BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Peran gerakan sosial terhadap transformasi sosial di masyarakat menjadi sesuatu yang tidak terelakkan. Gelombang gerakan sosial tersebut terus menerus diproduksi dan mengalami dinamikanya sendiri. Salah satu diantara banyak faktor yang menjadikan gelombang gerakan sosial tidak pernah surut adalah protes-protes berkaitan dengan kontestasi merebutkan Sumber Daya Alam (SDA). Salah satu aktor gerakan sosial tersebut adalah Organisasi Front Nahdliyin Untuk Kedulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA). Organisasi tersebut sebagian besar anggotanya adalah pemuda dan memiliki basis dengan warga Nahdliyin. Penelitian ini mencoba mendiskripsikan dan menganalisis secara sosiologis gerakan sosial yang dilakukan oleh FNKSDA. Beberapa peneliti Indonesia telah mengkaji isu gerakan sosial yang berkaitan dengan kontestasi SDA. Situmorang (2013) salah satunya, dalam disertasinya dia mengatakan ketidakberdaulatnya pemerintah terhadap swasta mengakibatkan berbagai Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir orang. Korporasi multinasional raksasa menggunakan kekuatan politik pemerintah negara asalnya untuk menekan pemerintah Indonesia agar dapat melakukan ekspansi modal dan pengerukan keuntungan semaksimal mungkin dari kekayaan SDA dan tenaga rakyat Indonesia. Privatisasi dan pengambil alihan penguasaan perusahaan negara yang menguasai hajat hidup orang banyak oleh korporasi multinasional semakin menjauhkan rakyat dari akses terhadap layanan sosial dasar sebagai tanggung jawab negara. Lemahnya kontrol pemerintah terhadap aktivitas ekploitasi SDA di Indonesia mengakibatkan kerugian yang besar. Hal ini dikarenakan hasil keuntungan ekploitasi SDA yang diserap negara sangat kecil. Hasil kekayaan pengerukan mineral dan tambang di Indonesia dibawa keluar negeri oleh perusahaan transnasional. Negara yang seharusnya menjadi tuan tanah di tanahnya sendiri justru kerdil terhadap kuasa kapitalisme swasta. Berbagai kebijakan pengelolaan SDA justru menguntungkan pihak swasta. Indonesia hanya menjadi tempat eksploitasi, pembuangan limbah dan polusi sedangkan kekayaan alamnya secara besar-besaran dibawa keluar negeri (Ibid).
1
Menurut Manalu (2009), berbagai masalah sosial maupun ekologis muncul akibat industrialisasi di Indonesia. Menyempitnya ruang hidup rakyat, yang diiringi menurunnya kemandirian rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, utamanya adalah pangan. Selain itu, rakyat mengartikulasikan protes sebab hilang atau berkurangnya akses rakyat atas tanah dan sumber daya alam daerahnya. Oleh karenanya, rakyat yang merasa hak atas sumber daya alamnya tercerabut mencoba melawan dengan berkoloni membentuk apa yang disebut sebagai “gerakan sosial-lingkungan”. Lebih lanjut, protes-protes rakyat disikapi dengan tindakan seperti kekerasan, kriminalisasi, dan intimidasi. Beberapa studi tentang gerakan sosial berupa protes-protes SDA sudah pernah dilakukan oleh Situmorang (2002) dalam thesis masternya. Berbeda dengan disertasinya Situmorang (2013) penelitian tersebut fokus pada dinamika protes-protes kolektif yang dilakukan oleh masyarakat Toba, Porsea menentang PT. Inti Indorayon Utama sangat dipengaruhi oleh keluhan kolektif yang dirasakan oleh masyarakat Porsea menentang aktivitas ekstraktif PT. Inti Indorayon Utama. Dalam kasus ini, masyarakat terus menerus menjadi pihak yang dirugikan akibat aktivitas eksploitasi alam PT Inti Indorayon Utama. Keadaan tersebut menstimulasi perlawanan massal oleh masyarakat yang terkena dampak penambangan. Keluhan masyarakat berakumulasi terus-menerus yang berlanjut dengan aksi protes, demostrasi di jalan-jalan Tapanuli Utara (Situmorang, 2007 :171-174). Berdasarkan penelitian Situmorang (2007) memunculkan tesis yang berbunyi “ketidakberdaulatnya rakyat terhadap kekayaan sumber daya alam yang ada di daerahnya berimplikasi munculnya gerakan sosial perlawanan”. Memiliki konsentrasi keilmuan yang sama, Manalu (2009) mencatat, Salah satu aktor yang dominan yang terlibat memperjuangkan gerakan mereka salah satunya adalah “pemuda”. pentingnya keterlibatan pemuda dalam gerakan sosial-lingkungan di Tapanuli dan Toba Samosir. Manalu (2009) menjelaskan dinamika protes-protes kolektif yang dilakukan oleh masyarakat Toba yang diantara sebagian besar adalah pemuda. Kaum pemuda dalam kasus ini diwakili oleh sekelompok intelektual dan pendeta muda yang tergabung dalam Kelompok Studi Penyadaran Hukum (KSPH). Kelompok ini mencoba menyebarkan kesadaran tentang bahayanya dampak sosial dan lingkungan keberadaan dan aktivitas PT Inti Indorayon Utama. Lebih jauh lagi, menelisik gerakan kaum muda dalam konstelasi gerakan sosial senantiasa menempati posisi yang spesial dalam Republik ini. Peristiwa Sumpah Pemuda, Revolusi Indonesia, Transisi politik 1966 hingga yang paling kontemporer adalah gerakan 2
reformasi 1998, menjadi beberapa bukti sahih bahwa kaum muda merupakan aktor penting dalam sejarah bangsa. Tidak salah jika Benedict Anderson menyebut revolusi Indonesia sebagai ‘Youth Revolution’, revolusi pemuda (Anderson, 1972). Pemuda dan politik nampaknya tidak dapat dipisahkan dalam sejarah republik. Salah satu kekuatan utama dalam gerakan pemuda di Indoenesia adalah gerakan kaum muda dalam perlawanan terhadap kejahatan sumber daya alam di Indonesia. Gerakan sosial-lingkungan oleh kelompok pemuda muncul dalam tubuh ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU)1. Kondisi tidak berdaulatnya sumber daya alam di Indonesia mendorong sekelompok pemuda NU membangun organisasi gerakan sosial-lingkungan yang yang berbasis jaringan dengan komunitas Nahdlatul Ulama. Organisasi tersebut yaitu Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) yang resmi berdiri pada akhir 2013. Awalnya FNKSDA muncul akibat dari kekecewaan sebagian pemuda NU terhadap kelompok NU struktural. Sebab, kelompok elit NU yang duduk struktural dianggap kurang peduli terhadap isu kedaulatan sumber daya alam dan kelestarian lingkungan-sosial hidup rakyat Indonesia, khususnya warga NU. Pemerintah dan kelompok NU struktural menurut FNKSDA kurang bertanggung jawab terhadap kedaulatan SDA serta dampak sosiallingkungan yang ditimbulkan2. FNKSDA sendiri merupakan gerakan non struktural NU yang latar belakang aktornya adalah sekumpulan pemuda NU yang peduli dengan ketidak berdaulatnya posisi Indonesia terhadap keberadaan industri ektraktif diberbagai daerah. Tujuan berdirinya FNKSDA adalah mewujudkan tata kelola SDA yang berkedaulatan dan sebesar-besarnya bermanfaat bagi rakyat Indonesia3. Menurut Ridwan (2008), struktur NU dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, Kiai4 NU yang terlibat struktur pemerintah. Kedua Kiai NU yang murni berjuang secara agama dan kultural tanpa terlibat hubungan formal dengan pemerintah. Keberadaan
1
Nahdlatul Ulama adalah organisasi keagamaan yang didirikan sejak 1926 oleh para Kiai pesantren yang dipimpin secara nasional yang diprakasai oleh KH. Hasyim As’ari. Tujuannya adalah mengembangkan dan memelihara ortodoksi Islam yang dipegang oleh kebanyakan Ulama di Indonesia yakni, Ahlussunnah Wal Jamaah (Endang, 2003) 2
Salah satu isi diskusi dalam halaqoh (perkumpulan) gerakan FNKSDA sebagai persiapan deklarasi berdirinya organisasi FNKSDA di Pondok Pesantren Tebuireng-Jombang 7 Desember 2013. 3 Rumusan tujuan organisasi tersebut dikutip dari hasil rancangan AD-ART FNKSDA 2014. 4 Di berbagai daerah di Indonesia penggunaan istilah Kiai berbeda dengan Istilah Ulama. Horikoshi (1976) dan Mansurnoor (1990) membedakan Kiai dan Ulama dalam peran dan pengaruhnya di masyarakat. Ulama merujuk kepada seorang muslim yang berpengetahuan.Sedangkan Istilah Kiai adalah merujuk kepada tingkat keulamaan yang lebih tinggi.
3
sebagian Kiai NU yang duduk di struktur maupun tidak, kurang memiliki rasa keberpihakan terhadap warga NU yang menjadi korban ekpolitasi sumber daya alam. Salah satu kasus yang melibatkan warga NU adalah kasus sengketa lahan antara masyarakat Urut Sewu dengan TNI di Kebumen sejak 2004 hingga sekarang belum selesai (Ubaidillah, 2014 dalam www.daulathijau.org) Kedaaan tersebut menjadikan beberapa aktivis pemuda NU non struktual di Yogyakarta membangun jaringan dengan beberapa LSM lingkungan hidup dan membentuk organisasi bernama FNKSDA. Keberadaan FNKSDA yang terhitung baru dalam konstelasi gerakan sosial-lingkungan mencoba mencari bentuk gerakan dan arah perjuangan. Gerakan ini mencoba menyuarakan suara warga NU di pelosok daerah yang sedang menghadapi konflik SDA, rusaknya lingkungan hidup yang rusak serta ketidakadilan ekonomi yang dialami oleh warga NU. Menarik untuk dikaji, bagaimana aktor pemuda non struktural NU mencoba mendorong diskursus dan keberpihakan kedulatan SDA dikalangan NU struktural dan pemerintah untuk lebih perduli terhadap kemiskinan dan hilangnya sumber daya hidup warga NU melalui strategi gerakan sosial-lingkungan FNKSDA. I.B. Rumusan Masalah. Sesuai dengan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana proses gerakan pemuda NU di dalam Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) dalam menjalankan agenda-agenda gerakan sosiallingkungan? I.C. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah di atas tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pembentukan gerakan yang dilakukan oleh FNKSDA. Selain itu, bagaimana organisasi yang utamanya dimotori oleh pemuda NU ini dalam melakukan kritik dan perlawanan praksis terhadap pemerintah yang lemah terhadap Industri ekstraktif multinasional. Studi ini akan menghasilkan pemahaman baru terkait konfigurasi protes-protes kolektif salah satu gerakan sosial-lingkungan yang membawa ideologi serta simbol-simbol agama sebagai alat perjuangan. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi konsep kerangka
4
pemahaman pentingnya peran organisasi masyarakat dalam wacana pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. I.D. Kerangka Teori dan Konseptual. Sub-bagian ini menjelaskan literatur dan konsep terkait dengan gerakan dan isu lingkungan. Pembahasan tentang ini akan dimulai dengan kajian paradigma pembangunan yang dipakai di Indonesia sejak kolonialisme hingga reformasi sekarang ini. Design pembangunan yang memunculkan gelombang industrialisasi yang luar biasa berimplikasi terhadap rusaknya ekosistem lingkungan. Hancurnya ekosistem lingkungan memunculkan berbagai gerakan sosial dimasyarakat sebagai bentuk protes terhadap rusaknya ruang hidup mereka. I.D.1. Pembangunanime di Indonesia. Revolusi industri abad 17 semakin mendorong eksploitasi manusia terhadap sumber daya alam. Penemuan teknologi dan industri alat berat lainnya mendorong manusia untuk mengesploitasi bahan baku semakin besar sebagai akibat dari logika kapitalisme. Logika kapitalisme mengharuskan para pelaku ekonomi untuk menghasilkan produk dengan jumlah massal serta harga yang murah. Industrialisasi sebagai wujud dari kapitalisme membutuhkan bahan baku yang murah, terjangkau, teknologi terbarukan dan buruh dengan upah murah. Dengan demikian proses akumulasi modal dapat berlangsung terus menerus. Proses dominasi terhadap alam semesta semakin meluas ketika para ahli di negara-negara maju mengalami revolusi teknologi. Teknologi navigasi misalnya, teknologi ini memungkinkan aktor ekonomi untuk melakukan ekspedisi dan eksplorasi sumber daya alam yang belum diketahui sebelumnya. Penemuan tersebut menstimulus munculnya pabrik-pabrik raksasa di dalam ekosistem alam. Berakhirnya era kolonialisme, dunia memasuki era “neo kolonialime” dimana modus dominasi dan penjajahan tidak lagi bersifat fisik dan secara langsung melainkan penjajahan secara politik dan ideologi. Periode ini ditandai dengan masa kemerdekaan negara-negara dunia ketiga khususnya, Asia dan Afrika. Namun, era ini tidak terlepas dari dominasi negaranegara penjajah terhadap bekas koloni mereka. Mereka tetap melanggengkan dominasi mereka melalui kontrol terhadap teori dan proses politik yang terjadi (Fakih, 2002 : 184-186). Di era ini pula kapitalisme lahir dengan berbagai paham dan teori terkait model pembangunan ekonomi baru. Negara-negara pusat kapitalis seperti Amerika dan Uni Eropa 5
mencoba membangun sistem ekonomi kapitalis di negara Dunia Ketiga. Untuk itu, kapitalisme melakukan grand designs strategi ekonomi-politik global untuk mempercepat akumulasi capital. Stretegi tersebut diantaranya menyingkirkan rintangan investasi dengan pasar bebas, perlindungan hak milik intelektual, good governance, deregulasi serta penguatan civil society (Mansour Fakih, 2002 hal : 186-187) Kondisi tersebut yang mendorong adanya liberalisasi serta globalisasi di negara dunia ketiga. Menurut kelompok penganut neoliberalisme, pertumbuhan ekonomi akan dicapai maksimal jika terjadi “kompetisi bebas” antar pelaku ekonomi. Kompetisi yang agresif adalah akibat kepercayaan bahwa “pasar bebas” itu efisien untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa selanjutnya menjadi indikator apakah SDA sudah habis atau masih tersedia banyak. Ketika harga barang murah maka barang tersebut langka dipasaran dan sebaliknya. Oleh sebab itu, orang akan menanamkan modalnya ketika harga barang tersebut tinggi. Kesimpulannya, harga jadi tanda apa yang harus di produksi. Posisi negara harusnya lebih superior dari pada pasar. Negara berhak mengatur serta menetapkan regulasi terkait pengelolaan SDA-nya sendiri. Selain itu, melakukan setiap kontrol terhadap perusahaan nasional maupun transnasional yang berproduksi di wilayah negara. Di Indonesia misalnya, kondisi itu sudah tercantum dalam amanat Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Aturan dasar negara tersebut seharusnya menjadi acuan prinsip model pembangunan di Indonesia. Penguasaan swasta terhadap sumber daya alam Indonesia harus dibatasi. Namun, yang terjadi adalah Indonesia sebagai dunia ketiga juga memiliki sejarah yang erat dengan model ekonomi kapitalisme. Puncaknya, ketika keran liberalisasi ekonomi di buka lebar pada masa Orde Baru. Karena pada masa kepemimpinan Soeharto Indonesia mulai mengikuti sistem demokrasi liberal. Izin pertambangan yang sebelumnya susah diperoleh kapitalis pada masa Orde Lama justru dipermudah pada masa Orde Baru. Hal ini berimplikasi pada munculnya banyak perusahaan tambang raksasa yang tumbuh pesat pada masa itu. Sumber hukum yang menjadi landasan gagasan arah pembangunan tersebut dipublis pada tahun 1966 melalui TAP MPRS No. XXIII/MPRS/1996 (Rahardjo, 2011 :23-26).
6
Implikasinya, sektor swasta mendapat keluaasaan untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia. Sektor-sektor strategis seperti migas, pertambangan, bank, manufaktur dikuasai sepenuhnya oleh korporasi multinasional asing. Akibatnya, perusahaan Indonesia bangkrut, karena tidak memiliki daya saing yang kuat. Terjadi ketimpangan sosial-ekonomi yang luar biasa akibat konglomerasi, kepemilikan tunggal. Terlebih sektor industri kecilmenengah dan pertanian nantinya akan semakin terpuruk. Jurang ketimpangan semakin menganga, yang kaya akan semakin melanjutkan dominasi kekayaanya dan masyarakat miskin akan semakin terpuruk. Persoalan jalan paradigma ekonomi yang dipilih oleh pemerintahan Orba memiliki dampak resiko yang berkelanjutan hingga era sekarang. Era revormasi masih dibayangbayangi oleh utang luar negeri serta ketidakberdayaan iklim dunia usaha di Indonesia. Para Konglomerat produk pembangunan Orde Baru justru di era sekarang justru menguasai panggung politik, ekonomi dan media di Indonesia. (Rahardjo, 2011 hal : 32-36). Hebert Marcuse5 dalam (Situmorang, 2007) mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat produksi sebuah pabrik maka semakin bertambah beban kerusakan yang harus ditanggung oleh alam, termasuk manusia di dalamnya. Produksi yang sangat besar hanya akan menguntungkan kaum pemodal yang apatis terhadap rusaknya ekosistem. Selain itu, kondisi tersebut menjadikan watak masyarakat semakin konsumtif terhadap alam. Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan menerapkan politik membuka kran sebesar-besarnya untuk investor asing. Negara sengaja mengakomodasi kepentingan investor asing dalam aspek keamanan asset investasi melalui penerapan sistem predatoris yang ditopang oleh birokrasi politik. Kapitalisme baru ini yang berimplikasi pada kesenjangan sosial dan rusaknya ekosistem lingkungan hidup di Indonesia (Endaryanta, 2007 : 42). I.D.2. Industrialisasi Memunculkan Gerakan Sosial-Lingkungan. Studi ini mengadopsi pendekatan gerakan sosial sebagai basis analisisnya dengan pemuda sebagai aktor utamanya. Dalam teori klasik, gerakan sosial (social movement) selalu dilihat sebagai sebuah penyimpangan (defiance) terhadap mainstream. Namun dalam periode selnjutnya, gerakan sosial sudah mendapat tempat tersendiri dalam teori sosial. Dalam perdebatan mutakhir, gerakan sosial selalu dihadapkan dengan teori gerakan sosial baru (new
Seorang sosiolog Jerman, pengarang buku berjudul “One Dimensional Man” tahun 1964, tentang analisis terhadap fenomena masyarakat Industri maju. 5
7
social movement). Gerakan Sosial dapat difinisikan sebagai upaya kolektif dalam melakukan usaha perubahan melalui Interaksi dan Sosialisasi. Gerakan sosial muncul dengan kesadaran kelas dan ideologi tertentu, namun kelompok ini muncul dengan Identitas dan kesadaran serta perhatian terhadap persoalan yang dihadapi oleh suatu kelompok masyarakat. Gerakan sosial berusaha mengampu komponen-komponen kepentingan dan tujuan yang sama (Meliana dkk, 2013). Pendapat lain juga disampaikan oleh Turner and Kilian dalam ( Morris and Herring, 2011) Gerakan sosial adalah tindakan secara bersama dengan berkelanjutan untuk mengsosialisasikan atau menolak perubahan dalam masyarakat atau kelompok dengan keanggotaan terbatas. Pergeseran dengan kepemimpinan yang posisinya lebih banyak ditentukan oleh respon informal para anggota dibandingkan dengan prosedur formal untuk pengesahan. Kemudian Tarrow dalam (Situmorang, 2013) mendefisikan gerakan sosial sebagai tantangan kolektif yang dilakukan sekelompok orang yang memiliki tujuan dan solidaritas bersama, dalam konteks interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elit, lawan dan penguasa. Disini terdapat empat kata kunci penting, yakni tantangan kolektif, tujuan bersama, solidaritas sosial, dan interaksi berkelanjutan. Sedangkan Gerakan lingkungan hidup merupakan gerakan sosial baru yang merupakan pergeseran dari gerakan sosial lama. Gerakan Sosial Baru (GSB) merupakan gerakan transnasional. GSB juga berkembang sebagai wujud ketidakpuasan pada institusiinsititusi sosialdan politik kapitalis maju, yakni transformasi dari masyarakat industri ke masyarakat pasca industrial yang semakin menisbikan batas-batas kelas (Singh, 2001 :98105). Perspektif ini menempatkan kontruksi dan politisasi identitas sebagai perekat keterlibatan para partisipan gerakan. Di dalam jurnal yang ditulis Meliana dkk. (2013), gerakan
ini menyuarakan,
mengarahkan dan berjuang dengan kondisi mendasar keberadaan manusia serta mungkin keberadaan dimasa depan. Gerakan sosial baru mencari jawaban atas pertanyaan yang terkait
dengan perdamaian,
pelucutan
senjata,
polusi nuklir, perang nuklir, yang
berhubungan dengan ketahanan plenet (bumi), ekologi, lingkungan dan hak-hak asasi manusia. Gerakan
sosial
baru
ini memang berorintasi kepada keselamatan bumi,
mendukung pelestarian alam dimana manusia merupakan bagian darinya, gerakan ini dilakukan secara kolektif atau secara bersama dan merupakan gerakan sosial. Sehingga
8
komponen-komponen dalam masyarakat berjalan secara bersamaan untuk kelestarian dan keselamatan bumi. Sentralisasi pengeloalaan sumber daya alam oleh negara dan swasta berdampak pada gerakan sosial-lingkungan masyarakat sipil yang menentang dominasi mereka. Dominasi negara dan pasar memunculkan beberapa konflik sosial. Konflik terjadi antara masyarakat dengan swasta maupun negara dengan masyarakat. Konflik ini muncul akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap distribusi kesejahteraan yang hanya dikuasai oleh segelintir orang. Disamping itu, konflik muncul akibat perbedaan kepentingan pengelolaan dan ekspolitasi sumber daya alam antara masyarakat dan swasta. Pemanfaatan sumber daya alam yang dulunya collective goods akibat intervensi negara menjadi private goods. Selain itu, rusaknya ekosistem alam tempat tinggal masyarakat lokal akibat model pembangunan yang merusak alam. Dalam konteks inilah membahas organisasi masyarakat sipil terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam isu kedaulatan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Organisasi tersebut memiliki relevansi yang kuat karena melaui mereka perdebatan pembangunan berkelanjutan dan ramah dengan alam diperdebatkan. Mereka mencoba berafiliasi dengan barisan LSM lain yang bergerak dengan permasalahan dan kepentingan yang sama. Hal ini memungkinkan mereka untuk agen produksi dan reproduksi wacana lingkungan dan pembangunan. Konteks sekarang ini di Indonesia sebagian besar elit politik dan pengambilan kebijakan kurang mempertimbangkan dampak sosial-ekologis. Kalaupun itu disadari, rekayasa penanggulangan dan usaha pencegahan sebagai wujud pengalihan isu. Kondisi tersebut yang menjadikan masyarakat lokal menjadi bergejolak untuk melakukan serangan fisik terhadap perusahaan pengelola SDA di wilayah mereka. (Baca Jurnal: Nanang Indra Kurniawan, 2012) Konflik sumberdaya alam dan agraria sepanjang tiga tahun terakhir menyita perhatian publik mengingat intensitas ledakannya yang cukup sering. Ada tren yang cukup kuat, konflik yang dulu bersifat laten berubah menjadi manifest. Perbedaan sistem penguasaan lahan antar pihak dalam konflik agraria tak kunjung ada kepastian. Masyarakat gigih mempertahankan hak penguasaannya secara turun-temurun dan bersifat informal, sementara
9
perusahaan dan para pihak lain datang dengan sistem aturan formal yang tidak dikenal dalam aturan yang berlaku di masyarakat. Sejak kemunculannya di era 1970-an, sebagai respon atas kebijakan pembangunan Orde Baru, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia telah menjadi pelopor dalam melahirkan wacana-wacana alternatif hubungan antara manusia dan lingkungan. Selain mencoba mengekploitasi alam wacana ini mendorong agar negara, swasta maupun masyarakat sipil peduli terhadap masa depan kehidupan ekologis manusia. Data empirik menunjukkan bahwa LSM lingkungan hidup bergerak tidak dalam alur wacana tunggal. Fragmentasi wacana lingkungan terjadi sangat kuat dan dipengaruhi relasi organisasiorganisasi tersebut dengan kekuatan global melaui skema kerjasama program dan pembiayaan maupun jejaring pengetahuan (Kurniawan, 2012 hal: 7-9). I.D.3. Pemuda dan Gerakan Sosial-Lingkungan. Setelah sebelumnya berkelana lebih jauh ke dalam rimba gerakan sosial-lingkungan di Nusantara. Tulisan ini, mencoba secara ringkas melakukan diskusi teoretis ihwal konsep pemuda (youth) yang digunakan dalam tulisan ini. Pemuda atau kaum muda (youth)6 adalah sebuah konsep penting dalam ilmu sosial tapi sekaligus problematik. Pendekar sosiologi terkemuka Piere Bourdieu (1978) pernah menulis sebuah esai menarik berjudul “youth is just a word”; namun ia kemudian secara mendalam membentangkan yang terjadi justru sebaliknya: youth merupakan sebuah konsep yang terus mengalami pertumbuhan secara berlapis, yang merefleksikan nilai-nilai sosial, politik dan moral pada zamannya,” seperti disarikan oleh Gill Jones (2009) dalam sebuah risalah bertajuk “What is ‘Youth’?” Dengan kata lain, pemuda atau kaum muda merupakan sebuah konstruksi sosial dengan aneka pemaknaan yang berbeda dalam setting yang berlainan dan acap berubah dan bersalin seiring dinamika kurun dan sejarah (Azca dalam Jurnal Ma’arif Institute, 2013). Sementara dalam tulisan Maesy Angelina (2011), usia adalah cara paling umum untuk mendefinisikan siapa anak muda. Menurut Undang-Undang Kepemudaan Republik Indonesia, anak muda adalah mereka yang berusia antara 18 sampai 35 tahun, namun banyak pihak yang berpendapat bahwa batas akhir usianya terlalu tua dan lebih memilih menganut definisi youth oleh PBB, yaitu rentang usia 15 hingga 24 tahun. Meski demikian, melalui
6
Istilah pemuda, kaum muda, kawula muda dan remaja digunakan secara bergantian dalam naskah untuk merujuk pada pengertian yang sama sebagai padanan dari youth.
10
Konvensi Hak Anak PBB juga mendefinisikan anak-anak sebagai mereka yang berusia dibawah 18 tahun, sehingga ada usia yang tumpang tindih dengan anak muda. Kerancuan identitas menurut PBB juga terjadi saat melihat tumpang tindih dengan definisi-definisi lainnya: adolescents antara 10-19 tahun, teenagers antara 13-19 tahun, young adults antara 20-24 tahun, dan young people antara 10-24 tahun. Tumpang tindih diatas menunjukkan bahwa batasan usia tidak cukup untuk mendefinisikan anak muda, seperti yang juga telah diakui oleh banyak pembuat kebijakan. Selama beberapa dekade terakhir ilmuwan sosial telah berargumen bahwa anak muda bukan sekedar usia, namun merupakan sebuah kategori sosial yang pemaknaannya dibentuk berdasarkan konteks tertentu. Artinya, anak muda bukanlah sebuah definisi universal, namun sesuatu yang berbeda menurut ruang dan waktu. Definisi anak muda dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, budaya, dan ekonomi sebuah masyarakat dan juga ditentukan oleh gender, kelas, kasta, ras, tingkat pendidikan, atau etnisitas seseorang (White, 1997). Berbeda dengan pendekatan psikologis, menurut Abdullah dalam (Azka, 2013), sudut pandang sosiologi dan ilmu sejarah lebih menekankan pada nilai subyektif, yakni perumusan istilah pemuda yang didasarkan pada tanggapan masyarakat berikut kesamaan pengalaman historis. Dalam refleksi sosiologis dan historis yang dilakukannya, Taufik Abdullah berpendapat bahwa istilah pemuda atau generasi muda kerap “diboncengi” nilai-nilai tertentu, sebagai misal berbagai untaian kalimat seperti: “pemuda harapan bangsa”, “pemuda pemilik masa depan” dan lain sebagainya. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh istilah pemuda yang lebih menemui bentuknya sebagai terminus ideologis atau kultural ketimbang ilmiah. Dari sudut lain, bias cara berfikir Barat acap tak terhindarkan dalam konstruksi pemuda dalam studi kepemudaan yang berkembang selama ini. Misalnya, kecenderungan untuk melihat periode transisi dari masa kanak-kanak (childhood) menuju kedewasaan (adulthood) sebagai fase yang niscaya penuh badai dan gelombang (sturm und drang)—yang pada kenyataannya kadang tidak ditemukan dalam masyarakat non-Barat pada kurun tertentu, seperti ditemukan oleh Margareth Mead (1928) dalam risetnya mengenai kaum muda di Samoa. Dalam ikhtiar untuk membebaskan diri dari jerat bias Barat tersebut, sejumlah ilmuwan mencoba untuk melihat pemuda sebagai sebuah konsep relational (a relational concept) dengan memperhitungkan proses-proses sosial di mana “usia dikontruksikan secara sosial, dilembagakan dan dikontrol dengan cara-cara spesifik baik secara kultural maupun historis” (Azka dalam Jurnal Ma’arif Institute, 2013). 11
Melihat youth sebagai konsep sosiologis, Kiem (1993) melihat pemuda sebagai produk dan sekaligus agen perubahan sosial. Dalam konteks perubahan sosial yang berlangsung pesat, Kiem (1993: 18) lebih jauh melihat pemuda menempati posisi krusial sebagai mediator dalam reproduksi societal dan transformasi sosial. Di satu sisi mereka adalah produk dari proses sosialisasi dan hanya dapat dipahami dalam konteks muatan kultural yang ditawarkan kepada mereka, namun di sisi lain, mereka memiliki ruang kebebasan tertentu dalam memilih nilai-nilai yang tersedia dalam pluralisme kultural dan kontradiksi-kontradiksi yang terdapat dalam masyarakat. Meski peran agensi pemuda dalam dinamika perubahan sosial dan kesejarahan terbukti penting, namun menarik untuk melihat bahwa studi akademik mengenai kepemudaan (youth studies) menjadi ranah yang terlantar sedangkan pemuda sebagai ‘subjek-akademik’ tampaknya merupakan mahluk yang tersisih dan terpinggirkan (Azca & Rahadianto, 2011) Menengok selintas ke belakang, dalam ranah akademis, pemuda sesungguhnya acap hadir dalam berbagai studi dan kajian, namun galibnya hanya ditempelkan, atau dititipkan, sebagai semacam aksesoris dalam kajian dengan fokus mengenai sesuatu yang lain, entah kependudukan, kriminalitas, seksualitas, pembangunan, atau lainnya. Hal ini, bias jadi, terpaut dengan arah kebijakan “Orde Baru” yang secara sistematis “melemahkan pemuda sebagai subjek aktif di ranah sosial-politik dan lebih mengarahkan mereka sebagai obyek pembangunan, bilangan dalam perayaan konsumsi serta resipien dalam dinamika kebudayaan,(Ibid). Di masa “Orde Baru” muncul sejumlah kajian yang secara khusus dan sistematis menjadikan pemuda sebagai subyek kajian, seperti yang dilakukan oleh Taufik Abdullah dkk. dalam Pemuda dan Perubahan Sosial yang diterbitkan oleh Penerbit LP3ES pada tahun 1974. Salah satu wacana dominan yang berkembang waktu itu adalah bagaimana pemuda menjadi agen penting perubahan sosial di dalam kerangka pembangunan di bawah sistem “Orde Baru”. Sementara itu, studi mengenai gerakan kaum muda di era tersebut biasanya bias pada studi mengenai gerakan mahasiswa yang muncul sebagai gerakan kritis dan gerakan alternative perlawanan terhadap rezim otoriter pada waktu itu. Dalam sebuah refleksi kritis mengenai studi kepemudaan (youth studies) di Indonesia yang diletakkan dalam perspektif komparatif, (Ibid). Konsepsi tentang pemuda yang dianggap sebagian sosiolog sebagai aktor transformasi sosial atau agen gerakan sosial alternatif juga berlaku dikalangan pemuda NU. 12
Pernyataan menarik dari seorang antropolog asal Belanda, Martin van Bruinessen (2013) terkait aktivitas mereka adalah sebagai berikut: “….dalam diskusi-diskusi informal dikalangan santri tua dan mahasiswa berlatar belakang NU, perdebatan dan pencarian wacana baru benar-benar hidup. Banyak diantara orang muda ini sudah berpengalaman dalam berbagai kegiatan pengembangan masyarakat, dan memiliki kepedulian kepada masalahmasalah keadilan social dan ekonomi. Organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke NU, PMII, selama beberapa tahun ini telah menjadi salah satu organisasi mahasiswa paling dinamis dalam hal perdebatan intelektual. Manalu (2009) mencatat, beberapa gerakan sosial-lingkungan yang sebagian besar dimotori pemuda. Pentingnya keterlibatan pemuda dalam gerakan sosial-lingkungan di Tapanuli dan Toba Samosir. Dimpos menjelaskan dinamika protes-protes kolektif yang dilakukan oleh masyarakat Toba yang diantara sebagian besar adalah pemuda.Kaum pemuda dalam kasus ini diwakili oleh sekelompok intelektual dan pendeta muda yang tergabung dalam Kelompok Studi Penyadaran Hukum (KSPH). Kelompok ini mencoba menyebarkan kesadaran tentang bahayanya dampak sosial dan lingkungan keberadaan dan aktivitas PT Inti Indorayon Utama. Gerakan sosial-lingkungan oleh kelompok pemuda muncul dalam tubuh ormas Islam Nahdlatul Ulama. Kondisi defisit kedaulatan sumber daya alam di Indonesia mendorong sekelompok pemuda NU membangun organisasi gerakan sosial-lingkungan yang yang berbasis jaringan dengan komunitas Nahdlatul Ulama. Organisasi tersebut yaitu Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) yang resmi berdiri pada akhir 2013. Awalnya FNKSDA muncul akibat dari kekecewaan sebagian pemuda NU terhadap kelompok NU struktural. Sebab, kelompok elit NU yang duduk struktural dianggap kurang peduli terhadap isu kedaulatan sumber daya alam dan kelestarian lingkungan-sosial hidup rakyat Indonesia, khususnya warga NU. Pemerintah dan kelompok NU struktural menurut FNKSDA kurang bertanggung jawab terhadap kedaulatan SDA serta dampak sosiallingkungan yang ditimbulkan (Sobirin dalam Daulathijau.org, 2013) Untuk memberikan analisis kritis terhadap fenomena gerakan sosial pemuda diatas, dari teori-teori gerakan sosial, penelitian ini akan menggunakan konsep perilaku kolektif (colletive behavior). Teori ini berhubungan dengan konsep-konsep semacam ketegangan (strain), stress, massa (mass society), irrasonality, penulaan perasaan (contagion), keterasingan (alienation), frustasi, dan deprevasi relative (Klandermans, 2005:366). Secara 13
keseluruan mengacu pada factor-faktor psikologi sosial untuk menjelaskan keterlibatan individu-individu di dalam gerakan sosial-lingkungan. Prespektif perilaku kolektif menyatakan gerakan sosial terjadi akibat efek samping (side-effects) dari transformasi sosial yang berlangsung cepat. Dalam kondisi perubahan sosial, berkembangnya perilaku kolektif dalam bentuk sekte keagamaan, komunitas rahasia, kelompok politik, dan ekonomi utopis. Keadaaan tersebut merefleksikan dua hal pertama, sebagai ketidakmampuan institusi sosial untuk menumbuhkan kohesi sosial. Kedua, sebagai upaya masyarakat bereaksi terhadap krisis situasi, dengan membangun sistem keyakinan bersama (shared belive) sebagai modal landasan baru bagi solidaritas bersama (Porta dan Diani,1999 ; 4) di dalam (Manalu, 2009 hal : 25). Prespektif kedua yang menjadi anjutan dari teori perilaku kolektif adalah perspektif gerakan sosial, mobilisasi sumber daya (recource mobilizations). Pandangan ini merupakan koreksi terhadap teori sebelumnya yang mengasumsikan ketegangan dan masalah sosial sebagai penyebab aksi-aksi kolektif. Sebaliknya, perspektif ini melihat masalah dan ketegangan sosial itu sebagai sesuatu yang nyaris melekat dalam masyarakat. Oleh karena itu, gerakan sosial tergantung dengan kemampuan dengan mobilisasi sumber daya yang akan merespon masalah tersebut. Kenyataan bahwa ketidakapuasan an sich sering kali tidak menimbulkan gerakan sosial dan bukan menjadi dugaaan yang tepat bahwa ‘’ ketidakpuasan selalu menghasilakan protes. Oleh karena itu, perspektif mobilisasi sumber daya (resource mobilization) mendapatkan tesis baru, yaitu organisasi pergerakan memberikan struktur mobilisasi yang sangat krusial bagi aksi kolektif dalam bentuk apapun (Mc Carthy dan Zald, 1977). Singkatnya, pendekatan ini menyatakan gerakan sosial muncul sebagai konsekuensi dari bersatunya para aktor dalam cara yang rasional, mengikuti segala kepentingan mereka dan adanya peran sentral organisasi dan kader dan pemeimpin professional untuk memobilisasi sumber daya yang ada pada mereka. Kekuatan sumber daya tergantung terhadap modal material (uang, benefit dan jasa) maupun yang non material (persahabatan, struktur sosial, pertalian kepercayaan dll). ( Porta dan Diani, 1999) Terakhir, penelitian ini dibingkai berdasarkan perspektif Snows. dimaknai sebagai upaya-upaya strategis secara sadar oleh kelompok-kelompok orang untuk membentuk pemahaman bersama tentang dunia dan diri mereka sendiri yang mengabsahkan dan 14
mendorong aksi kolektif mereka(Fadhillah Puta Ed, 2007). Sedangkan konsep repertoire disini mengacu pada konsep Charles Tilly, yaitu serangkaian rutinitas terbatas yang dipelajari, dibagi dan diejawantahkan dalam proses pilihan yang membebaskan, Tilly menekankan repertoire sebagai alat interaksi di antara sekelompok masyarakat (Situmorang, 2007 hal : 46-48). Repertoire gerakan sosial-lingkungan disini dapat berupa demonstrasidemonstrasi, selebaran, propaganda politik, mimbar bebas, diskusi, hingga media sosial. I.E.
Metode Penelitian.
I.E.1. Metodologi. Lokasi penelitian ini mengambil tempat di Yogyakarta dan Kebumen. Yogyakarta merupakan tempat dimana banyak peneliti dan anggota FNKSDA bermukim. Selain itu, di Yogyakarta merupakan lokasi dimana sekertariat nasional FNKSDA berada. Sekertariat Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) Jl. Pura 203 Serowajan, Yogyakarta merangkap menjadi sekertariat FNKSDA. Banyak agenda rapat, diskusi organisasi, aksi demontrasi yang dilakukan di Kota ini. Beberapa kali aksi protes yang dilakukan FNKSDA berlokasi di Yogyakarta. Arak-arakan Budaya 16/05/2014, demonstasi Mengruduk UGM 19/03/2015, diskusi Serentak Film “Samin vs Semen” di banyak Universitas di Yogyakarta, kegiatan yang dilakukan oleh FNKSDA dan Aliansinya tersebut berlangsung di Yogyakarta. Sedangkan di Kebumen, merupakan salah satu daerah yang menjadi concern gerakan FNKSDA dalam mengadvokasi kasus konflik sengketa lahan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan masyarakat Urutsewu-Kebumen. Penyelesaian Kasus di UrutsewuKebumen oleh FNKSDA merupakan agenda utama hasil halaqoh (pertemuan) nasional di Jombang pada tanggal 8 Desember 20137. Salah satu strategi hasil musyawaroh dalam diskusi tersebut adalah menunjuk koordinator nasional FNKSDA yang berasal dari Kebumen, yang notabene daerah yang sedang berkonflik yang menjadi fokus agenda advokasi. Ubaidillah, aktivis agraria yang juga menjadi Dosen di STAINU Kebumen, sudah lama bergelut dengan kasus di Urutsewu dan berasal dari Kebumen. Pencarian data dalam penelitian ini, yang mencoba menfokuskan agenda FNKSDA di Kebumen, butuh banyak keterangan dari Ubaidillah yang berdomisili di Kebumen.
7
Hasil notulensi dalam halaqoh (pertemuan) nasional FNKSDA yang pertama di pondok Tebuireng-Jombang, 8 desember 2013.
15
Riset ini fokus pada gerakan pemuda NU di dalam organisasi Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) dalam menjalankan agenda-agenda gerakan lingkungan. FNKSDA sendiri merupakan organisasi baru berdiri pada tanggal 9 desember 2013 yang bergerak pada isu sosial-lingkungan. Organisasi ini memiliki misi salah satunya adalah berjejaring dengan banyak organisasi gerakan lingkungan lain yang ada dibanyak daerah untuk bergabung menjadi gerakan berskala nasional (www.daulathijau.org). Proses pencarian bentuk gerakan serta upaya-upaya gerakan seperti, strategi gerakan dan cara advokasi FNKSDA merupakan obyek kajian penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, menurut Bogdan dan Taylor seperti dikutip Moleong, metode kualitatif adalah metode penelitian yang menghasilkan data deskriptif dan digunakan untuk menjawab pertanyaan “bagaimana, alasan apa, mengapa’ terjadinya suatu fenomena sosial, dan menghasilkan data-data deskriptif (Moleong, 2010). Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi serta tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Metode kualitatif digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik suatu fenomena sosial dalam masyarakat. Metode ini, lebih mencoba mementingkan proses penelitian dari pada hasil penelitian. Oleh karena itu, bukan pemahaman mutlak yang dicari, tetapi pemahaman mendalam tentang kehidupan sosial (Suyanto, 2005: 168-169). Karena itu penelitian menggunakan pendekatan penelitian deskriptif-kualitatif. Pendekatan ini mencoba menggambarkan fenomena sosial yang terjadi pada permasalahan yang akan diteliti yang kemudian dilakukan proses penyusunan-penjelasan-tahap analisa. Penelitian diskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesa tertentu tetapi menggambarkan tentang apa adanya tentang suatu variable, gejala atau keadaan sosial (Suharsimi, 2000). Metode ini sesuai untuk mendeskripsikan proses pembentukan dan agenda-agenda gerakan sosial-lingkungan Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA). Metode lain yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dokumentasi. Dokumentasi berupa tulisan atau artikel, surat surat dan dokumen dokumen resmi, publikasi media, data statistik dan bahan bahan pustaka yang relevan dengan topik penelitian. Data data diperoleh dari pengumpulan dokumentasi untuk kemudian dijadikan referensi. Dokumendokumen yang akan di cari seperti Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) berbagai gerakan 16
Islam, kliping pemberitaan media, selebaran organisasi, buletin, dan Anggaran DasarAnggaran Rumah Tangga (AD-ART) FNKSDA. I.F.
Teknik Pengumpulan Data
I.F.1. Wawancara. Menurut Vredenberg (1978) dasar dari metode wawancara adalah mengumpulkan data mengenai sikap dan kelakuan, pengalaman, cita cita dan harapan seperti yang dikemukakan oleh responden atas pertanyaan peneliti. Kerjasama antara peneliti dan responden sangat penting untuk mengungkap informasi dari responden sesuai pandangan atau keadaannya. Wawancara akan dilakukan dengan berbagai pihak yang terlibat langsung dalam organisasi FNKSDA, seperti aktivis lingkungan dari berbagai pihak yang tergabung dengan gerakan ini. Salah satu yang menjadi narasumber utama dalam penelitian ini pertama, koordinator nasional jaringan FNKSDA Ubaidillah. Lulusan Pasca di Center of Religius and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM ini, dipilih menjadi koordinator nasional FNKSDA karena pengalaman dia sejak mahasiswa sudah aktif mengawal isu konflik agraria di Urutsewu. Beberapa peneliti sekaligus inisiator utama gerakan FNKSDA seperti Heru Prasetya, Bosman Batubara, Ubaidillah, Hairus Salim, dan Mohammad Sobirin. Heru, Batubara dan Sobirin merupakan aktivis sosial-lingkungan yang pernah beberapakali bergabung dalam satu proyek di LSM Desantara Foundations. Lembaga sosial yang memiliki minat terhadap penguatan komunitas (minoritas) terkait multikulturalisme dan lingkungan. Heru Prasetya, Batubara dan Sobirin merupakan alumni PMII UGM yang memiliki kedekatan kultural dengan Nahdliyin. Selain aktor utama yang menjadi inisiator gerakan ini, penelitian ini juga mencari data melalui aktor lokal yang bergabung didalam agenda FNKSDA khususnya di UrutsewuKebumen yang menjadi fokus isu dalam penelitian ini. Seniman sebagai kordinator Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS) dan Erik sebagai Ketua PMII Cabang Kebumen. Kedua aktor tersebut terlibat didalam agenda-agenda yang dilakukan FNKSDA di Urutsewu.
Seniman sendiri merupakan perwakilan FPPKS Kebumen yang datang ke
Jombang untuk bergabung dan bersinergi dengan gerakan FNKSDA. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam atau in-depth interview. Wawancara dilakukan melalui dua bentuk, yaitu wawancara yang bersifat formal 17
dan wawancara yang bersifat informal. Wawancara yang bersifat formal adalah wawancara yang dilakukan secara resmi berdasarkan kesepakatan interviewer yaitu penulis sendiri dan interviewee dan direkam menggunakan alat perekam. Teknik ini dipakai dalam wawancara dengan berbagai pihak yang berpengaruh dan punya keterlibatan terhadap gerakan FNKSDA. Sedangkan, wawancara yang bersifat informal adalah wawancara yang dilakukan diluar waktu yang telah diatur sebelumnya, wawancara ini dilakukan dengan mereka yang hadir dan terlibat dalam acara diskusi, aksi demontrasi serta halaqoh yang diselenggarakan oleh FNKSDA. I.F.2. Observasi Observasi merupakan metode pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan langsung untuk mengumpulkan dan mencatat segala informasi dan segala hal yang relevan dengan masalah penelitian. Observasi yang dilakukan adalah dengan cara partisan, yaitu peneliti
secara langsung dalam kegiatan objek yang diteliti. Observasi akan dilakukan
dengan mengikuti acara-acara yang di selenggarakan oleh objek penelitian. Selain acara yang dilakukan tersebut, observasi juga dilakukan didalam grup facebook yang dimiliki FNKSDA. Dalam forum grup facebook tersebut merupakan wadah sirkulasi informasi dimana anggota jaringan FNKSDA bertukar informasi, melakukan diskusi serta menyusun beberapa agenda gerakan. Pertama kali observasi penelitian dilakukan ketika diselenggarakan halaqoh dan deklarasi nasional gerakan FNKSDA pada tanggal 8-9 Desember 2013 di Ponpes TebuirengJombang. Pada acara deklarasi tersebut dihadiri puluhan berbagai perwakilan elemen masyarakat lokal dari berbagai daerah yang sedang menghadapi konflik SDA, Peneliti, aktivis lingkungan, akademisi sekaligus aktivis pemuda NU. Dalam forum tersebut secara garis besar, pemuda NU ingin agar Pengurus Besar (PB) NU serta Pemerintah untuk peduli terhadap kedualatan serta keadilan SDA Indonesia. Selain itu, Observasi juga pernah dilakukan pada saat audiensi (dialog) antara beberapa perwakilan peneliti FNKSDA dengan petani Rembang serta Pengurus Wilayah NU Rembang pada tanggal 27 Maret 2014. Selain forum tersebut, Observasi juga dilakukan ketika FNKSDA mengadakan agenda-agenda kegiatan diskusi, bedah buku, bedah film termasuk aksi demontrasi yang dilkukan oleh FNKSDA dan aliansinya yang menggruduk UGM pada tanggal 20 Maret 2015.
18
I.F.3.
Dokumentasi dan Studi Pustaka Dokumentasi untuk membantu menunjang dalam pengumpulan data. Dokumentasi
berupa tulisan atau artikel, surat surat dan dokumen dokumen resmi, publikasi media, data statistik dan bahan bahan pustaka yang relevan dengan topik penelitian. Data data diperoleh dari pengumpulan dokumentasi untuk kemudian dijadikan referensi yang semua tertuang dalam situs resmi FNKSDA www.daulathijau.org. Dokumen-dokumen organisasi gerakan sosial-lingkungan berupa kliping pemberitaan media, selebaran organisasi, dan Anggaran Dasar-Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) FNKSDA yang selesai dirumuskan awal 2015 kemarin. Dokumen lain adalah literatur yang digunakan oleh aktivis FNKSDA sebagai referensi, dan kliping berbagai pemberitaan di media masa yang relevan dengan tema penelitian. Termasuk beberapa kertas kerja, berupa kumpulan tulisan yang rutin ditulis oleh aktivis FNKSDA dari masing-masing wilayah kerja. Studi pustaka dilakukan untuk dapat memperkuat data-data primer yang telah didapat. Studi pustaka diambil dari buku, jurnal, situs online dan berbagai tulisan yang mendukung dalam proses penggarapan tulisan ini. Selain itu, studi pustaka ini dapat berfungsi sebagai alat cross-check dari data primer yang telah di dapat. I.F.4.
Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisa data kualitatif. Analisa data kualitatif adalah
upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2010). Hasil wawancara sebagai data primer penulis petakan berdasarkan kebutuhan penulisan, kemudian digabungkan dengan hasil observasi untuk mendapatkan jawaban dari rumusan masalah. Sedangkan data sekunder yang didapatkan dari studi pustaka penulis gunakan sebagai penguat analisis data primer. Setelah semua data terkumpul maka penulis mensistematisasikan dan menginterpretasikannya. Setelah semua data sudah tertata secara rapi dan mendetail, yang paling penting adalah memparalelkan data-data yang di dapat dengan teori yang ada. Dari bagian ini kesimpulan kemudian diambil. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan melihat pola relasi antara data dan realitas yang terjadi. Selain itu juga
19
dengan memperhatikan substansi pembahasan yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya. I.G. Sistematika Penulisan Penulis mencoba mengejawantahkan alur berpikir penulis dalam susunan bab per bab guna menjawab rumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut: Bab 1 merupakan bagian latarbelakang penelitian ini yaitu penjelasan secara konseptual gerakan sosial-lingkungan oleh kelompok pemuda muncul dalam tubuh ormas Islam Nahdlatul Ulama sebagai gejala sosiologis.
Bab 2 mengelaborasi sejarah singkat perjalanan Nahdlatul Ulama yang melahirkan generasi post tradisionalisme. Bagian ini menunjukkan bagaimana peran Nahdlatul Ulama melahirkan generasi Islam yang progresif, termasuk lahirnya FNKSDA oleh pemuda-pemuda Nahdliyin.
Bab 3 mendiskripsikan bagaimana proses-proses berjalanannya jaringan FNKSDA didalam menjalankan agenda-agenda organisasi. Selain itu, dalam sub babnya menjelaskan tentang strategi gerakan FNKSDA dalam agenda-agenda tersebut.
Bab 4 mendiskripsikan runtatan peristiwa sengketa lahan anatara TNI AD dengan masyarakat petani Urutsewu-Kebumen. Selain itu, menjelaskan proses-proses sinergi dan bentuk advokasi oleh JARINGAN FNKSDA terhadap masyarakat petani UrutsewuKebumen.
Bab 5 menganalis gerakan sosial-lingkungan yang telah dilakukan oleh FNKSDA dengan menggunakan teori sosiologi, pertama teori perilaku kolekti dan kedua, teori mobilisasi sumber daya.
Bab 6 Merupakan kesimpulan dari penelitian ini, yaitu: dalam konteks gerakan FNKSDA, struktur mobilisasi sumber daya yang paling dominan dalam protes kolektif lingkungan hidup adalah jaringan informal terutama kelompok-kelompok yang sebelumnya sudah ada di masyarakat.
20