BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk nomor empat terbanyak di dunia (Noviyanto, 2015). Sebagai negara berkembang, tingginya jumlah penduduk dapat menjadi modal pembangunan yang besar. Terlebih lagi Indonesia didukung oleh kekayaan alam yang melimpah, sehingga seharusnya mampu menghantarkan menjadi negara yang hebat, maju, dan sejajar dengan negara-negara yang sudah maju lainnya. Akan tetapi, tingginya jumlah penduduk yang dimiliki Indonesia justru melahirkan permasalahan tersendiri, salah satunya adalah kemiskinan. Hal ini dikarenakan pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai serta penyediaan kebutuhan pokok yang tidak merata, seperti makanan, perumahan, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan kebutuhankebutuhan lainnya. Selanjutnya, kemiskinan tersebut juga menyebabkan masyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses pelayanan sosial maupun publik, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan, dan begitu seterusnya, hingga menjadi suatu “lingkaran setan”. Kondisi yang demikian pada akhirnya seolah mengekalkan kemiskinan kaum marjinal. Akhirnya, jumlah penduduk yang sangat besar ini diakui menjadi ancaman serius bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia berupaya menekan laju pertumbuhan penduduk melalui berbagai strategi dan kebijakan. Salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan dibentuknya
1
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yang didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1978. BKKBN berperan dalam mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, yang dilakukan melalui pembentukan berbagai institusi, seperti badan KB (Keluarga Berencana), BKR (Bina Keluarga Remaja), BKB (Bina Keluarga Balita), BKL (Bina Keluarga Lansia), dan PIK-R/M (Pusat Informasi dan Konseling-Remaja/Mahasiswa). BKKBN
juga
telah
membentuk
program
Genre,
yang
merupakan
pengembangan dari program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Genre mulai digagas dalam Rencana Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) pada tahun 2010-2014. Salah satu turunan dari program Genre adalah program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP), yang dilaksanakan melalui BKR dan PIK-R/M.
Bagan 1. Program Genre
Genre
BKR
Keluarga
PIK-R/M
Remaja
PUP
Sumber : Hasil Interpretasi Penulis
2
Berdasarkan Renstra BKKBN 2015-2019, tujuan utama PUP adalah untuk menunda usia pernikahan atau paling tidak menunda kehamilan, mengatur jarak kehamilan, serta mencegah kehamilan pada usia di atas 35 tahun. Program PUP tidak bermaksud untuk melarang pernikahan, akan tetapi berusaha mendewasakan sang calon pengantin agar lebih siap, setidaknya telah mencapai umur 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki, sehingga harapannya tidak terjadi penyesalan bagi pelaku di kemudian hari. Dengan dikendalikannya pertumbuhan penduduk, diharapkan mampu menjadi salah satu langkah untuk lebih mengoptimalkan akses layanan sosial kepada masyarakat, sehingga mampu memperbaiki kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
yang
dimiliki
Indonesia.
Dengan
begitu,
Indonesia
mampu
mewujudkan bangsa yang kuat, mandiri, dan mampu bersaing dengan negaranegara lainnya. Sayangnya, upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk tidak disertai dengan peraturan perundang-undangan yang sinkron dengan tujuan tersebut. Salah satunya mengenai pembatasan usia minimal menikah pada calon pasangan pengantin. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Pasal 7 Ayat 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pernikahan dapat dilangsungkan ketika calon pengantin pria sudah berusia 19 tahun dan calon pengantin wanita berusia 16 tahun. Dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut, maka secara tidak langsung mendukung adanya pernikahan di usia yang masih belia/pernikahan dini. Ketua BKKBN, Fasli Jalal, mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan pernikahan dini adalah pernikahan yang calon pengantinnya masih
3
berusia 19 tahun ke bawah (Liputan6.com, 2014). Usia 19 tahun ke bawah merupakan masa di mana seseorang seharusnya mendapatkan hak pendidikan atau mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja. Hal ini berpedoman pada usia lulusan SMA/sederajat di Indonesia yang rata-rata berkisar antara 1819 tahun, sehingga masih belum dapat dikatakan mandiri secara ekonomi. Selain itu, pada usia tersebut kondisi fisik maupun mental dari sang calon pengantin belum dikatakan siap untuk memasuki jenjang pernikahan. Bahkan, Munajat (2000) mengatakan bahwa usia perkawinan yang dianjurkan adalah 25 tahun untuk laki-laki dan 20 tahun untuk perempuan, karena pada usia tersebut dianggap sudah matang, baik secara fisik maupun mental. Pada tataran lokal, Pemerintah Kabupaten Sleman telah berupaya mendukung program penekanan laju pertumbuhan penduduk melalui berbagai upaya preventif maupun promotif. Sleman bahkan telah membentuk Badan KB Sleman, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Sleman, Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R), dan program Bina Keluarga Remaja (BKR) guna mendukung keberhasilan tujuan tersebut (Sekarani, 2015). Akan tetapi, belakangan ini beberapa media informasi mempublikasikan bahwa angka pernikahan dini di Sleman terbilang tinggi. Selama kurun waktu tahun 2014, Pengadilan Agama (PA) Sleman memutuskan 115 perkara Dispensasi Kawin (Widiyanto, 2015). Menurut pemaparan Humas Pengadilan Agama Sleman, Marwoto (dalam Saraswati, 2015), angka Dispensasi Kawin (DK) tahun 2015 untuk Bulan Januari sebanyak 13 perkara, Februari 11 perkara, Maret 11 perkara, April 12 perkara, Mei 16 perkara, dan Juni enam perkara. Bahkan usia yang mengajukan DK semakin maju, yakni
4
13-15 tahun atau setara dengan siswa SMP. Kondisi yang demikian menimbulkan keresahan dari berbagai pihak, sehingga dapat dikatakan bahwa fenomena pernikahan dini merupakan masalah sosial yang harus diselesaikan. Dalam cakupan di wilayah Kecamatan Ngemplak, kasus pernikahan dini paling banyak terjadi di Desa Sindumartani. Desa ini menyumbang perbandingan pernikahan dini yang paling banyak jika dibandingkan dengan keempat desa lainnya di Kecamatan Ngemplak, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Pengajuan Pernikahan di KUA Ngemplak Tahun
Desa Sindu Bimo Widodo Wedo Umbul
2011 2012 2013 2014 2015
<20th <20th <20th <20th <20th
59 11 58 7 76 4 170 10 64 3
59 7 50 5 60 5 193 15 64 4
57 10 38 4 59 4 158 10 58 5
48 7 45 2 49 4 134 11 70 3
61 8 56 9 57 4 142 8 71 3
Total 284 43 247 27 301 21 797 54 327 18
<20th : 15,14% 10,93% 6,98% 6,78% 5,51%
Sumber : Analisis Data Sekunder KUA Ngemplak
Pada Tabel 1, dua unsur utama yang ingin ditekankan adalah total pengajuan pernikahan dan pernikahan di bawah usia 20 tahun. Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa angka pernikahan tertinggi selama kurun waktu tahun 2011-2015 terjadi di Desa Wedomartani, yakni sebanyak 797 pasangan mengajukan pernikahan. Selanjutnya disusul Desa Umbulmartani
5
sebanyak
327
pasangan,
Desa
Widodomartani
301 pasangan,
Desa
Sindumartani 284 pasangan, dan terakhir Desa Bimomartani 247 pasangan. Berangkat dari data tersebut pula, diketahui bahwa beberapa dari jumlah total yang mengajukan pernikahan berasal dari golongan usia di bawah 20 tahun. Dapat dilihat bahwa desa yang paling banyak mempunyai kasus pernikahan di bawah usia 20 tahun adalah Desa Wedomartani, yakni sebanyak 54 pasangan. Setelah itu, Desa Sindumartani berada diurutan kedua, yakni sebanyak 43 pasangan. Ketiga, Desa Bimomartani, yakni 27 pasangan. Keempat, Desa Widodomartani, yakni 21 pasangan, dan terakhir Desa Umbulmartani, yakni 18 pasangan. Selanjutnya, kedua unsur utama tersebut dapat digunakan untuk mengetahui persentase pernikahan di bawah usia 20 tahun pada masing-masing desa tersebut. Setelah dilakukan perhitungan, akhirnya diketahui bahwa persentase terbesar untuk pernikahan di bawah 20 tahun terjadi di Desa Sindumartani, yakni 15,14%. Desa Sindumartani terdapat 284 pasangan yang mengajukan pernikahan dari tahun 2011 hingga 2015. Pada periode waktu yang sama, sebanyak 43 dari total 284 pasangan yang mengajukan pernikahan diketahui masih berusia di bawah 20 tahun. Artinya, sekitar 15,14% dari pengajuan pernikahan di Desa Sindumartani pada kurun waktu tahun 2011 hingga 2015 disumbang oleh pernikahan di bawah usia 20 tahun, sedangkan perbandingan yang terjadi pada keempat desa lainnya masih di bawah Desa Sindumartani. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Desa Sindumartani merupakan wilayah yang paling banyak dalam kasus pernikahan dini di Kecamatan Ngemplak.
6
Bagan 2. Agama Masyarakat Kecamatan Ngemplak
Sumber : kependudukan.jogjaprov.go.id
Bagan 2 merupakan data yang menunjukkan sebaran agama yang dianut oleh Masyarakat Kecamatan Ngemplak hingga akhir Bulan Juni 2015. Dapat diketahui bahwa agama yang dianut oleh Masyarakat Kecamatan Ngemplak antara lain Islam Kristen, Katholik, Hindu, dan lainnya. Dari keragaman kepercayaan tersebut, yang paling banyak dianut adalah agama Islam, yakni sekitar 91,6% dari total penduduk di Kecamatan Ngemplak. Oleh sebab itu, data pernikahan di KUA Ngemplak dapat digunakan untuk mewakili dinamika pernikahan yang terjadi di wilayah tersebut, terutama dinamika pernikahan di Desa Sindumartani. Melihat masih banyaknya kasus pernikahan dini, menjadikan fenomena tersebut layak untuk diteliti. Hal ini dikarenakan usia pernikahan pertama berpengaruh pada tingkat kelahiran serta periode melahirkan. Jika wanita menikah di usia yang lebih muda, maka akan mempunyai periode melahirkan yang lebih panjang, sehingga jumlah kelahiran pun berpotensi lebih banyak.
7
Dengan demikian semakin berperan dalam penyumbangan angka pertumbuhan penduduk. Munir (1981:18) menyatakan bahwa penduduk yang bertambah dengan cepat akibat angka kelahiran yang tinggi menyebabkan kelompok umur mudanya besar dan pada gilirannya di samping memasuki usia sekolah juga memasuki usia kerja. Bila ketersediaan serta akses dari sektor pendidikan maupun lapangan kerja masih terbatas, serta kualitas SDM rendah, maka dampak selanjutnya adalah semakin mencetak tingginya angka kemiskinan di negeri ini. Selain itu, pihak Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) juga telah mengemukakan bahwa pernikahan dini dapat memunculkan risiko, terutama bagi perempuan. Menjadi ibu di usia muda meningkatkan risiko kematian melahirkan yang lebih besar, serta menjadikan hambatan bagi perempuan di bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial. Menjadi ibu di usia muda dapat membatasi kesempatan untuk mengakses pendidikan dan pekerjaan, sehingga dampak selanjutnya adalah rendahnya kualitas hidupnya maupun anak-anaknya (PKBI, 1995). Di sisi lain, Kelly (1995) menegaskan bahwa kesehatan reproduksi mendominasi permasalahan kependudukan, karena terkait dengan peranan kesehatan reproduksi terhadap dinamika fertilitas-mortalitas-mobilitas yang menjadi konsep inti kependudukan. Secara lebih khusus, Ramonasari (1995) menjelaskan bahwa senggama pada usia dini dimana alat kelaminnya belum sempurna matang dapat merubah sel normal menjadi ganas, sehingga berpotensi mengalami penyakit kanker leher rahim.
8
Di lain pihak, laki-laki juga tidak lepas dari risiko yang akan diterimanya ketika ia telah memutuskan untuk menikah di usia muda. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membimbing serta menafkahi keluarganya.
Oleh
karena itu,
ketika
memutuskan menikah di usia muda, maka tingkat kematangan emosi serta kemapanan materi dapat menjadi suatu tantangan tersendiri bagi pengantin laki-laki. Hal tersebut selaras dengan apa yang dijelaskan oleh Adhim (2002), bahwa hidup berumahtangga membutuhkan kematangan emosi dan pemikiran untuk menghadapi dan mengendalikan hakekat perkawinan dan peran orang tua yang akan disandang. Kematangan emosi menurut Katkovsky (dalam Nurpratiwi,
2010)
adalah
suatu
proses
dimana
kepribadian
secara
berkesinambungan mencapai kematangan emosi yang sehat, baik secara intrafisik maupun interpersonal. Hurlock (1994) mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila tidak lagi “meledakkan” emosinya di hadapan orang lain, melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara yang lebih baik pula. Kemungkinan-kemungkinan negatif yang muncul dari maraknya kasus pernikahan dini menimbulkan pertanyaan mengenai persepsi dari para pelaku mengenai pernikahan dini dan risikonya. Persepsi tersebut berkaitan dengan pemikiran masing-masing individu yang mampu mendorong mereka untuk melangsungkan pernikahan di usia muda. Selain itu, juga perlu mengetahui persepsi dari non pelaku pernikahan dini terhadap batasan usia minimal menikah, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana dukungan
9
dari pihak eksternal dalam upayanya meminimalisir pernikahan dini. Hal ini tidak terlepas dari kondisi paradoks, mengingat telah terbentuk berbagai instansi serta program untuk membantu menekan pertumbuhan laju penduduk, tetapi realitasnya pernikahan dini masih marak terjadi. Salah satu pihak eksternal yang patut dikaji adalah peranan institusi pendidikan. Dalam hal ini, pernikahan di bawah usia 20 tahun diasumsikan sebagai pernikahan dari kalangan pelajar, di mana dalam institusi pendidikan terdapat pola interaksi yang mendukung pola perilaku masing-masing individu. Pernikahan dari kalangan pelajar ini harus segera ditekan, agar tidak semakin menyumbang tingginya angka pertumbuhan penduduk dan munculnya berbagai risiko, baik dalam skala mikro maupun makro. Selain itu, lingkungan tempat tinggal pelaku juga perlu dikaji, baik lingkungan keluarga, masyarakat sekitar, maupun institusi-institusi terkait yang ada di sekitar pelaku. Hal ini berkaitan dengan proses interaksi sehari-hari, sehingga berpotensi mempunyai pengaruh terhadap pola perilaku dari pelaku pernikahan dini. Melihat bahwa Desa Sindumartani mempunyai kasus pernikahan dini yang tinggi dalam cakupan wilayah Kecamatan Ngemplak, maka pelaku pernikahan dini di Desa Sindumartani dapat dijadikan sebagai sasaran penelitian, guna melihat permasalahan pernikahan dini melalui persepsi dan kondisi eksternalnya. Dengan demikian, selanjutnya dapat digunakan untuk menyusun kebijakan guna menekan laju pertumbuhan penduduk, terutama dengan menekan angka pernikahan dini. Hal ini sesuai dengan salah satu konsentrasi yang ada di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, yakni Kebijakan Sosial.
10
B. RUMUSAN MASALAH 1.
Main Question : Bagaimana potret pernikahan dini di Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta?
2.
Subs Question : a. Bagaimana persepsi pelaku pernikahan dini terhadap pernikahan? b. Apa dampak yang muncul bagi pelaku pernikahan dini? c. Bagaimana
peran
masyarakat
dan
stakeholder
dalam
upaya
menanggulangi permasalahan pernikahan dini?
C. TUJUAN PENELITIAN Atas dasar masalah yang diidentifikasikan di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk mencari jawaban atas permasalahan terkait pernikahan dini di Desa Sindumartani, yakni persepsi batasan usia minimal menikah pada pelaku pernikahan dini. Selanjutnya, persepsi batasan usia minimal menikah dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan pernikahan dini yang ada di desa tersebut.
D. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Manfaat Teoritis Penelitian “Persepsi Batasan Usia Minimal Menikah pada Pelaku Pernikahan Dini di Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta” diharapkan mampu menjadi referensi atau masukan
11
bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam pengetahuan ilmu sosial. Penelitian ini diharapkan mampu menambah kajian ilmu sosial, khususnya kebijakan sosial dalam bidang kependudukan. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai fenomena pernikahan dini bagi pihak-pihak yang bersangkutan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi remaja Diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai pernikahan dini serta berbagai kemungkinan dampaknya. Dengan demikian, diharapkan mampu mempengaruhi pola pikir remaja agar dapat lebih matang dalam mengambil keputusan untuk menikah. b. Bagi orang tua dan masyarakat Diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai perkembangan persepsi dan pola perilaku remaja, sehingga masyarakat dapat memahami dan ikut serta melakukan kontrol kepada remaja dengan lebih bijak. c. Bagi pengambil kebijakan Diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai perkembangan persepsi dan pola perilaku remaja, serta evaluasi terhadap kebijakan dan peran institusi terkait. Dengan demikian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun maupun memperbaiki kebijakan, khususnya terkait dengan bidang kependudukan.
12
d. Bagi praktisi/akademisi Diharapkan
dapat
dijadikan
landasan
dalam
memahami
dan
menyelesaikan masalah sosial terkait dengan kependudukan, khususnya tentang pernikahan dini.
E. TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 1.
Konsep Pernikahan Pernikahan merupakan salah satu fase dalam kehidupan manusia yang
ditempuh oleh setiap individu untuk mewariskan keturunan. Menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara lebih khusus, dalam Islam telah ada Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur tentang Hukum Perkawinan. Pada pasal 2, dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kemudian, Azhary (dalam Soemiyati, 1992:8) juga menjelaskan bahwa perkawinan, yang dalam istilah agama disebut “nikah” ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.
13
2.
Konsep Pernikahan Dini Belakangan, pernikahan banyak diwarnai dengan pernikahan di usia
muda, yang tidak jarang dilatarbelakangi oleh adanya kehamilan tidak diinginkan. Dengan kondisi yang demikian menimbulkan peningkatan permintaan dispensasi kawin, akibat usia yang belum mencukupi. Meskipun demikian, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 telah diatur mengenai perijinan mengajukan dispensasi kawin, sehingga bagi yang umurnya belum memenuhi syarat dapat dikabulkan untuk menikah melalui putusan pengadilan agama. Di luar dari adanya dispensasi kawin tersebut, bagi sebagian besar kalangan, pernikahan dini dianggap sebagai sebuah perkawinan di bawah umur yang target persiapannya belum dikatakan maksimal, baik persiapan fisik, persiapan mental, juga persiapan materi. Oleh karena itu, pernikahan dini bisa dikatakan sebagai pernikahan yang terburu-buru, sebab segalanya belum dipersiapkan secara matang (Dlori, 2005 : 48). Usia dini yang dimaksud dalam konsep pernikahan dini pada penelitian ini adalah calon pengantin yang salah satu atau keduanya masih berusia di bawah 20 tahun pada saat melangsungkan pernikahan. Hal ini berpedoman pada alasan bahwa pada usia tersebut individu masih berada dalam usia sekolah atau baru saja lulus pendidikan setingkat Sekolah Menengah Atas, sehingga dianggap masih belum mencapai tingkat kematangan fisik, mental, maupun materi. Dengan kondisi yang demikian maka pernikahan dini dapat dikatakan sebagai masalah sosial, karena tergolong pada kondisi yang tidak diinginkan oleh mayoritas masyarakat. Selain itu, BKKBN, melalui program PUP juga berupaya untuk meningkatkan usia pernikahan, yakni 20 tahun untuk
14
perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Pernikahan di bawah usia 20 tahun dianggap dapat menimbulkan permasalahan sosial, akibat dari ketidaksiapan dari berbagai aspek. Secara lebih lanjut, Parillo (dalam Soetomo, 2008) mengatakan bahwa suatu kondisi sosial dapat dikatakan sebagai masalah sosial, apabila mengandung empat komponen sebagai berikut : (1) Kondisi tersebut merupakan masalah yang bertahan untuk suatu periode waktu tertentu. (2) Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau non fisik, baik pada individu maupun masyarakat. (3) Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial. (4) Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan.
Merujuk pada konsep masalah sosial yang disampaikan oleh Parillo tersebut, maka kasus pernikahan dini di Desa Sindumartani juga dapat dikatakan sebagai masalah sosial. Hal ini dikarenakan kasus pernikahan dini yang terjadi di Desa Sindumartani terus ada dari waktu ke waktu, sehingga menyebabkan kerugian bagi pelaku maupun non pelaku pernikahan dini. Kerugian tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, baik fisik, mental, sosial, ekonomi, serta baik yang dapat dirasakan langsung maupun yang tidak dapat dirasakan langsung. Selain itu, pernikahan dini juga dianggap menyimpang dari nilai-nilai atau standar sosial yang ada di Desa Sindumartani. Hal ini dikarenakan pernikahan di bawah 20 tahun yang terjadi di Desa Sindumartani tidak jarang berasal dari kalangan pelajar. Terlebih lagi, pernikahan dini tersebut banyak disebabkan hamil di luar nikah. Oleh karena itu, kasus
15
pernikahan dini harus mendapat pemecahan agar tidak menambah angka pernikahan dini maupun agar tidak menimbulkan permasalahan lainnya. Sebelumnya, kasus pernikahan dini telah banyak diangkat untuk dijadikan tema penelitian. Penelitian sejenis yang telah ada sebelumnya, ditemukan pada beberapa penelitian skripsi maupun tesis; baik dengan metode kuantitatif, kualitatif, maupun kombinasi keduanya; maupun penelitian yang ada di Yogyakarta maupun luar Yogyakarta. Berikut adalah beberapa hasil penelitian sejenis yang dapat dijadikan referensi dalam penelitian ini:
Tabel 2. Penelitian-Penelitian Sejenis Peneliti
Jenis,Tahun
Judul
Temuan Penelitian Pernikahan dini diantaranya disebabkan oleh keinginan bebas dari pelaku, kondisi ekonomi keluarga, pendidikan (berkaitan dengan tingkat pemahaman risiko), dan budaya. UU No.1 Tahun 1974 menemui pro dan kontra pada remaja Dusun Cebongan Kidul. Faktor penyebab pernikahan dini diantaranya: Ekonomi keluarga, pendidikan rendah, agama, dan kemauan pelaku itu sendiri. Remaja dengan orang tua bercerai mempunyai perilaku seksual lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang orang tua nya tidak cerai; remaja yang diawasi orang tuanya akan menunda bahkan menghindari hubungan seks;
Isran Kamal
Skripsi 2015
Makna Pernikahan bagi Perempuan yang Menikah Dini di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta
Dessy Fitri Ratna Sari
Skripsi 2014
Mukminah
Tesis 2012
Pendapat tentang Pernikahan Dini menurut UU No.1 Tahun 1974 pada Remaja Dusun Cebongan Kidul, Kelurahan Tlogoadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman Hubungan Perilaku Seks pada Remaja SMU dengan Status Pernikahan Orang Tua di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.
16
Rusmayanti
Skripsi 2009
Pengalaman Pernikahan Dini pada Anak Perempuan di Desa Karang Tengah, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta
Muktiani Asrie Suryaningrum
Tesis 2009
Rafidah
Tesis 2007
Analisis Status Ekonomi sebagai Salah Satu Faktor Risiko Pengambilan Keputusan Menikah Usia Dini Remaja Puteri di Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pernikahan Usia Dini di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah
Terdapat hubungan antara pendidikan orang tua, teman, media massa, dan jenis kelamin terhadap perilaku seks remaja. Pernikahan dini bagi perempuan bermanfaat bagi ekonomi keluarga yang paspasan. Minimnya modal ekonomi dan pendidikan, menjadikan anggapan bahwa pernikahan dapat memperbaiki kualitas hidup. Faktor penyebab pernikahan dini diantaranya: Status ekonomi keluarga, pendidikan orang tua, peran orang tua, persepsi orang tua tentang pernikahan dini, dan budaya
Kecenderungan menikah dini, diantaranya disebabkan oleh: pendidikan rendah, status ekonomi keluarga rendah, persepsi kurang, orang tua tidak bekerja, dan pendidikan orang tua rendah.
Sumber : Hasil Analisis Data Sekunder
Dapat dilihat bahwa dalam Tabel 2 tersebut, unit analisis maupun lokasi penelitian yang digunakan untuk penelitian berbeda-beda. Ada yang di Yogyakarta maupun luar Yogyakarta. Bagi yang melakukan penelitian di Yogyakarta pun, lokasinya yang dipilih juga berbeda-beda. Begitu pula dalam penelitian ini juga dilakukan di lokasi yang berbeda, yakni di Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
17
Selain perbedaan lokasi, terdapat perbedaan fokus pada penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian-penelitian sebelumnya ada yang berfokus pada persepsi pelaku, faktor penyebab pernikahan dini, hubungan pernikahan dini dengan status pernikahan orang tua, maupun pengkajian terhadap kebijakan pernikahan. Dalam penelitian ini, lebih menekankan pada persepsi yang dimiliki pelaku maupun non pelaku pernikahan dini terhadap batasan usia minimal menikah. Fokus tersebut dapat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya pernikahan dini, baik dari sudut pandang pelaku maupun kondisi yang ada di luar pelaku, termasuk upaya dari berbagai institusi yang ada sekitarnya dalam menanggulangi pernikahan dini tersebut.
3.
Teori Agensi Guna memahami, menganalisis, dan menjelaskan fenomena pernikahan
dini tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan Teori Agensi yang di tawarkan oleh Pierre Bourdieu. Bourdieu (dalam Ritzer, 2013:578) memusatkan perhatiannya pada praktik, dimana praktik dianggap sebagai akibat dari hubungan dialektis antara struktur (faktor eksternal) dan agensi (faktor internal). Menurutnya, praktik tidak ditentukan secara objektif dan tidak pula melalui kehendak bebas. Dengan kata lain, agen (aktor) tidak sepenuhnya bebas dalam bertindak, tetapi ada faktor eksternal yang diinternalisasi oleh aktor. Begitu pula faktor dari eksternal tidak serta merta langsung diterima oleh aktor, tetapi diseleksi melalui akal yang dimiliki masing-masing aktor.
18
Sebagaimana halnya dengan perilaku pernikahan dini ini, jika dikaitkan dengan teori agensi yang dijelaskan oleh Bourdieu tersebut, maka dapat dikatakan bahwa terdapat persepsi dan kondisi eksternal pelaku yang mempengaruhi adanya perilaku pernikahan dini tersebut. Kondisi eksternal merupakan kondisi yang ada di sekitar pelaku, di mana kesemuanya tersebut bukan merupakan kehendak pelaku atau sesuatu yang terlepas dari kesadaran dan kehendak pelaku, yang mampu mengarahkan dan menghambat praktik atau representasi pelaku. Kondisi di sekitar pelaku tersebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku masing-masing individu, tetapi tidak secara mutlak memberikan pengaruh secara dominan, karena masing-masing individu mempunyai cara pandang dalam merespon sesuatu yang berasal dari luar. Intinya, konsep mengenai struktur dan agen yang ditawarkan Bourdieu ini merupakan upaya untuk menjembatani antara subjektivisme dan objektivisme melalui konsep habitus dan arena. Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang memungkinan seseorang untuk berhubungan dengan dunia sosial. Bourdieu berpendapat bahwa
masing-masing
individu
dibekali
dengan
serangkaian
skema
terinternalisasi yang digunakan untuk memersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa habitus mampu menghasilkan dunia sosial maupun dihasilkan dari dunia sosial. Habitus yang dimiliki aktor bergantung pada posisinya dalam melangsungkan proses interaksi dan hubungan sosialnya. Mereka yang berada pada lingkungan sosial yang sama, cenderung memiliki habitus yang sama. Meskipun habitus merupakan suatu struktur terinternalisasi yang menghambat pikiran dan pilihan
19
bertindak, tetapi struktur tersebut tidak bersifat memaksa. Habitus hanya sekedar menyarankan apa yang seharusnya dipikirkan seseorang, dan apa yang seharusnya mereka pilih untuk dilakukan. Jadi, dapat dikatakan bahwa setiap individu mempunyai proses dalam merespon stimulan, yakni melalui proses interpretasi/berpikir yang panjang. Selanjutnya, yang dimaksud dengan arena adalah jaringan relasi, yang keberadaannya merupakan di luar kesadaran dan kehendak individu. Arena dianggap sebagai sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal (ekonomi, kultral, sosial, simbolis). Modal ekonomi dimaksudkan pada segala hal yang berhubungan dengan materi; modal kultural terdiri dari berbagai jenis pengetahuan; modal sosial terdiri dari hubungan sosial antar orang; dan modal simbolis tumbuh dari harga diri dan prestise. Di dalam arena tersebut, orang-orang yang didominasi akan menjadi pihak yang menerima keabsahan kondisi dominasi yang mereka alami (Swartz, 1997). Secara singkat, konsep habitus lebih banyak ditekankan pada pikiran aktor, sedangkan arena adalah sesuatu yang berasal dari luar aktor. Habitus dalam penelitian ini ditekankan pada cara pelaku pernikahan dini dalam merespon apa yang terjadi di lingkungannya, seperti proses interaksi, respon terhadap fenomena pernikahan dini, respon serta pengetahuan mengenai dampaknya, serta respon atas pengaruh lain yang berasal dari lingkungan. Arena dalam penelitian ini diarahkan pada lingkungan pelaku pernikahan dini, seperti institusi keluarga, institusi pendidikan, institusi masyarakat, institusi agama, dan institusi lainnya yang bergerak di bidang keluarga berencana. Di dalam arena tersebut pelaku pernikahan dini bergulat dengan
20
berbagai modal demi mencapai keputusan yang diambil. Hal-hal atau peristiwa yang sama dan terjadi secara berulang-ulang di lingkungan pelaku, secara tidak langsung dapat membentuk hal/peristiwa yang lazim. Begitu pula dalam konteks pernikahan dini ini, banyaknya pernikahan dini yang ada di sekitar pelaku dan terjadi secara rutin, maka peristiwa tersebut dianggap sebagai hal yang lazim dan tidak dipersoalkan lagi oleh pelaku tersebut.
4.
Konsep Persepsi Mead (dalam Salim, 2008:27) mengemukakan adanya empat basis
tindakan yang saling berhubungan, yakni impuls, persepsi, manipulasi, dan konsumasi. Impuls merupakan dorongan hati yang meliputi rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indera dan reaksi aktor terhadap rangsangan. Selanjutnya,
persepsi
didefinisikan
sebagai
suatu
proses
yang
menggabungkan dan mengorganisir data-data indera (penginderaan) untuk dikembangkan sedemikian rupa, sehingga seseorang dapat sadar terhadap apa yang ada disekeliling maupun sadar terhadap diri sendiri (Shaleh, 2009:110). Leavit (dalam Sobur, 2003:445) juga telah menjelaskan mengenai definisi persepsi dalam arti sempit maupun arti luas. Dalam arti sempit, persepsi didefinisikannya sebagai cara seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas diartikannya sebagai cara pandang seseorang dalam mengartikan sesuatu. Kemudian, persepsi, menurut Sarwono (2002:94) adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah melalui penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba, dan sebagainya),
21
sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Selain itu, Moskowitz dan Ogel (dalam Walgito, 2003:54) mendefinisikan persepsi sebagai proses yang terintegrasi dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Secara lebih lanjut, sebagaimana telah disinggung pada sub bab sebelumnya, bahwa persepsi batasan usia minimal menikah merupakan persepsi yang dimiliki oleh pelaku maupun non pelaku pernikahan dini mengenai usia ideal untuk menikah. Dalam penelitian ini, terdapat dua pandangan mengenai batasan usia minimal menikah, yakni menurut BKKBN dan peraturan perundang-undangan yang dianut oleh institusi agama. BKKBN beranggapan bahwa usia ideal menikah adalah 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki, sedangkan dalam peraturan perundang-perundangan yang dianut oleh institusi agama mengatakan bahwa pernikahan dapat berlangsung ketika perempuan telah berusia 16 tahun dan laki-laki berusia 19 tahun. Menyikapi perbedaan kebijakan tersebut, pada penelitian ini lebih diarahkan pada persepsi batasan usia minimal menikah yang dianjurkan oleh BKKBN. Hal ini tidak terlepas dari realitas usia di bawah 20 tahun merupakan usia SMA/sederajat, sehingga perlu didukung untuk menyelesaikan pendidikan maupun persiapan untuk memperoleh bekal ekonomi secara mandiri. Selanjutnya, manipulasi dimaknai oleh Salim (2008:28) sebagai pengambilan keputusan terhadap tindakan yang diambil berkenaan dengan objek yang ditangkap, sedangkan konsumasi adalah keputusan untuk bertindak. Jadi setelah melewati tahap memaknai impuls/rangsangan, maka pelaku akan berada pada tahap pengambilan keputusan atau disebut dengan manipulasi.
22
Pengambilan keputusan tersebut tentu merupakan keputusan terbaik, berdasarkan berbagai pertimbangan yang telah dimaknainya. Setelah itu, maka sampai pada tindakan nyata yang dilakukan atau disebut dengan konsumasi. Melalui empat basis tindakan tersebut, pelaku pernikahan dini tidak sekedar menanggapi respon yang didapat dari lingkungannya, tetapi telah dipikirkan secara masak bagaimana akibat yang akan diterimanya dari setiap keputusan yang dipilih. Respon-respon yang diberikan dipengaruhi oleh berbagai karakteristik yang dimiliki individu, seperti status sosial, situasi relasional, dan motivasi yang dimiliki (Salim, 2008:11). Oleh karenanya, masing-masing individu mempunyai persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu rangsangan yang diterimanya.
5.
Konsep Institusi Institusi menurut Hendropuspito (1989:63) adalah suatu bentuk
organisasi yang secara tetap tersusun dari pola-pola kelakuan, peranan-peranan, dan relasi sebagai cara yang mengikat guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar. Kemudian, Taneko (1993:72) mendefinisikan institusi sebagai norma-norma dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam institusi tersebut. Dari kedua konsep yang telah disebutkan di atas, Macmillan (dalam Saharuddin, 2001) merumuskan konsep institusi sebagai gabungan dari keduanya, yaitu seperangkat hubungan norma-norma, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai yang nyata, yang terpusat pada kebutuhan-kebutuhan sosial dan serangkaian tindakan yang penting dan berulang. Secara lebih rinci,
23
Koentjaraningrat (1994:16) menggolongkan institusi ke dalam delapan golongan berdasarkan kebutuhan hidup manusia, yaitu: (1)Kinship/Domestic Institutions Yaitu pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan. (2)Economic Institutions Yaitu pranata-pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti mata pencaharian, memproduksi, menimbun, mengolah, dan mendistribusi harta dan benda. (3)Educational Institutions Yaitu pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan dan pendudukan manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna. (4)Scientific Institutions Yaitu pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah manusia, menyelami alam semesta di sekelilingnya. (5)Aesthetic and Recreational Institutions Yaitu pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia menyatakan rasa keindahan dan untuk rekreasi. (6)Religious Institutions Yaitu pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib.
24
(7)Political Institutions Yaitu pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaran atau kehidupan bernegara. (8)Somatic Institutions Yaitu pranata-pranata yang mengurus kebutuhan jasmaniah dari manusia.
Merujuk pada golongan institusi yang dikemukakan Koentjaraningrat, maka institusi yang dimaksud dalam penelitan ini lebih ditekankan pada golongan Educational Institutions. Hal ini dikarenakan institusi yang menjadi objek penelitian ini adalah institusi di lingkungan sekitar pelaku, yang mempunyai peran dalam memberikan edukasi serta upaya pencegahan pernikahan dini, seperti Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana, PIK-R, Kader Desa, keluarga, masyarakat, institusi pendidikan, maupun institusi agama.
25