1 BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Permasalahan
I.1.1. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia memiliki pengalaman dalam kehidupannya yang dihasilkan melalui perjumpaan dengan berbagai peristiwa. Perjumpaan tersebut mengandung makna/nilai - nilai hidup, sehingga menjadi bagian penting dalam sejarah kehidupan manusia. Nilai – nilai yang ada akan selalu dikaitkan dengan peristiwa – peristiwa yang sedang dan akan terjadi, jadi ada benang merah antara pengalaman yang satu dengan pengalaman lainnya.
Pengalaman yang dimiliki seseorang selalu bersifat subyektif, karena dialami secara pribadi (sekalipun secara komunal) dan berhubungan dengan rasa/kesan individu melalui interpretasi terhadap pengalamannya1. Pengalaman tersebut mengandaikan adanya perjumpaan antara seseorang dengan sesuatu yang diobyekan. Hasilnya seseorang akan memiliki pengetahuan terhadap apa yang dijumpai/dialami, terutama berkaitan dengan pergaulan praktis dengan kehidupan dunia.2
Pengalaman manusia salah satunya berhubungan dengan religiusitas, yaitu pengalaman perjumpaan dengan yang ilahi/Yang Lain3. Ia dianggap sebagai obyek yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan, sehingga memunculkan rasa takut dan tertarik kepada-Nya. Pengalaman ini kemudian disebut sebagai pengalaman religius4, karena menghubungkan dan mempersatukan antara seseorang dengan yang ilahi/Yang Lain melalui kehadiran-Nya dalam berbagai segmen kehidupan.
1
Gorg Kirchberger, Allah : Pengalaman dan Refleksi dalam Tradisi Kristen, 1999, p. 15 Dr. Nico Syukur Dister, OFM, Pengalaman dan Motivasi Beragama, 1990, p. 21 3 Dalam hal ini penulis, mendefinisikan yang berbeda antara yang ilahi dan Yang Lain. Yang ilahi berkaitan dengan kosmovitalisme, yaitu keyakinan kepada daya – kekuatan kosmos yang tak berpribadi. Seperti kesuburan, kehidupan, kematian,dll. Sedangkan Yang Lain berkaitan dengan Teisme, yaitu keyakinan kepada Tuhan atau dewa-dewi yang berpribadi. Lih. Dr. Nico Syukur Dister, OFM, Pengalaman dan Motivasi Beragama, 1990, p.51 4 Religius berasal dari bahasa Latin religare, artinya menghubungkan, mempersatukan, menghubungkan, lih Abraham H. Maslow, Agama, Nilai dan Pengalaman Puncak, 2000, p. 17 2
2 Perjumpaan dengan yang ilahi/Yang Lain menjadikan seseorang memiliki pengetahuan tentangNya. Pengetahuan ini bila dimaknai terus akan mengantar seseorang pada pengalaman – pengalaman berikutnya, sebab makna yang diperoleh dari perjumpaan tersebut mendorong seseorang untuk melibatkan pengetahuan dan pengertian tentang-Nya dalam setiap pengalaman baru.
Pengetahuan dan pengertian yang terus dimaknai akan semakin memperteguh keyakinan seseorang, sehingga membuat dirinya tunduk dan hormat kepada-Nya. Rudolf Otto mengisitilahkannya dengan Mysterium Tremendun et Fascinosum, dimana yang ilahi/Yang Lain mempunyai sifat tremendum (menggetarkan) dan sifat fascinosum (mempesonakan/menarik)5. Dengan demikian yang ilahi/Yang Lain menjadi realitas yang ditakuti dan juga dihampiri/didekati. Ia ditakuti karena dianggap mempunyai kekuatan/kekuasaan yang lebih dari manusia. Disisi lain, Ia memiliki pesona yang membuat manusia tertarik menghampiri-Nya, karena menjadi sandaran/memberikan harapan dalam kehidupan ini. Pengakuan dalam pengalaman ini membawa manusia kepada kesadaran akan keterbatasannya, sehingga muncul sebuah sikap ketergantungan kepada-Nya. Ia diharapkan sebagai way of life yang menjadi sumber segala sumber kehidupan.
Sikap ketergantungan kepada-Nya membuat seseorang bisa mengubah cara pandang terhadap hidup yang dijalani. Hal ini terjadi karena ada sebuah rekonstruksi pada pemikiran dan tindakan sebagai sebuah ungkapan dari pengalaman tersebut. Seseorang secara aktif merespon kehadiran yang ilahi/Yang Lain dalam berbagai peristiwa. Respon ini yang membuatnya memiliki endapan historis, yaitu pengalaman perjalanan hidup yang mengantarkan dirinya merasakan kehadiran-Nya terus – menerus, sehingga ia memiliki ketergantungan kepada yang ilahi/Yang Lain dalam setiap sendi kehidupan.
Pengalaman perjumpaan dengan-Nya bisa dialami oleh siapa saja, karena pada dasarnya menurut Mircea Eliade setiap manusia adalah keturunan Homo Religius6, yaitu keturunan para nenek moyang yang mengakui adanya realitas yang absolut, transenden, sakral dan mengatasi dunia. Pengakuan ini memunculkan keyakinan bahwa apa yang ada di dunia bersumber dari-Nya, sehingga ia dianggap sebagai asal mula dari segala sesuatu.
5
R. Otto, The Idea of the Holy, 1959, p. 26-56, seperti dikutip Dr. Nico Syukur Dister, OFM, Pengalaman dan Motivasi Beragama, 1990, p. 41 6 Mircea Eliade, Sakral dan Profan, 2002, p. 211
3 Dengan demikian kaum tunawisma juga adalah keturunan homo religius, sehingga dimungkinkan merekapun memiliki pengalaman religius tersebut. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melihat dan mengamati kehidupan kaum tunawisma dalam kerangka pengalaman religius yang mereka alami dan rasakan sebagai sebuah bentuk perjumpaan dengan-Nya. Pengamatan ini kemudian dihubungkan dengan kehidupan yang dijalani oleh mereka. Apakah yang nampak dalam pengalaman tersebut berpengaruh terhadap ketidakmapanan yang memaksa mereka harus bekerja keras dan hidup no-maden ?, baik itu berupa pengakuan akan adanya realitas yang mengatasi manusia ataupun dalam rangka bertahan hidup dan hubungan dengan sesama.
Penulis mengungkapakan bentuk – bentuk pengakuan yang muncul, yaitu didasarkan pada perjumpaan secara langsung dengan-Nya atau hasil dari olah rasa yang kemudian dihayati dan juga menyertakan darimana mereka mengamsusikan bahwa itu adalah perjumpaan dengan yang ilahi/Yang Lain, terutama darimana mendapatkan istilah/pengetahuan tersebut. Semuanya dimaksudakan agar diketahui bentuk pengungkapannya dalam kata – kata, tindakan dan perilaku dalam kehidupan.
Penulis juga mengajak pembaca untuk memikirkan/melihat pengalaman religius kaum tunawisma, dengan harapan sikap hidup yang muncul dari hasil pengalaman religius mereka akan memperkaya pembaca dalam memahami makna pengalaman religius dalam sebuah situasi yang sulit. Selain itu penulis mengajak pembaca untuk memaknai kembali pengalaman – pengalaman yang telah terjadi, sehingga diperoleh suatu sikap hidup yang memberikan ruang bagi pengalaman batin, yaitu pengalaman perjumpaan dengan-Nya melalui berbagai peristiwa yang terjadi.
I.1.2. Rumusan Masalah
Pengalaman setiap manusia membentuk benang merah terkhusus dalam kehidupan yang dijalani. Benang merah itu mempunyai kesinambungan/keterkaitan antara pengalaman yang satu dengan pengalaman lainnya, sehingga menjadi sebuah proses yang menentukan bagi arah kehidupan dan dijadikan dasar pertimbangan dalam kehidupan selanjutnya. Dengan demikian pengalaman tersebut menjadi semacam pengetahuan yang dibuktikan dan diimplementasikan dalam kehidupan.
Pengalaman religius yang dimiliki oleh setiap manusia tidak ada bedanya dengan pengalaman lainnya. Pengalaman ini hanya berkaitan dengan perjumpaan dengan sesuatu yang dianggap sebagai subyek yang mengambil peranan penting dalam kehidupan manusia. Subyek yang dimaksud dalam
4 pengalaman religius adalah yang ilahi/Yang Lain. Perjumpaan dengan-Nya akan menimbulkan kesan dan penghayatan terhadap-Nya, sehingga daripadanya manusia memberi pengakuan, baik kekuasaan ataupun kekuatan-Nya. Pada akhirnya manusia memiliki ketergantungan kepada subyek tersebut demi kelangsungan hidup yang dijalani.
Secara khusus pengalaman perjumpaan dengan-Nya yang dialami oleh kaum tunawisma di sekitar Stasiun Lempuyangan Pengalaman religius mereka bisa diamati/diteliti melalui pengungkapannya dalam kata – kata, tindakan dan perilaku. Hal tersebut akan secara nyata terlihat dengan menggunakan kajian fenomenologi, yaitu pengungkapan apa yang nampak dari yang ilahi/Yang Lain. Apa yang nampak tersebut diakui, dirasakan dan dianggap berkaitan dengan kehidupan, dan menjadi pengalaman nyata yang diungkapakan dalam kehidupan sebagai hasil dari perjumpaan secara pribadi dengan-Nya. Selain itu apakah dalam situasi yang sulit dan menghimpit mereka agar tetap bertahan hidup pengetahuan dan pengakuan kepada-Nya tetap terpelihara dengan baik, sehingga dalam aktifitas mereka pengalaman perjumpaan dengan-Nya menjadi bagian hidup yang terus dihayati, baik dalam hubungan dengan Tuhan, dirinya dan interaksi dengan sesama.
I.2. Tujuan Penulisan
Pengalaman religius kaum tunawisma adalah hasil dari perjumpaan dengan yang ilahi/Yang Lain. Pengalaman tersebut menjadi perhatian/tujuan dari penulisan ini, yaitu untuk mengetahui apakah pengalaman religius yang diperoleh melalui perjumpaan dengan yang nampak sebagai manifestasi yang ilahi/Yang Lain diungkapkan dan dimaknai dalam kehidupan, baik dalam kaitannya denganNya, sesama dan kehidupan di dunia.
I.3. Alasan Pemilihan Judul
I.3.1. Rumusan Judul
Judul penulisan ini adalah “ Pengalaman Religius Kaum Tunawisma, Sebuah Tinjauan Teologis dan Fenomenologis “.
Judul diatas berkaitan dengan pengalaman religius manusia yang secara khusus digali dari kalangan kaum tunawisma. Penggalian ini dilakukan dengan melakukan analisa dan menggunakan tinjauan teologis serta fenomenologis. Tinjauan teologis untuk menguraikan kembali pengalaman religius
5 dalam dunia kekristenan, secara khusus mengambil kisah – kisah dalam teks Kitab Suci yang mengungkap pengalaman religius tokoh – tokoh Alkitab. Hal ini dilakukan tidak dalam rangka memberi penilaian terhadap pengalaman religius kaum tunawisma dalam perspektif kekristenan, tetapi lebih pada aspek memberikan fakta – fakta bahwa pengalaman tersebut ada dalam kekristenan dan menunjukan pengalaman religius kaum tunawisma mempunyai elemen dasar yang sama dengan pengalaman yang ada dalam dunia kekristenan (masing – masing mempunyai kekhasan dan keunikan). Sedangkan tinjauan fenomenologi dimaksudkan untuk mengetahui apa yang nampak dan kemudian ditangkap oleh kaum tunawisma menurut pengetahuannya, selanjutnya dihubungkan dengan pemaknaan dan pengungkapannya dalam kehidupan. I.3.2. Alasan Pemilihan Judul
Pengalaman religius menjadi bagian dari pengalaman itu sendiri. Pengalaman ini menarik untuk digali, karena menurut Mircea Eliade manusia memiliki perilaku sebagai Homo religius, yaitu keterarahan dan kepekaan terhadap yang ilahi/Yang Lain. Jadi setiap manusia mempunyai kesempatan untuk memiliki pengalaman religius melalui perjumpaan dengan-Nya, termasuk juga kaum tunawisma.
Pengalaman setiap orang memiliki keunikan dan kekhasannya masing – masing, karena perjumpaan dengan sesuatu dalam kehidupan dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang dihadapi. Pengalaman religius kaum tunawisma menarik untuk diperhatikan karena situasi hidup sangat berbeda dengan manusia beragama yang memiliki kemapanan. Ketidakmampuan dalam bidang ekonomi membuat mereka hidup berpindah tempat dan memaksa untuk selalu beradaptasi dengan situasi yang berbeda. Persoalan demikian yang
membuat mereka jatuh pada pilihan antara bertahan hidup atau
mempertimbangkan sesuatu yang pernah dialami melalui pengalaman religius, sekalipun diakui bahwa yang dijumpai melalui pengalaman tersebut sebenarnya patut ditakuti, dipatuhi dan diharapkan.
Situasi kaum tunawisma yang demikian menjadikan mereka terkendala untuk melakukan ritus – ritus, sebagai bentuk ungkapan akan pengakuan dan keyakinannya kepada yang ilahi/Yang Lain. Kebutuhan hidup yang terus menuntut membuat mereka mempertimbangkan waktu yang digunakan, antara
mengutamakan mencari uang atau memberikan waktu untuk merasakan
kehadiran-Nya dalam ritual. Sekalipun demikian, apakah pengetahuan tentang yang ilahi/Yang Lain tetap mempengaruhi tindakan/perilaku mereka dalam kehidupan yang cenderung tidak
6 menguntungkan. Penggalian ini sangat penting untuk melihat bahwa apa yang dialami mereka melalui perjumpaan dengan-Nya apakah masih mendapat perhatian dalam kehidupan, sehingga yang nampak diakui mengambil peranan dalam kehidupan, kemudian direspon sebagai bentuk pengakuan dan keyakinan kepada yang nampak tersebut. Dengan kata lain, yang ilahi/Yang Lain tetap dipandang memiliki sifat tremendum (menggetarkan) dan fascinosum (mempesonakan), sehingga hal tersebut mempunyai korelasi dengan kehidupan yang dijalani kaum tunawisma
Pemilihan judul ini menjadi menarik ketika disuguhkan fenomena pengalaman religius kaum tunawisma, karena keberadaan mereka dalam keseharian kadang dianggap sebagai hal biasa. Namun pengalaman religius kaum tunawisma bukan tidak mungkin memperkaya dan menjadi contoh bagaimana pengalaman yang ada benar – benar dirasakan sebagai yang menghidupi dan memberi arti hidup ditengah situasi hidup yang tidak menentu.
I.4. Metodologi
I.4.1.Metode Penelitian dan Penulisan
Metodologi yang digunakan adalah dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Model penelitian ini mengharuskan sang peneliti meminimalkan jarak dengan obyek penelitian, agar realitas obyek dapat dipahami dengan baik dan nilai keobyekfitasannya dapat terjaga. Dalam penelitian ini responden adalah kaum tunawisma, yang secara khusus berada di lokasi sekitar Stasiun Lempuyangan dengan latar belakang pekerjaan antara lain pengemis, waria, pengamen, pemulung dan wanita tuna susila (wts).
Metode penulisan menggunakan logika induktif – analitis, dimana data – data yang diperoleh melalui interaksi dalam penelitian menjadi sumber informasi yang sesuai dengan konteksnya. Data – data tersebut dapat berupa ungkapan kata – kata, tindakan dan perilaku yang muncul selama penelitian berlangsung, kemudian dihubungkan dengan teori – teori yang membantu menjelaskan suatu fenomena yang terjadi dalam konteks tersebut.
I.4.2. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi, wawancara dan dilengkapi dengan buku – buku penunjang. Observasi dilakukan untuk melakukan pemetaan terhadap lokasi yang dijadikan
7 tempat penelitian. Tujuannya mendapatkan informasi yang luas mengenai keberadaan kaum tunawisma, baik itu pekerjaan, tempat berkumpul, tempat untuk berteduh/tidur dan aktifitas keseharian. Sedangkan wawancara difokuskan untuk menggali pengalaman religius yang dialami/dimiliki kaum tunawisma dan seberapa jauh berpengaruh dalam hidup keseharian. Buku penunjang digunakan sebagai landasan teori mengenai pengalaman religius, tinjauan teologis dan fenomenologis yang membantu menjelaskan data – data yang diperoleh melalui penelitian.
I.5. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan Bab ini menjelaskan hal – hal berkenaan dengan pengalaman religius kaum tunawisma yang akan dibahas dalam penulisan, yaitu penjelasan tentang obyek yang akan diteliti, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan teknik dalam menyusun penulisan.
Bab II : Struktur Pengalaman Religius Bab ini menjelaskan tentang definisi dari Sakral dan Profan, sebagai jalan untuk membuka hal – hal yang berkaitan dengan yang ilahi/Yang Lain, yaitu subyek menjumpai manusia dalam berbagai manefestasi. Dalam perjumpaan tersebut yang ilahi/Yang Lain memiliki sifat tremendum (menggentarkan) dan juga fascinosum (mempesonakan), sehingga manusia yang merespon-Nya disatu sisi takut, namun disisi yang lain menjadi tertarik.
Dijelaskan juga dalam bab ini mengenai kajian fenomenologi terhadap struktur pengalaman religius, bahwa ekspresi yang muncul dari perjumpaan tersebut diwujudkan melalui berbagai ungkapan kata – kata, tindakan dan perilaku. Pengungkapan akan perjumpaan dengan-Nya menjadi indikator dari pengetahuan dan pengakuan seseorang kepada yang ilahi/Yang Lain.
Bab III : Analisa : Pengalaman Religius Kaum Tunawisma Bab ini menjelaskan tentang data-data yang telah diperoleh melalui penelitian yang dilakukan. Data yang didapat diolah untuk kemudian dianalisa, seberapa jauh pengalaman religius yang dialami kaum tunawisma berpengaruh dalam kehidupan. Baik dalam hubungannya dengan yang ilahi/Yang Lain, sesama dan persoalan pribadi. Selain itu juga dijelaskan bentuk – bentuk dari pengalaman religus yang dialami oleh kaum tunawisma.
8 Bab IV : Tinjauan Teologis dan Fenomenologis Bab ini berisi tentang tinjauan terhadap pengalaman religius dari sudut pandang teologi dan fenomenologi. Secara teologis, mengungkap pengalaman religius yang terdapat dalam dunia kekristenan dengan merunut teks Kitab Suci dan mengaitkannya dengan pengalaman religius yang dialami oleh tokoh – tokoh dalam Alkitab, kemudian diarahkan pada pemaknaan pengalaman tersebut bagi kehidupan sekarang ini.
Secara fenomenologis dijelaskan bagaimana yang nampak tersebut ditangkap dan dimaknai sebagai perjumpaan dengan yang ilahi/Yang Lain yang dianggap mempunyai peranan penting dalam kehidupan, sehingga apa yang nampak tersebut diungkap dan dihubungkan dengan kehidupan yang dijalani. Dan secara khusus melihat bagaimana menjaga hubungan dengan apa yang nampak tersebut dalam kehidupan.
Kajian teologis dan fenomenologis juga digunakan untuk melihat kembali makna pengalaman religius kaum tunawisma bagi orang – orang percaya. Makna tersebut berguna untuk memperteguh iman bahwa bahwa hidup ada yang mengatur, sehingga kehidupan ada dalam garis tangan-Nya. Konsep demikian memunculkan sikap pasrah, baik itu nrima, sabar dan iklas terhadap kehidupan. Namun perubahan hidup bisa diusahakan ketika harapan yang ada diimbangi dengan semangat dan kerja keras.
Bab V : Kesimpulan dan Penutup Bab ini berisi kesimpulan bahwa pengalaman religius mempunyai kaitan dengan kehidupan yang sedang dan akan terjadi. Keterkaitan ini memberikan arah bagi langkah kehidupan seseorang menuju tujuan hidup, yaitu Tuhan. Dalam penutup diajukan berbagai saran agar gereja memberikan perhatian terhadap kehidupan kaum tunawisma, agar kehidupan mereka menjadi lebih baik.