BAB I PENDAHULUAN I.1 Media Sosial dalam Gerakan Bali Tolak Reklamasi Tulisan ini mengkaji bagaimana sesungguhnya media sosial bermakna bagi aktivis gerakan. Penelitian ini tidak berbicara mengenai peran media sosial sebagai saluran komunikasi di antara aktivis. Sebaliknya, media sosial justru dipandang sebagai salah satu strategi gerakan untuk mencapai tuntutannya. Dengan kata lain, penelitian ini melihat bagaimana proses demokrasi terjadi dalam level grassroots di Indonesia melalui media sosial. Lebih jauh, kajian ini juga menjawab bagaimana proses transformasi aktivitas media sosial menjadi gerakan nyata di Indonesia. Adapun, proses transformasi tersebut dibaca sebagai bagian dari strategi gerakan Bali Tolak Reklamasi. Salah satu hasil survei dalam Ringkasan Eksekutif Hasil Survei Demokrasi Power, Welfare and Democracy1 menunjukkan bahwa media sosial di Indonesia memiliki kemampuan memobilisasi orang namun belum mampu mendorong representasi demokratis. Representasi demokratis2 yang dimaksud adalah berubahnya isu publik menjadi agenda politik. Memang, ada ketergantungan organisasi masyarakat sipil terhadap media, baik media konvensional maupun media sosial. Namun, ketergantungan ini masih dianggap kurang bermanfaat dalam upaya mereka mempengaruhi agenda politik. Perubahan politik, pada akhirnya, membutuhkan ruang nyata dan keterlibatan publik nyata untuk membuat gerakan nyata.
1
Savirani, Amalinda, et.al. 2014. Ringkasan Eksekutif Hasil Survei Demokrasi Power, Welfare and Democracy. Yogyakarta: UGM, hal. 22. Penelitian ini sesungguhnya ingin membantah salah satu tesis dalam hasil survei tersebut yang menyebutkan bahwa media sosial belum mampu menjadi representasi demokrasi. 2 Pembicaraan atau perdebatan tentang isu publik saja tidak cukup untuk memecahkan permasalahan publik. Masalah publik baru bisa dipecahkan ketika isu publik mampu ditangkap oleh masyarakat politik untuk kemudian diproses menjadi kebijakan publik. Kebijakan publik yang lahir pun tidak bisa langsung menyelesaikan masalah publik. Hal ini masih bergantung pada implementasinya untuk kemudian menilai apakah kebijakan tersebut sudah tepat untuk menyelesaikan masalah publik. Namun, persyaratan awal yang harus dipenuhi agar media sosial bermakna bagi demokrasi adalah mendorong berubahnya isu publik menjadi agenda politik.
Pendahuluan
Tren yang terjadi, masyarakat sipil sebatas sibuk dalam membicarakan isu publik di media sosial tetapi belum mampu menekan para pengambil kebijakan untuk mentransformasi isu mereka menjadi agenda politik3. Aktivitas media sosial tidak selalu berkelanjutan menjadi aksi di dunia nyata. Sehingga, isu publik hanya menjadi wacana publik. Kritik masyarakat pengguna media sosial hanya mengendap di ruang siber, tidak memiliki daya tekan di ruang nyata. Ketika media sosial hanya menjadi ruang penuh informasi tetapi tidak dapat mendorong perubahan politik, maka media sosial dapat dikatakan belum mampu mewujudkan representasi demokrasi. Namun, fakta berbeda terjadi di beberapa negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan terkait peran media sosial dan semangat demokrasi. Shirky4 dan Lim5 berpendapat bahwa media sosial memiliki kemampuan mendorong mobilisasi massa sekaligus menggalang respon tindakan secara cepat. Mereka merujuk pada dua peristiwa besar yang terjadi di Mesir dan Fillipina. Media sosial seperti facebook dan twitter ikut berperan penting menggulingkan pemerintahan Mubarak 2011 lalu. Terdapat dua akun facebook yang dianggap menjadi pemicu revolusi Mesir yaitu “6th of April Youth Movement” dan “We are all Khaled Said”. Dalam media sosial ini justru terjadi perdebatan panjang antara kelompok pro dan kontra-pemerintahan. Bahkan pada 28 Januari 2011, pemerintah Mesir memblokir media sosial Facebook dan Twitter karena media sosial tersebut digunakan oleh kelompok anti-pemerintah untuk berkomunikasi dan menggalang kekuatan. Terlihat bahwa media sosial mampu memberi tekanan pada pemerintah serta mentransformasi keinginan mereka menjadi agenda politik. Di Mesir, media sosial tampak berhasil mendorong representasi demokratis. Hal yang sama juga terjadi di Filipina saat penggulingan Presiden Joseph Estrada pada 17 Januari 2001. Ketika para loyalis presiden sepakat untuk menutupi beberapa bukti kunci atas dugaan korupsi Estrada di pengadilan, warga
3
Savirani, Amalinda, Op.cit., hal. 13. Shirky, Clay. 2011. “The Political Power of Sosial Media”. Foreign Affairs. New York: Council in Foreign Relations. 5 Lim, Merlyna. 2014. “Seeing spatially: People, Networks, and Movements in Digital and Urban Spaces”. International Development and Planning Review. Vol. 36, hal. 51-72. 4
2
Pendahuluan
Filipina yang marah berkumpul di Epifanio de los Santos Avenue, salah satu persimpangan jalan terbesar di Manila. Pertemuan para demonstran ini disusun hanya melalui penerusan pesan singkat berbunyi “Go 2 EDSA. Wear blk.” Kerumunan secara cepat bertambah, dan dalam beberapa hari, jutaan orang datang hingga mengganggu arus lalu lintas Manila. Dengan kata lain, media sosial bisa dimanfaatkan untuk mobilisasi sekaligus menekan isu publik menjadi agenda politik. Di Manila, media sosial juga berhasil menjadi representasi demokrasi. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah media sosial betul-betul belum mampu mendorong representasi demokratis? Seperti yang kita tahu, banyak gerakan-gerakan6 yang disuarakan melalui media sosial mulai dari “Koin Prita”, “Dukungan Bibit-Chandra”, hingga “Save Satinah”. Aktivitas ini tidak hanya berkicau di dunia maya, tetapi juga muncul ke permukaan sebagai aksi nyata seperti demonstrasi dan pengumpulan uang, baik untuk Prita dan Satinah. Bahkan, salah satu situs petisi online change.org telah mampu mengubah isu publik menjadi agenda publik. Misalnya saja petisi penyelamatan situs bersejarah Trowulan dari rencana pendirian pabrik baja7. Petisi ini dibuat oleh Wilwatikta, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), serta Jaringan Pelestarian Majapahit. Petisi untuk membawa Trowulan masuk 2014 Worlds Monument Watch berhasil meraup 10.306 suara. Berbekal tandatangan petisi online itu, para aktivis menemui Bupati Mojokerto dan Gubernur Jawa Timur dan berakhir pada keputusan untuk membatalkan pembangunan pabrik baja di Trowulan. Akan tetapi, tidak semua aktivitas media sosial di Indonesia berujung pada aksi nyata untuk perubahan. Tidak jarang kicauan dunia maya hanya sebatas percakapan keluh kesah seputar kritik atau protes pada penguasa. Lim misalnya, menemukan adanya karakter penggunaan hidden transcript8 dalam percakapan para pengguna media sosial Indonesia. Hidden transcript seperti “Cicak vs Buaya” justru menjadi cara alternatif masyarakat sipil melakukan kritik terhadap 6
Gerakan yang disuarakan melalui media sosial untuk selanjutnya peneliti sebut sebagai aktivitas media sosial. 7 “Infografis 2013” dalam www.change.org diakses pada 31/12/2013: 12.16 WIB. 8 Lim, Merlyna, Op.cit., hal. 57. Hidden transcript biasa digunakan sebagai kritik atas dominasi dan kontrol penguasa. Namun, wacana ini tidak bergulir secara nyata dalam ruang publik. Hidden transcript biasa dibangun oleh masyarakat sipil melalui media sosial.
3
Pendahuluan
aksi korupsi yang dilakukan penguasa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aktivitas media sosial cenderung gagal mendorong perubahan sosial. Menurut Lim9, kegagalan aktivitas media sosial salah satunya karena informasi yang beredar di media sosial sangat cepat sehingga cenderung menyederhanakan isu. Selain itu, isu yang tersebar melalui media sosial masih sangat bergantung dari isu-isu yang diproduksi media massa konvensional. Terakhir, adanya keterbatasan akses teknologi sehingga mayoritas pengguna media sosial adalah penduduk menengah ke atas di perkotaan. Pandangan lain, Villanueva10 berpendapat bahwa aktivitas media sosial tidak akan berubah menjadi gerakan di dunia nyata karena aktivitasnya dibangun melalui ikatan lemah, sementara aktivitas nyata membutuhkan ikatan kuat antaraktor. Berdasarkan temuan di atas, peneliti merasa tertarik untuk mencari tahu mengapa media sosial masih marak digunakan sebagai salah satu strategi gerakan. Selain itu, bagaimana sesungguhnya karakter penggunaan media sosial dalam gerakan yang dilakukan oleh masyarakat sipil di Indonesia. Karakter penggunaan media sosial ini dilihat melalui kerangka pikir strategi pada Gerakan Sosial Baru. Lebih jauh, peneliti juga tertarik untuk melihat bagaimana proses transformasi dari aktivitas media sosial ke gerakan nyata di Indonesia. Ketimbang sekadar melihat signifikansi peran media sosial dalam demokrasi, akan lebih bermakna jika penelitian diarahkan untuk menemukan syarat penting apa yang harus ada sehingga aktivitas media sosial dapat berubah menjadi gerakan sosial di dunia nyata. Jika begitu, maka hasil penelitian ini secara tidak langsung akan turut menjawab pertanyaan dasar yang masih menjadi perdebatan saat ini yaitu apakah penggunaan media sosial dalam gerakan sungguh mampu mendorong representasi demokrasi. Isu lingkungan menjadi masalah penting bagi masyarakat Bali karena kerusakan lingkungan cukup parah terjadi atas nama pembangunan dan 9
Ibid, hal. 60-61. Villanueva, Michael Josh. 2012. “Sosial Media for Sosial Change”. Dalam Winkelmann, Simon (ed.). The Sosial Media (R)evolution?: Asian Perspective on New Media, pp. 175-182. Singapore: Konrad-Adenauer-Stiftung, hal. 181. 10
4
Pendahuluan
pariwisata. Bahkan, UNESCO memberi perlindungan khusus terhadap subak di Tabanan agar tidak hilang tergerus roda pembangunan. Semenjak peraturan UNESCO untuk melindungi kawasan subak, pembangunan di Bali memang lebih banyak dikonsentrasikan di kawasan Bali Selatan. Reklamasi Pulau Sarangan di timur Kota Denpasar pun telah dilakukan dengan alasan pariwisata. Meskipun pengerjaannya belum rampung hingga saat ini, namun telah membawa sejumlah bencana. Akibat reklamasi Serangan, ombak justru meninggi dan berbelok menerjang Pulau Pudut di Teluk Benoa. Sehingga luasan Pulau Pudut mengecil karena abrasi. Belum lagi wilayah Kuta yang kini selalu banjir jika musim penghujan. Penolakan semakin kuat setelah berhembus isu bahwa pembabatan hutan bakau semata-mata untuk pembangunan kawasan pariwisata baru berstandar internasional. Gerakan Bali Tolak Reklamasi diinisiasi oleh WALHI Bali untuk membatalkan rencana reklamasi seluas 838 hektar di Teluk Benoa. WALHI bersama sejumlah komunitas yang peduli pada alam dan budaya Bali kemudian berkumpul dan membentuk Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi, atau biasa disingkat ForBALI11. Forum ini secara khusus dan fokus meyuarakan penolakan hanya pada isu reklamasi Teluk Benoa. Awalnya gerakan dilakukan melalui aksi protes kepada DPRD Bali dan Gubernur Bali, namun tidak mendapat tanggapan dan hanya diikuti oleh belasan orang. Kemudian, gaung gerakan Bali Tolak Reklamasi semakin terdengar setelah memanfaatkan media sosial Facebook dan Twitter pada Agustus 2013. Pada 22 Mei 2014, para aktivis membuat petisi online atas gerakan ini di www.change.org. Hal menarik adalah aktivitas media sosial ini kembali berubah menjadi aksi nyata dengan massa dalam jumlah besar. Aktivitas
11
Forum ini terdiri dari berbagai kalangan yang peduli terhadap ancaman lingkungan di Bali seperti Front Demokrasi Perjuangan Rakyat Bali (Frontier-Bali), Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup Bali (KEKAL-Bali), WALHI Bali, Gerakan Masyarakat Pemuda Tolak Reklamasi (Gempar) Teluk Benoa, Tirta Sidakarya, Jalak Sidakarya PPMI DK Denpasar, Sloka Institute, Mitra Bali, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, PBHI Bali, Kalimajari, Yayasan Wisnu, Manikaya Kauci, Komunitas Taman 65, BEM Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Bali, Eco Defender, Bali Outbond Community, Superman Is Dead, Navicula, Nosstress, Geekssmile, The Bullhead, Durhaka, dan anggota perorangan.
5
Pendahuluan
media sosial bertransformasi ke gerakan nyata12 pada Selasa, 17 Juni 2014, secara damai dengan melakukan long-march dari Lapangan Parkir Timur Renon menuju depan Kantor Gubernur Bali. Massa sempat berhenti dan berorasi di depan Bank Artha Graha Renon milik Tommy Winata. Hal ini karena reklamasi Teluk Benoa dilakukan demi pembangunan megaproyek kawasan pariwisata oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI), salah satu anak perusahaan kelompok Artha Graha. Demonstrasi yang dimobilisasi melalui media sosial ini berhasil mengumpulkan ribuan massa13. Tidak lama setelah itu, aksi kembali dilakukan pada Jumat, 27 Juni 2014. Gerakan berupa parade budaya mempertunjukkan aksi teater, lagu, puisi atau tarian diikuti sekitar dua ribu massa14. Hingga tahun 2015, aksi nyata masih konsisten dilakukan setiap bulan. Dengan demikian, gerakan Bali Tolak Reklamasi tidak hanya bergaung di media sosial, tetapi juga secara konsisten berlanjut di dunia nyata. Peneliti merasa penting untuk mengkaji gerakan Bali Tolak Reklamasi karena menggunakan media sosial sebagai strategi gerakan sekaligus mampu meneruskan tuntutannya melalui gerakan nyata. Peneliti merasa tertarik mencari tahu mengapa media sosial dipilih serta bagaimana karakteristik penggunaan media sosial sebagai strategi gerakan. Lebih jauh, peneliti melihat bagaimana proses transformasi dari aktivitas media sosial menjadi gerakan secara nyata sebagai bentuk representasi demokratis, yaitu upaya mengubah isu publik menjadi agenda politik.
I.2 Rumusan Masalah Protes masyarakat Bali terhadap kerusakan lingkungan semakin kuat, terutama dipicu oleh rencana reklamasi Teluk Benoa yang notabene adalah daerah 12
Aksi dilakukan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan ijin reklamasi Teluk Benoa melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 51 Tahun 2014 tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita). Aturan yang ditetapkan 30 Mei 2014 itu merevisi Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Sarbagita yang memasukkan kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konversi perairan. 13 Berita Ini Massa Ribuan Anak Muda Bali yang Turun ke Jalan Tolak Reklamasi Teluk Benoa, 17 Juni 2014, dalam www.news.detik.com diakses pada 20/06/2014: 12.44 WIB. 14 Berita Menolak Reklamasi, Menyelamatkan Teluk Benoa, 29 Juni 2014, dalam www.mongabay.co.id diakses pada 29/06/2014: 19.44 WIB.
6
Pendahuluan
konservasi perairan. Media sosial pun dipilih sebagai salah satu strategi gerakan untuk menyuarakan protes dan tuntutan aktivis agar rencana reklamasi dibatalkan. Misi penelitian ini sesungguhnya memotret proses demokrasi yang tercermin dalam praktek gerakan sosial di media sosial. Transformasi gerakan dari aktivitas media sosial ke aksi nyata dimaknai sebagai bentuk representasi demokratis, yaitu upaya mendorong perubahan isu publik menjadi agenda politik. Sehingga, pertanyaan besar dalam penelitian ini adalah bagaimana proses demokrasi terjadi dalam level akar rumput di Indonesia melalui media sosial? Berdasarkan pertanyaan tersebut, rumusan masalah penelitian kemudian diturunkan sebagai berikut: 1. Mengapa media sosial dipilih sebagai salah satu bentuk strategi gerakan Bali Tolak Reklamasi periode Agustus 2013 – Juli 2015? 2. Bagaimana karakteristik aktivitas media sosial sebagai strategi gerakan Bali Tolak Reklamasi? 3. Bagaimana proses transformasi strategi dari aktivitas media sosial ke gerakan nyata Bali Tolak Reklamasi periode Agustus 2013 – Juli 2015?
I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui bagaimana proses demokrasi terjadi dalam level akar rumput di Indonesia melalui media sosial. 2. Mengetahui bagaimana karakteristik aktivitas media sosial sebagai strategi dalam Gerakan Sosial Baru. 3. Mengetahui syarat yang harus dipenuhi agar penggunaan media sosial mampu mendorong representasi demokrasi. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah memberikan sumbangan teoritis dalam memahami bagaimana media sosial berperan mendorong representasi demokrasi di Indonesia.
7
Pendahuluan
I.4 Literature Review I.4.1
Media Sosial dan Demokrasi Banyak penelitian mencoba mengaitkan peran media sosial15 dalam sistem
demokrasi. Media sosial dianggap bisa membawa masalah sosial-politik sehingga mendapat perhatian publik. Facebook misalnya, seringkali dimanfaatkan dalam kampanye politik sebagai media informasi, interaktif, dan diskusi16. Selain itu, media sosial
juga digunakan untuk
advokasi
publik melalui
diskusi,
pengorganisasian, hingga mobilisasi17. Hal ini karena media sosial dianggap bebas dari
kontrol
negara
sehingga
menciptakan
lingkungan
aman
untuk
berkomunikasi18. Namun, media sosial tidak hanya memiliki peran positif. Media sosial juga seringkali digunakan untuk praktek manipulasi praktis dalam kampanye politik19. Sehingga, Internet terkadang justru menjadi “infrastruktur kontraproduktif” dalam demokrasi. Masyarakat sipil semakin fokus pada isu-isu tertentu seperti isu gender, kesehatan, hak asasi manusia, dan lingkungan. Ward20 berpendapat bahwa hal ini sebagai akibat pertukaran informasi yang terjadi lintas dunia melalui penggunaan media sosial. Ketertarikan akan isu kontemporer membuat isu politik saat ini berbeda dengan ‘politik lama’ yang didominasi isu kelas dan distribusional21. Organisasi masyarakat sipil cenderung lebih fokus pada perubahan berdasarkan prinsip kesetaraan dan bukan semata karena perbedaan kelas. Perkembangan konvergensi media akibat Internet ikut menciptakan peluang bagi masyarakat 15
Menurut Mayfield (2008), media sosial termasuk ke dalam media digital. Bentuknya dapat berupa jejaring sosial (misal Facebook), blog, wiki (misal Wikipedia), podcast, forum, media berbasis isi (misal Youtube) dan mikroblog (misal Twitter). 16 Gibson, R., Ward, S. & Nixon, P. 2003. Political Parties and the Internet: Net Gain?. London: Routledge. 17 Kann, E. Berry, J. Gant, C. and Zager, P. 2007. “The Internet and Youth Political Participation”. First Monday Journal, 12. Diambil dari: http://firstmonday.org/article/view/1977/1852. 18 Scott, A. and J. Street. 2001. “From media politics to e-protest? The use of popular culture and new media in parties and sosial movements”. In F. Webster: (ed). Culture and politics in the information age: A new politics? London: Routledge, hal. 46. 19 Norris, P. 2003. “Preaching to the converted? Pluralism, participation and party websites”. Party Politics, 9(1), hal. 21–45. 20 Ward, J. 2011. “Reaching Citizen Online”. Information, Communication & Society, 14(6), hal.917-936. 21 West, David. 2012. “Gerakan-Gerakan Sosial Baru”. Dalam Gaus, Gerald F & Chandran Kukathas. Handbook Teori Politik. Diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie. Bandung: Nusa Media, hal. 605.
8
Pendahuluan
kelas menengah untuk memproduksi dan menyebarkan informasi. Dengan kata lain, media sosial dan teknologi Internet tidak hanya mempengaruhi eksistensi media tradisional tetapi juga mengubah karakter masyarakat dari pengguna pasif dan hanya pendukung ke pengguna aktif dan perhatian akan masalah publik22. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi baru seperti media sosial seringkali dipertanyakan pengaruhnya terhadap demokrasi. Media sosial dianggap hanya membentuk jaringan virtual sehingga tidak bisa dianggap mewakili warga negara nyata23. Selain itu, teknologi baru yang tidak bisa diakses oleh setiap lapisan masyarakat justru menjadi penghambat terwujudnya demokrasi24.
Potensi
teknologi
informasi
dan
komunikasi
baru
dalam
mempengaruhi demokrasi dapat dilihat berbeda dengan tiga sudut pandang, yaitu dystopian, neo-futuris, dan teknorealis25. Pertama, kaum dystopian sangat berhatihati terhadap potensi teknologi informasi dan komunikasi yang muncul. Mereka memikirkan teknologi sebagai suatu cara pengungkapan, cara berpikir yang bisa dipulihkan, ditata, atau dikontrol. Artinya, teknologi hanya bersifat menolong saja sementara kemanusiaan menjadi alat untuk mengontrol teknologi itu sendiri. Sehingga, manusia bisa membebaskan dirinya dari ketergantungan teknologi. Kedua, kaum neo-futuris menerima secara terbuka hal-hal baru dan cenderung tidak kritis terhadap potensi teknologi. Teknologi dengan kecepatan tinggi dianggap sebagai suatu kekuatan yang mampu menggilas teknologi-teknologi sebelumnya. Mereka menganggap teknologi sebagai penyeimbang besar yang memiliki kekuatan membangun demokrasi secara otomatis. Terakhir, kaum teknorealis berusaha menjadi penengah perdebatan antara dystopian dan neofuturis. Prinsip mereka adalah teknologi tidak netral, Internet memang
22
Nugroho, Yanuar. 2011. Citizens in @action: Collaboration, participatory democracy and freedom of information – Mapping contemporary civic activism and the use of new sosial media in Indonesia. Report. Research collaboration of Manchester Institute of Innovation Research, University of Manchester and HIVOS Regional Office Southeast Asia. Manchester and Jakarta: MIOIR and HIVOS, hal. 97. 23 Axford, Barrie. 2001. “The Transformation of Politics or Anti-Politics?” Dalam Axford, Berrie & Richard Huggins. New Media and Politics. London: Sage, hal. 9. 24 Wilhelm, Anthony G. 2003. Demokrasi di Era Digital: Tantangan Kehidupan Politik di Ruang Cyber. N. Veraningtyas (Terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. xxvii. 25 Ibid, hal. 6-19.
9
Pendahuluan
perkembangan revolusioner, namun tidak utopian. Dalam penelitian ini, posisi penulis bersama dengan kaum teknorealis. Penelitian terkait peran media sosial dalam demokrasi lebih banyak dikaitkan dengan kajian media sebagai alat kampanye atau komunikasi politik. Adapun komunikasi politik lebih fokus pada pemilihan umum dan perilaku pemilih. Misalnya, penelitian tentang kemampuan media sosial dalam memobilisasi dukungan pemilih saat kampanye elektoral. Norris26, Wigand27, dan Barrett28 berpendapat bahwa media sosial menjadi penghubung antara masyarakat sipil dengan partai politik. Sebagai bagian dari komunikasi politik, media sosial juga digunakan oleh pemerintah untuk menyebarkan informasi kepada warga negara. Twitter digunakan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk menyebarkan berita, berbagi informasi, hingga koordinasi proyek negara29. Hal serupa juga dilakukan oleh pemerintah Cina, mulai dari tingkat lokal hingga pusat, menggunakan mikroblog Sina Weibo untuk berhubungan dengan publik30. Di sisi lain, masyarakat sipil menyatakan berbagai informasi yang menjadi perhatian utamanya atau keluhannya terkait isu tertentu kepada kandidat melalui grup Facebook31. Tingkat kepercayaan secara personal berbanding lurus dengan persepsi mereka terhadap aktivitas online sebagai bagian dari partisipasi politik masa kini32. Sedangkan tingkat keterbukaan politis individu berkorelasi positif dengan tingkat interaksi mereka di sejumlah media sosial. Dengan demikian, media sosial tampaknya cukup berperan dalam sistem elektoral suatu negara.
Norris, P. 2003. “Preaching to the converted? Pluralism, participation and party websites”. Party Politics, 9(1), hal. 21–45. 27 Wigand, F. Diane Lux. 2010. “Twitter in Government: Building Relationships One Tweet at a Time”. Paper presented at Seventh International Conference on Information Technology. 28 Barrett, Kaitlyn M. 2011. “Political Communication in a Digital Age: 2011 Tea Party Senators and Sosial Media”. University of Tennessee Honors Thesis Projects. Diambil dari: http://trace.tennessee.edu/utk_chanhonoproj/1438. 29 Wigand, F. Diane Lux, Loc.cit. 30 Liu, Jiangmeng, "Microblogging Use by the Chinese Government" (2013). Open Access Theses, hal. 416. 31 Tanis, M., & Postmes, T. (2003). Sosial cues and impression formation in CMC. Journal of Communication, Vol. 53, hal. 676–693. 32 Himelboim, Itai, Ruthann Weaver Lariscy, Spencer F. Tinkham & Kaye D. Sweetser, 2012. “Sosial Media and Online Political Communication: The Role of Interpersonal Informational Trust and Openness”. Journal of Broadcasting & Electronic Media, 56(1), hal.92-115. 26
10
Pendahuluan
Hal yang perlu dicermati adalah kecenderungan pendekatan yang digunakan saat meneliti media sosial. Seluruh penelitian memang bersinggungan dengan peran negara sebagai bagian dari kajian politik. Akan tetapi, sisi komunikasi tampak lebih ditonjolkan. Hal ini terlihat dari pembahasan yang mengedepankan bagaimana bentuk komunikasi pemerintah sekaligus bagaimana timbal balik publik atas informasi tersebut. Peran media sosial juga diidentikkan dengan public relation maupun pemasaran yang menjaga citra kandidat selama kampanye sehingga mampu menarik dukungan pemilih. Selain itu, peran media sosial dalam sistem demokrasi lebih banyak dilihat dalam sistem elektoral. Padahal, demokrasi tidak semata persoalan institusi, tetapi juga kontrol oleh masyarakat sipil atas urusan publik33. Penelitian ini berbeda karena fokus melihat karakteristik aktivitas media sosial dalam mendorong representasi demokrasi melalui transformasi gerakan34 dari online ke nyata.
I.4.2
Gerakan Sosial Baru: Gerakan Lingkungan di Indonesia Penelitian ini memahami gerakan sosial sebagai suatu bentuk aktivitas
masyarakat sipil yang khas, rasional, secara sadar mengekspresikan keluhannya, serta menggunakan strategi untuk mencapai tuntutannya. Gerakan sosial sebagai bentuk aktivitas kolektif bertujuan membawa perubahan sosial atau malah mencegah terjadinya perubahan itu sendiri35. Definisi lain, gerakan sosial sebagai suatu aksi kolektif dengan target aksi yang jelas serta diartikulasikan dalam
33
Beetham, David. 2000. Democracy and Human Rights. Cambridge: Polity Press, hal. 5. Definisi demokrasi dalam penelitian ini sejalan dengan definis Beetham bahwa demokrasi adalah persoalan kontrol popular terhadap urusan publik dan politik berbasis persamaan hak dan warganegara. 34 Gerakan dilihat sebagai upaya kontrol masyarakat sipil terhadap urusan publik, dalam hal ini rencana reklamasi Teluk Benoa yang dapat mengancam pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya masyarakat Bali. 35 West, David. 2012. “Gerakan-Gerakan Sosial Baru”. Dalam Gaus, Gerald F & Chandran Kukathas. Handbook Teori Politik. Diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie. Bandung: Nusa Media, hal. 605-630.
11
Pendahuluan
konteks jaringan sosial dan politik tertentu36. Intinya, gerakan sosial merupakan suatu upaya masyarakat sipil untuk mewujudkan perubahan sosial37. Terdapat lima aliran pemikiran klasik yang biasa digunakan untuk memahami karakter gerakan sosial38 yaitu gerakan sosial sebagai 1) aksi kolektif, 2) pilihan rasional, 3) perjuangan kelas, 4) mobilisasi sumber daya, dan 5) struktur pembongkaran hegemoni budaya. Gerakan sosial pertama kali dimaknai sebagai aksi kolektif yang irrasional. Gustave, Tarrow, Le Bon, dan David Popenoe memandang gerakan sosial sebagai kerumunan massa yang tak lagi memiliki kemampuan merasa, berpikir, dan bertindak sesuai keinginan sendiri. Durkheim menyebutnya sebagai irrasional karena menganggap setiap tindakan merupakan reaksi anomi dari perubahan sosial yang berjalan begitu cepat serta sesuai dengan keingin massa. Pemikiran ini dikritik oleh para penganut pilihan rasional. Bagi para penganut teori pilihan rasional, berbagai bentuk perlawanan merupakan manifestasi tindakan individu yang rasional dan sadar. Namun, anggota dalam organisasi melakukan gerakan untuk mencapai kepentingan individu. Asumsinya, setiap anggota memiliki kepentingan dan tujuan bersama yang bila tercapai maka keadaan mereka akan berubah menjadi lebih baik. Dahulu, mayoritas ahli gerakan sosial menggunakan cara pandang Marx dalam memahami gerakan sosial. Artinya, fenomena gerakan sosial dianggap terjadi hanya jika terdapat ketimpangan relasi antara kelas buruh dan para pemilik modal atau kelas borjuis. Dengan demikian, konsep eksploitasi kelas selalu menjadi bingkai klasik dalam mempelajari gerakan sosial atau biasa dikenal sebagai Old Sosial Movement. Namun, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa gerakan sosial di berbagai tempat tidak hanya disebabkan oleh eksploitasi kelas tetapi juga disebabkan oleh faktor lain seperti ketidakseimbangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Akses terhadap pendidikan tinggi semakin luas,
36
Diani dan Bison dalam Triwibowo, Darmawan (ed.). 2006. Gerakan Sosial: Wahana Civil Society bagi Demokratisasi. Jakarta: LP3ES, hal. 5. 37 Jenkins, J. Craig & William Form. 2005. “Sosial Movements and Sosial Change”. Dalam Janoski, Thomas et al (eds.). The Handbook of Political Sociology: States, Civil Societies, and Globalization. Cambridge: Cambridge University Press, hal. 331. 38 McAdam, Doug, Sidney Tarrow, & Charles Tilly. 2004. Dynamics of Contention. Cambridge: Cambridge University Press, hal. 1-5.
12
Pendahuluan
serta keterlibatan perempuan yang tinggi dalam dunia kerja sehingga menciptakan transformasi sosial setelah Perang Dunia II39. Selain itu, para ahli sepakat bahwa keluhan merupakan pemicu utama gerakan sosial, baik yang didorong oleh adanya eksploitasi kelas, ketidakadilan, atau ketimpangan relasi gender. Adapun ketidakseimbangan sistem sosial seringkali menjadi faktor utama penghasil keluhan40. Jelasnya, pendekatan klasik yang melihat gerakan sebagai hasil perjuangan kelas, pada perjalannya menurunkan pendekatan baru yakni gerakan sosial sebagai bentuk ekspresi keluhan karena ketidakseimbangan kelas itu sendiri. Lenin memahami gerakan sosial sebagai mobilisasi sumber daya, terutama menekankan kehadiran van guard yaitu sekumpulan individu yang terlatih, profesional, terpimpin, dan sangat berarti dalam perjuangan gerakan. Menurutnya, gerakan berhasil hanya jika memiliki pemimpin kuat yang mampu memobilisasi sumber daya. Kajian Lenin fokus pada revolusi yang baru berhasil jika ada pendirian partai dengan struktur organisasi yang kuat di dalamnya. Pandangan berbeda diungkapkan oleh Gramsci yang menganggap gerakan sosial sebagai suatu struktur untuk membongkar hegemoni budaya. Kaum tertindas dianggap secara tidak sadar menerima “suka rela” proses eksploitasi atas dirinya. Oleh karena itu, gerakan dianggap sebagai suatu kesempatan pada kaum marjinal untuk membongkar hegemoni budaya kelompok borjuis. Pada perkembangannya, pendekatan ini melahirkan teori framming process yang menitikberatkan pada proses pembentukan identitas kolektif oleh Tarrow. Dalam penelitian ini, gerakan sosial tidak dipandang sebagai gerakan klasik melainkan sudah dalam fase gerakan sosial baru. Gerakan Sosial Baru (New Sosial Movement) mengacu pada sekelompok gerakan sosial kontemporer yang telah berperan signifikan di masyarakat Barat sejak akhir 1960-an. Gerakan Sosial Baru merupakan respon terhadap perubahan tujuan, strategi, serta konstitusi
39
Della Porta, Donatella & Mario Diani. 1999. Sosial Movements: An Introduction. Oxford: Blackwell, hal. 11. 40 Johnson, Chalmers. 1955. Revolutionary Change. Boston: Little, Brown and Company, hal. 61.
13
Pendahuluan
gerakan sosial pada masyarakat kapitalis41. Gerakan Sosial Baru terorganisasi secara longgar, “more dispersed, diverse, fluid, and complex in structures” dibandingkan gerakan klasik seperti gerakan buruh42. Pendapat lain menegaskan bahwa gerakan sosial baru merupakan sebuah bentuk reaksi baru atas keluhan baru43. Adapun keluhan baru terbentuk dari berbagai sumber seperti subordinasi kapitalisme, komersialisasi kehidupan sosial, ekspansi kapitalisme yang mengkooptasi budaya, kebahagiaan dan seksualitas, birokratisasi masyarakat, serta homogenisasi kehidupan masyarakat melalui intervensi media massa44. Aktivitas gerakan ini disebut ‘baru’ karena gerakan tersebut lebih mengacu pada isu, bukan kelas45. Berbeda dengan politik klasik yang didominasi isu kelas dan distribusional, Gerakan Sosial Baru menyoroti isu gender, seksualitas, ras, alam, dan keamanan. Dalam penelitian ini, kerangka berpikir Gerakan Sosial Baru digunakan dalam melihat gerakan berbasis isu lingkungan Bali Tolak Reklamasi. Gerakan lingkungan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bentuk aksi kesadaran manusia yang peduli terhadap kerusakan lingkungan, serta berbagai aspek dalam kehidupan manusia yang terancam akibat kerusakan lingkungan46. Beberapa penelitian terkait gerakan lingkungan di Indonesia lebih banyak dikaitkan dengan tujuan gerakan sebagai upaya menumbuhkan kesadaran lingkungan di masyarakat. Misalnya, gerakan lingkungan di Belitung sebagai bagian dari sosialisasi pengetahuan kepada masyarakat mengenai pengelolaan tanah yang benar setelah pertambangan timah47. Kesadaran masyarakat yang masih rendah akan lingkungan seringkali berujung pada pembiaran lahan bekas tambang begitu saja. Padahal kawasan bekas tambang harus direklamasi dan Langman, Lauren. 2005. “From Virtual Public Spheres to Global Justice: A Critical Theory of Internetworked Sosial Movements”. Sociological Theory, Vol. 23, No. 1, hal. 42-74. Diambil dari Proquest Library. 42 Langman, Lauren, Loc.cit.; West, David, Loc.cit. 43 Della Porta, Donatella & Mario Diani, Loc.cit. 44 Mouffe dalam Situmorang, Abdul Wahib. 2013. Gerakan Sosial: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 27. 45 West, David, Op.cit., hal. 606. 46 Zulkifli, Arif. 2014. “Gerakan Lingkungan di Berbagai Belahan Dunia” dalam http://www.bangazul.com/ 47 Meliyana, Tjipto Sumadi & Wuri Handayani. 2013. “Gerakan Lingkungan Hidup dalam Menumbuhkan Kesadaran Lingkungan Masyarakat Belitung”. Dalam Jurnal PPKN UNJ, Vol. 1, No.2. Jakarta: UNJ. 41
14
Pendahuluan
dihijaukan kembali. Hal ini menjadi tanggung jawab masyarakat tambang serta pemerintah. Adapun sosialisasi pengetahuan ini dianggap belum maksimal terlaksana sehingga menjadi misi gerakan lingkungan pertambangan timah Pulau Belitung. Penelitian lainnya biasa memetakan aktor gerakan lingkungan diikuti keberhasilan dan kelemahan aktor dalam aktivitas gerakan lingkungan. Sejumlah LSM lingkungan, khususnya WALHI, serta sejumlah departemen di bawah Kementerian Lingkungan Hidup menjadi aktor utama gerakan lingkungan di Indonesia. Di Indonesia, LSM cenderung menggunakan pendekatan pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat pinggiran, pedesaan, atau masyarakat adat yang notabene sangat bergantung pada sumber daya alam secara langsung untuk kehidupan sehari-hari48. LSM makin menyadari hubungan antara pembangunan dan konservasi. Pembangunan tidak selalu merusak lingkungan ketika direncanakan dan dijalankan dengan sangat hati-hati. Oleh karena prinsip pembangunan berkelanjutan menandakan bahwa LSM lingkungan Indonesia masih
memperbolehkan
adanya
pembangunan
asalkan
tidak
merusak
keanekaragaman hayati lainnya. Kecenderungan lain dari penelitian seputar gerakan adalah melihat frame yang digunakan dalam gerakan lingkungan. Wicaksono menemukan tiga bingkai49 utama gerakan lingkungan oleh LSM Greenpeace Asia Tenggara Indonesia yaitu aggregate frame, consensus frame, dan collective action frame. Bingkai aggregate digunakan untuk menyadarkan masyarakat Asia Tenggara, terutama Indonesia, bahwa perubahan iklim telah menjadi masalah besar yang harus diperhatikan serius. Hal lain, dampak perubahan iklim lebih banyak disebabkan oleh pengelolaan hutan dan tambang yang keliru di Indonesia. Sedangkan bingkai consensus, memberikan seruan kepada masyarakat untuk bersama-sama mendesak pemerintah maupun perusahaan agar menghentikan penggunaan barang tambang batu bara dan segera mencari alternatif energi terbarukan. Terakhir, bingkai 48
Supriatna, Jatna. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 447. 49 Wicaksono, Ikhsan Pratama. 2012. “Analisis Framing (Pembingkaian) dalam Gerakan Lingkungan Hidup” dalam http://skpm.ipb.ac.id/
15
Pendahuluan
collective action sesungguhnya dikonstruksi oleh injustice frame, agency frame, dan identity frame dalam gerakan anti-batubara yang dipelopori Greenpeace. Pada akhirnya, pembentukan frame gerakan terbukti berhasil membentuk identitas kolektif anggota gerakan lingkungan ini. Penelitian ini lebih fokus untuk melihat penggunaan media sosial sebagai strategi gerakan lingkungan yang dipilih para aktor. Strategi gerakan lingkungan di Indonesia cenderung unik dan tanpa kekerasan. Apalagi, masyarakat yang terlibat dalam gerakan lingkungan biasanya masih muda dan pengguna aktif Internet yaitu kelas menengah ke atas. Meskipun begitu, banyak LSM seperti Greenpeace dan WALHI juga menggandeng masyarakat adat dalam menyuarakan tuntutan perlindungan atas lingkungan hidup. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat mengapa media sosial dipilih sebagai strategi gerakan? Selain itu, bagaimana karakter penggunaan media sosial sebagai strategi gerakan? Hal ini sangat menarik untuk diteliti merefleksikan bagaimana posisi media sosial sebagai strategi dalam wacana Gerakan Sosial Baru.
I.4.3
Transformasi Strategi Gerakan sebagai Representasi Demokratis Sejak kemunculan Internet pada 1990, populasi jejaring dunia meningkat
tajam. Dalam periode yang sama, media sosial telah menjadi bagian hidup masyarakat dunia, mulai dari warga negara biasa, aktivis, perusahaan telekomunikasi, hingga pemerintah. Berkaitan dengan perkembangan ilmu politik, banyak penelitian berusaha mencari jawaban mengenai peran media sosial dalam demokrasi. Adapun pembicaraan mengenai dampak media sosial pada gerakan sosial menjadi perdebatan panjang sejak kemunculan Internet. Bahkan, gerakan sosial menjadi jejaring tersendiri dalam jaringan media sosial. Masyarakat sipil menjadi elemen penting pada pembangunan demokrasi Indonesia. Dalam sejumlah peristiwa bencana Indonesia, media sosial terbukti menjadi sarana kuat bagi masyarakat sipil untuk berkoordinasi. Hanya berselang dua hari setelah tsunami 2004, relawan Airputih (airputih.or.id) membantu mengembalikan aktivitas komunikasi di Aceh dengan menyediakan koneksi Internet. Begitu pula Jalin Merapi (merapi.combine.or.id) membantu mengkoordinasikan relawan dan 16
Pendahuluan
bantuan dengan menggunakan media sosial. Terlihat bahwa penggunaan media sosial ikut mempengaruhi cara kerja organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Peta gerakan masyarakat di Indonesia telah berkembang dari virtual-based action ke real-based action serta dari ruang sipil ke ruang politik50. Namun, masih tetap ada anggapan pesimis akan peran media sosial sebagai pendorong gerakan nyata. Meikle51 dan Loader52 mempertanyakan perbandingan komitmen antara aktivis gerakan digital atau juga disebut keyboard activism dengan aktivis dunia nyata. Mereka menyebutkan bahwa komitmen aktivis dunia nyata cenderung lebih tinggi sehingga memunculkan gerakan yang konsisten. Sedangkan keyboard activism cenderung “datang dan pergi” sehingga hanya menjadi gerakan sesaat yang kemudian hilang. Pendapat lain menegaskan bahwa transformasi dari gerakan digital ke gerakan nyata tidak bisa disimpulkan semata-mata pengaruh dari media sosial: “These changes happen primarily not because the tools, but because of the people, who are the agent of the change53”. Media sosial memang penting untuk perubahan. Akan tetapi, perubahan itu bergantung dari bagaimana media itu dipilih, digunakan secara tepat, bukan karena kekuatan kata-kata. Apa yang disebut Arab Spring bukanlah produk media sosial, tetapi media sosial memiliki peran besar dalam menyebarkannya. Selama transisi demokrasi, masyarakat sipil yang aktif secara online disebut sebagai salah satu syarat terpenting lahirnya demokratisasi54. Diaspora Muslim di Barat kemudian membangun identitas kolektif transnasional melalui kombinasi media sosial dan smartphone. Masyarakat sipil menjadi aktif dalam pembuatan konten maupun penyebarannya. Dalam gerakan #Occupying yaitu aksi protes Wall Street, media sosial memiliki kontribusi kuat membentuk perkumpulan55 dari individu-individu Murti, Desideria Cempaka Wijaya. 2013. “Keyboard Action End up Political Party: Understanding the Intertwining Relations of Sosial Media Activism, Citizenship, and the Dynamics of Democracy in Indonesia”. Online Journal of Communication and Media Technologies, 3 (32), hal. 32-53. 51 Meikle, G. 2002. Future Active: Media Activism and the Internet. New York: Routledge. 52 Loader, B & Mercea, D. 2011. “Networking Democracy?” Information, Communication & Society, 14(6), hal. 757-769. 53 Nugroho, Yanuar, Op.cit., hal. 80. 54 Della Porta, Donatella. 2013. Can Democracy Be Saved? Participation, Deliberation, and Sosial Movement. Cambridge: Polity Press, hal. 85. 55 Juris dalam Della Porta, Donatella. 2013. Op.cit., hal. 96. 50
17
Pendahuluan
berbeda kemudian mempertemukannya dalam ruang nyata. Sehingga, protes online maupun offline bisa tercipta dan saling memperkuat satu sama lain. Argumen bahwa kehadiran teknologi baru tidak dapat menggantikan aksi tradisional semakin diperkuat oleh gerakan Association for the Taxation of Financial Transactions for the Aid of Citizens (ATTAC)56. Perlu disadari bahwa media sosial hanya bisa menjangkau aktivis yang memiliki akses internet, sehingga kombinasi antara media sosial dan media konvensional masih diperlukan dalam pemilihan maupun penyebaran informasi. Masih mendapat pengaruh dari Arab Spring, gerakan Indignados Spanish juga sangat dimediasi media sosial. Transisi demokrasi di Spanyol menguat seiring hadirnya platform ‘Democracia Real Ya’ (DRY). Media sosial diyakini berperan memberdayakan warga Spanyol dalam beropini tanpa dipengaruhi oleh agenda politik dan agenda media massa yang berkembang saat itu57. Ada kemarahan yang berkembang melalui media sosial, dan demokrasi dianggap menjadi jalan untuk mereka keluar dari krisis ekonomi. Melalui media sosial, mereka memutuskan untuk melakukan demonstrasi serentak di berbagai kota di Spanyol untuk menyampaikan penolakan mereka atas keputusan sejumlah politisi. Demonstrasi dilakukan pada 15 Mei 2011, satu minggu sebelum local election, dan gerakan ini mendapat sebutan 15M. Selain didukung oleh akar rumput Spanyol, gerakan ini lahir dan dikoordinasi oleh para hacker, blogger, microblogger, dan aktivis online lainnya58. Penggunaan hashtag tidak hanya untuk mengorganisir obrolan debat, tetapi juga membangun semangat perjuangan kolektif. Memang, dibutuhkan komitmen politik yang kuat, serta cara-cara inovatif untuk menjaga perjuangan di media sosial agar tidak cepat menguap.
Grignou, Brigitte & Charles Patou. 2004. “ATTAC(k)ing Expertise: Does the Internet Really Democratize Knowledge?” Dalam Van de Donk, Wim et al (eds.). 2004. Cyberprotest: New Media, Citizens, and Sosial Movements. London & New York: Routledge, hal. 145-158. 57 Casado, Eunate Serrano. 2012. “New Technologies, Sosial Network and Media: Spanish Revolution”. Jurnalism si Comunicare Anul VII, No. 3-4. Spanyol: Universitat Autonoma de Barcelona, hal. 27-34. 58 Postill dalam Della Porta, Donatella. 2013. Op.cit., hal. 101. 56
18
Pendahuluan
Zapatista awalnya merupakan gerakan sehari-hari para petani Meksiko melawan pendudukan militer atas tanah mereka di pinggiran Montes Azules59. Mulai tahun 1994, Zapatista memanfaatkan teknologi Internet sebagai strategi perlawanan. Awalnya, Internet digunakan sebagai sarana komunikasi melalui kemudian berubah sebagai ruang aksi langsung tanpa kekerasan. Peran hacker, aktivis, dan artis sangat signifikan melalui politik radikal, recombinant theatre, dan desain software. Pada tahun 2001, Marcos memimpin long march sembari menggunakan simbol, kostum, dan properti yang dipinjam dari suku Zapata, Sandino, Che, dan Arafat. Zapatista menjadi contoh bagaimana transformasi gerakan dapat berjalan lancar dan bermakna berkat dukungan masyarakat lokal itu sendiri. Sejalan dengan keberhasilan gerakan pro-Timor Timur di Portugal,60 bahwa gerakan sosial akan sangat berpengaruh ketika mendapatkan legitimasi dan dukungan dari kelompok lokal, tetap berpikir lokal, namun beraksi global. Hal ini karena jaringan kekuasaan bekerja secara berkelanjutan dalam level yang berbeda. Artinya, media sosial dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi perjuangan secara global, namun tetap dalam kemasan dan pesan yang mampu diterima lokal. Setelah melihat berbagai gerakan yang berhasil disebarkan melalui media sosial, terlihat pola yang sama bahwa transformasi strategi dari aktivitas media sosial ke gerakan nyata terjadi akibat peluang dalam struktur politik negara. Misalnya saja keterbukaan sistem politik yang berimbas pada kemudahan akses terhadap teknologi Internet. Media sosial tentu tidak dapat berperan dalam gerakan jika berhadapan dengan rezim otoriter. Rezim ototiter dapat dengan mudah memutus arus teknologi informasi sehingga akses tidak tersedia bagi masyarakat kelas menengah. Dengan demikian, peluang politik menjadi salah satu aspek penting dalam pemanfaatan media sosial sebagai strategi gerakan. Sehingga, semakin jelas bahwa penelitian terkait strategi gerakan sosial tidak hanya berfokus pada agensi tetapi juga struktur. Rasionalitas agen mampu
Lane, Jill & Ricardo Dominguez. 2003. “Digital Zapatistas”. TDR, Vol. 47, No. 2. Cambridge: The MIT Press, hal. 129-144. 60 Cardoso, Gustavo & Pedro P. Neto. 2004. “Mass Media Driven Mobilization and Online Protest: ICTs and The Pro-East Timor movement in Portugal”. Dalam Van de Donk, Wim et al (eds.).Op.cit.,hal. 129-143. 59
19
Pendahuluan
menangkap realitas, menghasilkan keluhan baru, serta menyebarkannya melalui konten media sosial untuk mobilisasi dukungan. Di saat yang sama, sistem politik menyediakan peluang maupun hambatan dalam perkembangan gerakan itu sendiri. Hal ini menjadi poin penting penelitian untuk menjawab bagaimana proses proses transformasi strategi dari aktivitas media sosial ke gerakan nyata Bali Tolak Reklamasi periode Agustus 2013 – Juli 2015.
I.5 Kerangka Teori Media sosial termasuk ke dalam media digital61. Bentuknya dapat berupa jejaring sosial (misal Facebook), blog, wiki (misal Wikipedia), podcast, forum, media berbasis isi (misal Youtube) dan mikroblog (misal Twitter). Dalam penelitian ini, bentuk media sosial yang diteliti adalah: jejaring sosial Facebook dan Instagram; microblog Twitter; serta media berbasis isi Youtube. Perbedaan bentuk media sosial berkaitan dengan fungsi dan kekhasan setiap media. Jejaring sosial misalnya, berfungsi menjalin interaksi serta memperluas hubungan dalam dunia maya. Salah satu kekhasan situs jejaring sosial adalah membangun jejaring yang terpusat pada komunitas atau grup. Sehingga, situs jejaring sosial seperti Facebook dan Instagram sangat memungkinkan pengguna untuk berbagi ide, informasi kegiatan, serta berdiskusi soal ketertarikannya pada jaringan komunitasnya masing-masing. Karakter Facebook lebih kuat pada diskusi grup, sedangkan Instagram sebagai situs untuk berbagi foto. Selanjutnya, microblog adalah suatu blog yang memungkinkan penggunanya menuliskan teks pembaruan yang singkat kemudian mempublikasikannya, baik untuk dilihat oleh semua orang atau kelompok terbatas dalam jaringan pertemannya. Twitter termasuk ke dalam mikroblog dengan batasan 140 karakter seringkali digunakan untuk berbagi perkembangan suatu kasus terbaru atau ajakan untuk terlibat dalam suatu kegiatan. Karakter Twitter adalah penyampaian pesan dengan bahasa yang lugas, singkat, jelas, dan menarik perhatian. Terakhir, media berbasis isi adalah media yang lebih mengutamakan fungsinya sebagai media untuk berbagi konten yang dibuat sendiri oleh pengguna (user-created content). Youtube secara khusus 61
Mayfield, A. 2008. What is Social Media. iCrossing.
20
Pendahuluan
diperuntukkan untuk mengunggah dan membagikan konten digital berupa video, audio, dan teks, dan terkumpul berdasarkan topik dan tipe konten. Penelitian ini mengacu pada pandangan yang melihat bahwa teknologi tidak netral, sehingga perkembangan teknologi yang ada memang revolusioner, namun tidak utopian. Artinya, sejauh mana teknologi dapat bermanfaat sangat bergantung dari siapa dan bagaimana seseorang menggunakan teknologi tersebut. Selanjutnya, media sosial dimasukkan dalam kategori ruang siber karena merupakan hasil dari perkembangan teknologi Internet. Dalam aktivitas politik, ruang siber dan ruang fisik memiliki hubungan yang saling bergantung (interdependent) antara satu dengan yang lain62. Maksudnya, satu dimensi dapat membangkitkan, memperkuat, melemahkan, atau bahkan membunuh dimensi yang lain. Poin pentingnya adalah manfaat media sosial dalam aktivitas politik sangat bergantung pada siapa dan bagaimana masyarakat Internet (netizen) menggunakan media sosial. Sebagai bagian dari ruang siber, media sosial ikut memiliki enam karakteristik kunci sebagaimana disebutkan oleh Mitra dan Cohen 63. Keenam karakter media sosial antara lain: 1) intertextuality, artinya setiap teks memiliki tautan pada teks yang lainnya. Dengan demikian, makna teks tidak bisa berdiri sendiri. Teks harus dimaknai bersama-sama dengan teks lain yang masih berkaitan, baik teks pada masa lampau maupun teks masa kini. Hal ini berkaitan dengan makna pesan dalam media sosial. Suatu kiriman (posting), komentar (comment), atau kicauan (tweet) baru memiliki makna ketika dikaitkan dengan kiriman, komentar, atau kicauan lainnya. 2) Nonlinearity, artinya setiap halaman situs, atau komentar tidak dapat diketahui mana awal dan akhirnya. Bisa saja kicauan terakhir menjadi topik obrolan yang baru. Selanjutnya, 3) Terdapat distingsi yang kabur antara pembaca dan penulis (blurring the reader/writer distinction). Pengguna media sosial mengkonstruksi teks melalui akses pada setiap tautan yang berkaitan. Adapun akses terhadap konten tidak bisa dikontrol Lim, Merlyna. 2005. “Cyber-Urban Activism and the Political Change in Indonesia”. A paper presented at the RE: Activism Conference held in Budapest. Diambil dari: http://eastbound.eu/site_media/pdf/060101LIM.pdf 63 Nasrullah, Rulli. 2014. Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia), hal. 177. Jakarta: Kencana. 62
21
Pendahuluan
oleh penulisnya. Hal ini berkaitan dengan karakter netizen sebagai user-contentgenerated, artinya pengakses memproduksi konten, mendistribusikannya, sekaligus menjadi konsumen dari konten itu. Karakter 4) multimedianess yaitu adanya konvergensi antara media, gambar, suara, dan teks di media sosial. Misalnya, teks yang ada di Facebook juga bisa disertakan dengan gambar atau tautan (link) sehingga konten mengandung lebih banyak karakter. 5) Sifat internet global membuat konten dapat disebar dan diakses secara luas tanpa ada batasan ruang dan waktu secara cepat. Pesan tidak hanya disebar ke satu orang, tetapi langsung ke banyak orang tanpa melalui gatekeeper layaknya media arus utama. Terakhir, 6) ephemerality bahwa teks di media sosial tidak stabil karena bisa saja dihilangkan oleh penggunanya. Diagram 1.1 Karakter Media Sosial
Sumber: Diolah secara mandiri oleh peneliti berdasarkan kerangka teori; gambar diambil dari http://www.rmol.co
Jika ditilik dengan lebih seksama, karakter media sosial dapat dikelompokkan menjadi dua dimensi, yakni dimensi konten serta dimensi khalayak. Dimensi konten berkaitan dengan intertextuality, nonlinearity, 22
Pendahuluan
multimedianess, dan ephemerality. Sedangkan dimensi khalayak berkaitan dengan user-generated-content, dan global. Dua dimensi ini akan menjadi fokus peneliti saat melihat bagaimana aktivitas media sosial dalam gerakan. Aktivitas media sosial dimaknai sebagai strategi gerakan. Strategi adalah penetapan sasaran dan tujuan jangka panjang, dan arah tindakan serta alokasi sumber daya yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan itu64. Sehingga, penggunaan media sosial memang sengaja ditetapkan sebagai salah satu bentuk alokasi sumber daya untuk mencapai tujuan gerakan. Berperan sebagai strategi, aktivitas media sosial terbukti mampu mempengaruhi bentuk gerakan nyata65. Menurut Donk, kemampuan itu terwujud melalui tiga cara, yakni: 1) pembagian definisi masalah sebagai dasar pembentukan identitas kolektif; 2) mampu memobilisasi anggota; serta 3) memperluas jaringan dengan menghubungkan sejumlah organisasi yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk melihat apakah kemampuan ini disadari oleh para aktor gerakan, sehingga memutuskan untuk menggunakan media sosial sebagai strategi gerakan. Selain itu, media sosial bermanfaat bagi aktivitas politik dengan cara menghancurkan monopoli negara terhadap produksi pengetahuan dan arus informasi66. Apalagi, informasi di media sosial mampu menjangkau pengguna nasional dan internasional. Walaupun, tetap dibutuhkan teknologi konvensional untuk menyebarkan informasi dari media sosial kepada publik yang tidak menggunakan media sosial. Dalam penelitian ini, gerakan Bali Tolak Reklamasi yang diusung oleh Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi disebut sebagai bentuk dari Gerakan Sosial Baru. Terdapat empat karakteristik Gerakan Sosial Baru67. Pertama, Gerakan Sosial Baru menaruh asumsi ideologis bahwa masyarakat sipil berada pada titik nadir karena kontrol negara dan pasar yang menerobos masuk ke dalam seluruh Chandler dalam Singh, Rajendra. 2002. “Teori Gerakan Sosial Baru”. Dalam Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif No. XI. 65 Van de Donk, Wim et al (eds.). 2004. Cyberprotest: New Media, Citizens, and Sosial Movements. London & New York: Routledge, hal. 88. 66 Lim, Merlyna. 2005. Op.cit., hal. 1. 67 Singh, Rajendra. 2002. “Teori Gerakan Sosial Baru”. Dalam Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif No. XI, hal. 124-134. 64
23
Pendahuluan
aspek kehidupan masyarakat. Kedua, gerakan bersifat non-kelas dan nonmaterialistik, seperti gerakan anti-rasisme, gerakan feminisme, dan gerakan lingkungan. Ketiga, gerakan melibatkan politik akar rumput. Adanya asosiasi demokratis horizontal terorganisir dalam federasi longgar pada tingkat isu nasional maupun global. Terakhir, struktur gerakan didefinisikan oleh pluralitas cita-cita, tujuan, dan kehendak dari heterogenitas basis sosial. Sehingga, tidak ada segmentasi pada aksi, strategi, dan cara mobilisasi. Aktor-aktor pun terlibat bukan karena kepentingan kelas, tetapi lebih pada alasan kemanusiaan. Jelasnya, tuntutan dalam Gerakan Sosial Baru bukan semata-mata konflik kelas melain lebih pada isu-isu kemanusiaan yang melibatkan khalayak secara luas. Sehingga, ketika tuntutan gerakan dipenuhi, bukan lagi berbicara mengenai kemenangan kelas tertentu, akan tetapi sudah menyangkut kepentingan manusia secara luas. Dalam kaitannya dengan pemilihan strategi pada Gerakan Sosial Baru, Singh mengungkapkannya sebagai gerakan sosial biner68. Artinya, gerakan sosial baru memusatkan strateginya pada peran nalar (dan aksi kolektif) serta peran refleksi. Peran nalar sejalan dengan kemampuan aktor memobilisasi sumber daya. Jika dikaitkan dengan pemikiran Donk sebelumnya, pembentukan identitas kolektif, memobilisasi anggota, serta memperluas jaringan menjadi bagian dari kerja peran nalar dalam strategi gerakan sosial baru. Sedangkan peran refleksi sejalan dengan pendekatan Gramsci sebagai counter-hegemony, yaitu pemaksaan solusi atas tuntutan mereka dengan memastikan solusi tersebut sejalan dengan tujuan gerakan. Jika dikaitkan dengan pemikiran Lim, maka cara aktor gerakan memproduksi pengetahuan serta mengontrol arus informasi menjadi bagian peran refleksi dalam strategi gerakan sosial baru. Dengan demikian, penelitian ini ingin melihat bagaimana media sosial mengakomodasi peran nalar dan refleksi sebagai bagian dari strategi gerakan lingkungan Bali Tolak Reklamasi. Di dalam Gerakan Sosial Baru (New Social Movement) aksi kolektif tidak dapat semata-mata dijelaskan melalui sudut pandang ‘kepastian’ struktur69. 68
Singh, Rajendra, Loc.cit. Melucci (1988) dalam Vahabzadeh, Peyman. 2001. “A Critique of Ultimate Referentiality in the New Social Movement Theory of Alberto Melucci”. The Canadian Journal of Sociology, Vol. 26, No.4, hal. 614. Canada: University of Alberta. 69
24
Pendahuluan
Konflik baru menjadi bervariasi dan berbeda karena kerapatan informasi yang sudah sangat tinggi. Melucci mengandaikan masyarakat post-industri sebagai individu-individu otonom yang menerima sekaligus memproduksi informasi. Masyarakat post-modern menjadi sistem yang sangat kompleks karena perubahan terjadi sangat cepat, karakter manusia menjadi sangat plural, serta ketersediaan informasi yang sangat banyak. Sehingga, nilai-nilai tradisional seringkali melemah karena tuntutan ‘modernitas’ dan ‘globalisasi’. Hal inilah yang menyebabkan kebutuhan akan pembentukan identitas kolektif menjadi sangat mendesak70. Konstruksi sosial atas identitas kolektif tidak hanya menjadi pencapaian tetapi juga prasyarat terjadinya Gerakan Sosial Baru. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, konstruksi identitas kolektif ini menjadi bagian dari proses nalar dan refleksi masyarakat yang berkesinambungan dan saling berkaitan satu dengan lain. Proses ini pula lah yang kemudian mendorong para aktor untuk memilih media sosial sebagai strategi gerakan mereka. Alasan penggunaan media sosial sebagai strategi gerakan semestinya tidak bisa dilihat hanya sebagai hasil dari pilihan rasional para aktor gerakan. Hal ini karena seseorang bertindak atas dasar keyakinan dan preferensi mereka. Adapun keyakinan dan preferensi tersebut tidak dapat lepas dari fakta objektif tentang mereka seperti kelas sosial, ras, atau posisi institusionalnya71. Berlawanan dengan kaum rasionalis dan positivis, aktivitas politik harus dijelaskan oleh kebijaksanaan dan klaim moral dalam tradisi perilaku yang relevan. Dengan demikian, setiap tindakan dapat dijelaskan melalui pandangan awam atas kehidupan sehari-hari, atau yang disebut sebagai life world of everyday common sense72. Di sisi lain, sejumlah aktivitas media sosial terbukti mampu membangkitkan aksi di dunia nyata. Lim menyebut fenomena ini sebagai Revolusi 2.0. Keberhasilan ini bukan semata-mata pengaruh dari media sosial secara mandiri (independent), melainkan dipengaruhi pula oleh konteks sejarah politik suatu masyarakat dalam upaya
Melucci dalam Buechler, Steven M. 1995. “New Social Movement Theories”. The Sociological Quaterly, Vol. 36, No. 3, hal. 446. USA: Wiley. 71 Marsh, David & Gerry Stoker. 2002. Teori dan Metode dalam Ilmu Politik. Helmi Mahadi dan Shohifullah (Terj.). Bandung: Nusa Media, hal. 161. 72 Husserl dalam David & Stoker, Loc.cit. 70
25
Pendahuluan
perebutan kekuasaan73. Asumsi peneliti, aktivitas media sosial dapat dijelaskan melalui pandangan awam para aktor gerakan terhadap media sosial dalam konteks kehidupan mereka sehari-hari. Lebih jauh, alasan penggunaan media sosial sebagai strategi gerakan Bali Tolak Reklamasi juga layak dibaca sebagai upaya perebutan kekuasaan yang tidak lepas dari sejarah politik masyarakat Bali. Diagram 1.2 Media Sosial sebagai Strategi Gerakan Sosial Baru
Sumber: Diolah secara mandiri oleh peneliti berdasarkan kerangka teori
Lim, Merlyna. 2014. “Roots, Routes & Routers: Sosial Media and Urban Activism from the Arab Spring to Hong Kong”. Diambil dari: https://prezi.com/paahb5trujx2/rootsroutesrouters/?utm_campaign=share&utm_medium=copy 73
26
Pendahuluan
Dalam penelitian ini, aksi nyata dilihat sebagai bagian dari strategi untuk mendorong perubahan isu publik menjadi agenda politik. Sehingga kelanjutan aktivitas media sosial menjadi aksi nyata kemudian peneliti maknai sebagai transformasi strategi gerakan. Tidak semua aktivitas media sosial dapat berlanjut ke gerakan nyata demi mengubah isu publik menjadi agenda politik. Saat Gerakan Sosial Baru memasuki bentuk aksi jalanan sebagai bagian dari strategi gerakannya74, seringkali terjadi ketegangan politik yang menciptakan titik-titik religiovikasi. Religiovikasi dimaknai sebagai pedoman suci yang diyakini oleh para aktor sehingga mendorong mereka untuk rela terlibat dalam aksi kolektif. Lebih jauh, jika melihat pola transformasi strategi gerakan75 seperti Arab Spring, 15M, dan Zapatista, tampak sejumlah persyaratan yang dibutuhkan untuk membuat aktivitas media sosial bertransformasi menjadi gerakan nyata. Syarat pertama opini dalam media sosial dapat membangun kemarahan. Ada kebebasan berpendapat yang ditawarkan Internet, mulai dari sekadar keluhan hingga kritikan tajam terhadap pemerintah atau situasi politik terkini. Dukungan seperti like, share, atau re-tweet menimbulkan perasaan “saya tidak sendiri” diantara para aktor. Jika opini dipelihara melalui cara-cara kreatif sehingga tidak cepat menguap, maka dapat memicu kemarahan berkelanjutan yang mendorong para aktor untuk turun ke jalan. Syarat kedua adalah komitmen politik yang kuat oleh para aktor gerakan sehingga tercipta bentuk-bentuk perlawanan yang dinamis dan berkelanjutan. Komitmen lahir dari harapan para aktor untuk dapat mewujudkan tuntutan gerakan. Syarat ketiga adalah menciptakan ikatan kuat antaraktor, baik secara eksternal maupun internal. Transformasi gerakan dapat terjadi hanya ketika masyarakat sipil dapat mempertahankan suatu interaksi yang dinamis dengan publik melalui strategi penggunaan media sosial, maka aktivitas sipil dapat
74
Transformasi dari aktivitas media sosial ke gerakan nyata (aksi jalanan) tidak dilihat dalam kerangka pikir Resource Mobilization atau Breakdown Theory. Aksi jalanan masih menjadi salah satu bentuk dari strategi Gerakan Sosial Baru. 75 Lihat kembali Literature Review pada sub bahasan 3. Transformasi Strategi Gerakan sebagai Representasi Demokratis, hal. 16-20.
27
Pendahuluan
menjadi lebih bermakna76. Hal ini karena aktivitas sipil dihasilkan dari ikatan kuat antaraktor, sementara media sosial hanya membangun ikatan lemah. Oleh karena itu, transformasi gerakan dari digital ke nyata membutuhkan adanya ikatan kuat antaraktor gerakan. Kombinasi antara keduanya, jaringan virtual dan interaksi tatap muka, adalah upaya terbaik untuk menciptakan dan memelihara komunitas gerakan77. Adapun ikatan kuat antaraktor eksternal maksudnya adalah menjalin interaksi positif dengan kelompok yang sedang dibela. Sedangkan ikatan kuat antaraktor internal yaitu interaksi tatap muka yang dilakukan oleh anggota yang sering terlibat diskusi melalui media sosial. Syarat keempat adalah kombinasi penggunaan media sosial dengan media konvensional, serta menjalin interaksi tatap muka untuk menyelesaikan permasalah akses informasi akibat Internet. Sehingga, gerakan tetap bisa memiliki basis akar rumput yang kuat secara menyeluruh tanpa terbatas pada aktor yang hanya bisa mengakses internet. Pada akhirnya, syarat kelima, yaitu adanya peluang politik sehingga akses informasi melalui media sosial terbuka serta memungkinkan berkembangnya gerakan menjadi aksi nyata tanpa ada aksi pembubaran paksa dari pemerintah. Kerangaka teori ini menjadi bingkai berpikir peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian. Asumsi peneliti, karakteristik media sosial78 seperti bentuk, konten, dan khalayak mempengaruhi penggunaanya sebagai strategi gerakan. Dalam pandangan Gerakan Sosial Baru, pemilihan media sosial sebagai strategi gerakan merupakan hasil dari proses nalar dan refleksi aktor79. Adapun penggunaan media sosial erat kaitannya dengan tren Revolusi 2.0 yakni penggunaan media sosial sebagai upaya perebutan kekuasaan sekaligus hasil dari dinamika sejarah politik masyarakat itu sendiri. Maksudnya, media sosial sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari sehingga penggunaannya menjadi hal yang wajar bagi para aktor gerakan. Terakhir, tidak menutup kemungkinan terjadi transformasi strategi dari aktivitas media sosial ke gerakan nyata (aksi jalanan). Utama, Edi. 2012. “The Other Side of Sosial Media: Indonesia’s Experience”. Dalam Winkelmann, Simon (ed.). The Sosial Media (R)evolution? Asian Perspective on New Media. Singapore: Konrad-Adenaver-Stiftung, hal. 23-34. 77 Etzioni & Etzioni dalam Van de Donk, Wim, et al. Op.Cit., hal. 88. 78 Lihat Diagram 1.1, hal. 22. 79 Lihat Diagram 1.2, hal. 24. 76
28
Pendahuluan
Untuk mencapai hal itu, akan muncul wacana-wacana ketegangan politik, baik di dalam maupun di luar kelompok, sehingga kemudian menciptakan religiovikasi. Religiovikasi inilah yang mendorong para aktor untuk melanjutkan tuntutan mereka di ruang nyata sebagai bagian dari strategi gerakan lingkungan Bali Tolak Reklamasi. Jelasnya, gerakan nyata dibaca sebagai strategi untuk mendorong isu publik menjadi agenda politik dalam semangat demokrasi. Diagram 1.3 Alur Berpikir
Religiovikasi
Sumber: Diolah secara mandiri oleh peneliti berdasarkan kerangka teori
I.6 Definisi Operasional Definisi operasional mendefinisikan secara operasional setiap konsep penelitian berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti melakukan observasi secara cermat terhadap suatu fenomena. Penjabaran definisi operasional seperti terlihat dalam Tabel 1.1 di bawah ini:
29
Pendahuluan
Tabel 1.1 Operasionalisasi Konsep No. 1.
Konsep Karakteristik Media Sosial
Dimensi 1. Bentuk
2. Konten
3. Khalayak
Sub Dimensi 1. Jejaring Sosial
Definisi Operasional Media digital yang memanfaatkan teknologi Internet Situs yang biasa digunakan untuk membangun jaringan pertemanan di dunia maya seperti Facebook dan Instagram.
2. Mikroblog
Blog dengan ukuran kecil, biasanya tidak lebih dari 200 karakter, seperti Twitter (140 karakter).
3. Media Berbasis Isi
Media untuk mengunggah dan berbagi khusus satu format konten, seperti Youtube yang secara khusus berbagi video.
1. Intertextuality
Makna teks tidak berdiri sendiri, harus melihat kaitannya dengan teks yang lain.
2. Nonlinearty
Teks tidak linear, tidak ada awal dan akhir
3. Multimedianess
Konvergensi format konten: teks, gambar, video, suara, dan tautan lain.
4. Ephemerality
Teks tidak stabil, bisa hilang dengan sengaja atau tidak.
1. User-Generated-
Pengguna media sosial membuat konten, menyebarkannya, sekaligus mengkonsumsi konten tersebut, batas yang kabur antara penulis dan pembaca.
Content 2. Global
Tidak ada batasan ruang dan waktu antara pengguna media sosial, tidak ada gatekeeper yang menyaring konten.
30
Pendahuluan
2.
Strategi Gerakan
Penetapan arah tindakan serta alokasi sumber daya untuk mencapai tujuan gerakan. Dalam penelitian ini, media sosial ditetapkan sebagai salah satu strategi gerakan sebagai hasil dari proses nalar dan refleksi aktor. 1. Nalar
1. Pembentukan Identitas Kelompok
Hubungan aktor dengan lingkungan dan tujuan gerakan yang menciptakan identitas kelompok.
2. Mobilisasi Anggota
Upaya memobilisasi anggota dalam jaringan pertemanan ForBALI untuk mendukung aksi.
3. Perluasan Jaringan
Upaya ForBALI untuk menambah anggota dalam jaringan pertemanan untuk medukung gerakan
2. Refleksi
3.
Transformasi Strategi Gerakan
Pertarungan wacana atau opini sebagai counter hegemony bagi politisi dan media massa konvensional pro reklamasi. 1. Produksi Pengetahuan
Produksi dan penyebaran konten yang berisi penolakan atas rencana reklamasi Teluk Benoa
2. Kontrol Arus Informasi
Produksi konten untuk memberikan umpan balik pada pihak lawan sehingga informasi tidak hanya dimonopoli oleh salah satu pihak (pro saja, atau kontra saja).
1. Religiovikasi
Nilai suci yang diyakini para aktor sekaligus menjadi alasan mereka untuk bergerak secara nyata.
2. Persyaratan Transformasi
Kondisi yang harus dipenuhi agar aktivitas media sosial berlanjut ke aksi nyata, antara lain: lihat Diagram 1.3
Sumber: Diolah secara mandiri oleh peneliti berdasarkan kerangka teori
31
Pendahuluan
I.7 Metode Penelitian I.7.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode studi kasus, karena penelitian ini bertujuan menjelaskan kasus (explanatory) dengan tipe pertanyaan penelitian “mengapa” dan “bagaimana” terkait seperangkat isu kontemporer yang tidak dikontrol/sedikit mendapatkan kontrol dari peneliti. Fokus penelitian ingin menjelaskan bagaimana dan mengapa media sosial digunakan sebagai strategi gerakan. Sehingga, jawaban akan lebih mengarah pada pemaparan/penjelasan mendalam mengenai alasan dipilihnya media sosial sebagai strategi gerakan, bagaimana penggunaan media sosial tersebut, hingga bagaimana transformasi strategi dari gerakan di media sosial hingga gerakan di dunia nyata. Penelitian ini akan menyelidiki fenomena kontemporer dengan sistem yang terbatas (boundary system). Artinya, penelitian ini berfokus pada kasus, yaitu penggunaan media sosial pada Gerakan Lingkungan Bali Tolak Reklamasi. Selain itu, fenomena dan konteks dalam penelitian ini tidak dapat dipisahkan. Hal ini berbeda dengan strategi penelitian eksperimen yang membedakan antara fenomena dan konteks. Penelitian juga menggunakan berbagai sumber data sebagai bukti penelitian. Artinya, sumber data tidak terbatas pada sejumlah variabel seperti layaknya penelitian survei. Terakhir, peneliti menganggap bahwa kasus ini unik. Jika biasanya gerakan dilakukan oleh masyarakat kelas bawah, maka Bali Tolak Reklamasi tergolong unik karena digerakkan oleh kelas menengah yang aktif menggunakan media sosial. Oleh karena itu, strategi penelitian studi kasus dianggap tepat untuk menjawab rumusan masalah penelitian.
I.7.2
Unit Analisis
Penelitian ini hanya mendalami satu kasus yaitu kasus gerakan lingkungan Bali Tolak Reklamasi pada periode Agustus 2013 – Juli 2015. Sehingga, bobot penelitian akan lebih berat untuk menghadirkan penjelasan yang dapat berlaku pada kasus-kasus lain dengan situasi serupa.
32
Pendahuluan
I.7.3
Instrumen Penelitian Pada bahasan ini akan menjelaskan mengenai jenis data sekaligus teknik
pengumpulan data yang akan digunakan. a. Data Primer : Data primer yang dibutuhkan: 1) alasan penggunaan media sosial; 2) bagaimana penggunaan dan apa tujuan dari pemanfaatan media sosial yang berbeda-beda; 3) bagaimana cara penggunaan media sosial untuk menunjukkan pernyataan tuntutan dalam gerakan, menggalang kesatuan para aktor gerakan, menunjukkan kekuatan gerakan, atribut gerakan, publikasi aksi, dan komitmen para aktor gerakan; 4) kebiasaan yang dilakukan para aktor sehingga gerakan di dunia maya dapat berkelanjutan di dunia nyata silih berganti. Untuk mendapatkan data tersebut akan dilakukan observasi gerakan, baik gerakan melalui kiriman di media sosial maupun pawai budaya/long march yang biasa dilakukan secara nyata, seperti: 1) kiriman ForBali serta sejumlah aktor penting80 di media sosial Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube; 2) foto pelaksanaan gerakan nyata beserta atribut yang digunakan. Selain itu, akan dilakukan wawancara kepada narasumber kunci antara lain: 1) Koordinator Gerakan I Wayan Gendo Suardika; 2) Direktur Eksekutif Walhi Bali Suriadi Darmoko; 3) Ketua Lembaga Perwakilan Masyarakat Tanjung Benoa Kadek Duarsa; 4) sejumlah informan nelayan dan pemandu wisata perairan Teluk Benoa; serta 5) sejumlah informan yang mengikuti pawai budaya/long march Bali Tolak Reklamasi. b. Data Sekunder : Data sekunder yang dibutuhkan adalah surat tuntutan gerakan yang disampaikan kepada Pemerintah Provinsi Bali untuk membatalkan rencana reklamasi Teluk Benoa, serta informasi lain yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian dari berbagai sumber. 80
Aktor penting adalah aktor yang sangat aktif mengunggah kiriman bernada penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa seperti: I Gede Ari Astina dalam akun “Jrx SID” (drummer Superman Is Dead); Nyoman Angga dalam akun “Man Angga Nostress” (vokalis band Nostress); band Navicula dalam akun “Navicula”; Koordinator gerakan I Wayan Gendo Suardana dalam akun “Gendo Suardana”; Direktur Walhi Bali Suariadi Darmoko dalam akun “Suariadi Darmoko”, seerta Ketua LPM Tanjung Benoa Kadek Duarsa dalam akun “Kadek Duarsa”.
33
Pendahuluan
I.7.4
Teknik Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif melalui
proses pengaturan data, pengorganisasian data, dalam pola yang akan disesuaikan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini. Kemudian tahap verifikasi dilakukan untuk memperoleh kesesuaian pemahaman makna antara peneliti dan subjek penelitian.
I.8 Sistematika Penulisan BAB I Pendahuluan Terdiri dari latar belakang; rumusan masalah; tujuan dan manfaat penelitian; literature review; kerangka teori; definisi operasional; metode penelitian; serta sistematika penulisan.
Bab pertama betujuan memberi
pemahaman kepada pembaca tentang masalah mendasar penelitian ini, termasuk alasan mengapa masalah penelitian ini penting untuk dikaji dalam konteks sekarang.
BAB II Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi BAB II mendeskripsikan perlawanan masyarakat adat terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa dalam bingkai perebutan hak budaya yang terancam oleh kongkalingkong negara dan pebisnis. Tujuan bab ini adalah memberikan pemahaman terhadap karakter struktur dan cara kerja organisasi, dalam penelitian ini ForBALI, yang menggunakan media sosial sebagai salah satu strategi utama dalam gerakan lingkungan Bali Tolak Reklamasi.
BAB III Aktivitas Media Sosial Bali Tolak Reklamasi BAB III mendeskripsikan karakter media sosial sebagai strategi gerakan lingkungan. Bab ini berusaha menjelaskan mengapa media sosial dipilih sebagai strategi gerakan, bagaimana media sosial kemudian membentuk kekhasan aktivitas di dunia maya, serta posisi media sosial di dalam strategi gerakan lingkungan atau biasa digolongkan sebagai gerakan 34
Pendahuluan
sosial baru. Sehingga, tujuan bab ini adalah memberi pemahaman bagaimana karakteristik media sosial bekerja sebagai strategi gerakan sosial baru.
BAB IV Transformasi Strategi Gerakan BAB IV membahas syarat penting apa saja yang dibutuhkan untuk mengubah aktivitas media sosial menjadi gerakan di dunia nyata. Selain itu, mengapa aktor memilih untuk meneruskan strategi gerakan ke aksi jalanan akan dibahas melalui wacana ketegangan yang muncul dan kemudian menciptakan religiovikasi bagi aktor. Dalam penelitian ini, aksi nyata dilihat sebagai bagian dari strategi untuk mendorong perubahan isu publik menjadi agenda politik. Peneliti kemudian memaknai kelanjutan aktivitas media sosial menjadi aksi nyata sebagai bentuk transformasi strategi gerakan. Hal ini penting mengingat tidak semua aktivitas media sosial dapat berlanjut di dunia nyata sebagai bentuk proses perubahan isu publik menjadi agenda politik. Tujuannya adalah memberi pemahaman kepada pembaca bahwa media sosial sebagai teknologi baru, mampu mendorong representasi demokratis hanya jika syarat-syarat transformasi dapat dipenuhi.
BAB V Penutup BAB V adalah bab terakhir yang merupakan refleksi teoritis terkait dengan fenomena yang media sosial sebagai strategi gerakan sosial baru, sekaligus kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan peneltian.
***
35