1
BAB I PENDAHULUAN
I.1.Latar Belakang Jalan merupakan objek transportasi yang memiliki peranan penting dalam berbagai bidang. Pada UU No. 38 Tahun 2004 tentang jalan dijelaskan bahwa jalan merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang mempunyai peranan penting dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah perlu mempunyai suatu strategi perencanaan dan penanganan jalan yang cepat, tepat dan akurat. Untuk menunjang kegiatan tersebut diperlukan pengadaan informasi data spasial dari objek jalan yang sesuai dengan keadaan sebenarnya. Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam pengadaan data spasial objek jalan adalah pembuatan penampang melintang jalan. Mengacu pada pedoman leger jalan dari Dirjen Binamarga, Kementrian Pekerjaan Umum, kebutuhan skala dari pembuatan penampang melintang jalan adalah di antara skala 1:100 hingga 1:500 (Dirjen. Binamarga, 2008). Untuk memenuhi kebutuhan skala tersebut, pengukuran penampang melintang jalan selama ini dilakukan menggunakan alat Total Station dan receiver GNSS tipe geodetik. Pengukuran menggunakan alat tersebut umumnya membutuhkan waktu yang relatif lama dan memiliki risiko terkait keamanan akibat aktivitas lalu lintas yang sedang berlangsung. Berdasarkan fakta tersebut, metode pengukuran alternatif yang aman, efisien, dan akurat akan sangat membantu kegiatan pembuatan penampang melintang jalan. Seiring berkembangnya teknologi survei dan pemetaan, ditemukan suatu instrumen dan metode yang cocok untuk memperoleh hasil pengukuran yang lebih cepat, tepat dan akurat khususnya dalam pengukuran penampang melintang jalan. Teknologi yang dimaksud adalah Mobile Mapping System (MMS). Pada kegiatan aplikatif ini, akan dilakukan pemanfaatan point cloud hasil pengukuran menggunakan MMS untuk pembuatan penampang melintang jalan.
1
2
Kegiatan ini dilakukan pada Jalan Raya Gading Kirana, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kelebihan dari lokasi ini adalah merupakan salah satu jenis jalan perkotaan yang banyak dijumpai di kota-kota besar di Indonesia, sehingga lokasi studi kasus dapat digunakan sebagai representasi umum jalan di Indonesia. Hasil dari kegiatan aplikatif ini adalah penampang melintang jalan yang dibuat menggunakan data point cloud hasil pengukuran MMS.
I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan ditetapkan sebagai berikut : 1. Pada kegiatan aplikatif ini, data point cloud yang digunakan merupakan hasil akuisisi menggunakan MMS dengan alat Leica Pegasus Two 2. Cakupan wilayah point cloud yang digunakan adalah sepanjang Jalan Raya Gading Kirana, Kecamatan Kelapa Gading, Kota Jakarta Utara, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 3. Pembuatan penampang jalan menggunakan data DEM hasil pengolahan data point cloud.
I.3. Tujuan Kegiatan Tujuan dari kegiatan ini adalah dihasilkannya penampang melintang jalan dengan memanfaatkan data point cloud hasil akuisisi menggunakan MMS. Penampang melintang yang dimaksud adalah representasi objek jalan secara melintang terhadap as jalan pada lokasi kegiatan pengukuran.
I.4. Manfaat Kegiatan Manfaat dari kegiatan ini adalah untuk memberikan gambaran pemanfaatan point cloud dan analisis pada penampang melintang jalan hasil pengukuran Mobile Mapping System.
3
I.5. Landasan Teori I.5.1. Pengertian MMS Mobile Mapping System (MMS) merupakan sebuah sistem pemetaan dengan wahana bergerak yang dilengkapi dengan sensor penyiaman laser scanner, kamera tipe panoramic, receiver Global Navigation Satellite System (GNSS), Inertial Measurement Unit (IMU), dan perangkat penyimpanan data (Sairam dkk., 2016). Jika pada sistem Airbone Laser Scanner (ALS) alat dipasang pada wahana pesawat atau helikopter sebagai platform pada kegiatan survei menggunakan LIDAR, maka untuk MMS, platform yang biasa digunakan adalah mobil, sehingga membuat teknologi ini lebih terjangkau serta tidak memerlukan ijin khusus pada saat kegiatan survei dilaksanakan (Ussyshkin, 2009). Terdapat berbagai vendor penyedia alat MMS, salah satunya adalah Leica Geosystem dengan alat Leica Pegasus Two yang dalam penggunaannya dioperasikan menggunakan platform mobil, seperti ilustrasi pada Gambar I.1.
Gambar I.1. Perangkat MMS Leica Pegasus Two dan contoh platform mobil
I.5.2. Komponen MMS MMS bekerja dengan mengintegrasikan beberapa komponen dasar. Komponen tersebut berupa wahana (platform), receiver GNSS, IMU, laser scanner, kamera, perangkat lunak dan perangkat keras untuk proses integrasi antar komponen MMS. MMS membutuhkan data posisi dan orientasi melalui data pengamatan GNSS, IMU untuk melakukan proses georeferensi pada point cloud dan foto yang dihasilkan dari sensor laser scanner dan sistem kamera (Williams, dkk. 2013). Pada gambar I.2 diilustrasikan diagram alir manajemen data MMS.
4
Gambar I.2. Manajemen data MMS (Madeira, 2012) Setiap komponen MMS melakukan perekaman data secara bersamaan. Hasil perekaman dari setiap komponen tersebut diintegrasikan dengan mengacu pada waktu perekaman (time stamp). Receiver GNSS merekam koordinat platform setiap detik dan sensor IMU merekam sikap platform (roll, pitch, heading) hingga 200 sikap setiap detik. Pada sensor laser scanner dilakukan penyiaman terhadap objek di permukaan bumi dan dihasilkan data sekumpulan titik (point cloud) yang memiliki koordinat tiga dimensi (3D). Pada komponen kamera, dilakukan perekaman foto atau video sesuai dengan spesifikasi alat. Unit kontrol melakukan penyimpanan data hasil perekaman dari keseluruhan kegiatan sistem MMS. Berikut ini adalah empat komponen umum yang digunakan pada perangkat Mobile Mapping System (MMS) : I.5.2.1 Mobile plaform. Sebuah mobile platform merupakan suatu wahana bergerak yang digunakan untuk menghubungkan semua perangkat akuisisi data pada MMS menjadi
sistem
tunggal.
Platform
ini
umumnya
telah
dikalibrasi
untuk
mempertahankan posisi dari komponen GNSS, IMU, sensor penyiaman laser scanner, dan kamera (Williams dkk.,2013). Perangkat ini juga dapat diwujudkan dalam bentuk terpisah yang dirangkai pada frame khusus sebelum dipasang pada wahana mobil seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.3.
5
Gambar I.3. Contoh mobile platform dengan rangkaian frame khusus (Kukko, 2012) Meskipun cukup umum dalam penggunaannya, penggunaan mobil untuk dijadikan platform tidak selalu menjadi pilihan utama. Seiring berkembangnya inovasi dalam teknologi, MMS juga dapat dipasangkan pada platform darat lainnya. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.4, platform MMS dapat berupa kereta, all terrain vehicle (ATV), dan troli bahkan pada platform laut seperti kapal boat dengan menyesuaikan kebutuhan dan kondisi lapangan. Aplikasi MMS menggunakan platform ATV umumnya digunakan pada proyek inventasisasi pohon di daerah hutan, lalu penggunaan kapal boat dapat digunakan pada project pemetaan pesisir pantai, serta penggunaan platform berupa troli dapat digunakan pada project pemetaan model 3D bangunan didaerah perkotaan. Penggunaan platform MMS menyesuaikan kemudahan dan efektifitas dalam pemakaian (Kukko, 2012).
Gambar I.4. Kapal boat, troli, dan ATV sebagai platform MMS (Kukko, 2012)
6
I.5.2.2 Global navigation
satellite system (GNSS). GNSS adalah suatu sistem
penentuan koordinat berbasis satelit navigasi yang didesain untuk memberikan posisi tiga dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinyu dengan cakupan seluruh dunia dan kepada banyak orang secara simultan (Abidin, 2006). Global Navigation Satellite System (GNSS) terdiri atas tiga segmen utama seperti yang diilustrasikan pada Gambar I.5. Ketiga segmen tersebut adalah segmen angkasa, segmen sistem kontrol, dan segmen pengguna. Segmen angkasa (space segment) terdiri dari kumpulan satelit navigasi seperti GPS, GLONAS, Galileo, dan BeiDou. Segmen sistem kontrol (control system segment) terdiri dari kumpulan stasiun yang memonitor dan mengontrol kegiatan satelit. Segmen pengguna (user segment) terdiri dari para pengguna GNSS yang termasuk instrumen penerima dan pengolah sinyal data GNSS.
Gambar I.5. Tiga segmen utama penentuan posisi menggunakan GNSS (Abidin, 2006) Satelit GNSS memancarkan sinyal-sinyal gelombang secara kontinu pada 2 frekuensi L-band yang disebut L1 dan L2. Sinyal L1 memiliki frekuensi 1575.42 MHz dan sinyal L2 memiliki frekuensi 1227.60 MHz. Sinyal L1 membawa 2 buah kode biner yang dinamakan kode-P (P-code, Precise or Private code) dan kode-C/A (C/Acode, Clear Access or Coarse Acquisation), lalu pada sinyal L2 hanya membawa kodeC/A. Posisi yang diperoleh melalui GNSS merupakan posisi tiga dimensi (X, Y, Z
7
ataupun Ξ», Ο, h) dan dinyatakan dengan datum acuan WGS (World Geodetic System) 1984. Penentuan posisi menggunakan GNSS pada MMS dilakukan secara differensial kinematik menggunakan metode beda fase. Pengukuran GNSS metode diferensial kinematik memerlukan 2 buah receiver GNSS. Salah satu receiver akan diletakan pada sebuah titik yang telah diketahui koordinatnya di permukaan tanah sebagai basis (base) atau disebut stasiun referensi, sedangkan satu buah receiver lainnya akan ditempatkan pada platform atau mobil sebagai roving receiver. Konfigurasi dari kedua receiver tersebut dapat menghasilkan koreksi diferensial pada roving receiver, sehingga posisi platform dapat diketahui secara real time dan akurat (Abidin, 2006). I.5.2.3 Inertial measurement unit (IMU). Inertial measurement unit (IMU) merupakan suatu perangkat yang terdiri dari accelerometer, gyroscope, dan seperangkat komputer untuk memperoleh informasi berupa sikap dari suatu platform (Jekeli, 2001). IMU dapat digunakan untuk mengukur perubahan sudut platform (roll, pitch ,dan heading) terhadap arah navigasi seperti yang terlihat pada Gambar I.6.
Gambar I.6. Sumbu orientasi pada MMS (Hauser, 2013)
8
I.5.2.4 Sensor laser scanner. Laser scanner merupakan perangkat yang digunakan untuk memperoleh data koordinat tiga dimensi dari suatu area atau permukaan objek secara otomatis dan sistematis dalam jumlah yang sangat besar (ribuan hingga jutaan titik per detik). Hasil dari peyiaman laser scanner adalah berupa data point cloud. Point cloud
yang dimaksud merupakan sekumpulan titik dalam sistem koordinat tiga
dimensi yang memiliki informasi tambahan seperti warna, nilai reflektivitas. (Quintero dkk, 2008).
Sensor laser scanner yang digunakan pada perangkat MMS merupakan kategori dynamic laser scanning. Berdasarkan kegunaannya, laser scanner diklasifikasikan menjadi beberapa macam, seperti yang ditunjukkan pada gambar I.7.
Gambar I.7. Klasifikasi laser scanner berdasarkan kegunaannya (Quintero dkk, 2008)
Menurut Reshetyuk (2009), laser scanner memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan teknik survei lainnya seperti, pengukuran menggunakan Total Station, GPS, dan fotogrametri, yaitu :
9
1. Memperoleh data geometri suatu objek dalam 3D secara langsung, cepat dan detail. 2. Dapat digunakan pada medan atau objek yang sulit dijangkau dan berbahaya, apabila pengukuran menggunakan metode survei konvensional cukup sulit untuk dilakukan. 3. Tidak memerlukan cahaya untuk penerangan dalam kegiatan mengakuisisi data.
Laser scanner memiliki sistem pengukuran yang terdiri dari sistem pengukuran jarak dan sistem pengukuran sudut. Prinsip pengukuran jarak laser scanner terdiri dari dua jenis, yaitu berdasarkan prinsip pengukuran berbasis pulsa (Pulse Based) atau juga bisa disebut Time of Flying (TOF) dan berbasis fase (Phase Differenced Based). Pengukuran berbasis pulsa atau TOF adalah pengukuran berdasarkan waktu tempuh dari gelombang laser ketika dipancarkan dan diterima kembali oleh alat seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.8. Melalui waktu tempuh gelombang laser yang diperoleh dapat dihitung jarak antara laser scanner dengan titik dari objek yang dipindai menggunakan persamaan (I.1).
Gambar I.8. Pengukuran jarak berbasis pulsa atau time of flying (Quintero, 2008)
π·ππ π‘ππππ (π
) = (πΆ π₯ βπ)/2β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦ (I.1) Keterangan : π
= jarak laser scanner menuju titik di permukaan objek
10
πΆ
= kecepatan gelombang sinar laser (3 x 108 m/s)
βπ
= waktu tempuh gelombang saat dipancarkan dan dipantulkan
Untuk memperoleh koordinat suatu objek dengan menggunakan laser scanner, terdapat beberapa parameter yang harus diukur yaitu jarak (π
), sudut horizontal (π) dan sudut vertikal (π). Gambar I.9. merupakan ilustrasi pengukuran sudut dan jarak menggunakan laser scanner sehingga diperoleh posisi titik dalam sistem koordinat topografi.
Gambar I.9. Konsep pengukuran koordinat topografi menggunakan laser scanner Keterangan gambar : R = Jarak hasil pengukuran dari alat menuju objek π = Sudut horizontal antara arah bidikan dengan sumbu-x alat π = Sudut antara bidang horizontal xy terhadap garis bidik alat menuju objek Xi = Koordinat x objek dalam sistem koordinat alat (laser scanner) Yi = Koordinat y objek dalam sistem koordinat alat (laser scanner) Zi = Koordinat z objek dalam sistem koordinat alat (laser scanner) X = Koordinat x alat dalam sistem koordinat topografi
11
Y = Koordinat y alat dalam sistem koordinat topografi Z = Koordinat z alat dalam sistem koordinat topografi Melalui pengukuran tersebut diperoleh nilai koordinat suatu objek hasil penyiaman menggunakan laser scanner pada MMS. Koordinat objek diperoleh dari pengukuran sudut dan menggunakan persamaan (1.2) (Reshetyuk, 2009). π
. cos(π). cos(π) Xi [Yi] = [ π
. sin(π). cos(π) ] ................................................................ (I.2) π
. sin(π) Zi
I.5.3. Sistem Referensi Koordinat pada MMS Dalam kegiatan penentuan posisi dan orientasi MMS dibutuhkan beberapa pendefinisian dan transformasi antar sistem koordinat. Menurut El-Sheimy (2004) yang diacu dalam Angrisano (2010), terdapat empat sistem referensi koordinat utama pada sistem posisi dan orientasi MMS yaitu sebagai berikut : 1. Inertial Frame (i-frame) adalah sistem referensi koordinat kartesian tiga dimensi (3D) yang bersifat geosentrik dan terikat langit (space fixed). I-frame atau disebut CIS (Conventional Inertial System) digunakan untuk mendeskripsikan posisi dan pergerakan dari suatu benda langit. Berikut ini merupakan pendefinisian sumbu dan origin dari i-frame : Origin
: Pusat masa bumi
Sumbu Zi : Menunjuk pada perputaran sumbu bumi Sumbu Xi : Menunjuk pada garis khatulistiwa Sumbu Yi : Tegak lurus sumbu X dan Z dengan kaidah sistem tangan tangan. 2. Earth Centered Earth Fixed (ECEF atau e-frame) adalah sistem referensi koordinat kartesian tiga-dimensi yang bersifat geosentrik dan terikat bumi (earth fixed) atau disebut sistem koordinat global. E-frame pada umumnya digunakan untuk mendeskripsikan posisi dan pergerakan titik di permukaan bumi. Berikut ini merupakan pendefinisian sumbu dan origin dari e-frame : Origin
: Pusat masa bumi
Xe - Axis : Menunjuk pada meridian Greenwich
12
Ye - Axis : Tegak lurus sumbu X dan Z dengan kaidah sistem tangan tangan Ze - Axis : Menunjuk pada perputaran sumbu bumi. 3. Local Level Frame (LLF atau l-frame) adalah sistem referensi koordinat geodetik yang bersifat lokal. L-frame digunakan untuk mendeskripsikan sikap platform ketika berada dipermukaan bumi. Berikut ini adalah pendefinisian sumbu dan origin dari l-frame : Origin
: Bertepatan dengan origin sensor
Sumbu-Xl : Menunjuk arah garis timur (east) elipsoid Sumbu-Yl : Menunjuk arah garis utara (north) elipsoid Sumbu-Zl : Menunjuk arah garis tinggi elipsoid. Gambar I.10. merupakan ilustrasi dari sistem referensi koordinat e-frame (ECEF) dan l-frame (LLF).
Gambar I.10. Sistem koordinat ECEF dan LLF 4. Body Frame (b-frame) yaitu sistem referensi koordinat platform dimana sensor MMS dipasang. B-frame bisa disebut sebagai sistem koordinat IMU karena sikap platform merupakan hasil pengukuran IMU yang berpusat origin IMU. Berikut pendefinisian sumbu dan origin b-frame : Origin
: Titik origin IMU
Sumbu Xb : Menunjuk arah jalur pergerakan platform Sumbu Yb : Menunjuk arah kiri dari posisi platform
13
Sumbu Zb : Tegak lurus sumbu X dan Y dengan kaidah sistem tangan kanan Gambar I.11. merupakan ilustrasi integrasi antara sistem koordinat platform dengan sikap IMU (roll, pitch, heading/azimuth) .
Gambar I.11. Sikap IMU (roll,pitch,heading) pada sistem koordinat platform I.5.4. Transormasi koordinat pada MMS Penentuan posisi dan orientasi pada MMS dilakukan dengan mengintegrasikan sensor-sensor yang terdapat pada MMS. Integrasi sensor antar sensor pada MMS dilakukan untuk memperoleh koordinat suatu objek dipermukaan bumi dalam sistem koordinat lokal maupun sistem koordinat global. Koordinat dari objek diperoleh dengan mengkombinasikan data laser scanner, data GPS, data IMU dan data parameter kalibrasi sehingga menghasilkan data point cloud yang tergeoreferensi seperti yang ditunjukkan pada gambar I.12. Koordinat suatu objek di permukaan bumi dapat diperoleh dengan mengaplikasikan persamaan (I.3) untuk transformasi koordinat antar sensor yang terdapat pada MMS : π ππΊπ = ππΊππ + π
ππ (π
π π . π π β π π ) β¦β¦β¦..β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦β¦ (I.3)
Keterangan : ππΊπ
: Koordinat objek dalam sistem koordinat lokal (l frame)
π ππΊππ
: Koordinat sensor navigasi (GPS) dalam sistem koordinat global.
π
ππ
: Matriks rotasi dari sistem referensi koordinat platform (b frame) ke sistem koordinat lokal (l frame), ditunjukan oleh nilai roll, pitch dan
14
heading. π
π π
: Rotasi sistem koordinat laser scanner (s frame) terhadap sistem referensi koordinat platform (b frame), ditunjukan oleh nilai boresight.
ππ
: Koordinat target objek dalam sistem koordinat laser scanner (s frame).
ππ
: Jarak spasial (lever arm) dari titik pusat sistem koordinat laser scanner (s frame) ke titik pusat sistem referensi koordinat platform (b frame).
Gambar I.12. Transformasi koordinat pada MMS (NCHRP, 2013) Pada proses perhitungan rotasi dari b-frame menuju l-frame dibutuhkan nilai Ο, Ο, and ΞΊ yang dihasilkan dari pengukuran sikap platform oleh IMU. Rotasi dari s-frame ke b-frame membutuhkan sudut boresight. Boresight merupakan sudut rotasi antara sistem koordinat laser scanner (s-frame) dengan sistem koordinat platform atau sistem koordinat IMU (b-frame). Jarak lever arm merupakan nilai jarak antara b-frame dengan s-frame. Perhitungan yang digunakan untuk memperoleh koordinat point cloud
15
suatu objek menggunakan perangkat MMS adalah menggunakan persamaan (I.4) (NCHRP, 2013). π
π ππ₯ π π π π π π [π ] = [π ] + π
π (π π π
). (π
π (ππ ππ ππ
). π (Ι π) β [ππ¦ ] ) ..............(I.4) π πΊ π πΊππ ππ§
Keterangan : X, Y, Z (GPS) : Koordinat GNSS dalam sistem koordinat global (e-frame) π, π, π
: Parameter untuk perhitungan rotasi dari sensor terhadap sistem koordinat lokal (l frame) atau sudut roll, pitch, dan heading
ππ, ππ, ππ
: Sudut rotasi antar sensor laser scanner terhadap sensor IMU.
Ι π
: Sudut dan jarak objek terhadap sensor laser scanner.
ππ₯ , ππ¦ , ππ§
: Jarak lever arm antara sensor laser scanner terhadap sistem IMU.
Perangkat GNSS memperoleh posisi platform dengan frekuensi 1 Hz, sedangkan IMU mendapatkan orientasi dengan frekuensi sebesar 200 Hz. Pada saat GNSS tidak menerima sinyal satelit (outage) selang 1 detik, IMU akan tetap memberikan informasi perubahan posisi dan orientasi. Kesalahan posisi dan orientasi pada saat outage tersebut merupakan kesalahan turunan dari pengukuran IMU yang besarnya berbanding lurus dengan waktu (Hauser, 2013).
Pada Gambar I.13.
diilustrasikan kesalahan penentuan posisi dan orientasi dari perangkat GNSS dan IMU pada selang waktu 1 detik. Agar diperoleh data posisi dan orientasi untuk melakukan proses georeferensi dari sistem koordinat platform ke sistem koordinat lokal, perlu adanya proses integrasi antara data GNSS dengan data IMU (Hauser, 2013).
16
Gambar I.13. Kesalahan posisi selang 1 detik pada pengukuran GNSS dan IMU
Terdapat dua buah metode dalam proses integrasi data GNSS dengan IMU, yaitu metode tighly coupled dan loosely coupled. Pada metode integrasi tighly coupled, proses integrasi GNSS dilakukan secara bersamaan dengan data IMU, sedangkan pada metode loosely coupled pengolahan data dilakukan secara terpisah antara GNSS dengan IMU. Gambar I.14. merupakan ilustrasi kedua metode integrasi GNSS dengan IMU.
Gambar I.14. Metode integrasi GNSS dengan IMU (Hauser, 2013)
17
Pada masing-masing metode integrasi tersebut dilakukan proses perhitungan menggunakan Kalman Filter secara maju (forward) dan mundur (backward). Kalman Filter pada dasarnya merupakan persamaan yang menerapkan prediktor-korektor dan estimator untuk meminimalkan kesalahan varian kovarian untuk beberapa kondisi. (Jekeli, 2001).
Gambar I.15. Ilustrasi perhitungan kalman filter secara maju dan mundur (Hauser, 2013) Melalui Gambar I.15. diilustrasikan hasil dari proses kalman filter yang dilakukan secara maju dan mundur sehingga diperoleh hasil dengan nilai kesalahan yang minimal. Perhitungan secara maju dan mundur kemudian diperhalus (smoothing) agar menghasilkan nilai posisi yang lebih baik (Hauser, 2013). Integrasi antara sensor GNSS dengan IMU menghasilkan data berupa jalur kendaraan atau yang disebut dengan trajectory. Trajectory merupakan kumpulan data yang berisi informasi waktu, posisi latittude, longitude, elevasi, serta nilai rotasi terhadap sumbu x (Ο), rotasi y (Ο), rotasi z (ΞΊ) setiap 0.005 detik (200Hz) (Istarno, 2014). Melalui proses integrasi GNSS dan IMU juga dihasilkan nilai standar deviasi yang menunjukan tingkat kepresisian dari posisi yang dihasilkan oleh IMU pada selang waktu 1 detik. Hasil integrasi menggunakan metode loosely coupled memiliki ketelitian yang lebih rendah dibandingkan metode tighly coupled (Groves, 2008).
18
I.5.5. Sumber Kesalahan MMS Teknologi MMS juga mempunyai nilai kesalahan seperti pada alat-alat pengukuran lain pada umumnya. Kesalahan pengukuran MMS terdapat pada setiap komponennya yang saling terintegrasi. Berikut ini merupakan sumber kesalahan dalam pengukuran MMS.
1. Kesalahan Acak (Random Error) Kesalahan acak pada MMS menyebabkan ketidaktepatan koordinat yang diperoleh dari hasil penyiaman laser scanner. Menurut Habib (2008), terdapat beberapa efek noise dalam penyiaman menggunakan laser scanner yaitu position noise, orientation noise, dan range noise pada sistem penyiaman laser scanner dalam menghasilkan point cloud.
a. Position noise Pengaruh yang ditimbulkan dari efek position noise adalah independen terhadap jarak dan metode penyiaman. b. Orientation noise Efek orientation noise lebih mempengaruhi kesalahan koordinat point cloud secara horisontal daripada secara vertikal. Pengaruh yang diberikan bersifat dependen terhadap jarak dan sudut penyiaman.
c. Range noise Range noise lebih mempengaruhi kesalahan point cloud secara vertikal. Pengaruhnya independen terhadap jarak penyiaman, tetapi dependen terhadap sudut penyiaman.
2. Kesalahan Sistematik Kesalahan sistematik dipengaruhi oleh kesalahan pada komponen sistem MMS dan diperlukan proses kalibrasi untuk menghasilkan point cloud dengan kesalahan posisi yang lebih minial. Kesalahan sistematik pada komponen sistem MMS perlu diketahui dan digunakan sebagai parameter kalibrasi point cloud. Kesalahan sistematik tersebut adalah sebagai berikut.
19
a. Lever arm offset error Kesalahan dari penempatan alat (lever arm) antara laser scanner dan IMU sehingga akan mengakibatkan pergeseran konstan pada point cloud.
b. Boresight offset error Kesalahan boresight disebabkan oleh kesalahan rotasi roll, sehingga mengakibatkan adanya kesalahan elevasi pada objek tanah. Kesalahan horizontal merupakan kesalahan dari rotasi roll, pitch, dan heading yang dapat diketahui melalui bentuk objek bangunan. Kesalahan tersebut merupakan kesalahan rotasi dari sistem IMU terhadap sistem laser scanner. Kesalahan dari boresight offset mempengaruhi koordinat horisontal dan koordinat vertikal. Nilai kesalahan yang diperoleh pada nilai roll dan pitch umumnya memiliki rentang 0,004Β° hingga 0,02Β°. Kesalahan pada heading umumnya dua kali lebih besar dari pada kesalahan yang terjadi pada roll dan pitch (Katzenbeisser, 2003). Gambar I.16 hingga I.19. merupakan ilustrasi dari pengaruh kesalahan roll, pitch dan heading yang terjadi pada MMS. Objek berwarna biru menunjukkan pengukuran pada saat pergi dan objek berwarna merah menunjukkan pengukuran pada saat pulang. Garis putus-putus menunjukkan gambaran point cloud hasil pengukuran yang mengandung kesalahan (roll, pitch, ataupun heading). Garis tegas berwarna merah dan biru merupakan jalur laser pada saat memindai objek atau target pengukuran, sementara itu garis tegas berwarna hitam merupakan point cloud yang seharusnya dihasilkan.
Gambar I.16. Ilustrasi kesalahan roll terhadap tanah (Terrasolid, 2015)
20
Melalui gambar I.16, ditunjukkan bahwa terdapat kesalahan posisi pada tampilan melintang dari point cloud akibat kesalahan sudut roll terhadap tanah. Kesalahan ini umumnya menimbulkan lengkungan dari point cloud tanah ataupun jalan raya.
Gambar I.17. Ilustrasi kesalahan roll terhadap bangunan (Terrasolid, 2015)
Melalui gambar I.17, diilustrasikan bahwa terdapat kesalahan posisi pada tampilan melintang dari point cloud akibat kesalahan sudut roll terhadap objek bangunan. Kesalahan ini umumnya menimbulkan kemiringan dari point cloud objek tembok bangunan atau gedung.
Gambar I.18. Ilustrasi kesalahan pitch terhadap bangunan (Terrasolid, 2015)
21
Gambar I.18 menunjukkan bahwa terdapat kesalahan posisi pada tampilan melintang dari point cloud akibat kesalahan sudut pitch terhadap bangunan. Kesalahan ini juga menimbulkan lengkungan dari point cloud objek tembok bangunan atau gedung.
Gambar I.19. Ilustrasi kesalahan heading terhadap bangunan (Terrasolid, 2015) Pada gambar I.19, ditunjukkan bahwa terdapat kesalahan posisi pada tampilan orthogonal dari point cloud akibat kesalahan sudut heading terhadap bangunan. Kesalahan ini menimbulkan jarak (gap) dari point cloud hasil pengukuran pergi dan pulang.
c. Kesalahan pada penyangga alat penyiaman (mounting bias error) Nilai
sudut
penyimpangan
pada
penyangga
alat
penyiaman
umumnyanya kurang dari 3Β° (Baumker dkk, 2002). Mounting bias error juga dapat dianggap sebagai ketidaksejajaran antara sistem IMU dan alat penyiaman laser scanner.
d. Kesalahan pada pengukuran jarak laser scanner Kesalahan ini tergantung pada kecepatan platform dan pencatat waktu interval laser scanner. Besarnya kesalahan pencatat waktu dapat dianggap
22
konstan dan nilainya ditetapkan oleh vendor yang memproduksi sensor laser scanner tersebut. Pada kenyataanya, kesalahan ini dapat dipengaruhi oleh perubahan temperatur dan bertambahnya umur alat.
I.5.6. Koreksi Kesalahan Geometrik pada Point Cloud Kalibrasi point cloud dilakukan untuk menghilangkan kesalahan posisi dan orientasi relatif antar sistem MMS khususnya kesalahan sudut boresight dan kesalahan lever arm. Menurut Glennie (2007) kesalahan boresight dan lever arm dapat dihilangkan dengan melakukan pengukuran MMS pada area yang diukur dua kali secara berturut-turut sehingga menghasilkan point cloud yang saling tumpang tindih (overlapping). Beberapa objek pada point cloud yang saling overlapping dapat dijadikan acuan untuk melakukan kalibrasi karena objek tersebut mengidentifikasikan nilai kesalahan boresight dan lever arm. Objek yang dapat dijadikan sebagai acuan kalibrasi tersebut yaitu objek dinding, pojok bangunan, dan jalan raya. Koreksi kesalahan geometrik data point cloud dapat dilakukan menggunakan berbagai cara, salah satunya adalah menggunakan algoritma Iterrative Closest Point (ICP). Melalui algoritma ICP, dua buah point cloud bertampalan hasil akuisisi MMS dari dua buah jalur (trajectory) berbeda yang memiliki kesalahan posisi serta kesalahan orientasi relatif dapat dikoreksi. Proses koreksi tersebut dilakukan dengan cara melakukan transformasi secara iteratif hingga dihasilkan pasangan blok point cloud bertampalan dengan nilai kesalahan (RMS error) yang diminimalisir (Rusinkiewicz, 2001). Menurut Besl, dkk. (1992), koreksi geometrik point cloud menggunakan algoritma ICP dapat diilustrasikan seperti pada Gambar I.20.
23
Gambar I.20. Ilustrasi koreksi geometrik point cloud dengan algoritma ICP
Transformasi yang digunakan dalam perhitungan menggunakan algoritma ICP adalah
menggunakan
matriks
transformasi
koordinat
3
dimensi
dengan
mendefinisikan parameter translasi dan rotasi terhadap 3 buah sumbu tegak. Perhitungan transformasi 3 dimensi para algoritma ICP dapat dilakukan menggunakan persamaan (I.5) (Vince, 2010). π₯β² π₯ π¦β² π¦ = π(π₯, π¦, π§). π
(π
). π
(π). π
(π). [ π§ ] .................................................. (I.5) π§β² 1 [1] Persamaan matriks (I.5) dapat dijabarkan menjadi sebuah persamaan matriks (I.16). π11 π₯β² π π¦β² = 21 π31 π§β² [ 1 ] [π41
π12 π22 π32 π42
π13 π23 π33 π43
π14 π₯ π24 π¦ [ ] ........................................................... (1.6) π34 π§ π44 ] 1
Setiap komponen transformasi pada matriks (I.6) dapat dijabarkan menjadi persamaan (I.7) hingga (I.20).
24
π11 = πππ (π
). πππ (π) + π ππ(π
). π ππ(π). π ππ(π) ................................ (I.7) π12 = πππ (π). π ππ(π) ..........................................................................(I.8) π13 = βπ ππ(π
). πππ (π) + πππ (π
). π ππ(π). π ππ(π) ............................. (I.9) π14 = β(π‘π₯. π11 + π‘π¦. π12 + π‘π§. π13)................................................ (I.10) π21 = βπππ (π
). π ππ(π) + π ππ(π
). π ππ(π). πππ (π) .............................. (I.11) π22 = πππ (π). πππ (π) ..........................................................................(I.12) π23 = βπ ππ(π
). π ππ(π) + πππ (π
). π ππ(π). πππ (π) ............................. (I. 13) π24 = β(π‘π₯. π21 + π‘π¦. π22 + π‘π§. π23)................................................ (I.14) π31 = π ππ(π
). πππ (π) ...........................................................................(I.15) π32 = βπ ππ(π) ..................................................................................... (I.16) π33 = πππ (π
). πππ (π)...........................................................................(I.17) π34 = β(π‘π₯. π31 + π‘π¦. π32 + π‘π§. π33)................................................ (I. 18) π41 = π42 = π43 = 0 ......................................................................(I.19) π44 = 1 .................................................................................................(I.20) Keterangan : π = roll, rotasi terhadap sumbu x π = pitch, rotasi terhadap sumbu y π
= heading, rotasi terhadap sumbu z π‘π₯ = translasi terhadap sumbu x π‘π¦ = translasi terhadap sumbu y π‘π§ = translasi terhadap sumbu z
25
I.5.7. Klasifikasi Data Point Cloud Klasifikasi point cloud dilakukan berdasarkan beberapa skema klasifikasi menggunakan perangkat lunak TerraScan. Berikut ini merupakan beberapa kelas point cloud dengan skema klasifikasinya (TerraSolid, 2015): 1. Kelas Ground Skema klasifikasi pada kelas ground ditentukan melalui proses pembentukan model permukaan (terrain model) secara berulang-ulang (iterative). Parameter utama yang digunakan klasifikasi kelas ground adalah nilai toleransi maksimal dari sudut terhadap model permukaan, dan nilai toleransi maksimal dari jarak antar titik pada model permukaan. Melalui input parameter tersebut, maka akan diperoleh hasil point cloud yang diklasifikasikan menjadi kelas ground. Berikut ilustrasi parameter pada skema klasifikasi ground. Gambar I.23 menunjukan ilustrasi penggunaan parameter yang dibutuhkan untuk skema klasifikasi ground. Secara keseluruhan, hasil point cloud hasil klasifikasi ground ditunjukan oleh titik warna merah yang merupakan hasil dari proses perhitungan secara berulang-ulang (iterative).
Kelas Point Cloud default ground
Gambar I.21. Ilustrasi skema klasifikasi point cloud kelas ground 2. Kelas Low Point Skema klasifikasi kelas low point ditentukan melalui perbedaan nilai ketinggian titik disekitarnya seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.22. Parameter utama dari skema klasifikasi kelas low point adalah pendefinisian model permukaan, nilai perbedaan ketinggian, dan nilai jarak 2D dari low
26
point satu dengan yang lainnya. Berikut ini adalah skema dan parameter low point. Kelas Point Cloud ground low point
Gambar I.22. Skema klasifikasi point cloud kelas low point (TerraSolid, 2015) Pada Gambar I.22. point cloud warna merah menunjukan model permukaan sedangkan point cloud warna biru merupakan point cloud untuk kelas low point.
3. Kelas Long Range Parameter untuk skema klasifikasi pada kelas long range ditentukan berdasarkan nilai jarak 3D laser scanner terhadap suatu objek. Posisi laser scanner diidentifikasikan sebagai posisi platform hasil integrasi GNSS dengan IMU. Point cloud dengan kelas long range memiliki kesalahan posisi yang besar karena dipengaruhi oleh kesalahan jarak dan sudut laser scanner. 4. Kelas Low Vegetation, Medium Vegetation, High Vegetation Skema klasifikasi low vegetation, medium vegetation dan high vegetation ditentukan berdasarkan nilai jarak elevasi suatu elemen terhadap point cloud. Pada project MMS elemen yang dimaksud merupakan elemen dari data trajectory. 5. Kelas Default Kelas default adalah kelas dari data point cloud tanpa adanya skema klasifikasi.
27
I.5.8. Pengertian DEM, DTM, dan DSM Digital Elevation Model (DEM) atau Model Elevasi Digital (MED) adalah data elevasi digital dari suatu terain (topografi dan batimetri) tanpa adanya fitur permukaan bumi seperti bangunan dan vegetasi (ASPRS,2007). DEM merupakan model permukaan bumi yang terbentuk dari titik-titik yang memiliki nilai koordinat 3D (x, y, z). Titik tersebut dapat berupa sampel titik dari permukaan bumi atau hasil perhitungan interpolasi maupun ekstrapolasi dari sampel titik hasil pengukuran. Pengertian DEM hampir sama dengan Digital Terrain Model (DTM) atau Model Terain Digital (MTD), namun DTM mencakup unsur-unsur dengan elevasi yang signifikan dari fitur topografi seperti unsur linier yang berupa breakline, mass point, dan hidrologic condition, sehingga pada DTM, model relief dapat sesuai dengan kenyataan (ASPRS,2007). Digital Surface Model (DSM) atau Model Permukaan Digital (MPD) merupakan model digital yang merepresentasikan objek permukaan bumi secara keseluruhan, fitur alami seperti pepohonan, semak belukar maupun fitur buatan manusia seperti gedung, rumah, dan fasilitas lainnya (ASPRS,2007). Sementara itu, DTM hanya pada permukaan atau terain dari permukaan bumi tanpa objek lain di atasnya seperti bangunan dan tanaman seperti yang diilustrasikan pada Gambar I.23.
Gambar I.23. Ilustrasi perbedaan DTM dan DSM Terdapat tiga macam bentuk struktur dasar DEM menurut Prahasta (2008) yaitu: 1. Struktur garis, struktur model garis menampilkan nilai ketinggian elevasi dari sebuat terain di dalam sebuah garis kontur yang sering disebut Digital Line Graph (DLG)
28
2. Struktur grid, dalam struktur grid ini nilai ketinggian dari suatu terain diwakili oleh suatu nilai piksel yang mempunyai nilai ketinggian. Pada model grid, representasi permukaan lebih mudah dilakukan. Pembentukan DEM dengan struktur model grid sangat bergantung dari resolusi piksel yang digunakan dalam pembentukan DEM. Semakin besar resolusi pikselnya, maka ketelitian DEM yang dihasilkan akan semakin baik namun terlalu banyak mengabiskan memory penyimpanan. 3. Triangular Irregular Network (TIN). Pada struktur model jaringan TIN, suatu terain ditampilkan melalui metode pendekatan jaringan segitiga pada titik-titik yang ada. Permukaan terain dibentuk berdasarkan titik-titik sampel yang mewakili karakteristik dari terain tersebut. Untuk membentuk permukaan terain dibutuhkan minimal tiga buat titik sampling untuk membentuk suatu segitiga seperti yang ditunjukkan pada gambar I.24.
Persebaran Titik Elevasi Ilustrasi Warna Berdasarkan Elevasi Interpolasi TIN Tampilan 2D
Tampilan 3D Gambar I.24. Pembentukan model elevasi digital dengan metode interpolasi TIN
I.5.9. Ketelitian Elevasi Hasil Penyiaman MMS Analisis ketelitian elevasi dilakukan sebagai kontrol kualitas data elevasi guna memberikan jaminan produk hasil pekerjaan yang sesuai pedoman dan spesifikasi teknik pekerjaan. Analisis ketelitian elevasi hasil penyiaman MMS sama dengan hasil metode analisis ketelitian elevasi hasil penyiaman LIDAR pada umumnya. Analisis dilakukan melalui pengujian data elevasi agar dapat diketahui besar ketelitian elevasi DEM terkait dengan kontrol kualitas terhadap kesalahan sistematik.
29
Penentuan
ketelitian
elevasi
hasil
penyiaman
dilakukan
dengan
membandingkan elevasi DEM dengan elevasi hasil survei independen. Semakin kecil perbedaan antara elevasi hasil penyiaman dengan elevasi hasil survei, maka ketelitian elevasi semakin tinggi. Ketelitian vertikal didefinisikan sebagai nilai RMS Error dari elevasi. RMSE merupakan kesalahan kumulatif dari semua kesalahan yang terjadi selama proses akuisisi atau produksi data (ASPRS, 2007). I.5.10.1. Interpolasi Linier Dalam penentuan titik uji untuk perhitungan ketelitian elevasi, posisi titik yang dibandingkan harus memiliki koordinat yang sama. Point cloud memiliki titik koordinat yang bersifat menyebar dan dalam beberapa kondisi tidak berada pada posisi yang persis sama dengan titik uji, melainkan berada di sekitarnya. Untuk dapat melakukan pengujian, perlu dilakukan proses interpolasi linier agar diperoleh titik yang mewakili data point cloud untuk dibandingkan dengan titik uji (hasil pengukuran Total Station) (Terrasolid, 2015). Interpolasi yang dilakukan adalah menggunakan model permukaan TIN. Untuk membentuk TIN yang mampu merepresentasikan model permukaan dengan kualitas bagus diperlukan data point cloud yang sangat rapat dengan ketelitian tinggi. Jika terdapat serangkaian titik (X ,Y) pada bidang datar, maka nilai dari titik-titik tersebut dapat divisualisasikan sebagai ketinggian Z pada bidang tersebut. Titik-titik pembentuk bidang-bidang segitiga pada model TIN merupakan titik (nodes) yang memiliki koordinat 3D (X, Y, Z), permukaan dari segitiga-segitiga tersebut direpresentasikan menjadi bidang interpolasi titik-titik yang ada didalamnya. Misal titik A1(X1 ,Y1), A2(X2, Y2), dan A3(X3,Y3) terdapat pada satu bidang dan merupakan titik dari sebuah segitiga serta memiliki nilai elevasi (Z1, Z2, dan Z3). Dengan demikian, nilai elevasi dari suatu titik (Z) pada posisi A (X, Y) dalam sebuah bidang segitiga dapat diperoleh melalui persamaan (I.21.). π = π. π + π. π + π ....................................................................(I.21) Persamaan (I.7) merupakan persamaan umum dari perhitungan interpolasi linier. Dalam menentukan elevasi sebuah titik pada suatu bidang melalui interpolasi linier, diperlukan minimal tiga buah titik untuk membentuk tiga buah persamaan, sehingga koefisien a ,b ,dan c pada persamaan tersebut dapat didefinisikan. Dari ketiga
30
titik tersebut dapat dibentuk tiga buah persamaan linier sebagaimana tersaji pada persamaan (I.22.) hingga (I.24.) : π1 = π. π1 + π. π1 + π .................................................................(I.22) π2 = π. π2 + π. π2 + π ................................................................ (I.23) π3 = π. π3 + π. π3 + π ............................................................... (I.24) Persamaan I.22., I.23., I.24., dapat disusun dalam bentuk matriks X = A.B, X merupakan matriks berisi nilai koefisien a,b,c. Matriks A merupakan matriks yang berisi nilai koordinat X dan Y. Matriks B merupakan matriks yang berisi nilai koordinat elevasi (Z). Melalui persamaan (I.24.) komposisi dari masing-masing matriks tersebut dapat disusun seperti berikut : π π1 π1 1 [π ] = [π2 π2 1] π π3 π3 1
β1
π1 [π2]...................................................... (I.24) π3
I.5.10.2. Titik uji Total Station. Titik sampel uji harus berada pada daerah dengan point cloud yang bertampalan, yaitu point cloud hasil pengukuran dari jalur pergi dan pulang. Suatu daerah yang diuji harus memiliki permukaan yang datar dan tidak boleh memiliki kemiringan terrain melebihi 20%. Jika kemiringan melebihi nilai tersebut maka kesalahan horizontal akan mempengaruhi perhitungan RMSE vertikal (FGDC, 1998).
I.5.10.3. Perhitungan ketelitian elevasi. Ketelitian MMS salah satunya ditentukan oleh besarnya RMSE dari elevasi. RMSE adalah akar kuadrat dari rata-rata perbedaan data yang dikuadratkan antara nilai koordinat dataset dan nilai koordinat dari hasil survei independen dengan ketelitian yang lebih tinggi untuk titik-titik identik (FGDC, 1998). RMSE elevasi didapat dari hitungan kuadrat akar rata-rata perbedaan nilai elevasi hasil penyiaman laser scanner dengan hasil ukuran independen yang mempunyai ketelitian lebih tinggi. Perhitungan nilai RMSE elevasi dapat dihitung melalui persamaan (I.25).
31
π
RMSE = β
β(ππππ‘π(π) β ππβπππ(π) )2 ...........................................................(I.25)
π=1
π
Keterangan: Zdata(i)
= koordinat elevasi dari data ke-i hasil pengukuran
Zcheck(i) = koordinat elevasi dari data ke-i hasil survei pembanding yang independen n
= jumlah titik uji
I.5.10. Klasifikasi Jalan Menurut Miro (1997), berdasarkan peranannya, jaringan jalan dapat dibagi menjadi beberapa jenis seperti yang diilustrasikan pada Gambar I.25. dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Jalan Arteri adalah jalan yang melayani angkutan jarak jauh dengan kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah masuk (accces road) yang dibatasi untuk kepentingan efisiensi penggunaan jalan. 2. Jalan Kolektor adalah jalan yang melayani angkutan dengan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk masih dibatasi. 3. Jalan Lokal adalah jalan yang melayani angkutan jarak dekat (angkutan setempat) dengan kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk yang tidak dibatasi.
Gambar I.25. Klasifikasi jalan berdasarkan peranannya (Miro, 1997)
32
Melalui perencanaannya, jalan juga diklasifikasikan menjadi beberapa tipe dan kelas, yaitu : 1. Tipe I, kelas I Jalan dengan standar tertinggi dalam melayani lalu lintas cepat antar regional atau antar kota dengan pengaturan jalan masuk secara penuh. 2. Tipe I, kelas II Jalan dengan standar tertinggi dalam melayani lalu lintas cepat antar regional atau dalam kota-kota metropolitan dengan sebagian atau tanpa pengaturan jalan masuk. 3. Tipe II, kelas I Standar tertinggi bagi jalan-jalan dengan 4 jalur atau lebih, memberikan pelayanan angkutan cepat bagi angkutan antar kota atau dalam kota dengan kontrol. 4. Tipe II, kelas II Standar tertinggi bagi jalan-jalan dengan 2 atau 4 jalur dalam melayani angkutan cepat antar kota dan dalam kota, terutama untuk persimpangan tanpa lampu lalu lintas. 5. Tipe II, Kelas III Standar menengah bagi jalan dengan 2 jalur untuk melayani angkutan dalam distrik atau kecamatan dengan kecepatan sedang tanpa lampu lalu lintas 6. Tipe II, kelas IV Standar terendah bagi jalan satu arah yang melayani hubungan jalan MHT atau jalan lingkungan dengan lebar di bawah 3 meter.
I.5.11. Penampang Melintang Jalan Penampang melintang jalan merupakan potongan melintang tegak lurus sumbu atau as jalan. Pada potongan melintang jalan dapat terlihat bagian jalan yang meliputi jalur lalu lintas, saluran drainase jalan, pelengkap jalan, bagian konstruksi jalan, dan sebagainya (Sukirman,1999).
33
Penampang melintang jalan dibuat dengan mengacu kriteria penampang melintang jalan pada pedoman leger jalan, Dirjen Binamarga, Kementrian Pekerjaan Umum (2008). Ilustrasi dari penampang melintang dari jalan kolektor, tipe II, kelas I ditunjukkan pada Gambar I.26. 1. Penampang melintang disajikan dengan skala antara 1:100 hingga 1:500 2. Pembuatan penampang melintang jalan dilakukan minimal setiap 100 meter pada jalan lurus 3. Pembuatan penampang melintang jalan dilakukan setiap 25 meter pada tikungan spiral circle spiral (SCS) dan spiral spiral (SS) 4. Pembuatan penampang melintang jalan dilakukan setiap serta 50 meter pada tikungan tangent spiral (TS).
Gambar I.26. Penampang melintang jalan (Weld Country, 2011)
Hasil dari penampang melintang jalan menunjukkan beberapa informasi terkait elemen jalan. Elemen yang ditampilkan dalam sebuah penampang melintang jalan berupa : 1. Lebar badan jalan atau jalur lalu lintas Lebar badan jalan merupakan bagian yang paling menentukan lebar melintang jalan secara keseluruhan. Lebar badan jalan diukur melalui perbatasan dengan trotoar pada sebelah kanan dan kiri badan jalan. 2. Lebar bagian pelengkap jalan (trotoar, bahu jalan) Bagian pelengkap jalan yang meliputi trotoar, bahu jalan merupakan bagian yang terletak berdampingan dengan jalur lalu lintas.
34
3. Persentase kemiringan jalan Kemiringan melintang jalan lurus diperuntukkan untuk kebutuhan drainase jalan. Kemiringan ini dibuat supaya air yang jatuh di atas permukaan jalan cepat dialirkan ke saluran-saluran pembuangan. Persentase kemiringan jalan bervariasi antara 0% hingga 3 %, tergantung jenis lapisan permukaan dan kondisi topografi sekitar.
35