunjukkan dalam berbagai hal, yang mungkin saja melanggar aturan nilai pergaulan hingga aturan hukum. Salah satu bentuk fanatisme dalam ruang siber adalah flaming. Flaming merupakan bentuk fanatisme agresif. Menurut David Bell (2004: 70), flaming adalah pesan dalam ruang siber yang memakai bahasa kasar dan memancing sikap bermusuhan dari pengguna lain. Flaming adalah istilah yang diberikan kepada segala perilaku online yang tidak menyenangkan (Moor dkk., 2010, seperti dikutip oleh Elliot, 2014: 5). Flaming ditunjukkan lewat teks yang mengandung hinaan, umpatan, atau penggunaan semacamnya dengan bahasa yang kasar (Moor dkk., 2010, seperti dikutip oleh Elliot, 2014: 6). Flaming juga bisa diterjemahkan sebagai serangkaian ekspresi yang menunjukkan permusuhan. Contoh dari ekspresi ini adalah umpatan, panggilan julukan, hinaan, olok-olok yang ditujukan kepada karakter, agama, ras, kecerdasan, keterbatasan fisik, serta keterbatasan mental suatu pihak lain (Kayany, 1998 dalam Oegema dkk., dalam Konijn dkk., 2008: 335). Beberapa contoh dari flaming menurut Thurlow dkk., (2004: 70) adalah komentar yang menghasut, memancing emosi, memakai ungkapan atau bahasa yang kasar, menyerang secara verbal kepada pihak lain, memakai ungkapan yang tidak patut dan tidak senonoh, mengejek, serta memakai bahasa yang cabul. Joinson (dalam Gackenbach, 2006: 79) menyebut bahwa pemakaian tanda baca seperti tanda seru atau pemakaian huruf kapital bisa juga ditafsirkan sebagai flaming. Penafsiran suatu pesan masuk dalam kategori-kategori itu memang subyektif. Namun berdasarkan penelitian Thompsen dan Foulger (1996 dalam Thurlow dkk., 2004: 71), suatu pesan masuk dalam kategori flaming biasanya bisa terdeteksi dengan jelas lewat tegangan interaksi pengguna. Salah satu cirinya adalah serangan verbal kepada pihak lain dan penggunaan bahasa kasar. Namun tetap penafsiran kategori ini 21
sangat subyektif dan dipengaruhi kultur seseorang. Hal ini juga berhubungan dengan ciri komunikasi ruang siber yang memiliki keterbatasan-keterbatasan dibandingkan dengan komunikasi tatap muka. Bahasa kasar bagi seseorang mungkin saja merupakan ungkapan yang sopan bagi pihak lain. Selain itu, kategori flaming juga akan terikat dengan konteks ruang siber tertentu. Pengguna yang tidak mengikuti konteks interaksi antar pengguna bisa saja menafirkan interaksi itu sebagai flaming, padahal sebenarnya tidak. Karena itu kategori flaming dan bagaimana praktiknya sengat berhubungan dengan konteks dan fungsi, tidak sekedar tafsiran bentuk konten. Karena itu perlu dikaji tujuan dan maksud dari pembuat pesan sekaligus pemaknaan pengguna yang menafsirkan pesan tersebut (O‟Sullivan dan Flanagin, 2003, dalam Thurlow dkk., 2004: 72-73). Menurut Bell (2004: 70), flaming dalam komunikasi di ruang siber seringkali disebabkan oleh kurangnya komunikasi non-verbal di ruang siber. Tanpa adanya rujukan komunikasi non-verbal, maka nada dan gerakan tubuh pengguna tidak bisa dimaknai oleh pengguna lain. Karakter ini membuat komunikasi yang termediasi komputer membuat komunikator seakan absen dalam teks. Pengguna bisa menggunakan emot untuk menunjukkan ekspresi, namun hal ini berbeda dengan bahasa non verbal dalam komunikasi tatap muka (Rooksby, 2001: 36). Hal lain menurut Bell (2004: 70) yang berpengaruh adanya perilaku flaming adalah bentuk identitas yang anonim. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, identitas di ruang siber memiliki karakter tertentu. Identitas ini bisa tidak berhubungan sama sekali dengan identitas pengguna di ruang offline. Identitas yang anonim ini memungkinkan pengguna untuk menggunakan bahasa yang kasar dan menunjukkan sikap bermusuhan tanpa sanksi yang signifikan terhadap dirinya. Ketika pengguna merasa anonim atau tidak akan menerima respon langsung dari lawan bicara, maka dia akan lebih terlepas dari ikatan-ikatan norma dan 22
kesepakatan sosial. Hal ini bisa membuat pengguna lebih aman dan nyaman mengungkapkan dan mendiskusikan suatu tema yang tabu. Namun di sisi lain, hal ini bisa merangsang pengguna untuk berkomunikasi lebih agresif (Wallace, 1999: 125). Praktik flaming sering kita jumpai di bagian komentar pengunjung di situs berita atau situs berbagi video, yang tidak memerlukan identitas offline pengguna. Kita bisa melihat banyak komentar yang memancing emosi pengguna lain dengan menghina pihak tertentu dengan bahasa kasar. Komentar yang berisi umpatan, hinaan, dan sumpah serapah terhadap tim tertentu akan memancing emosi pendukung tim tersebut. Praktik flaming ini seringkali akan dibalas juga dengan flaming oleh pengguna yang merasa tersinggung. Flaming di ruang siber seringkali merupakan praktik agresif fanatisme. Karena menurut Hills (2002, dikutip oleh Crawford: 2004), fanatisme bukan hanya label atau kategori namun merupakan praktik dan identitas. Flaming seringkali menegaskan identitas pihak yang didukung dan memisahkan diri dari pihak yang dibenci. Salah satu bentuk praktik ini adalah komentar yang bernada kebencian. Seorang fan bisa mengungkapkan ketidaksukaan kepada kubu lain. Kebencian ini selalu berhubungan atas kesadaran kawan dan lawan sehingga menimbulkan pemisahanpemisahan tertentu. Pemisahan-pemisahan ini menimbulkan adanya ketakutan terhadap ancaman aksi dari lawan yang bisa mengalahkan atau menyakiti kubu sendiri (Oegema dkk.,dalam Konijn dkk., 2008: 334). Karena itu sering terjadi praktik saling balas flaming di berbagai situs atau forum online. Pengguna tidak hanya memprodukai flaming, namun juga mengkonsumsi flaming tersebut sebagai fanatisme. Hal ini sesuai dengan pandangan Sandvoss (2003) bahwa fanatisme seringkali merupakan praktik konsumsi. Mereka mencari informasi seputar idolanya, menonton konser musik, dan membeli suvenir sebagai fanatisme. Dalam ruang siber, konsumsi ini bisa berupa media visual hingga teks-teks berupa 23
informasi hingga flaming. Pengguna mengkonsumsi flaming sebagai bentuk fanatismenya di ruang siber. Ketika pengguna lain melakukan flaming terhadap pihak yang disukai, maka pengguna itu bisa membalas flaming sebagai wujud dukungan. Sebaliknya jika flaming ditujukan pada pihak lawan atau yang tidak disukai, maka pengguna akan mengonsumsinya sebagai wujud fanatisme. Karena itu praktik flaming dalam konteks fanatisme di ruang siber seringkali berujung pada praktik saling balas flaming. Perilaku saling balas flaming ini seringkali dilarang dalam forum. Shea (1997: 73) memandang bahwa flame wars merupakan rangkaian aksi berbalas flaming yang dilakukan dua pengguna atau lebih di ruang siber. Praktik yang sering disebut flame wars ini seringkali dianggap kasar dan mengganggu oleh pengguna lain yang membacanya (Shea, 1997: 73). Karena itu biasanya flaming atau flame wars diatur dengan norma dan kesepakatan di ruang siber.4 Praktik flaming biasanya dibatasi oleh netiquette (Oegema dkk., dalam Konijn dkk., 2008: 334). Forum yang berisi banyak pergaulan biasanya berisi netiquette yang membatasi praktik flaming. Hal ini dilakukan agar pergaulan di dalam forum berlangsung dengan lancar tanpa keributan. Ada kepentingan-kepentingan tertentu yang mengharuskan pergaulan di forum berjalan tanpa keributan. Salah satunya agar pengguna merasa nyaman bergaul di forum tersebut sehingga terus mengunjungi. Praktik flaming memang seringkali dikonsumsi secara negatif oleh pengguna, terutama dalam konteks fanatisme. Ada ketidaknyamanan bagi pengguna ketika seorang yang disukai dihina secara kasar oleh pengguna lain. Hal
4
Shea (1997: 43) sendiri memandang netiquette tidak, atau setidaknya tidak bisa, menghilangkan praktik flaming, namun akan mengatur praktik flame wars di ruang siber. Salah satu penyebabnya adalah Shea memandang flaming dalam pengertian luas, salah satu contohnya adalah posting berupa peringatan keras terhadap pengguna. Namun banyak forum memiliki definisi flaming tertentu dan menyusun netiquette sendiri yang melarang praktik flaming yang masuk dalam definisi itu.
24
inilah yang membuat fanatisme dalam bentuk flaming seringkali dibatasi bahkan dilarang di ruang siber. Pembatasan ini tetap tidak menghalangi fanatisme dalam bentuk flaming di ruang siber. Ruang siber memberikan fasilitas dan kemungkinan untuk melakukan praktik flaming. Seperti dalam Crawford (2004), teknologi ruang siber memungkinkan seorang fan memperoleh kemudahan tertentu, seperti dalam mencari informasi detail tentang tim yang disukai. Lebih lanjut, Crawford juga beranggapan bahwa media seperti internet memungkinkan pengguna untuk terarahkan dalam situasi pergaulan “lawan vs kawan”. Pengguna juga memiliki rasa terikat dan diterima suatu pihak dan dieksklusikan oleh pihak lain. Hal ini membuat fanatisme yang memancing permusuhan seperti produksi dan konsumsi flaming jamak dijumpai di ruang siber. 1.7.3. Prosumption Prosumption merupakan suatu proses yang melibatkan produksi dan konsumsi. Prosumption seringkali ditunjukkan saat konsumen terlibat dalam memproduksi sebagian atau keseluruhan suatu hal yang dikonsumsi dirinya atau konsumen lain (Ritzer dan Jurgenson, 2010, dalam Denegri-Knott dan Zwick, 2012: 2). Dalam perkembangan selanjutnya Ritzer (2014) mengemukakan bahwa prosumption tidak harus terjadi dalam suatu waktu. Seorang prosumer bisa memproduksi sesuatu dalam suatu waktu dan kemudian mengkonsumsinya pada waktu yang lain. Aktivitas ini sendiri sudah terjadi sejak lama, sebelum era siber saat ini. Contoh dari prosumption adalah pelanggan yang mengisi bensin sendiri di sebuah pom bensin. Prosumption menjadi kajian yang semakin diperhatikan dalam era siber. Fasilitas dan teknologi yang disediakan internet memungkinkan peleburan produsen dan konsumen, menjadikan semua pengguna internet seorang prosumer (Bell, 2007: 78). Dalam ruang siber,
25
prosumption menjadi praktik yang sering dijumpai. Kita bisa melihat pengguna yang mengunggah barang jualannya di situs jual beli online. Dalam situs berbagi video, pengguna juga mengunggah sekaligus mengkonsumsi video dan komentar-komentar pengunjung di situs tersebut. Karena itu dalam ruang siber seringkali tidak ada aktivitas dari pengguna yang murni merupakan praktik konsumsi atau murni merupakan praktik produksi saja. Pengguna yang mengkonsumsi video di sebuah situs juga menjadi produsen ketika dia dihitung sebagai viewer. Jumlah pengunjung video biasanya akan selalu dimunculkan dalam sebuah situs tersebut dan dikonsumsi oleh pengguna lain. Jumlah pengunjung yang tinggi menunjukkan bahwa video itu menjadi populer. Ritzer (2014) menawarkan konsep prosumption-as-production ketika seseorang lebih cenderung melakukan produksi daripada konsumsi dan prosumption-asconsumption ketika seseorang cenderung melakukan konsumsi. Pengguna yang hanya menjadi lurker atau silent reader masuk dalam kategori prosumption-as-consumption. Walaupun dia tidak menunjukkan aktivitas, namun kehadirannya tetap dihitung dalam jumlah pengunjung yang hadir. Di tengah kedua konsep itu, maka pengguna juga bisa merupakan prosumption yang seimbang ketika dia memproduksi dan juga mengkonsumsi. Contoh dari hal ini adalah berinteraksi dengan pengguna lain di sebuah forum atau media sosial. Prosumption memang semakin dimungkinkan dalam era siber. Orang bisa menjadi seorang prosumer tanpa disadari. Ada beberapa ciri dari prosumer di era siber ini, seperti mengutip pemikiran Ritzer (2014: 11). Pertama adalah prosumer melakukan aktivitas yang jarang, bahkan, tidak pernah dilakukan sebelumnya. Contohnya adalah berbagi video dan lagu kepada orang lain, yang jarang dilakukan secara offline. Kedua,
26
prosumer melakukan aktivitas tersebut seringkali tanpa menerima bayaran. Pengguna menjual barang bekas di situs penjualan tanpa menerima bayaran dari situs tersebut. Ketiga, perusahaan atau pemiliki situs tempat aktivitas prosumption menerima keuntungan dari aktivitas tersebut. Situs berbagi video memperoleh keuntungan ketika semakin banyak video yang diunggah dan disaksikan oleh pengunjung. Keempat, pengguna banyak memperoleh fasilitas secara gratis. Pengunjung di situs berbagi video tidak perlu membayar untuk melihat setiap video yang ada. Kelima, semua aktivitas prosumption ini ditunjang oleh kemajuan teknologi. Berbagi video dan lagu semakin mudah dan mudah diakses dengan teknologi yang semakin maju. Karena itu, walaupun tidak menerima bayaran dan menguntungkan situs namun, pengguna tidak sepenuhnya tereksploitasi. Menurut Ritzer dan Jurgenson (2010: 14) banyak pengguna yang menikmati posisi sebagai prosumer walaupun mereka diposisikan demikian. Dalam praktiknya di ruang siber, prosumer memiliki wewenang lebih dalam beraktivitas. Mereka bisa mengunggah berbagai video yang mereka suka, berbagi lagu, atau menjual barang bekas yang mereka miliki. Pengguna juga bisa mengeluarkan berbagai pendapat di forum atau media sosial. Pengguna memang tidak dibayar ketika memproduksi hal-hal tersebut, namun sebagai gantinya mereka memiliki kesenangan dan kewenangan lebih dalam beraktivitas dan mengeluarkan pendapat. Meskipun kebebasan prosumer besar, namun pemilik situs juga memiliki wewenang untuk mengontrol aktivitasnya. Contohnya adalah mengatur konten-konten apa saja yang boleh diunggah sekaligus memberi sanksi kepada pengguna yang melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam sebuah situs. Ketika pengguna mengunggah video yang mengandung konten terlarang, maka video itu bisa dihapus atau pengguna bisa diberi sanksi sehingga identitas virtualnya tidak bisa mengakses situs tersebut.
27
Prosumer bisa mempraktikkan prosumption yang berbeda dalam ruang siber yang berbeda. Hal ini akan bergantung tujuan prosumer sekaligus karakter dan fasilitas yang disediakan ruang siber tersebut. Prosumer bisa condong melakukan prosumptionas-production dalam suatu ruang di waktu tertentu atau melakukan prosumption-asconsumption di saat yang lain. Suatu ruang siber juga bisa saja menyediakan fasilitas dan kemungkinan, bahkan mengharuskan, pengguna untuk melakukan prosumption secara seimbang. Karena itu tujuan dan pemaknaan pengguna terhadap prosumption bisa berbeda-beda. Peneliti perlu melakukan kajian yang spesifik untuk melihat praktik prosumption dalam suatu ruang siber. 1.7.4. Arena dan Habitus Praktik di ruang siber ditentukan oleh berbagai macam hal. Salah satu yang bisa dikaji dari praktik pengguna di ruang siber adalah habitus. Habitus, systems of durable, transposable dispositions, structured structures predisposed to function as structuring structures, that is, as principles which generate and organize practices and representations that can be objectively adapted to their outcomes without presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of the operations necessary in order to attain them (Bourdieu, 1992: 53). Habitus bagi Bourdieu merupakan suatu sistem disposisi5 yang bisa berubahubah dan menyebar. Habitus juga sebagai suatu konstruksi struktur juga berfungsi membentuk struktur tertentu. Habitus merupakan dasar-dasar yang membentuk praktik dan representasi. Habitus tidak hanya termanifestasikan dalam perbuatan namun merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perbuatan. Habitus terbentuk dalam proses yang lama dan berhubungan dengan sejarah seseorang dan lingkungannya. Karena itu, habitus tidak bisa lepas dari agen-agen yang mengoperasikannya. 5
Kata disposisi merupakan suatu hal yang penting dalam konsep habitus. Disposisi bermakna hasil dari serangkaian aksi. Kata lain yang bermakna mirip dengan pengertian itu adalah struktur. Disposisi juga merupakan cara hidup atau kebiasan. Kebiasaan ini menunjukkan serangkan kecenderungan akan sesuatu (Bourdieu, 1995: 214)
28
Habitus is a structuring mechanism that operates from within agents, though it is neither strictly individual nor in itself fully determinative ot conduct. Habitus is, in Bourdieu's words (1977a: 72, 95), "the strategygenerating principle enabling agents to cope “with unforeseen and ever-changing situations . . . a system of lasting and transposable dispositions which, integrating past-experiences, functions at every moment as a matrix of perceptions, appreciations and actions and makes possible the achievement of infinitely diversified task (Bourdieu dan Wacquant, 1992: 18) Habitus merupakan struktur mekanisme yang beroperasi dalam agen-agen. Habitus tidak merupakan gambaran subjektif individu sepenuhnya atau merupakan konstruksi
sosial
sepenuhnya.
Habitus
merupakan
rangkaian
strategi
yang
memungkinkan agen-agen menghadapi berbagai kemungkinan situasi. Habitus ini sangat berhubungan dengan pengalaman masa lalu agen-agen dan berfungsi pada setiap saat. Habitus ini membentuk berbagai persepsi, apresiasi, dan aksi yang memungkinkan capaian tertentu atas suatu hal. Habitus ini juga akan saling berpengaruh dengan kondisi obyektif maupun subyektif. Kondisi obyektif misalnya adalah nilai, penghargaan, dan sanksi sedangkan aspirasi subyektif misalnya adalah motivasi dan kebutuhan (Bourdieu, 1992: 54). Habitus sendiri bukanlah sesuatu yang alamiah dimiliki atau tumbuh dalam manusia. Habitus merupakan produk sejarah. Habitus memproduksi praktik individual dan kolektif yang dibentuk lewat aspek sejarahnya (Bourdieu, 1992: 54) the habitus is an infinite capacity for generating products - thoughts, perceptions, expressions and actions - whose limits are set by the historically and socially situated conditions of its production, the conditioned and conditional freedom it provides is as remote from creation of unpredictable novelty as it is from simple mechanical reproduction of the original conditioning (Bourdieu, 1992: 55). Habitus merupakan sistem disposisi terbuka yang terbentuk lewat pengalaman yang dialami agen-agen. Pengalaman dan situasi sosial ini yang mempengaruhi dan membatasi serangkaian produk habitus, seperti pemikiran, persepsi, ekspresi, dan aksi. Di sisi lain, pengalaman dan situasi sosial ini juga bisa membentuk produk habitus yang lebih bebas. Karena itu, habitus juga akan selalu berpengaruh dalam melanggengkan 29
atau merubah strukturnya sendiri (Bourdieu dalam Bourdieu dan Wacquant, 1992: 19). Habitus merupakan suatu sistem yang bisa sangat kreatif dan bervariasi, namun habitus juga akan dibatasi atau dibebaskan oleh strukturnya. Struktur habitus ini bisa jadi merupakan bagian yang terikat dengan struktur sosial tertentu (Wacquant dalam Bourdieu dan Wacquant, 1992: 19). Habitus sendiri dipraktikkan berdasarkan kalkulasi-kalkulasi yang berhubungan dengan pengalaman seseorang. Seseorang akan mempraktikkan sesuatu berdasarkan kalkulasi
yang
terkait
dengan
berbagai
faktor,
seperti
kemungkinan
dan
ketidakmungkinan; keinginan dan kebutuhan; serta kesempatan dan larangan (Bourdieu, 1992: 54). Kalkulasi ini membentuk struktur tertentu, termasik sistem nilai. Produksi nilai terbentuk dari kesepakatan atas pemaknaan oleh agen-agen. Kesepakatan ini bisa terjadi atas berbagai hal, termasuk homoginitas. Homoginitas habitus dapat terbentuk karena adanya kesamaan pengalaman dan pemaknaan serta kesepakatan agenagen terhadap sesuatu (Bourdieu, 1995: 80). Namun Bourdieu menyebut bahwa habitus juga bisa terbentuk dan membentuk dari serangkaian kontradiksi dan ketegangan, dalam situasi tertentu (Bourdieu, 1990: 116). Proses habitus juga bisa menghasilkan sebuah pemaknaan baru terhadap cara-cara lama, misalnya adalah meleburnya konsep privat dan publik. Seseorang bisa mengunggah foto pribadi di ruang siber. Foto pribadi dalam pemaknaan lama merupakan suatu hal yang privat. Namun dalam ruang siber, foto ini bisa dikonsumsi oleh orang lain, sehingga pengguna tidak bisa memaknai foto pribadi yang diunggah di ruang siber sebagai sesuatu yang murni hal yang privat. Habitus sendiri aktif ketika dalam relasi dengan arena. Habitus yang sama bisa dipraktikkan berbeda dalam arena yang berbeda (Bourdieu, 1990: 116). Arena sendiri merupakan konsep Bourdieu yang tidak lepas dari habitus.
30
Field may be defined as a network, or a configuration, of objective relations between positions. These positions are objectively defined, in their existence and in the determinations they impose upon their occupants, agents or institutions, by their present and potential situation (situs) in the structure of the distribution of species of power (or capital) whose possession commands access to the specific profits that are at stake in the field, as well as by their objective relation to other positions (domination, subordination, homology,etc.). (Bourdieu dalam Bourdieu dan Wacquant, 1992: 97) Arena merupakan suatu jaringan atau konfigurasi dari relasi yang diposisikan secara obyektif. Arena ini terbentuk dari serangkaian kapital dari agen-agen individu atau institusi di dalamnya. Setiap agen ini memiliki akses dan kepentingan tertentu dalam arena sehingga berelasi terhadap posisi-posisi agen lain dalam arena. Relasirelasi ini antara lain dalam bentuk dominasi, subordinasi, dan homologi. Arena memang memiliki kapasitas yang mampu menarik agen-agen untuk beraktivitas di dalamnya. Sebuah arena tidak lepas dari relasi kepentingan dan kuasa antar agen di dalamnya. Arena merupakan ruang terjadinya konflik dan kompetisi. Konflik dan kompetisi ini terjadi antar kapital-kapital dalam setiap agen dalam arena. Setiap kapital ini memiliki kepentingan masing-masing untuk melanggengkan praktiknya (Wacquant dalam Bourdieu dan Wacquant, 1992: 17). Arena bahkan terstruktur dari adanya relasi kepentingan dan kuasa ini. Arena juga memiliki struktur sendiri yang mengatur segala kemungkinan, sanksi, dan keuntungan. Namun semua hal ini masih terkait dengan keadaan yang tidak pasti dan tidak bisa ditentukan, tergantung dari relasi agen-agen di dalamnya (Wacquant dalam Bourdieu dan Wacquant, 1992: 18). Agen-agen memang memiliki habitus yang berhubungan aspek pengalaman individual. Aspek ini akan membentuk mental individu yang diwujudkan dalam serangkaian persepsi, apresiasi, dan aksi. A field consists of a set of objective, historical relations between positions anchored in certain forms of power (or capital), while habitus consists of a set of historical relations "deposited" within individual bodies in the form of mental and corporeal schemata of perception, 31
appreciation, and action. (Wacquant dalam Bourdieu dan Wacquant, 1992: 16) Relasi antar agen dalam arena seringkali merupakan kompetisi dan konflik. Proses dalam arena budaya akan melibatkan pergulatan relasi kuasa antara dominan dan resisten (Bourdieu, 1993: 40). Pergulatan dan kompetisi dalam arena ini akan berhubungan dengan kapital yang dimiliki agen-agen di dalamnya. "Capital is accumulated labor (in its materialized form or its 'incorporated,' embodied, form) which, when apropriated on a private, i.e., exclusive, basis by agents or groups of agents, enables them to appropriate social energy in the form of reified or living labor.” (Bourdieu dalam Bourdieu dan Wacquant, 1992: 118) Kapital merupakan akumulasi aksi-aksi yang menjadi basis agen-agen. Basis akumulasi ini menjadi modal yang penting bagi agen-agen itu untuk mewujudkan praktik sosial tertentu. Ada beberapa bentuk kapital yang bisa dimiliki agen-agen, antara lain kapital ekonomi, kapital budaya, kapital sosial, dan kapital simbolik. Kapital sosial ini berhubungan dengan akumulasi dari modal-modal, aktual atau virtual, yang muncul dari relasi dan jaringan dengan pihak lain. Sedangkan kapital budaya lebih merupakan wujud kapital yang berisi informasi yang terjelaskan dalam tiga bentuk relasi dengan agen; terikat, terobjektifikasi, atau terinstitusional. Contoh dari kapital budaya adalah serangkaian pengetahuan yang dimiliki agen. Kapital simbolik sendiri bisa dilihat dari persepsi kategori-kategori yang memiliki logikanya sendiri dan tidak tergantung pada akumulasi kepemilikian tertentu (Bourdieu dalam Bourdieu dan Wacquant, 1992: 119). Kapital simbolik merupakan rangkaian pengakuan, yang terbentuk secara institusional atau tidak, yang diperoleh agen dari sebuah grup (Bourdieu, 1991: 72). Contoh dari kapital ini adalah bentuk penghargaan dan kebanggaan yang terkonstruksi dan bisa berbeda antar suatu grup dengan grup lainnya. Kapital simbolik ini seringkali juga merupakan bentuk akumulasi kapital yang dipakai dalam hal yang bukan merupakan
32
kapital ekonomi (Bourdieu, 1992: 118). Sebagaimana habitus, kapital-kapital ini juga harus berhubungan dengan arena. A capital does not exist and function except in relation to a field. It confers a power over the field, over the materialized or embodied instruments of production or reproduction whose distribution constitutes the very structure of the field, and over the regularities and the rules which define the ordinary functioning of the field, and thereby over the profits engendered in it (Bourdieu dalam Bourdieu dan Wacquant, 1992: 101). Kapital merupakan instrumen yang tidak terpisahkan dari proses di dalam arena. Kapital menunjukkan kepentingan agen-agen dalam melanggengkan nilai atau memperoleh keuntungan dalam arena. Kapital ini sendiri merupakan akumulasi modal yang penting dalam relasi dan kompetisi habitus agen-agen di dalam arena. Kapital simbolik seperti pengakuan status bisa dipakai oleh agen untuk melanggengkan nilai atau kepentingannya dalam arena. Kapital simbolik yang dimiliki agen juga bisa dipakai untuk merubah suatu nilai dalam arena. Habitus agen-agen dalam arena selalu berhubungan dengan modal-modal kapital. Arena selalu terkait dengan habitus agen-agen. Habitus agen-agen juga tidak bisa lepas dari arena. Arena merupakan ruang yang ditentukan oleh serangkaian tawaran tujuan dan aturan tertentu. Sedangkan habitus merupakan sistem disposisi yang dibiasakan untuk dipraktikkan dalam ruang tersebut. Habitus ini menentukan semangat atau niatan berpraktik dalam arena. Niatan ini menentukan kecenderungan dan kemampuan untuk berpraktik dalam arena serta untuk menentukan tujuan dan meraih keuntungan dalam arena itu (Bourdieu, 1993: 18). The relation between habitus and field operates in two ways. On one side, it is a relation of conditioning: the field structures the habitus, which is the product of the embodiment of the immanent necessity of a field or of a set of intersecting fields, the extent of their intersection or discrepancy being at the root of a divided or even torn habitus) On the other side, it is a relation of knowledge or cognitive construction. 33
Habitus contributes to constituting the field as a meaningful world, a world endowed with sense and value, in which it is worth investing one's energy (Bourdieu dalam Bourdieu dan Wacquant, 1992: 127). Pada satu sisi, arena membentuk habitus. Arena menghasilkan rangkaian nilai, aturan, dan kepentingan yang membentuk habitus. Arena memiliki struktur nilai, kepentingan, dan larangan. Habitus memiliki kalkulasi tertentu untuk bisa dipraktikkan dalam sebuah arena. Di sisi lain, habitus juga berperan dalam membentuk arena sebagai sebuah ruang yang bermakna. Habitus membentuk struktur arena sehingga memiliki nilai dan logika sendiri sehingga layak dijadikan ruang praktik tertentu. Walau bisa berdasarkan kalkulasi, namun habitus dalam relasinya dengan arena bisa juga dipraktikkan tanpa tujuan yang eksplisit atau kesadaran dalam meraih kepentingan tertentu. Habitus merupakan suatu yang terikat dengan arena, dengan segala pemaknaan dan kepentingannya, sehingga agen hanya melakukan suatu yang perlu dan semestinya dia lakukan (Bourdieu dalam Bourdieu dan Wacquant, 1992: 128). Walau begitu, habitus agen-agen juga tetap bisa berkompetisi. Kompetisi habitus dalam arena ini membentuk logikanya sendiri. Habitus yang sama antar agen bisa saja dipraktikkan berbeda, tergantung struktur arena. Sebaliknya arena yang sama seringkali membentuk dan dibentuk oleh habitus yang berbeda-beda. Arena bisa saja dipengaruhi oleh habitus dominan tertentu. Semakin tidak bebas dan teratur arena maka semakin mungkin melanggengkan atau tergantung pada habitus dominan tertentu. Hal ini bisa diperoleh dengan observasi dan investigasi yang mendalam mengenai relasi habitus dan arena tertentu. 1.8. Metodologi Penelitian Penelitian di ruang siber memerlukan metode yang khusus. Hal ini dikarenakan banyaknya kekhasan dalam ruang siber yang membedakannya dengan praktik di ruang offline. Teknologi ruang siber memungkinkan seseorang untuk mempraktikan budaya 34
lama dengan cara-cara baru. Ruang siber sebagai sebuah bagian dari konteks budaya juga memungkinkan untuk dikaji dengan menggunakan etnografi. Peneliti akan memakai metode etnografi untuk mencari dan menganalisis data praktik flaming dalam Spectre. Dengan etnografi maka peneliti bisa melihat suatu wacana dari sudut pandang subyek yang diteliti (Saukko, 2003: 57). Etnografi juga akan berusaha melihat secara lebih luas mengenai realitas subyek yang dikaji. Etnografi bisa memberikan cara pandang baru mengenai pelabelan praktik budaya sesuatu, misalnya mengenai konsep resistensi (Saukko, 2003: 56). Dalam konteks ruang siber, peneliti akan memakai metode etnografi virtual atau bisa disebut dengan netnografi. Etnografi virtual juga akan meninjau aspek teknologi dan budaya internet secara lebih mendalam dan spesifik. Hal ini karena teknologi siber sebagai budaya memungkinkan adanya perubahan konsep ruang dan waktu serta aturan dalam komunikasi (Dodge dalam Hine, 2005). Kozinets (2010) menyebut etnografi di ruang siber sebagai netnografi. Netnografi merupakan etnografi yang telah disesuaikan dengan keunikan dan kemungkinan dunia sosial yang termediasi lewat komputer. Netnografi memiliki cara-cara dalam memahami dan mengkaji fenomena sosial di ruang siber, seperti aktivitas komunitas online. Cara-cara ini misalnya adalah strategi agar dapat masuk ke komunitas online, yang seringkali berbeda karakternya dengan komunitas offline. Kozinets juga menjelaskan beberapa perbedaan metode netnografi dengan etnografi „murni‟. Peneliti yang mengkaji ruang siber perlu lebih waspada terhadap konstruksi ruang penelitian lapangan serta identitas subyek penelitian. Selain itu peneliti juga perlu memilih apakah mengaitkan aktivitas online dengan offline. Pilihan dan pembatasan dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian. Karena itu perencanaan dan pemetaan sebelum meneliti merupakan faktor penting dalam penelitian netnografi. 35
Dalam mempraktikkan metode ini, maka peneliti juga perlu memilih paradigma tertentu. Peneliti memandang teknologi sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai. Peneliti akan memakai paradigma Feenberg dalam Bakardjieva yang memakai critical theory of technology untuk melihat masalah budaya siber. Teknologi internet bisa dipakai oleh pihak tertentu untuk menciptakan dan melanggengkan suatu dominasi. Namun di sisi lain teknologi internet juga bisa dipakai untuk mendestabilisasi nilai tertentu (Bakardjieva, 2005: 15-17). Hal ini sesuai dengan ciri lain penelitian etnografi, yaitu dipakai untuk membongkar wacana dan melihat realitas yang lain dari sebuah budaya (Saukko, 2003: 56). Berbagai praktik di ruang siber bisa dipandang dan dianalisis sebagai sebuah dominasi atau resistensi pengguna. Fenomena di ruang siber bisa dipandang sebagai sebuah budaya dan artefak kebudayaan, dalam pengertian Hine (2000). Sebagai sebuah budaya, internet menggambarkan suatu ruang siber, tempat budaya dibentuk dan membentuk. Ruang siber tidak hanya sebagai medium lain praktik komunikasi, namun secara aktif berpengaruh terhadap praktik komunikasi tersebut. Fenomena flaming, yang dikaji dalam penelitian ini, menjadi salah hal menarik dalam budaya internet. Praktik flaming dapat muncul karena menurunnya kesadaran sosial pengguna internet. Pengguna hanya fokus pada diri sendiri karena pengguna lain tidak hadir secara nyata karena hanya termediasi teknologi (Hine, 2000: 15-16). Untuk melihat fenomena flaming, maka peneliti juga bisa melihat artefak kebudayaan ruang siber. Internet merupakan produk budaya. Internet adalah sebuah teknologi yang diciptakan dan digunakan orang untuk kebutuhan tertentu. Peneliti bisa melihat pada jejak aktivitas pengguna dalam ruang siber. Jejak aktivitas ini bisa dilihat dalam berbagai produksi teks yang dilakukan pengguna Spectre. Selain itu KASKUS sebagai sebuah ruang siber dengan segala peraturan, prosedur, dan fasilitasnya juga merupakan produksi budaya ruang siber. 36
Hine (2000) melihat ada tiga area yang dikaji dan dianalisis dalam etnografi virtual. Pertama adalah ruang siber sebagai arena budaya dan interaksi di dalamnya. Etnografi tidak cukup hanya memperhatikan produksi budaya lewat teks namun juga perlu memperhatikan interaksi dan bagaimana ruang membentuk dan dibentuk oleh praktik budaya. Peneliti perlu merancang bagaimana strategi untuk masuk dalam ruang budaya siber dan melakukan interaksi di dalamnya. Selanjutnya, peneliti juga akan melihat aspek teks media, teknologi, dan reflektifitas diri. Teks yang dikaji adalah segala posting yang diproduksi pengguna dalam ruang siber. Faktor ketiga menurut Hine yang perlu dilihat dalam etnografi virtual adalah membentuk obyek kajian etnografi virtual. Hal ini memungkinkan peneliti menciptakan suatu ruang kajian budaya virtual, yang dibatasi oleh hal-hal tertentu. Dengan berbagai area kajian ini, maka etnografer di ruang siber bisa lebih leluasa menerapkan netnografi agar sesuai dengan kebutuhan dan tujuan penelitian. 1.8.1. Penerapan Netnografi dan Etnografi Virtual Sebelum mempraktikkan etnografi virtual atau netnografi, maka peneliti perlu memperjelas subyek dan obyek penelitian. Peneliti akan mengkaji praktik flaming di Spectre KASKUS. Trit Spectre yang dikaji merupakan part 2 tahun 2015 saja. Penentuan ini karena peneliti melihat karakter dan praktik di Spectre tidak berbeda dengan parts sebelumnya. Peneliti akan melihat praktik pengguna yang telah posting di Spectre. Hal ini dilakukan karena peneliti memiliki keterbatasan teknologi fasilitas untuk mengidentifikasi pengguna yang tidak aktif atau biasa disebut silent reader. Ada tiga aspek yang akan dikaji dalam penelitian ini. Aspek pertama adalah Spectre sebagai ruang siber. Sebagai sebuah ruang, Spectre memiliki karakter, nilai, dan peraturan yang mengkonstruksi praktik pengguna. Aspek selanjutnya adalah berbagai
37
posting dari pengguna. Berbagai posting ini akan dikaji untuk melihat fanatisme dan flaming pengguna di Spectre. Aspek selanjutnya adalah wawancara dengan pengguna. Wawancara ini untuk menggali pengalaman pengguna selama beraktivitas di Spectre. Ada tiga pengguna di Spectre yang akan dikaji oleh peneliti. Semua subyek ini adalah pengguna aktif di Spectre. Subyek pertama adalah pengguna dengan id bernama ingenue. Pengguna ini sering posting di Spectre part 2. Dia adalah fan Juventus dan pernah mengunggah posting yang masuk dalam kategori “blunder” di Spectre. Ingenue sering posting di Spectre walaupun Juventus sedang tidak bertanding. Subyek selanjutnya yang akan dikaji adalah potterius. Pengguna ini adalah pendukung klub AS Roma. Dia sering posting ketika AS Roma sering menang namun menjadi jarang posting ketika klub yang dia dukung sering kalah atau seri. Peneliti juga akan mengkaji pengguna dengan id browniescoklat9. Pengguna yang merupakan pendukung Juventus ini pernah posting yang berisi ejekan kepada salah satu klub lokal, yaitu Persija Jakarta. Selain pengguna-pengguna itu, peneliti juga akan mewawancarai moderator KASKUS dengan id bernama sichilya. Wawancara ini dimaksudkan untuk mengumpulkan data seputar netiquette dan pemberian sanksi di Spectre. Sebelum mengumpulkan data lewat dokumentasi posting dan mewawancarai pengguna, maka peneliti perlu memahami karakter dan fasilitas di Spectre KASKUS. Kozinets (2010) menyarankan peneliti untuk memahami fasilitas dan karakter di ruang tersebut sekaligus bisa beraktivitas di dalamnya. Peneliti akan memahami karakter dan fasilitas yang ada di KASKUS dan lebih khusus lagi di Spectre. Peneliti akan mencari tahu berbagai karakter dan fasilitas seperti netiquette, ketentuan posting, hingga emoticon yang disediakan KASKUS. Selain itu, peneliti juga akan beraktivitas di Spectre agar lebih terlibat dalam wacana dan mempermudah untuk berinteraksi dengan subyek-subyek penelitian. 38
Peneliti juga dimungkinkan untuk melihat dan mengintip segala perilaku dengan lebih leluasa. Hal ini akan memudahkan pengumpulan data penelitian. Peneliti bisa memantau saja tanpa menunjukkan keberadaannya atau bisa turut memproduksi teks yang bisa dikonsumsi pengguna lain. Keberadaan peneliti yang aktif dan bisa melihat segala interaksi menjadi syarat utama dalam metode etnografi. Peneliti perlu untuk mendengar apa saja yang diucapkan, melihat segala yang terjadi, menanyakan segala hal, serta mengoleksi data-data seputar penelitian yang sedang dilakukan (Hammersley dan Atkinson dalam Hine, 2000: 40). Salah satu cara yang akan peneliti lakukan untuk berinteraksi adalah dengan memproduksi flaming dan menanggapi setiap flaming yang diproduksi oleh pengguna lain di Spectre. Peneliti membuat id KASKUS dengan nama alessa96 dengan status sebagai pendukung klub Real Madrid. Dengan id ini peneliti akan posting dan berinteraksi dengan pengguna lain di Spectre. Berbagai data posting dan interaksi antar pengguna akan didokumentasikan oleh peneliti untuk dikaji sesuai dengan kebutuhan penelitian. Namun penelitian ini tentu tidak bisa bergantung pada data posting pengguna saja. Teks dalam ruang siber berbeda dibandingkan dengan teks di ruang offline. Sebagai sebuah computer-mediated communication (CMC), maka teks di ruang siber memunculkan masalah-masalah tertentu. Ada keterbatasan yang muncul dalam CMC, misalnya ketika kita tidak bisa melihat kial komunikator dan nada bicara. Sebagai langkah antisipasi hal ini, maka peneliti akan menelusuri posting pengguna mengenai fanatisme, praktik flaming, atau keduanya di ruang KASKUS. Peneliti akan melihat rekam jejak pengguna selama di KASKUS lewat berbagai posting uyang mereka unggah. Kajian berbagai posting ini dilakukan untuk mencari tahu jawaban bagaimana praktik produksi flaming yang dilakukan pengguna di dalam Spectre. Rekam jejak dan
39
berbagai posting pengguna ini akan berguna untuk arahan ketika melakukan pengumpulan data selanjutnya, yaitu wawancara. Selain pengumpulan data dari berbagai teks posting, wawancara mendalam juga akan dilakukan terhadap pengguna. Hal ini dimaksudkan untuk mencari jawaban mengenai bagaimana mereka mengkonsumsi dan memproduksi flaming. Wawancara merupakan salah satu cara untuk mengetahui berbagai alasan dan tujuan pengguna dalam praktik produksi dan konsumsi flaming. Wawancara juga bisa menjadi salah satu cara mengkaji lebih dalam mengenai teks flaming yang diproduksi pengguna. Bagi Hine (2000), wawancara dalam penelitian etnografi virtual bisa bermasalah, terutama masalah identitas dan keontetikan. Salah satu sarannya adalah dengan melakukan interaksi dan bertemu dengan pengguna lewat ruang lain, misalnya lewat e-mail atau media sosial. Bahkan Hine menyarankan untuk melaksanakan korespondensi antara peneliti dan identitas pengguna, namun masih dalam mediasi internet. Peneliti tidak menjumpai pengguna secara langsung di dunia nyata, namun melakukan interaksi dalam ruang siber. Hal ini meminjam prinsip Hine mengenali etnografi virtual yang memungkinkan interaksi yang tertunda antara peneliti dan pengguna. Etnografer bisa melakukan penelitian dalam, dari, dan lewat ruang siber, sehingga tatap muka tidaklah mutlak diperlukan (Hine, 2000: 65). Bagi Kozinets (2010), penelitian netnografi memungkinkan interaksi dan wawancara mendalam lewat media internet. Kemungkinan ini biasanya dimaksudkan jika penelitian netnografi ditujukan pada komunitas online, dan bukan komunitas offline yang kemudian termediasi lewat internet. Penelitian kali ini memfokuskan pada praktik di dunia siber dan pengaruh ruang siber itu sendiri. Penelitian ini juga fokus pada praktik siber pengguna, sehingga interaksi dan kajian identitas yang mendalam secara offline tidak diperlukan. 40
Wawancara di ruang siber memunculkan beberapa keuntungan dan juga masalah. Misalnya dengan anonimitas subyek penelitian cenderung lebih terbuka mengenai sesuatu hal. Namun di sisi lain anonimitas juga memunculkan homoginitas dalam sebuah forum. Hal ini membuat keterbukaan yang dicapai dengan anonimitas bisa terbatas atau terkonstruksi (Joinson dalam Hine, 2005: 23). Karena itu peneliti perlu menyiapkan beberapa strategi dalam mempersiapkan dan melakukan wawancara di ruang siber. Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam komunikasi di ruang siber menurut Walther (dalam Joinson dalam Hine, 2005: 24-25). Pertama adalah adanya kesamaan nilai dan kedekatan peneliti dan subyek yang diteliti. Kedua adalah pengkondisian situasi agar subyek penelitian merasa nyaman dan tidak perlu khawatir mengenai citra diri negatif ketika menyampaikan suatu hal. Subyek penelitian dikondisikan agar tidak perlu khawatir mengenai penilaian yang dilakukan peneliti lewat bahasa tubuh yang bisa muncul saat komunikasi tatap muka. Ketiga adalah media yang digunakan dalam wawancara. Wawancara dengan email atau sosial media memungkinkan jawaban yang tidak langsung. Hal ini akan memberikan peluang bagi subyek penelitian untuk memeriksa kembali jawaban pesan mereka. Selain itu subyek penelitian juga bisa lebih fokus terhadap pertanyaan. Faktor keempat adalah respon yang dilakukan oleh peneliti. Respon ini akan menentukan jawaban subyek penelitian selanjutnya, sehingga perlu diatur dengan cermat. Peneliti akan memperhatikan empat faktor ini ketika melakukan wawancara dengan pengguna-pengguna di KASKUS. Pengalaman peneliti dalam praktik flaming akan berguna saat berinteraksi dan melakukan wawancara dengan pengguna lain. Peneliti yang secara aktif beraktivitas dalam ruang penelitian bisa memakai pengalamannya sebagai sebuah arahan ketika melakukan interaksi dan wawancara dengan pengguna lain. Hal ini sesuai dengan cara pandang Saukko (2003) mengenai etnografi. Etnografi memungkinkan terjadinya dialog 41
antara peneliti dan cara pandang subyek yang diteliti. Dengan ini, maka peneliti mengetahui muatan sosial dalam ruang penelitian dan perilaku-perilaku yang mungkin dilakukan pengguna. Dialog yang mendalam juga memunculkan suatu kesadaran adanya kemungkinan keterbatasan peneliti dalam sepenuhnya memahami cara hidup subyek yang diteliti (Saukko, 2003: 57). Penelitian kali ini akan melihat bentuk fanatisme di KASKUS, terutama produksi dan konsumsi flaming. Dengan melihat hal ini, maka peneliti perlu melihat pengaruh ruang, fasilitas, peraturan, prosedur, dan kebiasaan yang ada dalam KASKUS. Peneliti juga perlu melihat aktivitas pengguna yang berhubungan dengan fanatisme dan flaming. Penelitian ini akan fokus pada pengguna yang telah posting di Spectre. Aktivitas pengguna yang merupakan silent reader tidak akan diteliti karena keterbatasan fasilitas teknologi ruang tersebut sehingga peneliti tidak bisa mengidentifikasi mereka. Jadi peneliti akan fokus pada praktik produksi dan konsumsi flaming pengguna yang telah posting di Spectre. Koleksi data yang diambil dari data posting, interaksi pengguna, jejak rekam aktivitas pengguna di KASKUS, wawancara, dan pengamatan ruang inilah yang nanti akan dianalisis untuk menjawab pertanyaan penelitian. 1.8.2. Analisis Data Temuan Hine (2000) memandang etnografi sebagai metode yang fleksibel dan bisa disesuaikan. Karena itu analisis yang dilakukan dalam sebuah penelitian etnografi akan bergantung pada permasalahan penelitian. Kozinets (2010: 119) memberi arahan agar data temuan penelitian dielaborasikan dengan tujuan dan permasalahan penelitian. Setelah itu, peneliti juga perlu menganalisis data temuan ini dengan berbagai teori yang menunjang tujuan dan permasalahan penelitian. Tiga sumber data akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu Spectre sebagai ruang, berbagai posting pengguna, dan wawancara.
42
Ketiga sumber data itu akan dikaji untuk menjawab permasalahan penelitian. Peneliti akan menganalisis ketiga sumber data ini secara saling terkait untuk bisa menjawab permasalah secara lebih mendalam. Peneliti mengkaji Spectre sebagai sebuah ruang. Peneliti menggunakan konsep arena dan habitus untuk melihat ruang Spectre. Spectre akan dilihat sebagai sebuah arena kebudayaan dengan berbagai aktivitas, nilai, dan aturan di dalamnya. Untuk menganalisis Spectre sebagai arena, maka peneliti akan melihat beberapa aspek, seperti mengacu pada Jenkins (1992: 53). Aspek pertama adalah melihat hierarki dan relasi kepentingan dan kuasa yang menjadi struktur arena. Peneliti akan mengkaji kuasa dan kepentingan apa yang dipraktikkan pengguna dalam Spectre. Peneliti juga akan mengkaji struktur kuasa dan kepentingan pengguna dalam Spectre ini. Aspek selanjutnya, peneliti juga akan mengkaji peta sosial dalam Spectre untuk melihat struktur yang dianggap obyektif. Peneliti juga akan mengkaji relasi agen dalam peta sosial ini untuk melihat kompetisi antar kepentingan yang melibatkan kapital agenagen. Karakter dan fasilitas dalam Spectre seperti netiquette dan sanksi akan dikaji untuk melihat bagaimana konstruksi flaming di ruang ini. Aspek terakhir adalah melihat aktivitas dan interaksi antar habitus di dalam Spectre. Habitus pengguna akan dilihat untuk menjawab pertanyaan penelitian seputar praktik flaming. Karena penelitian ini fokus pada praktik di ruang siber, maka peneliti akan membatasi kajian pada habitussiber pengguna. Sebagai sebuah ruang, maka Spectre juga memiliki nilai dan peraturan. Nilai dan peraturan ini bisa dilihat dalam berbagai aspek seperti netiquette dan aktivitas moderator dalam mengawasi dan mengatur aktivitas pengguna di Spectre. Peneliti akan mengkaji bagaimana netiquette dikonstruksi dan dipraktikkan. Analisis ini akan dielaborasikan dengan data dari wawancara dengan pengguna dan moderator.
43
Fanatisme bisa menjadi fokus kajian habitus di Spectre ini. Dengan ini, maka peneliti akan melihat berbagai posting dan interaksi pengguna yang menggambarkan fanatisme. Kozinets (2010) menyarankan teks yang diunggah pengguna perlu dianalisis secara teliti untuk melihat makna-makna tertentu. Bentuk-bentuk posting akan dilihat untuk memberi gambaran bentuk fanatisme dan flaming di Spectre. Peneliti juga akan melihat interaksi pengguna lewat berbagai posting. Selain itu, peneliti juga akan memperhatikan momentum posting tersebut, misalnya ketika suatu tim kalah atau ketika suatu pengguna melakukan blunder. Kajian berbagai posting ini juga akan dielaborasikan dengan data wawancara pengguna. Hal ini dilakukan untuk melihat bagaimana pengguna memberi makna terhadap flaming dan fanatisme di Spectre. Analisis ini juga ditujukan untuk melihat interaksi dan aktivitas habitus agen-agen dalam arena Spectre. Aspek selanjutnya yang akan dikaji adalah data wawancara. Wawancara dengan pengguna akan dianalisis untuk melihat aspek pengalaman selama di Spectre. Pengalaman ini berguna sebagai data analisis untuk melihat konstruksi fanatisme dan flaming serta pengaruh netiquette. Berbagai posting, rekam jejak pengguna, dan wawancara akan dipakai untuk melihat habitus berbagai agen di dalam Spectre. Pemaknaan fanatisme oleh pengguna bisa menjadi alasan dalam mempraktikkan bentuk flaming tertentu di ruang siber. Selain itu interaksi dan pengalaman pengguna juga bisa membentuk suatu praktik flaming tertentu. Dari sini maka peneliti bisa melihat bagaimana habitus pengguna di Spectre. Analisis data dalam metode netnografi disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Peneliti memiliki kebebasan dalam mengatur langkah-langkah analisis data. Namun peneliti perlu memastikan bahwa langkah analisis data itu akan sesuai dengan tujuan penelitian dan bisa menjawab pertanyaan penelitian. Peneliti memandang bahwa 44
langkah-langkah di atas sesuai dengan tujuan penelitian dan bisa menjawab pertanyaan penelitian seputar fanatisme dan flaming di Spectre. 1.9. Sistematika Penulisan BAB I : Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, dan Metodologi Penelitian BAB II : Perkembangan Fanatisme di Indonesia, Sepakbola di Media Indonesia, Sejarah dan Rules di Spectre. BAB III : Reproduksi Fanatisme Pengguna, Mediasasi Budaya Sepakbola, Konstruksi Ruang Spectre, Ambivalensi Praktik Flaming, dan Peran Rules di Spectre. BAB IV : Konstruksi Kebencian Antar Fans Sepakbola dan Spectre sebagai Arena Mempertahankan Kenikmatan Simbolik Fans BAB V : Kesimpulan dan Saran
45