BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Praktik tolak dan panggil hujan tidak hanya dikenal oleh etnis lingkup Nusantara, tetapi juga etnis manca negara. Media mencatat beberapa praktik tolak dan panggil hujan, di antaranya, pelaksanaan tolak hujan pada
pembukaan
Olimpiade Beijing tahun 2008, tradisi petani bertelanjang dada untuk memanggil hujan di Bihar India, ritual tancap keris di Batangan, tolak hujan di Lampung, atau nerang di Bali. Terminologi yang digunakan untuk merujuk pada teks tolak dan panggil hujan mulai dari antisipasi, modifikasi, rekayasa, pengendalian, menahan
dan
menangkis
(http://www.antaranews.com).
hujan,
sampai
pada
cuaca
buatan
Sebagian besar dari praktik itu bersifat ritual
kedaerahan dan diikuti oleh seluruh warga setempat. Akan tetapi, keterlibatan warga tidak diikuti dengan pemahaman struktur dan makna tuturan yang dilantunkan. Kesenjangan inilah yang menjadi pendorong bagi penulis untuk mengangkat teks fungsional tolak dan panggil hujan dalam bentuk penelitian. Dalam skala nasional, modifikasi cuaca diselenggarakan oleh Badan Pengajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerjasama sama dengan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Badan itu menerapkan teknik rekayasa cuaca dengan menyemai garam Natrium Klorida yang berukuran 30-100 mikron. Garam dalam jumlah besar itu bersifat mengikat mendung sehingga dapat jatuh pada daerah yang direncanakan. Hujan buatan itu biasanya dilaksanakan 1
2
untuk meminimalisasi kebakaran hutan dan kepentingan pertanian. Teknologi semai itu merupakan rekayasa
percepatan hujan. Sementara itu, penyemaian
garam yang berukuran di bawah 10 mikron dapat dimanfaatkan untuk menggeser daerah hujan sebagaimana dilakukan untuk menanggulangi banjir di ibukota Jakarta. Jadi, teknik semai garam dapat digunakan untuk melokalisasi daerah hujan. Untuk menolak hujan, BPPT telah memperkenalkan teknologi laser. Mendung yang terpapar laser menjadi pecah dan selanjutnya diarahkan ke luar daerah proteksi. Modifikasi hujan dengan pemanfaatan teknologi itu diakui berkendala pada beaya operasional (http: //www.antaranews.com). Sebelum munculnya rekayasa cuaca yang mengedepankan teknologi, masyarakat Indonesia tampaknya sudah akrab dengan tradisi tolak dan panggil hujan dan dilaksanakan dalam lingkup kedaerahan. Misalnya, masyarakat Lombok menyelenggarakan tradisi Turun Taun „mohon hujan‟ menjelang musim tanam, dengan iringan lirik berikut (http://www.sumbawanews.com) (terjemahan oleh penulis). …Turun taun léq Gedong Sari, turun tahun PREP Gedong Sari „Turun hujan dari Gedong Sari‟ Mumbul katon suarga mulia, menyembur tampak sorga mulia „Semburan hujan laksana sorga mulia‟ Langan Dé Sida Allah nurunang sari, PREP HON Tuhan turunkan sari „Berkah rahmat Tuhan menurunkan kebahagiaan‟ Sarin merta sarin sedana… kebahagiaan material kebahagiaan finansial „Sumber kebahagiaan hidup‟
3
Tradisi tolak hujan juga dikenal dalam tradisi Kejawén (Jawa). Permohonan dilakukan dengan mendirikan sapu lidi yang ditusukkan cabai dan bawang merah, diiringi doa berikut (http://www.pranaindonesia.wordpress.com) (terjemahan oleh penulis).
Niat ingsun ora ngadekaké sapu biasa, niat 1 TG NEG -berdiri sapu biasa „Niat hamba bukan sekedar mendirikan sapu biasa‟ Nanging sapu jagat kanggo ngresiki mendhung, KONJ sapu jagat PREP -bersih mendung „Tetapi sapu jagad yang mampu membersihkan mendung‟ Udan lan angin saka daérah …….. hujan KONJ angin PREP daerah …. „Hujan dan angin di wilayah ….‟ dibuang menyang …….. buang-PAS PREP „Dipindahkan ke daerah …….‟ sawetara wektu …. . sementara waktu „Untuk jangka waktu ……‟ saking kersaning Allah ingkang murbéng jagad… PREP berkah Tuhan REL -kuasa alam „Ini terjadi atas berkah Tuhan, Penguasa Semesta Alam‟
Dibandingkan dengan budaya etnis Jawa dan Sasak, etnis Bali dikenal paling sering melakukan ritual sejenis. Praktik nerang „tolak hujan‟ bahkan dapat ditemukan pada hampir di setiap acara besar di perkotaan atau pedesaan. Nerang dilakukan dengan sarana sajen, rerajahan „simbol‟ dan bahasa. Secara empiris, ritual tolak hujan itu dapat ditemukan pada kegiatan keagamaan yang berskala kelompok, banjar, desa, hingga wilayah yang lebih luas. Pada upacara piodalan
4
„perayaan pura‟, pawiwahan „pernikahan‟, pasolahan „pementasan‟, pamelastian „penyucian arca‟, pawintenan „penyucian diri‟, atau acara luar ruangan lainnya, ritual nerang „tolak hujan‟ selalu dilaksanakan. Dalam perkembangannya, nerang bahkan juga dimanfaatkan sebagai proteksi acara nonreligi, seperti pelantikan pejabat, pergelaran seni budaya, pesta olahraga, pembukaan hotel, pembuatan tanggul hingga pengecoran bangunan bertingkat. Sejalan dengan popularitas teks, juru terang atau tukang terang „pawang hujan‟ menjadi label yang disandangkan pada partisipan kunci (Wawancara dengan Ketua PHDI Bali). Tingginya frekuensi pelaksanaan teks tolak hujan di Bali tampak tidak sejalan dengan pengetahuan publik. Artinya, warga masyarakat yang kerap terlibat dalam teks nerang „tolak hujan‟ tetap tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang struktur tuturan yang dilantunkan maupun fungsi simbol-simbol yang digunakan oleh tukang terang. Jadi, perlu ditelusuri pemicu kesenjangan antara keterlibatan fisik dengan logika pengetahuan terhadap teks. Menurut Badra (2001) salah satu pemicu keterbatasan pengetahuan publik terhadap teks ritual tolak dan panggil hujan ialah adanya peringatan keras yang membatasi semua pihak untuk membicarakannya. Peringatan yang dimaksud di antaranya: (a) aywa wéra, ila-ila dahat „jangan gegabah, sangat berbahaya‟, (b) iti kawruhan dahat pingit „ini ilmu yang sangat rahasia‟, (c) yén tan tatas wruha, away wéra „jika belum menguasai dengan saksama, jangan gegabah, sangat membahayakan‟, dan (d) rahasya temen, aywa wruhakena wong liyan „benarbenar rahasia, jangan diperbincangkan dengan orang lain‟. Para penguasa ilmu panrangan „tolak hujan‟
tidak diperkenankan memperbincangkannya karena
5
dapat mengurangi keampuhan ilmu tersebut. Pelanggar peringatan juga dapat dijatuhi
danda utpatta „denda atau hukuman‟ berupa gangguan kesehatan,
kebocoran keuangan, atau kesulitan komunikasi. Dengan demikian, regularitas pelaksanaan teks tidak berdampak signifikan pada kognisi, dan penelitian ini diharapkan dapat menjembatani kondisi tersebut. Sejauh ini, pemerhati budaya Bali memandang teks tolak dan panggil hujan sebagai aktivitas mistis, klenik, dan berkaitan dengan unsur gaib. Hooykaas (1980: 35) mengklasifikasikan praktik pengendalian hujan etnis Bali sebagai salah satu praktik sorcery „ilmu sihir‟. Pandangan itu didukung oleh Warna (1993: 706, 764,
721)
yang
menegaskan
bahwa
ritual
tolak
dan
panggil
hujan
memformulasikan kekuatan gaib. Di sisi lain, Suyadnya (2006: 10) menyatakan bahwa teks tolak dan panggil hujan mengandung nilai keseimbangan elemen mistis oposisional. Pelaksanaan teks panggil dan tolak hujan diyakini bersumber pada ajaran Rwa Bhinnéda. Rwa berarti „dua‟ dan Bhinnéda berarti berbeda. Secara bebas Rwa Bhinnéda mengandung makna dua elemen oposisional untuk menjaga keseimbangan. Ajaran Rwa Bhinneda mengajarkan bahwa secara alamiah setiap entitas memiliki sifat kebendaan dan energi. Energi yang terkandung di dalam suatu benda merupakan motor penggerak dari kondisi tertentu menuju kondisi lainnya. Demikianlah setiap entitas di dunia dipercaya memiliki dua sisi yang berlawanan, seperti terang-gelap, manis-pahit, panasteduh, siang-malam, dan sebagainya. Badra (2001: 32) menegaskan bahwa teks panggil dan tolak hujan bersifat pingit „rahasia‟ dan tabu untuk diperbincangkan secara terbuka. Lebih jauh, Badra (2009: 56) mengklasifikasikan teks panggil dan
6
tolak hujan sebagai Kanda „ilmu kedigjayaan atau kesaktian‟. Terkait dengan label sihir, mistis, pingit atau digjaya yang disandangkan pada teks, dipandang perlu mengungkapkan seluk-beluk teks agar dapat dipahami secara holistik, mulai dari fase persiapan hingga pascateks, menyangkut skema fungsi, skema tahapan, struktur bahasa, makna ujaran, dan aspek lainnya. Dengan kata lain, penelitian diharapkan dapat membantu pemahaman penutur Bahasa Bali ataupun penutur yang memiliki bahasa dan budaya yang berbeda terhadap teks panggil dan tolak hujan. Pemilihan komunitas transmigran sebagai subjek penelitian dilatarbelakangi oleh munculnya kontroversi pemertahanan kebiasaan dengan perubahan perilaku kelompok transmigran di daerah yang baru. Hasil penelitian Satyawati (2009), Mbete (1990), Putra (2010), Jamarani (2009), dan Malini (2011) menunjukkan aspek pemertahanan tradisi dan bahasa yang dibawa
dari daerah asal tetap
dilestarikan di daerah yang baru. Sebaliknya, penelitian Wolf dan Liebert (2001) menunjukkan aspek perubahan sejalan dengan waktu dan kondisi lingkungan. Satyawati (2009) dalam penelitiannya yang mengambil lokasi di Kabupaten Bima, Sumbawa menyatakan bahwa Bahasa Bali bertahan hidup di antara dua bahasa mayoritas yang dituturkan oleh penduduk
asli Pulau Sumbawa. Komunitas
transmigran Bali tetap memelihara bahasa daerahnya di sentra pemukiman sebagai bahasa penghubung internal kelompok. Sekalipun berstatus minoritas, Bahasa Bali tidak ditinggalkan dan tetap menjadi media sosial di lingkungan warga transmigran Bali. Sementara itu, penelitian Mbete (1990) yang bersifat historis komparatif menunjukkan kaitan historis antara Bahasa Bali-Sasak-
7
Sumbawa. Dari sudut genetis ditemukan adanya hubungan kekerabatan ketiga bahasa yang dibuktikan melalui penelusuran protobahasa. Dalam rekonstruksi protobahasa, terdapat hubungan genetis yang dekat dengan kekerabatan rerata mencapai 60%. Pada periode berikutnya, bahasa tersebut menunjukkan variasi terpilah menjadi Bahasa Bali dan Bahasa Sumbawa-Sasak yang direalisasikan dalam bentuk variasi tataran leksikon dan kelompok kata. Dengan demikian, ada kemungkinan Bahasa Sumbawa dapat diadopsi oleh transmigran yang berbahasa Bali atau Sasak. Penelitian Putra (2010) terkait tentang perjalanan siar Dang Hyang Dwijendra dari
Jawa ke Sumbawa mengungkapkan
hubungan Bali-
Lombok-Sumbawa secara religius. Hubungan Jawa dan tiga pulau di bagian timurnya secara historis telah terbina sejak masa kekuasaan kerajaan Majapahit yang dibuktikan dengan peristiwa sejarah penyambutan masyarakat Sumbawa di pura Agung Tambora. Dengan demikian, pengenalan budaya Hindu Majapahit yang sudah masuk ke Sumbawa pada abad ke 14 berpotensi memudahkan proses adaptasi
antaretnis.
Mencermati kebiasaan transmigran, Jamarani (2009)
mengungkapkan bahwa migrasi menjadi solusi mengatasi berbagai tekanan, salah satunya adalah tekanan ekonomi.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dari
imigran Iran yang bermigrasi ke Australia, Jamarani menemukan tiga motivasi utama migrasi, yaitu (a) motivasi personal, seperti perkawinan, (b) motivasi sosial, seperti mencari pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik, dan (c) motivasi politis, seperti perbedaan politik dengan penguasa. Bersamaan dengan perpindahan tempat tinggal tersebut, terjadi pula proses akulturasi dan adaptasi identitas pada aspek kebiasaan, budaya, dan pandangan. Faktor pemertahanan kebiasaan juga
8
ditemukan oleh Malini (2011) pada komunitas Bali yang telah lebih dari setengah abad bermukim di Lampung. Ranah ritual dan tradisi daerah asal yang bersifat religius tetap dilestarikan. Jadi, pemertahanan cenderung dilakukan pada ranahranah sensitif. Di sisi lain, Wolf dan Liebert (2001) yang berfokus pada kajian ekolinguistik menemukan bahwa dimensi waktu, tempat, dan pemenuhan kebutuhan vital merupakan pemicu perubahan persepsi dan kebiasaan. Secara kronologis, persepsi baru pada aspek kognitif diterima dan selanjutnya dijadikan acuan dalam proses adaptasi. Persepsi kontekstual itu berdampak pada perubahan perilaku. Hal itu dibuktikan dengan mencermati perubahan perilaku manusia terkait pemenuhan kebutuhan air. Sumber pasokan air dari mata air dan sungai menuju ke institusi menggeser persepsi yang bersifat sosio-historis konkrit menuju titik abstrak. Kepedulian terhadap alam dan cinta lingkungan bergeser menjadi anti ekologi, anonimis, objek keilmuan, dan pandangan barang bebas pakai. Pada periode komersial yang lebih buruk, air bahkan disejajarkan dengan uang, seperti ungkapan money tap „keran uang‟ atau money well „sumur uang‟. Jadi, pemenuhan kebutuhan manusia akan air dinyatakan sebagai pemicu perubahan kognisi dan perilaku. Bila dicermati tampak adanya keterpilahan hasil penelitian. Kelompok peneliti pertama menemukan bahwa perbedaan geografis antara daerah asal dan daerah transmigran cenderung tidak mengubah kebiasaan dan pelaksanaan tradisi. Akan tetapi, dua peneliti terakhir menemukan bahwa fenomena pemenuhan kebutuhan vital, dalam hal ini air, berpotensi mengubah kognisi dan perilaku.
9
Kontroversi itu menarik untuk ditelusuri melalui pengungkapan kebiasaan transmigran menghadapi krisis air. Masa pemukiman transmigran Bali yang telah berlangsung lebih dari 40 tahun di Kabupaten Sumbawa dapat dillihat sebagai waktu yang cukup lama untuk mengaji pemertahanan tradisi sensitif, khususnya teks yang bertalian dengan pemenuhan kebutuhan air. Di samping pertimbangan di atas, pemilihan subjek penelitian didorong oleh beberapa pertanyaan yang menggelitik, di antaranya: (a) apakah kelompok transmigran Bali masih melestarikan tradisi tolak dan panggil hujan? (b) apakah teks dipimpin oleh seorang datuk, sanro atau juru terang? (c) apakah tuturan yang dilantunkan disampaikan dalam satu bahasa daerah atau dikombinasikan dengan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah lain? (d) bagaimana cara memprediksi keberhasilan teks? dan (f) siapa yang membantu terkabulnya permohonan sehingga seseorang dimungkinkan dapat memanggil atau menolak hujan?
1.2 Rumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian teks Neduh ‟panggil hujan‟ dan Nyelang Galah ‟tolak hujan‟ komunitas transmigran Bali yang selanjutnya disingkat TNNGB dirumuskanlah sebagai berikut. (1)
Bagaimanakah struktur skematik TNNGB?
(2)
Bagaimanakah struktur modus dan diatesis klausa TNNGB ?
(3)
Bagaimanakah struktur transitivitas TNNGB?
(4)
Bagaimanakah struktur tematis dan sistem referensial TNNGB?
10
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dirinci menjadi dua bagian, yakni, tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini ialah memberikan gambaran TNNGB secara utuh. Dengan demikian, TNNGB dapat dipahami bukan saja oleh komunitas penutur Bahasa Bali, tetapi juga oleh penutur bahasa lain yang memiliki bahasa daerah dan budaya berbeda. Penggambaran mendalam itu diharapkan dapat menjelaskan seluk-beluk pelaksanaan teks panggil dan tolak hujan komunitas Bali sehingga dapat menghindari munculnya salah tafsir dari komunitas yang memiliki sudut pandang berbeda. Untuk mencapai tujuan itu, peneliti meneropong teks panggil dan tolak hujan sebagai teks, dalam arti, kajian difokuskan pada persoalan kebahasaan, sedangkan simbol-simbol yang dilibatkan tidak menjadi pembahasan utama. Dari dimensi budaya, penelitian ini bertujuan mengungkapkan fenomena budaya etnis Bali dalam hal melangsungkan mata pencaharian bertani di daerah yang minim curah hujan. Tipe lahan olahan tadah hujan diprediksi dapat memunculkan persepsi dan budaya bertani yang khas. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengedepankan kearifan dalam upaya pengembangan potensi alam dan konservasi lingkungan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pijakan bagi penelitian sejenis pada etnis lain untuk memperoleh gambaran lintas budaya. Penelitian dapat dijadikan bahan bagi penerbitan rekayasa teks tolak dan panggil hujan komunitas Bali. Pemilihan lokasi tadah hujan ditujukan sebagai tolak pikir penerbitan rekayasa teks keairan yang dapat dikaitkan dengan upaya konservasi hutan dan
11
tanah. Pelestarian sumber air dan hutan dalam skala luas dapat diharapkan memberi kontribusi pada upaya minimalisasi global warming ‟pemanasan global‟ yang tengah menjadi agenda internasional. Dari dimensi teori, penelitian yang berlandaskan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) ini dimaksudkan dapat memberi kontribusi bagi pengembangan teori linguistik sekaligus menguji kemampuan teori yang menurut penggagasnya mampu mengungkap teks berbagai bahasa dengan indikator spesifik. Dengan kata lain, penelitian ini dapat menjadi pembuktian keunggulan dan pengembangan teori. Secara khusus, penelitian ini diharapkan mampu memberi jawaban yang memadai atas permasalahan yang telah dirumuskan. Tujuan khusus penelitian ini dapat diformulasikan sebagai berikut: (1) mendeskripsikan struktur skematik TNNGB; (2) menganalisis struktur modus dan diatesis klausa TNNGB; (3) memerikan struktur transitivitas TNNGB; (4) mendeskripsikan struktur tematis dan sistem referensial TNNGB.
Tujuan khusus di atas dapat dijabarkan sebagai berikut. Pada persoalan struktur skematis, penelitian ini ditujukan untuk
memperoleh gambaran tata
pelaksanaan teks, baik dilihat dari struktur kebahasaan, tahapan, fase, maupun fungsi khusus yang diperankan oleh satuan-satuan tertentu. Dengan deskripsi itu penelitian ini menyediakan informasi penahapan teks secara menyeluruh, baik tahap-tahapan yang bersifat baku maupun penahapan yang dapat disesuaikan dengan kondisi setempat. Penahapan dan fase dapat menjadi ciri khas transmigran,
12
dan dapat berbeda dengan kebiasaan di tempat lain. Pembahasan struktur modus dan diatesis ditujukan untuk memberi paparan tipe hubungan antarpelibat, baik pelibat yang terlibat secara langsung maupun terlibat secara oblik atau struktur pelibat yang wajib dan tidak wajib hadir. Tipe respon yang diharapkan oleh pembicara dan modus yang dipilih untuk menyatakannya. Sementara itu, pembahasan struktur diatesis ditujukan untuk menjelaskan fungsi gramatikal dan elemen semantis yang ditonjolkan. Berian struktur transitivitas dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tipe teks berdasarkan proses-proses yang mendominasinya. Artinya, tipe proses yang dominan dapat merujuk pada pola nalar atau tipe pengalaman yang tipikal. Persoalan struktur tematis diharapkan dapat memberi deskripsi konfigurasi metafungsi dalam membentuk keutuhan pesan. Secara pragmatis, elemen yang ditonjolkan akan ditempatkan pada posisi inisial. Sistem referensial dikaji untuk memperoleh gambaran sistem acuan dan entitas yang kerap diacu dan dilibatkan agar permohonan terpenuhi. Sistem acuan itu dapat bersifat intrateks dan antarteks.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat akademis (teoretis) dan manfaat praktis. Secara akademis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan atau referensi informasi, sumbangan pemikiran, dan acuan data kebahasaan bagi penelitian teks budaya, baik budaya Bali maupun budaya etnis lain.
13
Penelitian ini diharapkan membawa manfaat bagi komunitas transmigran khususnya merangsang pemertahanan tradisi dan Bahasa Bali, sekalipun latar dan kondisi yang dihadapi berbeda dengan daerah asal. Pemertahanan bahasa ibu sebagai bagian dari budaya masyarakat Bali diharapkan tetap terjaga sebagai jati diri dan identitas kelompok sehingga dapat diperlakukan sejajar dengan kelompok lain. Dengan identitas yang melekat pada setiap komunitas diharapkan tidak ada pembedaan perlakuan terhadap kelompok pendatang dan kelompok asli. Penelitian
ini
juga
dimaksudkan
mendorong
transmigran
untuk
terus
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dan menanamkan kebiasaan tersebut kepada generasi berikutnya. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan turut mendorong pengembangkan fungsi Bahasa Bali yang kini berstatus minoritas di Sumbawa untuk dapat dipertimbangkan sebagai muatan lokal kebahasaan di tingkat dasar, khususnya pada sekolah dasar di lingkungan pemukiman Bali. Terkait dengan mata pencaharian transmigran sebagai petani, penelitian ini diharapkan dapat berfungsi sebagai wadah dokumentasi teks pertanian sehingga fungsi dan keberadaan teks terdokumentasi dengan baik. Dokumentasi teks dipandang penting mengingat pelaksanaan teks panggil hujan dipercaya dapat menghindarkan petani dari penundaan masa tanam dan kegagalan panen. Sumbawa yang dikenal memiliki curah hujan yang kecil dapat diantisipasi dengan memohon hujan sebagai penawar kemarau yang panjang. Peran serta seluruh anggota transmigran dalam teks bersifat mempererat hubungan antara petani yang
14
satu dan petani lainnya, antara petani dan Tuhan Yang Maha Kuasa, dan antara petani dan alam. Secara spasial, wilayah transmigran diprediksi jarang dijadikan subjek penelitian kebahasaan karena lokasinya terisolasi dan sulit dijangkau. Kesulitan akses tampak merugikan kelompok transmigran yang turut mengambil peran sebagai pendukung program pemerataan penduduk dan penyokong ketahanan Nasional, termasuk berkontribusi dalam penyelamatan sumber alam dari upaya eksploitasi. Kelompok transmigran merupakan motor penggerak pemberdayaan potensi alam untuk memajukan pembangunan ekonomi daerah. Oleh sebab itu, penelitian ini diharapkan dapat mengedepankan kelompok transmigran yang turut andil dalam konservasi alam dan pembangunan sosial ekonomi.
Manfaat lain
yang dapat diambil dari penelitian TNNGB ini ialah sebagai
sarana untuk
mengetahui tradisi di daerah transmigran yang dapat menambah kekayaan dokumentasi keberagaman budaya Nusantara. Manfaat praktis yang dapat diambil dari permasalahan struktur skematis teks ialah deteksi kepatutan pola pelaksanaan teks. Kementerian Agama khususnya Bimas Hindu, PHDI, atau lembaga terkait lainnya dapat merevisi atau menganjurkan pola yang patut. Pada persoalan gramatikal seperti struktur modus, transitivitas, diatesis, tema, dan sistem acuan dapat ditarik manfaat pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan dalam prosesi teks tolak dan panggil hujan. Pada akhirnya, deskripsi teks diharapkan dapat menetralisir pemuja berhala.
tuduhan sebagai
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Pengantar Sejauh ini, satu-satunya pustaka yang secara langsung menyinggung teks tolak dan panggil hujan adalah Drawings of Balinese Sorcery (Hooykaas, 1980). Hooykaas menampilkan berbagai gambar untuk menangkal dan mengundang hujan. Akan tetapi, tampilan rerajahan „gambar‟ itu tidak dilengkapi dengan kutipan tuturan yang dilantunkan. Berdasarkan pada penggunaan berbagai bentuk sarana rerajahan yang berupa huruf atau gambar, aktivitas memanggil dan menangkal hujan dikategorikan sebagai tindakan sihir (sorcery). Sebagai acuan teoretis, penelitian TNNGB ini menggunakan beberapa buku karya Halliday dan pengikutnya, di antaranya: (a) Exploration in the Functions of Language (1973), (b) Cohesion in English (1975), (c) Language as Sosial Semiotic (1978), (d) Language, Context and Text: Aspects of Language in a Social Semiotics Perspective (1985), (e) An Introduction to Functional Grammar (1985), (f) An Introduction to Functional Grammar (2004), dan (g) An Introduction to Systemic Functional Grammar (1994).
2.2. Kajian Pustaka Untuk meneropong fenomena yang diteliti, penelitian ini mengangkat beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai bahan kajian pustaka. Kajian pustaka 15
16
dipilah menjadi tiga kategori, yakni (a) penelitian dengan objek teks magis, (b) penelitian dengan teori sejenis, dan (c) penelitian terkait permasalahan. Penelitian yang dimaksdud meliputi Hooykaas (1961, 1980), Usman (2009), Rasna (2010), Arfinal (2004), Setia (2008), Sutama (2010), Sutjaja (2011), Pastika (2002), dan Netra (2011).
2.2.1 Penelitian teks magis Penelitian Hooykaas (1961) yang diterbitkan dalam buku berjudul Ritual Purification of A Balinese Temple menyatakan bahwa sistem purifikasi di Bali diawali dengan memercikkan tirta suci (springkling holy water). Pola purifikasi pada setiap ritual dimulai dari pembersihan diri pemimpin upacara, areal upacara, sarana upacara dan partisipan. Setelah tahapan purifikasi usai, barulah upacara pokok boleh dilaksanakan. Sebagai sarana purifikasi digunakan
sarana
pangresikan ‟pembersihan‟ berupa lis dalam berbagai varian bentuk, seperti lis isuh-isuh, lis gede, lis teteg, atau lis pemanggang. Secara umum, lis terdiri atas berbagai bentuk rangkaian janur yang merupakan simbol dari bagian tubuh manusia dan isi alam semesta. Adapun bagian tubuh manusia yang ditemukan pada lis, di antaranya: tangkar ‟dada‟, basang wayah ‟usus besar‟, basang nguda ‟usus halus‟, entud ‟lutut‟, prarai ‟wajah‟ dan tendas ‟kepala‟. Tumbuhan dan hewan diwakili oleh ancak ‟pohon ancak‟, bingin ‟beringin‟, kukun kambing ‟kuku kambing‟, dan sebagainya. Berikut contoh saa
‟doa pemujaan‟ yang
digunakan pada proses purifikasi (Hooykaas, 1961: 16) (terjemahan oleh penulis).
17
a. Puniki titiang ngaturang lis teteg, lis pamanggang DEM 1 TG -hatur NAMA ‟Hamba menghaturkan lis teteg, lis pamanggang‟ b. Busung maringgit, lad-ladan kukun kambing, talingan pangengeh janur -ukir bekas kuku-DEF kambing hiasan pinggir ‟Janur berukir, hiasan berupa kuku kambing, pola hiasan lain‟ c. Tangga menek tangga tuun, waduk, pepusuhan, tulud tangga -naik tangga ø- turun perut pusar ø-dorong ‟Tangga naik, tangga turun, perut, jantung, dan pembersih‟ d. Anuludaken lara pataka, ning janma manusa punika dorong lara petaka PREP orang manusia DEM ‟Membersihkan lara petaka manusia‟ e. Pakulun mangkin ngaturang paduka Batara tumurun 1 TG Sirk -hatur HON Batara ø-turun ‟Hamba sekarang memohon agar paduka Batara turun‟ f. Angastrenin tirta Kamandalu, uriping Batari Gangga sucikan air suci NAMA hidup NAMA ‟Menyucikan tirta Kamandalu diberkati Batari Gangga‟ g. Winadahan kundi manik ... tempat kendi manik ‟Ditempatkan dalam kendi bermanik‟
Bait doa di atas merupakan pengharapan yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk membersihkan manusia dan lingkungan dari lara petaka. Tirta Kamandalu
‟air suci‟ yang dipercikkan dengan lis
dipandang dapat
menyucikan manusia, sarana, dan lingkungan setempat dari semua debu, kotor, cela, dan noda. Lis juga merupakan simbol kekuasaan imajinatif
yang
menjembatani dunia nyata dengan dunia tak kasatmata, melalui tangga menek ‟tangga naik‟ dan tangga tuun ‟tangga turun‟. Pada prosesi ritual, lis pertama kali dipercikkan pada stana Batara Surya ‟Dewa Matahari‟, diteruskan pada stana
18
dewa lainnya, sarana upacara, dan partisipan. Hooykaas menemukan bahwa etnis Bali sangat yakin terhadap kekuasaan imajinatif yang dilambangkan dengan percikan tirta, bahkan lis dipadankan dengan Sang Hyang Janur Kuning, yakni dewa penguasa empat penjuru dunia yang terdiri atas Hyang Brahma, Hyang Wisnu, Hyang Mahadewa, dan Hyang Siwa. Bentuk lis yang menyerupai pohon beringin dengan akar berjuntai dipandang sebagai pohon pengharapan yang dapat membawa
kebaikan,
keindahan,
harapan,
dan
keberuntungan.
Melalui
pembersihan itu diyakini setiap jengkal area, sarana, dan partisipan dibersihkan kembali. Proses purifikasi juga dinyatakan sebagai cara ngadegang Siwa Brahma ‟memohon kuasa Tuhan‟ untuk membersihkan seisi dunia. Dengan demikian, dapat diprediksi bahwa teks panggil dan tolak hujan juga memformulasikan tahap purifikasi sebelum memasuki inti permohonan. Dalam buku berikutnya yang diberi judul Drawings of Balinese Sorcery, Hooykaas (1980: 45) mengklasifikasikan panrangan ‟tolak hujan‟ dan pangujanan ‟panggil hujan‟ dalam kategori keeping watch, change and defence ‟penjaga, pengubah, dan bela diri‟. Tolak hujan dipadankan dengan the art of clearing the sky ‟ilmu membersihkan langit‟, sedangkan panggil hujan dipadankan dengan the art of making wind and rain ‟ilmu membuat angin dan hujan‟. Mantra tolak dan panggil hujan merupakan gabungan antara mantra dan sarana teks. Sarana yang dimaksud mencakup sajen dan rerajahan ‟gambar‟ yang biasanya terdiri atas huruf atau figur.
Untuk fungsi menolak hujan dapat digunakan
gambar figur Bhatara Yama ‟dewa penguasa surga yang mengadili roh setelah melewati batas akhir hidup‟, Singambara ‟singa terbang‟ ataupun rerajahan
19
‟gambar‟ berbentuk lingkaran, persegi dan bentuk lainnya. Pada teks pangujanan ‟mengundang hujan‟ dapat digunakan rajahan Bhatara Guru, Bhatara Wisnu, Hanoman ‟kera putih‟, atau Bhima ‟tokoh sakti dari Pandawa lima‟. Figur lain yang sering dimunculkan adalah Demung Dodokan ‟dewa naga laut‟, Kalarau, Yuyu ‟kepiting‟, Kodok ‟kodok‟, Dewa Langit Arsa Telu ‟dewa langit berkepala tiga‟, atau
Naga Nguyup Matanai ‟naga menelan matahari‟. Hooykaas
menyatakan
bahwa praktik tolak
hujan dapat digunakan
sebagai proteksi
pertunjukan wayang kulit. Hooykaas menampilkan berbagai bentuk rerajahan ‟gambar‟ yang jarang diketahui publik.
Penerbitan
gambar-gambar figur sihir
dari Bali tersebut
mencerminkan bahwa pengetahuan yang dipandang tabu telah digeser melalui publikasi tingkat internasional. Dengan kata lain, terjadi kontroversi bahwa teks dijaga ketat dari jangkauan penduduk lokal, tetapi dibuka lebar bagi peneliti luar negeri. Kontribusi penelitian Hooykaas adalah pemahaman fungsi proses purifikasi, di samping peran sarana, gambar ‟rerajahan‟, tujuan, dan struktur tuturan yang dilantunkan pada tahap pembukaan teks. Usman (2009) dalam penelitiannya terhadap teks tawa ‟pengobatan‟ dalam tradisi Minangkabau menyatakan bahwa tawa (mantra atau manto dalam Bahasa Minangkabau) dipakai oleh para dukun untuk maksud tertentu, misalnya, mengobati penyakit atau meminta bantuan makhluk gaib. Tawa bersifat sakral, tabu untuk dilantunkan sembarangan, atau dipraktikkan tanpa seijin ‟sang guru‟ apalagi oleh orang yang tidak cukup dewasa. Struktur tematik tawa menyangkut asal usul makhluk gaib, manusia, hewan, tumbuhan dan penyakit. Isi tawa
20
cenderung bersifat tantangan, kutukan dan bujukan terhadap makhluk gaib agar bersedia membantu. Inti dari kekuatan tawa bersifat mendalam dan harus dilantunkan dengan prosodi tertentu. Tawa yang dilantunkan memiliki kekuatan pada kata dan prosodi tertentu. Lantunan tawa dapat memanggil makhluk gaib dan membujuknya untuk membantu proses penyembuhan. Ada kata yang harus dilantunkan dengan nyaring dan kemudian tingkat kenyaringan menurun pada silabis lain, atau ada suku kata yang dilantunkan lebih panjang dari suku lainnya. Tawa selalu dikaitkan dengan fenomena sakit dan penyembuhan penyakit, baik penyakit yang diakibatkan oleh hal logis maupun tidak logis. Dengan demikian, tampaknya aspek kerja sama dengan makhluk gaib harus dicermati dalam upaya memahami teks pangil dan tolak hujan. Rasna (2010) dalam disertasinya tentang teks magis Aji Blegodawa menyatakan bahwa teks Aji Blegodawa berhubungan dengan magis putih dan magis hitam yang dibuktikan dengan kaitan konteks situasi dan budaya. Data yang bersumber pada lontar tertulis sebagai korpus ditopang data sekunder dari praktisi dikaji dengan kerangka teori Linguistik Sistemik Fungsional. Berdasarkan penghitungan tipe proses, ditemukan bahwa proses material mendominasi keseluruhan teks yang memiliki genre wacana prosedural tersebut. Dengan demikian, diinterpretasikan bahwa prihal penestian berfokus pada tindakan atau kejadian yang tidak dapat dilepaskan dari sirkumtan yang menerangkan cara, tempat dan tujuan tindakan tertentu. Fungsi komunikasi lebih intensif dilakukan dengan modus deklaratif dibandingkan dengan modus imperatif. Artinya, makna keproseduralan teks direalisasikan dengan modus deklaratif yang menjalankan
21
fungsi nontipikal. Temuan yang paling menonjol ialah ditemukannya nilai yang merusak kehidupan seperti hasrat berkuasa, hasrat berprestasi tinggi dalam aliran magis tertentu, nilai hedonisme yaitu rasa senang tanpa memperhitungkan keadaan orang lain di samping nilai-nilai universal. Dengan demikian, teks panggil dan tolak hujan harus diteliti dari aspek kemungkinan adaya nilai hedonisme dan nilai yang merusak kehidupan.
2.2.2 Penelitian dengan Teori Sistemik Arfinal (2004) dalam penelitiannya yang mengambil objek teks Pasambahan Kematian menemukan bahwa analisis transitivitas teks kematian didominasi proses material dan mental, di atas proses relasional, verbal, perilaku, dan wujud. Dominasi pelibat ditempati oleh partisipan I dalam peran sebagai Pelaku dan Pengindra, sedangkan partisipan II sebagian besar diisi oleh Tujuan atau Fenomena. Ditinjau dari frekuensi jumlah proses, teks didominasi oleh perbuatan nyata, misalnya lari, pergi, dan membunuh. Dominasi kedua ditempati oleh proses mental yang bermakna afektif.
Ekspresi sikap yang banyak
dimunculkan, antara lain, ekspresi suka, kesal, dan benci. Proses perilaku (behavioral) yang menunjukkan tingkah laku pelibat muncul dalam leksikon, seperti tersenyum, menangis, atau bersin. Proses relasional sebagai relasi proyektor dapat diproyeksikan dalam bentuk frasa nominal. Proses verbal dinyatakan sebagai proyeksi ungkapan pembicara yang sering dimunculkan dengan menghadirkan sirkumtansi waktu, tempat, tujuan, atau cara. Dengan
22
demikian, pemahaman teks harus didukung dengan temuan proses-proses dominan yang merujuk pada ciri khas teks. Setia (2008) yang menyoroti kasus peradilan terdakwa Bom Bali I menemukan bahwa realisasi pengalaman terdakwa kasus Bom Bali I cenderung berupa pernyataan atas peristiwa yang diketahui atau dilakukannya. Berdasarkan frekuensi pemakaiannya, tipe proses yang paling dominan adalah proses material, disusul tipe relasional, verbal, dan mental. Tipe proses mental yang dimunculkan, di antaranya,
bingung, terguncang, atau resah.
Klausa ekspresi
emosi itu
sesungguhnya merupakan tipe proses relasional dari sudut pandang yang berbeda. Tingginya tingkat kekerapan penggunaan proses material secara ideologis bermakna bahwa pertanyaan jaksa menuntut informasi objektif apa yang terjadi dan apa dilakukan terdakwa dapat diamati dan dibuktikan. Terkait dengan partisipan, ditemukan jenis partisipan insani dan noninsani dalam perbandingan 2,2 : 1 yang menunjukkan bahwa partisipan sangat berperan dan terlibat penuh dalam proses peradilan. Teks peradilan itu menggunakan empat sirkumtansi secara signifikan, yaitu keterangan penyerta, lokasi, cara, dan lokasi sebagai dampak penggunaan bahasa dalam wacana hukum yang berlaku umum. Secara ideologis, fenomena ini mengindikasikan bahwa orang yang pandai berbicara berpeluang
menguasai
dan
memenangkan
perkara.
Dengan
demikian,
dimungkinkan keterampilan berbicara atau bernegosiasi juga diperlukan dalam teks panggil dan tolak hujan agar permohonan dapat terkabul. Sutama (2010) yang mengungkap perihal teks Pawiwahan ‟pernikahan‟ masyarakat adat Bali menemukan adanya beberapa lapis struktur yang bersifat
23
vertikal dan horizontal, di antaranya, struktur budaya, struktur makro, struktur mikro, struktur makna, dan tekstur. Pada struktur makro ditemukan unsur yang harus muncul, unsur yang boleh muncul dan frekuensi kemunculannya. Ulasan struktur menuntun pada tekstur yang memuat fungsi unsur pendahuluan, isi, dan penutup yang dijalin dengan alat kohesi. Metafungsi menghubungkan isi dan ekspresi meliputi fungsi ideasional untuk merangkai pengalaman, fungsi interpersonal untuk mempertukarkan informasi, sedangkan fungsi tekstual untuk menggambarkan sesuatu. Pembahasan struktur modus ditinjau dari sudut pandang: (a) fungsional yang melahirkan modus deklaratif, interogatif dan imperatif, (b) modus dan residu dalam klausa, dan (c) modus dikaitkan dengan gramatika yang melahirkan kategori proposisi dan proposal. Representasi
pengalaman yang
direalisasikan dalam berbagai tipe proses didominasi oleh proses mental dan proses relasional. Hal ini ditafsirkan positif karena pawiwahan mengacu pada suatu rencana yang melibatkan banyak proses mental dan relasi yang memuat ketermilikan yang terkait dengan eksistensi masing-masing pihak. Ideologi teks pawiwahan dilatari budaya Bali seperti penentuan kekerabatan dan silsilah keturunan mengikuti garis keturunan pihak laki-laki (purusa) yang dikenal menganut sistem patrilineal. Indikasi kekuasaan purusa ‟laki-laki‟ terlihat dari penentuan hari pernikahan dan tata cara pendukungnya sekalipun kedua pihak berada pada lapisan sosial ekonomi yang setara. Jadi, kekuasaan pihak laki-laki memaksa pihak perempuan bertindak sebagai
penerima dan menyepakati
keputusan pihak laki-laki. Disertasi yang mengaplikasikan empat model teori LSF masing-masing, (a) bahasa sebagai sistem, (b) bahasa sebagai sistem aturan, (c)
24
bahasa sebagai fenomena sosial, dan (d) bahasa memiliki fungsi, berhasil mengungkap teks hingga lapisan terdalam berupa ideologi yang melatari kelahiran teks tersebut. Dengan demikian, penelitian teks panggil dan tolak hujan ini harus menelusuri kesimetrisan kekuasaan pelibat dan signifikansi peran masing-masing. Sutjaja (2011) dalam penelitiannya yang berjudul ”Teks dan Rekayasa Teks” memperkenalkan cakupan teks secara rinci. Dinyatakan bahwa teks dapat dikelompokkan atas dua jenis, yakni teks kecil dan teks dalam arti sesungguhnya. Teks kecil dapat berupa petunjuk atau pemberitahuan yang terdiri atas satu unit kata, frasa atau klausa, misalnya, parkir, licin, cat basah, ruang tunggu, harap tenang ada ujian, awas kaca, jembatan putus, atau sedia minuman dingin. Teks kecil lainnya dapat berupa teks singkat, seperti ungkapan obituari, resep masakan, resensi, atau abstrak. Teks dalam arti sesungguhnya mengaitkan tataran ekstralinguistik dan tataran linguistik yang menekankan pada klausa yang memiliki makna kamus dan peran, baik dalam kategori tata bahasa sebagai Subjek-Predikat-Komplemen maupun kategori makna sebagai aktor, proses dan partisipan.
Analisis peran dalam pemaknaan difokuskan pada proses yang
diwujudkan dalam bentuk verba mencakup proses materi, perilaku, mental, verbal, relasional, eksistensial dan metereologikal. Aspek lain yang diungkap adalah konsep nominalisasi yang merujuk pada rank-shift dari klausa menjadi nomina sehingga klausa dipampatkan dalam sebuah nomina turunan yang menyatukan proses dan partisipan dalam sebuah kata benda. Dari sebuah teks dapat disusun daftar kosakata dasar yang dipakai sesuai dengan kelas kata. Misalnya, kelas
25
konjungsi yang dapat digunakan sebagai acuan guna melihat jenis penalaran dalam teks. Dalam penelitian terdahulu yang berjudul A Semantic Interpretation of the Nominal Group Structure in Bahasa Indonesia (1988), Sutjaja mengungkapkan klasifikasi makna dan struktur kelompok nomina yang terkait dengan fungsi gramatika. Ditemukan bahwa terdapat banyak perbedaan secara sistemik antara struktur logis dan struktur semantis terutama makna dan interpretasi semantik kelompok nomina. Penelitian struktur nomina tersebut bermanfaat dalam penegasan konsep teks, penentuan tipe proses, dan interpretasi proses terhadap alur penalaran. Dengan demikian, kajian teks harus mencakup struktur semantis dan interpretasi berdasarkan pandangan pemakai teks.
2.2.3 Penelitian terkait dengan permasalahan Pastika (2002) dalam penelitiannya yang berjudul ”Kesinambungan Topik pada Diatesis Bahasa-Bahasa Austronesia” menyatakan bahwa kesinambungan topik dibedakan atas dua jenis, yakni kesinambungan anaforis dan kataforis. Kesinambungan
pada
Bahasa
Bali,
Filipina,
Sulawesi,
dan
Indonesia
menunjukkan bahwa suatu referen dan antesedennya dapat diukur jarak dan pengulangannya dalam teks. Terdapat kecenderungan bahwa argumen inti yang mendapat penopikan akan berdampak pada frekuensi jenis diatesis yang digunakan. Secara morfologis, Bahasa Bali memiliki tiga diatesis, yakni diatesis Nasal Transitif, Zero Transitif, dan Ka-Pasif. Diatesis pertama merupakan Diatesis Agentif, sedangkan dua diatesis terakhir digolongkan sebagai Diatesis Objektif. Tata urutan klausa Agentif menempatkan Agen pada posisi sebelum verba dan
26
Komplemen terletak
pada posisi
posverba,
sedangkan klausa
Objektif
menempatkan Objek atau Pasien di awal verba. Tingginya derajat kesinambungan topik pada Objek atau Pasien berakibat pemilihan Diatesis Objektif, sebaliknya rendahnya derajat kesinambungan topik pada Objek atau Pasien mengarahkan pemakaian Diatesis Agentif. Temuan menonjol dalam sistem diatesis itu adalah tingkat topikalisasi pada Agen dan Pasien klausa Bahasa Bali menunjukkan jumlah yang berimbang. Artinya, pemakai tidak hanya bermaksud
memberi
penekanan pada Agen, tetapi juga pada Pasien. Penelitian kesinambungan topik itu tampaknya berkaitan erat dengan penelitian yang lebih besar, yakni Voice Selection in Balinese Narrative Discorse‟ (2006). Ditegaskan bahwa pilihan diatesis merupakan kajian aspek gramatikal yang tidak dapat dilepaskan dari unsur wacana, seperti penataan alur, sehingga ada argumen yang ditopikkan, dilatardepankan atau dilatarbelakangkan. Latar wacana memotivasi variasi diatesis agar mampu mengakomodasi kepentingan yang berbeda. Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, terdapat kemiripan karakteristik struktur Diatesis Agentif dan Diatesis Objektif. Dengan demikian, hasil penelitian Pastika dipandang memberi kontribusi positif terhadap struktur dan ciri morfologis diatesis klausa TNNGB. Penelitian Netra (2011) terhadap teks Melong Bulu komunitas petani adat Bayan, Lombok Utara menemukan bahwa tema utama teks kepertanian di daerah Lombok utara itu terdiri atas nilai yang bersumber pada aspek kognitif, di antaranya, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, ketulus-ikhlasan, penghargaan dan kepercayaan terhadap pemimpin, asal mula kehidupan, asal-usul
27
padi dan hama, keharmonisan, kesetiaan, introspeksi diri, permohonan permisi, nasehat, dan permintaan maaf. Tema sentral teks bersumber pada tiga prinsip, yang terdiri atas prinsip kognitif, prinsip makna, dan prinsip hubungan. Skema wacana penanaman padi tradisional yang dikaji dengan teori eklektik itu dihubungkan oleh ungkapan transisional yang dipakai sebagai penghubung antar bagian, baik antara bagian pendahuluan dan isi maupun antara bagian isi dan penutup. Netra menemukan kosakata teks yang dipakai tidak berbeda dengan kosakata sehari-hari yang menuntunnya menggali unsur prosodi sebagai muatan makna budaya yang khas. Nilai-nilai budaya seperti nilai ketangguhan, nilai kearifan, nilai religius, nilai kemanusiaan, nilai kesantunan, nilai keadilan, nilai solidaritas, nilai historis magis, dan nilai kepatuhan mewarnai pola berpikir para petani. Dengan demikian, kontribusi penelitian Netra terletak pada kesamaan mata pencaharian objek sehingga dimungkinkan adanya kemiripan nilai.
2.3 Konsep Terkait dengan fenomena yang dikaji, penelitian ini mempergunakan beberapa konsep dasar, antara lain, konsep teks, teks dan konteks, struktur, teks neduh dan nyelang galah, komunitas transmigran Bali, dan kode bahasa. Batasan masing-masing konsep dijabarkan di bawah ini.
2.3.1 Teks Halliday (1978: 122) menyatakan bahwa teks adalah bahasa yang sedang menjalankan fungsi dalam interaksi sosial. Yang dimaksud menjalankan fungsi ialah bahasa yang digunakan pada konteks sosial tertentu, dioposisikan dengan
28
kata-kata yang terisolasi, atau kata-kata yang dituliskan di papan tulis. Dengan demikian, teks selalu berkaitkan dengan konteks, dan bersifat multi dimensi. Teks mengandung berbagai pandangan sebagai aktualisasi makna potensial yang memungkinkan makna pada fungsi tertentu berhubungan dengan makna pada fungsi lainnya (Halliday, 2004: 3). Konfigurasi makna dimunculkan pada sistem leksikogramatika yang merupakan realisasi dari pemaknaan pada level di atasnya, yang bukan saja mencakup konteks sosial tertentu, tetapi juga keseluruhan sistem sosial.
Oleh sebab itu, sekalipun teks tampak seperti rangkaian kata-kata,
sesungguhnya merupakan unit-unit semantik. Unit-unit semantik inilah yang dikodekan dalam interaksi sosial. Pengodean terealisasi dalam rangkaian kata-kata dan struktur tertentu yang membentuk tekstur. Sebagai fenomena sosial, teks mengandung apa yang secara aktual dilakukan, dikatakan dan dimaknai. Artinya, selalu terbuka kemungkinan adanya interelasi makna dari apa yang dikatakan dengan apa yang dimaknai, atau apa yang dilakukan dengan apa yang dimaknai. Hal itu sebagai dampak dari sifat teks sebagai unit semantik, yang memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi. Di sisi lain, teks adalah proses sosiosemantik melalui interaksi. Artinya, makna sosial tersebut memerlukan masyarakat yang memperjuangkannya karena situasi adalah penentu teks (Santono, 2008). Konsekuensinya, teks akan kehilangan makna bila pemakai meninggalkannya. Secara alamiah, kualitas sebuah teks tidak ditentukan oleh ukurannya karena konsep teks memiliki ukuran yang jauh lebih besar dari kalimat (Halliday, 1978: 135). Dengan demikian, teks tidak dapat diberi batasan berdasarkan jumlah
29
kalimat yang membentuknya, tetapi melebihi satuan kebahasaan. Sebagai batasan kebahasaan, dikenal empat peringkat unit dasar pembentuk teks, antara lain: (a) klausa, (b) kelompok kata atau frasa, (c) kata, dan (d) morfem, yang masingmasing unit dapat membentuk bentuk kompleks yang terdiri atas satu atau lebih unit yang ada di bawahnya. Setiap unit dapat menduduki fungsi tertentu pada level di bawahnya (rank shift). Lebih jauh, teks adalah produk dan proses (Halliday, 1985: 10).
Sebagai produk, teks adalah keluaran yang dapat direkam dan
dipelajari karena pada dasarnya teks menggunakan terminologi yang sistematis yang ditunjukkan dalam susunan tertentu. Sebagai proses, teks merupakan proses pemilihan makna secara simultan dalam pertukaran makna. Pergerakan makna potensial menunjukkan lingkungan teks. Jadi, teks adalah bentuk pertukaran sehingga bentuk teks yang paling mendasar adalah percakapan dalam interaksi sosial (Halliday, 2004: 9). Secara morfologis, teks berasal dari Bahasa Latin textus yang berarti sesuatu yang dijalin secara bersamaan (Hogde dan Kress, 1988: 6). Terminologi teks berbeda dengan wacana dari sudut pandang keilmuan (Kress, 1985: 27). Wacana digunakan dalam kerangka berpikir sosiologi, sedangkan teks digunakan dari sudut pandang linguistik. Dengan demikian, teks mengacu pada ekspresi linguistik yang dimunculkan pada suatu bentuk praktik sosial yang dilakukan oleh komunitas tertentu.
2.3.2 Teks dan konteks Sebagai bahasa yang menjalankan fungsi, teks tidak dapat dilepaskan dari konteks karena konteks merupakan sesuatu yang menyertai teks (something with,
30
or goes beyond what is said and written) (Halliday, 1985: 5). Setiap teks memiliki konteks tertentu yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, konteks juga merujuk pada lingkungan teks (total environment), baik yang bersifat budaya maupun situasional. Konteks budaya bersifat lebih abstrak daripada konteks situasi. (Halliday, 1978: 142). Konteks budaya mencakup ideologi dan genre, sedangkan konteks situasi mencakup medan, pelibat, dan sarana kebahasaan. Teks selalu memiliki latar belakang yang turut menentukan pemaknaan teks. Hubungan teks dan konteks diilustrasikan sebagai kesatuan (Eggins, 1994: 113). Artinya, konteks memperoleh realisasi pada level di bawahnya sehingga sesuatu yang abstrak mendapat bentuk secara linguistik.
Jadi, setiap kajian teks wajib
memperhitungkan konteks.
2.3.3 Struktur teks Struktur berkaitan dengan kelompok kata, klausa, dan tekstur. Ditinjau dari sudut kelompok kata, struktur merujuk pada pemilihan leksikon dan relasi antarleksikon yang dapat hadir bersama. Dari sudut pandang klausa, struktur merujuk pada susunan konstituen, seperti Agen-Predikator-Komplemen. Pada sebuah teks, struktur dapat dipandang sebagai langkah-langkah dalam merealisasikan tujuan tertentu. Struktur dapat juga dilihat sebagai rangkaian langkah dan keterpautan antara langkah yang satu dan langkah berikutnya untuk merealisasikan tujuan. Struktur dapat didefinisikan sebagai tekstur, yaitu komposisi atau susunan teks yang memiliki hubungan di antara bagian-bagiannya (Halliday, 2004: 5). Dalam teks menengah dan besar, terminologi struktur dipadankan dengan struktur skematik, yakni tahapan yang dilalui sesuai konvensi
31
sosial untuk menjelaskan genre teks. Misalnya, tahapan pada ranah jual-beli memiliki tahapan yang berbeda dengan tahapan percakapan formal. Hal itu menunjukkan adanya struktur yang bersifat khas sehingga penutur dengan budaya yang sama mengenali ranah pembicaraan dari satu tahap yang merupakan ciri khusus tersebut (Eggins, 1994: 36). Struktur juga identik dengan skema yaitu susunan fase atau penahapan. Fase dan tahap-tahap mencakup tahap pembukaan, isi dan penutup, yang dilengkapi label fungsi formal dan fungsional. Label formal adalah penahapan berdasarkan kesamaan bentuk atau tipe, sedangkan label fungsional mencakup penahapan sesuai dengan fungsi. Setiap fase memberi kontribusi tertentu untuk mencapai kesuksesan suatu genre (Eggins, 1994: 36).
2.3.4 Teks Neduh dan Nyelang Galah Penelitian ini menggunakan terminologi neduh untuk teks panggil hujan, dan nyelang galah untuk teks tolak hujan sesuai dengan istilah yang digunakan oleh komunitas transmigran Bali di Sumbawa. Sebagai teks tradisional, teks dilaksanakan dalam lingkup terbatas untuk tujuan tertentu.
Leksikon neduh
berasal dari bentuk teduh „sejuk, tidak panas‟ (Warna, 1993:706). Neduh „panggil hujan‟ dikenal pula dengan nunas ujan, atau nunas sabeh, sedangkan nyelang galah „tolak hujan‟ disebut pula nunas/nyelang endang, nunas/nyelang galah, nunas/nyelang embang, atau nunas panyelah.
Meskipun Warna (1993)
mendefinisikan neduh sebagai aktivitas pergi ke pura untuk mohon maaf kepada dewa-dewa, penelitian ini membatasi neduh sebagai aktivitas memohon hujan bagi keberlangsungan pertanian.
32
2.3.5 Komunitas transmigran Komunitas dapat didefinisikan sebagai kelompok organisme, manusia dan sebagainya yang hidup dan berinteraksi di daerah tertentu. Komunitas juga dapat dipadankan dengan masyarakat atau paguyuban (KBBI: 2008: 722). Komunitas biasanya memiliki suatu identitas, yang menjelaskan kesamaan asal-usul, kebiasaan, dan budaya. Transmigran adalah penduduk yang berpindah tempat tinggal melalui program transmigrasi
yang dijalankan pemerintah yang pada mulanya
dimaksudkan untuk mengatasi penyebaran penduduk yang tidak seimbang dan meningkatkan taraf hidup rakyat. Pada masa orde baru, transmigrasi ditujukan untuk merealisasikan program swasembada beras dan meningkatkan ketahanan nasional bidang ekonomi, sosial, dan budaya (Setiawan, 1994: 11). Dengan demikian, komunitas transmigran Bali dalam penelitian ini mengacu pada kelompok transmigran yang berasal dari Bali, baik Bali daratan maupun pulau kecil di wilayah Propinsi Bali yang kemudian ditempatkan di sentra-sentra pemukiman di wilayah Kabupaten Sumbawa. Dalam disertasi ini, komunitas Bali, transmigran Bali, atau etnis Bali digunakan untuk merujuk pada komunitas yang sama.
2.3.6 Kode bahasa Kode bahasa mengacu pada jenis bahasa yang digunakan dalam merealisasikan teks. Berdasarkan atas kode bahasa yang digunakan dalam teks ritual Hindu Bali dikenal kategori mantra dan saa. Mantra adalah doa pujaan yang dinyatakan dalam Bahasa Sansekerta, Bahasa Jawa Kuna atau Bahasa Kawi
33
Bali, sedangkan doa pujaan yang menggunakan Bahasa Bali ragam halus disebut saa (Ruddyanto, 2008). Mantra mengacu pada ucapan yang memiliki kekuatan magis atau ilmu gaib, dan berunsur puisi (rima, irama) (Warna, 1993: 592). Penelitian ini berfokus pada tuturan berbahasa Bali yang berupa saa. Terkait kode bahasa, Sidemen (2000: 91) mengklasifikasikan bahasa kesusastraan Bali terdiri atas bahasa pasif dan bahasa aktif. Bahasa aktif adalah bahasa yang digunakan sebagai media tutur. Sementara itu, bahasa pasif tidak hidup dalam interaksi sosial sehari-hari, tetapi hidup dalam fungsi khusus. Dengan demikian, penelitian ini mengklasifikasikan Bahasa Bali dinyatakan sebagai bahasa aktif, sedangkan bahasa lainnya seperti Bahasa Sanskerta, Bahasa Jawa Kuna atau Bahasa Kawi Bali dinyatakan sebagai bahasa pasif.Hal itu sejalan dengan hasil penelitian Beratha (2002: 68) yang menemukan bahwa Bahasa Sanskerta merupakan bahasa tertua dalam kesusastraan Bali setelah Bahasa Bali Kuna berdasarkan prasasti Bali Kuna yang berangka tahun 882. Persentuhan Bahasa Sanskerta dengan bahasa lokal di Pulau Jawa memunculkan Bahasa Jawa Kuna. Perkembangan bahasa Jawa Kuna digantikan oleh Bahasa Jawa Tengahan sejak kemunduran Majapahit. Bersamaan dengan berpindahnya kebudayaan pusat Kerajaan Majapahit ke Bali, Bahasa Jawa Tengahan diterima di Bali dan disebut Bahasa Kawi Bali atau Bali Kawi. Menurut Warna (1988) Bahasa Bali Kawi lazim digunakan
sebagai media menuliskan hasil rekaan oleh para pangawi
‟pengarang, pujangga‟ dan dipakai secara luas di bidang kesusastraan pada masa kerajaan Bali memperoleh kejayaan, yakni sekitar tahun 1400 hingga tahun 1700. Tidak ditemukan pustaka yang menjelaskan kedudukan Bahasa Kawi Bali sebagai
34
bahasa tutur. Dengan runtuhnya kejayaan raja-raja Bali, Bahasa Bali mulai berkembang pesat yang selanjutnya terpilah atas dua dialek, yakni, dialek daratan dan dialek Bali Mula. Bahasa Bali dialek daratan mendapat pengaruh dari bahasa Jawa, sedangkan dialek Bali Mula atau Bali Aga ‟Bali asli‟ bersifat terbebas dari pengaruh luar. Bahasa Bali dialek dataran diidentikkan dengan Bahasa Bali modern yang ditandai dengan adanya ragam bahasa. Keberadaan dua dialek Bahasa Bali itu dinyatakan sebagai inovasi tertentu setelah Bahasa Bali mengalami
masa
perkembangan
tersendiri
sesuai
dengan
fungsi
dan
kedudukannya. Dhanawaty (2002) menyatakan dialek Bali Mula dituturkan oleh penduduk daerah pegunungan termasuk daerah Nusa Penida yang tidak berinteraksi dengan kelompok luar. Dialek itu mempertahankan unsur bahasa yang tidak mengenal
unda-usuk ‟ragam bahasa‟. Dialek Bali Mula yang
dituturkan oleh penduduk pulau Nusa Penida disebut basa Nusa ‟Lek Nusa‟. Penelitian ini menggunakan terminologi Bahasa Jawa Kuna untuk merujuk Bahasa Jawa Kuna, Bahasa Jawa Tengahan, atau Bahasa Kawi Bali. Bahasa Bali digunakan untuk mengacu Bahasa Bali dialek dataran atau Bahasa Bali modern yang mengenal tingkatan. Bahasa Bali lek Nusa atau lek Nusa digunakan untuk merujuk dialek Bali Mula yang dituturkan oleh transmigran yang berasal dari pulau Nusa Penida dan pulau kecil di sekitarnya.
2.4 Landasan Teori Penelitian ini dilakukan dengan berlandaskan pada Teori
Linguistik
Sistemik Fungsional (LSF), disingkat teori Sistemik, yang digagas dan
35
dikembangkan oleh Halliday beserta pengikut-pengikutnya. Teori Sistemik memandang bahwa makna tuturan bersifat sosiokultural. Artinya, secara alamiah makna teks
terbentuk dalam interaksi (Halliday dan Hasan, 1985: 10).
Pembentukan teks dimulai dari makna-makna yang dikodekan (coded) melalui pilihan kata-kata dan pengodean kembali (recoded) dalam bentuk bunyi atau lambang bunyi. Kekuatan kata muncul karena ekspresi tersebut sarat makna sesuai dengan kepercayaan dan pengetahuan masyarakat setempat (belief and knowledge) secara keseluruhan. Pemaknaan sosial menjadi titik sentral karena perilaku manusia dapat berubah dari masa ke masa dan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Jadi, pemaknaan terus disesuaikan dengan lingkungan hidup (living environment) sehingga pemaknaan teks selalu tepat. Halliday (1985) menegaskan bahwa terdapat dua ciri yang menonjol dari teori Sistemik, yakni, ciri sistemik dan ciri fungsional. Ciri sistemik mengacu pada kaitan relasi antar sistem. Artinya, sistem-sistem yang berbeda memiliki keterkaitan paradigmatik tertentu. Secara fungsional, teks mengungkap relasi tata urutan yang dikaitkan dengan fungsi. Kaitan fungsional bermula dari penelitian Malinowski pada penduduk Kiriwinian di Kepulauan Trobriand, Pasifik Selatan. Selanjutnya gagasan itu diteruskan oleh muridnya, Firth yang pada tahun 1950 menggagas elemen konteks yang terdiri atas partisipan, tindakan partisipan, fitur relevan lain, dan efek dari aksi verbal. Lima tahun kemudian, Mitchell, kolega Firth, berhasil membuktikan kontribusi konteks pada tuturan jual-beli yang dilakukan
penduduk Afrika Utara. Di sisi lain, Hymes, pakar antropologi
Amerika, mengembangkan konsep konteks situasi dengan elemen yang lebih
36
rinci, yakni bentuk, latar, partisipan, efek, kunci, medium, genre dan norma. Dengan berpedoman pada temuan tersebut, Halliday terinspirasi
menautkan
bahasa dengan acuan yang lebih luas, yaitu acuan situasi dan budaya dalam memahami teks (Halliday, 1985: 7). Diyakini bahwa kata tanpa tautan linguistik hanyalah sebuah pigmen yang tidak mewakili apa pun. Tautan konteks meminjam semiotik yang berada di bawahnya, yakni bahasa sebagai realisasinya agar aspek konteks dapar terekspresikan. Realisasi itu digambarkan dengan anak panah yang melintasi garis pembatas. Dengan realisasi semacam itu, ideologi, konteks budaya, dan konteks situasi yang bersifat abstrak memperoleh bentuk realisasi lingual. Jadi, pada aspek semantik terjadi pertemuan realita nonlinguistik dengan potensi bahasa yang menyediakan banyak pilihan. Dengan demikian, aspek abstrak dapat dipetakan dalam teks. pemaknaan sosial ke dalam bentuk pemaknaan sehingga teks dapat dipahami dengan benar setelah dilakukan reduksi terhadap ekspresi nonsemantik. Secara historis, konsep makna potensial bahasa (meaning potential of a language) berakar pada variasi parole versi de Saussure. Distingsi langue adalah tanda atau aturan umum, sedangkan parole sebagai suatu pesan khusus. Adanya kekhususan parole berdampak pada alternasi pilihan yang dimungkinkan untuk suatu makna potensial sehingga aturan umum diwujudkan menjadi lebih spesifik melalui pengodean antarelemen (interface) linguistik dan nonlinguistik secara semantis. Sejalan dengan pandangan potensi dan alternasi, Eggins (1994: 15) menggambarkan sistem semiotik dengan mengaitkan makna dan ekspresi dalam
37
relasi yang tidak saling memaksa, seperti ditampilkan gambar berikut (diadopsi dari Eggins, 1994: 15).
CONTENT = signifie (that which is signified) ---------------------------- line of arbitrariness EXPRESSION =signifiant (that which does the signifying) Gambar 2.1: Sistem Semiotik Gambar (2.1) di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Bahasa berpotensi sebagai media untuk
mengekspresikan suatu pesan. Isi pesan (content) yang
bersifat abstrak diwujudkan secara manasuka sesuai dengan kemampuan kebahasaan pelibat. Pembicara dapat memilih ekspresi yang dikehendaki untuk gagasan yang dimilikinya karena hubungan isi dan ekspresi bersifat arbitrer. Hubungan isi dan ekspresi bersifat tidak saling memaksa, karena aspek isi dan ekspresi memiliki sistem masing-masing. Dengan kata lain, suatu maksud ujaran dan substansi fonik atau grafis yang dipilih memiliki relasi yang tidak ketat. Kemanasukaan suatu ekspresi diungkapkan oleh Halliday dan Matthiessen (1999) terkait dengan karakteristik bahasa orang dewasa yang lebih kompleks dibandingkan dengan bahasa kanak-kanak. Bahasa kanak-kanak cenderung sangat sederhana, bahkan tidak mengandung tata bahasa, dengan alternasi ekspresi yang terbatas. Di sisi lain, Eggins (1994: 3) mengakui unsur kemanasukaan dalam mewujudkan suatu ide melalui penelitian sikap resonden terhadap teks crying baby ‟bayi menangis‟. Ditemukan bahwa variasi tindakan yang diambil oleh responden bersesuaian dengan pemahaman responden terhadap makna tangisan
38
bayi. Responden yang menafsirkan tangisan bayi sebagai ungkapan rasa lapar melakukan tindakan menyuapi bayi. Responden yang menginterpretasikan tangisan bayi sebagai ungkapan kondisi yang tidak menyenangkan melakukan tindakan mengganti popok, menggendong, mengoleskan minyak urut di bagian perut bayi, mendendangkan lagu, atau memainkan musik. Jadi, setiap tindakan didasari atas interpretasi yang dimiliki dan diekspresikan dengan perilaku yang relevan. Dengan demikian, ekspresi verbal dan tindakan yang dimunculkan dapat berbeda-beda sejalan dengan pemahaman terhadap teks. Bahasa adalah
perilaku yang memiliki kekuatan (powerful behavior).
Misalnya, tidak ada penulis yang sekadar menulis, atau pembawa acara yang sekadar berbicara, tetapi semuanya memiliki maksud (goals) tertentu yang hendak dicapai. Agar tujuannya tercapai, penulis atau pembaca melakukan strategi pemilihan kata dan kalimat sesuai dengan target pembaca/pendengar atau mempertimbangkan faktor situasi. Ide dapat diekspresikan melalui berbagai pilihan yang disediakan bahasa, tetapi aspek manasuka dalam ekspresi bersifat diskret. Artinya, dari banyak pilihan yang tersedia akan dimunculkan satu pilihan saja. Kediskretan diperkuat melalui teks lampu lalu lintas. Meskipun demikian, dapat saja dua makna direalisasikan dalam satu bentuk. Misalnya, makna berhenti dan hati-hati direalisasikan dengan satu warna merah. Sesungguhnya makna dapat direalisasaikan dalam banyak cara, tetapi pemakai akan memilih satu pilihan yang dipandangnya paling sesuai. Dengan demikian, isi pesan yang telah dipersiapkan dapat diekspresikan dengan ungkapan verbal atau nonverbal tertentu. Pilihan yang diambil ditentukan oleh sistem sosial dalam hal kebiasaan mengekspresikan
39
suatu pesan yang dapat berbeda dengan kebiasaan di tempat lain. Hubungan isi dan ekspresi bersifat hubungan tidak ketat (no natural link), tetapi dibentuk melalui pembiasaan. Singkatnya, ekspresi merupakan realisasi dari isi pesan yang dipilih dari banyak kemungkinan yang disediakan bahasa. Proses sampainya suatu isi pesan kepada mitra wicara dinyatakan melalui proses pengodean (encoding) atau realisasi. Realisasi penyampaian pesan melibatkan tiga level, yakni proses perancangan ide, proses pemilihan kata-kata, dan proses ekspresi tempat ide direalisasikan dalam bentuk lingual (Eggins, 1994: 21). Dengan kata lain, suatu pesan dirancang dan ditata dalam pikiran, kemudian direalisasikan dalam pilihan kata dan pilihan tata bahasa yang mampu mewakili isi pesan dan pada akhirnya diutarakan secara lisan atau tulisan. Pada proses tersebut terjadi proses pengodean oleh pembicara dan proses pemecahan kode oleh penerima (Alwasilah, 1985: 17). Pihak pembicara
melakukan proses
pengodean semantik, yakni gagasan dikodekan ke dalam kerangka gagasan, dilanjutkan dengan pengkodean gramatika, yakni kerangka gagasan dikodekan dalam kalimat, dan akhirnya dilakukan pengodean bunyi, yakni pesan diujarkan. Dari sisi mitra wicara terjadi hal sebaliknya, yakni proses memecahkan kode (decoding) mulai dari pemecahan kode fonologis, kode gramatikal, dan berakhir pada pemecahan kode semantik. Halliday merangkum empat konsep dasar studi kebahasaan yang bersifat teknis. Pertama, bahasa sebagai teks dan sebagai sistem. Artinya, bahasa mempekerjakan berbagai sistem, yakni sistem linguistik dan sistem di luar linguistik. Kedua, bahasa sebagai bunyi. Artinya, bahasa pada dasarnya adalah
40
ekspresi kelisanan yang diujarkan dalam kata-kata, tetapi dapat pula dituliskan. Ketiga, bahasa sebagai struktur. Artinya, terdapat konfigurasi dari bagianbagiannya sehingga terbentuk susunan tertentu yang dapat dipelajari. Keempat, bahasa sebagai sumber. Artinya, bahasa menyediakan berbagai pilihan. Konsepkonsep tersebut berjalan sebagai perangkat bahasa dan saling memudahkan dan memberi fitur tersendiri terhadap dimensi dan prinsip tata urutan, seperti ditampilkan tabel berikut (Halliday, 2004: 19-20) (terjemahan oleh penulis). Tabel 2. 1 Dimensi Bahasa dan Urutan Prinsip-Prinsip Bahasa
No
Dimensi
Prinsip
1.
Struktur (Urutan Sintagmatik)
2.
Sistem Kepatutan (Urutan Paradigmatik) (Delicacy)
tata bahasa - leksis (leksikogramatika)
3.
Stratifikasi
Realisasi
semantik-leksikogramatikafonologi- fonetik
4.
Pemercontohan
Contoh
potensial – subpotensial; tipe contoh – contoh
5.
Metafungsi
Metafungsi
ideasional - interpersonal – tekstual
Ranking
Susunan klausa - kelompok kata; frasa - kata – morfem
Dimensi dan urutan prinsip bahasa, seperti ditampilkan tabel (2.1) dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, dimensi struktur yang disebut juga urutan sintagmatik merupakan aspek komposisi bahasa yang dalam terminologi linguistik dikaitkan dengan konstituensi. Dalam sistem tulisan, prinsip urutan berupa tataran yang berlapis-lapis yang dibentuk oleh hubungan antarbagian, yakni suatu kata
41
terdiri atas morfem-morfem, frasa terdiri atas sejumlah kata, dan klausa disusun oleh satu atau lebih kelompok kata. Seorang penulis dapat melakukan strategi yang tidak terbatas (indeterminasi) dalam merancang karya tulisnya dengan memanfaatkan klausa-klausa, kata, dan tanda baca demi menunjukan hubungan antarlapisan. Klausa merupakan kategori unit semantik tertinggi, dan peringkat terendah adalah morfem. Peringkat ini terkait dengan fungsi dan segmentasi struktur. Semua urutan komposisi pada akhirnya menjadi varian dari motif tunggal, yakni tataran makna dalam tata bahasa. Bila dilakukan analisis tata bahasa, akan tampak bahwa setiap struktur merupakan bagian konfigurasi sehingga setiap bagian memiliki fungsi pembeda. Jadi, bahasa lisan ataupun tulisan mengandung makna-makna yang hendak diungkapkan, sekaligus mencerminkan susunan struktur tata bahasa.
Jadi, urutan sintagmatik
menampilkan relasi antarbagian, yakni, suatu bentuk dapat hadir bersama bentuk lain dalam urutan sebelum atau sesudahnya untuk menciptakan suatu makna (Eggins, 1994: 3). Kedua, pada dimensi sistem diformulasikan konsep kepatutan atau kebagusan (delicacy) dalam urutan paradigmatik. Setiap perangkat pilihan merupakan sebuah sistem yang di dalamnya terkandung nilai kepatutan yang dibawa oleh rangkaian leksis sebagai realisasi tata bahasa. Kepatutan bersifat sangat renik dan berfungsi untuk mengekspresikan aspek sistem yang lebih tinggi ke dalam realisasi bahasa. Sebagai contoh, semua klausa dapat dikategorikan positif atau negatif sehingga dalam sistem polaritas akan tampak positif dan tidak positif yang dapat disejajarkan dengan negatif dan tidak negatif yang bersifat
42
saling menjelaskan. Aspek positif dan negatif merupakan ciri klausa kontras yang dapat dibuat nyata dalam cara-cara yang berbeda untuk merepresentasikan sebuah makna potensial bahasa. Eggins (1994: 17) menggambarkan kontras positif dan negatif dalam suatu bentuk polaritas, seperti polaritas jenis kelamin yang dipilah atas spesifikasi, di antaranya, son, boy „anak laki-laki‟. Sementara itu, child, brat „anak‟, dan darling „kekasih‟ tidak mengandung spesifikasi jenis kelamin. Ketiga, dimensi stratifikasi menunjukkan adanya strata dalam mengkaji bahasa. Misalnya, kajian tentang cara penulisan (fonetik), tata bunyi (fonologi), tata pembentukan kata (morfologi), dan tata bahasa (gramatika). Perbedaan sudut kajian diizinkan oleh bahasa sebagai pengakuan
realitas bahasa merupakan
sistem semiotik yang kompleks. Kompleksitas sistem makna mendekatkan hubungan kosakata dengan tata bahasa, sehingga keduanya tidak lagi dipandang sebagai
strata
leksikogramatika.
yang
berbeda,
tetapi
dipersatukan
Karakteristik leksikogramatika
dalam
terminologi
diposisikan dalam satu
stratum, yang mencakup: (a) leksis dengan ciri terbuka, memiliki makna spesifik, mengenal kolokasi, dan (b) tata bahasa dengan ciri sistem tertutup, memiliki makna umum dan berstuktur (Halliday, 2004: 43). sintaksis dan morfologi dipadukan
Dengan demikian, aspek
sebagai satu kesatuan karena
kedekatan
struktur kata dan struktur klausa merupakan ciri bahasa universal. Jadi, setelah makna direalisasikan dalam leksikogramatika yang dipilih barulah ekspresi tersebut diujarkan atau dituliskan. Stratifikasi bahasa ditampilkan pada gambar berikut (Halliday, 2004: 25) (terjemahan oleh penulis).
43
konteks semantik leksiko gramatika fonologi fonetik
Gambar 2.2: Stratifikasi Gambar stratifikasi (2.2) menunjukkan bahwa teks terbentuk atas komponen ekstralinguistik dan komponen linguistik. Komponen ekstralinguistik yang dimaksud adalah konteks atau lingkungan yang mendukung teks. Komponen linguistik dapat dipilah atas komponen isi dan ekspresi. Isi mencakup maksud pesan (semantik) dan rancangan kata yang hendak digunakan untuk menyatakan isi pesan (leksikogramatika), sedangkan ekspresi merupakan realisasi isi yang dapat diwujudkan dengan bunyi secara lisan (fonologi) ataupun bunyi yang dinyatakan dalam lambang bunyi (fonetik). Stratifikasi juga mengandung pengertian bahwa realisasi dari suatu pesan secara alamiah bersifat lisan. Sementara itu, realisasi bahasa secara tertulis muncul kemudian. Jadi, bahasa lisan baru dapat dianalisis setelah ditranskripsikan secara fonetis. Keempat, keinstanan atau pemercontohan mengacu pada hubungan antara contoh dengan sistem yang melatari contoh tersebut. Hal ini berkaitan dengan keinginan menjelaskan bagaimana bahasa ditata dan bagaimana penataannya berhubungan dengan fungsi bahasa untuk memenuhi hajat hidup manusia, dan selalu ditemukan kesulitan dalam membuat segala sesuatu menjadi jelas. Hal ini dipicu oleh usaha mempertahankan dua pandangan sekaligus, yakni pandangan
44
bahasa sebagai sistem dan pandangan bahasa sebagai teks. Tipe pemercontohan digambarkan sebagai berikut (Halliday, 2004: 28) (terjemahan oleh penulis).
institusi-tipe situasi
konteks situasi ssstuasi
konteks budaya contoh-contoh Sub potensi- tipe contoh
teks
potensi kumpulan register-tipe teks
sistem (bahasa)
Gambar 2.3: Pemercontohan Gambar pemercontohan (2.3) di atas pada dasarnya merupakan penjabaran dalam strata yang sama, yakni bahasa dijabarkan dalam bentuk teks. Sebuah percakapan antara penjual dan pembeli, pidato, peringatan, dan surat merupakan contoh teks. Sistem merupakan pokok dasar potensi bahasa, dalam hal ini sumber pembentuk makna. Hubungan sistem dan bahasa merupakan seperangkat teks yang dapat dianalogikan dengan hubungan antara iklim dan cuaca yang hanya dibedakan oleh sudut pandang. Seperti cuaca, teks ada di sekeliling kita dan dapat memengaruhi kehidupan kita sehari-hari, sedangkan sistem adalah potensi yang mendasari pengaruh tersebut. Pendekatan Sistemik secara tegas mengakui adanya saling ketergantungan antara bahasa dan konteks sosial dalam pemaknaan teks. Makna dibentuk oleh sistem sosial dan digunakan oleh pengguna bahasa dan direfleksikan dalam bentuk teks.
Makna sosial ini bersifat konvensional di antara kelompok sehingga
45
pemakai teks dilatari oleh suatu potensi makna yang sama. Makna ini dapat saja bergeser atau berubah sejalan dengan dinamika lingkungan sosial. Dengan kata lain, situasi merupakan struktur semiotik yang turut menentukan seleksi komponen semantik. Misalnya, medan menyeleksi makna pengalaman, pelibat menyeleksi makna antarpelibat, sedangkan cara menyeleksi makna tekstual. Aspek situasi membawa dampak terhadap sistem semantik yang akan menjadi pertimbangan bagi seleksi makna sebelum direalisasikan dalam leksis. Hal itu memperhitungkan jaringan makna yang dimulai dari umum menuju ke khusus atau dari abstrak ke konkret. Melalui fitur semantik dapat diprediksi gambaran situasi yang menyertainya. Strata semantik dipandang berperan sebagai poros (pivot) dalam bahasa, ke atas sebagai penghubung ke konteks, ke bawah penghubung ke leksikogramatika. Pada sistem semantiklah dimensi konteks situasi dan budaya dijalin dalam kesatuan peristiwa linguistik. Jadi, peran sistem semantik mencakup mengonstruksi teks dari konteks dan mengodekan makna ke dalam struktur gramatika. Kelima, dimensi metafungsi merupakan fungsi dasar bahasa yang dikaitkan dengan lingkungan sosial.
Bahasa digunakan untuk menguraikan
pengalaman manusia, menamakan benda-benda, dan menguraikan benda-benda ke dalam kategori tertentu. Kemudian kategorisasi atas benda-benda diuraikan ke dalam taksonomi yang lebih khusus. Pada saat menggunakan bahasa, ada sesuatu lainnya terjadi secara bersamaan, misalnya ketika digunakan untuk menafsirkan sesuatu, bahasa juga memerankan hubungan interpersonal dan sosial dengan orang di sekitarnya. Dengan demikian, klausa di dalam tata bahasa bukan hanya
46
gambaran, tetapi juga mewakili beberapa proses, seperti melakukan, merasakan, mengatakan dan lain-lain yang melibatkan partisipan dan kondisi tertentu. Klausa juga sebuah proposisi, suatu anjuran, memberi informasi, bertanya, memerintah, menawarkan sesuatu, atau kekaguman terhadap sesuatu atau seseorang. Bahasa adalah tindakan aktif yang melibatkan partisipan dan menjalankan fungsi interpersonal yang menyangkut interaksi antarpelibat. Perbedaan modus pemaknaan tidak berasal dari luar, melainkan dari representasi sistem tata bahasa dan sistem sosial. Hal itu mengindikasikan bahwa setiap pesan mengandung isi dan ditujukan kepada seseorang sebagai penerima pesan, tanpa adanya saling paksaan bentuk dan cara, tetapi menjadi pertimbangan konstruksi teks. Kesinambungan konteks terjadi dari konteks yang paling abstrak menuju ke konteks yang lebih kongkret dan bermuara pada poros semantik. Sistem semantik mempertemukan konteks budaya (genre) dan konteks situasi (register) dengan aspek leksikogramatika melalui metafungsi, meliputi (a) komponen medan (field) yang merealisasikan metafungsi ideasional, (b) komponen pelibat (tenor) yang merealisasikan metafungsi antarpelibat, dan (c) komponen cara (mode) yang merealisasikan metafungsi tekstual. Meskipun demikian, penggunaan bahasa dapat menjalankan lebih dari satu fungsi. Artinya, suatu tuturan mengandung kesatuan pengalaman atau gagasan, hubungan antarpelibat, ataupun organisasi pesan yang direalisasikan dengan leksikon dan ditata dalam susunan gramatikal tertentu. Jadi, klausa mengandung makna
leksikon dan struktur gramatika.
Komponen yang tidak dinyatakan dengan leksikon dimunculkan secara gramatikal, atau sebaliknya. Dengan demikian, analisis fungsi penggunaan bahasa
47
berakhir pada struktur gramatika, seperti ditunjukkan jaringan makna berikut (Halliday, 1973: 101).
Gambar 2.4: Jaringan Makna Gambar (2.4) menunjukkan jaringan makna yang antarsistem dalam pertautan sehingga terbentuk komponennya pa da setiap
menjaga relasi
jaringan atas komponen-
fungsi yang dijalankannya. Bahasa yang dipakai
dalam interaksi sosial sebagai teks fungsional dapat dianalisis terutama tuturan yang berupa unit-unit semantik, sedangkan bentuk yang tidak terdeteksi secara linguistis
boleh
ditanggalkan.
Dengan
demikian,
interpretasi
diperoleh
berdasarkan satuan-satuan yang memenuhi ciri semantis. Jadi, jaringan semantik memungkinkan adanya korespondensi sistem-sistem yang berlainan. Jaringan makna pada akhirnya bermuara pada stuktur gramatika, sebagai sesuatu yang dapat direkam, dipelajari, dan diprediksi. Fungsi ideasional mencakup fungsi logika dan ekspreriensial. Fungsi logika dapat
diproyeksikan secara parataktik
atau hipotaktik, sedangkan pengalaman direalisasikan dalam berbagai tipe proses.
48
Fungsi antarpelibat dapat direalisasikan melalui struktur modus, modalitas, dan diatesis, sedangkan fungsi tekstual direalisasikan dalam bentuk alat-alat kohesi. Secara ringkas, keterhubungan konteks, fungsi semantik, dan realisasi bahasa dapat
digambarkan sebagai berikut (Diadopsi dari Halliday, 1978: 132)
(terjemahan oleh penulis).
Ideasional Logika
Antarpelibat
Tekstual Kohesi
Eksperiensial Struktural
Non- Struktural
Struktur Klausa Ekspansi Identitas Proyeksi Parataktik Hipotaktik
Klausa: Transitivitas Modulasi Polaritas
Klausa: Modus Modalitas
Klausa: Tema
Kel. Verbal: Tipe Proses Kala
Kel. Verbal: Persona Polaritas
Kel. Verbal: Diatesis Kontras
Kel. Nomina: Tipe partisipan: Kelas Kualitas Kuantitas
Kel. Nominal : Persona (peran)
Kel. Nominal Deiksis
Kel. Adverbial Kel. Preposisi Komen
Kel. Adverbial Kel. Preposisi Konjungsi
Kel. Adverbial: Kel. Preposisi Tipe Sirk
Referensi Elipsis/ Substitusi Konjungsi Kohesi Leksikal: a.Reiterasi b.Kolokasi
Struktur Informasi
Gambar 2.5: Fungsi Komponen dalam Sistem Semantis Gambar (2.5) menunjukkan kaitan konteks, semantik wacana, dan leksikogramatika sebagai realisasi bahasa. Konteks ideologi yang bersifat abstrak mendapat realisasi pada level di bawahnya dan seterusnya hingga muncul dalam pilihan leksikogramatika. Pertama, pengalaman diklasifikasikan atas tiga kelas
49
kata utama, yakni verba, nomina, dan adverbia. Verba dikaitkan dengan fungsi proses, nomina dikaitkan dengan fungsi partisipan, dan adverbia dikaitkan dengan fungsi sirkumtansi. Proses berperilaku sebagai Predikator, partisipan berperilaku sebagai argumen, sedangkan sirkumtansi berperilaku sebagai nonargumen. Kedua, realisasi hubungan antarpelibat direalisasikan dalam struktur percakapan yang memformulasikan modus komunikatif, diatesis, dan tipe respon yang diharapkan (Halliday, 2004: 107). Ketiga, sebagai realisasi fungsi tekstual, klausa memiliki struktur tematik Tema-Rema. Artinya, ada komponen klausa yang dijadikan tema atau pokok, dan ada pula komponen yang diposisikan sebagai pendukung tema. Salah satu cara pendalaman terhadap tema tertentu dapat dilakukan secara referensial yang menunjukkan keterkaitan antarklausa. Hubungan permasalahan yang hendak dijawab dan komponen teori Sistemik yang dipakai mengajinya ditampilkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 2.2 Hubungan Permasalahan dan Teori
No
Permasalahan
Subteori LSF
1.
Bagaimanakah struktur skematik TNNGB?
Konteks budaya (Eggins, 1994)
2.
Bagaimanakah struktur modus dan diatesis klausa TNNGB?
Sistem Modus (Eggins, 1994) Interpretasi Diatesis (Halliday, 2004)
3.
Bagaimanakah struktur transitivitas TNNGB?
Transitivitas (Eggins, 1994) Klausa sbg. Representasi (Halliday, 2004)
4.
Bagaimanakah struktur tematis dan sistem referensial TNNGB?
Klausa sebagai Pesan (Halliday, 2004) Tema (Eggins , 1994) Kohesi dan Wacana (Halliday, 2004)
50
2.5 Model Penelitian Penelitian ini menggunakan model penelitian yang berbasis budaya, yang dalam hal ini budaya etnis Bali. Aspek budaya yang diangkat mengaitkan budaya ritual Hindu Bali yang diaplikasikan pada ranah pertanian tadah hujan. Permasalahan pada ranah skematis ditunjukkan dengan struktur skematik. Secara linguistis, penelitian berfokus pada metafungsi eksperiensial, pertukaran, dan tektual. Dengan demikian, penelitian diharapkan dapat menghasilkan temuan yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu lingusitik dan pemahaman budaya. Kerangka teoretis penelitian ditampilkan di bawah ini.
Budaya Etnis Bali TEKS Teks Neduh dan Nyelang Galah Komunitas Transmigran Bali di Sumbawa (TNNGB)
Struktur Skematik
Aspek Linguistik
n 2.1: Model Penelitian
Struktur
Struktur Modus dan Diatesis
Struktur Transitivitas
Simpulan BaganTemuan/ 2.1: Model Penelitian Rekomendasi
Nonstruktur
Struktur Tematis dan Referensial
51
Kerangka penelitian seperti ditampilkan bagan (2.1) dapat dijelaskan sebagai berikut. (1) Penelitian meneropong TNNGB sebagai suatu fenomena budaya etnis Bali khususnya pada ranah pertanian yang menjadi sumber penghidupan masyarakat transmigran. (2) Sebagai suatu teks, TNNGB memiliki skema pelaksaaan yang berupa fase, tahapan dan langkah yang saling menunjang.
Skema pelaksanaan itu
dimaksudkan untuk menyukseskan tujuan. Dengan demikian, teks tidak dapat dilakukan dengan tahapan yang sembarangan. (3) Kajian atas aspek-aspek linguistik baik berupa representasi pengalaman, pola pertukaran informasi, maupun tekstur pesan merupakan komponen yang ditelaah berdasarkan struktur semantis dan struktur gramatika. (4) Sistem referensial merupakan aspek nonstruktural yang diangkat. Kajian yang bersifat kohesif itu dimaksudkan mendukung organisasi teks. Hal itu dilakukan karena pemahaman teks tidak jarang membutuhkan tautan luar teks, disamping tautan internal teks. (5) TNNGB dilihat sebagai sebuah teks besar yang memiliki ciri linguistik tersendiri, yang berkaitan erat dengan metafungsi. (a) Struktur modus dan diatesis menjelaskan relasi anterpelibat dalam menyatakan kecenderungan
elemen yang
yang dilakukan
ditonjolkan. pembicara
Kecenderunganterkait
dengan
keinginannya untuk memengaruhi sikap dan perilaku pelibat lain.
52
Kajian struktur modus dan diatesis merupakan representasi fungsi pertukaran. (b) Struktur transitivitas mempresentasikan struktur pengalaman dan gagasan. Realisasi itu menyangkut tipe tindakan yang dilakukan, struktur valensi, dan keterangan lain yang mendukung kejelasan pengalaman tersebut. Kajian struktur transitivitas diteropong berdasarkan sudut pandang karakter Predikator. (c) Struktur tematis menjelaskan penempatan elemen yang ditonjolkan. Pembicara dapat menempatkan satu atau lebih elemen yang ditonjolkan sebagai bentuk konfigurasi metafungsi. Untuk menjaga tekstur, ada komponen internal teks yang dapat diacu kembali, tetapi dapat juga merujuk acuan intrateks.
Kajian ini penting untuk
menemukan acuan yang tepat sebagai pemenuhan kepentingan pragmatik. (6) Penelitian TNNGB dapat dikategorikan sebagai penelitian rintisan, mengingat fenomena ini belum pernah diangkat dalam suatu penelitian. Penelitian ini diharapkan tidak hanya memperoleh simpulan terkait dengan permasalahan, tetapi juga menyumbangkan temuan baru dan rekomendasi.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pengantar Penelitian TNNGB ini dilaksanakan dengan menggunakan metode ilmiah, yang mengikuti suatu prosedur yang memungkinkan peneliti mendeskripsikan fenomena kebahasaan secara bertahap dan komprehensif.
Terkait dengan
prosedur penelitian yang diikuti, berikut dijelaskan beberapa komponen penting penelitian ilmiah, antara lain, rancangan penelitian, pendekatan penelitian, lokasi penelitian,
jenis
dan sumber data, instrumen penelitian, metode dan teknik
pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan metode dan teknik penyajian hasil analisis.
3.2 Rancangan Penelitian Penelitian TNNGB ini bersifat penelitian lapangan. Artinya, penelitian dilaksanakan pada latar alamiah, dioposisikan dengan latar buatan. Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian etnosinkronis, dalam arti, deskripsi bentuk dan fungsi bersifat tentatif pada waktu penelitian dilaksanakan dan berlaku pada etnis tertentu di wilayah penelitian. Dengan demikian, pemaknaan teks bersifat kedaerahan yang dapat saja berbeda dengan etnis yang sama di tempat berbeda. Ciri sinkronik merujuk pada penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena pada waktu tertentu dan bagaimana fenomena tersebut diungkapkan (Bungin, 2008: 181). Penelitian ini difokuskan pada tuturan lisan 53
54
TNNGB dan informasi lain yang terkait. Data kelinguistikan bersumber pada percakapan dan monolog pada seluruh tahapan teks. Data kelinguistikan itu juga didukung informasi yang diperoleh dengan wawancara mendalam dengan informan kunci.
Untuk menjelaskan alur penelitian, rancangan penelitian ini
dapat digambarkan sebagai berikut.
PENELITIAN TNNGB
DATA LISAN Hasil Rekaman
Hasil Wawancara
Residu Metode Pemerolehan Data a. Simak b. Wawancara
Metode Analisis Data a. Metode Padan b. Metode Agih
Metode Penyajian Analisis a. Formal b. Informal
Teknik: Pilah dan Parafrasa
Teori Linguistik Sistemik Fungsional Struktur Linguistik a. Modus dan Diatesis b. Transitivitas c. Tematis dan Referensial
Struktur Skematik
SIMPULAN / TEMUAN
Bagan 3.1: Rancangan Penelitian
55
Rancangan penelitian (bagan 3.1) dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, kajian TNNGB didasarkan atas data lisan yang diperoleh dari teknik rekam prosesi teks dan hasil wawancara. Dua jenis sumber data itu dikumpulkan dengan metode simak dan wawancara. Metode simak didukung teknik simak sadap, simak libat cakap, simak rekam, dan simak catat dikerjakan pada tahap prosesi teks, sedangkan metode wawancara dikerjakan pada tahap lanjutan berkaitan dengan persepsi. Pada tahap pengumpulan data, beberapa informasi penting disadap, ditanyakan, direkam, dan dicatat. Data yang terjaring diseleksi terlebih dahulu untuk mendapatkan data korpus. Data yang dimasukkan dalam tahap analisis adalah data berbahasa Bali, sedangkan data berbahasa Sanskerta, Jawa Kuna atau Kawi Bali disisihkan dari proses analisis. Tuturan berbahasa Sanskerta, Jawa Kuna atau Kawi Bali merupakan ekspresi bahasa pasif yang bersifat beku dalam teks religi Hindu Bali. Oleh sebab itu, tuturan dalam bahasa pasif
itu
ditetapkan sebagai data residu. Keputusan itu diambil mengingat
tingkat kesulitan mendeskripsikan struktur transitivitas dan modus dari bahasabahasa yang berbeda, di samping ketersediaan informan dan pertimbangan waktu penelitian. Kedua, data yang terkumpul selanjutnya diolah sebelum memasuki tahap analisis.
Data lisan ditranskripsikan dan ditransliterasikan ke dalam Bahasa
Indonesia. Langkah-langkah pengolahan data terdiri atas tahap-tahapan yang memungkinkan proses analisis berjalan lancar. Pengolahan data dimulai dengan melakukan
identifikasi bentuk dengan cara mengenali bentuk-bentuk yang
sejenis. Bentuk yang kompleks disegmentasi untuk memudahkan identifikasi pola.
56
Pada tahap itu bentuk-bentuk yang sama diklasifikasikan dalam satu kategori. Klasifikasi juga dibantu dengan komparasi sehingga dapat merujuk pada determinasi atas status dari bentuk-bentuk tertentu. Pengolahan data pada akhirnya diharapkan dapat merujuk pada solusi dan interpretasi. Interpretasi yang dimunculkan merupakan hasil triangulasi yang berpedoman pada data korpus, konfirmasi dengan informan, dan hasil analisis. Ketiga, pada tahap analisis, peneliti mencermati data berlandaskan teori yang dipilih, dengan mengaplikasikan metode agih dan padan. Artinya, proses analisis melibatkan teknik pemadanan makna dari leksis yang dimunculkan dan teknik parafrasa terhadap terminologi tertentu agar makna leksis terungkap dengan jelas. Selanjutnya, hasil analisis disajikan secara formal dan informal, yaitu penyajian hasil analisis dilakukan dalam bentuk deskripsi kata-kata didukung gambar, diagram, bagan, atau tabel yang diharapkan dapat memperjelas paparan. Korpus dianalisis dengan kerangka berpikir Linguistik Sistemik Fungsional dalam pilahan struktur budaya dan struktur linguistik. Data prosesi teks digunakan untuk menjawab permasalahan yang berkaitan dengan realisasi fungsi ideasional, antarpelibat dan tekstual. Rekaman teks dan informasi lain yang diperoleh melalui wawancara digunakan untuk mendukung pembahasan struktur skematik. Dengan pengungkapan aspek budaya dan lingustik diharapkan deskripsi TNNGB dapat merujuk pada simpulan. Yang paling penting, penelitian diharapkan dapat menyumbangkan temuan baru dan rekomendasi terkait dengan teks target.
57
3.3 Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan mengikuti alur berpikir kualitatif. Artinya, penelitian ditujukan untuk dapat memberi paparan yang rinci dan sistematis yang dapat membentuk suatu pemahaman. berpegang pada data yang
Penelitian kualitatif
berupa tuturan, dan bukan angka-angka. Tujuan
pendekatan kualitatif ialah membentuk pemahaman (verstehen) atas realitas sosial, bukan dalil-dalil. Karakter penelitian kualitatif dijabarkan oleh Basrowi dan Suwandi (2008: 25) sebagai berikut. (a) Penelitian dilakukan pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan. (b) Alat penelitian berupa human instrument, yakni peneliti sendiri. (c) Wajib ada hubungan baik antara peneliti dan informan. (d) Analisis data dilakukan secara induktif berdasarkan data lapangan sehingga nilai-nilai yang tersirat sebagai bagian dari struktur analitik dapat diperhitungkan. (e) Desain penelitian bersifat sementara dan dapat disesuaikan dengan data lapangan.
3.4 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Sumbawa, Propinsi Nusa Tenggara Barat, khususnya sentra-sentra pemukiman transmigran Bali. Adapun sentra yang dimaksud meliputi Kecamatan Lunyuk, Kecamatan Labuan Badas, Kecamatan Plampang, Kecamatan Labangka, Kecamatan Utan, dan
58
Kecamatan Rhee. Daerah penelitian ini tersebar di tiga penjuru mata angin, dengan jarak sekitar 50 - 100 km dari kota Sumbawa Besar. Populasi penelitian diperkirakan berjumlah 12.000 jiwa dan jarang terjadi kontak dan mobilitas warga antarsentra sangat terbatas. Penelitian dipusatkan di Desa Sepayung, Kecamatan Plampang, dengan pertimbangan: (a) Desa Sepayung merupakan desa Bali tertua di kecamatan Plampang yang sebelumnya menaungi seluruh transmigran di kecamatan Plampang, Labangka, dan Empang; (b) Dengan lahan tanam tadah hujan dan air tanah yang asin, teks panggil hujan dilaksanakan sebagai satu-satunya cara pemerolehan air; (c) Teks panggil hujan adalah harapan petani karena setiap sungai telah berubah menjadi brang sampar (sungai mati). Di samping itu, pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan akademis dan praktis. Secara akademis, Desa Sepayung memungkinkan perolehan data dan penerapan Teori Sistemik terhadap pemaknaan teks dari sudut pandang
komunitas pemakai.
Secara praktis, teks panggil hujan diyakini mampu menyelamatkan mata pencaharian seluruh lapisan masyarakat sehingga diangkat sebagai sebuah tradisi.
3.5 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yakni, data primer dan data sekunder. Data primer dijaring dari tuturan dalam rangkaian prosesi teks, sejak fase perencanaan, fase puncak, hingga fase penutup. Data sekunder diperoleh melalui wawancara mendalam dengan informan. Data sekunder digunakan untuk melengkapi data primer agar setiap permasalahan dapat dijawab tuntas. Data
59
primer digunakan untuk memperoleh gambaran struktur gramatika, sedangkan data sekunder digunakan
untuk memerikan pandangan,
persepsi, dan nilai
budaya yang dijunjung tinggi, di samping melengkapi deskripsi leksikogramatika. Data yang berhasil dikumpulkan diseleksi atas dasar kejelasan tuturan, kelengkapan prosedur dari awal hingga akhir, sedikit kerusakan pada proses perekaman, dan kesediaan informan mengikuti tahap wawancara. Berdasarkan pertimbangan itu, enam dari delapan set data yang terkumpul ditetapkan data yang terseleksi. Data korpus terdiri atas tiga seri data teks panggil hujan dan tiga seri data teks tolak hujan dari tahap praritual, puncak ritual hingga tahap pascaritual. Data tersebut diberi kode A1, A2, A3 untuk korpus data panggil hujan, sedangkan korpus data tolak hujan diberi kode B1, B2, dan B.3. Masing-masing korpus tersusun atas beberapa teks yang merupakan sebuah rangkaian. Untuk mengumpulkan data sekunder (Sugiyono, 2010: 15), peneliti mewawancarai informan kunci yang direkomendasikan oleh ketua PHDI Kabupaten Sumbawa. Dalam penelitian ini, informan kunci mengacu pada orang yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin teks memohon atau menolak hujan. Penelitian mensyaratkan informan kunci dengan kriteria berikut (Sudaryanto, 1993). (a)
berusia maksimal 60 tahun;
(b)
sehat dan tidak mengalami cacat alat ucap/ dengar;
(c)
menetap di Sumbawa dalam 25 tahun terakhir;
(d)
mobilitas rendah;
(e)
memahami seluk-beluk teks secara aktif.
60
3.6 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian ini mengacu pada alat-alat yang diperlukan untuk mengungkapkan fenomena sosial yang sedang diteliti. Oleh sebab itu, peneliti melengkapi diri dengan peralatan yang mendukung terkumpulnya data yang diharapkan. Instrumen yang utama dalam penelitian adalah peneliti sendiri yang dengan segala upaya menjalin hubungan baik dengan penguasa teks dan komunitas yang diteliti demi memahami seluk-beluk objek penelitian. Peneliti memanfaatkan beberapa peralatan, seperti buku catatan, kamera, perekam suara (voice recorder), dan panduan wawancara. Kamera digunakan untuk mendukumentasikan gambar persiapan dan pelaksanaan teks. Sementara itu, perekam suara digunakan untuk mendokumentasikan tuturan
setiap tahapan.
Proses perekaman dilakukan dengan atau tanpa meminta izin terlebih dahulu. Buku catatan digunakan untuk mencatat hasil wawancara
terkait dengan
pandangan masyarakat terhadap teks.
3.7 Metode dan Teknik Pemerolehan Data Dalam usaha menjaring data, peneliti menggunakan metode linguistik lapangan, yakni peneliti secara langsung turun ke lapangan (Samarin, 1988:15). Metode lapangan (field research) dilakukan dengan
metode
simak dan
wawancara untuk dapat mengumpulkan data kebahasaan, sekaligus berusaha memahami fenomena yang dikaji. Dalam peran sebagai penyimak partisipatif (participative observer), peneliti berperan secara aktif dan pasif. Peneliti berperan aktif untuk mencatat hal-hal penting yang berkaitan dengan komunitas yang
61
diteliti termasuk kebiasaan, mata pencaharian, dan pandangan. Peneliti juga aktif mrngajukan pertanyaan untuk memperoleh berian yang dibutuhkan. Di sisi lain, peneliti bertindak pasif dalam seluruh tahapan teks sejak tahap persiapan hingga tahap penutup. Pemerolehan data dilakukan dengan mengikuti prosedur metode simak, yakni peneliti aktif menyimak tuturan yang dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam teks. Metode pengumpulan data tersebut dilakukan dengan beberapa teknik pendukung, seperti, teknik sadap, teknik simak libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat (Sudaryanto, 1993: 131). Berikut penjelasan keempat teknik pendukung metode simak tersebut. (a) Teknik Sadap merupakan teknik pengumpulan data dengan penyimakan yang dilakukan dengan penyadapan pembicaraan sumber data. Peneliti mencatat hal-hal yang dianggap penting. (b) Teknik Libat Cakap adalah pemerolehan data yang dilakukan dalam tahap penyediaan data melalui partisipasi dan menyimak. Peneliti turut ambil bagian dalam dialog atau percakapan sekaligus menyimak pembicaraan mitra wicara. Jadi, partisipasi peneliti bersifat aktif dan pasif. Aktif dalam proses dialog dan pasif dalam mendengarkan mitra wicara. Metode cakap dengan teknik cakap semuka itu dapat disejajarkan dengan teknik wawancara, yaitu dengan cara berdialog dengan mitra wicara. Peneliti dapat mengajukan pertanyaan untuk memperoleh informasi dan konfirmasi bertalian dengan masalah yang diteliti.
62
(c) Teknik Rekam adalah cara pemerolehan data dengan cara merekam tuturan informan. Teknik rekam digunakan untuk merekam tuturan selama prosesi teks, di samping jawaban terbatas atas pertanyaan-pertanyaan dan permintaan khusus yang diajukan kepada informan. (d) Teknik Catat secara fonetis dilakukan terhadap tuturan yang diperoleh melalui wawancara dan perekaman. Secara rinci, langkah-langkah operasional yang dilakukan terkait dengan pemerolehan data adalah sebagai berikut: (1) melakukan wawancara awal; (2) mencatat hasil pengamatan lapangan; (3) mendokumentasikan peristiwa teks; (4) melakukan perekaman prosesi teks; (5) mentranskripsikan hasil rekaman; (6) meminta informan mengoreksi hasil transkripsi; (7) melakukan konfirmasi hasil transkripsi; (8) melakukan transliterasi; (9) melakukan segmentasi dan kodifikasi. Data yang terseleksi sebagai data korpus adalah tuturan teks yang dinyatakan dalam Bahasa Bali, sedangkan tuturan dalam lain tidak dimasukkan dalam tahap analisis. Data korpus selanjutnya diolah sebagai persiapan memasuki tahap analisis. Pengolahan data dikerjakan setelah seluruh korpus ditranskripsikan, dikoreksi,
dan
diklarifikasi
oleh
informan
kunci
untuk
selanjutnya
dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia. Koreksi dilakukan pada kesalahan
63
transkripsi, sedangkan klarifikasi dilakukan pada kelompok kata yang harus disisipkan, ditanggalkan, direvisi, atau disempurnakan. Pada tahap pengolahan, data diidentifikasi dan dipilah sesuai dengan kepentingan analisis, yakni dimulai dari analisis teks sebagai satu teks besar kemudian dipilah atas teks yang lebih kecil, tahap-tahapan dan komponen yang lebih renik. Sebagai pemenuhan aspek budaya, teks dilihat dari nilai dan pola pelaksanaan. Secara linguistis, klausa dicermati dari sudut pandang semantik, gramatika, dan pragmatik. Kelompok yang memiliki kategori yang sama dinyatakan
memiliki
status
yang
sama.
Status
komponen
selanjutnya
dimanfaatkan sebagai bahan penentuan interpretasi. Dengan demikian, langkah kerja pengolahan data dapat dapat dirinci sebagai berikut: (a) menemukan lambang atau simbol verbal; (b) melakukan segmentasi berdasarkan kesamaan lambang/simbol; (c) mengidentifikasikan pola-pola; (d) menentukan kategori; (e) menentukan status atas komponen-komponen; (f) melakukan interpretasi awal; (g) konfirmasi dengan informan; (h) menarik interpretasi sementara.
3.8 Metode dan Teknik Analisis Data Proses pengolahan data dilakukan setelah korpus dipersiapkan memasuki tahap analisis. Data yang dimasukkan dalam tahap analisis adalah data korpus,
64
yaitu
data berbahasa Bali ragam halus, sedangkan data residu semata-mata
dipandang sebagai komponen pembentuk keutuhan teks.
Interpretasi struktur
formal dilakukan dengan mencermati tata urutan, leksikon, dan makna yang dimunculkan. Cara kerja demikian sejalan dengan metoda agih dan padan yakni penggunaan alat bantu dari bahasa itu sendiri dan melakukan padanan makna yang dapat merefleksikan makna yang dimaksud. Metode agih dipakai ketika memproyeksikan struktur formal, sedangkan
metode padan digunakan dalam
mengungkap makna yang merujuk pada padanan makna (Sudaryanto, 2003). Untuk menjawab permasalahan struktur skematik, teks diteropong berdasarkan kode bahasa, urutan penahapan, modifikasi tahap yang dibolehkan, dan fungsi komponen-komponennya. Struktur modus menjelaskan jenis komoditas yang dipertukarkan, maksud pembicara, dan jenis respon yang diharapkan. Struktur diatesis dikerjakan dengan mempertimbangkan keaktifan yang dimunculkan Predikator, valensi, dan pengisi fungsi gramatikal. Masalah transitivitas dikerjakan dengan mencermati karakter Predikator klausa pembentuk teks sehingga dapat merujuk pada tipe proses dan partisipan.
Struktur tema
membahas komponen-komponen yang diposisikan di kiri Predikator. Komponen yang ditempatkan di posisi inisial membentuk struktur tema tunggal pada struktur klausa
tak bermarkah. Kehadiran tema topikal, antarpelibat atau tekstual
membentuk struktur bermarkah. Keterkaitan antarkomponen teks dapat berupa hubungan internal teks secara endoforis, sedangkan
relasi dengan teks lain
bersifat eksoforis. Dengan demikian, makna leksikon dan struktur gramatikal dapat ditelaah dengan sebaik-baiknya.
65
3.9 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Hasil analisis disajikan dalam bentuk laporan penelitian dengan menggunakan metode informal dan formal (Sudaryanto, 1993: 145). Metode informal adalah metode penyajian hasil analisis dengan menggunakan kata-kata biasa dilengkapi tanda atau lambang-lambang linguistik. Metode formal adalah penyajian hasil analisis dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang tertentu. Jadi, hasil analisis tersaji melalui dekripsi kata-kata dan didukung penyajian tabel, bagan dan gambar yang diharapkan membantu kejelasan deskripsi secara ringkas dan akurat. Data yang mementingkan pemahaman umum ditampilkan dalam pola dua dimensi. Sementara itu, data yang dimaksudkan untuk menjelasan fitur leksikal disajikan dalam pola tiga dimensi, yakni
struktur klausa, gloss, dan
terjemahannya. Contoh klausa yang ditelaah juga ditampilkan dalam kolom dan baris yang dimaksudkan untuk memberi penekanan pada segmentasi dan kategori komponen. Selanjutnya, klausa dideskripsiskan sesuai dengan landasan teori yang dipakai untuk membedah data dan menarik interpretasi berdasarkan hasil triangulasi. Sistematika disertasi tersusun atas bab-bab pembahasan yang disesuaikan dengan susunan permasalahan yang diajukan. Disertasi ini terbagi atas tiga bagian, masing-masing bagian awal, bagian inti, dan bagian penutup. Bagian awal mendeskrispsikan latar belakang, landasan teori, metode penelitian, dan gambaran umum wilayah penelitian. Bagian inti terdiri atas bab-bab yang memaparkan pembahasan data berdasarkan pokok teori yang diaplikasikan. Bab analisis dapat
66
ditemukan mulai Bab V. Bab VI hingga bab IX berturut-turut menyajikan pembahasan aspek gramatikal mencakup struktur modus, struktur transitivitas, struktur diatesis, dan struktur tematis. Bab X mengungkapkan sistem referensial baik yang bersifat situasional maupun kontekstual. Paparan temuan baru penelitian dan simpulan ditampilkan pada bagian akhir. Bagian penutup terdiri atas daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Sejarah Singkat Wilayah Penelitian Kabupaten Sumbawa yang dahulu dikenal dengan nama Tana Samawa „tanah Sumbawa‟ memiliki penduduk asli Etnis Samawa. Etnis asli Sumbawa itu hidup berdampingan dengan Etnis Mbojo yang menetap di tiga kabupaten di bagian timur pulau Sumbawa, mencakup Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu, dan Kota Bima. Etnis Samawa „Sumbawa‟ menggunakan Basa Samawa „Bahasa Sumbawa‟, sedangkan Etnis Mbojo berkomunikasi dengan Nggahi Mbojo „Bahasa Mbojo atau Bahasa Bima‟. Wilayah pakai Bahasa Sumbawa meliputi Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten
Sumbawa Barat (KSB). Dengan demikian, pulau
Sumbawa yang memiliki luas sekitar 14.386 km2 terpecah menjadi dua wilayah bahasa, yakni wilayah pakai Bahasa Bima di bagian timur dan wilayah pakai Bahasa Sumbawa di bagian barat. Di samping Bahasa Sumbawa dan Bahasa Bima yang berstatus bahasa mayoritas, di Pulau Sumbawa juga hidup bahasa minoritas, seperti Bahasa Bali, Bahasa Banjar, Bahasa Makasar, Bahasa Bugis, Bahasa Cina, Bahasa Bajo, Bahasa Selayar, Bahasa Arab, Bahasa Jawa, dan Bahasa Sasak. Bahasa-bahasa itu umumnya merupakan bahasa kelompok pendatang dengan
wilayah tutur terbatas.
Sebagian besar kelompok pendatang itu
merupakan kelompok pedagang antarpulau, nelayan, atau petani peserta program transmigrasi yang telah bermukim di Sumbawa sejak puluhan tahun (Satyawati, 2009). 67
68
Dasar hukum pendirian Kabupaten Sumbawa adalah UURI No. 64 Tahun 1958 dan UURI No. 69 Tahun 1958 tertanggal 11 Agustus 1958. Kelahiran Kabupaten Sumbawa tidak terlepas dari pembentukan Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 dan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 yang merupakan tonggak sejarah terbentuknya Daerah Swatantra Tingkat I (Daswati I) dan Daerah Swatantra Tingkat II (Daswati II) di wilayah Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Pemerintah membentuk enam Daswati II di lingkungan Daswati I NTB, masing-masing tiga Daswati di Pulau Lombok, dan tiga Daswati di Pulau Sumbawa. Keenam Daswati tersebut adalah
Daswati II Lombok Barat, Daswati II Lombok Tengah, dan
Daswati II Lombok Timur, Daswati II Sumbawa, Daswati II Dompu dan Daswati II Bima. Tanggal 22 Januari 1959 pejabat sementara (PS) Kepala
Daerah
Swantantra Tingkat I NTB melakukan likuidasi, pengangkatan dan pelantikan Muhammad Kaharuddin III sebagai PS Kepala Daerah Swantantra Tingkat II Sumbawa. Momentum
pelantikan itu
selanjutnya diangkat sebagai hari lahir
Kabupaten Sumbawa yang menaungi wilayah barat Pulau Sumbawa yang terbagi menjadi 14 kecamatan. Sejak berdiri, pemerintahan terus mengalami perubahan dan mencari bentuk yang sesuai. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, terjadi pemekaran kecamatan sehingga pemerintah Kabupaten Sumbawa memiliki tambahan lima kecamatan baru, yakni Kecamatan Sekongkang, Kecamatan Brang Réa, Kecamatan Alas Barat, Kecamatan Labangka, dan Kecamatan Labuan Badas. Pemekaran kembali terjadi dengan dibentuknya Kecamatan Tarano, Kecamatan Marongé, Kecamatan Unter Iwes, Kecamatan
69
Rhéé, Kecamatan Buér, dan Kecamatan Moyo Utara.
Dengan didirikannya
Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) tahun 2003 yang dikukuhkan dengan UURI No. 30 Tahun 2003, Kabupaten Sumbawa melepaskan lima kecamatan di ujung barat pulau menjadi wilayah Kabupaten
Sumbawa Barat (KSB). Dengan
demikian, Kabupaten Sumbawa berbatasan dengan Kabupaten Dompu di sebelah timur dan Kabupaten Sumbawa Barat di sebelah barat. Pada pemekaran terakhir, terbentuk empat kecamatan baru, yakni, Lénangguar, Kecamatan Lantung, dan
Kecamatan Orong Telu, Kecamatan Kecamatan Lopok. Kini, Kabupaten
Sumbawa mewilayahi bagian tengah pulau seluas 6.643.98 km2 yang terpecah menjadi 24 kecamatan atau 158 desa dan 8 kelurahan. Ditinjau dari luas wilayah, Kecamatan Empang, Kecamatan Lenangguar dan Kecamatan Lunyuk merupakan tiga kecamatan terluas dengan proporsi mencapai sembilan persen dari luas wilayah kabupaten. Wilayah tersempit dimiliki oleh Kecamatan Sumbawa yang meliputi wilayah daerah seluas 44, 83 km2 atau 0,67% dari luas kabupaten. Berdasarkan jarak ke pusat kota Sumbawa Besar, Kecamatan Tarano, Kecamatan Empang, dan Kecamatan Lunyuk merupakan tiga kecamatan terjauh yang berjarak 103 km dan 93 km untuk dua kecamatan terakhir. Dengan demikian, Lunyuk merupakan wilayah kecamatan terluas dan terjauh dari kota Sumbawa Besar (Tim BPS, 2010: 60; 195-196). Pada logo pemerintah daerah Kabupaten
Sumbawa tercantum motto
Sabalong Samaléwa yang dapat disingkat menjadi Samawa. Sabalong berasal dari Bahasa Sumbawa sai „satu‟, dan balong „baik‟. Samaléwa berasal dari akar kata sama „sama‟ dan lewa „terus, seimbang‟. Sabalong Samaléwa dimaknai sebagai
70
tekad untuk melanjutkan pembangunan yang seimbang, antara pembangunan fisik dan mental spiritual, dengan melibatkan penduduk asli dan kaum pendatang. Logo pemerintah daerah juga memuat mayung „menjangan‟ sebagai fauna khas Sumbawa. Karakter menjangan yang tangkas, cerdik, dan gesit dimaknai sebagai tekad pemerintah untuk menjadi pioner pembangunan di lingkungan Propinsi Nusa Tenggara Barat.
4.2 Keadaan Alam dan Kependudukan Wilayah Kabupaten Sumbawa terbentang pada kordinat 116‟420 BT 118‟220 BT dan 8‟80 LS - 9‟70 LS. Ditinjau dari luas wilayah setiap kabupaten terhadap luas Propinsi Nusa Tengggara Barat (NTB), tampak Kabupaten Sumbawa menempati luas terbesar yakni 32,97%, disusul Kabupaten Bima 21,78%, dan Kabupaten Dompu seluas 11.58%. Dari sudut topografi, tanah Sumbawa tidak rata dan berbukit-bukit. Ketinggian rata-rata berkisar antara 0 hingga 1.730 m dari permukaan air laut dan diarahkan sebagai sentra produksi bahan pangan dan budi daya ternak. Ditinjau dari segi iklim, Sumbawa beriklim tropis dengan temperatur berkisar antara 18,30C hingga 37,40C. Temperatur maksimal terjadi pada bulan November dan
minimal pada bulan Agustus,
sedangkan kelembaban udara berkisar 68% hingga 88%. Kelembaban udara minimal terjadi pada bulan Oktober yang dipicu oleh curah hujan 0 mm yang terjadi dari bulan Juni hingga September. Kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Februari yang diakibatkan oleh curah hujan maksimal yang mencapai 300 mm. Rerata curah hujan tergolong kecil, yakni 108 mm dalam 94 hari dalam setahun.
71
Kelembaban udara minimal biasanya terjadi mulai bulan Juni hingga September karena kurun waktu tersebut merupakan bulan tanpa hujan (Tim BPS, 2010: 10 41). Penduduk Kabupaten Sumbawa berjumlah 420.750 kepadatan rata-rata 63 jiwa/km2.
jiwa dengan
Kepadatan tertinggi terjadi di Kecamatan
Sumbawa dengan 1.204 jiwa/km2, sedangkan Kecamatan Orong Telu, Kecamatan Ropang dan Kecamatan Lénangguar dihuni oleh 13 jiwa/km2. Kecilnya tingkat kepadatan penduduk berimplikasi pada lambatnya pertumbuhan ekonomi dan terbatasnya kesempatan kerja. Oleh sebab itu, lebih dari 7.000 pencari kerja memilih bekerja menjadi TKI di luar negeri, meskipun tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang memadai. Ditinjau dari agama yang dianut, hampir 96% penduduk Kabupaten Sumbawa menganut agama Islam. Oleh sebab itu musola dan mesjid dapat ditemukan di seluruh pelosok. Persentase penganut agama Hindu, Katolik, Protestan, Budha, dan kepercayaan lainnya sangat kecil. Sebagai wilayah yang sedang berkembang, etnis lokal harus bekerja keras mengejar kemajuan zaman dan mengimbangi ketrampilan kelompok pendatang. Tidak dapat dihindari munculnya perbedaan sosial ekonomi dan sudut pandang antara kelompok asli dan kelompok pendatang.
Perselisihan dan tindakan melawan
hukum kerap muncul terkait hubungan muda-mudi lintas etnis. Pada bidang pendidikan, Kabupaten
Sumbawa tergolong lebih maju
dibandingkan empat kabupaten/kota lain di Pulau Sumbawa. Program wajib belajar 12 tahun telah terealisasi hingga ke desa-desa dengan dukungan lembaga penyelenggara pendidikan dan pusat pengembangan keterampilan. Sentra-sentra
72
transmigran sudah dilengkapi dengan sekolah dasar. Di setiap kecamatan terdapat pasar tradisional, pusat layanan kesehatan, dan lembaga perkreditan. Meskipun demikian, jarak antara hunian transmigran dengan fasilitas umum masih sangat jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Jarak tempuh dan keterbatasan sarana transportasi menyisakan masalah rentan putus pendidikan dasar. Topografi wilayah Sumbawa merupakan tanah kering dengan kontur berbukit-bukit. Oleh sebab itu, masalah air menjadi masalah yang pelik bagi penduduk. Meskipun pemerintah sudah mengantisipasi kelangkaan air dengan menyediakan Wislick ‟tangki air‟, masih banyak daerah yang belum terjangkau. Penduduk wilayah Kecamatan Utan, Kecamatan Rhee, Kecamatan Plampang, dan Kecamatan Labangka sulit memperoleh air dari sumur yang digali secara tradisional. Penduduk wilayah barat, seperti Menini, Batu Pedu, Sebedo, dan Sepinduk memanfaatkan air rembesan akar pohon-pohon di punggung bukit, berbagi dengan babi hutan dan binatang liar lainnya. Dari mata air yang berjarak kurang lebih lima km dari perkampungan itu, air dialirkan ke rumah-rumah penduduk secara bergilir. Setiap keluarga berhak menerima pembagian air selama dua jam setiap dua hari untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Di sentra Prode dan Labangka, penduduk harus berjalan sejauh lima ratus meter untuk mendapatkan air dari tangki Wislick. Permasalahan air
dihadapi pula oleh
transmigran di Kecamatan Plampang yang harus mandi dan mencuci dengan air asin sebagai dampak lokasi yang berbatasan dengan teluk Santong. Pandangan lain menyebutkan bahwa rasa asin pada air sumur tradisional diprediksi berasal dari susunan abu vulkanik letusan Gunung Tambora.
73
4.3 Komunitas Transmigran Bali Keberadaan Etnis Bali di Sumbawa tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dalam upaya pemberdayaan penduduk dan pengembangan potensi daerah melalui program transmigrasi. Pemerintah menetapkan status Pulau Sumbawa sebagai penerima transmigran yang berasal dari Jawa, Madura, Bali, dan Lombok dengan Surat Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1973. Keputusan itu dilandasi perbandingan luas wilayah dan jumlah penduduk, setelah sebagian besar penduduk Sumbawa tewas
akibat meletusnya Gunung Tambora dan wabah
penyakit. Dengan menjadi destinasi transmigrasi, Kabupaten
Sumbawa yang
mewilayahi bagian tengah Pulau Sumbawa dan sederetan pulau kecil di pesisir utara, seperti Pulau Moyo, Pulau Medang, Pulau Panjang, Pulau Liang, Pulau Ngali, dan Pulau Rakit berhasil meningkatkan jumlah rata-rata penduduk menjadi 63 jiwa/km2. Masuknya pendatang ke Tana Samawa „tanah Sumbawa‟ berhasil mewujudkan misi percepatan pembangunan daerah dalam prioritas sebagai sentra pengembangan tanaman bahan makanan (Tabama) dan budi daya ternak (Tim BPS, 2010: 60; 195). Perlu ditegaskan bahwa penempatan transmigran Bali di Sumbawa berbeda dengan pemberangkatan antarpulau sebelumnya. Bila pemberangkatan ke berbagai wilayah di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi diselenggarakan melalui program transmigrasi umum (Malini, 2011: 173), pemberangkatan ke Pulau
Sumbawa bersifat swakarsa atau spontan. Artinya, perpindahan baru
terlaksana setelah masyarakat aktif menghimpun diri, bersedia menanggung seluruh beaya pemberangkatan, dan memperoleh rekomendasi penempatan dari
74
pemerintah daerah tujuan. Penempatan pertama terjadi pada bulan Juli 1969 di Kecamatan Lunyuk, sekitar 95 km selatan kota Sumbawa Besar. Di bawah pimpinan Pan Satub dan I Nyoman Sutantra, kelompok perintis yang terdiri atas 28 KK itu berhasil menembus hutan Lenangguar dalam dua hari perjalanan. Daerah yang diperuntukkan bagi transmigran Bali dikenal sebagai daerah tertutup di kalangan etnis Samawa. Mitos yang berkembang menyatakan bahwa setiap orang yang memasuki wilayah tersebut tidak akan dapat keluar dalam kondisi sehat, tetapi menjadi gila atau mati kelaparan. Wilayah yang diyakini angker itu kini bernama Desa Sukamaju. Dalam tiga gelombang berikutnya, Kecamatan Lunyuk terus menjadi tujuan transmigran Bali. Pada tahun 1972 transmigran dari Lombok Timur dan transmigran lokal juga mengambil lokasi di Lunyuk. Dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1973, lokasi penempatan transmigran diperluas meliputi beberapa kecamatan di bagian barat, selatan, dan timur ibu kota kabupaten. Gelombang transmigran Bali yang tiba pada tahun 1975 hingga tahun 1978 ditempatkan di daerah Kecamatan Labuan Badas, khususnya Desa Kanar dan Sampar Maras. Periode tahun 1980-1981 penerimaan transmigran Bali di Sumbawa dihentikan karena terjadi kerusuhan. Perkampungan Bali dikepung dan beberapa rumah dibakar massa. Kondisi genting juga memaksa transmigran Bali mengungsi ke lereng bukit atau meninggalkan Pulau Sumbawa untuk sementara waktu. Setelah kondisi kondusif, kelompok transmigran Bali mulai berdatangan dan ditempatkan di Kecamatan Utan, Kecamatan Rhee, dan Kecamatan Plampang. Kelompok terakhir ditempatkan di sentra pemukiman (SP) Prode dan
Labangka.
Antusiasme transmigran Bali
75
berpindah ke Kabupaten Sumbawa dimotivasi oleh keinginan memperoleh lahan tanam yang luas. Pemilihan pulau Sumbawa didasarkan atas pertimbangan jarak tempuh, vegetasi rendah, dan tipe tanah terbuka. Kini, generasi yang produktif adalah generasi kedua atau ketiga (Wawancara dengan ketua PHDI Kabupaten Sumbawa). Tampaknya kontribusi Etnis Bali dalam memajukan potensi daerah telah mendapat pengakuan dan diwujudkan dalam logo pemerintah daerah. Etnis Bali, Jawa, dan Sasak disatukan dalam sebutan etnis Majapahit dan dikukuhkan sebagai satu dari lima etnis pendukung kemajuan pembangunan Kabupaten Sumbawa. Empat etnis lainnya adalah Etnis Samawa, Etnis Bugis, Etnis Makasar, dan Etnis Banjar. Pada logo pemerintah daerah, kelima etnis itu disimbolkan dengan akar yang menyangga tegaknya pohon beringin (Tim BPS, 2010: ix, 196). Komunitas Bali dapat ditemukan di kota kabupaten ataupun di pedesaan. Komunitas Bali yang menetap di kota kabupaten bekerja sebagai wirausahawan atau pegawai. Mereka umumnya merupakan mantan karyawan unit Pekerjaan Umum yang dikirim dari Bali untuk pengerjaan jalur Sumbawa-Bima. Sebagian lagi merupakan mantan pencari kayu sawo atau kayu eboni di Pulau Moyo untuk bahan patung di Bali. Bersamaan dengan selesainya proyek Trans Sumbawa dan dikeluarkannya larangan menebang kayu di pulau-pulau kecil di kawasan utara pulau Sumbawa, mereka memutuskan untuk menetap di Pulau Sumbawa sebagai karyawan pada dinas setempat. Sebagian kecil lainnya merupakan transmigran yang gagal memperoleh lahan di tempat tujuan. Transmigran gagal itu enggan pulang ke Bali dan memilih hidup di kota dengan berwirausaha, sementara ada
76
juga yang berpindah ke Sumbawa karena tuntutan pekerjaan.
Sekitar 80%
transmigran Bali hidup di sentra pemukiman dengan mata pencaharian sebagai petani. Data statistik Kabupaten Sumbawa 2010 mencatat jumlah komunitas transmigran Bali mencapai 11.264 jiwa, dan jumlah itu diprediksi sudah berkembang pesat. Berikut sebaran pemukiman komunitas Bali (diadopsi dari Tim BPS, 2010: 196). Tabel 4.1 Komunitas Bali di Sumbawa
No.
Kecamatan o
Jumlah
No
Kecamatan
Jumlah
1.
Sumbawa 1
2.939 jiwa
10. Alas 10 Barat
57 jiwa
2.
Lunyuk 2
2.467 jiwa
11. Moyo 11 Hulu
36 jiwa
3.
Labuan 3 Badas
1.398 jiwa
12. Lopok 12
20 jiwa
4.
Utan 4
1.403 jiwa
13. Lapé 13
18 jiwa
5.
Rhéé 5
1.060 jiwa
14. Lénangguar 14
13 jiwa
6.
Plampang 6
927 jiwa
15. Moyo 15 Hilir
11 jiwa
7.
Labangka 7
664 jiwa
16. Empang 16
9 jiwa
8.
Alas 8
142 jiwa
17. Buér 17
7 jiwa
9.
Tarano 9
93 jiwa
Total :
11.264 jiwa
Tabel (4.1) di atas menunjukkan sebaran transmigran Bali dengan jumlah terbesar bermukim di Kecamatan Sumbawa. Jumlah komunitas Bali di kota Sumbawa
sebagian besar bukan merupakan kelompok transmigran yang
berpindah untuk memperoleh lahan, tetapi kelompok yang menetap karena alasan pekerjaan. Komunitas Bali dapat ditemukan pada hampir setiap kecamatan di Kabupaten Sumbawa, kecuali Kecamatan Orong Telu, Kecamatan Batulanteh,
77
Kecamatan Unter Iwes, Kecamatan Moyo Utara, Kecamatan Ropang, Kecamatan Lantung, dan Kecamatan Maronge. Jadi, transmigran Bali dapat ditemukan pada sebagian besar wilayah kecamatan di Kabupaten Sumbawa. Secara spasial, ada kecenderungan pola penataan kelompok transmigran. Etnis asli Sumbawa ditempatkan pada wilayah desa yang berdekatan dengan pusat kegiatan
umum
atau
kota
kecamatan.
Tampaknya
pemerintah
daerah
memrioritaskan relokasi etnis asli sebelum pencanangan lahan bagi transmigran luar pulau. Setiap sentra dibentuk dengan mempertemukan minimal tiga etnis, yakni, satu etnis asli dan dua etnis pendatang. Etnis asli menghuni lahan yang paling datar,
dekat dengan akses jalan raya, dan fasilitas sosial.
pendatang ditempatkan di wilayah yang lebih
Kelompok
menjorok ke dalam, berbukit,
dengan akses jalan yang memprihatinkan. Komunitas Bali umumnya memilih lokasi yang paling dalam, jauh dari pusat keramaian, berbatasan dengan bukit atau berdampingan dengan laut. Di sentra selatan, komunitas Bali hidup berdampingan dengan komunitas
Samawa dan
Sasak. Di sentra timur,
komunitas Bali
bertetangga dengan komunitas Samawa dan Jawa, sedangkan di sentra barat, komunitas Bali hidup berdampingan dengan komunitas Samawa,
Bugis, dan
Sasak. Persatuan
antarkomunitas di
sentra transmigran diwadahi
Forum
Kerukunan antar Umat Beragama (FKUB). Tujuan forum itu untuk membina keharmonisan, menjembatani perbedaan
antarkomunitas agar dapat secara
bersama-sama mengembangkan potensi daerah. Dibandingkan dengan sesama kelompok pendatang, hubungan dengan komunitas lokal terjalin lebih akrab.
78
Persentuhan komunitas Bali dan Samawa telah terjalin sejak awal pemukiman. Sebagai contoh, komunitas lokal bertindak sebagai pensuplai air minum, laukpauk, makanan jadi, hingga penyedia lahan tambahan. Saat ini, aktivitas jual beli antaretnis tidak saja dilakukan dengan uang, tetapi juga dengan sistem barter. Etnis asli menukarkan lahan dengan sapi, sepeda, tali, atau radio. Kelompok pendatang umumnya menukarkan hasil kebun dan beras dengan makanan olahan. Ditinjau dari tipe petani, transmigran Bali adalah petani pemilik penggarap. Artinya, lahan yang dimilikinya diolah dan ditanami secara mandiri, tanpa melibatkan penyakap. Proses penanaman dan panen dikerjakan dengan sistem maslisian ‟gotong royong‟ internal kelompok. Kekurangan tenaga kerja diambil dari etnis Samawa dengan upah harian berkisar antara Rp 50.000,00 – Rp 60.000,00 (limapuluh ribu rupiah hingga enam puluh ribu rupiah). Pemilik lahan dapat mempekerjakan tiga puluh hingga lima puluh orang pekerja dalam satu lokasi sesuai dengan luas lahan. Setiap KK memiliki lahan tanam bervariasi mulai dari 3-8 hektar. Pada setiap sentra, tujuh puluh lima persen luas lahan pertanian dikuasai oleh komunitas Bali. Komoditas yang diproduksi adalah jagung, kacangkacangan, buah-buahan, dan padi. Jagung dipandang sebagai tanaman primadona. Dalam sekali panen, petani dapat memperoleh 6 hingga 7 ton jagung kering /hektar atau setara dengan Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) bersih. Tidak jarang transmigran menyewa lahan etnis asli untuk menambah area tanam dan meningkatkan jumlah penghasilan. Akan tetapi, produksi jagung dapat menyusut pada kemarau panjang dan hantaman angin kering.
79
Hasil wawancara menunjukkan bahwa TNNGB yang dipraktikkan tidak seluruhnya merupakan teks yang dibawa dari Bali. Para pamangku tidak membawa buku atau lontar apapun ke Sumbawa, bahkan sebagian besar di antaranya tidak dapat membaca lancar. Buku-buku penuntun mulai diusahakan ketika pemukiman sudah mulai tertata, atau sekitar lima tahun setelah penempatan. Menghadapi kemarau panjang yang menyulitkan semua petani, pamangku terpanggil pulang ke Bali mencari acuan dan belajar. Akan tetapi, teks yang diperoleh adalah teks nerang ‟tolak hujan‟ yang bersifat lisan. Teks nerang inilah yang kemudian dimodifikasi disesuaikan dengan kebutuhan. Kondisi tadah hujan tidak memungkinkan nonfungsional.
teks
nerang
difungsikan
dan
dinyatakan
sebagai
teks
Teks nerang bahkan diyakini dapat membahayakan partisipan
kunci dan lingkungan. Dengan berpedoman pada teks nerang yang sudah dipelajari, teks neduh ‟panggil hujan‟ mulai disusun. Selanjutnya, teks neduh ‟panggil hujan‟ dipraktikkan dan diterima sebagai teks fungsional (Wawancara dengan Mangku Dastra, Plampang).
4.4 Organisasi Sosial Di daerah pemukiman terdapat dua jenis organisasi sosial yang mewadahi proses sosialisasi antaranggota. Organisasi sosial antarkomunitas mewadahi semua komunitas di wilayah satu kecamatan dan memfasilitasi perbedaan yang ada pada masing-masing kelompok. Pada wilayah sederajat desa juga terbentuk kelompok yang lebih kecil yang beranggotakan semua anggota kelompok bersangkutan.
80
Organisasi antarkomunitas memiliki
sifat keanggotaan yang terbuka bagi
kelompok-kelompok yang berada pada satu lingkungan kecamatan.
4.4.1 Organisasi antarkomunitas Satu-satunya organisasi yang bersifat terbuka bagi semua kelompok adalah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Keanggotaan orgnisasi kerukunan itu meliputi semua komunitas yang menetap di suatu kecamatan, baik yang menganut agama Islam, Kristen, Hindu, Bhuda, Katholik, maupun aliran kepercayaan lainnya. Kepengurusan organisasi kerukunan terdiri atas tokoh adat dan pemuka agama. Organisasi kerukunan bertujuan menciptakan keharmonisan antarkomunitas
termasuk
meminimalisasi
kemungkinan
perselisihan,
dan
menjembatani berbagai perbedaan pandangan. Pada pernikahan antaretnis, organisasi kerukunan itu mensyaratkan adanya pengenalan dan pengajaran prinsipprinsip dasar agama yang akan dianut dan dikuatkan dengan bukti tertulis yang sah menurut hukum bagi calon pasangan yang akan beralih keyakinan. Organisasi itu juga mengatur tatanan sosial masyarakat, misalnya pemeliharaan ternak, pembukaan kios, di samping hukuman bagi pelaku tindak pidana. Contohnya, pemeliharaan babi harus dikandangkan tersembunyi dari pandangan umum, sedangkan anjing tidak boleh dipelihara di areal perkampungan. Anggota kelompok tidak dibolehkan membuka kios di luar sentra etnisnya. Oknum yang terbukti melakukan tindakan melawan hukum diwajibkan meninggalkan desa. Sebagai bentuk toleransi terhadap kepentingan kaum mayoritas, pemeliharaan anjing hanya dilakukan di gubuk perladangan. Penduduk juga gemar memelihara
81
anjing pemburu yang ditugaskan menjaga ladang dari serbuan monyet, babi hutan, banteng, atau rusa. Satu-satunya sentra pemukiman transmigran Bali yang memiliki tata kelola air adalah Desa Sukamaju, Lunyuk. Pengelolaan air ditangani oleh P3A (Perkumpulan Petani Pengelola Air) yang bekerja sama dengan JPA (Juru Pintu Air) yang bertugas di dam induk Pelara. Pengurus P3A dibantu oleh Malar (pengatur air) bertugas mengawasi pembagian air. Sawah-sawah dapat ditanami tiga kali setahun dengan dua kali padi dan sekali palawija, sedangkan lahan kering di punggung-punggung bukit hanya dapat ditanami jagung satu kali dalam setahun. Dengan sistem pembagian air yang bagus tidak mengherankan produksi melimpah-ruah sehingga Lunyuk dijuluki ”Lumbung Sumbawa”. Ironisnya, sungai Brang Beh yang melintasi Kecamatan Lunyuk hampir setiap empat tahun membawa petaka banjir yang merendam lahan persawahan, merusak pondok, dan menghanyutkan ternak. Penduduk lokal masih meyakini mitos datuk Beh yang menyatakan bahwa sungai Beh merupakan lintasan bagi datuk Beh „naga jantan‟ untuk menemui naga betina yang bersemayam di muara. Pertemuan dua naga itu terjadi di gumbleng „aliran yang berkelok-kelok‟ di desa Sukamaju. Setelah banjir reda akan muncul koloni ikan ipin yang sangat lezat. Kisah enaknya ikan ipin dapat ditemukan pada lawas berikut.
Tangis anakne datuk Beh tangis anak-DEF raja besar „Tangis anaknya Datuk Beh‟ Siong tangis tekan tonang NEG tangis gelang kalung „Tidak meminta gelang kalung‟
82
Tangis ipin katutimu tangis ipin masak-PAS „Meminta ikan ipin yang lezat‟
Lawas Datuk Beh dapat dilihat sebagai anjuran membiasakan diri menjalani pola hidup sederhana, tanpa perhiasan yang berlebihan. Sementara itu, mitos datuk Beh mengajarkan hidup bersyukur karena selalu ada kebaikan yang disisakan dari musibah tertentu. Akan tetapi, pemahaman yang keliru terhadap implementasi hidup syukur dan sederhana itu berdampak pada lambatnya perkembangan sosial-ekonomi masyarakat lokal.
4.4.2 Organisasi intrakomunitas Terlepas dari tata pembagian wilayah secara administratif, komunitas Bali membentuk organisasi internal yang mengatur pelaksanaan adat secara mandiri. Transmigran membentuk desa adat, dusun, tempekan atau sekaa. Sebagai contoh, dari 11 desa di Kecamatan Plampang, komunitas Bali dapat ditemukan di lima desa, seperti desa SP 2 Prode, SP 3 Prode, Sepakat, Sepayung dan Plampang dengan jumlah sekitar 276 KK. Persatuan komunitas Bali tingkat kecamatan dipimpin oleh seorang pamangku yang menjabat sebagai ketua PHDI tingkat kecamatan. Untuk tingkat yang lebih rendah, koordinasi dilakukan oleh kelian atau bendesa ‟ketua adat‟. Sebagai desa tertua, desa adat Sepayung tidak saja menaungi transmigran di Kecamatan Plampang, tetapi juga trasmigran Bali yang bermukim di Kecamatan Empang dan Kecamatan Labangka. Secara internal, organisasi keadatan Plampang terdiri atas tiga desa adat, yakni desa adat Sepayung, desa adat Prode SP 2, dan desa adat Prode SP 3. Sementara itu,
83
transmigran di Desa Sepakat, Kecamatan Empang, dan Kecamatan Plampang menggabungkan diri sebagai tempekan di bawah desa adat Sepayung. Setiap desa adat dilengkapi pura Kahyangan Tiga, areal kuburan, dan balai masyarakat. Meskipun demikian, tidak jarang salah satu dari pura Kahyangan Tiga itu terletak pada desa atau kecamatan yang berbeda secara administratif. Kebersamaan warga antarsentra yang berdampingan terlihat jelas pada pelaksanaan melasti dan tawur agung dalam rangkaian pergantian tahun Çaka. Pada setiap sentra didirikan pasraman sebagai pusat pewarisan budaya Bali. Ruang belajar dan tenaga pengajar diusahakan secara swadaya, sedangkan fasilitas belajar merupakan bantuan pemerintah melalui Kementerian Agama. Pasraman menjadi pusat kegiatan belajar agama bagi siswa tingkat dasar hingga menengah atas, sebagai solusi keterbatasan pengajar agama Hindu.
Dari
pelatihan dan pengajaran di pasraman inilah pelajar memperoleh nilai rapor untuk mata pelajaran agama. Pendidikan di pasraman dapat dilihat sebagai upaya pemertahanan identitas kelompok di tengah kaum mayoritas. Di samping organisasi keadatan, ditemukan juga organisasi kecil yang disebut sekaa „kelompok‟. Kelompok tani, sekaa makidung „kelompok bernyanyi‟, sekaa janger „kelompok tari‟, sekaa tabuh „kelompok orkestra‟, dan sekaa maslisian „kelompok panen‟ mudah ditemukan. Kelompok yang paling unik adalah sekaa sémér „kelompok sumur‟ atau kelompok ai „kelompok air‟. Kelompok sumur di Plampang beranggotakan lima hingga delapan kepala keluarga yang secara bergantian bertugas memeriksa bak dan pipa dari sumur ke
84
rumah-rumah dan ladang gembala.
Air sumur ditampung dalam bak besar
sebelum digunakan untuk MCK.
4.5 Adat dan Budaya Religi Transmigran Bali masih mempertahankan adat dan budaya daerah asal dalam hal pola penataan pekarangan rumah yang mengaplikasikan konsep Asta Kosala-Kosali „aturan tata ruang‟. Pekarangan disimbolkan sebagai tubuh yang memiliki bagian kepala, badan, dan anggota. Arah terbitnya matahari atau gunung diidentikkan dengan kepala sehingga dijadikan tempat bangunan suci.
Arah
terbenamnya matahari atau laut dipandang ruang kotor yang dimanfaatkan untuk lokasi dapur, kamar mandi, atau kandang ternak. Bagian tengah pekarangan merupakan rumah tinggal. Di situ tidak ditemukan jineng „lumbung padi‟ atau bale adat yang berfungsi religius. Pada lingkup desa terdapat pura Kahyangan Desa dan pura kelompok. Pura kelompok yang ditemukan di setiap sentra adalah pura Penyawangan Dalem Nusa atau Penataran Dalem Péd sebagai tempat pemujaan figur Ratu Gede Mas Macaling. Tata cara pelaksanaan piodalan pura tampak unik karena sebagian besar bahan upacara merupakan donasi masyarakat. Barang yang dapat disumbangkan di antaranya, semat, janur, kayu bakar, jajan, tebu, daun pisang, pisang, wakul, tamas, ceper, atau kelapa, di samping dua kilogram beras dan uang sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai sumbangan wajib.
Upacara umumnya
dilaksanakan secara sederhana sesuai dengan ajaran Siwa Bhuda, tanpa rangkaian nyejer „perayaan hari kedua atau ketiga‟ atau makemit „berjaga di pura‟. Aktivitas masaiban „menghaturkan persembahan harian‟ di tingkat keluarga jarang
85
ditemukan. Mabanten canang dilakukan pada sanggah atau pelinggih pada harihari tertentu. Perayaan otonan „hari lahir‟, upacara penghargaan terhadap hewan piaraan, tumbuhan, peralatan besi yang biasanya dilakukan pada tumpek menurut kalender Bali sudah mulai ditinggalkan. Tradisi tabuh rah „sabung ayam‟ cenderung digantikan dengan kelapa dan telur. Pengelolaan tradisi keadatan pada tingkat desa adat dilakukan oleh pangurus adat dan paguyuban pamangku. Dua organisasi itu bekerja bersinergi untuk kepentingan bersama. Pengurus desa adat bertugas untuk menjalankan tugas keadatan. Organisasi itu dipimpin oleh ketua adat yang disebut klian adat atau bendesa. Dalam menjalankan tugas, ketua adat dibantu oleh sekretaris, bendahara, juru arah dan serati. Pengurus adat adalah penanggung jawab atau penggerak dalam melaksanakan ritual sebagaimana rencana yang telah disepakati
oleh pihak
pamangku dengan pangurus adat. Oleh karena itu, pada setiap perencanaan ritual, ketua adat harus berkordinasi dengan pihak pamangku yang akan nganteb „menyelesaikan, memimpin ritual‟. Sekretaris bertugas mendokumentasikan hasilhasil rapat. Bendahara bertanggung jawab menghimpun dana warga dan mendistribusikannya sesuai dengan keperluan. Juru arah bertugas menyampaikan hasil rapat kepada anggota atau kepada ketua tempekan. Serati bertanggung jawab dalam pengadaan sarana ritual. Biasanya serati dikordinasi oleh istri pamangku. Sebagai pengabdi sosial, ketua adat, sekretaris, bendahara, juru arah dan serati dibebaskan dari urunan „kewajiban‟ anggota.
86
Paguyuban pamangku adalah organisasi yang beranggotakan para pamangku pura yang dipuja oleh seluruh komunitas, seperti pamangku pura Puseh, pura Desa, pura Dalem dan pura Prajapati. Pamangku dipilih dengan memperhatikan garis keturunan. Artinya, orang yang berasal dari keluarga pamangku diharapkan bersedia ngayah „mengabdi‟ setelah kasungkemin „disyahkan‟. Selain menjalankan tugas
memimpin upacara, pamangku
berkewajiban memelihara kebersihan area pura. Sebagai imbalan pengabdiannya, pamangku mendapat hak guna pakai laba pura „tanah milik pura‟ Luas tanah laba yang berlokasi di samping pura itu umumnya tidak kurang dari setengah hektar. Paguyuban pamangku dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh masyarakat melalui bendesa adat dan kelompok pamangku Kahyangan Desa. Pertimbangan penunjukan mencakup kemampuan dalam penguasaan mantra, tata cara upacara, niwakang dewasa ‟menghitung hari baik‟, memberi pencerahan agama, dan aspek lain. Ketua paguyuban pamangku bertanggung jawab secara langsung pada setiap pelaksanaan ritual sejak tahap persiapan hingga selesai. Bila berhalangan, ketua pamangku dapat menugaskan pamangku lain untuk menyelesaikan ritual
atau membagikan tugas kepada pamangku lain bila ada
kegiatan yang membutuhkan beberapa penyelesaian atau berlangsung pada waktu yang bersamaan. Secara rinci ketua paguyuban pamangku memiliki tugas utama sebagai berikut: (a) memimpin upacara yang berskala desa adat dan menjaga kesucian pura; (b) membina pamangku lain dalam pemahaman keagamaan; (b) mewakili komunitas pada organisasi kerukunan umat beragama;
87
(c) menanamkan pengetahuan keagamaan dan tradisi bagi kaum muda; (d) menjawab pertanyaan kelompok lain terkait kebiasaan keetnisan. Isu sentral yang sering dipertanyakan oleh etnis lain adalah pengesahan pernikahan, konsep banyak pura,
kitab suci, makna banten,
dan prosesi
pembakaran jasad. Sebagian besar pamangku mengikuti paham Siwa Bhuda yang mementingkan kesucian niat di atas kompleksitas sarana. Hal itu diidentikkan dengan mendengarkan swaraning wong pejah ‟suara orang mati‟ atau membaca lontar tanpa sastra ‟lontar tak bertulis‟. Tampaknya,
tatwa ‟filsafat agama‟
mendapat perhatian utama dibandingkan dengan prasarana.
4.6 Kebahasaan Sebagai alat komunikasi antarkomunitas digunakan Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia juga digunakan ketika menerima tamu atau orang tak dikenal, berbicara di tempat umum, atau saat bepergian ke luar desa. Terhadap komunitas lokal digunakan bahasa campuran Samawa dan Indonesia. Dalam interaksi internal kelompok digunakan Bahasa Bali dengan dua dialek, yakni basa Nusa ‟Lek Nusa‟ dan basa Bali ‟dialek Bali dataran‟. Lek Nusa mendominasi sistem komunikasi mengingat sebagian besar transmigran berasal dari Nusa Penida dan sekitarnya. Mereka rata-rata tidak fasih berbahasa Bali dan enggan mempelajari tingkatan bahasa yang rumit. Kelompok Nusa menggunakan bahasa yang tidak mengenal tingkatan dan dilantunkan dengan aksen khas. Mereka merasa tidak pantas berbahasa Bali karena berprofesi sebagai tani kui „petani bodoh‟. Penutur Bahasa Bali diidentikkan dengan kaum cendikia yang
88
menjunjung tata kesopanan. Berikut ditampilkan struktur pronomina Bahasa Bali lek Nusa. Tabel 4.2 Struktur Pronomina Lek Nusa
Pronomina
Subjek
Komplemen
Posesif
I
Tunggal
kola /k:l /
la / l /
la / l /
Jamak
éba /èb/
ba /b/
ba /b/
II
éda /èdə/
da /də/
da /də/
III
éa /èyə/
éa /èyə/
éa /èyə/
Berdasarkan tabel (4.2) di atas diketahui bahwa bentuk pronomina dalam lek Nusa memiliki bentuk khas dan berbeda dengan Bahasa Bali dialek daratan. Bentuk pronomina itu tidak lazim digunakan oleh penutur ahasa Bali. Contoh pemakaian pronomina disajikan di bawah ini.
(4.1)
a.
Mémék la ngladang Ibu-DEF 1TG -ladang „Ibu saya bekerja di ladang‟
b.
Ea nyagor da kanti besoh 3TG -pukul 2TG KONJ bengkak „Dia memukul kamu hingga bengkak‟
c.
Kola maléang tuék la klambi 1TG -beli nenek 1TG baju „Saya membelikan nenek saya baju‟
Klausa (4.1) menunjukkan pemakaian pronomina la „milik saya‟, éa „dia‟, da „kamu‟, dan kola „saya‟ yang masing-masing berfungsi sebagai possesor (a),
89
Subjek dan Komplemen (b), dan benefaktif (c). Klausa (a) memiliki predikat ngladang „ke ladang atau bekerja di ladang‟ merupakan klausa nominal yang berasal dari nomina ladang dan dilekati pemarkah verba aktif {-}. Ngladang dapat disejajarkan dengan melaut dalam Bahasa Indonesia, yakni Predikator dan lokatif berfusi yang merujuk pada kebiasaan atau mata pencaharian. Pada klausa tersebut terjadi perubahan peringkat (rank shift), artinya, ngladang dapat dilihat sebagai bentuk gabungan frasa verbal dan frasa adverbial yang fungsi sebagai
predikat. Predikat nyagor „memukul‟ (b)
menjalankan dan meleang
„membelikan‟ (c) sepadan dengan verba nyagur dan meliang pada Bahasa Bali dialek daratan. Bunyi vokal ke dua pada verba nyagur dan meliang tampak memperoleh pelemahan. Di samping perbedaan pronomina, lek Nusa juga memiliki kosakata yang khas, seperti ditampilkan dalam tabel berikut. Tabel 4.3 Kosakata Bahasa Bali Lek Nusa
No
Bahasa Bali Lek Nusa
Arti
Dialek dataran
1.
bletok 1
bényék
kotor, berlumpur
2.
tua 2
pekak
kakek
3.
jaha 3
dija
ke mana
4.
lépéh 4
kenyel
lelah
5.
marau 5
won
payah
6.
ndok 6
tusing
tidak
7.
ngahot 7
ngugut
menggigit
8.
ngamah 8
madaar
makan
90
Tabel (4.3) menampilkan kosakata lek Nusa yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Verba ngamah „makan‟ dipakai secara luas, sedangkan pada Bahasa Bali dialek daratan verba ngamah diperuntukkan bagi hewan atau dipakai sebagai kata makian. Ditinjau dari sudut fonologis, proses pengenduran vokal ditemukan dalam frekuensi yang tinggi. Fitur unik lain adalah pemertahanan bunyi frikatif /h/ di tengah suku kata yang biasanya dilesapkan pada dialek daratan. Proses fonologis ditampilkan pada tabel berikut. Tabel 4.4 Pergeseran Vokal
No.
Lek Nusa
Bahasa Bali
Arti
1.
kuhud
kuud
kelapa muda
duhi
dui
duri
nyahét
nyait
menjahit
jahé
jaé
jahe
barong
bareng
ikut
badong
badeng
hitam
tebol
tebel
tebal
besoh
beseh
bengkak
sékot
seket
lima puluh
getéh
getih
darah
lebéh
lebih
lebih
besék
besik
satu
séap
siap
ayam
2.
3.
4.
5.
6.
91
léma
lima
lima
oyah
uyah
garam
opin
upin
tiup
bongkong
bungkung
cincin
olong
ulung
jatuh
9.
ékoh
ikuh
ekor
10.
sempi
sampi
sapi
7.
8.
Tabel (4.4) menunjukkan variasi bunyi vokal dan semivokal pada lek Nusa. Bunyi frikatif /h/ (1, 2) pada posisi di antara dua vokal, seperti tampak pada [duh] dan [jah] dipertahankan pada lek Nusa. Akan tetapi, hampir semua bunyi vokal yang memiliki ciri silabis atau puncak kenyaringan mendapat pergeseran tempat artikulasi. Pada (3, 4) fonem /ə/ pada posisi final dibundarkan menjadi //. Kata [badə] dibunyikan [bad] akibat pengaruh vokal bawah /a/ yang mendahuluinya. Bunyi /ə/ yang tergolong vokal tengah mengalami pembulatan menjadi vokal belakang bila berada pada suku terakhir, sedangkan bunyi /ə/ pada suku posisi awal tetap dipertahankan seperti [bəsh]. Pada (5, 6) tampak fonem /i/ yang yang tergolong vokal tinggi depan dikendurkan menjadi vokal tengah //. Pengenduran berlaku juga pada bunyi tinggi depan /i/ pada suku pertama ataupun suku kedua, seperti pada kata /gəth/ dan /sap/. Pada (7, 8) fonem belakang bulat tinggi /u/ di posisi awal ataupun tengah dikendurkan menjadi vokal tengah belakang //, misalnya [uyah] dibunyikan
[yah] dan
[buku] dibunyikan [bk]. Pada (9), kata [ikuh] dibunyikan [kh] setelah
92
melewati proses pelemahan secara harmoni, yakni bunyi inisial /i/ dilemahkan menjadi // dan bunyi /u/ dilemahkan menjadi //. Pelemahan juga dapat dilihat pada kata [sampi] yang dibunyikan [səmpi].
BAB V STRUKTUR SKEMATIK
5.1 Pengantar Sebagai bahasa yang menjalankan fungsi, setiap teks selalu memiliki skema tertentu yang menjelaskan ranah. Skema yang dimunculkan dapat digunakan oleh pelibat lain mengenali ranah pembicaraan. Selanjutnya, skema percakapan dapat menuntun pelibat untuk memberi respon yang sesuai. Eggins (1994: 26) mendefinisikan ranah (genre) sebagai
wadah atau cara yang
berorientasi pada tujuan atau aktivitas yang bertujuan dalam cara-cara yang sesuai dengan budaya pembicara. Realisasi suatu ranah mengacu pada bagaimana sesuatu dilaksanakan dengan bahasa ketika bahasa digunakan untuk mewujudkan tujuan tertentu. Dengan demikian, suatu ranah tertentu memiliki struktur generik yang khas dilihat dari tahap-tahapan atau pilihan leksikon yang digunakan. Pola penahapan dan langkah kerja yang dilakukan oleh suatu kelompok mencerminkan kebiasaan kelompok bersangkutan untuk merealisasikan suatu ranah. Jadi, tahaptahapan memiliki kontribusi positif dalam merepresentasikan ranah ke dalam teks. Secara teoretis, struktur skematik merupakan cara atau tahap pergerakan dari A ke B pada suatu budaya untuk menunjukkan fungsi bahasa pada budaya yang bersangkutan. Dalam upaya mencapai suatu maksud itulah, suatu komunitas memiliki tata cara yang dapat saja berbeda dengan komunitas lainnya. Misalnya, pada transaksi jual-beli dibutuhkan tahapan yang berbeda dengan teks 93
94
mendongeng atau bertaruh. Singkatnya, skema tahapan merupakan urutan kegiatan dalam merealisasikan suatu ranah dalam menjalankan fungsinya. Jadi, struktur skematik mencakup penahapan seluruh peristiwa teks, baik menyangkut struktur bahasa, struktur makro, maupun struktur mikro. Perbedaan tahapan dan langkah kerja tergantung pada budaya dan situasi yang melatarbelakanginya. Situasi seperti apa yang dibicarakan, cara pelibat membicarakannya, dan partisipan yang terlibat dalam situasi tersebut dijiwai oleh budaya komunitas bersangkutan. Ranah sebagai konteks budaya selanjutnya direalisasikan dalam konteks situasi yang ada di bawahnya. Konteks situasi itu terdiri atas tiga komponen berikut (Eggins, 1994: 52). (1)
Medan (field) yakni unsur yang merujuk pada sesuatu atau peristiwa yang sedang terjadi yang di dalamnya terlibat pembicaraan dengan media bahasa.
(2)
Pelibat (tenor) mengacu pada orang-orang yang terlibat dalam peristiwa bahasa, peran pelibat, kedudukan para pelibat, jenis hubungannya dengan pelibat lain yang mempunyai arti penting dalam peristiwa yang tengah berlangsung.
(3)
Sarana (mode) merujuk pada peran yang dimainkan oleh bahasa yang dipakai oleh para pelibat. Struktur skematik tidak hanya mencakup rangkaian peristiwa pembentuk
teks, tetapi juga struktur struktur konstituen dan label fungsi. Struktur konstituen adalah tata urutan konstituen pembentuk teks. Label fungsi adalah fungsi yang dijalankan oleh klausa tertentu untuk mendukung fungsi yang lebih besar, baik yang berkaitan dengan fungsi formal gramatika maupun fungsi semantik
95
fungsional.
Teks tidak diukur dari jumlah kata yang digunakan, tetapi
kompleksitas fungsi dalam interaksi sosial. Dalam sudut pandang fungsi, sebuah teks diibaratkan buku, yang secara formal tersusun atas beberapa bab, dan secara fungsional tersusun atas bagian-bagian yang saling berkaitan. Bagian-bagian itu ada yang menjalankan fungsi sebagai pembukaan, isi, atau penutup. Lebih lanjut, setiap bagian tersebut juga mengemban fungsi tertentu, seperti tujuan, latar belakang, argumentasi dan lain-lainnya (Eggins, 1994: 37). Pandangan fungsional didukung pula oleh Larson (1998: 383) yang menyatakan bahwa suatu teks terdiri atas proposisi, yakni konsep-konsep yang berupa unit-unit semantik yang dikomunikasikan. Dari konsep-konsep tersebut ada yang bertindak sebagai konsep sentral dan yang lainnya adalah konsep yang berkaitan dengan konsep sentral tersebut. Konsep-konsep dapat dikelompokkan berdasarkan klaster proposisi sehingga terbentuk episode sesuai dengan struktur semantiknya. Dengan demikian, suatu teks pada dasarnya tidak hanya memiliki tata urutan tahap-tahapan teks
yang lebih kecil, tetapi setiap teks besar,
menengah, dan kecil juga memiliki fungsi yang mencerminkan kepaduan di antara komponen-komponennya.
5.2 Struktur Kebahasaan Dari segi kode bahasa yang digunakan, TNNGB tergolong teks yang menggunakan kode bahasa majemuk. Teks disusun oleh teks-teks yang lebih kecil yang dikodekan dengan satu hingga tiga bahasa. Pada setiap tahapan selalu dimunculkan kode bahasa aktif, Bahasa Bali. Pada fase tertentu Bahasa Bali
96
dikombinasikan dengan bahasa pasif, di antaranya, Bahasa Sanskerta atau Bahasa Sanskerta dan Bahasa Jawa Kuna. Dengan demikian, pelapisan struktur kebahasaan TNNGB terdiri atas bahasa aktif yang dikombinasikan dengan bahasa pasif yang berstatus nonmedia interaksi. Pemakaian bahasa pasif dapat dilihat sebagai media memasuki ranah sensitif ketika seseorang berdoa, memuja, dan memohon perlindungan Tuhan. Penguasaan bahasa pasif umumnya bersifat pasif, dalam arti tuturan yang dilantunkan tidak dipahami secara harfiah. Bentuk ekspresi bahasa pasif cenderung berupa sloka, yakni bait mantra yang terdiri atas beberapa baris pada setiap bait. Kode bahasa itu biasanya dikutip dari pendahulunya, buku petunjuk dari PHDI, dan sumber lain. Jadi, penggunaan klausa bahasa pasif merupakan klausa yang tidak dirancang secara mandiri. Kosakata Bahasa Bali lek Nusa tidak dimunculkan dalam teks. Hal itu dapat dilihat sebagai pemilahan bahasa pergaulan dari bahasa ritual. Kosakata pinjaman dari Bahasa Sumbawa, Bahasa Sasak, Bahasa Bugis, atau Bahasa Bima juga tidak ditemukan. Akan tetapi, kosakata Bahasa Indonesia banyak dipinjam pada fase persiapan. Secara umum, bahasa yang digunakan pada fase persiapan
adalah
Bahasa Bali ragam hormat dan dapat didahului salam pembuka berbahasa Sanskerta Om swastiastu ‟semoga diberkahi Tuhan‟. Beberapa kosakata Bahasa Indonesia yang kerap dimunculkan, di antaranya, terima kasih, cuaca, usulan, tokoh agama, masyarakat, tugas, masalah, waktu, rapat, sebagainya.
ketua
adat, dan
97
Setelah menyelesaikan fase persiapan, dimunculkan struktur kombinasi tiga bahasa, masing-masing Bahasa Sanskerta, Bahasa Jawa Kuna, dan Bahasa Bali. Kombinasi itu ditemukan pada monolog fase puncak dan penutup. Pada setiap bait tuturan berbahasa Sanskerta dan Jawa Kuna diawali dengan aksara suci Om. Akasara suci merupakan simbol kekuasaan Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur semesta. Om merupakan penyandian dari Am, Um, dan Mam. Dalam pengucapannya, Om kerap diucapkan Ong yang mengacu pada bentuk sandi dari Ang, Ung, dan Mang. Pamangku tampak lebih memilih bentuk Ong untuk mendapatan bunyi yang ngereng ‟berkharisma‟. Kedua bentuk itu mengacu pada kemahakuasaan Sang Hyang Widhi ‟Tuhan‟. Variasi kode bahasa dalam teks dapat dikaitkan dengan fungsi antarpelibat (Halliday dan Hasan, 1985: 16), yakni bahasa difungsikan sebagai sarana untuk menyatakan relasi sosial. Relasi yang dimunculkan meliputi identitas diri, dan kedekatan hubungan dengan mitra wicara. Pemakaian struktur bahasa aktif pasif mencerminkan struktur relasi antarpelibat dalam strata berbeda. Kode bahasa pasif mencerminkan jauhnya jarak antara manusia dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan dimuliakan dan dipuja atas kemahakuasaan-Nya. Dengan bahasa pasif manusia memohon pengampunan atas
kekeliruan pada berbagai aspek.
Permohonan penyucian juga ditujukan atas debu kotor dan dosa. Dengan tipe relasi vertikal, manusia memohon perkenan Tuhan dalam memberi perlindungan. Proses permohonan pengampunan berlangsung berulang-ulang yang menunjukkan sedemikian kotor dan tercelanya manusia dibandingkan Tuhan. Bait sloka yang dilantunkan didominasi oleh pernyataan papa ‟alpha‟ dan memohon bimbingan
98
Tuhan. Sebagian besar tuturan berbahasa Sanskerta tidak dipahami secara harfiah tetapi dipilih dalam hubungan hamba dan Penguasa semesta. Pengalihan kode dari bahasa pasif ke bahasa aktif dapat dilihat sebagai bentuk jalinan relasi vertikal yang diteruskan dengan relasi horizontal. Pengalihan kode mencerminkan keberhasilan menjalin relasi dengan Tuhan dan manifestasiNya sehingga pada bagian berikutnya dapat diupayakan tipe relasi horizontal yang menautkan manusia dengan entitas yang setara. Kesetaraan itu tercermin dari kata sandang yang digunakan, yakni I dan Ih. Pada masyarakat Bali kata sandang I biasanya dipergunakan di depan nama laki-laki, sedangkan Ni untuk perempuan. Kata sandang Ih dapat dipergunakan untuk memperoleh perhatian pihak yang dimaksud. Dapat disimpulkan bahwa pemakaian Bahasa Sanskerta dan Bahasa Bali Kawi dijadikan media menjalin harmoni dengan Sang Pencipta, sedangkan dalam upaya menjalin harmoni dengan figur setara digunakan Bahasa Bali. Jadi, ekspresi doa dan pemujaan dikodekan dengan bahasa yang berbeda dengan ekspresi permintaan bantuan. Relasi ke atas diciptakan terlebih dahulu dengan harapan permintaan bantuan dapat terkabulkan. Berikut ditampilkan skema kebahasaan pada fase persiapan, puncak, dan penutup (Data B2/A2).
Kode Bahasa
Skema Bahasa Fase Persiapan
Sanskerta Bali
Pembukaan
Bali
Inti
…Om swastiastu. Napi wénten pak klian?... „Salam. Ada berita apa, pak ketua adat? …Kénten jero, niki jaga wénten kegiatan kerja bakti ring pura Pucak. Kénten, duaning
99
pelinggih duéné sane kasendér jebol keni ujan tiap-tiap hari. Mangkin duaning kénten titiang nunasang mangda nunas embang … „Begini jero (HON), ada rencana melakukan kerja bakti memperbaiki pura yang longsor terkikis hujan. Oleh sebab itu, saya minta agar anda melakukan tolak hujan‟ Bali
Penutup
Kode Bahasa Sanskerta
…Nggih jero. Mangkin titiang pamit jero mangku, suksma...„Baiklah, jero (HON). Sekarang saya mohon diri. Terima kasih‟
Skema Bahasa Fase Puncak dan Penutup Pembukaan Om awignam astu nama sidyam… „Ya Tuhan, semoga tiada rintangan‟
Jawa Kuna …Om sabda bayu idep sudanta wiguna… „Ya Tuhan, semoga kata-kata, tenaga dan pikiran hamba tertuju pada kebaikan. …Om pertama suda, dwitya suda, tritya suda, catur tisuda, panca misuda, sad tisuda, sapta misuda…
Bali
Sanskerta
Inti
Penutup
„Ya Tuhan, pertama suci, kedua suci, ketiga suci, keempat suci, kelima suci, keenam suci, ketujuh suci‟. Ya Tuhan Yang Maha suci semoga kesucian-Mu dapat menyucikan hingga tujuh lapis cela dan dosa manusia‟ …Om pakulun Ratu Sanghyang Agama, naweg titiang tangkil ngaturang bakti... „Ya Tuhan, Engkau Yang Maha Benar, hamba menghadap padaMu dengan rasa bakti. Om sidirastu tatastu werdiastu. „Ya Tuhan, semoga kami terbebas dari berbagai rintangan, mendapat kebahagiaan dan kemajuan‟
100
Berdasarkan contoh tuturan yang digunakan pada fase persiapan, puncak, dan penutup, struktur kebahasaan TNNGB dapat diilustrasikan sebagai berikut. Tabel 5.1 Struktur Kebahasaan TNNGB
No.
Fase
Pembukaan
Isi
Penutup
1
Persiapan
(Sanskerta) Bali ^
Bali ^
Bali
2
Puncak
Sanskerta ^ Jawa Kuna
Bali ^
Sanskerta
3
Penutup
Sanskerta ^ Jawa Kuna
Bali ^
Sanskerta
Struktur kebahasaan TNNGB seperti ditunjukkan tabel (5.1) menyatakan bahwa struktur bahasa fase persiapan didominasi oleh tuturan berbahasa Bali. Sementara itu, fase puncak dan fase penutup dikodekan dengan mengombinasikan Bahasa Sanskerta, Bahasa Jawa Kuna, dan Bahasa Bali. Jadi, struktur kebahasaan TNNGB menggunakan Bahasa Bali yang dikombinasikan dengan bahasa pasif, seperti ditunjukkan gambar berikut.
Sanskerta Jawa Kuna Bali
Gambar 5.1: Struktur Bahasa TNNGB Berdasarkan struktur bahasa (5.1) dapat dipahami bahwa teks TNNGB yang digunakan oleh komunitas transmigran Bali memertahankan bahasa daerah
101
yang dibawa dari Bali. Unsur Bahasa Sanskerta dan Bahasa Jawa Kuna ditemukan pada bagian non-inti fase puncak ritual dan fase penutup (panyineb). Bahasa itu ditempatkan pada bagian pembukaan
atau bagian penutup, sedangkan inti
permohonan dituturkan dalam Bahasa Bali. Teks bersifat terbebas dari kosakata bahasa-bahasa yang hidup di sekitarnya. Kondisi ini mendukung temuan Malini (2010) yang menyatakan bahwa kelompok transmigran tetap mempertahankan bahasa dan tradisi yang bersifat sensitif. Kombinasi bahasa aktif dan pasif semacam itu dapat dipandang sebagai struktur baku teks ritual etnis Bali.
5.3 Struktur Formal Ditinjau dari sudut pandang formal, TNNGB dapat dikategorikan sebagai teks permohonan. Hal itu diperkuat dengan dominasi permintaan pengampunan, perlindungan, bantuan, dan berkah pada puncak teks. Permohonan itu tidak bersifat permintaan individu tetapi harapan komunal yang difasilitasi oleh seorang pelibat kunci. Permohonan yang disampaikan diperuntukkan bagi kepentingan bersama sebagai kesatuan kelompok petani tadah hujan dan keberlangsungan hidup seluruh umat manusia. Jadi, kebahagiaan yang dimohonkan
bersifat
universal. Struktur formal mengacu pada komponen-komponen teks sebagai bagian dari keseluruhan. Secara formal teks memiliki tata cara pelaksanaan yang dilakukan secara konvensional. Pelaksanaan teks neduh dapat memiliki tahap pelaksanaan yang berbeda dari satu wilayah pemukiman dengan wilayah lainnya. Ditemukan variasi tahapan yang terdiri atas empat, lima, atau tujuh tahapan,
102
bahkan dalam kondisi sangat mendesak dapat dilaksanakan dengan dua tahapan. Pelaksanaan dengan empat tahapan terdiri atas tahap
marembug
‟diskusi‟,
sangkep pangurus ‟rapat pengurus‟, mapengarah ‟menyampaikan hasil rapat‟, ‟mohon hujan‟. Pelaksanaan teks dalam lima tahap mencakup
dan neduh
nanginin pamangku ‟mengundang pamangku‟, sangkep pangurus ‟rapat pengurus desa‟, nauhin juru arah ‟menugaskan penyampai berita‟, mapengarah ‟menyampaikan hasil rapat‟, dan neduh ‟mohon hujan‟. Pelaksanaan dengan tujuh tahap merupakan pola yang paling rumit terdiri atas tahap rarembugan ‟diskusi‟, nanginin pamangku ‟mengundang pamangku‟, sangkep pangurus ‟rapat‟, nauhin serati ‟menugaskan tukang sajen‟, nauhin juru arah ‟menugaskan penyampai berita‟, mapengarah ‟menyampaikan hasil rapat‟
dan neduh ‟mohon hujan‟.
Mencermati frekuensi pelaksanaan teks tampak bahwa pola pelaksanaan dalam empat tahap merupakan struktur formal yang paling dominan. Tabel berikut menunjukkan variasi tahapan teks neduh ‟panggil hujan;.
Tabel 5.2 Variasi Tahapan Neduh Fase Persiapan Kode
1
2
3
4
5
6
Fase Puncak 7
A1
Marembug
Sangkep pangurus
Mapengarah
Neduh
A2
Nanginin pamangku
Sangkep pangurus
Nauhin Mapejuru arah ngarah
Neduh
A3
Rarembugan
Sangkep pangurus
Nauhin Mapejuru arah Ngarah
Neduh
Nanginin pamangku
Nauhin serati
103
Berdasarkan tabel (5.2) tahap pelaksanaan teks neduh ‟panggil hujan‟ menunjukkan kesamaan pada tahap awal. Ketiga variasi dimulai dengan diskusi antara ketua adat atau bendesa dan ketua pamangku. Diskusi awal itu kemudian ditindaklanjuti dengan diskusi yang lebih intensif yang menghadirkan semua pamangku Kahyangan Desa dan pengurus desa adat. Tahap sangkep ‟rapat‟ itu digunakan sebagai ajang membahas segala seluk beluk rencana pelaksanaan teks, termasuk penentuan sarana yang dibutuhkan. Selanjutnya, hasil rapat pengurus harus disosialisasikan oleh juru arah kepada seluruh anggota
atau ketua
kelompok. Perbedaan yang menonjol dari tiga variasi tahapan di atas adalah hadirtidaknya serati ‟tukang sajen‟ dan juru arah pada rapat pengurus. Artinya, komunitas yang memperlakukan serati ‟tukang sajen‟ dan juru arah sebagai bagian dari pengurus desa memiliki tahapan yang lebih sederhana. Teks nauhin serati dan nauhin juru arah
disatukan dalam teks sangkep pengurus ‟rapat
pengurus‟. Sebaliknya, bila dua peran tersebut tidak diposisikan sebagai pengurus desa dimunculkan teks nauhin serati dan teks nauhin juru arah tersendiri yang berdampak pada penambahan jumlah tahapan. Dengan demikian, struktur formal teks neduh dapat diringkas menjadi 4 tahap berikut.
1
2
Marembug
Sangkep Pangurus
3 Mapengarah
Gambar 5.2: Struktur Formal Teks Neduh
4 Neduh
104
Gambar (5.2) menunjukkan prosedur formal pelaksanaan teks neduh. Tiga tahapan pertama, masing-masing, marembug, sangkep pangurus dan mapengarah digolongkan sebagai fase persiapan. Tahap sangkep pangurus merupakan tahap inti dari fase persiapan, tempat segala seluk beluk teks dibicarakan, seperti penentuan waktu pelaksanaan, sarana, dan pelibat. Tahap neduh merupakan fase puncak dalam teks panggil hujan. Berbeda dengan teks neduh yang cenderung dilakukan secara rutin, teks nyelang galah sangat jarang dipraktikkan karena: (a) sangat sedikit ritual berskala besar yang dilakukan warga, (b) curah hujan sangat kecil sehingga teks tolak hujan tidak dibutuhkan, dan (c) hujan cenderung dipandang sebagai
berkah
daripada gangguan. Teks nyelang galah dapat dilaksanakan dalam empat tahapan, yakni tahap mapinunas ‟meminta bantuan‟, ngaturang pejatian ‟menyerahkan sarana‟, nyelang galah ‟tolak hujan‟, dan panyineb ‟penutup‟.
Dua tahapan
pertama tergolong fase persiapan. Fase puncak direalisasikan dengan teks nyelang galah ‟tolak hujan‟, sedangkan fase penutup direalisasikan dalam teks panyineb ‟penutup‟. Pola penahapan teks nyelang galah
ditampilkan
gambar berikut.
1
2
Mapinunas
1
3
Ngaturang Pajatian
2
4
Nyelang Galah
3
Panyineb
4
Gambar 5.3: Struktur Formal Teks Nyelang Galah
1
2
3
pada
105
Tahapan teks nyelang galah seperti ditunjukkan gambar (5.3) bersifat baku. Artinya, tidak ada tahap yang dapat ditanggalkan atau ditambahkan. Kegagalan pada tahap mapinunas berdampak pada kegagalan memasuki tahap berikutnya. Biasanya pemangku sangat selektif melakukan teks tolak hujan karena dipandang bersifat menguntungkan secara parsial, sedangkan pihak lain tidak diperhitungkan.
5.4 Struktur Makro Setiap teks memiliki komponen-komponen yang bersifat menjelaskan identitas teks, terutama konteks situasi yang melatarbelakanginya. Tidak ada teks yang dapat dilepaskan dari konteks sebagai lingkungannya. Kaitan teks dengan elemen konteks dipadankan dengan struktur makro. Konteks medan menjelaskan tipe atau jenis peristiwa kebahasaan yang terjadi. Konteks pelibat menjelaskan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa, kedudukan, dan hubungannya dengan pelibat lain, sedangkan konteks sarana menjelaskan peran bahasa dalam peristiwa bahasa dalam menjalankan fungsinya. Struktur makro TNNGB mengaitkan teks dengan konteks medan, pelibat, dan sarana sebagai elemen situasional, termasuk status pelibat yang wajib hadir (Pw) maupun pelibat tidak wajib (Ptw), seperti tampak pada tabel di bawah ini.
106
Tabel 5.3 Struktur Makro Teks Neduh
No
Fase
Tahap
1.
Persiap -an
Marembug
Medan
Pelibat
Cara
Diskusi
Pw: Ketua adat Ketua pamangku
Percakapan Semuka
2.
Sangkep Pengurus
Rapat
3.
Mapengarah
Pemberi -tahuan
Neduh
Mohon hujan
4.
Puncak
Ptw: Sekretaris Pamangku Kahyangan Tiga Pw : Ketua adat Ketua pamangku Pamangku Kahyangan Tiga Pengurus adat Ptw: Serati Juru arah Pamangku pura Ulun Suwi Ketua kelompok Pw: Juru arah Warga Ptw : Pw: Ketua pamangku Pengurus adat Ptw : anggota kelompok
Percakapan semuka
Percakapan semuka Percakapan monolog
Seperti tampak pada tabel (5.3), struktur makro teks neduh terdiri atas empat tahapan yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, marembug ‟diskusi‟ adalah kegiatan persiapan yang dilakukan dengan melibatkan dua pihak, yakni pihak keadatan dan pihak kepamangkuan. Pihak keadatan diwakili oleh ketua adat, sedangkan pihak kepamangkuan diwakili oleh ketua paguyuban pamangku. Biasanya ketua adat datang menemui ketua pamangku di rumahnya dan percakapan dilakukan dengan cara semuka. Pada dasarnya marembug
107
berfungsi untuk menyampaikan suatu permasalahan yang memerlukan tindak lanjut. Diskusi awal menjadi tonggak kesepahaman antara ketua adat dan ketua pamangku terkait dengan permasalahan yang perlu ditangani. Setelah mendapat pemberitahuan awal itu, biasanya ketua pamangku segera memeriksa hari baik untuk pelaksanaan teks ritual. Kedua,
teks sangkep pangurus ‟rapat
pengurus‟ merupakan tahap
lanjutan dari teks marembug. Ketua adat mengundang pangurus desa untuk rapat berkaitan dengan kondisi yang harus ditangani bersama. Pihak yang menghadiri rapat terdiri atas pihak pamangku dan pengurus adat. Pamangku pura Puseh, pura Desa, pura Dalem dan pura Mrajapati adalah pelibat wajib dari pihak kapamangkuan. Di sentra tertentu pamangku pura banjar dan pura Ulun Suwi juga dapat dihadirkan. Pengurus adat yang wajib hadir adalah klian adat ‟ketua adat‟, sekretaris, bendahara, sedangkan serati ‟tukang sajen‟, dan juru arah ‟pengerah masa‟ dapat diwakili oleh pengurus desa adat. Sangkep pengurus biasanya dilaksanakan di rumah ketua pamangku dengan pola percakapan semuka. Pada rapat pengurus, ketua adat bertindak sebagai pengatur pembicaraan sehingga tidak ada pembicaraan yang tumpang tindih. Ketua paguyuban pamangku bertindak sebagai nara sumber tunggal. Kehadiran beberapa pamangku lain bertindak sebagai peserta yang cenderung menyetujui rencana yang diajukan ketua pamangku.
Langkah kerja dalam rapat dimulai dari memperoleh
kesepakatan untuk neduh. Jika semua pamangku sudah sepakat untuk melakukan permohonan hujan, pembicaraan dilanjutkan dengan perencanaan waktu pelaksanaan, pengadaan sarana, seleksi pelibat, dan penugasan. Rapat cenderung
108
bersifat kordinasi agar setiap pihak yang berperan penting dalam masyarakat dapat memberi masukan seperlunya terhadap rencana pelaksanaan ritual. Hasil rapat pengurus dicatat oleh sekretaris adat, sedangkan bendahara bertugas menyerahkan dana pengadaan sarana. Serati sebagai petugas pengadaan sarana biasanya menerima dana sebesar Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Ketiga, mapengarah ‟pemberitahuan‟ merupakan kegiatan menyampaikan hasil rapat pangurus kepada warga atau ketua kelompok yang diharapkan tahu atau hadir dalam pelaksanaan ritual. Kegiatan mapengarah dilaksanakan oleh juru arah pada anggota sesuai dengan kluster tempat tinggal. Dengan demikian, juru arah tidak harus menempuh jarak yang jauh untuk melaksanakan tugasnya, mengingat pemberitahuan harus dilakukan secara resmi, langsung, dari rumah ke rumah. Pemberitahuan biasanya dilakukan dua hari sebelum pelaksanaan dengan memuat unsur-unsur, seperti (a) jenis atau rencana kegiatan, (b) waktu dan tempat pelaksanaan, (c) partisipan yang wajib hadir, dan (d) perlengkapan yang harus dibawa. Keempat, neduh ‟mohon hujan‟ merupakan tahapan puncak teks panggil hujan. Biasanya suara kulkul ‟kentongan‟ menjadi tanda dimulainya ritual. Sarana didistribusikan sebagaimana mestinya, sedangkan pajatian dan upah-upahan ditata di atas tikar di natar ‟halaman‟ pura. Pelibat yang aktif pada fase puncak adalah ketua paguyuban pamangku. Jadi, secara makro tampak bahwa ketua pamangku memegang peran kunci sehingga rumahnya dijadikan tempat untuk merencanakan teks dan petunjuknya tidak mendapat kritik dari pelibat lain.
109
Tahapan neduh dengan empat tahap di atas merupakan pelaksanaan yang bersifat rutin dan dilaksanakan setiap awal musim tanam, atau menjelang bulan basah (pertengahan Desember sampai pertengahan Januari), seperti diwariskan oleh generasi sebelumnya.
Petani meyakini bahwa hujan yang turun setelah
neduh bersifat sabeh merta ‟hujan berkah, hujan yang menghidupkan‟. Pada kondisi tertentu, neduh dapat pula dilaksanakan dengan tahapan yang lebih sederhana, khususnya pada teks neduh tahap dua dan neduh ulang. Neduh tahap dua dapat dilakukan menjelang musim buah apabila jagung yang berumur 45 hari belum menunjukkan bakal buah. Dalam konteks itu,
ketua adat dan ketua
pamangku merencanakan ritual neduh tahap dua yang biasanya dilakukan pada Januari atau Februari.
Neduh tahap dua terdiri atas tiga tahapan, yakni,
marembug, mapengarah, dan neduh. Perencanaan neduh tahap dua tidak memerlukan tahap sangkep. Artinya, keputusan diambil oleh ketua adat dan ketua pamangku, tanpa melibatkan pamangku Kahyangan Tiga dan pengurus adat lainnya. Pelaksanaannya diikuti oleh partisipan terbatas, misalnya ketua pamangku, ketua adat dan ketua tempekan ‟kelompok‟. Pelaksanaan neduh yang paling ringkas dilakukan dalam dua tahapan, yakni marembug dan neduh, tanpa pelaksanaan teks sangkep dan teks mapengarah. Pelaksanaan teks neduh ulang itu dilakukan sebagai koreksi apabila
neduh di awal musim belum berhasil.
Kesuksesan permohonan biasanya dilihat dari turunnya hujan hingga hari ketiga setelah pelaksanaan neduh.
Terhitung hari keempat harus diupayakan
pengulangan teks neduh. Pelaksanaan neduh ulang merupakan inisiatif ketua paguyuban pamangku terkait wangsit ‟firasat‟ yang diterima. Berbeda dengan
110
neduh rutin, neduh ulang dilaksanakan secara nyeraya ‟dilakukan secara diamdiam, waktu petang hari‟ dengan melibatkan ketua pamangku dan pengurus adat. Berikut ditampilkan teks marembug antara ketua adat dan ketua pamangku pada neduh ulang (Data A2/1.2).
Pelibat Aktif Klian adat Ketua pamangku
Ketua adat Ketua pamangku
Ketua adat
Tuturan Swastiastu jero mangku. ‟Salam, jero mangku‟ Swastiastu. Mai negak dini jero. Jak pedidi manten niki? ‟Salam. Mari duduk dahulu. Anda sendiri saja?‟ Nggih, suksma ‟Ya, terima kasih‟ Niki jero klian. Sané limang rahina kan sampun krama sami neduh, nanging jantos mangkin durung kapica. Minab Ida durung suéca dawegé nika. Yén mangkin titiang ngamanah majumu buin. Titiang sada kukuh niki. Ngiring je mapinunas malih. Pedalem kramané yen kekéné terus napi ya katunas?. ‟Pak Ketua Adat, empat hari yang lalu kita sudah melakukan ritual panggil hujan tetapi hingga saat ini belum terkabul. Saya menduga Tuhan belum berkenan saat itu. Sekarang saya bermaksud untuk mengulangnya. Saya agak kukuh. Mari kita memohon lagi. Kasihan warga kalau begini terus, bagaimana mereka bisa makan? Yakti nika mangku. Punapiang niki semetoné sami. Titiang ten uning napi, sinah mangkin jero sane tunasin pamargi malih.
Ketua pamangku
‟Benar itu Mangku. Kita pakan saudara kita semua. Saya tidak tahu apa-apa tentu saya berharap petunjuk dari anda lagi‟ Kené beli, ane ibi sanja polih je tiang wangsit. Mogi saja Ida mapica. Lan majumu. ‟Begini kakak, tadi malam saya mendapat firasat. Semoga beliau berkenan. Mari mencoba lagi‟
Ketua adat
Nggih, nyak sagét gelis wenten pica.
111
‟ya, semoga saja segera ada pemberian‟. Ketua pamangku
Ne pamargine kanggoang sada nyilib. Bin mani nyoréang paek sandikala lan mapinunas ke Taman. Sareng ajak pengurusé apang ada ajak ngaba baktiné. ‟Ini pelaksanaan diam-diam. Besok menjelang petang kita memohon di pura Taman. Ajak dan pengurus untuk membawa sarana permohonan‟
Ketua adat
Ketua pamangku
Nggih, tiang ngiring. Dadosné sapunapi indik baktiné? ‟Baik, saya setuju. Bagaimana penggarapan sarana permohonan?‟ Biyang mangku suba ngaryanang. Siagaang raga tenaga ngaba banten manten. ‟Istri saya sudah menyiapkannya. Siapkan tenaga untuk membawanya saja‟
Ketua adat
Nggih, nggih. Wénten malih? Yén nénten tiang jagi pamit ngenikin pangurusé dumun. ‟Ya, ada lagi? Bila tidak ada saya mohon diri, memberitahu pengurus‟
Ketua pamangku
Nah, amonto dogén. Jalan pada ngastiti. Yén kal ada acara, nah kemu margi jero. ‟Ya, sekian saja. Mari bersama berdoa. Bila anda ada acara, ya silakan‟ Nggih kénten tiang pamit ‟Baik, saya mohon diri‟
Ketua adat
Pada teks marembug di atas, tampak inisiatif untuk neduh ulang diprakarsai oleh ketua pamangku. Tindakan itu diambil sebagai bentuk perlindungan pada kelanjutan hidup petani. Penentuan hari dan pengadaan sarana dilakukan secara mandiri dengan melibatkan istri pamangku selaku kordinator serati. Bila teks neduh tidak dilakukan dikhawatirkan semua petani tidak dapat memulai aktivitas bercocok tanam.
112
Teks neduh memerlukan sarana berupa sesajén, di antaranya, pajatian, labaran, upah-upahan, dan pelengkap lainnya. Beras, jinah dan satukel benang ‟beras, uang dan seutas benang‟ merupakan simbol yang mewakili pangan, kemakmuran, dan sandang. Sarana berupa upah-upahan dikategorikan sarana khusus dan harus dikerjakan di rumah pamangku dan dikordinir oleh istri pamangku. Upah-upahan dipersembahan kepada figur yang diharapkan dapat membantu kesuksesan permohonan. Terdapat lima figur yang dilibatkan, yakni I Ratu Ngurah Tabeng Langit ‟Penguasa Langit‟, I Gusti Wayan Teba, I Gusti Made Jelawung, I Gusti Nyoman Pengadangadang, dan I Gusti Ketut Petung. Persembahan untuk I Ratu Ngurah Tabeng Langit ditempatkan sebagai titik sentral dikitari oleh persembahan untuk I Gusti Wayan Teba, I Gusti Made Jelawung, I Gusti Nyoman Pengadangadang, dan I Gusti Ketut Petung di empat arah angin. Selain upah-upahan, pamangku juga menggunakan sarana rerajahan berupa empas marajah Ongkara merta ‟kura-kura bergambar aksara suci‟ yang digambar pada media nyuh gadang ‟kelapa hijau‟. Sarana itu selanjutnya dialasi kasa ‟kain putih‟ dan kalebok dening segara ‟dicemplungkan ke air‟ di akhir ritual. Akan tetapi, pada wilayah barat ditemukan pemyebutan figur hitam dan putih dengan sebutan I Wenara Petak ‟kera putih‟ dan I Sampati ‟burung hitam‟. Kedua figur itupun dihaturkan persembahan upah-upahan sesuai dengan warnanya. Ditinjau dari pemohon, teks nyelang galah cenderung bersifat personal, tetapi ada pula yang diajukan oleh kelompok. Kepentingan kelompok biasanya lebih diperhatikan dibandingkan kepentingan perseorangan, di samping faktor
113
cuaca. Berikut ditampilkan struktur makro teks nyelang galah, termasuk pelibat wajib (Pw) dan pelibat tidak wajib (Ptw). Tabel 5.4 Struktur Makro Teks Nyelang Galah
No. Fase 1.
Persiapan
2.
Tahap
Medan
Pelibat
Cara
Mapinunas
Minta bantuan
Pw: Ketua pamangku Pemohon Ptw: Kerabat
Percakapan semuka
Ngaturang pejatian
Menyerahkan sarana
Pw: Ketua pamangku Pemohon Ptw: Kerabat Pw: Ketua pamangku Ptw: Pw : Ketua pamangku Ptw: -
Percakapan semuka
3.
Puncak
Nyelang Galah
Tolak hujan
4.
Penutup
Panyineb
Penutup
Percakapan semuka Percakapan monolog
Struktur makro teks nyelang galah seperti ditampilkan tabel (5.4) dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, mapinunas ‟meminta bantuan‟ merupakan tahap yang sangat menentukan bagi boleh-tidaknya ritual dilaksanakan atau bersedia-tidaknya pamangku melakukan teks tolak hujan. Biasanya pemohon menyatakan niatnya meminta bantuan dan kepentingan yang melandasinya. Bila kepentingan tidak terlalu mendesak, atau dipandang sangat sulit menghentikan hujan, permintaan cenderung ditolak. Sebaliknya, pada kepentingan yang sangat mendesak, biasanya pamangku bersedia membantunya, sekaligus menjelaskan sarana yang harus disiapkan.
114
Kedua, ngaturang pajatian „menyerahkan sarana‟ adalah tahapan pemohon menyerahkan banten „sajen‟ yang telah ditetapkan dilengkapi penguleman „undangan‟
Pada penyerahan banten dapat dinyatakan kembali
identitas pemohon, dan dasar kepentingan. Pamangku lebih memilih melakukan tolak hujan di rumahnya, agar tidak menjadi pusat perhatian. Oleh sebab itu semua sarana harus diserahkan ke rumah pamangku. Ketiga, nyelang galah „tolak hujan‟ merupakan fase puncak dan cenderung bersifat tertutup. Selama proses permohonan, sarana khusus seperti dupa, api prakpak „nyala api dari daun kelapa kering‟, atau sembe layar „lentera apung‟ harus tetap menyala sebagai perlambang sumber panas yang diharapkan dapat menggagalkan pembentukan mendung sekaligus meredakan hujan. Bagian inti tahapan nyelang galah bersifat oposisional dengan tuturan neduh. Artinya, bila pada teks neduh diharapkan mendung bermunculan di semua penjuru, teks nyelang galah bersifat menghalau mendung atau menggagalkan pembentukan mendung yang baru. Keempat, panyineb „penutup‟ merupakan fase yang dapat dikategorikan sebagai fase penutup. Tahap itu dikenal pula dengan pamancut yakni
fase
mengakhiri pemohonan. Bila teks panyineb tidak dilakukan dikhawatirkan hujan tidak akan turun untuk tempo waktu panjang. Setelah teks panyineb dilakukan sarana boleh kalebar „dinyatakan usai‟ dan api dapat dipadamkan. Jadi, teks panyineb difungsikan sebagai upaya mengembalikan kondisi alam sebagaimana mestinya.
115
Pada keempat fase di atas dapat dipahami bahwa ketua paguyuban pamangku menjalankan fungsi sebagai partisipan kunci. Ketua paguyuban pamangku berperan aktif sejak fase persiapan, puncak, hingga penutup. Sebaliknya, ritual tidak dapat diselenggarakan tanpa kehadiran ketua pamangku. Sarana rerajahan ‟gambar‟ dan upah-upahan ‟sarana khusus‟ yang digunakan pada masing-masing desa tidak menunjukkan keseragaman. Teks Nyelang galah memerlukan sarana berupa sembe layar ‟api terapung‟ dengan rerajahan berupa Ongkara Pasupati. Rerajahan itu digambar pada jalinan lontar untuk menyangga api. Pamangku lain dapat menggunakan sarana seikat dupa menyala dan nyuh gading merajah Triaksara ‟kelapa gading bergambar tiga aksara suci‟. Untuk ritual neduh ‟memanggil hujan‟ digunakan sarana nyuh gadang merajah empas ‟kelapa hijau bergambar kura-kura‟ dilengkapi rerajahan Ongkara merta.
Pamangku
lain menggunakan nyuh gadang ‟kelapa hijau‟
dengan rerajahan Dasaksara ‟sepuluh aksara suci‟. Persamaan yang tampak pada sarana teks panggil dan tolak hujan adalah jenis sarana banten. Untuk tujuan yang berbeda dibutuhkan sajén yang hampir sama. Secara umum, teks neduh dan nyelang galah pada daerah tertentu memerlukan jenis sarana sajen yang hampir sama. Persamaan juga dimunculkan dalam struktur kebahasaaan dan struktur permohonan. Ditinjau dari struktur tahapan, teks nyelang galah memunculkan tahap panyineb ‟penutup‟, sedangkan teks neduh tidak memerlukan tahapan penutup. Hal itu mengindikasikan bahwa hujan menjadi kebutuhan yang berkelanjutan.
116
5.5 Struktur Fungsional Struktur fungsional mengaitkan susunan teks dengan tiga elemen pembentuk kesatuan teks, baik elemen pendahuluan, isi maupun penutup (Eggins, 1994: 37). Struktur fungsional juga menjelaskan hubungan antarelemen dan kontribusi setiap elemen terhadap teks secara keseluruhan. Skema fungsional teks dapat digambarkan sebagai berikut.
Pembukaan Bagian
Isi
F
Penutup
U
Langkah membuka
N
Langkah
G
Langkah menjelaskan
S
Langkah menutup
I
Tujuan membuka Tujuan
Tujuan menjelaskan
I
Tujuan menutup Bagan 5.1: Skema Fungsional Bagan (5.1) menunjukkan skema teks ditinjau dari bagian-bagian pembentuknya, langkah, dan tujuan yang hendak dicapai. Setiap bagian tersusun atas
sub
bagian
yang
mendukung
unifikasi
fungsi.
Artinya,
teks
merepresentasikan kesejajaran antara komponen, langkah, dan tujuan. Bila dicermati tampak ada sebuah kondisi yang memotivasi pelaksanaan teks. Teks neduh dipicu oleh krisis air yang mengakibatkan keterlambatan masa
117
tanam dan pertumbuhan buah.
Agar petani dapat bercocok tanam dan
memperoleh panen yang baik maka dilaksanakanlah teks neduh. Teks harus dilakukan dengan prosedur yang khas sebagai langkah mencapai suatu tujuan. Struktur teks prosedural dapat dilihat pada ilustrasi berikut (diadopsi dari Larson, 1998: 405) (diterjemahkan oleh penulis).
Pembukaan (kondisi)
Langkah 1 Langkah 2 Langkah 3 Langkah 4
Prosedur TUJUAN
Bagan 5.2: Struktur Teks Prosedural
Sebagaimana
bagan
(5.2),
TNNGB
dimotivasi
oleh
keinginan
menanggulangi kondisi tertentu. Penanggulangan itu memerlukan langkah kerja yang berfokus pada tercapinya tujuan. Rangkaian langkah-langkah itu memiliki tata urutan yang tidak dapat dipertukarkan. Jadi, TNNGB merupakan teks yang mengaitkan kondisi dan prosedur yang disepakati untuk mencapai tujuan. Dengan demikian terdapat kaitan antara komponen, langkah, dan tujuan seperti ditunjukkkan tabel berikut.
118
Tabel 5.5 Struktur Fungsional TNNGB
Struktur Fungsional Teks Neduh Tahap Bagian Langkah Marembug
Pembukaan
Penerimaan ^
Isi
Penyampaian masalah ^ Permintaan tanggapan ^ Penerimaan masalah ^ Penyampaian tanggapan ^ Penyampaian tindak lanjut ^ Persetujuan ^ Mohon diri ^ Persetujuan Penerimaan ^ Pernyataan tujuan ^ Permintaan tanggapan ^ Penerimaan tujuan ^ Pernyataan tanggapan ^ Pernyataan tindak lanjut ^ Persetujuan ^ Permintaan penutupan ^ Persetujuan Penerimaan tamu^
Penutup Sangkep
Pembukaan Isi
Penutup Mapengarah
Pembukaan Isi
Penutup Neduh
Pembukaan
Isi
Penutup
Tujuan Langkah Bertamu Menyampaikan masalah
Menutup pertemuan Bertamu Merencanakan ritual
Menutup pertemuan Bertamu
Penyampaian tujuan ^ Penyampaian isi ^ Penegasan ^ Permintaan mohon diri ^ Persetujuan Purifikasi ^ Permohonan berkat anugerah ^ Permohonan ^ Pengampunan^ Pemujaan ^ Permohonan berkah ^ Pernyataan permohonan dan alasan ^ Permohonan bantuan^ Pernyataan persembahan
Sosialisasi rencana ritual
Permohonan pengabulan dan terima kasih
Mohon pengabulan dan terima kasih
Menutup pertemuan Pemujaan
Memohon hujan
Tujuan Hujan turun
119
Struktur Fungsional Teks Nyelang Galah Tahapan Mapinunas
Bagian
Nyelang Galah
Penerimaan ^
Isi
Pernyataan masalah ^ Permintaan batuan ^ Penerimaan masalah ^ Pernyataan tanggapan ^ Persetujuan ^ Permintaan mohon diri ^ Persetujuan Penerimaan ^
Mohon bantuan
Isi
Pernyataan tujuan ^ Penerimaan
Menyerahkan sarana
Penutup
Permintaan mohon diri ^ Persetujuan Purifikasi ^ Permohonan berkah ^ Permohonan pengampunan ^ Pemujaan ^ Permohonan berkah ^ Pernyataan permohonan dan alasan ^ Permohonan bantuan ^ Pernyataan persembahan Permohonan pengabulan ^ terima kasih
Mohon diri
Pembukaan
Pembukaan
Isi
Penutup
Panyineb
Tujuan Langkah Bertamu
Pembukaan
Penutup Ngaturang Pajatian
Langkah
Pembukaan
Isi Penutup
purifikasi ^ permohonan berkah ^ permohonan pengampunan ^pemujaan ^ permohonan berkah ^ permohonan penutupan ^ Permohonan pengabulan ^ terima kasih
Tujuan
Hujan berhenti
Mohon diri Bertamu
Pemujaan
Menolak hujan
Mohon pengabulan, kedamaian, dan terima kasih Pemujaan
Menutup tolak hujan Mohon pengabulan dan terima kasih
Perlu ditegaskan bahwa langkah-langkah yang dimunculkan pada bagian isi teks sangkep dilakukan secara berulang. Artinya, langkah pernyataan masalah,
120
permintaan tanggapan, pernyataan tindak lanjut, dan persetujuan dilakukan beberapa kali sesuai dengan permasalahan yang didiskusikan. Pada teks sangkep ditetapkan rencana, waktu pelaksanaan, pengadaan sarana, seleksi pelibat, dan penugasan juru arah. Langkah-langkah pada puncak teks neduh dan nyelang galah tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Langkah purifikasi dimunculkan
beberapa kali menyangkut: (a) pembersihan tempat duduk, muka, tangan, dan diri pamangku dari kotor, cela dan dosa; (b) purifikasi terhadap aktivitas ritual agar terbebas dari rintangan, dan dapat membawa manfaat bagi semua;
(c)
permohonan pembersihan tempat ritual, sarana, dan pelibat; dan (d) pembersihan kesalahan, dosa dan kekeliruan yang telah terjadi. Sebagaimana fungsi pemujaan kepada Tuhan dalam berbagai kuasa-Nya, fungsi permohonan berkah/anugerah, dan pengampunan dimunculkan beberapa kali, misalnya permohonan berkah dan pengampunan bagi diri pamangku, sanak keluarga, dan masyarakat. Pada bagian isi ditegaskan figur yang diharapkan membantu, jenis bantuan, dan persembahan. Pada bagian penutup dinyatakan permohonan pengabulan, kedamaian, dan ungkapan terima kasih.
5.5.1 Struktur fungsional fase persiapan Secara rinci setiap tahapan memiliki bagian pembukaan, inti, dan penutup. Bagian pembukaan pada fase persiapan cenderung berisikan salam agama, di samping ucapan terima kasih, permintaan maaf, dan tegur sapa kekeluargaan, seperti beberapa contoh ekspresi berikut (Data A1/1.1/ 1, 3, 4, 5).
121
(5.1) a.
...Om Swastiastu. Yéh, nggih jero klian... salam KONT ya HON ketua adat ‟Salam, ketua adat‟
b.
...Punapi gatra niki, jero?... TANYA kabar DEM HON ‟Apa kabar anda?
c.
...Peh jeg seken sajan KONT serius INTENS ‟Pakaian anda rapi sekali‟
d.
...Ngiring mlinggih dumun.... IMPER -duduk Sirk ‟Mari silakan duduk‟.
sesaputané... pakaian-DEF
Data (5.1) merupakan ungkapan penerimaan tamu oleh ketua pamangku. Tampak penggunaan salam agama (a) dan ungkapan
kekeluargaan (b).
Pernyataan (c) Peh jeg seken sajan sesaputané tidak dimaksudkan untuk memuji pakaian yang dikenakan, tetapi cenderung menyadari ada suatu masalah serius yang dibawa oleh pihak tamu. Bagian pembukaan fase persiapan juga dapat direalisasikan dengan ekspresi permohonan maaf dan terima kasih, seperti ditampilkan contoh berikut (Data A2/1/ 1, 2 dan A3/1/ 1, 2).
(5.2) a.
...Ampura, tiang nyelag abosbos niki jero mangku sareng sami, KONT 1TG -sela Sirk DEM HON pamangku KUAN Om Swastiastu... salam ‟Maaf, saya menyela sebentar pembicaraan pamangku sekalian, salam‟
b.
...Naweg titiang niki antuk niki wenten baosang akidik... KONT 1TG DEM PREP DEM EKS bicara KUAN ‟Maafkan saya karena ada sedikit kepentingan yang perlu dibicarakan‟
(5.3) a. ...Suksma niki indik sampun prasida rauh baik jero mangku muah terima kasih PREP PERF bisa datang HON pamangku KONJ
122
tokoh agama lan tokoh masyarakat, pangurus adat dan dinas... tokoh agama KONJ tokoh masyarakat, pengurus adat KONJ dinas ‟Terima kasih atas kehadiran para pamangku, tokoh agama, tokoh masyarakat, pengurus adat, dan dinas‟ b.
...Jagi iring titiang ngeninin niki cuaca sane lintang panas... FUT IMPER 1TG -bicara DEM cuaca REL INTENS panas ‟Akan saya ajak mendiskusikan cuaca yang panas sekali‟
Data (5.2) dan (5.3) berisikan ungkapan permintaan maaf dan terima kasih. Kedua data tersebut tidak dimaksudkan dalam makna harfiah, tetapi sebuah cara meminta perhatian. Pemusatan perhatian para pelibat mengindikasikan bahwa pokok acara akan segera dimulai. Fase mapengarah jarang diawali dengan salam agama, melainkan bentuk vokatif yang merujuk tuan rumah atau panggilan agar yang dipanggil datang mendekat. Perhatikan contoh berikut (Data A3/3/1 dan A1/3/1).
(5.4)
a. ...Man, Man Yasa, mai je malu... NAMA sini dulu ‟Nyoman Yasa, kemarilah‟ (memanggil tuan rumah)‟ b.
...Ngah, ne ada tugas abedik... NAMA DEM ada tugas Sirk ‟Nengah, ini ada tugas‟ (memanggil tuan rumah)
‟ Data (5.4) tidak mengandung salam agama ataupun ungkapan honorifik. Hal itu disebabkan oleh mitra wicara merupakan pihak yang setara. Juru arah tidak menggunakan titel di depan nama anggota. Perlu diketahui bahwa peran sebagai juru arah merupakan kewajiban yang harus diemban anggota secara bergantian.
123
Berdasarkan contoh ekspresi pembukaan yang digunakan ternyata terdapat empat variasi ekspresi pembukaan. Pertama, pembukaan diisi dengan ungkapan salam Om Swastiastu ‟semoga semua sejahtera atas lindungan Ida Hyang Widhi‟, seperti tampak pada contoh (5.1a dan 5.2a). Salam tersebut biasanya digunakan bersama-sama vokatif yang merujuk pada peran sosial mitra wicara, seperti mangku, bendesa,
klian, biyang serati, atau kepala dusun. Ekspresi hormat
dipertegas dengan bentuk honorifik jero
bagi pemegang peran sosial yang
tertinggi, seperti ketua adat dan ketua pamangku. Bentuk honorifik jero diberikan oleh para pamangku, pengurus adat, dan anggota komunitas. Kedua, pembukaan diisi dengan permintaan maaf, seperti tampak pada contoh (5.1c, dan 5.2 a, b). Permintaan maaf disampaikan karena telah menyita waktu para menyela percakapan yang tengah terjadi antarpelibat.
pelibat atau
Permintaan maaf
sesungguhnya lebih difokuskan untuk meminta perhatian yang menandakan ada permasalahan yang harus diperhatikan. Ketiga, pembukaan diisi dengan ucapan terima kasih, seperti contoh (5.3). Keempat, pembukaan diisi dengan tegur sapa kekariban, seperti contoh (5.4). Nama depan dapat digunakan tanpa titel tertentu yang mengindikasikan adanya keakraban di antara pelibat. Fungsi mendasar bagian pembukaan adalah untuk membuka percakapan. Pembukaan percakapan dapat diisi dengan salam pembuka, sedangkan ekpresi lainnya seperti permintaan maaf, ucapan terima kasih, dan ekspresi kekariban cenderung bersifat basa-basi untuk memperoleh perhatian atau mencairkan ketegangan suasana. Jadi, permintaan maaf, ucapan terima kasih dan ekspresi
124
kekariban tidak mengandung makna harfiah, tetapi makna implikatif. Perhatikan contoh pada tabel berikut. Tabel 5.6 Bagian Pembukaan
Fase Persiapan
Bagi
Bentuk Lingual
Fungsi
Salam pembuka
Om swastiastu, jero klian. ‟salam, (HON) ketua adat‟
membuka percakapan
Permintaan maaf
Ampura, tiang nyelag abosbos. ‟maaf, saya menyela sebentar‟
meminta perhatian
Ucapan terima kasih
Suksma niki antuk prasida rauh. ‟terima kasih atas kehadiran anda‟
meminta perhatian
Ekspresi kekariban
Man man Yasa, mai je malu. meminta ‟NAMA, kemarilah dulu‟ perhatian
Tabel (5.6) menunjukkan empat jenis ekspresi pada bagian pembukaan yang digunakan pada fase persiapan untuk membuka percakapan. Ucapan salam cenderung dimulai oleh pihak yang datang berkunjung atau pihak yang memiliki peran sosial yang lebih rendah. Ekspresi meminta perhatian berfungsi memperkecil kesenjangan antara pembicara dan pendengar. Dalam pertemuan takformal, basa-basi dinyatakan dengan pernyataan kebetulan berjumpa, menawarkan makanan atau minuman, menanyakan prihal kesehatan,
hewan
piaraan atau ladang. Sebagian besar ekspresi umumnya diajukan oleh pihak yang berkunjung, sambil menunggu sinyal kesiapan kedua belah pihak memasuki fase
125
berikutnya. Sinyal kesiapan memasuki bagian isi biasanya ditandai dengan pertanyaan maksud kedatangan oleh pihak yang dikunjungi. Ungkapan seperti (a) wénten napi niki? ‟ada apa ini?‟, (b) sinah ada mabuat ne ‟pasti ada hal yang perlu‟, (c) gatra napi niki? ‟kepentingan apa gerangan?‟, (d) durus baosang ‟silahkan bercerita‟. Kesiapan menyampaikan isi dapat juga dinyatakan oleh tamu dengan ungkapan minta waktu atau menyatakan permasalahan. Sebagai contohnya, (a) Nunas galah niki... ‟saya minta waktu anda‟, (b) Niki napi, indik ... ‟ini prihal...‟. Sinyal kesiapan tersebut mengharuskan pelibat untuk segera memasuki bagian isi tanpa memperpanjang basa-basi. Dengan kata lain, sinyal kesiapan
berfungsi sebagai penggiring
pelibat menuju pada bagian isi.
Ungkapan tersebut digolongkan bersifat transisional, yakni ungkapan yang difungsikan untuk mengaitkan bagian yang satu
dengan bagian berikutnya.
Melalui ungkapan transisional, pelibat dituntun untuk beralih pada bagian yang selanjutnya daripada menghabiskan waktu dengan tuturan yang tidak relevan. Ketiadaan basa-basi menjadi indikasi bahwa teks berfungsi sebagai teks formal. Bagian isi fase persiapan sangat bervariasi. Misalnya, teks marembug berisikan pembicaraan untuk mengantisipasi kekeringan yang melanda pertanian warga. Isi teks mapinunas merupakan permintaan bantuan kepada pamangku. Bila disepakati, pembicaraan dapat berlanjut pada jenis sarana yang harus disiapkan. Sebelum memasuki bagian penutup, ada bagian isi yang menggiring pelibat untuk segera mengakhiri percakapan. Bagian tersebut bersifat prapenutup, yakni bagian yang memberi sinyal bahwa percakapan segera harus diakhiri.
126
Prapenutup biasanya diisi dengan ungkapan penegasan dengan mengulang kembali simpulan yang dihasilkan, pernyataan acara yang harus segera dilakukan, atau pernyataan menghemat waktu. Berikut ditampilkan ungkapan prapenutup (Data A1/1.1/ 34, 45, 46 dan A3/4/ 17, 32 ). (5.5) a. …Nggih, yen kénten, pang ten kasép, tiang jagi nauhin ya kalau begitu KONJ NEG terlambat, 1TG FUT -undang mangku sané lianan… pamangku REL lain „Ya, kalau begitu supaya tidak terlambat saya mohon diri untuk mengundang pamangku lainnya‟ b. …Nggih, sampun molih titiang niki, pacuk makasami jero mangku KONJ PERF dapat 1TG DEM, sepakat KUAN HON pamangku sareng pangurusé indik ngamargiang peneduhan… KONJ pengurus-DEF PREP -laksanakan panggil hujan „Ya, rapat ini sudah menemukan kesepakatan antara pamangku dan pangurus untuk pelaksanaan ritual panggil hujan‟ c. …Duaning galah pang ten liwat peteng, niki ngiring puputang dumun… KONJ waktu agar NEG lewat malam DEM FUT -tutup dulu „Karena waktu hampir larut, rapat segera saya tutup ‟ (5.6) a. …Kéto gen Yan, tiang kal dauhné malu sig pak Gedéné… KONJ VOK, 1TG FUT barat-DEF PREP NAMA „Sekian saja, sekarang saya mau ke rumah pak Gede‟ b. …Nggih, kénten manten, jero mangku … KONJ itu saja VOK „Ya, sekian saja, jero mangku‟ Bagian prapenutup merupakan cara untuk
menutup bagian isi untuk
memasuki bagian penutup. Prapenutup dapat mengandung pernyataan bahwa masih ada tugas atau pekerjaan lain yang mesti diselesaikan segera (5.5 a) (56a) Dengan beban tugas berikutnya maka pelibat dapat mengajukan usul agar
127
pembicaraan
segera
ditutup.
Prapenutup
juga
dapat
dilakukan
dengan
pertimbangan penghematan waktu mengingat pembicaraan sudah memakan waktu yang cukup panjang dan hari semakin larut (5.5c). Ungkapan prapenutup yang juga ditemukan adalah permintaan penutupan karena tujuan utama sudah tercapai dan tidak ada lagi masalah lain yang harus dibicarakan (55b). Jadi, ungkapan prapenutup menunjukkan keengganan pelibat untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk membahas permasalahan yang sudah berhasil diselesaikan. Bagian penutup berisikan salam penutup, ungkapan terima kasih, dan ungkapan mohon diri. Pemakaian salam penutup religi Om shanti shanti shanti Om digunakan pada penutupan pertemuan formal. Sementara itu, pada pertemuan semiformal atau takformal, salam tersebut tidak dimunculkan. Fakta itu menunjukkan penggunaan salam religi yang belum simetris, artinya, pertemuan diawali dengan salam agama, tetapi ditutup
tanpa salam agama.
Berikut
ditampilkan ungkapan yang dipakai pada bagian penutup (Data A1/2/24, 30 dan A2/1/92).
(5.7)
a. ...Nggih suksma jero mangku, tiang jagi pamit ... KONJ terima kasih VOK 1 TG FUT mohon diri ‟Terima kasih jero mangku, saya mohon diri‟ b. ...Nggih kénten, tiang mulih niki, ku ... KONJ 1TG pulang DEM VOK ‟Baik, saya minta diri sekarang, jero mangku‟ c. ...Tiang sineb antuk paramashanti Om shanti shanti shanti Om. 1TG - tutup PREP salam penutup semoga damai damai damai. suksma terima kasih ‟Saya tutup dengan salam penutup. Terima kasih‟
128
Pada contoh (5.7) di atas tampak bagian penutup diisi dengan ucapan terima kasih, ungkapan mohon diri, atau salam penutup, Pilihan yang cenderung dipilih adalah ungkapan mohon diri. Dengan kata lain, berpamitan merupakan ungkapan penutup perjumpaan yang paling sering dimunculkan. Secara rinci struktur fungsional fase persiapan dapat digambarkan sebagai berikut.
S T R U K T U R F U N G S I O N A L
a. Salam pembuka b. Ucapan terima kasih c. Permintaan maaf d. Tegur sapa
Pembukaan
Transisi a. Pengenalan Topik b. Pembahasan paparan, tanggapan, paparan lanjutan, kesepakatan c. Simpulan
Isi
Transisi Penutup
a. Salam penutup b. Terima kasih c. Permintaan maaf d. Mohon diri
Gambar 5.4: Struktur Fungsional Fase Persiapan
Berdasarkan gambar (5.4) dapat diketahui bahwa fase persiapan terdiri atas tiga bagian, yakni bagian pembukaan, isi, dan penutup yang dihubungkan oleh ungkapan transisional. Transisi pertama menggiring pelibat untuk memasuki bagian isi sehingga bagian tersebut dapat disebut praisi. Transisi kedua memandu pelibat untuk mengakhiri atau menutup pembicaraan sehingga ungkapan tersebut dapat disebut ungkapan prapenutup. Bagian pembukaan merupakan langkah
129
membuka percakapan, bagian isi adalah langkah membicarakan masalah hingga terbentuk kesepakatan dan simpulan, sedangkan langkah penutup adalah langkah mengakhiri percakapan.
5.5.2 Struktur fungsional fase puncak dan penutup Monolog pada fase puncak dan fase penutup dilaksanakan oleh pamangku dalam kondisi sadar sambil menjentikkan bunga dan memercikkan tirta ‟air suci‟. Secara umum terdapat kesamaan struktur pada fase puncak dan fase penutup. Bagian pembukaan diisi dengan bait-bait mantra
yang bersifat menyucikan,
pernyataan pengampunan, memohon berkat agar ritual yang dijalankan sampai pada tujuannya. Pada bagian isi, pamangku memohon berkah dan meminta bantuan beberapa figur gaib. Selanjutnya dinyatakan jenis persembahan sebagi wujud terima kasih atas bantuan tersebut. Bagian penutup berisi ucapan terima kasih, permohonan maaf, dan mohon diri. Jadi, mantra yang dilantunkan pada bagian pembukaan fase puncak tidak berbeda dengan bagian pembukaan fase penutup. Secara garis besar, tuturan pembukaan fase puncak pada teks neduh dan nyelang galah tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Perbedaan baru tampak pada bagian isi, yakni mengundang mendung agar berkumpul atau menghalau mendung agar menjauh dari lokasi ritual. Figur imajinatif diminta menyalakan api agar semua mendung pecah atau memadamkan semua api agar mendung dapat berkumpul untuk menjadi bahan hujan. Berikut ditampilkan struktur fungsional fase puncak dan fase penutup.
130
S T R U K T U R F U N G S I O N A L
Pembukaan
a. Purifikasi b. Permohonan berkat c. Permohonan pengampunan d. Pemujaan
Isi
a. Permohonan berkah b. Pernyataan permohonan c. Pernyataan alasan d. Permohonan bantuan e. Pernyataan persembahan
Penutup
a. Permohonan pengabulan b. Permohonan kedamaian b. Terima kasih
Gambar 5.5: Struktur Fungsional Fase Puncak dan Fase Penutup Skema fungsional teks seperti ditunjukkan gambar (5.5) berlaku pada fase puncak dan penutup. Dua fase itu memiliki struktur fungsional yang tidak berbeda. Pada bagian pembukaan, ungkapan permohonan pembersihan menjadi hal sentral. Pembersihan dapat dimaknai sebagai: (a) permohonan pembersihan atas debu atau kotor yang ada pada diri, lokasi, dan sarana; (b) pembersihan atas dosa, kekeliruan, dan kesalahan; dan (c) dijauhi dari kegelapan dan kebodohan. Diharapkan
Tuhan berkenan menyucikan seluruh
pelibat, sarana,
dan
lingkungan. Pada bagian isi dinyatakan inti permohonan, tujuan, permintaan bantuan, penugasan kepada figur imajinatif, dan bentuk persembahan yang telah disiapkan. Permohonan ditutup dengan ungkapan permohonan pengabulan, kedamaian, dan terima kasih.
BAB VI STRUKTUR MODUS
6.1 Pengantar Menurut pendekatan Sistemik, bahasa tidak hanya menjalankan fungsi sebagai media untuk menggambarkan pengalaman, tetapi juga berfungsi sebagai alat pertukaran dan alat merangkai pesan. Tiga fungsi bahasa tersebut lebih dikenal dengan metafungsi bahasa. Leksikon „meta‟ merujuk pada hubungan dua bidang karakter yang berbeda, sebagaimana metafisika, metabolisme, atau metamorfosis (Hornby, 1978). Metafungsi itu merealisasikan konteks situasi yang terdiri atas aspek medan, pelibat, dan penggunaan bahasa ke dalam tata bahasa berdasarkan fungsi semantis. Proses realisasi konteks ke dalam tata bahasa dijembatani oleh aspek semantis. Realisasi makna ke dalam tata bahasa itu selanjutnya dikenal dengan terminologi leksikogramatika. Artinya, makna direalisasikan dengan deretan pilihan leksikon yang disusun sedemikian rupa dalam struktur gramatika tertentu untuk merealisasikan maksud pelibat. Struktur gramatika yang merealisasikan makna eksperiensial disebut dengan struktur Transitivitas. Struktur gramatika yang merealisasikan makna pertukaran antarpelibat
disebut
dengan
struktur
Modus.
Struktur
gramatika
yang
merealisasikan makna tekstual disebut dengan struktur Tematis. Sebagai struktur yang merealisasikan relasi antarpelibat, struktur Modus (Mood) mencakup dikotomi Modus-Residu (MOOD – RESIDU), dan struktur 131
132
modus yang bersifat tipikal dalam proses interaksi. Analisis Modus mencermati cara yang ditempuh pelibat dalam memanfaatkan bahasa sebagai media untuk berkomunikasi atau bagaimana bahasa difungsikan dalam interaksi sosial. Jadi, pembicara dapat memilih bentuk ekspresi, semiotik sosial, dan struktur kosakata untuk menjalin hubungan dengan pendengar sehingga memungkinkan makna terekspresi sesuai kepentingan pribadi pembicara. Dengan demikian, analisis Modus berorientasi pada pihak pembicara, termasuk makna yang dipertukarkan, leksikon yang dipilih untuk merealisasikan makna, tata bahasa, dan tipe respon yang dikehendaki (Halliday, 2004: 106). Dalam kaitan itu, peran pelibat dipilah menjadi dua, yaitu pembicara dan pendengar. Yang dimaksud dengan pembicara ialah penulis (writer) dan pembicara (speaker), sedangkan pendengar mencakup lawan wicara (listener), penyerta (audience), atau pembaca (reader). Komposisi Modus-Residu mencerminkan komponen yang berfungsi sebagai komponen utama dan komponen penunjang. Dalam kajian Sistemik, setiap klausa lengkap mengandung kedua komponen tersebut. Akan tetapi, komposisi Modus-Residu versi Sistemik tidak dapat dipadankan dengan nosi inti (core)1 dan periphery (Vallin, 2005: 4). Halliday (2004: 111) dengan tegas mendefinisikan Modus sebagai suatu elemen yang membawa argumen dan bertanggung jawab atas kesuksesan dan kegagalan suatu proposisi (the nub of the proposition). Dengan kata lain, Modus mengandung beban klausa sebagai sebuah peristiwa interaksional di antara para pelibat. Jadi, berdasarkan batasan Modus itu 1
Dalam teori Relasional (Vallin: 2005) komponen inti mencakup Subjek, nuklius, dan argumen
wajib lainnya, sedangkan Adjung tergolong periphery.
133
dapat ditarik simpulan bahwa Subjek sebagai argumen tertinggi secara sintaksis merupakan komponen Modus. Rincian komponen Modus dalam Bahasa Inggris terdiri atas (a) Subjek yang biasanya direalisasikan dengan kelompok nomina, dan (ii) Operator verbal yang menjelaskan kala (tense), finit, polaritas ya/tidak, dan modalitas (modality) yang menjelaskan probabilitas, frekuensi, intensitas, kecenderungan, atau keharusan. Dalam Bahasa Inggris, identitas Modus dapat diuji dari kemampuannya muncul dalam bentuk tag dan jawaban pendek, seperti contoh (6.1) di bawah ini (diadopsi dari Eggins, 1994: 157).
a. Henry James wrote “The Bostonians”,
didn‟t he?
b. He wasn‟t a physicist
Yes, he was No, he wasn‟t
Bentuk tag (a) dan jawaban pendek (b) itu merujuk pada Subjek dan Finit. Bagian lain di dalam klausa (the rest of the clause), misalnya wrote “The Bostonians (a) atau a physicist (b) dikategorikan sebagai Residu. Jadi, bagian klausa yang tidak termasuk Modus merupakan komponen Residu. Residu bersifat mendukung Modus, dan dapat diuji dengan penanggalan (ellipsed) pada jawaban pendek dan bentuk tag. Komponen Residu terdiri atas Predikator, Komplemen, dan Adjung. Predikator
biasanya
direalisasikan
oleh
kelompok
verbal,
Komplemen
direalisasikan oleh kelompok nomina, sedangkan Adjung direalisasikan oleh kelompok adverbia atau Sirkumtansi. Identitas Komplemen ialah partisipan yang tidak penting (non-essensial participant) dalam klausa, tetapi memiliki potensi
134
menduduki fungsi Subjek dalam klausa pasif. Identitas Modus-Residu yang dapat diuji dengan bentuk tag dan jawaban pendek diprediksi juga berlaku pada bahasabahasa lain yang memiliki tipe serupa dengan Bahasa Inggris. Pengertian struktur tidak bermarkah adalah struktur tipikal atau susunan yang paling sering muncul dan secara gramatika struktur tersebut tidak memuat prominensi tertentu. Tidak semua argumen yang wajib muncul pada klausa transitif dapat menduduki fungsi sebagai Modus. Modus klausa kanonis dalam pandangan Sistemik biasanya memuat argumen tertinggi secara sintaksis, sementara argumen kedua dan seterusnya dikategorikan sebagai Residu. Penelusuran struktur Modus dipandang penting mengingat Bahasa Bali sebagai kode bahasa yang digunakan untuk merealisasikan TNNGB diprediksi memiliki karakteristik berbeda dengan Bahasa Inggris dalam hal tertentu. Oleh sebab itu, konsep Mood-Residu dalam Bahasa Inggris yang digunakan sebagai dasar pengembangan teori Sistemik tidak dapat diacu secara utuh. Secara morfologis, verba aktif Bahasa Bali dapat dimarkahi prefiks {-}2 atau tanpa prefiks {-}. Kedua bentuk itu dapat dipadankan dengan konstruksi nasal dan konstruksi zero (Artawa, 1998). Bentuk {-} disebut pula struktur nasal transitif
(Pastika, 2002) atau anunasika (Sulaga, 1996). Predikator yang
dimarkahi {-} dapat direalisasikan dengan beberapa varian bunyi nasal yang homorgan dengan bunyi awal bentuk yang dilekatinya.
2
{-} yang dipakai pada disertasi ini mengacu pada bentuk dasar prefiks yang dapat direalisasikan dengan beberapa alomorf. Distribusi {-} bersifat lebih luas daripada artifonem, terutama kemampuannya melekat pada setiap bunyi vokal dan semivokal. Prefiks {-} dapat membentuk verba transitif atau intransitif dari verba dasar dan bentuk prakategorial.
135
6.2 Komposisi Modus - Residu Dasar penentuan komponen Modus dengan pengujian bentuk tag atau jawaban pendek tidak dimungkinkan dalam Bahasa Bali. Hal itu disebabkan oleh ketidaktermilikan strategi serupa dalam Bahasa Bali. Perhatikan contoh berikut (Data B2/3/5, 6). (6.2) a.
…Jero Bendesa sampun rauh ragané?... HON SOS ASP -datang 3TG-DEF „Ketua adat sudah datang? *Jero Bendesa sampun rauh // ragane? *Jero Bendesa sampun rauh, NEG ragané? *Jero Bendesa sampun rauh
b.
ragané?
…Nggih, sampun… ya ASP „Ya, sudah‟ *nggih, ragané sampun
Bentuk ragane „3 TG‟ (a) mengacu pada Subjek jero Bendesa, tetapi klausa di atas tidak dapat dilihat sebagai bentuk tag. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya jeda sebelum leksikon ragane yang bersifat koreferen dengan Subjek. Klausa
itu juga tidak memunculkan negasi
sebagai bentuk kontras
dengan bagian klausa yang mendahuluinya. Perubahan intonasi sebagaimana tag dalam Bahasa Inggris juga tidak dimunculkan. Dengan demikian bentuk ragane pada klausa di atas bukan merupakan bentuk tag, tetapi pronominal copy dari Subjek. Pengujian dengan jawaban pendek sebagaimana Bahasa Inggris juga menemukan kendala. Jawaban pendek terhadap klausa (a) ditampilkan pada (b) ternyata tidak memunculkan Subjek. Jawaban pendek (b) tersusun atas ungkapan
136
ya/tidak dan aspek. Klausa itu tidak dapat dibentuk dengan jawaban „ya/tidak‟ diikuti oleh Subjek dan negasi sebagaimana Bahasa Inggris. Bahasa Bali juga tidak mengenal unsur Finit yang dinyatakan sebagai unsur yang membuat proposisi menjadi definitif. Oleh sebab itu, pengujian komponen Modus-Residu dengan bentuk tag dan jawaban pendek tidak berlaku pada Bahasa Bali. Dalam kaitan Modus-Residu, tidak setiap Adjung dinyatakan sebagai Residu. Kategori yang diperankan Adjung Adjung Sirkumtansial
dipilah berdasarkan metafungsi.
yang menerangkan tempat, waktu, cara, alat, tujuan,
alasan, dan sebagainya dikategorikan sebagai Residu. Sementara itu, (i) Adjung ekspresi sikap penilaian (assesment) terhadap klausa, (ii) Adjung vokatif, yakni ekspresi yang mencerminkan siapa pembicara yang berikutnya (addressed the next speaker), dan (iii) Adjung kontinuitas yang menjelaskan hubungan dengan klausa sebelumnya tidak termasuk Modus maupun Residu. Berdasarkan fungsi setiap komponen terhadap klausa, komposisi Modus-Residu Bahasa Inggris dapat digambarkan sebagai berikut (diadopsi dari Eggins (1994: 171).
137
Klausa
Non-Modus/Residu
Klausa
Modus
Adjung
Subjek
Residu
Predikator Komplemen Adjung Modal Operator
Vokatif Komen Kontinuitas Nomina
Proses
FIN Modal Verba
Sirkumtansial
Nomina
Adverbia/FP
Gambar 6.1: Komposisi Modus - Residu Bahasa Inggris Gambar (6.1) menunjukkan elemen Modus-Residu dan non-Modus/Residu dalam Bahasa Inggris. Tampak kehadiran proses dijadikan pembatas komponen Modus dengan Residu. Artinya, elemen yang muncul di kiri proses dapat dikategorikan sebagai Modus, sedangkan proses dan elemen yang mengikutinya dapat dikategorikan sebagai Residu. Unsur tekstual seperti Adjung Vokatif, Adjung Komen, dan Adjung Kontinuitas dapat muncul di depan Modus atau di belakang Residu. Dalam Bahasa Bali, unsur Finit seperti auxiliary ‟kata bantu‟ dan tobe ‟kopula‟ dalam Bahasa Inggris tidak ditemukan. Hal itu menyebabkan komponen Modus Bahasa Bali cenderung lebih sederhana daripada Bahasa Inggris. Persamaan yang ditunjukkan adalah tipologis kedua bahasa bahasa memiliki konstruksi dasar Subjek-Predikat (S-P). Dengan demikian, komponen pokok
138
konstruksi dasar Modus Bahasa Bali ialah Subjek/Agen, sedangkan komponen pokok Residu ialah Predikator, seperti ditampilkan gambar di bawah ini.
Klausa
Non-Modus/Residu Klausa
Modus
Adjung
Residu
Subjek
Predikator Komplemen Adjung Modal Operator
Vokatif Komen Kontinuitas Nomina
Modal
Proses
Verba Nomina
Sirkumtansial
Adverbia/FP
Gambar 6.2: Komposisi Modus - Residu Bahasa Bali
Mencermati gambar (6.2) dapat dilihat bahwa struktur Modus-Residu Bahasa Bali mirip dengan Bahasa Inggris, kecuali pada unsur modal operator. Pada Bahasa Bali, proses dapat
dijadikan pembatas komponen Modus dan
Residu. Artinya, proses dan unsur yang mengikutinya tergolong Residu, sedangkan yang mendahuluinya dapat dinyatakan sebagai Modus. Subjek yang biasanya direalisasikan oleh kelompok nomina dapat dipandang sebagai inti Modus, sedangkan proses merupakan inti dari komponen Residu pada struktur kanonis.
139
Selain hal di atas, perbedaan menonjol komposisi Modus-Residu Bahasa Bali terhadap Bahasa Inggris terletak pada kemandirian komponen. Modus Bahasa Inggris dapat menjangkau sebagian dari Residu sebagai dampak adanya fusi finit ke bentuk Predikator. Contohnya, proses writes ‟menulis‟ mengandung makna ‟3 TG menulis‟ atau dapat dilihat sebagai bentuk does write ‟Finit menulis‟. Ikatan Subjek-Predikat secara gramatikal itu tidak dimiliki oleh Bahasa Bali. Komposisi Modus-Residu Bahasa Bali bersifat mandiri, tanpa menjangkau sebagian dari komponen lainnya. Jadi, tidak dimungkinkan adanya ekstensi jangkauan antarkomponen dalam klausa Bahasa Bali.
6.3 Struktur Proposisi Pertukaran informasi melibatkan dua pihak, yakni pihak yang mengambil inisiatif (initiating) untuk bertanya atau menyatakan sesuatu, dan pihak yang memberi respons (responding). Respons yang diberikan dapat berupa respons yang mendukung atau respons yang menentang. Akan tetapi, setiap pembicara memiliki kepentingan tersendiri dalam pertukaran. Ada pembicara yang melakukan interaksi dengan tujuan memberi dan meminta informasi, dan ada pula yang memberi atau meminta layanan. Berdasarkan peran itu, Halliday memperkenalkan terminologi Proposisi dengan Proposal. Proposisi adalah interaksi yang dilakukan untuk tujuan mempertukarkan informasi, sedangkan Proposal merupakan interaksi yang ditujukan untuk mempertukarkan barang atau layanan. Dua kategori itu juga merujuk pada tipe respons yang diharapkan, yakni, respons verbal pada Proposisi dan respons nonverbal pada Proposal. Sebagai
140
pihak yang menentukan pilihan modus, pembicara dapat menggiring pendengar untuk memunculkan perubahan sikap ataupun perubahan perilaku yang relevan. Untuk memengaruhi pendengar, pembicara biasanya menyisipkan modalitas. Modalitas dapat terdiri atas modalisasi dan modulasi. Modalisasi yang disisipkan pada Proposisi dapat
berupa unsur probabilitas (certainty) dan frekuensi
(usuality) seperti ditampilkan gambar bawah ini (diadopsi dari Halliday, 2004: 619) (terjemahan oleh penulis).
Modalisasi Probabilitas
Frekuensi ya
yakin
selalu
barang kali
biasanya
mungkin
kadang-kadang tidak
Gambar 6.3: Modalisasi Berdasarkan gambar (6.3) dapat dilihat bahwa Modalisasi menghubungkan kutub ‟ya‟ dan ‟tidak‟. Artinya, pilihan modalisasi mencerminkan sikap pembicara terhadap kebenaran pernyataannya dan intensitas pengaruhi yang ditujukan kepada pendengar. Dari sudut pandang pembicara, setiap pertanyaan atau pernyataan yang diajukan harus mendapat respons yang sesuai dengan tujuan pembicara. Pada Proposisi yang bersifat memberi informasi, Subjek biasanya ditempatkan sebagai unsur sentral. Sebaliknya, Proposisi yang mementingkan
141
perolehan informasi menempatkan unsur tanya dan Subjek
sebagai
Modus.
Perhatikan contoh klausa di bawah ini (Data B2/3/12, 13, 34, 35). (6.3) a. …Ragane sampun sayaga … 3 TG ASP ø-siaga „Beliau sudah siap‟ b. …Seratiné kan sampun biasa makarya bakti amunika … serati-DEF ASP FREK -buat sajen KUAN „Serati sudah biasa membuat sajen sebanyak itu‟ c.
...Sapunapi patutné bakti sané kamargiang? … TANYA OBLI sarana REL PAS-jalan ‟Sarana apakah yang harus disiapkan?
d.
…Mrasidayang minab seratiné ngarap nika?... TANYA PROB tukang sajen-DEF -kerja DEM „Sanggupkah serati menyiapkannya?‟
Sapunapi patutné Mresidayang minab Kata Tanya
Ragane sampun
sayaga
Seratiné (kan sampun biasa) bakti
makarya
bakti amunika
seratiné
sane kamargiang ngarap
nika?
Subjek
Predikator
Komplemen
MODUS
RESIDU
Pada Proposisi (6.3) klausa (a, b) bersifat memberikan informasi, sedangkan klausa (c, d) bersifat meminta informasi. Pada dua klausa pertama (a, b) dapat dilihat bahwa Subjek menempati fungsi Modus. Proposisi yang bersifat memberikan informasi itu menempatkan komponen Subjek, polaritas ya/tidak, dan modalitas sebagai Modus. Proposisi yang bersifat meminta informasi, seperti contoh (c, d) biasanya menempatkan unsur tanya sebagai Modus mendampingi
142
Subjek. Dengan demikian, klausa interogatif itu cenderung memiliki dua komponen Modus, yakni unsur yang ditanyakan dan Subjek. Klausa interogatif menempatkan elemen tanya sapunapi ‟bagaimana‟ (c) dan mresidayang ‟sanggup‟ (d) di awal klausa sebagai komponen yang ditonjolkan. Kata tanya tersebut dapat pula ditempatkan di akhir klausa, tetapi elemen tanya itu tidak mendapat penekanan sebesar posisi awal klausa. Klausa interogatif (c) merupakan klausa yang membutuhkan jawaban berupa uraian, sedangkan klausa (d) menerima jawaban pendek ya/tidak. Ditinjau dari intonasi, Proposisi yang mengharapkan informasi panjang biasanya dilantunkan dengan intonasi yang lebih datar dibandingkan Proposisi yang mengharapkan jawaban ya/tidak. Perbedaan intonasi itu mirip dengan klausa interogatif dalam balam Bahasa Inggris. Klausa
(6.3)
merupakan
percakapan
terkait
dengan
kesediaan,
kelengkapan sarana, dan kesanggupan (ability). Informasi yang disediakan klausa (a, b) di atas dapat dimaksudkan untuk menyatakan kesiapan peserta kunci dan kelompok pengadaan sarana. Modalitas yang dimunculkan ialah
patutne
‟sepatutnya‟ yang mencerminkan keharusan, sedangkan minab ‟mungkin‟ dan biasa ‟biasa‟ menyatakan tingkat probabilitas. Penggunaan Modulasi pada Proposisi TNNGB menunjukkan frekuensi yang sangat kecil. Keterbatasan jumlah penggunaan Modalisasi dapat diinterpretasikan sebagai berikut. Pertama, pembicara jarang menggunanakan Modalisasi karena pembicara membicarakan sesuatu yang diyakini benar, atau didasarkan atas pengalaman. Pembicara berbicara lugas sesuai dengan fakta atau pengetahuan yang dimiliki. Dengan keyakinan itu, Modalisasi tidak dibutuhkan. Kedua, tema
143
religius dipandang sebagai tema yang tidak boleh dicederai dengan keragu-raguan oleh pendengar ataupun pendengar. Tampaknya ada etika bahwa pembicara tidak dibolehkan berbicara berlebihan atau tampak memaksakan kehendak. Ketiga, hubungan antara pembicara dengan pendengar terjalin dengan rasa saling percaya. Artinya, pendengar sangat mempercayai informasi yang diperoleh, sedangkan pembicara menyampaikan informasi yang diyakini membawa kebaikan bagi semua warga.
Kondisi demikian diprediksi menekan penggunaan unsur
modalitas. Modalisasi cenderung digunakan pada tahap persiapan dibandingkan tahap puncak. Berikut deretan Modalisasi yang dimunculkan TNNGB. (a) minab ‟mungkin‟ (b) prasida ‟bisa‟ (c) janten ‟pasti‟ (d) mrasidayang ‟bisa‟ (e) biasa ‟biasa‟ (f) sering-sering ‟sering kali‟ (g) patut ‟harus‟
Penggunaan Modalisasi dalam jumlah terbatas mengindikasikan bahwa modalisasi tidak berfungsi signifikan dalam pertukaran makna. Pamangku sebagai pembicara kunci sudah mendapat kepercayaan dari anggota komunitas sehingga sebagian besar informasi yang diberikan tidak dilengkapi unsur Modalitas. Sebaliknya, anggota komunitas bersikap sangat percaya terhadap pamangku dan
144
tidak berani meragukan kebenaran informasi yang diterima. Hal itu terjadi karena pamangku dipandang memiliki pengetahuan dan kemampuan jauh di atas anggota komunitas. Jadi, kepercayaan yang terjalin antarpelibat tidak membutuhkan penggunaan Modalisasi. Bila dicermati tipe nomina yang ditempatkan sebagai Modus, tampak variasi Subjek insani dan noninsani (bukan manusia). mencakup
entitas
selain
manusia,
seperti
kekuatan
Subjek noninsani ke-Tuhan-an
yang
direalisasikan dengan beberapa manifestasi. Tabel berikut menunjukkan sebagian dari nomina insani dan insani yang dimunculkan pada bagian isi fase puncak TNNGB. Tabel 6.1 Pelibat Insani dan Noninsani
Insani Panjak ‟rakyat‟ Damuh ‟hamba, rakyat‟ Titiang ‟saya‟ Beli ‟kakak‟ (1 TG) Jero mangku Krama ‟warga‟ Roban ‟saudara‟
Noninsani Batara Wisnu Batara Mahadewa Batara Iswara Batara Brahma Ratu Pangrenca Gumi Ratu Ngurah Tabeng Langit I Gusti Wayan Taba I Gusti Made Jelawung I Gusti Nyoman Pengadangadang I Gusti Ketut Petung I Sampati ‟Garuda hitam‟ I Wenara Petak ‟Kera putih‟ Ratu Sang Hyang Agama ‟Tuhan‟
Tabel (6.1) menunjukkan TNNGB melibatkan pelibat noninsani lebih dominan daripada pelibat insani. Pelibat insani dimunculkan secara berulang pada fase persiapan. Fase puncak dan penutup didominasi oleh pelibat yang tidak
145
kasatmata. Monolog pada fase puncak dan penutup seluruhnya ditujukan kepada partisipan noninsasi, mulai dari tahapan memohon penyucian, pengampunan, berkah, penjagaan,
pemujaan, permohonan bantuan, hingga pernyataaan
persembahan. Keterlibatan unsur insani dan noninsani mencerminkan bahwa teks TNNGB menautkan unsur manusia dengan unsur lain, baik yang bersifat kasat maupun tidak kasatmata. Dengan demikian, keberadaan manusia tampaknya tidak sepenuhnya dapat menentukan keberhasilan permohonan. Dapat pula disimpulkan bahwa banyak hal lain di luar manusia yang turut memberi kontribusi bagi berhasilan permohonan dan kehidupan manusia. Oleh sebab itu, manusia harus menjalin hubungan baik dengan manusia lain, alam lingkungan, Tuhan, dan manifestasi-Nya.
6.4 Struktur Proposal Berbeda dengan Proposisi yang melibatkan aktivitas memberi (giving) dan meminta (demanding) informasi, Proposal biasanya bersifat mempertukarkan barang (goods) atau layanan (sevices). Pada Proposal, pihak inisiator biasanya mengharuskan pihak lain melakukan sesuatu, sedangkan pihak responsif dapat melakukan perintah atau mengabaikannya. Dengan kata lain, Proposal lebih mementingkan
respons
nonverbal
daripada
respons
verbal.
Pembicara
menghendaki permintaan atau perintah yang diberikan dipatuhi (compliance). Pembicara dapat menyisipkan modulasi untuk mendorong pendengar mematuhi permintaan yang diajukan. Modalitas yang disisipkan dapat berupa
146
unsur obligasi (obligation) dan
inklinasi (inclination), seperti ditampilkan di
bawah ini (diadopsi dari Halliday, 2004: 619) (terjemahan oleh penulis).
Modulasi Obligasi
Inklinasi lakukan
harus
sangat ingin sekali
diharapkan
sangat ingin
diperbolehkan
ingin jangan lakukan Gambar 6.4: Modulasi
Modulasi pada dasarnya digunakan untuk memengaruhi tingkah laku pendengar. Pembicara berusaha menggiring mitra wicara untuk mematuhi permintaan dalam bentuk perilaku nyata. Pembicara yang memberi perintah dengan elemen obligasi atau inklinasi tingkat tinggi tidak memberi ruang bagi pelibat lain untuk mengabaikan permintaannya. Penggunaan Modulasi pada TNNGB menunjukkan distribusi yang terbatas. Modulasi umumnya dimunculkan pada fase persiapan. Frekuensi yang terbatas itu diprediksi terkait dengan dengan kesediaan pendengar untuk melakukan tindakan yang diwajibkan. Berikut ditampilkan bentuk Modulasi yang dimunculkan. (a) lédang ‟berkenan‟ (b) suéca ‟bersedia‟ (c) ngemanahang ‟ingin‟
147
(d) pas ‟cocok‟ (e) patutné ‟sepatutnya‟ (f) perlu ‟perlu‟ (g) sepatutné ‟ ‟sepatutnya‟ (h) durus ‟diperbolehkan‟ (i) sedeng ‟seharusnnya‟ (j) becikné ‟sebaiknya‟ Berdasarkan jumlah penggunaan Modulasi tampak bahwa pembicara tidak melakukan upaya maksimal untuk memengaruhi perilaku pelibat lain. Hal itu mengindikasikan adanya relasi simetris antara ekspresi keinginan dan keharusan. Artinya, pendengar merasa berkewajiban melakukan tindakan yang sesuai dengan petunjuk
pamangku,
sedangkan
pamangku
menginginkan
pendengar
melaksanakan tindakan tertentu. Berimbangnya inklinasi dan obligasi tidak mengharuskan munculnya modulasi yang berlebihan. Keterbatasan modulasi pada fase puncak dan penutup diprediksi terkait dengan ranah ritual. TNNGB memerlukan berbagai tindakan fisik pada setiap fase dan tahapan. Untuk memperoleh tindakan nyata dari pendengar, pembicara menggunakan Proposal yang berbentuk perintah maupun permintaan. Bentuk perintah diisi oleh verba di awal klausa, sedangkan bentuk permintaan didahului oleh ungkapan titiang nunas ‟saya mohon‟. Proposal juga dapat diperhalus dengan meletakkan unsur lain di depan Predikator, misalnya numeral, Sirkumtansi, atau Medium, seperti contoh berikut (Data A3/ 3/109, 110, 89, 126 ).
148
(6.4) a. ...Asiki pajatiné unggahang di Gedong Déwi Danu... NUM pajati-DEF -naik PREP ‟ Satu pajati persembahkan di Gedong Déwi Danu‟ b. ...Bénjang dados margiang... Sirk MOD ø-jalan ‟Besok boleh dijalankan‟ c. ...Dados bakta ke pura baktiné... MOD ø-bawa PREP pura sarana-DEF ‟Sarana itu bisa dibawa ke pura‟ d. ...I Ratu mulpulang sehananing méga... ART Ratu -kumpul KUAN mendung ‟Engkau mengumpulkan semua mega‟
Dengan penambahan unsur lain di depan Predikator, pembicara menyamarkan makna perintah menjadi makna informatif (a, b), permisif (c), atau abilitas (d). Kesantunan perintah seolah-olah tidak memaksa pendengar melakukan sesuatu, tetapi mempersilakannya. Pada klausa (a, b) dimunculkan unsur Sirkumtansi yang berupa numeral dan keterangan waktu. Pada Proposal yang tidak memunculkan mitra wicara, dapat dipahami bahwa perintah ditujukan kepada orang kedua. Sebaliknya, pada fase puncak dimunculkan Proposal yang memuat identitas mitra wicara. Cara demikian mencerminkan pilihan pelibat di antara pendengar lainnya untuk melakukan tindakan yang diharapkan. Pada bentuk yang lebih sopan, pendengar dipersilakan melakukan sesuatu yang mendukung keberhasilan permohonan dengan ikhlas. Pada kondisi itu, pembicara bersikap sebagai penerima bantuan (invite to receive). Jadi, posisi sebagai pengaju permintaan bergeser menjadi penerima bantuan. Gradasi kesopanan itu dapat dilihat pada contoh berikut (Data A2/3/ 126, 130, 131, 137, 140).
149
(6.5)
a
...Ratu Ngurah Tangkeb Langit, titiang nunas sabeh ... Ratu NAMA 1 TG -minta hujan ‟Ratu Ngurah Tangkeb Langit, saya mohon hujan‟
b.
... Medalang sehananin kerug tatit ... -keluarkan KUAN guruh kilat ‟Keluarkan semua guruh dan kilat‟
c.
... Ratu Ngurah wantah dados paneduh... Ratu NAMA ATR -jadi peneduh ‟Engkau menjadi harapan‟
d.
... I Ratu nyimpen keluwung geni maring ambara... ART Ratu -simpan pipa api PREP angkasa ‟Gusti Wayan agar menyimpan semua petir‟
e.
...I Ratu ledang mulpulang sehananin entikan gulem ART Ratu berkenan -kumpul KUAN bakal mendung manadi sabeh merta ... - jadi hujan berkah ‟Semoga Tuhan bekenan mengumpulkan bakal mendung menjadi hujan yang memberkahi‟
Gradasi kesopanan tampak pada rangkaian klausa teks tolak hujan (6.5) di atas. Dengan menyampaikan tujuan, pembicara yang dipresentasikan oleh pamangku memerintahkan Ratu Ngurah Tangkeb Langit mengeluarkan guruh dan kilat. Setelah itu dimunculkan klausa relasional yang menjelaskan termohon merupakan pihak yang dapat melindungi. Termohon dinyatakan memenuhi atribut untuk mengabulkan permohonan dan memiliki keikhlasan melakukan hal yang dimaksud. Pada akhirnya, pemohon tidak lagi berstatus sebagai pemberi instruksi, tetapi berstatus sebagai penerima perkenan Tuhan. Pamangku menempatkan Ratu Ngurah Tangkeb Langit sebagai pihak yang dengan senang
150
hati melakukan bantuan kepada warga. Jadi, posisi Ratu Ngurah Tangkeb Langit yang pada awalnya lebih rendah daripada pembicara sehingga dapat diperintah secara perlahan dikembalikan menjadi figur yang dapat melakukan apa saja sesuai kehendaknya.
Ratu Ngurah Tangkeb Langit mengumpulkan semua mendung
untuk mendatangkan hujan bukan lagi atas pemintaan pamangku, tetapi karena Beliau mampu melakukannya dan berkenan melakukannya. Jadi, kekuasaan pamangku memerintah Ratu Ngurah Tangkeb Langit secara perlahan bergeser menempatkan kekuasaan Ratu Ngurah Tangkeb Langit sebagai figur yang sangat berkuasa dan dapat melakukan berbagai hal yang tidak dapat dilakukan manusia. Jadi, rangkaian Proposal dapat menempatkan pendengar menjadi pihak yang aktif melakukan perlindungan. Pengedepanan (foregrounding) mitra wicara dalam hal ini, Ratu Ngurah Tangkeb Langit, mengubah posisi pemohon menjadi pihak yang yang menerima bantuan. Gradasi kesopanan itu memiliki struktur yang diawali dengan permintaan pemohon (a, b) diikuti pernyataan abilitas termohon (c), termohon dipersilakan melakukan abilitas yang dimaksud (d), dan termohon berkenan melakukan itu (d). Gradasi permohonan itu mencerminkan bahwa manusia hanya dapat mengajukan permohonan, sedangkan
keberhasilan permohonan sangat bergantung pada
pertolongan dan perkenan Tuhan.
6.5 Sistem Modus Modus atau mood mengandung pengertian sebagai kategori gramatikal dalam bentuk verba yang mengungkapkan sikap pembicara terhadap apa yang
151
diucapkannya atau suasana psikologis menurut sudut pandang pembicara (Halliday, 2004: 619). Dengan demikian, struktur modus merupakan suasana hati pihak pembicara dalam mengekspresikan tujuannya. Klasifikasi modus berkaitan erat dengan dua hal pokok, yakni (i) komoditas yang dipertukarkan dan (ii) peran yang dimainkan oleh pembicara. Para pelibat dalam proses pertukaran tidak saja mempertukarkan informasi, tetapi juga menyangkut pertukaran barang dan jasa layanan. Komoditas itu mendorong pelibat untuk menyampaikan tujuan dengan modus tertentu (speech function). Pembicara dapat mempertukarkan informasi dengan cara mengajukan pertanyaan atau menyampaikan suatu pernyataan. Pada pertukaran barang dan jasa layanan, pelibat dapat memberi instruksi, mengajukan permintaan atau penawaran. Ditinjau dari peran pelibat, proses pertukaran melibatkan pelibat yang memberi (giving) dan pelibat yang meminta (demanding). Dengan demikian, proses pertukaran dapat dijadikan sarana bagi seorang pembicara untuk memberi sesuatu kepada pendengar (inviting to give), atau
meminta sesuatu
dari
pendengar (inviting to receive). Peran pembicara dan komoditas yang dipertukarkan itulah yang selanjutnya dijadikan acuan dalam sistem modus. Dalam peran sebagai pemberi informasi atau jasa layanan, pelibat dapat memilih modus penawaran atau pernyataan. Sebaliknya, pihak yang memerlukan informasi atau jasa layanan dapat memilih modus memerintah atau bertanya. Klasifikasi sistem Modus Bahasa Inggris didasarkan atas kehadiran Predikator. Dengan batasan itu terdapat dua modus pokok, yakni modus mayor dan modus minor. Modus mayor adalah struktur modus yang memiki Predikator,
152
dioposisikan dengan modus minor. Modus
indikatif dan imperatif tergolong
modus mayor. Modus imperatif berbeda
dengan modus indikatif yang
memunculkan Subjek dan modal operator. Berikut ditampilkan sistem modus Bahasa Inggris yang diadopsi dari Halliday (2004: 23) (terjemahan oleh penulis).
Mayor Predikator
Indikatif + Modal + Subjek
Deklaratif Subjek ^ Finit
Interogatif
Ya/Tidak Subjek^ Finit
Imperatif Kata Tanya Tanya ^Finit
Minor Gambar 6.5: Sistem Modus Bahasa Inggris
Sistem Modus Bahasa Inggris seperti tampak pada gambar (6.5) bersifat tipikal. Modus deklaratif memiliki tata urutan Subjek^Finit^Predikator dan digunakan oleh pembicara untuk menyatakan makna pernyataan. Makna bertanya direalisasikan dengan modus interogatif dengan menempatkan elemen ya/tidak atau kata tanya di awal klausa. Makna memerintah dinyatakan dalam modus imperatif dengan menempatkan Predikator di awal klausa. Berdasarkan gambar di atas tampak bahwa Predikator dijadikan acuan bagi kategori klausa. Klausa
yang tidak mengandung Predikator tidak dapat
diklasifikasikan sebagai klausa indikatif maupun imperatif. Predikator klausa Bahasa Inggris dapat pula direalisasikan dengan Finit.
153
Jika disejajarkan dengan sistem modus Bahasa Inggris, tampak Bahasa Bali tidak memiliki komponen sejenis Finit yang memungkinkannya membentuk klausa dengan predikator atau tanpa predikator. Artinya, meskipun sebagian besar klausa memiliki susunan Subjek-Predikat, namun terdapat tipe klausa yang memunculkan Predikator secara nonleksikal, seperti ditunjukkan contoh berikut (Data A3/4/203, 210)
(6.6)
a. …I Ratu ngrénca gumi… ART Ratu -kuasa bumi „Engkau menguasai dunia‟ b. …Titiang damuh cokor I Dewa… 1 TG kabut kaki ART Dewa „Aku hamba-Mu‟
I Ratu
ngrénca
Titiang
gumi damuh cokor I Dewa
Subjek
Predikator
Komplemen
Klausa (a) menunjukkan kehadiran Predikator secara leksikal, sedangkan klausa (b) memunculkan Predikator secara nonleksikal atau fitur. Ketidakhadiran Predikator secara leksikal seperti contoh (b) biasanya didukung agnasi dan tetap memiliki kesatuan makna. Klausa seperti (b) disebut pula klausa nominal (Sulaga, 1996) atau predikat nonverbal (Artawa, 1996). Klausa yang memunculkan Predikator secara leksikal atau secara fitur tetap dapat dipahami oleh pelibat dan tidak bersifat menghambat komunikasi. Kajian lebih lanjut tentang klausa dengan fitur Predikator dipaparkan pada subbab proses relasi identifikasional (7.2.5.2). Dengan demikian, sistem modus Bahasa Bali tidak sepenuhnya mengikuti sistem
154
modus Bahasa Inggris, terutama pada komponen Finit. Prakiraan sistem modus Bahasa Bali dapat digambarkan sebagai berikut.
Deklaratif Predikator
Indikatif
Mayor
Ya/Tidak Interogatif Tanpa Predikator
Imperatif
Kata tanya
Minor Gambar 6.6: Prakiraan Sistem Modus Bahasa Bali Berdasarkan gambar (6.6) dapat dilihat bahwa sistem modus Bahasa Bali memiliki pilihan struktur dengan atau tanpa Predikator. Kecuali unsur Finit, struktur klausa mayor yang memiliki Predikator tampak mirip dengan struktur mayor klausa Bahasa Inggris. Struktur klausa yang menghadirkan Predikator maupun tanpa Predikator tetap mengandung kesatuan makna sebagai sebuah klausa yang lengkap. Distribusi modus tipikal menunjukkan bahwa modus komunikatif yang paling banyak muncul pada TNNGB ialah modus imperatif. Makna perintah itu dapat dinyatakan secara tipikal maupun nontipikal. Yang digolongkan sebagai modus imperatif tipikal adalah klausa yang menempatkan Predikator di awal klausa. Sebaliknya, klausa yang dikategorikan sebagai struktur imperatif nontipikal adalah klausa perintah yang tidak diawali dengan Predikator. Perhatikan contoh klausa imperatif tipikal berikut (Data A1/4/ 125, 128, 130, 131).
155
(6.7) a.
b.
…Kemit ragan beliné… ø-jaga raga-DEF kakak-DEF „Jaga raga kakak (saya)‟ …Ngadeg sira Gusti Wayan Teba… -berdiri 3 TG NAMA „Bangkitlah wahai Gusti Wayan Teba‟
c.
…Simpen geniné bang… ø-simpan api-DEF merah „Simpanlah api merah‟
d.
…Medalang kerug tatit… ø-keluar guntur kilat „Keluarkan guntur kilat‟
Klausa (6.7) merupakan contoh penggunaan modus imperatif tipikal. Predikator yang digunakan dapat berupa proses aktif yang dimarkahi dengan (-) atau {-} pada Predikatornya. Struktur imperatif tipikal ditemukan pada bagian isi fase puncak dan penutup. Pada penggunaan struktur imperatif tipikal (a) tampak para pelibat memiliki kekuasaan yang tidak simetris. Pembicara memiliki kekuasaan yang lebih tinggi untuk dapat memerintah pelibat lain. Pembicara, dalam hal ini, pamangku menempatkan diri sebagai pihak yang lebih tua dengan merujuk dirinya sebagai beli ‟kakak‟. Relasi‟kakak-adik‟ memungkinkan pembicara mengajukan perintah kepada saudara mudanya. Distribusi modus yang dimunculkan TNNGB dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
156
Tabel 6.2 Bentuk Modus TNNGB
No.
1.
Bentuk Modus Deklaratif
A1
A2
Kode Teks A3 B1 B2
penuh
92
57
29
184
48
25
435
eliptikal
36
17
20
25
14
17
129
penuh
10
12
9
8
1
2
42
B3
Jumlah
2.
Interogatif
3.
eliptikal Interogatif penuh ya/tidak eliptikal
18 4 9
9 7 10
13 4 4
21 9 9
9 2 8
12 3 2
82 29 42
Imperatif Permintaan Jumlah Klausa
136 120
82 60
74 72
220 126
41 67
69 82
622 527
254
225
190
212
4. 5.
425
602
1908
Tabel (6.2) menampilkan bentuk-bentuk Modus pada teks neduh ‟panggil hujan‟ (A1, A2, A3) dan teks nyelang galah ‟tolak hujan‟ (B1, B2, B3). Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa TNNGB didominasi oleh modus imperatif baik direalisasikan dengan bentuk perintah atau permintaan. Penggunaan dua bentuk modus itu jauh lebih besar daripada bentuk modus deklaratif dan interogatif. Hal itu mengindikasikan bahwa pelibat dilibatkan dalam berbagai aktivitas nyata demi tercapainya tujuan. Dengan kata lain, TNNGB membutuhkan banyak dukungan perilaku yang terkordinasi di antara para pelibat. Bentuk deklaratif penuh umumnya dimunculkan pada paparan latar belakang permohonan pada fase persiapan, fase puncak dan fase penutup. Bentuk deklaratif eliptikal sebagian besar dimunculkan sebagai respon kesepahaman terhadap
157
paparan yang diberikan oleh pelibat lain. Bentuk tanya didominasi oleh permintaan penjelasan pelibat ketika menerima tugas tertentu. Klausa yang dinyatakan sebagai klausa penuh adalah klausa yang mengandung satu pikiran lengkap, yang dapat terdiri atas (a) ada pokok pembicaraan yang disebut Subjek, (b) unsur yang menjadi komentar tentang Subjek yang disebut Predikator, (c) unsur pelengkap dari predikat yang disebut Objek atau Komplemen, dan (d) unsur yang merupakan penjelasan lebih lanjut terhadap Subjek dan Predikat yang disebut Keterangan atau Sirkumtansi (Sirk). Klausa yang dinyatakan sebagai klausa eliptikal ialah klausa yang tidak lengkap, karena menanggalkan komponen tertentu. Penanggalan biasanya dilakukan pada komponen yang sudah dibicarakan sebelumnya atau sudah dipahami oleh para pelibat. Klausa penuh maupun klausa eliptikal tetap memiliki makna yang lengkap. Klausa eliptikal dapat menanggalkan salah satu unsur, di antaranya Subjek, Predikator, Komplemen, atau Adjung. Dengan demikian struktur klausa eliptikal dapat dilihat sebagai
klausa tidak lengkap
dari sudut pandang
kelengkapan struktur, tetapi klausa tersebut adalah klausa lengkap dalam arti kesatuan makna. Penanggalan tidak menghambat kesepahaman pelibat, tetapi dapat dilihat sebagai upaya menghindari pengulangan yang berlebihan dan pemenuhan aspek estetis. Klausa deklaratif eleptikal dimunculkan untuk merespons pernyataan, pertanyaan, atau perintah. Klausa deklaratif tidak lengkap itu berisi ungkapan penerimaan informasi atau penugasan. Klausa interogatif dapat direspon dengan
158
memberi informasi yang dibutuhkan atau persetujuan. Klausa permintaan atau perintah cenderung direspons dengan kesanggupan dan ditindaklanjuti secara nyata. Yang paling menonjol TNNGB tidak memunculkan klausa yang menunjukkan ekspresi berbantahan di antara pelibat. Terkait dengan dominasi modus perintah dan permintaan dalam TNNGB dapat dijelaskan sebagai berikut. (1) TNNGB
merupakan
penggunaan
bahasa
dalam
fungsinya
untuk
mempertukarkan makna. (2) Fungsi mempertukarkan itu meliputi tahapan: (a)
mengajukan
berbagai
pernyataan
terkait
fenomena
cuaca
dan
keberlangsungan mata pencaharian petani, (b)
mengajukan permintaan dan perintah terkait rencana pelaksanaan teks sehingga setiap pelibat dapat berperan aktif dalam teks,
(c)
mengajukan pertanyaan untuk memperoleh kejelasan rencana,
(d)
memberikan perintah dan permintaan untuk membantu keberhasilan permohonan.
(3) Fungsi bahasa untuk mempertukarkan tersebut secara teoritis harus direalisaikan dengan modus tertentu, yakni modus deklaratif untuk menyatakan pernyataan, modus interogatif untuk mempertanyakan sesuatu atau mengajukan penawaran, sedangkan modus imperatif untuk memberikan perintah, mengajukan permintaan atau mengajak untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian, TNNGB
memiliki ciri utama teks permohonan yang
disampaikan dengan modus imperatif terhadap pelibat kasatmata ataupun
159
pelibat tidak kasatmata. Dukungan aktif kedua tipe pelibat itu memungkinkan tujuan tercapai. Respons yang diharapkan ialah respons nonverbal berupa tindakan
yang seusai. Sementara itu, modus lainnya merupakan modus
komplementer yang strategis dalam membentuk kesatuan makna teks.
6.6 Modus Nontipikal Pada situasi khusus dapat terjadi kendala penggunaan modus tipikal. Kendala situasi misalnya, dapat menjadi pertimbangan bagi pembicara untuk beralih menggunakan modus nontipikal. Modus nontipikal disebut pula modus termodulasi, yaitu modus yang difungsikan pada fungsi kedua (secondary function). Modus nontipikal mengakomodasi ketidaksimetris makna dengan struktur. Pergeseran pilihan modus dilakukan untuk mengakomodasi
faktor
kepatutan yang bersifat konvensional. Artinya, latar tertentu meresepkan pembicara untuk beralih pada modus nontipikal. Jadi, bahasa selalu menyediakan cara untuk mengakomodasi hal-hal yang bersifat kultural. Modus tertentu dapat dipergunakan untuk menyatakan makna yang tidak simetris dengan fungsi umumnya. Dengan kata lain, modus komunikatif dapat difungsikan untuk maksud yang berbeda dari fungsi tipikalnya. Berdasarkan konfigurasi makna dan modus dapat diketahui bahwa modus deklaratif tidak saja dapat digunakan untuk menyatakan makna menyatakan, tetapi juga makna bertanya dan memerintah. Modus interogatif tidak hanya dapat digunakan untuk makna bertanya, tetapi juga untuk kepentingan menyatakan dan memerintah. Modus imperatif tidak hanya dapat digunakan untuk memerintah,
160
tetapi juga menyatakan atau bertanya. Konfigurasi tiga modus tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (diadopsi dari Larson, 1998: 263) (terjemahan oleh penulis).
Makna
Struktur Gramatikal
Menyatakan
Klausa Deklaratif
Bertanya
Klausa Interogatif
Memerintah
Klausa Imperatif
Gambar 6.7: Konfigurasi Makna dan Modus Pada gambar (6.7) tampak fungsi tipikal modus digambarkan dengan garis lurus, sedangkan fungsi nontipikal digambarkan dengan garis putus-putus. Menurut Larson (1998: 263), pergeseran makna dan struktur gramatikal dimotivasi oleh adanya konfigurasi makna dan struktur gramatikal (the possible skewing of semantic illocutionary force and the grammatical form), sehingga suatu makna dapat dinyatakan dalam beberapa
pilihan modus. Jadi, ada
kebebasan bagi pembicara dalam merealisasikan makna dengan modus yang sesuai. Secara struktural tidak tampak perbedaan signifikan antara struktur tipikal dan nontipikal, tetapi perbedaannya terletak pada makna yang dikandung. Dengan demikian, klausa termodulasi tidak cukup dipahami struktur formalnya saja, tetapi harus dilanjutkan pada implikasi makna yang dikandung. Yang paling menonjol terkait modus nontipikal dalam TNNGB ialah ada kecenderungan menyatakan makna memerintah dengan modus nonimperatif.
161
Artinya, makna memerintah itu dapat direalisikan dengan menggunakan modus lain. Untuk mencermati pilihan modus yang digunakan, berikut ditampilkan contoh percakapan pada tahap mapinunas „meminta bantuan‟ yang melibatkan ketua adat (KA) dan ketua paguyuban pamangku (P) (Data B2/1).
No 1.
Tuturan
2.
KA: Om Swastyastu, jero mangku „Salam‟ P: Om Swastyastu „salam‟
3.
P:
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Tujuan
Menyatakan rencana
Membuka percakapan Kesiapan menerima Kesiapan memasuki isi Memperkenal kan topik
Menyatakan kondisi
Pendalaman topik
Menyatakan penyebab
Pendalaman topik
KA: Mangkin duaning kénten, titiang nunasang mangda nunas embang „Oleh sebab itu, sekarang saya meminta agar anda melaksanakan tolak hujan‟ KA: Sapunapi patutné bakti sané patut kekaryanin „Sarananya apa saja?‟
Menyatakan permintaan
Meminta tanggapan
Meminta informasi sarana
Meminta informasi lanjutan
KA: Trus malih kudang rahina patutné titiang nauhin kramané indik kerja baktiné ring pura, jero mangku? „Kapan seharusnya saya mengajak warga mengadakan
Meminta informasi waktu
Meminta informasi lanjutan
Napi wénten pak klian? „Ada apa, ketua adat?‟ KA: Kénten jero, niki jaga wénten kegiatan kerja bhakti ring Pura Pucak „Begini, ada rencana kegiatan kerja bakti di pura Pucak‟ KA: Duaning pelinggih duéné sané kasendér jebol „Oleh karena tembok halaman pura longsor‟ KA: Kénten, antuk keni ujan tiap tiap hari „Terkikis hujan setiap hari‟
Memberi salam Menjawab salam Transisi
Fungsi
162
kerja bakti di pura?‟ Nggih, niki wénten galah malih tigang rahina „Baiknya tiga hari lagi‟ P: Indik bakti anggén nunas embang punika baktiné wantah bakti apajatian sareng pratista, nasi manca warna muah nasi putih kuning „Sarananya adalah pejati, nasi lima warna dan nasi putih kuning‟ P: Karuntutin antuk nasi pawongwongan selem lan putih, mebé ayam betutu putih kuning. „Lengkapi dengan nasi pawongwongan hitam dan putih‟. KA: Sampun nika mangku? „Sudah itu saja? KA: Nggih. Suksma jero mangku „Ya, terima kasih‟ KA: Ngeninin indik bakti sané keanggén: pajatian, pratista, nasi pawongwongan, taler segehan maulam bawang jaé lan ayam betutu „Untuk sarana dibutuhkan nasi pajatian, pratista, nasi pawongwongan, dan segehan dengan bawang jahe ditambah ayam betutu KA: Nika patut bakti sané jaga kekaryanin jero mangku? „Benarkah sarana itu yang harus disiapkan? P: Nggih „Ya‟ P: Malih nasi manca warna nika „Juga nasi lima warna‟
10. P:
Menyatakan waktu
Menerima permasalahan
11.
Menyatakan sarana
Memberikan informasi
Menyatakan sarana khusus
Memberikan informasi lanjutan
Konfirmasi
Konfirmasi
Menerima informasi Mengulang informasi
Menjawab
Konfirmasi
Konfirmasi
Menerima
Menyatakan persetujuan Mengoreksi informasi
12.
13. 14. 15.
16.
17. 18.
19. P:
Nggih, mangda becik titiang nauhang ring tukang banten druéné „Baik, agar dapat saya
Menyatakan sarana tambahan Merangkum
Memastikan informasi
Transisi
163
20. 21. 22.
23.
24.
sampaikan kepada tukang sajen‟ KA: Nggih, suksma, jero mangku „Ya, terima kasih‟ P: Nggih, suksma „Ya, terima kasih‟ KA: Suksma jero. Duaning sampung nika, mangkin titiang pamit jero mangku „Saya mohon diri‟ P: Suksma „Terima kasih‟ KA: Nggih, suksma „Ya, terima kasih‟
Berterima kasih Menerima Mohon diri
Menerima
Menutup percakapan
Menutup percakapan. Menyetujui penutupan Pernyataan mohon diri
Menyetujui permohonan mohon diri Berpisah
Percakapan pada teks mapinunas di atas diawali dengan salam pembuka dan ditutup dengan berpamitan dan ucapan terima kasih. Ditinjau dari pilihan modus yang digunakan, tampak modus deklaratif dimunculkan lebih dominan daripada modus lain mengingat teks mapinunas „bertanya, meminta bantuan‟ merupakan teks kordinatif antara pemohon dengan pamangku. Modus deklaratif dipakai untuk maksud memberikan penjelasan terkait dengan topik, berterima kasih, menyatakan mohon diri, dan menerima pernyataan mohon diri. Sebagian kecil dari klausa deklaratif itu dapat dipandang menjalankan fungsi memerintah, seperti contoh (3, 7, 13, 16, 22). Contoh (3) mengandung perintah untuk meminta mitra wicara memasuki isi permasalahan. Klausa deklaratif pada contoh (7) dimaksudkan menyampaikan permintaan pelaksanaan nyelang galah. Contoh (13, 16) mengandung perintah menggenapi kelengkapan sarana yang diwajibkan. Ekspresi prapenutup (19) menggiring pelibat menutup percakapan. Dengan demikian, modus deklaratif dapat mengemban makna perintah yang santun. Hal
164
itu menunjukkan bahwa komunitas Bali tidak hanya menyampaikan suatu pesan secara tersurat, tetapi juga ada pesan yang dinyatakan secara tersirat. Pada percakapan di atas tampak penggunaan modus nontipikal berkaitan dengan fungsi pembicara, kekuasaan, ranah, dan senioritas. Pertama, ketua adat adalah inisiator dari peristiwa mapinunas. Artinya, ketua adat berkepentingan pada pelaksanaan teks dan mengambil inisiatif mendatangi ketua pamangku untuk merencanakan ritual. Sebagai inisiator yang membutuhkan petunjuk pamangku terkait dengan waktu, sarana, dan hal-hal lainnya, ketua adat tidak sepatutnya menggunakan modus memerintah. Kedua, dalam hal kekuasaan, kedua pelibat memiliki kekuasaan masing-masing dan tidak berstatus sebagai atasan dan bawahan.
Ketua adat memiliki kekuasaan terhadap krama „seluruh warga‟
sedangkan ketua pamangku memiliki kekuasaan keagamaan, meliputi semua tatacara pelaksanaan adat dan agama. Jadi, masing-masing pihak memiliki wilayah kekuasaan yang berbeda. Ketiga,
ranah ritual keagamaan tidak
mengizinkan pelibat untuk menonjolkan kekuasaan masing-masing. Pembicaraan ritual cenderung bernuansa formal, santun, dan setiap pelibat sangat menjaga sikap dan ucapannya. Keempat, terkait dengan senioritas, pelibat yang lebih muda sudah sepantasnya menghormati pelibat yang lebih tua. Pelibat muda tidak sepatutnya memerintah pelibat yang lebih senior. Pada percakapan ketua adat dan ketua paguyuban pamangku itu, makna imperatif dapat dimunculkan dalam modus deklaratif termodulasi. secara santun.
Dengan demikian, makna imperatif dapat dinyatakan
165
Berikut ditampilkan penggunaan contoh penggunaan modus nontipikal pada fase sangkep pengurus ‟rapat‟ (Data B3/1/12, 7 dan A1/2/ 49, 68).
(6.8) a.
...Baan ujané ten rérénan, tiang maserah ring mangku niki... KONJ ujan-DEF NEG berhenti, 1 TG -serah PREP mangku DEF ‟Karena hujan tidak henti-hentinya, saya berserah pada mangku‟ (Makna: Saya minta anda melakukan ritual tolak hujan)
b. ...Sinah ada gatra mabuat niki... JUD EKS kabar -penting DEM ‟Pasti ada kabar penting ini‟. (Makna: Ceritakan tujuan kedatangan anda!) c. ...Kadi tiang setuju nika, minab taler pamangku lianan... PREP 1TG setuju DEM, JUG juga pamangku lain ‟Saya sendiri setuju itu, kira-kira pamangku lain juga‟ (Makna: Nyatakan sikap anda!) d. ...Santukan guminé panes kanti tandurané layu, KONJ bumi-DEF panas KONJ tanaman-DEF layu, ‟Karena bumi demikian panas hingga tanaman layu, nika sané mawinan tiang ngerauhin jero mangku... DEM REL KONJ 1TG -datang HON SOS Itu yang menyebabkan saya mendatangi jero mangku (anda)‟ (Makna: Mohon anda lakukan langkah penyelamatan tanaman warga)
Klausa (6.8) merupakan contoh penggunaan modus deklaratif dalam fungsi lapis kedua. Pelibat klausa
(a) adalah
pemohon nyelang hujan dan ketua
pamangku, klausa (b) melibatkan ketua pamangku dan ketua adat. Klausa (c) adalah pernyataan pamangku Puseh kepada ketua pamangku, sedangkan klausa (d) merupakan pernyataan ketua adat kepada ketua pamangku.
Ditinjau dari
fungsi komunikasi, tampak modus deklaratif yang digunakan dalam contoh di atas bukan untuk menyatakan, tetapi untuk kepentingan memerintah (a, b, c, d). Secara semantis, pembicara bermaksud menyuruh pelibat lain untuk melakukan
166
sesuatu, tetapi terhalang oleh kendala tertentu. Misalnya pada klausa (a) kekuasaan pelibat yang tidak simetris, tidak memungkinkan bagi pelibat dengan kekuasaan lebih rendah memerintah pihak yang memiliki kekuasaan (power) yang lebih tinggi. Ketidakberimbangan
kekuasaan
menyebabkan terjadinya
pergeseran pilihan dari modus tipikal menjadi modus termodulasi. Pada kluasa (b), sekalipun ketua pamangku memiliki kekuasaan
yang lebih dominan
dibandingkan dengan ketua adat, terdapat keinginan untuk menghormati pemimpin sosial. Etika untuk menghormati antar pemimpin pura (c, d) memicu pilihan modus nontipikal. Artinya, makna bertanya tidak disampaikan secara langsung, tetapi dilakukan dengan modus lain demi menjunjung nilai kesopanan. Pada klausa (d), ketua adat tidak langsung memerintah pamangku untuk menyelamatkan tanaman warga, tetapi dilakukan dengan paparan yang mendasari permintaan tersebut. Makna memerintah dapat pula ditampilkan dalam bentuk klausa bersyarat (conditional modulated declarative) seperti contoh berikut (Data A2/2/ 98, 122, 135).
(6.9) a. ...Yén ada waktu, de buin tundana... bila EKS waktu, NEG lagi tunda-PAS ‟Bila ada waktu, jangan ditunda‟ b. ...Yén prasida antuk, tanggal dualikur niki dados margiang... bila MOD PREP tanggal 24 DEM REL -jalan ‟Bila memungkinkan, tanggal 24 bisa dijalankan‟ . c. ...Yén kénten, sangkepang prajuruné sami... bila demikian, -rapat pemuka adat-DEF KUAN ‟Kalau demikian, rapatkan semua pemuka adat‟
167
Klausa (6.9) disampaikan oleh ketua pamangku kepada peserta rapat yang terdiri atas pangurus desa dan para pamangku. Klausa (a, b) berbentuk klausa bersyarat sehingga makna perintah dapat dipahami seolah-olah tanpa paksaan. Makna perintah dalam bentuk klausa bersyarat itu cenderung lunak, sehingga lebih mudah memperoleh persetujuan. Perintah yang santun itu tentu sulit untuk disanggah. Klausa (c) merupakan perintah yang berupa solusi yang harus dikerjakan. Nilai kesantunan makna memerintah juga dapat dimunculkan dengan modus interogatif retoris. Perhatikan seperti contoh berikut (Data A1/1.3/ 9, 17).
(6.10) a. ...Napi ye katunas antuk panjak duéné?... TANYA PAS-makan PREP hamba-DEF ‟Apa yang kami makan?‟ b. ...Jagi neduh sapunapi, mangda gelis wénten sabeh?... MOD -teduh TANYA KONJ cepat EKS hujan ‟Apa perlu menjalankan ritual panggil hujan supaya segera hujan turun?‟
Kalimat interogatif retoris (6.10) bersifat tidak meminta jawaban. Klausa (a) mengandung makna bahwa jika hujan tidak segera turun, rakyat akan sengsara dan kelaparan. Oleh sebab itu, klausa (a) bermakna perintah ‟selamatkan hidup warga‟. Klausa (b) mengandung makna usulan untuk melakukan ritual panggil hujan. Dengan demikian, klausa (6.9 dan 6.10) tidak sepenuhnya bersifat menerangkan atau menanyakan sesuatu, tetapi dapat dilihat sebagai klausa yang berimplikasi perintah. Tampaknya terdapat etika untuk menyampaikan makna memerintah secara santun pada pembicaraan ranah sensitif.
168
Bila dominasi modus imperatif dikaitkan dengan struktur skematik dapat diketahui bahwa pelaksanaan TNNGB membutuhkan dukungan perilaku pelibat. Setiap tahapan merupakan langkah kerja yang harus dilaksanakan secara bersinergi sesuai petunjuk ketua pamangku yang berfungsi sebagai partisipan kunci. Respon fisik itu dikenakan pada setiap pelibat.
BAB VII STRUKTUR TRANSITIVITAS
7.1 Pengantar Ditinjau dari
medan komunikasi, bahasa dapat dipergunakan untuk
menggambarkan dunia logika (ideasional) dan dunia pengalaman (eksperiensial). Logika umumnya dinyatakan dalam berbagai ekspansi atau proyeksi. Ekspansi diperlukan karena ide tidak dapat dijelaskan dengan sebuah klausa sederhana, tetapi identitas ide memerlukan paparan yang lebih luas. Di sisi lain, dunia pengalaman biasanya dinyatakan dalam berbagai bentuk tipe proses yang menggambarkan keaktifan pelaku dalam setiap pengalaman yang dialami. Struktur transitivitas berfokus pada paparan pengalaman termasuk peran pelaku dalam setiap pengalaman yang dialami. Pengalaman tentu tidak dapat dilepaskan dengan bagaimana suatu proses dapat terjadi dan keterangan lain yang mendukung proses tersebut. Secara garis besar, dunia pengalaman dapat dipilah menjadi dua tipe, yakni peristiwa yang terjadi pada diri dan peristiwa yang terjadi di luar diri. Pengalaman dalam diri melibatkan aspek kesadaran yang kemudian dapat memunculkan persepsi, emosi, dan imajinasi.
Pengalaman di luar diri
terdiri atas jenis peristiwa dan kejadian yang terjadi tanpa keterlibatan diri sendiri. Dengan demikian, pengalaman berkaitan dengan proses peristiwa yang tengah terjadi, partisipan yang terlibat dalam proses, dan keterangan lain yang berhubungan dengan proses (Halliday, 2004: 175).
169
170
Secara rinci, pengalaman dipilah menjadi beberapa kategori tipe proses, termasuk hubungan antarelemen yang dibentuknya. Kategori proses yang biasanya mengisi slot Predikator dinyatakan sebagai inti klausa yang memiliki kemampuan mengikat kelas lain. Secara umum, kelompok verba dipetakan ke dalam tipe proses, kelompok nomina dipetakan ke dalam partisipan, dan kelompok adverbia dipetakan ke dalam Sirkumtansi (Eggins, 1994: 237). Tipe proses berkaitan dengan medan teks, partisipan adalah pelibat yang terlibat dalam proses secara sintaktis, sedangkan Sirkumtansi mencakup keterangan tempat, cara, dan keterangan lain yang berhubungan dengan proses. Sebagai realisasi dari metafungsi eksperiensial, antarpelibat, dan tekstual, unsur proses, partisipan dan sirkumtansi memunculkan identitas subjek dalam sudut pandang yang berbeda. Tipe proses memunculkan kategori subjek logis, yakni Aktor yang secara logika merupakan pelaku aktif suatu proses. Partisipan dikaitkan dengan fungsi subjek gramatikal, sedangkan Sirkumtansi melahirkan subjek psikologis (Halliday, 2004: 56). Pemetaan tiga underlying subjek yang kemudian disebut Aktor, Subjek, dan Tema dapat dilihat pada contoh klausa berikut (diadosi dari Halliday, 2004: 56) (terjemahan oleh penulis).
(7.1)
The duke gave my aunt this teapot ART bangsawan beri 1TG bibi ART teko „Bangsawan itu memberikan bibi saya teko ini‟
171
Struktur Konstituen
The duke
Argumen
1
Subjek Psikologis
Tema
Subjek Gramatikal
Subjek
Subjek Logis
Aktor
gave Predikator
my aunt 2
Pada contoh (7.1) di atas tampak klausa dengan
this teapot 3
Predikator gave
„memberi‟ memunculkan tiga argumen. Konstituen the duke merupakan Partisipan I yang mengemban tiga fungsi sekaligus, yakni sebagai Tema, Subjek, dan Aktor. Kelompok kata the duke berfungsi sebagai realisasi komponen dalam metafungsi eksperiensial, antarpelibat, dan tekstual. Dengan demikian, the duke menjalankan fungsi sebagai: (a) Tema, the duke adalah inti pesan atau tema terlihat dari posisinya di awal klausa, (b) Subjek, the duke adalah argumen yang mendapat Predikator, dan (c) sebagai Aktor, the duke merupakan pelaku dari kegiatan gave „memberi‟. Dengan kata lain, secara pragmatik the duke adalah Tema, secara gramatikal the duke menempati fungsi Subjek, sedangkan secara semantis logis, the duke adalah Aktor. Pemetaan lurus subjek dalam tiga metafungsi berbeda itu dikategorikan sebagai konstruksi tidak bermarkah dengan struktur dasar Subjek ^ Predikator ^ Komplemen ^ Adjung.
7.2 Tipe Proses Analisis transitivitas berakar pada karakteristik semantik pengisi fungsi Predikator. Terdapat tiga proses pokok yang digambarkan oleh Predikator, masing-masing proses aktivitas (doing), proses kesadaran (sensing), dan proses
172
hubungan (being). Proses pokok itu dijabarkan lagi dalam bentuk proses yang lebih spesifik yang menyatakan keberadaan, perubahan, hubungan, perkataan, perilaku dan pengindraan. Setiap tipe proses mengikat kelompok nomina dan adverbia tertentu. Artinya, tipe proses tertentu dapat menyeleksi kelas nomina yang berbeda sebagai partisipan yang terlibat langsung maupun tak langsung dalam proses tersebut. Contohnya, proses material menginformasikan adanya suatu kegiatan yang dilakukan oleh Aktor pada suatu waktu, tempat atau cara tersendiri. Proses pokok menurunkan enam tipe proses yang terdiri atas proses material, proses verbal, proses mental, proses perilaku, proses eksistensial , dan proses relasional. Karakteristik tipe proses dapat dijabarkan sebagai berikut (diadopsi dari Eggins, 1994: 228). (a)
Proses Material Proses material merupakan tipe proses pokok yang menggambarkan dunia fisik (physical worlds) dengan ciri mendasar
adanya aktifitas doing
„melakukan‟ yang menunjukkan perubahan kongkret. Proses material mencakup aktifitas melakukan, membuat dan kejadian atau peristiwa. Kelas material dipilah menjadi dua: (a) Subtipe
„melakukan‟
(doing) yang
mencakup aktivitas „melakukan‟ dan „membuat‟ yang biasanya ditunjukkan oleh klausa material transitif. Argumen yang dimunculkan dapat berfungsi sebagai Aktor dan Tujuan, dan
(b) Subtipe „peristiwa‟ atau kejadian
(happening) yang biasanya ditunjukkan oleh klausa material intransitif. Klausa intransitif memunculkan satu argumen yang otomatis berfungsi sebagai Aktor pada verba aktif. Di samping dua peran tersebut, proses
173
material yang memunculkan lebih dari dua argumen dapat memunculkan fungsi Benefaktif (Benefactive), seperti Pengguna (Client) atau Penerima (Recipient). (b)
Proses Perilaku Proses perilaku atau proses tingkah laku (behaving) memiliki sebagian ciri proses material dan sebagian ciri proses mental. Secara sematis, proses perilaku merupakan perpaduan pengalaman “merasakan” “melakukan” (doing).
(sensing) dan
Oleh sebab itu, proses perilaku dinyatakan
memformulasikan aspek fisiologis dan psikologis. Proses perilaku yang dimaksud adalah perilaku manusia yang dilakukan dengan penuh kesadaran, seperti tersenyum, melirik, batuk, atau menggerutu. Diakui bahwa proses perilaku memiliki definisi yang tidak jelas karena dapat mengandung kombinasi dua proses. Peran semantis tertinggi pada proses perilaku adalah Petingkah Laku (Behaver). (c)
Proses Mental Proses mental (sensing) tergolong proses utama yang menggambarkan pengalaman dunia kesadaran (world of consciousness). Proses mental ditandai dengan adanya pengindraan, seperti melihat (seeing), memikirkan (thinking), menginginkan (wanting), atau
merasakan (feeling). Peran
semantis tertinggi argumen pada tipe mental adalah Pengindra (Senser). Dengan demikian, Pengindra hanya dapat diisi oleh argumen insani yang berada dalam kondisi sadar.
174
(d)
Proses Verbal Proses verbal ditandai dengan adanya kegiatan berkata-kata (saying). Peran tertinggi partisipan tipe verbal adalah Pemerkata (Sayer). Argumen lain dapat hadir adalah Target/Penerima (Receiver), dan Perkataan (Verbiage).
(e)
Proses Relasional Proses relasional merupakan proses utama yang menggambarkan relasi dunia abstrak (world of abstract relations). Tipe Relasional mencakup relasi antara entitas dan atibut yang dimiliki, antara entitas dan identitas yang dimiliki, atau antara simbol dan makna yang diwakilinya. Secara umum, proses relasional bersifat menghubungkan antarpartisipan yang dimunculkan dalam klausa. Proses relasional mewajibkan munculnya dua partisipan. Tipe relasional dapat dipilah menjadi dua subtipe, yakni (a) relasi identifikasi (Identifying) yang ditandai dengan hadirnya peran Penyandang Identitas (Token) dan Nilai (Value), dan (b) relasi atributif yang ditandai dengan hadirnya peran Penyandang Atribut (Carrier) dan Atribut.
(f)
Proses Eksistensial Proses eksistensial atau proses wujud mempresentasikan suatu keberadaan. Proses eksistensial
ditandai dengan adanya Wujud (Existent). Dalam
Bahasa Inggris, klausa tipe Eksistensial is/are
biasanya diawali dengan there
„ada‟ yang tidak mengemban fungsi semantis apa pun (empty
content), tetapi difokuskan pada pernyataan keberadaan. Dengan demikian, proses eksistensial mengikat satu partisipan, yakni Wujud.
175
Pilahan tipe proses
memungkinkan adanya persinggungan antarproses
yang berdampingan, seperti digambarkan di bawah ini.
Proses Material
Proses Perilaku
Proses Eksistensional DOING SENSING SENSING
Proses Mental
SENSING
BEING
BEING
Proses Relasional
Proses Verbal
Gambar 7.1: Tipe Proses
Gambar (7.1) menunjukkan adanya tiga kelas pokok, yakni (a) proses relasi abstrak (world of abstrack relations) yang menyatakan being „menjadi‟, (b) proses fisik (physical world) yang menyatakan aktivitas (doing), dan (c) proses kesadaran (world of conciousness) yang menyatakan aktivitas merasakan (sensing). Dengan kata lain, proses relasional, proses material, dan proses mental merupakan tiga proses pokok, sedangkan proses perilaku, proses eksistensial , dan proses verbal merupakan tipe proses sekunder yang memiliki karakteristik perpaduan dua proses pokok yang mendampinginya. Di bawah ini ditampilkan tipe proses dan peran semantis yang dimunculkan setiap proses (Diadopsi dari Halliday, 2004: 260 -172; dan Eggins, 1994: 228) (diterjemahkan oleh penulis).
176
Tabel 7.1 Tipe Proses dan Partisipan
Tipe Proses Material
Peristiwa Melakukan Persepsi Pengetahuan Keinginan Emosi
Mental
Partisipan Terlibat Langsung Aktor
Partisipan Terlibat secara Oblik Tujuan, Benefaktif
Pengindra Fenomena
-
Verbal
Pemerkata
Target, Perkataan
Perilaku
Petingkah Laku
Eksistensial
Wujud
Tingkah Laku, Fenomena -
Relasional
Atributif
-
Penyandang, Atribut
Identifikasional Token, Nilai
-
Sistem ketransitifan seperti ditunjukkan tabel (7.1) di atas dirancang berdasarkan perilaku tipe proses pada Bahasa Inggris dan dinyatakan dapat dipakai untuk menganalisis Predikator dalam teks berbagai bahasa di dunia. Peran partisipan sebagai argumen dipilah atas argumen yang terlibat langsung dan terlibat secara manasuka. Partisipan yang berhubungan langsung dengan Predikator (directly involved) dikategorikan sebagai partisipan wajib, sedangkan partisipan yang berhubungan dengan Predikator secara oblik (obliquely involved) dinyatakan sebagai partisipan tak wajib. Argumen yang terlibat langsung dapat terdiri atas dua partisipan yang dinyatakan sebagai Partisipan I dan Partisipan II. Partisipan I adalah partisipan yang mengandung misalnya
peran
semantik tertinggi,
Aktor (Actor), Petingkah Laku (Behaver), Pengindra
(Senser),
177
Pemerkata (Sayer), Penyandang, (Carrier), Token atau Wujud (Existent) atau tergantung pada tipe proses yang dinyatakan oleh Predikator klausa yang bersangkutan. Secara logika, teori Sistemik memandang setiap tuturan yang dipakai baik lisan maupun tertulis adalah klausa yang bermakna dan cocok (appropriate). Dengan demikian, setiap partisipan atau Sirkumtansi yang dimunculkan pada suatu jenis proses adalah relevan dan cocok pada klausa bersangkutan.
7.2.1 Proses Material Proses material
pada dasarnya mencakup dua subtipe, yakni (a) tipe
“melakukan” (doing), dan (b) tipe menyatakan “peristiwa” (happening). Dengan demikian,
proses material mencakup paparan kegiatan yang di dalamnya
terkandung makna perubahan yang dihasilkan melalui proses “melakukan” atau paparan tentang suatu peristiwa yang terjadi. Proses material meliputi setiap klausa yang menyatakan peristiwa ataupun proses perbuatan kongkret, riil, atau aksi tangible. Makna mendasar tipe “peristiwa” adalah adanya entitas melakukan sesuatu atau dapat menjawab pertanyaan „apa yang dilakukan X? Sementara itu, tipe “melakukan” adalah klausa yang dapat menjawab pertanyaan „apa yang dilakukan X terhadap Y? Jadi, proses material adalah proses yang menyatakan tindakan kongkret yang dilakukan oleh Aktor. Jumlah partisipan pada proses material dapat bervariasi tergantung pada jenis proses yang dilakukan. Proses material yang menjangkau satu partisipan cenderung menggambarkan peristiwa, sedangkan pada klausa yang memunculkan dua partisipan atau lebih bersifat menggambarkan aktivitas “melakukan” atau
178
“membuat”. Partisipan yang paling sering muncul pada proses material adalah Aktor dan Tujuan. Pada verba aktif, Aktor pada proses material dapat dipetakan ke Subjek. Sebaliknya, pada verba pasif partisipan tersebut cenderung dipetakan ke Adjung. Pada klausa aktif yang memunculkan dua partisipan, pelaku dari tindakan yang dinyatakan Predikator merupakan Partisipan I, tetapi pada verba pasif fungsi Aktor biasanya dinyatakan sebagai Partisipan II yang berstatus Oblik. Klausa intransitif proses material menghendaki ada satu Tujuan (Goal) dalam sebuah klausa. Yang dimaksud Tujuan adalah argumen yang memiliki peluang menduduki peran Subjek pada klausa pasif dengan menggeser posisi Aktor menjadi Oblik. Berikut contoh klausa proses material yang mengikat Aktor dan Tujuan (Eggins, 1994: 232) (terjemahan oleh penulis).
(7.2)
a.
They tested my blood 3 PL periksa-PAS 1T darah „Mereka memeriksa darah saya‟
b.
These two wonderful Swiss men left their dinner DEM NUM tampan Swiss pria pergi 3PL makan malam „Dua orang Swiss yang tampan ini meninggalkan makan malamnya‟
Kegiatan tested (a) dan left (b) merupakan Predikator masing-masing klausa di atas yang memerlukan pelaku. Aktor dari kegiatan tersebut dinyatakan oleh kelompok nomina they (a) dan these two wonderful Swiss men (b) yang dapat langsung dipetakan ke Subjek. Frasa my blood pada klausa (a) dan their dinner pada klausa (b) dikategorikan sebagai Tujuan, karena kelompok nomina tersebut merupakan Tujuan dari kegiatan
tested dan left.
Penentuan peran
Tujuan
179
didukung kemampuan kelompok nomina itu menduduki peran Subjek pada bentuk pasif, (a) My blood was tested „darah saya diperiksa‟ dan (b) Their dinner was left „makan malamnya ditinggalkan‟. Peran semantik lain yang dapat muncul pada proses material adalah Jangkauan. Menurut Halliday, relasi antara proses dengan Jangkauan bersifat lebih erat dibandingkan dengan Tujuan. Jangkauan dapat memiliki ciri sebagai (a) pernyataan ulang (restatement) dari proses, (b) dijangkau oleh proses, (c) domain proses, atau (d) mengikuti verba dummy (kosong). Contohnya, a song pada klausa they sing a song „mereka menyanyikan sebua lagu‟ adalah pernyataan ulang dari aktivitas sing „bernyanyi‟. The blood merupakan Jangkauan pada klausa they transfused the blood „mereka mentransfusikan darah‟ karena the blood sudah dijangkau oleh Predikator mentransfusikan sebagai satu-satunya entitas yang dapat ditransfusikan. Jangkauan dapat berupa domain dari proses dan kerap hadir dalam frasa berkata depan seperti
he plays beautifully on the piano „dia
memainkan piano dengan sangat baik‟. Ciri lain Jangkauan adalah dapat muncul mengikuti verba kosong (dummy verbs) seperti take, give, like, do, have, dan make, seperti contoh, (a) she take a rest „dia beristirahat‟ yang dapat dipadankan dengan she rested, (b) You give me a smile „kamu tersenyum‟ yang dapat dipadankan dengan you smiled to me, (c) I make a mistake „saya salah‟ yang dapat dipadankan dengan I mistake, atau (d) He had a bath „dia mandi‟ yang dapat dipadankan dengan he bathed. Jangkauan menghasilkan kalimat yang janggal bila diposisikan sebagai Subjek pada klausa pasif. Jadi, Jangkauan dibedakan dari Tujuan dalam hal kemungkinan menduduki fungsi Subjek.
180
Ditinjau dari valensi, suatu proses dapat menghadirkan satu hingga tiga argumen. Contohnya, proses material dapat mengikat tiga argumen dengan peran sebagai Aktor, Benefaktif dan Tujuan. Benefaktif adalah peran semantik yang diemban partisipan yang mendapat keuntungan dari proses. Benefaktif dipilah menjadi dua, masing-masing:
(a) Pengguna (Client) yakni partisipan yang
menyatakan untuk siapa suatu pekerjaan dilakukan, dan (b) Penerima (Recipient) yakni partisipan yang menyatakan untuk siapa sesuatu diberikan. Benefaktif dapat hadir dengan preposisi maupun tanpa preposisi. Berikut
contoh
klausa
proses
material
subtipe
“peristiwa”
dan
“melakukan”. Subtipe “peristiwa” dapat dilihat pada contoh (a), sedangkan subtipe “melakukan” ditunjukkan contoh (b, c) (Data A2/5/ 122, 126, 130). (7.3) a. …Ratu lédang mapica sabeh… 2 TG MOD -beri hujan „Semoga Engkau (Tuhan) memberi hujan‟ b. …Titiang nyelang pepatih duéné… 1 TG -pinjam patih DEF „Saya meminjam patih paduka‟ c. …I Ratu micayang kaula duéné merta … 2 TG -beri-BEN rakyat DEF berkah „Engkau (Tuhan) memberikan kami berkah‟
Ratu ledang Titiang I Ratu Aktor Partisipan I
mapica nyelang micayang Proses material Predikator
sabeh pepatih duéné kaula duéné Partisipan II
merta
181
Dengan Predikator mapica „mengabulkan‟, klausa
(a) mengikat dua
argumen, yakni Ratu „Ratu, Tuhan‟ yang secara otomatis mengambil peran semantik
Aktor dan sabeh „hujan‟ sebagai Tujuan.
Klausa (a) dapat
diklasifikasikan sebagai proses material tipe “peristiwa” yang berfungsi menjelaskan peristiwa yang terjadi. Pengujian klausa tersebut dilakukan dengan kemampuan menjawab „apa yang dilakukan X?‟ Jawaban pertanyaan diperoleh pada klausa (a) yakni mapica sabeh „memberikan hujan‟. Klausa (b) memiliki Predikator nyelang „meminjam‟ yang mengikat dua argumen, masing-masing Aktor dan Tujuan. Predikator nyelang „meminjam‟ (c) dilibatkan dua partisipan, yakni pelaku yang meminjam dan entitas yang dipinjam. Proses peminjaman dilakukan oleh orang pertama tunggal titiang „1 TG‟. Penggunaan titiang tergolong leksikon ragam halus tinggi dibandingkan tiang atau icang „saya‟. Ragam hormat tersebut digunakan karena partisipan I mengajukan permintaan kepada figur yang sangat tinggi dan dihormati. Predikator micayang (c) menghadirkan tiga argumen, yakni
partisipan yang memberikan, apa yang
diberikan, dan kepada siapa barang itu diberikan. Tiga argumen itu berfungsi sebagai Aktor, Benefaktif, dan Tujuan, yang masing-masing diisi oleh I Ratu „Tuhan‟, kaula duéné „rakyat paduka‟, dan merta „berkah‟. Peran benefaktif yang dimiliki oleh kaula duéné adalah Penerima, yakni partisipan yang menerima keuntungan dari kegiatan yang dinyatakan oleh Predikator. Jadi, partisipan I dari klausa material pada contoh (6.1) adalah Aktor, sedangkan Partisipan II dapat berperan sebagai Benefaktif atau Tujuan.
182
Pengujian terhadap klausa proses material subtipe “melakukan” dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan „apa yang dilakukan X terhadap Y?‟ Jawaban atas pertanyaan itu merujuk pada proses material tipe “melakukan”, seperti tampak pada dua contoh (b, c) di atas. Secara umum, ikatan Sirkumtansi pada klausa material fase puncak TNNGB jarang ditemukan, baik keterangan waktu, durasi, tempat, maupun cara. Tidak ditemukan pemakaian Sirkumtansi tempat dan waktu mencerminkan bahwa ritual tidak dibatasi oleh durasi waktu dan areal tertentu. Dengan kata lain, setiap klausa dimaknai sebagai tuturan yang mengandung makna waktu kekinian sesuai dengan waktu pelaksanaan teks. Klausa material khususnya yang ditemukan pada bagian isi dapat dipahami memuat makna waktu teks dipraktikkan dan area kelokalan sejalan dengan zona tempat. Jadi, klausa material fase puncak dan penutup memiliki makna tempat, waktu, dan aspek yang diikat oleh pelaksanaan teks. Proses material subproses “peristiwa” cenderung direalisasikan dengan predikator berprefiks {ma-}, seperti pada lekikon matanding „menyiapkan sajen‟, mapengarah
„memberitahukan‟,
magendu
wirasa
„bercengkrama‟,
atau
masayuban „berteduh‟. Verba aktif pada subtipe “melakukan” dapat dimarkahi {-} dengan beberapa bentuk realisasinya, seperti ditunjukkan tabel berikut (Diadopsi dari Sulaga (1996; 119); Artawa (1998: 7)).
183
Tabel 7.2 Proses Morfofonemis
No
Bentuk Dasar
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
bakta pulpulang tutup dabdabang selang rauhang genahang unggahang anggen icen
Pelekatan
prefiks
Bentuk Turunan dengan prefiks {-} makta mulpulang nutup nandabang nyelang ngrauhang ngenahang ngunggahang nganggen ngicen
{-}
pada
sebuah
Makna membawa mengumpulkan menutup menyiapkan meminjam menghadirkan menaruh menaikkan memakai memberi
bentuk
mengalami
proses
morfofonemis yang memunculkan bentuk turunan yang mempertahankan makna “melakukan”. Proses material yang dimarkahi {-ang} seperti tampak pada micayang
„memberikan‟
dapat
menghadirkan
lebih
banyak
partisipan
dibandingkan dengan pemarkah {-}. Hal itu disebabkan oleh potensi pemarkah {-ang} untuk memunculkan fungsi benefaktif. Tiga klausa proses material (7.3) ditampilkan kembali untuk membandingkan pemarkahan pada Predikator dan jumlah partisipan yang dimunculkan.
Ratu
mapica
sabeh
Titiang
nyelang
pepatih duéné
I Ratu
micayang
kaula duéné
merta
X
Predikator
Y
Z
184
Predikator proses material dengan pemarkah aktif {ma-}
umumnya
mengikat satu partisipan wajib, sedangkan proses yang dimarkahi {-(-in/-ang)} mampu
mengikat minimal dua partisipan. Dengan kata lain, klausa material
dengan pemarkah {ma-} memiliki unsur X (Y), sedangkan pemarkah {-(-in/ang)} memiliki unsur X, Y, (Z). Jadi, argumen minimal yang harus muncul pada klausa proses material adalah unsur X yang berstatus Aktor. Secara morfologis semantis, subtipe proses material dalam Bahasa Bali dapat digambarkan pada kontinum proses seperti di bawah ini.
Tipe “Peristiwa” Pemarkah {ma-} Partisipan = 1 Fungsi: Aktor, (Tujuan)
Tipe “Melakukan” Pemarkah {-(-in/-ang)} Partisipan > 1 Fungsi: Aktor, Tujuan, (Penerima)
Gambar 7.2: Proses Material
Gambar (7.2) menunjukkan perbedaan pemarkah morfologis Bahasa Bali terkait dengan dua subproses material. Subtipe “peristiwa” cenderung dimarkahi berbeda dengan tipe “melakukan”. Dilihat dari bentuk afiks yang melekat pada proses material dapat diketahui bahwa subtipe “melakukan” memiliki realisasi prefiks yang variatif.
185
TNNGB memunculkan
klausa dengan penderetan Aktor dengan
menyebutkan satu per satu. Aktor jamak itu selanjutnya dinyatakan dalam salinan pronomina, seperti tampak pada klausa berikut (Data B1/4/ 89). (7.4) a. … [[Adi bhatara Wisnu, adi bhatara Brahma, adi bhatara Mahadewa, adi bhatara Iswara]i [ngiring adii kemit ragan beliné]] … VOK NAMA MOD VOK -jaga raga-POS VOK-DEF „Adik bhatara Wisnu, adik bhatara Brahma, adik bhatara Mahadewa, adik bhatara Iswara, mari adik jaga raga kakak‟.
Adi bhatara Wisnu, adi bhatara Brahma, adi bhatara Mahadewa, adi bhatara Iswarai Aktor
Pada klausa Adi bhatara
ngiring
adii kemit
Aktor
ragan beline Pengguna
Wisnu, adi bhatara Brahma, adi bhatara
Mahadewa, adi bhatara Iswara, ngiring adi kemit ragan beline tampak penderetan figur batara yang diharapkan membantu menjaga diri partisipan kunci. Pamangku menyebut dirinya sebagai beli “kakak (saya). Klausa itu dapat dikategorikan sebagai klausa sederhana yang memberi penegasan pada identitas mitra wicara di samping hubungan kekerabatan diantaranya. Predikator tipe melakukan kemit atau ngemit „menjaga‟ mengharuskan hadirnya dua partisipan, yakni Partisipan I sebagai pihak yang menjaga, dan Partisipan II sebagai pihak yang yang membutuhkan penjagaan. Predikator didahului modalitas ngiring „mari‟ yang menyatakan ajakan atau suruhan yang santun. Diharapkan lima figur batara menjadi Aktor pada proses material subtipe “melakukan” itu. Beli „kakak (saya)‟ menempat fungsi benefaktif. Tampak relasi koreferensial antara bhatara
186
Wisnu, bhatara Brahma, bhatara Mahadewa, dan bhatara Iswara dengan leksikon adi. Oleh karena itu, klausa di atas tidak dapat dinyatakan memiliki Subjek ganda. Klausa imperatif tersebut mempergunakan bentuk register kekeluargaan beli-adi „kakak-adik‟. Bhatara Wisnu, bhatara Brahma, bhatara Mahadéwa, dan bhatara Iswara diperlakukan sebagai adik, sedangkan pamangku menempatkan dirinya sebagai kakak. Tampaknya, dengan status sebagai saudara tua, pamangku dapat memberi perintah terhadap saudara-saudara mudanya. Terkait penggunaan vokatif beli, terdapat perbedaan yang menonjol. Pada fase persiapan, pamangku memposisikan diri sebagai “adik” bagi ketua adat atau pamangku lain. Hal itu berkaitan dengan mitra wicara yang lebih tua dan dihormati. Pada fase puncak dan fase penutup, vokatif beli digunakan untuk mengacu pada diri sendiri, sedangkan mitra wicara ditempatkan sebagai adi „adik‟.
Perlu
ditelusuri
memperlakukan bhatara
konsep
dasar
yang
mengizinkan
pamangku
Wisnu, bhatara Brahma, bhatara Mahadewa, dan
bhatara Iswara. sebagai “adik”. Paparan tentang beli-adi „kakak-adik‟ ditampilkan pada subbab referensi eksoforis (10.4). Berikut ditampilkan klausa proses material yang bersumber pada fase persiapan (a, b, c), dan fase puncak (d, e) yang dilengkapi dengan Sirkumtansi „keterangan‟ yang memperjelas proses (Data B3/2, 19 dan A2/4/ 120, 139, 151). (7.5) a.
…Ngiring malinggih dumun… MOD -duduk Sir „Mari silakan duduk‟
b. …Yen kénten, tiang mapamit mangkin… KONJ 1 TG -mohon diri Sir „Kalau demikian, saya mohon diri sekarang‟
187
c.
…Niki tiang ngaturang Ratu pajatian… DEM 1 TG -beri 2 TG sarana „Saya menghaturkan sarana sajen‟
d. … I Ratu mapica sabeh mangda kaulané prasida matetanduran… 2 TG -beri hujan PREP rakyat-DEF dapat -tanam „I Ratu memberi hujan agar rakyat dapat bertanam‟ e.
…I Sampati ngrecah mendung mangda punah… NAMA -pecah mendung KONJ gagal „I Sampati memecah mendung agar sirna‟
Tiang Tiang I Ratu I Sampati S Aktor
Malinggih mapamit ngaturang mapica
dumun mangkin Ratu sabeh
ngarecah P
mendung K
pajatian mangda kaulané prasida matetanduran mangda punah A
K
Seperti tampak pada klausa (a, b, c) di atas, klausa material fase persiapan kerap diikuti oleh Adjung Sirkumtansial, berupa keterangan waktu dan tempat. Pada fase puncak dimunculkan proses material yang dimunculkan cenderung dilengkapi Sirkumtansi alasan atau tujuan (d, e). Jadi, klausa material TNNGB berkaitan erat dengan Sirkumtansi tempat, waktu, menonjol adalah teks tidak memunculkannya
cara, atau
tujuan. Yang
Adjung Sirkumtansial yang
menerangkan waktu, tempat, dan penyerta pada fase puncak dan fase penutup. Hal itu mengindikasikan bahwa penjelasan lokasi, waktu, dan penyerta mengacu pada konteks setempat. Pemarkah {-ang} dapat menunjukkan makna berbeda bila dilekatkan pada adjektiva. Pelekatan {-ang)} pada kelas adjektiva tidak menunjukkan
188
peningkatan valensi, tetapi memunculkan makna kausatif. Perhatikan contoh berikut (Data A2/2/ 56, 59). (7.6) a. …Ngiring nginggihang indik paduwasan… MOD -setuju-KAUS PREP hari baik „Mari mendiskusikan tentang hari baik‟ b. … Kramané jagi ngamecikang priyangan Ida… warga-DEF ASP -baik-KAUS tempat 3TG „Warga akan memperbaiki pura‟
Pemarkah {-ang)} pada contoh (a, b) tidak mengandung makna benefaktif seperti halnya bila dilekatkan pada verba, tetapi memunculkan makna kausatif.
Predikator nginggihang (a) yang diderivasi dari nggih „ya, cocok‟
bermakna „membuat menjadi cocok, baik, atau sama‟. Pada ngamecikang (b) yang diderivasi dari becik „baik‟ memunculkan makna „membuat menjadi baik atau lebih baik‟. Berikut ditampilkan beberapa leksikon proses material. 1. ngamargiang „melakukan‟
13. ngambil „mengambil‟
2. ngebitin „melihat‟
14. puputang „menutup‟
3. gaenang „buatkan‟
15. nyelang „meminjam‟
4. ngaryanin „membuat‟
16. makarya „membuat‟
5. ngampehang „meniup‟
17. ngarauhin „menghadiri‟
6. nutup ‟menutup‟
18. ngejang „menaruh‟
7. nganggen „memakai‟
19. tadah „nikmati, makan‟
8. ngumpulang „mengumpulkan‟
20. ngunggahang „menaikkan
9. ngeberang „menerbangkan‟
21.ngarauhang mendatangkan‟
10. munahang „memusnahkan‟
22. majalan „berjalan‟
189
11. nyingakin „melihat‟
23. ngicen „memberi‟
12. nurunang „menurunkan‟
24. mangrecah “memecah‟
7.2.2 Proses Perilaku Proses perilaku
dinyatakan memiliki ciri di antara proses mental dan
proses material, yakni melibatkan tindakan fisiologikal dan psikologikal. Artinya, proses perilaku merupakan tindakan
biologis yang dimunculkan berdasarkan
pengalaman psikologis yang diterima atau dimiliki. Proses perilaku cenderung tidak berkaitan langsung dengan orang lain terbukti dengan kehadiran satu argumen wajib, yakni Petingkah Laku (Behaver). Secara
psikologis,
proses
perilaku melibatkan dua peristiwa berurutan secara cepat dalam diri Petingkah Laku, yakni peristiwa yang berkaitan dengan pengalaman mental, yang kemudian direalisasikan dengan ekspresi biologis yang dapat dilihat atau didengar oleh orang lain. Ekspresi pengalaman itu dinyatakan dalam bentuk tindakan alamiah, misalnya tertawa, menarik napas panjang, menangis, bermimpi atau mendesah. Predikator lain seperti tertawa, berdehem, bersin, tertawa, tersenyum, menangis, melirik, mimpi, mengutuk, dan mengunyah juga digolongkan sebagai klausa proses perilaku. Dinyatakan bahwa proses perilaku memiliki perbedaan yang paling tipis dibandingkan dengan proses lainnya. Proses perilaku mengandung karakteristik material dan sebagian lagi memiliki ciri proses
mental.
Menyerupai proses
mental dalam hal melibatkan kesadaran untuk melakukan tindakan, tetapi proses itu sendiri cenderung bersifat kegiatan fisik. Proses tingkah laku dapat menghadirkan partisipan lain dalam fungsi Fenomena, yakni sesuatu yang diindra.
190
Sebagai contoh, Simon sniffed the soup „Simon membaui sup‟ (Eggins, 1994: 249). Perlu ditegaskan bahwa klausa tersebut mengindikasikan sop tidak ada dalam jangkauan mata Simon. Proses sniffed melibatkan pengalaman tentang „bau‟ dan tindakan „mengangkat hidung‟. Proses perilaku hanya dapat dilakukan oleh partisipan insani terhadap suatu fenomena tertentu. Berikut beberapa contoh klausa proses perilaku yang dikutip dari Eggins (1994: 250).
1
She
sighed
with despair
2
He
smiled
a broad smile
3
She
was crying
with frustration
4
George
laughed
at the girl‟s stupidity
5
He
coughed
loudly
Partisipan I
Proses perilaku
Sirkumtansi
Predikator sighed „mendesah‟,
coughed „terbatuk-batuk‟,
laughed
„tertawa‟ dan cying „menangis‟ dan smiled „tersenyum‟ merupakan tindakan yang tampak dan keluar dari suatu keadaan kejiwaaan tertentu. Keempat klausa perilaku tersebut mengikat satu partisipan, yakni Petingkah Laku dan dilengkapi Sirkumtansi. Pengalaman kejiwaan dan proses fisik
selalu terkandung pada
klausa perilaku. Proses perilaku tidak dimunculkan dalam TNNGB. Hal itu diduga terkait dengan
proses perilaku yang tidak berkaitan dengan teks. Ketidakmunculan
klausa perilaku merupakan konsekuensi teks formal. Meskipun demikian, klausa proses perilaku ditemukan dalam percakapan sehari-hari, seperti contoh berikut.
191
(7.7)
a.
…I Nengah kedék ingkel-ingkel… NAMA ø-tertawa terpingkal-RED „I Nengah tertawa terpingkal-pingkal‟
b.
… Cerik-ceriké pada makenyem… anak-anak-DEF semua -senyum „Semua anak tersenyum-senyum‟
I Nengah Cerik-cerike Petingkah Laku
kedek pada makenyem Predikator Proses Tingkah Laku
ingkel-ingkel
Sirk
Klausa (7.7) dapat digolongkan sebagai proses tingkah laku karena ditandai
tindakan fisik.
Klausa
(a)
I Nengah kedek
ingkel-ingkel dapat
dimaknai sebagai proses terjadinya pengalaman mental yang kemudian memunculkan tindakan tertentu. Artinya, seseorang memperoleh pengalaman yang menggelikan sehingga
secara otomatis muncul aktivitas tertawa.
Sirkumtansi cara ingkel-ingkel
„terpingkal-pingal‟ mengindikasikan perilaku
yang ditunjukkan memiliki tingkat intensitas tertentu. Sementara itu, klausa (b) mengandung proses perilaku yang dinyatakan dengan leksikon makenyem mengandung makna „tersenyum‟ sebagai perilaku tersipu malu. Pada kedua contoh di atas, Petingkah Laku berstatus sebagai orang ketiga. Artinya, pelibat lain dapat menangkap perilaku yang ditunjukkannya dan menyatakan dalam tuturan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa orang pertama juga dapat bertindak sebagai Petingkah Laku, seperti contoh berikut.
192
(7.8) a. … Tiang ngipi katekain nak lingsir mapujut … 1 TG N -mimpi PAS-datang orang tua diikat (rambut) „Saya bermimpi didatangi pendeta‟ b. …Kanti kapupungan tiang nyakupang tangan… sampai tergesa-gesa 1 TG -cakup-KAUS tangan „Segera saya mencakupkan tangan‟
Pada proses perilaku di atas, Petingkah Laku diisi oleh orang pertama, yakni penutur sendiri. Perilaku ngipi „bermimpi‟ dan kapupungan „tergesa-gesa‟ digolongkan sebagai perilaku karena aktivitas fisik tertentu dilibatkan di dalamnya. Pada klausa (a) tampak Petingkah Laku memiliki pengetahuan tentang nak lingsir mapujut „orang tua yang rambutnya diikat di bagian atas kepala‟ yang merujuk pada seorang pendeta atau orang suci. Pengetahuan itu membuatnya kapupungan „tergesa-gesa‟ memberi salam hormat dan siap menerima petunjuk beliau. Jadi, perilaku kapupungan nyakupang tangan muncul karena adanya pengalaman bagaimana tata cara menerima kedatangan seorang pendeta. Secara singkat, ciri mendasar proses perilaku adalah adanya partisipan yang memiliki ciri insani merasakan pengalaman dan memberi reaksi fisik terhadap pengalaman tersebut.
7.2.3 Proses Mental Suatu Predikator dapat dikategorikan sebagai proses mental (sensing) bila di dalamnya terkandung
proses Pengindraan,
seperti
makna perseptif
(perception), kognitif (cognition), desideratif (desideration),
dan emotif
(emotion). Makna perseptif dilakukan dengan melihat (seeing), makna kognitif diperoleh dengan proses berpikir, menduga, mengira, atau memutuskan (thinking),
193
makna desideratif dinyatakan dengan keinginan (wanting), sedangkan makna emotif ditunjukkan dengan perasaan (feeling). Proses mental merupakan jawaban atas pertanyaan ‟Apa yang kamu rasakan atau pikirkan tentang X? Dengan ciri sebagai jawaban pertanyaan tersebut, proses mental cenderung menghadirkan partisipan yang memiliki indra dan mampu melakukan Pengindraan terhadap sesuatu. Jadi, proses mental melibatkan dua partisipan yang terlibat langsung dalam proses, yakni Pengindra dan Fenomena yang diindra. Halliday (2004: 197) menyatakan proses mental melibatkan Pengindra (Senser) sebagai Partisipan I dengan ciri memiliki kesadaran untuk mengindra. Ciri makhluk berkesadaran dipandang sebagai ciri Pengindra karena hanya Agen insani yang dapat melakukan Pengindraan. Sebagian besar klausa proses mental emosi dapat diperbandingkan dalam tingkatan yang berbeda. Secara gramatikal, perbandingan dapat ditunjukkan dengan more than „lebih .. dari‟, di samping skala afektif tertentu, seperti hate-dislike-like-love „benci, tidak suka, suka, mencintai‟. Partisipan II dalam proses mental adalah Fenomena, yakni entitas yang diinginkan, dirasakan, atau dipikirkan, baik berupa klausa persepsi maupun klausa faktual. Fenomena biasanya berupa klausa bawahan dari proses mental. Misalnya, I‟d give blood pada I thought I‟d give blood „Saya pikir saya akan menyumbangkan darah‟. Fenomena juga dapat berupa sesuatu yang dipersepsikan. Misalnya, Experts believe (something) „para pakar yakin‟. Kehadiran something „sesuatu (yang dipercaya)‟ dapat ditampilkan atau disembunyikan. Klausa dengan pengantar seperti „saya pikir/kira/duga/yakin‟ merupakan identitas klausa mental. Klausa mental dengan klausa pengantar sangat jarang
194
dimunculkan dalam TNNGB. Cara yang umum digunakan adalah merujuk pada hasil Pengindraan orang kedua. Pada proses Pengindraan yang dilakukan oleh orang pertama,
pihak Pengindra
dapat dinyatakan secara tersirat. Berikut
ditampilkan beberapa contoh proses mental (Data B1/1/16, 19 dan Data A1/1.3/ 98, 102). (7.9) a.
b.
…Yén Pak Komang muatang, tiang jagi mapinunas ring Ida... jika VOK -penting 1TG MOD -minta PREP 3TG „Jika Pak Komang benar-benar menginginkan, saya akan memohon pada Beliau‟ …Pak Komang da bes sebet, pét ten kadagingin… VOK NEG sedih jika NEG PAS-isi „Pak Komang jangan terlalu sedih jika tidak terkabul‟
c. …Becik margiang peneduhané ring dina Jumat poné… baik -laku mohon hujan PREP hari Jumat pon-DEF „Sebaiknya ritual panggil hujan dilakukan pada Jumat pon‟. d. …Sami setuju mangda gelis wénten sabeh… KUAN setuju KONJ cepat ada hujan „Kami semua setuju agar segera turun hujan‟
Yén Pak Komang Pak Komang
tiang jagi mapinunas ring Ida
muatang da bes sebet, Becik
Sami
pét ten kadagingin margiang peneduhané
setuju
ring dina Jumat poné mangda gelis wénten sabeh
Predikator Pengindra
Proses mental
Predikator (a) muatang
Fenomena
„benar-benar menginginkan‟ mengandung
keinginan kuat (desideration). Klausa tersebut menghadirkan satu partisipan yakni
195
Pak Komang, sedangkan Fenomena tidak dimunculkan. Meskipun demikian, dari klausa yang mengikutinya dapat dipahami bahwa Fenomena berkaitan dengan harapan tertentu. Artinya, aktivitas mapinunas „memohon‟ akan dilaksanakan bila benar-benar dibutuhkan.
Pada contoh (b) Predikator sebet „sedih‟ dapat
dikategorikan sebagai proses mental emotif yang berkaitan dengan perasaan (feeling). Sama dengan contoh (a), klausa (b) menghadirkan Pengindra „Pak Komang‟. Dengan kata lain, proses mental desideratif dapat dinyatakan dengan Predikator muatang „sangat menginginkan‟, sedangkan peoses mental emotif dapat dinyatakan dengan Predikator sebet „sedih‟ dalam Bahasa Bali. Tampak pada klausa (c) Becik margiang peneduhanne ring dina Jumat pone „Sebaiknya laksanakan ritual panggil hujan pada hari Jumat pon yang akan datang‟ ada upaya menyampaikan hasil Pengindraan tanpa menyebutkan partisipan Pengindra. Pada klausa (c) Pengindra melakukan proses kognisi untuk memutuskan hari baik pelaksanaan ritual panggil hujan. Sekalipun Pengindra tidak dinyatakan secara tersurat, tetapi dapat dirujuk pada pelibat yang berbicara. Cara menyatakan Pengindra yang tersirat itu dapat dilihat sebagai upaya mementingkan hasil proses mental daripada pelaku yang melakukan Pengindraan. Untuk mempertegas proses kognitif yang terjadi pada pelaku Pengindraan, klausa (c), dapat didahului oleh klausa pengantar, seperti (i) Yen kadi titiang „kalau saya‟, (ii) Manahang titiang „menurut hemat saya‟, atau (iii) Minabang titiang „saya pikir‟. Di sisi lain, klausa (d) menunjukkan upaya mewakili atau mengatasnamakan orang banyak dilengkapi ungkapan pengharapan.
196
Pada beberapa klausa proses mental, Pengindra atau Fenomena tidak dimunculkan. Meskupun demikian, pelibat tetap dapat memahami Pengindra atau fenomena yang berkaitan dengan pengindraan itu. Tidak ada proses mental yang bebas dari Fenomena atau muncul tanpa Pengindra karena ketidakhadirannya dapat dijelaskan oleh konteks yang lebih luas. Contoh berikut menunjukkan empat tipe proses mental, masing-masing, (a) tipe perseptif, (b) kognitif, (c) desideratif, dan (d) emotif (Data A1/1.3). (7.10) a. …Tandurané sampun majanten layu… Tanaman-DEF PERF -pasti layu „Tanaman pasti sudah layu‟ b. …Minab seratiné sami uning indik pakaryané… kiranya tukang banten-DEF KUAN -tahu PREP kerja-DEF „Kiranya tukang sajen tahu pekerjaan itu‟ c. …Sami nyaratang ujan… KUAN -ingin hujan „Semua warga mengharapkan hujan‟ d. …Sami sametoné lega driki… semua saudara-DEF senang Sirk „Semua warga merasa senang di sini‟
Minab,
Sampun majanten
tandurané layu
seratiné
uning
indik pakaryane
Sami
nyaratang
ujan
Sami sametoné
lega
driki
Pengindra
Proses mental
Fenomena
Klausa (7.10) digolongkan sebagai proses mental dengan adanya proses Pengindraan. Pada klausa (a) proses mental dilakukan dengan perseptif yang
197
direalisasikan dengan Predikator mejanten „pasti, dipastikan‟. Proses itu dilakukan dengan indra penglihatan dalam intensitas tertentu.
Majanten dapat dimaknai
sebagai hasil proses „melihat, memperhatikan, memastikan‟ sehingga muncul kepastian berdasarkan hasil penglihatan. Dengan demikian, klausa tersebut adalah jenis proses mental tipe „persepsi‟. Sekalipun klausa tersebut tidak memunculkan fungsi Pengindra
sebagai pelibat yang melakukan Pengindraan, tetapi fitur
tersebut tetap terpahami. Secara konseptual, proses Pengindraan itu dilakukan oleh pembicara. Dengan demikian, klausa (a) dapat dipahami sebagai tiang nyantenang tandurané sampun layu „saya sudah memastikan tanaman layu‟. Klausa (b) Minab, seratiné uning indik pakaryané „kiranya tukang banten tahu tentang pekerjaan itu‟, menghadirkan Predikator uning „tahu, mengerti, yang menunjukkan Pengindraan perseptif. Klausa (b) dapat dipadankan dengan klausa Seratine minab uning indik pakaryane. Dengan demikian, fungsi Pengindra ditempati oleh seratine. Klausa (c) Sami nyaratang ujan „semua menginginkan hujan‟ temasuk
proses mental tipe „keinginan‟. Predikator mental nyaratang
„menginginkan dengan intensitas tertentu, sangat ingin‟ mengandung keinginan yang kuat. Pengindra pada klausa (c) adalah sami „semua orang‟.
Klausa (d)
Sami sametoné lega driki „semua transmigran senang di sini‟ menunjukkan proses mental tipe emotif. Predikator lega cenderung menjelaskan rasa syukur, dan kegembiraan memperoleh lahan tanam yang luas. Pada klausa di atas (a), Pengindra tidak dimunculkan secara tersurat. Hal itu dilakukan sebagai upaya menonjolkan hasil Pengindraan, dan tidak mementingkan
individu
yang
melakukan
Pengindraan.
Ketidakmunculan
198
Pengindra
juga mencerminkan hasil Pengindraan cenderung bersifat relatif.
Artinya, Pengindra lain dapat memberi persepsi berbeda terhadap fenomena yang sama. Jadi, terdapat dua pertimbangan tidak dimunculkan Pengindra , yaitu (i) hasil Pengindraan yang bersifat personal, dan (ii) menonjolkan hasil daripada pelaku proses Pengindraan. Cara menyamarkan Pengindra
tidak berarti
melesapkan fitur pelaku Pengindraan. Artinya, suatu satuan gramatikal yang harus hadir dapat saja hadir dalam bentuk fitur, dan tetap dapat dipahami oleh pelibat lain. Jadi, pelibat aktif dalam sebuah klausa mental selalu terdiri atas Pengindra dan Fenomena, baik dimunculkan secara tersurat maupun tersirat. Perhatikan klausa mental berikut (Data A3/3/ 123- 126). (7.11) a. …Titiang nglungsur sinampura… 1 TG -minta maaf „Saya minta maaf‟ b. …Titiang nglungsur jagaté sami mangda aman tentrem… 1 TG -minta bumi KUAN KONJ aman tenteram „Saya minta bumi menjadi aman dan tenteram‟ c. …Titiang nunas sarining paneduhan pingit… 1 TG -minta intisari panggil hujan sakral „Saya minta kemampuan panggil hujan yang manjur‟ d. …Titiang nunas sabeh merta… 1 TG -minta hujan berkah „Saya minta hujan yang memberkahi‟ Keempat klausa pada contoh (7.11) memiliki Predikator sejenis, yakni nglungsur atau nunas
„berharap, minta, memohon‟ yang dapat dikategorikan
sebagai tipe mental keinginan (wanting). Pengindra diisi oleh orang pertama tunggal, dalam hal ini, atas nama kelompok. Jenis permohonan yang diinginkan
199
tidak berupa barang, tetapi berbagai layanan, seperti
(a) sinampura „maaf,
pengampunan‟, (b) jagaté sami mangda aman tentrem „ketentraman jagat raya‟, (c) sarining paneduhan
pingit „kemampuan memanggil hujan yang manjur‟.
Klausa (d) menyatakan fenomena berupa barang yakni sabeh merta „hujan berkah‟. Deretan klausa proses mental yang berurutan tersebut dapat dilihat sebagai permohonan yang sangat bersungguh-sungguh. Meskipun keempat klausa menegaskan orang pertama sebagai Pengindra tetapi keberhasilan permohonan merupakan kehendak banyak dan demi keberkahan hidup semua manusia. Beberapa Predikator dalam proses mental ditampilkan di bawah ini. 1. kompak „serempak‟ 2. engsap „lupa‟ 3. bedak „haus‟ 4. uning „sanggup, tahu‟ 5. nyantenang „memastikan‟ 6. lega „senang‟ 7. muatang „mementingkan‟ 8. setuju „setuju‟ 9. sebet „sedih‟ 10. ngelintang „melebihi batas, sangat‟ 11. puputang „tutup‟ 12. iwang „salah‟ 13. seleg „tekun, serius‟ 14. méweh „susah‟
200
7.2.4 Proses Verbal Proses verbal merupakan kategori verba yang dilakukan dengan proses berkata-kata. Proses verbal biasanya menuntut hadirnya satu argumen wajib yakni Pemerkata (Sayer). Sementara itu, proses verbal dapat menghadirkan argumen tidak wajib lain, seperti Target dan Perkataan (Verbiage). Target adalah partisipan yang berperan sebagai penerima pembicaraan atau partisipan kepada siapa pembicaraan itu diarahkan. Perkataan
adalah kata-kata yang
dinyatakan dalam proses tersebut. Kedua argumen itu bersifat manasuka (Eggins, 1994: 228). Sangat sulit menemukan contoh proses verbal, seperti berjanji, bersumpah, atau menasehati dalam TNNGB. Predikator dalam proses verbal yang dimunculkan antara lain, nunasang „menanyakan‟, netesang „menanyakan dengan teliti‟, mapiteket „berpesan‟, mapinunas „menanyakan‟, seperti diperlihatkan contoh berikut (Data A3/1/ 12-14 dan Data A3/2/ 19).
(7.12) a.
…Titiang mapinunas mangkin… 1 TG -tanya Sirk „Saya bertanya sekarang‟
b.
…Titiang nunasang indik paduwasan… 1 TG -tanya-BEN PREP hari baik „Saya menanyakan prihal hari baik‟
c.
…Titiang taler netesang indik baktiné … 1 TG KONJ -tanya PREP sarana-DEF „Saya juga menanyakan tentang sarana‟
d.
…Jero bendesa mapiteket kénten manten… HON SOS -pesan DEM saja „Ketua adat berpesan itu saja‟
201
Titiang
nunasang
indik paduwasan
Titiang
sampun netesang
indik baktine
Jero bendesa
mapiteket
kénten manten
Titiang
mapinunas
mangkin
Partisipan I
Predikator
Pemerkata
Proses verbal
Target
Perkataan
Predikator (a) nunasang „menanyakan‟ dilakukan dengan berkata-kata kepada Target. Argumen orang pertama tunggal titiang „saya‟ menempati peran sebagai Pemerkata (Sayer), sedangkan fungsi Target tidak dimunculkan secara linguistis. Meskipun demikian, kehadiran Target dapat dipahami secara kontekstual karena sangat jarang seseorang berbicara tanpa pendengar. Paduwasan „hari baik‟ (a) dan baktine „sarana‟ (b) menempati fungsi Perkataan, dan ditandai dengan pemarkah preposisi indik „prihal‟. Pemarkah {-ang} pada nunasang dan netesang mengandung arti bahwa pertanyaan yang diajukan tidak semata-mata atas kepentingan Pemerkata, tetapi juga menjadi kepentingan pelibat lain. Dengan kata lain, jawaban atas pertanyaan akan menjadi informasi yang bermanfaat bagi berbagai pihak. Setiap proses verbal selalu dipandang melibatkan tiga partisipan, yakni partisipan
yang
bertindak
sebagai
Pemerkata,
Target,
dan
Perkataan.
Ketidakhadiran salah satu partisipan dapat dirunut secara kontekstual.
Pada
klausa (c) jero bendesa mapiteket kenten manten „ketua adat berpesan itu saja‟ memiliki Predikator mapiteket „berpesan‟ yang juga dapat digolongkan sebagai
202
proses verbal. Meskipun Target tidak dimunculkan secara leksikal, tetapi dipahami sebagai „1 TG‟ yang berkedudukan sebagai penerima pesan. Pada klausa (d) titiang mapinunas mangkin dimaknai sebagai titiang mapinunas (ring …) (indik ....) mangkin „Saya bertanya pada … tentang…. sekarang‟. Klausa (d) merupakan ungkapan untuk mendapatkan
petunjuk, nasehat, atau bantuan
nonbarang lainnya. Jadi, ketidakhadiran argumen yang menempati fungsi Target dan Perkataan tidak membuat klausa verbal kehilangan acuan. Bagian yang tidak dimunculkan secara leksikal itu tetap dapat saja dipahami oleh pelibat berdasarkan konteks. Proses verbal dapat mengandung proyeksi yang bersifat kutipan langsung maupun kutipan tak langsung, seperti ditampilkan contoh di bawah ini (Data A3/1/ 15, 20). (7.13) a. …Titiang mapinunas malih pidan wénten paduwasan 1 TG -tanya TANYA EKS hari baik neduh, jero mangku? panggil hujan, HON VOK „Saya menanyakan kapan ada hari baik untuk mohon hujan? b. …Tiang mapinunas indik galah peneduhané … 1 TG -tanya PREP waktu panggil hujan-DEF „Saya menanyakan tentang waktu mohon hujan‟
Tiang
mapinunas
Tiang
mapinunas
Pemerkata
Proses verbal
malih pidan wénten peduwasan neduh indik galah peneduhané Perkataan
jero mangku?
Target
203
Klausa (a) adalah contoh proses verbal dengan proyeksi langsung. Tiang adalah Pemerkata, malih pidan wénten peduwasan neduh adalah Perkataan dan jero mangku adalah Target. Pada klausa (b) Target kepada siapa pertanyaan diajukan tidak dinyatakan secara leksikal, tetapi dapat dimaknai mitra wicara pada klausa itu ialah
pamangku.
Mitra wicara lain tidak dimungkinkan karena
permasalahan galah „hari baik‟ hanya diketahui oleh pamangku. Jadi, Target pada proses verbal selalu ada, baik dimunculkan atau tidak dimunculkan mengingat tidak ada orang yang berbicara tanpa mitra wicara. Predikator nguningang „memberitahukan‟ dan wehin „memberikan‟ juga dapat dikategorikan proses verbal. Perhatikan contoh berikut (Data A1/3/ 103 dan Data A1/2/77). (7.14) a. …Adi nguningang ring Ida … VOK -tahu PREP 3 TG „Adik (kamu) menyampaikan kepada Tuhan‟ b. …Durus wéhin titiang sapunapi patutné… MOD ø-beri 1TG TANYA benar-DEF „Mohon beritahu saya bagaimana sebaiknya‟
Adi Durus Pemerkata
nguningang
ring Ida
wéhin
titiang
Proses verbal Target
sapunapi patutné Perkataan
Pada klausa (a) proses verbal nguningang memunculkan dua partisipan yakni orang kedua adi (Engkau) sebagai Pemerkata dan Ida sebagai Target, sedangkan
Perkataan tidak dimunculkan. Berbeda dengan (a), klausa (b)
204
memunculkan Target titiang „ 1TG‟ dan Perkataan sapunapi patutné „bagaimana sebaiknya‟, tetapi tidak memunculkan Pemerkata secara tersurat. Peran Pemerkata yang dimaksud pada dialog bersangkutan adalah orang kedua. Klausa
durus
wéhin titiang sapunapi patutné „mohon beritahu saya bagaimana sebaiknya‟ tidak berkonotasi meminta materi, tetapi petunjuk atau nasihat. Dengan kata lain, proses verbal tidak mengharuskan munculnya semua partisipan secara tersurat, tetapi dimungkinkan untuk menyatakannya secara tersirat. Proses verbal tidak banyak ditemukan dalam fase puncak, tetapi pada fase persiapan frekuensi kemunculannya cukup tinggi. Hal itu menunjukkan bahwa tahapan perencanaan membutuhkan koordinasi antarpelibat yang memainkan peran penting dalam sistem sosial. Berikut ditampilkan daftar proses verbal. 1. ngusul „mengajukan usul‟
11. nyinahang „menjelaskan‟
2. orahin „beritahukan‟
12 sineb „menutup‟
3. nguningang „memberitahukan‟
13. wéhin „berikan‟
4. ngepah „membagi tugas‟
14. nakénin „menanyakan
5. nyelasang „menjelaskan‟
15. nunasin „menanyakan‟
6. ngarahin „memberitahu‟
16. takénin „tanyakan‟
7. macukang „menyatukan pendapat‟
17. nauhang „mengundang‟
8. nauhin „memberitahukan‟ 9. mapiuning „mempermaklumkan‟ 10. nunasang „menanyakan‟
205
7.2.5 Proses Relasional Proses relasional menyatakan adanya relasi atau peran yang dimainkan antara unsur pertama dan unsur kedua. Unsur pertama umumnya dinyatakan dengan X, sedangkan unsur kedua dinyatakan dengan A. Relasi yang dimunculkan dapat berupa hubungan ‟ X adalah A‟ seperti contoh Diana is a blood donor „ Diana adalah seorang donor darah‟ atau You are very skinny „Kamu sangat kurus‟. Proses relasional juga dapat menjelaskan relasi lain seperti „X ada di A‟ dalam contoh The operation was in Genewa „operasi itu dilakukan di Genewa‟ atau „X memiliki A‟ dalam contoh Diana has a daughter „Diana memiliki seorang anak perempuan‟ (Eggins, 1994: 255). Proses relasional dapat dipilah atas proses Atributif dan Identifikasional dengan dasar pertimbangan tipe relasi yang dimunculkan. Sebagai contoh, proses atributif mengandung relasi A merupakan atribut dari X, sedangkan proses identifikasional mengandung relasi A merupakan identitas dari X. Kedua jenis relasi tersebut (Eggins 1994: 256; Halliday, 2004: 216) dipilah lagi atas tipe pengisi atribut atau tipe identitas sehingga setiap tipe memiliki subkelas intensitas, sirkumtansial, dan kepemilikan. Tipe intensitas menjelaskan „X adalah A‟; tipe sirkumtansial menjelaskan „X ada di A‟; dan tipe posesif menjelaskan „X memiliki A‟. X mengacu pada peran Penyandang, sedangkan A mengacu pada atribut atau identitas. Pilahan proses relasional dapat digambarkan sebagai berikut (Diadopsi dari Eggins, 1994: 256).
206
Intensif Atributif Proses Relasional
Posesif Sirkumtansial Intensif
Identifikasional
Posesif Sirkumtansial
Gambar 7.3: Proses Relasional Mengingat kedua proses atributif dan identifikasional merupakan pilahan dari proses relasional, maka perlu diberikan batasan dari masing-masing subtipe. Perbandingan kedua tipe proses relasional dinyatakan dengan alternasi struktur. Artinya, struktur alternasi dimiliki oleh subtipe identifikasional, sedangkan subtipe atributif tidak memungkinkan alternasi tersebut. Contoh klausa subtipe proses relasional atributif dan identifikasional ditampilkan dalam tabel di bawah ini (Halliday, 2004: 216).
1). Intensitas „X adalah A‟ 2). Posesif „X memiliki A‟ 3). Sirkumtansial „X ada di A‟
Atributif „A adalah atribut dari X‟
Identifikasional „A adalah identitas dari X‟
Sarah is wise
Sarah is the leader; The leader is Sarah The piano is Peter‟s; Peter‟s is the piano Tomorrow is the 10th; The 10th is tomorrow
Peter has a piano The fair is on Tuesday
Dengan mengambil data dari Bahasa Inggris, Halliday membedakan dua subtipe proses relasional berdasarkan kemungkinan bentuk reversibilitas. Proses
207
relasional dalam Bahasa Inggris cenderung direalisasikan dengan tobe. Klausa yang memiliki alternasi struktur melalui reposisi dinyatakan sebagai tipe identifikasional. Strategi berbeda diusulkan oleh Eggins (1994) dengan melakukan substitusi terhadap tobe dengan verba yang sesuai. Substitusi itu dimaksudkan untuk menguji kemungkinan bentuk pasif yang dihasilkan. Klausa yang menghasilkan bentuk pasif yang berterima diklasifikasikan sebagai tipe identifikasional. Sebaliknya, klausa yang gagal dipasifkan atau menghasilkan klausa pasif yang tidak berterima diklasifikasikan sebagai tipe atributif. Berikut contoh pengujian untuk menentukan tipe intensitas
relasi
atributif dan
identifikasional (Eggins, 1994: 258).
Atributif Intensitas
Identifikasional Intensitas
The soup is wonderful
Her smile is pleasure
The soup tasted wonderful
Her smile expressed pleasure
*Wonderful was tasted by the soup
Pleasure was expressed by her smile
Pada kolom atributif, tobe berhasil disubstitusi dengan verba taste „terasa‟ dengan mempertimbangan kesepadanan makna dengan klausa semula. Klausa tersebut
menghasilkan
klausa
pasif
yang
tidak
berterima.
Dengan
ketidakberterimaan itu, klausa The soup is wonderful diklasifikasikan sebagai klausa atributif. Di sisi lain, substitusi terhadap tobe dengan verba expressed „menunjukkan‟ berhasil membentuk klausa pasif yang berterima. Jadi, klausa the
208
soup is wonderful „sop itu enak‟ dinyatakan sebagai klausa atributif. Sebaliknya, klausa Her smile is pleasure „senyumnya tulus‟ dikategorikan sebagai klausa identifikasional. memilah
Substitusi tobe dengan verba juga dapat dilakukan untuk
subtipe
posesif
dan
sirkumtansial
pada
relasi
atributif
dan
identifikasional. Akan tetapi, mengingat Bahasa Bali tidak mengenal tobe untuk dapat
melakukan
substitusi
seperti
prakarsa
Eggins.
Penelitian
ini
mengaplikasikan pengujian dengan mereposisi argumen (proses reversibilitas) versi Halliday.
7.2.5.1 Proses Relasi Atributif Proses relasi atributif menuntut hadirnya satu peran semantis, yakni Penyandang (Carrier). Kehadiran
Partisipan I bersifat wajib hadir karena
kehadirannya membawa atribut tertentu. Contoh klausa relasi atributif intensitas, sirkumtansial, dan kepemilikan ditampilkan di bawah ini. (Data A1/4 dan A2/3).
(7.15) a.
…(Makadi) titian madué roban… seperti 1 TG -punya saudara „Saya mempunyai keluarga‟
b.
…Ida maparab I Gusti Ngurah Tangkeb Langit… 3 TG -nama NAMA „Beliau bergelar I Gusti Ngurah Tangkeb Langit‟
c.
…Rerajahan mapinda empas… gambar -bentuk kura-kura „Gambar berupa kura-kura‟
d.
…Gulemé saking kidul muang kangin… mendung-DEF PREP barat KONJ timur „Mendung yang berasal dari arah barat dan timur‟
209
e.
Tiang niki saking kelompok tengah, Sekarwana 1 TG DEM PREP NAMA „Saya dari kelompok tengah, Sekarwana‟
Ida
maparab
I Gusti Ngurah Tangkeb Langit
Rerajahané
mapinda
empas
Makadi titiang
madué
roban
Gulemé
saking
kidul muang kangin
Tiang niki
saking
kelompok tengah, Sekarwana
Penyandang
Relasi Atributif
X
Atribut A
Contoh-contoh yang ditampilkan pada (7.15) terdiri atas tiga subtipe atributif. Klausa (a) merupakan contoh klausa atributif intensitas, klausa (b, c) adalah klausa atributif posesif, dan klausa (d) merupakan contoh klausa atributif sirkumtansial. Dua klausa
pertama menunjukkan atribut yang dimiliki
Penyandang. Predikator maparab „bernama‟ pada klausa Ida maparab I Gusti Ngurah Tangkeb Langit menyatakan atribut nama, sedangkan Predikator mapinda „berupa‟ pada klausa Rerajahane mapinda empas menyatakan atribut bentuk. Pada klausa (c) terdapat atribut kepemilikan yang dinyatakan dengan verba relasi madue „memiliki‟. Klausa (d, e) menyatakan atribut sirkumtansial lokasi saking „berasal dari‟ atau mengandung relasi asal-usul. Pengujian klausa relasional atributif dapat dilakukan dengan proses reversibilitas, yakni pembalikan posisi Penyandang dan Atribut. Klausa relasional
210
atributif biasanya tidak dapat menurunkan klausa gramatikal dalam proses reversibilitas. Hasil proses reversibilitas klausa (7.15) ditampilkan di bawah ini.
1.
*I Gusti Ngurah Tangkeb Langit
maparab
Ida
2.
*Empas
mapinda
rerajahané
3.
*Roban
madué
titiang
4.
*Kidul muang kangin
saking
gulemé
5.
*Kelompok tengah, Sekarwana
saking
tiang niki
Hasil proses reversibilitas menghasilkan klausa tak berterima (*). Oleh sebab itu, klausa (7.15) telah terbukti merupakan klausa atributif. Berikut daftar proses relasi atributif yang dimunculkan pada TNNGB. 1. saking „dari‟ 2. maka „sebagai‟ 3. masari „berisi‟ 4. wakil ‟wakil‟ 5. wantah „bagaikan‟ 6. masarana „dengan sarana‟ 7. maparab „bernama‟ 8. mapinda „berupa‟ 9. madué „memiliki‟ 10. maulam „dengan lauk‟
211
7.2.5.2 Proses Relasi Identifikasional Klausa
proses identifikasional memiliki karakteristik yang berbeda
dengan proses atributif, baik secara semantis semantis,
klausa
identifikasional
tidak
mendefinisikan atau memberi batasan.
maupun gramatikal. Secara
menyatakan
klasifikasi,
tetapi
Secara gramatikal, proses tersebut
melibatkan dua partisipan, masing-masing
Penyandang Identitas dan Nilai.
Penyandang disebut juga Token adalah Partisipan I pada relasi identifikasional. Partisipan II proses identifikasional diisi oleh Nilai (value) yang merujuk pada identitas yang dimiliki. Kedua partisipan merupakan partisipan wajib, artinya, Token dan Nilai harus dimunculkan secara tersurat karena terlibat langsung dalam proses. Nilai harus diisi oleh kelompok nomina definite. Karakteristik proses identifikasional intensitas adalah A serves to define the identity of X „A berprilaku untuk memberi batasan terhadap identitas X‟. Pada contoh you are the skinniest one here „kamu orang terkurus di sini‟, tampak ciri the skinniest one here merupakan identitas yang dimiliki oleh A.
Jadi, sifat relasi
identifikasional adalah „X berprilaku memberi tanda atau batasan identitas A‟. Seperti telah disinggung pada butir (7.2.5) bahwa ciri yang membedakan proses relasi identifikasional dimaksud reversibilitas adalah
dari relasi atributif adalah reversibilitas. Yang peluang unsur X dan A dapat dipertukarkan
(Halliday, 2004: 215). Hal itu dapat dilakukan karena masing-masing partisipan proses identifkasi bersifat mandiri (autonomous). Dengan otonomi yang dimiliki oleh setiap partisipan dimungkinkan reversibilitas berjalan sukses, seperti contoh (1, 2) berikut.
212
1a.
Married women
are
the real victims
b.
The real victims
are
married women
You
are
the skinniest one here
b.
The skinniest one here
is
you
c.
The skinniest one here
is represented
by you
2a.
Klausa asal Married women are the real victims dapat direposisi menjadi The real victims
are married women tanpa mengubah makna.
Peluang
reversibilitas dapat berdampak pada ketidakpastian partisipan dalam peran Token dan Nilai (Value). Oleh sebab itu, ditegaskan bahwa partisipan Token adalah partisipan yang mengandung nama (name), bentuk (form), penyandang (holder), tanda (sign) atau pemilik (occupant) dari Nilai. Sementara itu, Nilai memberi makna (meaning), referensi (referent), fungsi (function), status atau peran dari Token. Pengujian
lain diusulkan oleh Eggins, dengan mencermati pengisi
Subjek. Token atau Penyandang Identitas adalah pengisi peran Subjek pada struktur aktif, sedangkan Nilai adalah partisipan yang berperan sebagai Subjek pada bentuk pasif. Contoh (2 a, b) merupakan contoh pengujian berdasarkan pengisi Subjek. Subjek pada klausa aktif adalah Token, You, sedangkan Subjek pada klausa pasif adalah Nilai, the skinniest one here. Beberapa klausa proses relasional tipe identifikasional yang ditemukan pada TNNGB ditampilkan di bawah ini (Data A2/3.2/97,151, 155 dan A3/1/104, 109).
213
(7.16) a. …Titiang makadi jan banggul dué… 1 TG -sebagai tangga POS „Saya sebagai pelayan umat‟ b. …Ida wantah pangenca gumi driki … 3 TG ATR penguasa bumi LOK „Beliau penguasa daerah ini‟ c. …Guminé driki duén Ida… bumi-DEF LOK POS 3 TG „Daerah ini milik Beliau‟ d. …Sabehé paican Ida Sesuhunan… hujan-DEF -beri 3TG junjungan „Hujan adalah pemberian Tuhan‟ e. …Pinunasé wantah sabeh merta… permohonan-DEF ATR hujan berkah „Kami memohon hujan yang memberkahi‟ f. …Nunas ujané saian ring pura Wahyu… -mohon hujan-DEF FREK PREP „Ritual mohon hujan biasanya dilaksanakan di pura Wahyu‟.
a. b. c. d. e. f.
Titiang Ida Gumine driki Sabehé Pinunasé Nunas ujané Token X
makadi wantah
wantah saian Predikator
jan banggul dué pangenca gumi driki duén Ida paican Ida Sesuhunan sabeh merta ring pura Wahyu Nilai A
Enam contoh klausa pada (7.16) di atas terdiri atas contoh proses relasi identifikasional dalam tiga subtipe. Subtipe intensitas ditunjukkan oleh klausa (a, b), tipe posesif (c, d), dan tipe sirkumtansial (e, f). Pada klausa (a) terdapat Predikator makadi „sebagai‟ yang berfungsi sebagai pemarkah identitas intensitas, sedangkan pada empat klausa di bawahnya (b, c, d, e) pemarkah relasi tidak
214
dimunculkan. Klausa terakhir memunculkan perdikator saian „sering kali‟ yang menunjukkan derajat frekuensi. Dengan demikian, proses relasi identifikasional dalam Bahasa Bali dapat dimunculkan dengan pemarkah relasi tertentu ataupun tanpa pemarkah relasi. Pengujian terhadap klausa relasi identifikasional (7.16) dilakukan dengan reversibilitas, yakni mempertukarkan unsur A dan X berikut.
a.
Jan banggul dué
b.
Pangenca gumi driki
Ida
c.
Duén Ida
gumine driki
d.
Paican Ida Sesuhunan
sabehé
e
Sabeh merta
wantah
pinunasé
f.
Ring pura Wahyu
saian
nunas ujané
Nilai A
makadi
Predikator
titiang
Token X
Pengujian reversibilitas berhasil pada seluruh klausa. Klausa relasi identifikaional dapat mempertukarkan kedua argumennya tanpa mengubah makna. Dengan demikian, klausa di atas merupakan klausa identifikasional. Predikator relasi, seperti makadi „seperti‟, wantah „sebagai‟, saian „lebih sering‟ cenderung terbuka pada pertukaran posisi Nilai dan Token. Klausa yang tidak memunculkan proses relasi (b, c, d) tetap mencerminkan relasi, dalam hal ini relasi posesif. Sebagian dari proses relasi identifikasional dapat dimunculkan tanpa pemarkah proses atau lebih dikenal dengan klausa nominal. Akan tetapi, dalam kajian Sistemik klausa semacam itu dapat dilihat sebagai klausa dengan fitur predikator. Predikator yang berbentuk fitur tidak dimunculkan secara tersurat,
215
tetapi keberadaannya tetap dapat dipahami secara gramatikal. Kondisi semacam itu mengindikasikan bahwa klausa Bahasa Bali mengizinkan struktur klausa dengan
Predikator secara leksikal atau secara gramatikal. Ketidakmunculan
Predikator proses relasional tidak berdampak pada ketidakberterimaan. Jadi, klausa yang menggambarkan relasi identifikasional dapat dinyatakan dengan atau tanpa Predikator leksikal. Klausa relasi berikut juga merupakan klausa tanpa pemarkah proses atau menghadirkan Predikator dalam bentuk fitur.
(7.17) a.
Titiang damuh cokor I Dewa… 1 TG embun kaki ART Dewa „Saya hamba-Mu (Tuhan)‟
b.
Jeroné jan banggul Idané VOK-DEF tangga 3 TG-DEF „ Anda adalah tangga beliau‟
c.
Titiang juru arah duéné 1 TG tukang beritahu POS-DEF „Saya sebagai pengerah massa‟
Titiang Jeroné Titiang Token X
Predikator
damuh cokor I Dewa jan banggul Idané juru arah duéné Nilai A
Klausa realsi di atas dimunculkan tanpa Predikator dan reposisi Token dan Nilai tidak menemui kendala apapun. Jadi, klausa relasi identifikaional mengizinkan pembentukan klausa tanpa Predikator. Pada kasus demikian, agnasi
216
biasanya dapat ditambahkan untuk menegaskan kedudukan Token mendahului Nilai. Jadi, Predikator relasional dapat dimarkahi secara leksikal atau fitural. Secara kultural, label jan banggul diberikan kepada pamangku „pemimpin pura‟. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pronomina orang pertama pada klausa titiang makadi jan banggul due mengacu pada pamangku atau pernyataan tersebut disampaikan oleh seorang pamangku. Secara harfiah, jan banggul dapat diartikan tangga yang biasa difungsikan sebagai alat bantu mencapai ketinggian tertentu. Dengan kata lain, pamangku dipandang sebagai partisipan yang mampu menghubungkan bawah-atas, dalam hal ini, mengomunikasikan permohonan manusia kepada Sang Pencipta. Tidak banyak Predikator proses relasi identifikasional yang dimunculkan. Berikut beberapa contoh proses relasi identifikasional . 1. makadi „sebagai‟ 2. pinaka „sebagai‟ 3. saian „sering kali‟ 4. yukti „benar-benar‟ 5. satmaka „sebagai‟ 6. panganteb „pelengkap‟ 7. masarana „dengan sarana‟
7.2.6 Proses Eksistensial Tipe proses eksistensial
menyatakan keberadaan suatu hal atau benda.
Proses tersebut menuntut hadirnya satu partisipan yang berperan sebagai Wujud. Argumen lain yang sering dimunculkan dalam proses eksistensial
adalah
217
sirkumtansi. Proses eksistensial
merupakan padanan dari struktur introductory
there dalam Bahasa Inggris (Eggins, 1994: 254). Pada klausa Eksistensial introductory there
tidak merepresentasikan makna tertentu, tetapi harus
dimunculkan karena
setiap klausa membutuhkan Subjek. Dengan demikian,
introductory there bersifat
bebas makna dan tidak mendapat penekanan
(unstressed). Jadi, secara struktur introductory there berperan sebagai Subjek, tetapi tidak mengandung peran semantis tertentu. Dalam contoh there was snow on the ground „ada salju di tanah‟, there berperan secara
struktur, yakni
menempati posisi Subjek, sedangkan proses eksistensial dinyatakan dengan tobe atau verba seperti arise „muncul‟, dan occur „terjadi‟. Berikut ditampilkan contoh proses eksistensial (Dikutip dari Eggins, 1994: 254).
There
was
snow
on the ground
There
were
two wonderful Swiss men
on the restaurant
Eksistensial
Wujud
Sirkumtansi
Pada ketiga klausa di atas, there merupakan Subjek yang tidak merepresentasikan makna ataupun merujuk pada tempat. Dengan ketiadaan peran semantis yang dijalankan, introductory there dapat dibiarkan tanpa penjelasan dalam analisis transitivitas (Eggin, 1994: 255). Dalam Bahasa Bali penanda proses eksistensial
dinyatakan dengan
pemarkah Eksistensial seperti ada „ada‟ atau wenten „ada‟, seperti contoh klausa berikut (Data A3/2/ 23-25 ).
218
…Né ada pangarahan uli désa… EKS pemberitahuan PREP desa „Ada pemberitahuan dari desa‟
(7.18) a.
b.
…Wénten berita penting … EKS berita penting „Ada berita penting‟
c.
…Niki galah becik malih petang rahina… EKS waktu baik PREP NUM hari „Ada hari baik empat hari lagi‟
Niki
galah becik
malih petang rahina
Né ada
pengarahan
uli désa
Wénten
berita penting
minab
Proses eksistensial
Wujud
Sirkumtansi
Proses eksistensial dalam klausa di atas dinyatakan dengan niki „ada‟, ne „ada‟, wenten „ada‟ yang berfungsi sebagai penunjuk keberadaan suatu wujud. Bahasa Bali tidak mengenal introductory there
sebagaimana Bahasa Inggris.
Klausa tersebut diyakini berupa proses eksistensial
karena menyatakan
keberadaan yang diwujudkan dalam wujud yakni galah becik „hari baik‟, pengarahan „pemberitahuan‟, berita penting „berita penting‟ maupun titiang „saya‟. Pemarkah proses eksistensial
tersebut mengantarkan pendengar untuk
mengetahui suatu wujud tertentu yang dibicarakan. Niki (a) atau ne (b) tidak berfungsi sebagai demonstrativa atau kata penunjuk, tetapi cenderung menyatakan keberadaan. Niki dan ne keduanya berarti „ada‟ dalam ragam berbeda. Niki merupakan bentuk ragam hormat, sedangkan -ne adalah bentuk biasa (andap). Proses eksistensial
juga dapat dinyatakan dengan wenten dan ada „ada‟ dengan
wenten tergolong ragam hormat, sedangkan ada termasuk ragam biasa.
219
Bentuk wénten juga dapat mengambil bentuk hormat lainnya yakni kawentenan „keberadaan‟, seperti klausa berikut (Data A1/1.3/ 34, 22).
(7.19) a
b.
…Kawéntenan tandurané layu… EKS tanaman-DEF layu „Keberadaan tanaman yang layu‟ …Kawéntenan sametoné driki di Plampang… EKS saudara-DEF LOK PREP „Keberadaan saudara kita di Plampang ini‟
Kawéntenan
tandurané
layu
Kawéntenan
sametoné
driki di Plampang
Proses eksistensial
Wujud
Sirkumtansi
Klausa (7.19) menunjukkan Eksistensial
suatu wujud masing-masing
tandurané „tanaman‟ dan semetoné „saudara‟. Kedua klausa di atas terdiri atas satu partisipan, yaitu Wujud. eksistensial
kawentenan
Klausa tersebut diawali oleh pemarkah proses
‟keberadaan‟ yang merupakan bentuk turunan dari
wenten „ada‟. Bahasa Bali mengizinkan klausa eksistensial dimunculkan dengan pemarkah eksistensial dan Wujud tanpa subjek pengantar, seperti introductory there pada Bahasa Inggris. Bila dilihat dari struktur kalimat, tampak struktur
klausa proses
eksistensial menggunakan tata kalimat yang tidak bersifat kanonis. Pada bahasa yang bertipe S-P-K-A umumnya Subjek menempati posisi inisial, tetapi tidak demikian pada struktur proses eksistensial . Proses itu menggunakan konstruksi inversi, yakni Subjek dimunculkan pada posisi posverba.
Pengedepanan
220
Predikator dilakukan untuk kepentingan pragmatik, yakni menjadikan proses eksistensial sebagai unsur yang ditonjolkan. Klausa proses eksistensial (7.19) di atas diderivasi dari klausa berikut.
Galah becik
niki
malih petang rahina
Pengarahan
né ada
uli désa
Berita penting
wénten
minab
Subjek
Proses eksistensial
Sirkumtansi
Pada klausa (a) Niki galah becik malih petang rahina „ada hari baik empat hari lagi‟ diderivasi dari klausa Galah becik niki malih petang rahina. Kedua klausa mengandung makna yang sama, tetapi penekanannya berbeda. Klausa Niki galah becik malih petang rahina mementingkan proses eksistensial, sedangkan klausa Galah becik niki malih petang rahina mementingkan proses relasional. Jadi, secara struktur klausa eksistensial
memiliki
penekanan yang berbeda
dengan struktur kanonis. Beberapa klausa
proses eksistensial dan prakiraan struktur asalnya
ditampilkan di bawah ini (Data A3/3). (7.20) a. …Ten wénten sabeh uli nem bulan niki… NEG EKS hujan PREP NUM bulan DEM „Tidak ada hujan sejak enam bulan terakhir‟ b. …Wénten pasadok saking jero klian duéné… EKS penyampaian PREP HON SOS POS-DEF „Ada penyampaian dari ketua adat‟ c. …Sampun wénten pajatian anggén upasaksi… ASP EKS pajatian PREP saksi „Sudah ada pajati untuk mohon berkah Tuhan‟
221
d. …Wénten dua pendapat saking kelompok tengah… EKS NUM pendapat PREP kelompok tengah „Sudah ada dua pendapat dari kelompok tengah‟
Klausa (7.20) mementingkan keberadaan yang dapat dipadankan dengan struktur introductory there dalam Bahasa Inggris. Seperti tampak pada klausa di atas, bentuk negatif proses eksistensial dapat didahului oleh pemarkah negasi ten „tidak‟ (a), atau pemarkah aspek sampun „sudah‟ (c). Dengan proses eksistensial, keberadaan
atau ketidakberadaan ditonjolkan dengan memosisikan pemarkah
eksistensial di awal klausa. Sementara itu, wujud nomina yang ditonjolkan dan Sirkumtansi yang mendukung keberadaan menempati posisi pos-eksistensial. Struktur klausa eksistensial tampak menggunakan struktur yang tidak kanonis bahasa S-P-K-(A). Oleh karena itu, klausa (7.19) dapat dirunut ke dalam struktur asal seperti di bawah ini.
Sabeh
ten wénten
uli nem bulan niki
Pasadok
wénten
saking jero klian duéné
Pajatian
sampun wénten
anggén upasaksi
Dua pendapat
wénten
saking kelompok tengah
Wujud
Proses eksistensial
Sirkumtansi
Subjek
Predikator
Komplemen
Klausa asal di atas cenderung tidak menjadi pilihan yang digemari. Pelibat memilih struktur proses eksistensial yang mengedepankan keberadaan, bukan Wujud. Hal itu dapat dimaknai sebagai keinginan memberi fokus pada makna pada keberadaan, bukan pada struktur fungsi.
222
Data menunjukkan bahwa proses eksistensial sangat erat kaitannya dengan kehadiran Sirkumtansi. Setiap klausa Eksistensial
selalu memunculkan
Sirkumtansi tertentu. Klausa (a) diikuti oleh Sirkumtansi durasi waktu uli nem bulan „sejak enam bulan terakhir‟. Pada klausa
di bawahnya berturut-turut
dimunculkan sirkumtansi asal, tujuan dan tempat. Jadi, dapat ditarik simpulan bahwa proses eksistensial
berkaitan erat dengan Sirkumtansi untuk menjelaskan
tempat, waktu, tujuan, alasan, atau sumber keberadaan. Sirkumtansi tersebut dapat pula hadir dengan atau tanpa preposisi. Proses eksistensial
tergolong
proses yang paling bergantung pada kemunculan Sirkumtansi. Berdasarkan contoh yang telah ditampilkan di atas, berikut Predikator proses eksistensial . 1. kawéntenan „keberadaan‟ 2. niki „ada‟ 3. wantah „ada‟ 4. ada „ada‟ 5. ne „ada‟ 6. wénten „ada‟
7.3 Interpretasi Tipe Proses Setelah tipe proses TNNGB ditelaah, ternyata ada beberapa hal penting yang harus dicatat. Pertama, ada ciri menonjol yang ditemukan pada klausa proses relasional, yakni tingginya frekuensi proses tersebut digunakan sebagai ungkapan perumpamaan. Beberapa proses relasional yang digunakan bentuk metafora ditampilkan di bawah ini (Data A1/4/ 226, 236, 327).
dalam
223
(7.21) a. …Titiang makadi jan banggul dué… 1 TG -sebagai tangga POS „Saya sebagai pelayan Beliau‟ b.
…Kramané sami bedak… warga-DEF KUAN haus „Semua orang mengharapkan hujan‟
c.
…Titiang damuh cokor I Dewa… 1 TG embun kaki ART Dewa „Saya hanyalah hambaMu (Tuhan)‟
Tampaknya klausa relasional cenderung digunakan untuk menyatakan metafora, terutama kemiripan sifat dan fungsi. Pada klausa (a, b) tampak orang pertama tunggal diibaratkan seperti „embun‟ dan „tukang sapu‟. Pemakaian metafora perumpamaan tersebut dipilih atas dasar adanya kesamaan sifat atau fungsi antara entitas yang sesungguhnya dan benda yang dijadikan pembanding. Pada klausa (c) digunakan metafora bedak „haus‟ yang secara harfiah merujuk pada „keinginan untuk minum‟ dalam makna yang lebih luas menjadi „sangat mengharapkan turunnya hujan‟.
Jadi, penggunaan metafora yang dimunculkan
berkaitan erat dengan ketakwaan masyarakat terhadap Tuhan dan harapan memperoleh hujan. Kedua, TNNGB ternyata memiliki proses verbal yang agak berbeda dengan proses verba pada umumnya. Ditemukan proses verbal dengan dua dimensi, yakni (a) mengandung proses berkata-kata, dan (b) mengandung proses material. Proses verbal dua dimensi itu dapat dilihat sebagai dua proses yang berurutan, yang pada mulanya berupa proses verbal dalam penyampaian informasi kemudian harus dilanjutkan dengan proses material oleh Target. Jadi, informasi yang disampaikan mengandung implikasi perintah yang wajib dipatuhi. Dengan
224
kata lain, Perkataan yang disampaikan harus diidentifikasi oleh Target sebagai pemberitahuan dan permintaan. Jadi, proses verbal unik itu menuntut pemahaman pesan dan merealisasikanya dalam bentuk tindakan yang relevan. Dengan demikian, proses verbal unik yang direalisasikan dengan leksikon nauhin, nanginin, mapengarah, dan ngarahin „memberitahukan‟ tidak hanya menunutut pemahaman pesan yang disampaikan, tetapi juga menuntut tipe respons nonverbal yang harus dimunculkan pada waktu yang ditetapkan. Implikasi Predikator demikian dapat dipadankan dengan perlokusi pada tindak tutur (Austin, 1976) atau implikatur pada teori pragmatik
(Levinson, 1987).
Proses verbal dua
dimensi itu dapat dilihat sebagai verba yang mengandung dua proses berikut. a. Proses verbal : „X menyampaikan A pada B‟ b. Proses material: „B melakukan A‟ Perkataan pada proses verbal dua dimensi itu bersifat mengikat dan pelanggarnya dapat dijatuhi denda. Secara kultural, anggota yang tidak dapat mematuhi proses verbal dua dimensi hingga tiga kali berturut-turut atau sesuai kesepakatan dapat dijatuhi sanksi tertentu. Ketiga, hasil penghitungan terhadap kemunculan tipe proses menunjukkan variasi seperti ditampilkan di bawah ini.
225
Tabel 7.3 Rekapitulasi Tipe Proses
Material
Neduh A1 A2 A3 226 62 128
Nyelang Galah B1 B2 B3 528 48 41
Eksistensial
132
40
71
206
28
Relasional
31
13
29
78
Perilaku
0
0
0
Verbal
21
12
Mental
18
Jumlah
428
Tipe Proses
Jumlah
%
1033
54,2%
26
503
26,4%
7
5
163
9,4%
0
0
0
0
0%
22
24
25
6
110
5,5%
21
19
26
5
10
99
5,3%
148
269
862
113
88
1908
Tabel rekapitulasi tipe proses (7.3) menunjukkan jumlah klausa pada teks nyelang galah lebih banyak daripada jumlah klausa pada teks neduh. Hal itu disebabkan adanya tahapan
pascaritual berupa
panyineb atau pamancut
„penutup‟. Keberadaan teks penutup mengindikasikan bahwa teks nyelang galah bersifat lebih pelik. Tabel (7.3) juga menunjukkan distribusi jumlah klausa pada setiap proses bervariasi. Distribusi tertinggi didominasi oleh proses material, yakni mencapai 54,2% yang sebagian besar dimunculkan pada ritual nyelang galah. Tingginya frekuensi kemunculan proses material dimaknai sebagai karakter teks yang memerlukan berbagai tindakan “melakukan” baik dalam fase persiapan, fase puncak, maupun fase penutup. Pelibat diwajibkan melakukan banyak tindakan riil agar permohonan dapat berhasil. Demikian pula, para figur diperintahkan melakukan berbagai tugas untuk kesuksesan
tidak kasatmata permohonan,
226
termasuk menyimpan atau mengeluarkan api, membasmi atau menarik mendung, mengumpulkan atau memecah mendung sesuai dengan kebutuhan. Proses eksistensial
menempati jumlah tertinggi kedua, yakni 26,4%. Artinya, ritual
melibatkan banyak entitas dalam berbagai wujud, misalnya mendung, hujan, air, api, hari baik, kesepakatan, air laut, sarana umum, dan sarana khusus lainnya. Berbagai wujud dilibatkan dalam ritual, baik wujud insani maupun wujud noninsani. Proses relasional menempati jumlah keempat terbesar yang dimaknai sebagai upaya mempertautkan berbagai entitas yang ada satu dengan lainnya agar terjalin harmoni. Relasi antarbenda mencerminkan keterkaitan secara langsung ataupun tidak langsung. Misalnya, hubungan individu dengan kelompok, individu dengan alam, individu dengan Tuhan. Dengan relasi itu, setiap benda yang ada di dunia tidak bersifat mandiri, tetapi berhubungan dengan benda lainnya dan dapat dimanfaatkan oleh manusia. Bila rekapitulasi tipe proses pada struktur transitivitas dikaitkan dengan sistem modus dapat diketahui bahwa dominasi modus imperatif dalam TNNGB sejalan dengan tingginya jumlah proses material yang harus dikerjakan. Pelibat diwajibkan menyelesaikan pekerjaan tertentu agar permohonan dapat terkabul. Dukungan perilaku para pelibat harus relevan dengan prosedur yang disepakati sesuai petunjuk partisipan kunci. Sejauh ini, tidak ditemukan ekspresi penolakan terhadap tugas yang dibebankan. Jadi, TNNGB membutuhkan dukungan fisik seluruh pelibat.
BAB VIII STRUKTUR DIATESIS
8.1 Pengantar Menurut Eggins (1994: 156), struktur diatesis selalu mengandung motivasi semantis dan pragmatis. Artinya, sebagai bagian dari realisasi makna pertukaran, diatesis tidak hanya mengandung kesatuan pesan yang dinyatakan dalam struktur tertentu, tetapi juga komponen yang dikedepankan oleh pembicara. Susunan kata dalam klausa
yang
digunakan untuk mengekspresikan pokok
pesan
mencerminkan orientasi pembicara. Jadi, pilihan struktur diatesis selalu memihak pembicara yang memungkinkannya menyampaikan informasi tertentu dengan susunan leksikon yang diinginkan. Di sisi lain, Halliday (2004: 55) mengaitkan struktur diatesis dengan karakteristik Predikator dan fungsi gramatikal yang diperankan oleh argumen. Oleh sebab itu, struktur diatesis tidak dapat dilepaskan dari tipe proses dan fungsi. Berdasarkan batasan itu, Subjek didefinisikan secara semantis, pragmatis, dan struktur. Secara semantis, Subjek merupakan realisasi fungsi gramatikal tertinggi. Secara pragmatis, Subjek adalah elemen yang dipertanggungjawabkan oleh pembicara terkait dengan validitas pesan yang disampaikan. Subjek merupakan unit yang menentukan proposisi dapat diyakini atau ditolak. Secara struktur, Subjek dapat dibatasi sebagai sesuatu yang mendapat predikat [That of which something is being predicated (that is, on which rests the truth of the argument) (Halliday, 2004: 55)]. Dengan kata lain, Subjek merupakan sesuatu yang dijadikan 227
228
titik awal untuk menyampaikan pesan dan berperan sebagai unit yang mengambil tanggung jawab. Telaah struktur diatesis bertolak dari struktur klausa yang tidak bermarkah atau tidak mengandung prominensi tertentu. Sebuah klausa dinyatakan sebagai klausa yang tidak bermarkah bila fungsi tertinggi semantis dipetakan pada fungsi tertinggi secara gramatikal. Pola pemetaan klausa tidak bermarkah dapat dilihat pada klausa Her nephew sent her flowers „Keponakannyai mengirimkannyai bunga‟ di bawah ini (diadopsi dari Halliday, 2004: 296).
Fungsi
Her nephew
a. Semantis
Agen
b. Pragmatis
Tema
c. Gramatikal
Subjek
sent her flowers
Contoh di atas menunjukkan hadirnya fungsi Agen yang direalisasikan dengan kelompok kata her nephew „keponakannya (laki-laki)‟. Fungsi semantis Agen dipetakan secara lurus pada fungsi pragmatik dan gramatikal. Pemetaan lurus itu dinyatakan sebagai konstruksi tidak bermarkah atau klausa yang tidak mengandung prominensi tertentu (non-prominent). Sebaliknya, klausa bermarkah adalah konstruksi yang mementingkan suatu unsur atau mengandung prominensi, seperti contoh berikut (diadopsi dari Halliday, 2004: 296).
229
Subjek a.
By her nephew
she
was sent flowers
b.
To his aunt
he
sent flowers
c.
At the high jump
John
wins every time
Pada contoh (a, b, c) di atas, tampak upaya untuk menonjolkan komponen tertentu. Komponen yang ditonjolkan pada klausa (a) adalah by her nephew „oleh keponakannya‟ yang berstatus sebagai Agen pada verba pasif. Pengedepanan Agen terjadi atas kepentingan untuk menjadikan Agen sebagai Tema. Pada klausa (b) Penerima to his aunt „untuk bibinya‟ ditonjolkan. Klausa (c) menonjolkan Jangkauan at the high jump „pada cabang loncat tinggi‟.
Jadi, kepentingan
mengedepankan komponen selain Subjek menghasilkan klausa bermarkah yang dapat menghasilkan pemetaan tidak lurus.
8.2 Struktur Diatesis Efektif Berdasarkan kajian Sistemik, kemunculan fitur Agen merupakan penentu struktur diatesis efektif. Klausa yang memiliki proses aktif pada Predikatornya tentu memiliki Agen. Klausa semacam itu dapat dinyatakan sebagai klausa efektif. Sebaliknya, klausa yang tidak mengandung keaktifan secara semantis tidak mengandung fitur Agen. Klausa yang demikian dinyatakan sebagai klausa Medial. Dengan demikian, terdapat dua indikator yang digunakan untuk menentukan jenis diatesis dalam sudut pandang Sistemik, yakni (a) keaktifan pada proses yang dinyatakan oleh Predikator dan kehadiran Agen. Klausa efektif dapat direalisasikan dengan struktur Diatesis Operatif atau Reseptif.
230
Untuk membandingkan klausa efektif dan nonefektif ditampilkan contoh berikut (diadopsi dari Matthiessen dan Halliday, 1997: 20) (terjemahan oleh penulis).
(8.1)
a.
The wind opened the door ART angin buka-PAST ART pintu „Angin menyebabkan pintu itu terbuka‟
b.
The door opened ART pintu buka-PAST „Pintu itu terbuka‟
Meskipun klausa (8.1) memiliki Predikator yang sama, opened „membuka, terbuka‟, tetapi tidak dapat dipandang memiliki diatesis yang sama. Klausa (a) merupakan klausa transitif yang menghadirkan dua argumen, masing-masing, the wind „angin‟ dan the door „pintu‟. The wind adalah Agen dari peristiwa yang dinyatakan oleh predikat atau inisiator yang menyebabkan predikat terjadi, sedangkan the door menempati peran Tujuan. Dengan demikian, klausa (a) The wind opened the door „angin membuka pintu‟ dapat dikategorikan sebagai klausa efektif.
Pada klausa (b) The door opened „pintu itu terbuka‟ terdapat satu
argumen yakni the door yang secara otomatis berfungsi sebagai Subjek. Dalam struktur tersebut, the door bukanlah Agen, tetapi lebih cenderung sebagai Medium, yakni argumen perantara yang mengizinkan predikat opened terjadi. Dengan demikian, klausa the door opened tidak dapat digolongkan sebagai klausa efektif. Perlu ditegaskan bahwa identitas Agen adalah elemen penyebab (causer) yang memungkinkan suatu peristiwa terjadi. Agen mengacu pada partisipan yang
231
memiliki
kemampuan
melakukan
tindakan
seperti
dinyatakan
predikat.
Berdasarkan batasan itu, klausa yang tidak menyatakan proses aktif dan Subjeknya tidak menjadi penyebab terjadinya proses dapat dikategorikan sebagai klausa Medial. Struktur diatesis menurut Halliday dapat dilihat pada gambar di bawah ini (diadopsi dari Halliday, 2004: 297) (terjemahan oleh penulis).
Non Jangkauan
Medial Jangkauan +Jangkauan
Agensi
Operatif +Agen/S Medium/K Proses aktif NonAgentif
Efektif Reseptif +Medium/S Proses pasif
Agentif +Agen/ A
Gambar 8.1: Struktur Diatesis Bahasa Inggris
Berdasarkan gambar (8.1) dapat dijelaskan bahwa pilahan diatesis dalam teori Sistemik dilakukan atas dasar keagenan, sehingga melahirkan pilahan klausa yang memiliki Agen dan klausa yang tidak memiliki Agen. Struktur klausa yang tidak mengandung Agen disebut klausa Medial, sedangkan struktur yang memiliki Agen disebut klausa efektif. Klausa efektif direalisasikan dengan dua diatesis,
232
yakni Diatesis Operatif
dan Diatesis Reseptif. Dua tipe klausa efektif
itu
dinyatakan memiliki kedekatan antara satu dengan lainnya. Artinya, setiap klausa Operatif memiliki peluang dinyatakan dalam struktur Reseptif dengan menempatkan Partisipan II klausa Operatif menjadi Subjek pada klausa Reseptif. Jadi, yang menjadi penentu diatesis Efektif ialah adanya proses aktif dan kehadiran Agen yang terlibat aktif dalam proses tersebut. Seperti telah disinggung pada butir (6.2) verba Bahasa Bali dapat berupa verba berprefiks {-} atau tanpa prefiks {-}. Klausa yang menggunakan Predikator {-} lebih dikenal sebagai Diatesis Aktif (Artawa,1998), atau Diatesis Agentif (Pastika, 2002). Contoh (a) dikutip dari Artawa (1998: 8), sedangkan klausa (b) dikutip dari Pastika (2002: 116).
(8.2) a.
b.
Tiang nyépak cicing-é 1 TG -tendang anjing-DEF ‟Saya menendang anjing itu‟ Pan Belog tuara nakonang aji malu NAMA NEG -tanya harga Sirk ‟Pan Belog tidak menanyakan harga terlebih dahulu‟
Tampaknya penentuan tipe klausa Aktif atau Agentif di atas (8.2) berpedoman pada proses aktif yang dinyatakan Predikator dan kehadiran Aktor sebagai pelaku proses dalam fungsi Subjek/Agen. Sesungguhnya pandangan serupa juga terjadi pada sudut pandang Sistemik, tetapi klausa semacam itu dinamakan dengan Diatesis Operatif. Artinya, terdapat operasi atau tindakan yang dilakukan oleh Aktor dan Aktor merupakan argumen wajib hadir. Dengan
233
demikian, Diatesis
Operatif dapat dipadankan dengan Diatesis
Aktif atau
Diatesis Agentif. Dilihat dari bentuk morfologis, verba berprefiks {-} dan tanpa prefiks {} menunjukkan fungsi Subjek yang berbeda. Hal itu dapat dilihat pada tiga klausa berikut (Data A1/2/43, 56, 58).
(8.3)
a. …Kramané makta prani ke Pura Taman… Warga-DEF -bawa sajen PREP ‟Warga membawa sajén ke pura Taman‟ b. …I Nengah sampun mapengarah… NAMA PERF -beritahu ‟I Nengah sudah memberitahu‟ c. …Pajatiné aturin tiang benjang… NAMA sajen-DEF -beri 1 TG Sirk ‟Sajen saya serahkan besok‟
Kramané
makta
I Nengah (sampun)
mapengarah
Pajatiné
aturin
Subjek
Predikator
prani
ke Pura Taman
tiang
benjang
Komplemen
Adjung
Predikator yang dilekati pemarkah aktif {-} (a, b) memunculkan Subjek yang diisi oleh Agen. Sementara itu, Predikator yang mengandung pemarkah {-} (c) memunculkan Subjek dalam fungsi non-Agen. Agen tiang ‟1 TG‟ tidak menduduki
fungsi
gramatikal
tertinggi,
tetapi
dimunculkan
sebagai
Komplemen/Agen. Tampaknya, Agen klausa Bahasa Bali tidak harus menduduki fungsi tertinggi Subjek, tetapi dapat pula ditempatkan sebagai argumen yang
234
menempati fungsi yang lebih rendah. Jadi yang terpenting ialah adanya proses aktif pada Predikator dan kehadiran Agen bersifat wajib. prakiraan struktur Diatesis Operatif
Berikut ditampilkan
Bahasa Bali berdasarkan sudut pandang
Sistemik.
Klausa
Modus
Residu
Subjek
Predikator
Komplemen
Proses aktif Agen Non-Agen
{- (-in/-ang)} {- (-in/-ang)}
Gambar 8.2: Struktur Klausa Operatif Bahasa Bali Predikator yang dimarkahi prefiks {-} dapat membentuk struktur klausa dengan Subjek/Agen. Sebaliknya, Predikator yang dimarkahi zero prefiks {-} tidak menempatkan Agen sebagai Subjek. Dengan alternasi fungsi
itu dapat
ditarik simpulan bahwa Subjek klausa Operatif Bahasa Bali dapat berupa Agen atau non-Agen. Bila dikaitkan dengan komposisi Modus-Residu dapat dinyatakan bahwa struktur Subjek/Agen merupakan kondisi tipikal, sedangkan struktur Subjek/nonAgen sudah mengakomodasi kepentingan pragmatis. Jadi, struktur Subjek/Agen
235
atau
Subjek/Medium
dimungkinkan
menduduki
fungsi
Modus.
Sebagai
konsekuensi struktur Subjek/Medium, Agen dapat dimunculkan sebagai argumen yang memiliki status yang lebih rendah.
8.2.1 Diatesis Operatif Indikator pokok klausa Operatif ialah munculnya Subjek/Agen sebagai argumen wajib pada proses aktif. Agen dapat ditemukan pada klausa yang mengandung proses aktif, di antaranya klausa proses material, proses mental, proses verbal, dan proses perilaku. Subjek/Agen yang dimunculkan oleh proses aktif itu memiliki dua argumen wajib (inherent), yakni Agen dan Komplemen. Argumen tertinggi secara semantis, yakni Agen dipetakan secara simetris pada peran tertinggi gramatikal, seperti ilustrasi berikut.
Struktur Semantis
Agen
Medium
Struktur Gramatikal
Subjek
Komplemen
Gambar 8.3: Pemetaan Diatesis Operatif Gambar (8.3) menunjukkan bahwa sebagai pengisi fungsi tertinggi secara semantis Agen dipetakan pada struktur gramatikal yang tertinggi pula. Pemetaan lurus antarstruktur itu menghasilkan
pemetaan Subjek/Agen sedangkan
Komplemen diisi oleh Medium. Berikut contoh klausa proses material dalam Diatesis Operatif B1/3/ 109, 124, 125).
(Data
236
(8.4) a.
…Mogi I Ratu mapica… semoga ART Ratu -beri „Semoga Ratu (Tuhan) memberkati‟
b. …I Wanara Petak ngrauhang sekancan angin… ART NAMA -datang-KAUS KUAN angin „I Wenara Petak mendatangkan angin‟ c.
…I Sampati ngunggahang toya segara manadi entikan gulem… ART NAMA -naik-KAUS air laut -jadi bakal mendung „I Sampati menaikkan air laut menjadi bakal mendung‟
I Ratu
mapica
I Wanara Petak
ngrauhang
sekancan angin
I Sampati
ngunggahang
toya segara
Agen
Proses material
Medium
S
P
K
manadi entikan gulem
A
Pada tiga klausa (8.4) terdapat unsur Agen yang dimunculkan pada posisi awal klausa. Kehadiran Agen pada posisi demikian menunjukkan status sebagai partisipan yang terlibat langsung dalam proses atau bersifat wajib hadir. Dengan demikian, klausa material dapat digolongkan memiliki struktur Operatif. Argumen yang menduduki fungsi Subjek ialah I Ratu „Engkau (Tuhan) (a), I Wenara Petak „kera putih‟ (b), dan I Sampati (c). Klausa (a) tergolong klausa material subtipe “peristiwa”, sedangkan dua klausa berikutnya (b, c) merupakan klausa material subtipe proses “melakukan”. Klausa material subtipe “melakukan” memiliki unsur X dan unsur Y. Kedua tipe klausa di atas tidak berkendala untuk dinyatakan sebagai klausa Operatif .
237
Berikut ditampilkan contoh klausa proses material yang menghadirkan Agen, Benefaktif, dan Tujuan (Data A1/2/92, 103).
(8.5) a.
b.
…Gusti Ngurah micayang krama duéné merta… NAMA -beri-BEN warga POS-DEF berkah „Gusti Wayan memberikan warga berkah‟ …Iraga ngaturang Ida Sesuhunan pajatian… 1 JM -hatur-BEN 3 TG junjungan sajén „Kita menghaturkan beliau pajatian‟
Gusti Ngurah
micayang
krama duéné
merta
Iraga
ngaturang
Ida Sesuhunan
pajatian
Partisipan I Agen
Partisipan II Proses material
Klausa tipe material (8.5) di atas menghadirkan tiga argumen. Klausa (a) menghadirkan Gusti Ngurah
sebagai Subjek/Agen dan krama due „warga‟
sebagai Benefaktif, sedangkan merta „berkah‟ sebagai Tujuan. Klausa (b) memunculkan Subjek/Agen Iraga „kita‟,
Ida Sesuhunan „Junjungan‟ sebagai
Benefaktif, dan pajatian sebagai Tujuan. Meskipun Subjek klausa (a) memunculkan figur tidak kasatmata Gusti Ngurah dan Ida Sesuhunan, tetapi dipahami memiliki properti melebihi ciri humanis yang mampu mennunjukkan keaktifan maksimal. Klausa proses mental juga dapat dinyatakan dalam Diatesis Operatif, seperti ditampilkan contoh di bawah ini (Data 2A/2/35, 93).
238
(8.6) a. …Krama sami nyaratang ujan… Warga KUAL -ingin hujan „Semua warga mengharapkan hujan‟ b.
…Pamangku sami sampun acc indik peneduhané … SOS KUAL PERF sepakat PREP mohon hujan „Semua pamangku sudah sepakat untuk mohon hujan‟
Sami
nyaratang
ujan
Pamangku sami
sampun acc
indik peneduhane
Semantis
Agen
Proses mental
Gramatikal
Subjek
Proses mental menghendaki dua partisipan wajib dan partisipan I klausa itu harus humanis untuk dapat melakukan pengindraan. Klausa (8.6) merupakan klausa proses mental yang di dalamnya terkandung pengindraan dengan keinginan, emosi, dan kognitif. Pada klausa (a) terjadi proses nyaratang yang dilakukan dengan keinginan dalam intensitas tertentu, sedangkan (b) acc dilakukan dengan kognisi emotif. Krama sami „semua warga‟ pada klausa (a) merujuk pada seluruh warga baik komunitas transmigran maupun lokal. Berikut ditampilkan contoh klausa perilaku dan verbal (Data A3/2/ 129, 134). (8.7) a.
b.
…Tiang nauhin krama mulai bénjang… 1 TG -beritahu warga PREP Sirk „Saya akan memberitahu warga mulai besok‟ …Cerik-ceriké pada makenyem… anak-DEF-JM KUAN -senyum „Semua anak tersenyum‟
239
Tiang
nauhin
Cerik-ceriké
pada makenyem
Partisipan
1
Semantis
Agen
krama
mulai bénjang
2 Proses
Gramatikal Subjek
Klausa
(a) di atas dapat digolongkan klausa verbal karena dilakukan
dengan berkata-kata. Klausa (b) tergolong klausa perilaku karena menunjukkan tindakan fisik tertentu. Pemerkata „1TG‟ berperan sebagai Subjek/Agen dan fungsi Target diisi oleh krama „warga‟ pada klausa (a). Subjek klausa perilaku (b) diisi oleh Petingkah Laku cerik-cerike „anak-anak‟. Dengan adanya satu partisipan yang terlibat langsung dalam proses, klausa perilaku berkendala untuk dipasifkan. Diduga keterbatasan klausa perilaku untuk dipasifkan tidak hanya dihambat oleh kendala jumlah argumen, tetapi juga pertimbangan semantis. Petingkah laku tidak sepenuhnya merupakan Agen, tetapi cenderung mengandung fitur Medium. Artinya, perilaku yang ditunjukkan tidak dapat dikendalikan secara penuh. Makeyem „tersenyum‟ (b) dapat dipandang sebagai reaksi alamiah yang tidak dapat dikendalikan, sebagaimana „tersenyum, menangis, atau batuk‟. Berdasarkan contoh klausa sebelumnya (8.4 - 8.7) dapat ditarik simpulan bahwa struktur Operatif ditunjukkan oleh klausa proses material, proses mental, proses verbal, dan proses perilaku. Empat proses itu mengandung keaktifan yang pada predikatnya.
Klausa Operatif
pada dasarnya mempertautkan struktur
konstituen, struktur semantis, dan struktur gramatikal secara simetris, tanpa mengemban prominensi tertentu.
240
Bila dilakukan perbandingkan properti Agen klausa TNNGB, tampak derajat keagenan yang bervariasi. Derajat keagenan klausa proses material lebih nyata
dibandingkan dengan Agen pada proses verbal dan mental. Rentang
keagenan dapat digambarkan sebagai berikut.
Agen Aktor Pengindra Pemerkata Petingkah Laku Penyandang Wujud Non-Agen Gambar 8.4: Hierarki Agen TNNGB
Gambar (8.4) menunjukkan hierarki keagenan, yakni tingginya peran Agen suatu proses untuk melakukan sesuatu atau mengendalikan aktivitasnya. Pada hierarki Agen3 di atas tampak Agen proses material menempati posisi tertinggi dalam hal mengendalikan aktivitas. Sebagai implikasi kemampuan tersebut, Agen proses material mampu menentukan Tujuan, Penerima, Pengguna, atau cara yang dipilih pada proses tersebut. Pada level di bawahnya ditempati oleh Agen proses mental dan proses verbal. Sementara itu, klausa perilaku memiliki fitur Agen yang lemah dan sulit mengendalikan aktivitasnya. Proses relasional dan proses eksistensial tidak memiliki ciri Agen. Dengan bukti di atas dapat diketahui bahwa
3
Kontinum Agen/non-Agen versi Sistemik tidak dapat dipadankan dengan nosi Aktor dan Undergoer (Folley dan Van Vallin, 1984).
241
klausa proses material, verbal, dan mental lebih potensial membentuk Diatesis Reseptif dibandingkan proses lainnya. Klausa Operatif biasanya dapat diuji dengan cara mereposisi argumenargumennya. Restrukturisasi itu dikenal dengan proses reversibilitas. Pandangan itu bersumber pada perspektif transitif, yaitu model yang memandang setiap proses memiliki variabel tersendiri pada masing-masing proses, sehingga harus diperlakukan berbeda sesuai dengan proses tersebut. Ciri menonjol perspektif transitif adalah adanya konfigurasi Aktor + Proses dengan peran Aktor yang berbeda-beda sesuai dengan tipe proses. Selain perspektif model transitif yang dijadikan pertimbangan kajian diatesis yang dikaitkan dengan proses, dikenal pula perspektif model
ergatif. Model ergatif memandang setiap proses memiliki
kesamaan, sehingga dapat dilakukan generalisasi. Perspektif ergatif cenderung melakukan generalisasi bahwa setiap klausa memiliki struktur Medium + Proses (Halliday, 2004: 281) Berpegangan pada tipe proses klausa TNNGB, penelitian ini mengikuti perspektif transitif dengan pertimbangan setiap proses memiliki variabel tersendiri yang berbeda dengan proses lainnya. Bila pengujian dengan proses reversibilitas berhasil, akan diperoleh struktur turunan yang mempertahankan proses aktif dan Agen dihadirkan secara wajib. Yang terpenting ialah klausa yang dihasilkan dalam proses reversibilitas harus memiliki makna yang sama atau tidak menyimpang dari klausa asalnya. Reposisi dapat diberlakukan terhadap setiap pengisi peran gramatikal sehingga argumen yang sebelumnya tidak menduduki fungsi tertinggi dapat diposisikan pada fungsi tertinggi.
242
Berikut ditampilkan klausa Operatif yang menggunakan bentuk predikator dengan pemarkah {-} diikuti klausa reversibilitas yang dimunculkan (Data A2/2/ 45, 62, 102). (8.8) a. …Ipun nandur kacang ijo… 3 SG -tanam kacang ijo „Dia menanam kacang hijau‟ b. …Tiang nauhin krama mulai bénjang… 1 TG -beritahu warga Sirk „Saya akan memberi tahu warga mulai besok‟ c. …Ipun ngaturin jero mangku uleman… 3 TG -beri HON VOK sajen „Dia memberikan jero mangku sajen‟
No.
S
P
K
nandur
kacang ijo
S/Ag--P-K
(2) Kacang ijo
tandur
ipun
S/Med--P-K/Ag
(3) *Kacang ijo
nandur
ipun
*S/Med--P-K/Ag -
nauhin
krama
mulai S/Ag--P-K-A bénjang
dauhin
tiang
mulai S/Med--P-K/Ag-A bénjang
(3) *Kramané nauhin
tiang
mulai *S/Ag--P-K/Ag-A bénjang
a. (1) Ipun
b. (1) Tiang (2) Kramané
c. (1) Ipun (2) Jero mangku
Struktur
ngaturin jero uleman mangku aturin
ipun
S/Ag--P-K1-K2
uleman S/Med--P-K/AgK2
243
(3) Uleman
aturin
ipun
(4) *Jero mangku
ngaturin ipun
majeng S/Med--P-K/Agjero K1/OBL mangku uleman
*S/Ag--P-K/MedK2
Struktur klausa pada baris pertama merupakan klausa Operatif, sedangkan klausa pada baris di bawahnya merupakan struktur reversibilitas. Klausa (a, b) memiliki struktur S/Ag--P-K atau merupakan klausa bervalensi dua. Contoh (c) merupakan contoh klausa dengan valensi tiga dengan struktur S/Ag--P-K1-K2. Klausa (8.8) itu memiliki alternasi struktur, seperti ditampilkan pada baris di bawahnya. Klausa (a) Ipun nandur kacang ijo dapat memunculkan struktur Kacang ijo tandur ipun dengan struktur . Klausa (b) Tiang nauhin krama mulai bénjang dapat memunculkan struktur Krama dauhin tiang mulai bénjang yang tersusun atas S/Med--P-K/Ag. Klausa (c) Ipun
ngaturin jero mangku uleman
memiliki dua Komplemen, yakni Pengguna jero mangku dan Medium uleman. Klausa tersebut dapat membentuk dua model struktur reversibilitas. Pengedepanan Pengguna menghasilkan struktur klausa Jero mangku aturin ipun uleman dengan susunan S/Med--P-K/Ag-K2. Pengedepanan Medium menghasilkan struktur Uleman aturin ipun
majeng jero mangku dengan susunan S/Med--P-K/Ag-
K1/OBL. Upaya pengedepanan Komplemen/Medium berdampak pada penurunan valensi. Komplemen/Pengguna yang sebelumnya merupakan partisipan wajib berubah menjadi partisipan Oblik dan dimarkahi preposisi majeng „untuk‟. Dengan demikian, struktur reversibilitas pada klausa bervalensi tiga dapat
244
membentuk struktur
S/Med--P-K/Ag-K2
atau S/Med--P-K/Ag-K1/OBL.
Tampaknya, pada klausa bervalensi tiga terdapat kecenderungan untuk mereposisi Komplemen yang lebih dekat dengan Predikator. Pengedepanan Komplemen yang kedua berdampak pada penurunan valensi. Berdasarkan contoh (8.8) dapat dipahami bahwa klausa Operatif Bahasa Bali dapat diuji dengan mereposisi argumen-argumennya. Keberhasilan itu didukung dengan menanggalkan pemarkah aktif {-} menjadi {-}. Struktur reversibilitas juga dapat dilihat sebagai upaya Medium fokus. Jadi, struktur reversibilitas dapat dipandang sebagai struktur turunan dari klausa Operatif dengan tetap mewajibkan kehadiran Agen dan proses aktif. Dengan kata lain, klausa Operatif dapat mengakomodasi aspek gramatikal pada struktur dasar dan aspek pragmatis pada struktur turunan. Klausa Operatif Bahasa Bali terbuka untuk mendudukkan Agen atau Medium sebagai Subjek gramatikal. Kondisi itu mencerminkan bahwa terdapat kebiasaan berkomunikasi etnis Bali untuk memberi penekanan pada Agen atau Medium dan Agen. Secara struktur, pemarkah {-} pada Predikator biasanya mengharuskan Agen berposisi di kiri verba, sedangkan Medium ditempatkan di kanan verba. Pada struktur reversibilitas terjadi susunan yang sebaliknya.
Medium
dimunculkan pada posisi preverbal, sedangkan Agen dimunculkan pada posisi posverba. Reversibilitas diizinkan dengan mengubah bentuk Predikator {-} menjadi bentuk {-}. Apabila pemarkah {-} tetap dipertahankan, klausa yang
245
terbentuk adalah klausa ganjil (baris a3) atau mengandung makna yang berbeda dengan klausa asalnya (lihat contoh 8.8 baris b3, dan baris c4). Pengujian dengan reposisi argumen tidak berkendala pada proses material, mental, dan verbal. Akan tetapi, klausa proses perilaku tidak dapat diuji dengan cara tersebut. Kendala itu diakibatkan oleh keterbatasan argumen dan karakteristik Petingkah Laku yang tidak benar-benar Agen. Artinya, perilaku yang ditunjukkan dalam proses perilaku tidak sepenuhnya dapat dikendalikan. Komplemen yang dapat dijadikan Fokus melalui proses reversibilitas harus memenuhi ciri
nomina definit.
Dalam Bahasa Bali,
kedefinitan dimarkahi
dengan {-(n)é}. Distribusi pemarkah definit dipengaruhi oleh bunyi akhir nomina yang dilekati. Nomina yang memiliki bunyi akhir berupa konsonan mendapat pemarkah definit {-é}, di antaranya, tegalé „kebun-DEF‟, cubangé „bak-DEF‟, duéné „milik-DEF‟, atau seméré „sumur-DEF‟. Di satu sisi, pemarkah definit {né} digunakan
pada nomina yang berakhir dengan bunyi vokal. Misalnya,
mertané „berkah-DEF‟,
kramané „warga-DEF‟, metené „pohon mete-DEF‟,
sampiné „sapi-DEF‟, baktiné „sajen-DEF‟, atau kubuné „pondok-DEF‟.
Jadi,
pemarkah kedefinitan {(n)é} menjadi {-é} bila berhimpitan dengan bunyi konsonan, dan menjadi {-né} bila berhimpitan dengan bunyi vokal. Pemarkah definit {-né} dapat juga merujuk pada kepemilikan orang ketiga. Pemarkah kepemilikan {-né} menjadi {-né} bila dilekatkan pada nomina yang diakhiri oleh bunyi konsonan, dan menjadi {-n-né} bila berhimpitan dengan bunyi
vokal. Dengan distribusi demikian dimunculkan bentuk
umahné
„rumahnya‟, tegalné „kebunnya‟, timpalné „temannya‟, atau pipisné „uangnya‟.
246
Pelekatan pemarkah kepemilikan pada nomina yang berakhir dengan bunyi vokal diikuti oleh proses geminasi. Dengan proses itu dimunculkan nomina giginné „giginya‟,
kubunné „pondoknya‟, sampinné „sapinya‟,
rokonné „rokoknya‟
bunganné „bunganya‟, balénné „rumahnya‟, atau nasinné „nasinya‟. Dilihat dari karakteristik Agen tampaknya tidak semua Agen dapat menempati fungsi sebagai Komplemen pada klausa reversibilitas. Agen dengan ciri
pronomina dan bukan nama sebenarnya (proper name) cenderung
mengizinkan reversibilitas, seperti ditunjukkan contoh (8.9) berikut.
(8.9) a.
b.
Klausa Asal (S/Ag--P-K- K-A) Tiang nutug jero mangku ka pura 1 TG -ikut HON SOS PREP „Saya ikut jero mangku ke pura‟
Jero mangku tutug tiang ka pura
I Kadék nutug jero mangku ke ura
*Jero mangku tutug I Kadék ka pura
Cai nanem jagung unggul 2 TG -tanam jagung „Kamu menanam jagung unggul‟
Jagung unggul tanem cai
Anaké tua unggul c.
Reversibilitas (S/Med--P-K/Ag-K-A)
ento
nanem jagung *Jagung unggul tanem anaké tua ento
Ipun ngalapang tiang jagung muda Tiang alapang ipun jagung 3 TG -petik 1TG jagung muda muda Jagung muda alapang ipun „Dia memetikkan saya jagung muda‟ tiang Pak Kadus ngalapang tiang jagung *Tiang alapang muda jagung muda
pak Kadus
*Jagung muda alapang pak Kadus tiang
247
Pada contoh (8.9) tampak klausa (a, b. c) memunculkan Subjek/Agen yang diisi oleh pronomina tunggal tidak berkendala dalam reversibilitas. Klausa (a) Tiang nutug jero mangku ka pura membentuk klausa Jero mangku tutug tiang ka pura „Jero mangku yang saya ikuti ke pura‟. Sementara itu, klausa (b) Cai nanem jagung unggul „Kamu menanam jagung unggul‟ menurunkan klausa
Jagung
unggul tanem cai „Jagung unggul yang kamu tanam‟. Klausa dengan Komplemen ganda (c) Ipun ngalapang tiang jagung muda „Dia memetikkan saya jagung muda‟ dapat memunculkan klausa Jagung muda alapang ipun tiang atau Tiang alapang ipun jagung muda. Reversibilitas menemui kendala bila Agen diisi dengan vokatif atau nama sebenarnya. Reversibilitas dengan karakter
Agen
demikian itu memunculkan klausa yang tidak berterima, seperti (a) *Jero mangku tutug Kadék ke pura, (b) *Jagung unggul tanem anaké tua ento, atau (c) *Jagung muda alapang pak Kadus tiang. Tampaknya kesuksesan reversibilitas harus didukung oleh tipe klausa transitif yang memiliki Agen berupa pronomina umum dan bukan nama sebenarnya. Pada klausa reversibilitas,
Komplemen klausa asal dikedepankan dan
menjadi Subjek/Fokus. Pemokusan itu menggeser Agen ke posisi kedua pada struktur reversibilitas.
Pola
pemetaan klausa Operatif
asal
dan struktur
reversibilitas dapat digambarkan sebagai berikut.
Klausa asal
Subjek/Agen
Komplemen
Klausa Reversibilitas
Subjek/Fokus
Komplemen/Agen
Gambar 8.5: Pemetaan Struktur Reversibilitas
248
Berdasarkan gambar (8.5) di atas dapat dicermati bahwa terdapat perbedaan perlakuan terhadap Agen pada klausa asal dan klausa reversibilitas yang
diturunkan.
Struktur
dasar
memiliki
struktur
Subjek/Agen
dan
Medium/Komplemen, sedangkan struktur reversibilitas memiliki Subjek/Medium dan Agen/Komplemen. Secara gramatikal, struktur reversibilitas mendudukkan Medium sebagai Subjek/Fokus. Struktur turunan itu mempertahankan jumlah argumen wajib
dan
merujuk pada keaktifan Agen. Jadi, struktur klausa
reversibilitas menghasilkan pemetaan silang tanpa penurunan valensi. Rekapitulasi struktur klausa Operatif asal dan turunan dapat dirangkum dalam tabel berikut. Tabel 8.1 Struktur Diatesis Operatif Klausa dengan 2 Partisipan Struktur Asal
S/Ag -
Struktur Turunan
S/Med -
-P
- K/Med
-P
- K/Ag
Klausa dengan 3 Partisipan S/Ag -
-P
- K1 - K2
S/Med - -P - K/Ag- K2 S/Med - -P - K/Ag - K1/OBL
Pada tabel (8.1) di atas tampak jumlah argumen pada klausa transitif tidak mengalami perubahan dalam struktur turunannya. Akan tetapi, salah satu argumen klausa ditransitif bergeser ke posisi Oblik. Argumen yang biasanya didudukkan sebagai Oblik ialah argumen yang berfungsi sebagai Benefaktif (Penerima), seperti ditampilkan contoh (8.8/c3).
249
8.2.2 Diatesis Reseptif Diatesis Reseptif merupakan struktur klausa yang memiliki tipe proses aktif sebagaimana klausa Operatif, tetapi kehadiran Agen bersifat manasuka. Dalam pandangan fungsional, Diatesis Reseptif merupakan diatesis turunan yang diperoleh dengan menempatkan Komplemen klausa Operatif menjadi Subjek pada klausa Reseptif, sedangkan Agen difungsikan sebagai argumen manasuka. Setiap klausa transitif Operatif
berpeluang untuk dinyatakan dalam struktur
Reseptif. Perubahan status Agen menjadi argumen Oblik pada klausa Reseptif menghasilkan pemetaan silang, seperti gambar berikut.
Argumen I
Argumen II
Diatesis Operatif
Subjek Agen
Komplemen
Diatesis Reseptif
Subjek Medium
Adjung
Gambar 8.6: Pemetaan Diatesis Reseptif Pemetaan Diatesis Reseptif
seperti ditunjukkan gambar (8.6) berupa
pemetaan tidak simetris. Artinya, peran semantis tertinggi tidak dipetakan pada fungsi gramatikal tertinggi. Dengan pemetaan tersebut tampak bahwa argumen semantis
tertinggi
dipetakan pada argumen Oblik. Pemetaan silang itu
menempatkan Agen pada posisi Adjung dan biasanya dimarkahi preposisi. Artawa (1998) dan Pastika (2002) sepakat bahwa {ka-} merupakan pemarkah proses pasif. Klausa dengan pemarkah {ka-} dipadankan dengan Diatesis Objektif atau Diatesis Pasif. Pemarkah {ka-} juga dapat dilihat sebagai
250
pemarkah Diatesis Reseptif berdasarkan pandangan Sistemik karena menerangkan proses pasif dan Subjek bersifat menerima (receive) tindakan. Struktur klausa Reseptif
Bahasa Bali dapat direalisasikan dengan
pemarkah {ka-} dan dapat dilihat sebagai upaya menyamarkan Agen. Perhatikan contoh (a, b) berikut (Data B1/4/ 233, 236 dan Data A2/2/65). (8.10) a. …Ratu Ngurah katurang saji punjung maiwak ayam sekuning… HON NAMA PAS-beri nasi - ikan ayam kuning „Ratu Ngurah dihaturkan nasi dan ayam kuning betutu‟ b. …Gusti Wayan katurang ketipat dampulan mabé taluh mapanggang… HON NAMA PAS-beri ketupat -ikan telur -panggang „Gusti Wayan dihaturkan ketupat dan telur panggang‟ c. …Baktiné sampun kakaryanin olih biyang mangku… bakti-DEF PERF PAS-buat PREP ibu VOK Sarana sudah disiapkan oleh istri jero mangku‟
Ratu Ngurah
katurang
saji punjung maiwak ayam sekuning mabetutu
Gusti Wayan
katurang
ketipat dampulan mabé taluh mapanggang
Baktiné
sampun kakaryanin
Subjek
Proses Pasif
olih biyang mangku Komplemen
Adjung
Pada klausa (8.10) di atas tampak Predikator klausa Reseptif dimarkahi dengan pemarkah pasif {ka-}. Pada klausa tersebut muncul Partisipan I sebagai pengisi peran Subjek, yakni Ratu Ngurah, Gusti Wayan, dan Baktiné „sarana‟. Subjek pada dua klausa pertama merupakan Subjek/Penerima dari aktivitas yang dinyatakan dalam Predikator. Dua figur itu adalah figur tidak kasatmata yang
251
dimintakan bantuan untuk membantu tercapainya ritual. Komplemen yang dimunculkan adalah saji „persembahan‟. Agen tidak dinyatakan secara tersurat, tetapi dapat dipahami keberadaannya. Pada klausa (c) Agen dimunculkan dalam bentuk Oblik.
Hal itu menunjukkan bahwa penggunaan
Diatesis Reseptif
menekankan pada fungsi Medium. Pada
fase
puncak
khususnya
tahap
persembahan
tampak
ada
kecenderungan pergeseran diatesis, dari Diatesis Operatif ke Diatesis Reseptif. Diatesis Operatif digunakan pada tahap mengajukan permohonan, seperti Titiang nunas sabeh „Saya mohon hujan‟ atau Titiang ngawentenang bakti „Saya menyiapkan sajen‟. Pada tahap berikutnya, digunakan Diatesis Reseptif, seperti Niki katurang segehan manca warna ring ibu pertiwi „Ini dihaturkan sajen lima warna kepada ibu pertiwi (dewa penguasa tanah)‟ atau Gusti Made katurang ketipat kelanan maiwak taluh mapindang „Gusti Made dipersembahkan ketupat dan telur pindang‟. Pergeseran diatesis itu dapat dimaknai sebagai cara menjunjung nilai persembahan. Artinya, pada tahap mempersembahkan sesuatu yang dikedepankan adalah Penerima dan media persembahan. Agen klausa Reseptif biasanya dimarkahi preposisi olih atau antuk „oleh‟ pada ragam halus, sedangkan pada ragam biasa (andap) dapat digunakan preposisi baan atau tekén „oleh‟, seperti tampak pada contoh (c). Klausa Reseptif yang dimarkahi dengan pemarkah pasif {ka-} mengandung rasa hormat dan cenderung dipakai pada ranah ritual atau pembicaraan formal. Penggunaan pemarkah {ka-} dapat mengacu pada Agen yang terbuka, baik berupa pronomina pertama, kedua, atau ketiga. Pemarkah {-a} sebagai pemarkah Diatesis Reseptif masih
252
dipertanyakan karena pemarkah tersebut cenderung mengacu pada orang ketiga saja. Kedua model klausa Reseptif itu ditampilkan dalam contoh di bawah ini (Data A3 /4/239 dan A2/1/44). (8.11) a. …Baktiné sampun kabuat (antuk biyang serati)… sarana PERF PAS-bawa PREP ibu tukang banten „Sajen sudah dibawa oleh tukang banten‟ Baktiné sampun kabuat (olih I Nengah ) ( 3 TG) b. …Météné sepega (baan I Kayan) … mete-DEF -potong-3 TG PREP NAMA „Pohon mete itu dipotong (oleh I Kayan)‟ Météné sepega (baan I Kayan tekén I Nengah)\ ( 3 JM) *Météné sepega baan icang/cai 1 TG / 2TG
Baktine
sampun kakaryanin
antuk biyang serati
Météné
sepega
baan I Kayan
Partisipan
1
2
Gramatikal
Subjek
Adjung
Seperti tampak pada contoh (8.11) di atas, klausa di atas menggunakan pemarkah {ka-} dan {a-}.
Pemarkah {ka-} dan {-a} diyakini merupakan
pemarkah Diatesis Reseptif berdasarkan karakteristik: (a) memiliki tipe proses pasif dan
Subjek merupakan Komplemen pada Diatesis Operatif, (b)
menghadirkan Agen sebagai Adjung atau ditanggalkan, dan (c) memiliki Subjek/Medium merupakan argumen yang menerima tindakan.
253
Pemarkah Reseptif {ka-} dimunculkan pada ragam hormat dan Agen dapat didahului preposisi antuk atau olih „oleh‟. Pemarkah {a-} mengandung makna ragam biasa (andap) dan Agen biasanya dimunculkan dengan preposisi baan „oleh‟. Bila dicermati tampak Agen diatesis Reseptif dengan pemarkah {ka-} dapat diisi oleh pronomina umum. Hal itu terbukti dengan diterimanya klausa Baktiné sampun kakaryanin (antuk
titiang / ragané / ipun) „sarana sudah
disiapkan (oleh 1TG, 2TG, 3TG)‟. Sebaliknya, struktur Reseptif
dengan
pemarkah {-a} hanya dapat diikuti oleh Agen berupa orang ketiga. Sebagai contoh, Météné sepega (baan I Kayan) / (baan I Kayan teken I Nengah) „mété itu dipotong (oleh 3 TG/3 JM). Penempatan Agen berupa orang pertama atau kedua menghasilkan klausa ganjil. Keterbatasan Agen inilah yang membuat pemarkah {a} disangsikan sebagai pemarkah diatesis Pasif. Meskipun demikian, berdasarkan kajian Sistemik klausa dengan Predikator yang dimarkahi {ka-) dan {a-} memenuhi kriteria sebagai diatesis Reseptif berdasarkan perspektif transitif. Pada klausa tertentu kehadiran Agen klausa Reseptif tidak dapat ditanggalkan. Agen harus dimunculkan secara tersurat, seperti contoh klausa di bawah ini (Data B1/2/56).
(8.12) a.
…Titiang kabanda antuk galah… 1 SG PAS-ikat PREP waktu „Saya diikat oleh waktu‟
b.
…Jagungé (ka)tempuh angin … jagung-DEF PAS-kena angin „ Jagung itu dilanda angin topan‟
c.
…Ai Cente kasilemin celeng alas… air keladi PAS-tenggelam babi hutan „Mata air Ai Cente dimasuki babi hutan‟
254
*Titiang kabanda *Jagungé katempuh *Ai Cente kasilemin
Titiang
kabanda
antuk galah
Jagungé
katempuh
angin
kasilemin
celeng alas
Ai Cente Medium
Proses
Agen
Klausa (8.11) menunjukkan ciri khusus klausa Reseptif Bahasa Bali. Pada contoh
(a, b, c) di atas tampak Agen tidak dimunculkan sebagai argumen
manasuka. Agen bersifat wajib untuk dinyatakan secara tersurat. Pada klausa di atas kehadiran Agen klausa Reseptif dapat dimarkahi preposisi (a) ataupun tanpa preposisi (b, c). Hal itu dibuktikan dengan sulit diterimanya klausa Titiang kabanda, Jagungé katempuh ataupun Ai Cente kasilemin. Perilaku unik Agen tersebut dapat dipahami sebagai dampak dari Agen yang tidak benar-benar Agen, tetapi Agen Pemicu (Inisiator) yang berkaitan dengan kekuatan alam. Galah „waktu‟ tidak benar-benar dapat mengikat, seperti klausa *Galahé manda titiang „waktu mengikat saya. Klausa tersebut diprediksi bukan merupakan klausa derivasi dari klausa Operatif. Hal serupa juga terjadi pada klausa (b, c). Jadi, Bahasa Bali memerlakukan Agen/Pemicu berbeda dengan Agen nyata. Agen yang benar-benar Agen dapat dimunculkan secara manasuka, sedangkan Agen pemicu bersifat wajib hadir. Kedua perilaku Agen klausa Reseptif itu tidak bertentangan dengan sistem diatesis yang selalu bersifat biner. Dengan dua struktur itu, klausa
255
Reseptif berpotensi menonjolkan dua komponen sekaligus, yakni Medium dan Agen. Tipe proses material, proses mental, dan proses verbal tidak bermasalah dalam pembentukan klausa Reseptif, seperti tampak pada contoh berikut (Data A2/4.2/212 dan A2/2/ 45, 77). (8.13) a.
… Gusti Wayan katurang ketipat dampulan… NAMA PAS-beri ketupat „Gusti Wayan dihaturkan ketupat dampulan‟
b. …Pedinaan katuréksa olih jero mangku… hari PAS-periksa PREP HON mangku „Hari baik diperiksa oleh jero mangku‟ c. …Kramané kadauhin mangda tedun … warga PAS-undang KONJ turun „Warga diundang hadir‟
Tiga contoh di atas (8.13) menunjukkan klausa proses material, proses mental, dan proses verbal berpeluang membentuk klausa Reseptif. Sebaliknya, proses perilaku, relasional, dan eksistensial berkendala dinyatakan dalam struktur Reseptif akibat rendahnya ketransitifan yang ditunjukkan Predikator atau keterbatasan jumlah partisipan. Dengan demikian, tipe proses relasional dan eksistensial terbukti tidak memenuhi kriteria diatesis Operatif ataupun Reseptif. Kaitan proses dan diatesis efektif Bahasa Bali dapat diringkas sebagai berikut.
256
Tabel 8.2 Proses dan Diatesis Operatif -Reseptif No
Tipe Proses
Diatesis Efektif Operatif
Reseptif
1
Material
√
√
2
Mental
√
√
3
Verbal
√
√
4
Tingkah Laku
√
-
5
Relasional
-
-
6
Eksistensial
-
-
Tampak pada tabel (8.2) bahwa tipe proses material, proses mental, dan proses verbal tidak berkendala pada
diatesis Operatif
ataupun Reseptif.
Sebaliknya, proses relasional dan eksistensial tidak dapat dinyatakan memiliki struktur efektif. Sementara itu, proses perilaku menunjukkan karakter yang unik, yakni dapat dinyatakan dalam klausa Operatif, tetapi berkendala pada diatesis Reseptif. Dengan demikian, terdapat tiga karakter proses terkait kategori diatesis, yakni: (a) tidak berkendala pada diatesis Operatif dan Reseptif, (b) berkendala pada diatesis Operatif dan Reseptif, dan (c) berkendala pada diatesis Reseptif.
8.3 Diatesis Medial Diatesis Medial adalah struktur klausa yang fungsi Subjeknya diisi oleh Jangkauan, yakni
partisipan yang tidak memiliki ciri
keagenan ataupun
kepasienan, tetapi memiliki keterkaitan dengan dengan proses. Jangkauan dapat
257
dipadankan dengan Medium dalam hal mengizinkan suatu relasi terjadi. Fitur Agen tidak dimiliki, karena predikat yang digunakan tidak mengandung aktivitas. Karakter Subjek yang mengandung ciri Medium dan predikatnya tidak mengandung nilai keaktifan dapat ditemukan pada klausa proses relasional dan proses eksistensial. Partisipan yang berperan sebagai Penyandang baik relasi atributif ataupun relasi identifikasi tidak mengemban peran semantis sebagai Agen. Partisipan I proses relasional dan Eksistensial gagal memenuhi kriteria klausa efektif. Sekalipun demikian, kegagalan memasuki diatesis efektif tidak secara otomatis menutup peran dan penggunaan dua proses bersangkutan. Proses relasional dan proses eksistensial
sangat dominan dalam
pengungkapan
keberadaan suatu benda atau menyatakan hubungan yang terbentuk di antara benda-benda yang ada di dunia. Jadi, proses relasional dan proses eksistensial tidak memiliki potensi
menyatakan keaktifan,
tetapi dapat mengungkapkan
keberadaan dan hubungan antarbenda. Berbeda dengan empat proses sebelumnya, proses relasional dan proses eksistensial tidak memiliki aspek keaktifan pada Predikator, seperti tampak pada dua klausa berikut (Data A1/4.2/ 248, 87).
(8.14) a.
b.
…Titiang wantah juru sapuh Ida… 1 TG ATR tukang sapu 3TG „Saya adalah pelayan Beliau (Tuhan)‟ …Wénten paduwasan malih petang rahina… EKS hari baik PREP NUM hari „Ada hari baik empat hari lagi‟
258
Titiang Wénten
paduwasan
Proses
Subjek
wantah
juru sapuh Ida malih petang rahina
Proses
Klausa (8.14) terdiri atas dua tipe proses, masing-masing (a) proses relasional dan (b) proses eksistensial
yang keduanya tidak memperlihatkan
keagenan pada Subjeknya. Klausa (a) memiliki Subjek titiang „saya‟ sebagai Penyandang atribut, sedangkan Predikator wantah „memang‟ tidak menyatakan keaktifan. Ketidak aktifan juga tampak pada proses eksitensial (b). Oleh sebab itu, klausa proses relasional dan proses eksistensial dapat dinyatakan sebagai klausa Medial4. Berikut ditampilkan potensi tipe proses dalam menmbentuk Diatesis Operatif, Reseptif, dan Medial.
4
Klausa Medial versi Sistemik tidak mengandung pengertian bahwa Subjek adalah Agen dan Pasien dari aktivitas yang dinyatakan predikat atau S=A/P.
259
Tabel 8.3 Tipe Proses dan Diatesis
No
Tipe Proses
Diatesis Efektif Operatif
Reseptif
Diatesis Medial
1
Material
√
√
-
2
Mental
√
√
-
3
Verbal
√
√
-
4
Tingkah Laku
√
-
-
5
Relasional
-
-
√
6
Eksistensial
-
-
√
Tabel (8.3) mencerminkan bahwa pembicara dapat memilih diatesis yang sesuai untuk menyatakan berbagai tipe proses. Proses material, proses verbal, dan proses mental dapat membentuk klausa Efektif, sedangkan proses relasional dan eksistensial cenderung membentuk klausa Medial. Proses perilaku dapat membentuk klausa Operatif, tetapi berkendala untuk dinyatakan dalam klausa reversibilitas atau klausa Reseptif. Berpedoman pada sistem diatesis
Bahasa Inggris dan pertimbangan
karakter proses yang dimunculkan TNNGB dari sudut pandang teori Sistemik dapat diprediksi sistem diatesis Bahasa Bali sebagai berikut.
260
Non Jangkauan Medial
Jangkauan Jangkauan/Subjek
Agen
Operatif (i) Agen/Subjek (ii) Medium/Subjek Proses aktif NonAgentif
Efektif Reseptif Medium/Subjek Proses pasif
Agentif a. Agen/A b. Agen/K
Gambar 8.7: Sistem Diatesis Bahasa Bali
Berdasarkan gambar (8.7) dapat diketahui bahwa tuturan teks berbahasa Bali memiliki dua struktur klausa efektif, yakni klausa berdiatesis Operatif dan Reseptif. Klausa Operatif umumnya menempatkan Agen sebagai Subjek, tetapi klausa turunan bersifat mengedepankan Subjek/Medium. Agen pada bentuk turunan yang dikenal dengan struktur reversibilitas itu difungsikan sebagai Komplemen. Pada klausa Reseptif
tampak Bahasa Bali tidak sepenuhnya
mengikuti ciri universal yang mendudukkan Agen sebagai Adjung. Pada Agen yang bersifat inisiator atau kekuatan alam, Agen harus dimunculkan secara tersurat dalam fungsi Komplemen, bukan Adjung. Dengan demikian, proses pasif yang dikandung predikator tetap mengedepankan Medium. Variasi diatesis Bahasa Bali dapat dilihat sebagai kecenderungan atau kebiasaan etnis Bali mengungkapkan suatu pesan dengan menilik dua unsur, yakni Agen dan Medium.
261
Dominasi klausa Operatif dan Medial dibandingkan klausa Reseptif pada TNNGB dapat dipahami sebagai bentuk keaktifan dari pelibat menjalin harmoni dengan benda-benda di sekitarnya. Temuan ini sejalan dengan tingginya jumlah proses material dan proses eksistensial pada struktur transitivitas.
BAB IX STRUKTUR TEMATIS
9.1 Pengantar Seperti diketahui, teks merupakan satuan semantik yang elemenelemennya saling bertautan. Pertautan itu membentuk
jaringan yang
mencerminkan adanya negosiasi antar bagian. Konsep negosiasi itulah yang disebut fungsi tekstual yang sekaligus membedakan teks dengan nonteks. Dalam fungsi menyatakan organisasi pesan, leksikon ditata sedemikian rupa sehingga membentuk tekstur dan relevan dengan tujuan (Eggins, 1994:273). Struktur tematis berkaitan dengan bagaimana tema ditata sesuai dengan sistem informasi. Struktur tema tidak dapat dilepaskan dari komponen TemaRema dan organisasi informasi. Identitas Tema secara struktur adalah elemen klausa yang menduduki posisi inisial, mendahului Rema. Bagian yang dapat dikategorikan sebagai Tema adalah bagian yang berkontribusi secara signifikan dalam komunikasi. Hal itu terjadi karena Tema menjalankan tugas sebagai titik awal pesan dan menegaskan tentang apa klausa itu (what the clause is going about) (Halliday, 2004: 67). Tema dinyatakan tidak bermarkah bila dipetakan ke Subjek yang direalisasikan oleh kelompok nomina. Sebaliknya, Tema bermarkah biasanya ditandai dengan intonasi yang berbeda, terutama bila diisi oleh kelompok adverbial, frasa berpreposisi, atau kelompok nomina yang tidak berstatus Subjek. Peletakan Tema di awal klausa berkaitan dengan kecenderungan manusia dalam berkomunikasi yang dimulai dari informasi yang telah diketahui (given 262
263
information) atau dikenali dari konteks (Halliday, 2004: 67). Rema adalah bagian klausa yang mendukung pengembangan Tema sehingga kemunculannya secara posisional mengikuti Tema. Bila dikaitkan dengan struktur informasi, Tema cenderung mengandung informasi lama, sedangkan Rema mengandung informasi baru. Berikut ditampilkan sistem Tema-Rema (Eggins, 1994: 274) (terjemahan oleh penulis).
Tunggal +Tema Topikal
Majemuk
Attitudinal +Tema topikal; +Tema Antarpelibat Antarpelibat ^Topikal Konjungtif +Tema tekstual Tekstual^Topikal Kombinasi +Tema tektual; +Tema antarpelibat Tekstual^Antarpelibat^Topikal
Tak bermarkah Subjek/Tema (deklaratif) Kata Tanya/Tema (Wh-interogatif) Finit/Tema (interogatif) Proses/Tema (imperatif) Bermarkah Lain/Tema Gambar 9.1: Sistem Tema-Rema Bahasa Inggris
Berdasarkan gambar (9.1) dapat diketahui bahwa pada prinsipnya setiap klausa sederhana mengandung satu tema topikal. Akan tetapi, klausa dapat juga memiliki tema majemuk yang terdiri atas tema topikal dan tema lainnya, seperti tema tekstual dan tema antarpelibat. Hal itu menunjukkan bahwa struktur tema
264
tidak dapat dilepaskan dari metafungsi. Kelompok kata yang berfungsi dalam representasi pengalaman disebut tema topikal. Kelompok kata yang berfungsi dalam proses pertukaran disebut tema antarpelibat. Tema antarpelibat itu biasanya direalisasikan dengan Adjung vokatif. Kelompok kata yang berfungsi dalam organisasi pesan disebut tema tekstual dan biasanya direalisasikan dengan Adjung konjungtif atau Adjung kontinuitas. Berikut ditampilkan contoh klausa dalam struktur tema tunggal dan majemuk (diadopsi dari Eggins, 1994: 282).
No
TEMA
REMA
a
This
was
b
In Greece,
they give you nothing
that
where they put the
Simon, isn‟t
c
in Genewa
needle in? d
Oh,
they
give you a cup of tea
Kontinuitas Vokatif Finit Tekstual
Antarpelibat
Topikal
Contoh (a, b) di atas memiliki tema tunggal, sedangkan contoh (c, d) memunculkan tema majemuk. Tema tunggal pada (a) ditempati oleh Penyandang, sedangkan (b) ditempati oleh Sirkumtansial lokatif. Kausa (c) memiliki dua tipe tema, yakni
tema antarpelibat yang direalisasikan dengan vokatif dan finit
mendampingi tema topikal. Klausa (d) memiliki tema tekstual yang direalisasikan dengan Adjung kontinuitas dan tema topikal. Kelompok kata yang muncul setelah tema topikal dikategorikan sebagai Rema. Artinya, elemen transitivitas digunakan sebagai pembatas Tema-Rema,
265
sejalan dengan kategori Modus-Residu pada sistem modus. Pada konstruksi tidak bermarkah, elemen tema topikal menduduki posisi inisial. Dengan demikian, kausa deklaratif memiliki Subjek/Tema, sedangkan klausa imperatif memiliki Predikator/Tema. Klausa interogatif memiliki Tema berupa komponen Polaritas atau kata tanya. Berdasarkan struktur Tema tunggal itu, kehadiran komponen antarpelibat atau komponen tekstual di awal klausa dapat membentuk klausa yang memiliki struktur tema majemuk. Bila klausa deklaratif Bahasa Inggris umumnya memiliki tema tunggal yang direalisasikan oleh Aktor dan Sirkumtansi, sistem tema tunggal klausa Bahasa Bali dapat pula diduduki oleh Tujuan. Artinya, setiap elemen transitivitas dimungkinkan untuk menduduki fungsi tema topikal. Hal itu terkait dengan sistem diatesis Bahasa Bali yang mengizinkan non-Aktor menduduki fungsi Subjek.
9.2 Pengembangan Tema Pada TNNGB dimunculkan tiga teknik pengembangan tema sebagai upaya membentuk kohesi. Pengembangan Tena dilakukan dengan reiterasi, zigzag, dan majemuk. Pengembangan tema dengan repetisi itu bersifat pengulangan elemen yang difokuskan. Repetisi semacam itu menghasilkan klausa yang fokus pada elemen tertentu, sementara elemen lain tidak mendapat pengembangan. Pengembangan Tema dengan cara zigzag dikenal pula dengan progresi tema, yakni pengembangan Rema menjadi Tema klausa berikutnya. Artinya, Rema dari sebuah klausa dapat dikedepankan menjadi Tema pada klausa berikutnya. Pada
266
tipe pengembangan majemuk setiap elemen Rema dapat dijadikan Tema pada klausa bawahan. Tema yang banyak dimunculkan berkaitan dengan partisipan. Bentuk partisipan orang pertama yang dimunculkan direalisasikan dengan leksikon titiang, tiang „saya (ragam hormat)‟. Partisipan lain dirujuk dengan leksikon jero „anda (2 TG/PL)‟ diikuti dengan fungsi sosial atau keagamaan yang diemban, di antaranya, jero bendesa, jero klian, „ketua adat‟, jero mangku „pemimpin pura‟, atau jero adat „ketua adat‟. Klausa dengan Tema orang pertama jamak biasanya direalisasikan dengan sami „kami semua‟, kramané „warga‟, semetoné „saudara kami‟, atau tiang madué roban „saudara saya‟. Tema dalam bentuk orang pertama tunggal atau jamak itu cenderung dikembangkan dengan repetisi untuk menegaskan identitas diri, khususnya pada fase persiapan ritual maupun tahap mengajukan permohonan. Tema lain yang juga dikembangkan secara repetisi adalah Gusti Wayan Teba, I Gusti Made Jelawung, I Gusti Nyoman Pengadangadang, dan I Gusti Ketut Petung, I Wenara Petak dan I Sampati. Tema yang dimunculkan dalam bentuk nama figur Ke-Tuhanan dikembangkan dengan logika zigzag. Artinya, warga mohon bantuan Beliau dan selanjutnya Beliau bertindak melakukan pertolongan. Di sini dimunculkan kata ganti berupa Ida atau I Ratu „Beliau atau Engkau‟ yang tidak hanya ditujukan kepada figur feminim, tetapi dapat merujuk berbagai figur, seperti Hyang Wisnu, Dewi Gangga, Dewi Danu, Hyang Baruna, Sang Hyang Bayu, I Ratu Ngurah Tabeng Langit, atau Sang Hyang Agama. Pengembangan Komposisi Tema majemuk dapat dilihat pada pembahasan sarana sajen. Setiap tipe sarana yang ditetapkan dilengkapi
267
dengan elaborasi tujuan dan distribusi. Berikut contoh klausa yang dimaksud (Data A1/4/ 283-285, 309-310 dan data A2/2/ 123-126).
(9.1)
a.
…Titiang tangkil sané mangkin … 1 TG -datang REL Sirk „Saya menghadap sekarang‟ …Taler titiang sampun ngawéntenang bakti… KONT 1 TG ASP -ada sarana „Saya sudah menyiapkan sarana‟ …Titiang kedeh mapinunas … 1 TG MOD -minta „Saya datang untuk memohon‟
b.
…Titiang nyelang papatih duéné I Sampati… 1 TG -pinjam patih POS-DEF NAMA „Saya meminjam patih paduka yang bernama I Sampati‟ …I Sampati sakti ngamenekang toya segara… NAMA sakti -naik air laut „I Sampati mampu menaikkan air laut‟ …Toya segara manadi awun ambung-ambung… air laut -jadi awan di angkasa „Air laut menjadi awan di angkasa‟
c.
…Jero serati makarya canang penyahcah, daksina, taler labaran… VOK SOS -buat NAMA sarana „Jero serati membuat berbagai jenis sarana‟ …Penyacahé katur ring soang-soang pelinggih… NAMA sarana-DEF PAS- hatur PREP „Canang panyahcah dihaturkan pada setiap pelinggih‟ …Daksina anggen upasaksi… NAMA -sebagai saksi „Daksina sebagai Upasaksi‟ …Labaran putih selem taler manca warna… NAMA sarana putih hitam KONJ NUM warna „Labaran putih, hitam, dan lima warna‟
268
Klausa (a) menunjukkan pendalaman tema dengan repetisi. Elemen yang ditonjolkan digali secara terus menerus sesuai kepentingan. Klausa (b) merupakan klausa yang dikembangkan secara zigzag, dan (c) dikembangkan dengan teknik majemuk. Ketiga tipe pengembangan Tema yang ditemukan pada TNNGB dapat diilustrasikan sebagai berikut.
a. Reiterasi
b. Zigzag
c. Majemuk
Gambar 9.2: Pengembangan Tema Pengembangan Tema dengan struktur reiterasi mencerminkan upaya pendalaman sebuah Tema yang dipandang signifikan. Tema tertentu digali dengan seksama
dalam
beberapa
klausa.
Pola
zigzag
mengindikasikan
upaya
pengembangan Tema dan Rema secara bergantian. Elemen Rema pada klausa sebelumnya dikedepankan menjadi Tema pada klausa di bawahnya. Dengan pola zigzag Tema dan Rema dipandang sama penting. Pola Majemuk menempatkan setiap elemen Rema dapat menjadi Tema pada klausa di bawahnya. Pola demikian dapat digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang berkaitan dengan Tema
269
utama. Jadi, TNNGB menempatkan unsur Tema dan Rema sebagai bagian yang sama penting untuk dielaborasi pada klausa berikutnya.
9.3 Tema Tunggal dan Majemuk Seperti telah disinggung pada butir (9.1), Tema suatu klausa dalam kondisi tidak bermarkah merupakan klausa bertema tunggal sebagai representasi fungsi eksperiensial. Pada metafungsi eksperiensial itu, Aktor, Tujuan, dan Adjung Sirkumtansial berpotensi menduduki fungsi sebagai tema topikal. Secara struktur semua konstituen yang mengikuti Tema topikal dikategorikan sebagai Rema. Berikut ditampilkan klausa yang memiliki tema tunggal (Data A2/3/62, 66, 69, 71 dan B1/1/ 5)
(9.2)
a.
… Ipun juru arah duéné… 3 TG tukang beritahu POS-DEF „Dia salah seorang juru arah kita‟
b.
…Bénjang semeng, tiang mulai mapengarah … Sirk 1 TG mulai -beritahu „Mulai besok pagi saya menyosialisasikan hasil rapat‟
c.
…Biyang mangku sampun ngaryanang upah-upahané… ibu SOS ASP -buat sajen RED-DEF „Istri pamangku sudah membuatkan sajen-sajennya‟
d.
…Rapeté niki titiang sineb antuk parama shanti… rapat-DEF DEM 1TG -tutp PREP salam penutup „Rapat ini saya tutup dengan salam penutup‟
e.
…Titiang mamanah nunas panyelah… 1 TG -ingin -minta waktu „Saya bermaksud mohon tolak hujan‟
270
a b c d e
TEMA Ipun (Penyandang) Bénjang semeng, (Sirk) Biyang mangku (Aktor) Rapaté niki (Tujuan) Titiang (Pengindera)
REMA juru arah duéné ipun mulai mapengarah sampun ngaryanang upah-upahané sineb titiang mangkin antuk parama shanti mamanah nunas panyelah
Contoh (9.2) menunjukkan klausa yang memiliki tema tunggal yang ditempati oleh tema topikal, baik berupa Penyandang (a), Pengindra (b), Tujuan (c), Aktor (d) maupun Sirkumtansi (e). Klausa (a, c, d, e) memiliki tema topikal yang diisi oleh Subjek/Tema dalam berbagai fungsi, sedangkan klausa (b) memiliki Adjung/Tema. Dengan demikian, setiap komponen eksperiensial mendapat peluang menduduki fungsi Tema pada struktur tema tunggal. Artinya, Aktor tidak secara otomatis menempati fungsi sebagai Tema bila didahului oleh argumen ekperiensial lain. Jadi, struktur tema tunggal klausa TNNGB adalah sebagai berikut: (a) Tema Topikal/Aktor (b) Tema Topikal/Tujuan (c) Tema Topikal/Sirkumtansi Struktur tema majemuk terdiri atas tema topikal yang didahului oleh tema lainnya, seperti ditampilkan contoh di bawah ini (Data A3/3/ 45, 51,54, 68 dan A2/4/ 93).
271
(9.3) a. …Nggih, titiang setuju indik pemarginé… ya 1TG -setuju PREP jalan-DEF „Ya, saya setuju dengan rencana itu‟ b. …Kedeh titiang nunas sabeh… KOM 1TG -minta hujan „Dengan penuh harapan, saya minta hujan‟ c. …Minabang titiang seratiné sampun uning… -pikir 1 TG VOK SOS-DEF ASP -tahu „Saya kira, tukang sajen sudah tahu‟ d. …Mangkin dumun jero klian, dadosné titiang ten nyén purun nyemak Sirk VOK SOS ATR 1TG NEG berani -ambil keputusan pedidi… keputusan Sirk „Tunggu dulu ketua adat, saya tidak berani mengambil keputusan sendiri‟ e. …Taler I Wenara Petak katurang nasi wongwongan putih… KONT ART NAMA PAS-beri NAMA sarana „Juga I Wenara Petak dipersembahkan nasi wongwongan putih‟
No a
Tekstual Nggih, (Kontinuitas)
b c d
e
Mangkin dumun (Kontinuitas) Taler (Konjungtif)
TEMA Antarpelibat
REMA Topikal titiang
Kedeh titiang (Komen) Minabang titiang seratine (Sikap) jero dadosne, titiang klian, (Kontinu(VOK) itas) I Wenara Petak
setuju indik pamargine nunas sabeh sampun uning ten nyen purun ngambil keputusan pedidi katurang nasi wongwongan putih
Contoh klausa (9.3) merupakan klausa dengan tema majemuk. Artinya, tema eksperiensial didahului oleh tema tekstual, tema antarpelibat, atau keduanya.
272
Tema yang mendahului tema topikal dapat direalisasikan dengan tema kontinuitas (a, d), tema komen (b), tema sikap pembicara (attitudinal) (c), tema konjungtif (e), tema vokatif (d). Tema tersebut merupakan realisasi komponen tekstual dan antarpelibat yang ditempatkan mendahului tema topikal. Tema tekstual berupa Adjung
kontinuitas
menunjukkan
kelanjutan
dari
rangkaian
informasi
sebelumnya, sedangkan tema konjungtif menyatakan informasi tambahan. Tema antarpelibat menjelaskan hubungan pembicara dengan pelibat lain dalam hal memilih pembicara selanjutnya. Kemunculan tema antarpelibat dan tekstual menunjukkan bahwa tema topikal bukanlah menjadi satu-satunya tema yang hendak ditonjolkan. Dengan kata lain, struktur tema majemuk mencerminkan adanya kepentingan semantis, gramatikal, dan pragmatis dalam sebuah klausa. Struktur tema majemuk klausa TNNGB dapat diringkas sebagai berikut. (a)
Tema tekstual ^ Tema topikal.
(b)
Tema antarpelibat ^ Tema topikal.
(c)
Tema sikap ^ Tema topikal.
(d)
Tema tekstual ^ Tema antarpelibat ^ Tema topikal
9.4 Kebermarkahan Tema Dalam struktur tak bermarkah, elemen yang menempati fungsi Tema adalah kelompok kata yang ditempatkan pada awal klausa. Dalam konstruksi tidak bermarkah, tema klausa deklaratif adalah Subjek, tema klausa imperatif adalah proses, sedangkan tema klausa interogatif mencakup kelompok kata polaritas atau kata tanya. Meskipun demikian, struktur klausa yang digunakan oleh pembicara
273
tidak selalu mengikuti struktur kanonis. Pembicara dapat memilih struktur sendiri sesuai dengan kepentingan pesan, seperti contoh klausa di bawah ini (Data B1/2/ 13 dan B1/3/ 205, 212).
(9.4)
a. …Nggih, sarana lénan tiang ngaryanang driki… KONT sarana lain 1 TG -buat Sirk „Sarana lain saya siapkan sendiri‟ …Singgih pakulun Ratu Sanghyang Agama, kaula duéné HON VOK NAMA hamba-DEF
b.
ngawéntenang bakti… -ada persembahan „Ya, Tuhan Yang Maha Benar, hamba menghaturkan persembahan‟ c. …Pinunas titiang, I Ratu dados panyarang… minta 1 TG NAMA ATR pengering „Hamba mohon I Ratu (Engkau) menahan hujan‟
No a Nggih,
REMA ngaryanang driki
b
ngawentenang bakti
c
TEMA sarana lénan, tiang (Tujuan) Singgih pakulun Ratu kaula duéné Sanghyang Agama, (VOK) Pinunas titiang, I Ratu (Sikap)
dados penyarang
Klausa (9.4) memiliki struktur bermarkah karena Subjek didahului oleh komponen lain. Subjek klausa (a) didahului oleh tema tekstual berupa Adjung kontinuitas, klausa (b) didahului tema antarpelibat berupa Adjung vokatif, sedangkan klausa (c) memiliki Tema sikap (attitudinal). Dengan demikian, struktur tema bermarkah klausa deklaratif TNNGB dapat terdiri atas tiga struktur berikut.
274
(a) Tema interpersonal ^ Subjek (b) Tema tekstual ^ Subjek (c) Tema topikal ^ Subjek (d) Tema tekstual ^ Tema interpersonal ^ Tema topikal ^ Subjek Pada klausa imperatif, tema tunggal terbentuk oleh proses. Kehadiran komponen lain mendahului proses membentuk struktur tema majemuk. Struktur tema majemuk klausa imperatif dapat dilihat pada contoh klausa berikut (Data B2/2/ 19, 24 dan B1/2/ 129, 132). (9.5) a. …Yén kénten, mani abaang a pajatian… KONT Sirk -bawa NUM sarana „Kalau begitu, besok bawalah satu pejati‟ b.
…Ring pelinggih Dewi Danu taler unggahang pajatian asoroh… PREP tempat NAMA KONT -naik sarana NUM „Di stana Dewi Danu juga persembahkan satu pajati‟
c.
…Ih Gusti Wayan Teba ngadeg… ART NAMA -berdiri „Wahai Gusti Wayan Teba bangkitlah‟
d.
…Sekancan méga punahang maring ambara… semua mendung -pecah PREP angkasa „Gagalkan semua mendung di angkasa‟
a b c d
TEMA mani (Sirk)
Yen kenten, (KONT) Ih Gusti Wayan Teba (VOK) Sekancan mega (Komplemen) Ring pelinggih Dewi Danu
taler
(Sirkumtansi)
(KONJ)
abaang
REMA a pajatian
ngadeg punahang
maring ambara
unggahang
pajatian asoroh
275
Empat klausa (9.5) memiliki struktur bermarkah ditempatkan pada posisi inisial.
karena proses tidak
Pada klausa (a), Predikator didahului oleh
Adjung kontinuitas dan Sirkumtansi. Klausa (b) memiliki Adjung vokatif yang menjelaskan identitas mitra wicara.
Klausa (c) memiliki tema eksperiensial
sekancan mega „semua mendung‟ yang berstatus sebagai Tujuan dalam struktur transitivitas. Klausa (d) menampilkan Adjung sirkumtansial dan konjungtif. Jadi, struktur tema bermarkah klausa imperatif adalah sebagai berikut. (a) Tema tekstual ^ Proses (b) Tema antarpelibat ^ Proses (c) Tema topikal ^ Proses (d) Tema tekstual ^ Tema antarpelibat ^ Tema topikal ^ Proses Tema klausa interogatif biasanya direalisasikan dengan pertanyaan ya/tidak atau kata tanya. Tidak jarang struktur klausa interogatif ya/tidak memiliki struktur yang sama dengan kalusa deklaratif, tetapi dibedakan dalam intonasi. Kejelasan makna bertanya dapat ditegaskan dengan elemen suprasegmental. Klausa interogatif itu bisanya diberikan intonasi naik untuk menunjukkan ekspresi tanya “ya/tidak”. Di satu sisi, klausa interogatif dengan kata tanya dapat diketahui dengan mudah berdasarkan kata tanya dan intonasi. Perhatikan contoh klausa interogatif berikut (Data A2/3/61, 66, 78, 89, 95 ). (9.6) a. …Makejang pamangku dué sampun setuju niki?… KUAN SOS POS PERF setuju DEM „Apakah semua pamangku setuju? b. …Mangkin dumun, jero krama wénten pitakén malih?… KONT HON warga EKS pertanyaan lagi „Tunggu dulu, ada warga yang mengajukan pertanyaan lagi?‟
276
c. …Tugas napi wénten niki?… tugas apa EKS DEM „Ada tugas apa?‟ d. …Pejatiné, malih pidan jagi maanggén, Pak Adat?… sarana TANYA ASP -pakai VOK „Untuk kapan dipakainya sajen itu, Pak Adat? e. …Indik Adat Suka Damai ring dija polih tugas?… PREP NAMA TANYA -dapat tugas „Dimana kelompok adat Suka Damai bertugas?‟
No a Sami (Sirk) b Mangkin dumun, (KONT) c Tugas (Wujud) d Pejatine, (Tujuan) e
TEMA pamangku due (VOK) jero krama (VOK)
Indik adat Suka Damai, (Penyandang)
sampun
REMA setuju niki?
wenten
pitaken malih?
napi
wenten niki?
malih pidan
jagi maanggen
ring dija
polih tugas?
pak adat? (VOK)
Klausa (a, b) tergolong klausa interogatif ya/tidak. Klausa interogatif itu direalisasikan dengan sampun „sudah/belum (halus)‟ dan wenten „ada/tidak (halus)‟ Klausa interogatif dengan kata tampak pada kata tanya napi „apa‟ (halus), (c), malih pidan „kapan‟(halus) (d), dan ring dija „di mana‟ (halus). Unsur interogatif itu didahului oleh fungsi lain sehingga dapat dinyatakan sebagai klausa bertema majemuk. Leksikon lain yang dapat mengekspresikan elemen polaritas dalam Bahasa Bali, di antaranya, suba „sudah‟ (biasa), durus/payu „jadi (halus/biasa)‟,
277
kayun/nyak „mau (halus/biasa)‟, ada „ada (biasa)‟. Struktur tema klausa interogatif bermarkah dapat terdiri atas susunan berikut. (a)
Tema topikal ^ Polaritas / Tanya
(b)
Tema antarpelibat ^ Polaritas / Tanya
(c)
Tema tekstual ^ Polaritas / Tanya
(d)
Tema tekstual ^ Tema antarpelibat ^ Tema topikal ^ Polaritas / Tanya Kelompok kata
yang berfungsi sebagai Tema dalam struktur tak
bermarkah dapat diuji. Pengujian tema topikal klausa deklaratif dapat dilakukan dengan mempertanyakan Subjek, sedangkan pengujian tema klausa imperatif dapat dilakukan dengan menanyakan proses. Pengujian tema klausa interogatif dapat dilakukan dengan mengganti intonasi naik menjadi intonasi turun, atau mensubstitusi elemen tanya dengan informasi yang dibutuhkan. Halliday (2004: 124) menegaskan bahwa tema bermarkah lebih umum diisi oleh Adkung Sirkumtansial yang direalisasikan oleh kelompok adverbia dan frasa berpreposisi dibandingkan dengan Komplemen. Hal itu dapat digambarkan dengan ilustrasi berikut.
Tema tak bermarkah
Subjek Adjung
Tema bermarkah
Komplemen
Gambar 9.3: Kebermarkahan Tema
278
Ilustrasi (9.3) menunjukkan bahwa Komplemen tergolong elemen yang paling bermarkah dalam stuktur Tema. Artinya, penempatan Komplemen sebagai Tema memerlukan upaya yang maksimal. dalam konstruksi tidak bermarkah klausa memiliki struktur Subjek/Tema. Kondisi itu juga berlaku pada klausa Bahasa Bali. Adjung memiliki potensi lebih besar dikedepankan menjadi Tema daripada Komplemen. Akan tetapi, pengedepanan Komplemen tidak berkendala dalam Bahasa Bali dengan dukungan elemen suprasegmental. Kemungkinan itu dapat dilihat pada klausa deklaratif di bawah ini (Data A3/4/ 49) (9.7) a. … Biyang serati ngaryanang pajati nemnem soroh… ibu SOS -buat sarana NUMB „Tukang sajen membuat pajati enam buah‟ b. …Nemnem soroh biyang serati ngaryanang pajati… NUMB ibu SOS -buat sarana „Enam buah tukang sajen membuat pajati‟ c.
…Pajati // biyang serati ngaryanang nemnem soroh… sarana ibu SOS -buat NUMB „Pajati anda buat enam buah‟
No
TEMA Subjek
a b c
Nemnem soroh Pejati //
Biyang serati biyang serati biyang serati
REMA Predikator ngaryanang
Komplemen pejati
Adjung nemnem soroh
ngaryanang pejati ngaryanang nemnem soroh
Berdasarkan sebuah klausa tidak bermarkah (a) dapat dibentuk struktur berbeda dengan mengedepankan Adjung (b) dan Komplemen (c). Penempatan
279
Adjung sirkumtansial (b) sebagai tema tampak tidak membutuhkan penekanan sebagaimana pengedepanan Komplemen. Hal itu mengindikasikan tata urutan proses-Komplemen lebih ketat dibandingkan proses-Adjung. Jadi, dengan dukungan aspek suprasegmental, Komplemen dapat ditempatkan sebagai Tema dalam klausa Bahasa Bali. Klausa imperatif berikut juga tampak mengedepankan Komplemen (Data B3/1/12, 19, 27). (9.8) a.
…Canang raka // karyanang kutus… NAMA sarana -buat NUM „Canang raka, buatkan delapan buah‟
b.
…Nyuh gading // alapang di jaba pura… kelapa gading -petik PREP „Kelapa gading, petikkan di halaman pura‟
c.
…Nasi pawongwongané // wentenang kakalih … sarana EKS NUM „Siapkan dua buah sarana‟
No
TEMA
a
Canang raka,
S (2 TG)
P karyanang
b
Nyuh gading,
(2 TG)
alapang
c
Nasi pawongwongané,
(2 TG)
wentenang
Pada
REMA K
A kutus di jaba pura kakalih
klausa (9.8) di atas, Komplemen diposisikan sebagai tema
bermarkah. Keberterimaan klausa Komplemen/Tema membutuhkan dukungan intonasi berbeda dari komponen rema.
Penempatan Komplemen sebagai tema
biasanya didukung kehadiran Adjung sirkumtansial, di antaranya, Sirkumtansi
280
waktu, tempat, cara atau numeral. Jadi, Bahasa Bali mengizinkan struktur bermarkah dengan Komplemen atau Adjung sebagai Tema, mendahului tema topikal. Pengembangan tema secara hipotaktis merupakan strategi mengembangan Tema dalam klausa yang sama. Komponen Rema biasanya dijadikan Tema pada klausa sematan. Relasi itu dimaksudkan untuk menambahkan informasi atau pengembangan Rema. Cara yang umum dipakai adalah dengan sehingga terbentuk klausa kompleks.
perelatifan
Klausa-klausa pada klausa kompleks
memiliki sifat ketergantungan, artinya, klausa sematan bergantung pada klausa induk. Contoh (b-d) berikut merupakan contoh relasi hipotaktis yang diderivasi dari klausa (a). Pemisah antarklausa ditandai dengan kolom berarsir (diadopsi dari Eggins, 1994: 295). No
TEMA
REMA
TEMA
REMA
a
Diana
has donated blood for 36th time
b
It
was Diana
who (Topikal)
had donated blood 36 times
c
It
was the 36th time
that Diana (Struktural) (Topikal)
had donated blood
d
It
was blood
that Diana (Struktural) (Topikal)
had donated for the 36th time
Klausa sederhana dengan Subjek/Tema (a) dapat diberikan penekanan tertentu pada elemen yang diinginkan. Klausa sematan memberi penekanan pada
281
Aktor (b), Sirkumtansi (c), dan Komplemen (d). Perelatifan yang ditambahkan pada elemen tertentu membuatnya lebih topikal. Jadi, perelatifan dapat digunakan untuk memberi penekanan pada elemen Rema untuk menjadi elemen topikal. Mencermati klausa turunan yang dihasilkan dari klausa Diana has donated blood for 36th time „Diana sudah melakukan donor darah sebanyak 36 kali‟ di atas tampaknya Bahasa Bali juga mengizinkan pengembangkan Tema - Rema dengan cara tersendiri. Bagian yang pada klausa induk berstatus Rema dapat ditonjolkan dengan penambahan pemarkah relatif ané, atau sané „yang‟ sehingga membentuk klausa sematan. Dengan perelatifan itu Rema dapat menjadi Tema pada klausa sematan, seperti ditunjukkan klausa berikut (Data B2/2/ 23, 56 dan Data A2/2/ 39). (9.9) a. …Niki nunas galahé berlawanan dengan keinginan masyarakat DEM -minta waktu-DEF berlawanan PREP keinginan masyarakat ané bedak tekén yéh… REL haus PREP air „Ritual mohon hujan berlawanan dengan keinginan masyarakat yang haus akan air‟ b. …Kénten kerja baktiné ngamecikang pelinggih duéné KONT kerja bakti-DEF -baik pelinggih POS-DEF sané kasendér jebol… REL PAS-tembok jebol „Gotong royong memperbaiki tembok pelinggih yang jebol‟ c. …Niki indik paneduhan sané kamargiang masané mangkin… DEM PREP mohon hujan REL PAS-laksana Sirk sampun kaping telu… PERF KUAN NUMB „Mohon hujan yang dilaksanakan periode ini sudah tiga kali‟
282
d. …Sapunapi patutné bakti sané patut kakaryanin?… TANYA MOD sarana REL MOD PAS-buat „Sarana apa yang harus disiapkan?‟ …Titiang nyelang pepatih Idané sané maparab I Sampati 1 TG -pinjam patih 3 TG REL -nama NAMA
e.
taler I Wenara Petak… KONJ NAMA „Saya meminjam patih paduka yang bernama I Sampati dan I Wenara Petak‟
No
TEMA
REMA
TEMA
REMA
a
Niki nunas galahé
berlawanan dengan keinginan masyarakat
ané (Topikal)
bedak tekén yéh
b
Kénten kerja baktiné
ngamecikang pelinggih duéné
sane (Topikal)
kaséndér jebol
c
Niki
indik paneduhan
sané (Topikal)
kamargiang masané mangkin sampun ka ping telu
d
Sapunapi
patutné bakti
sane (Topikal)
patut kakaryanin
e
Titiang
nyelang pepatih idané
sane (Topikal)
maparab I Sampati taler I Wenara Petak
Garis berarsir dimaksudkan sebagai pembatas klausa induk dan klausa sematan. Klausa kompleks di atas memiliki logika hipotaktis, yakni terdapat ketergantungan antarklausa. Tema klausa sematan adalah elemen Rema klausa utama
atau klausa sematan bergantung pada klausa lainnya. Ketergantungan
283
antarklausa terjadi karena kepentingan menambahkan informasi baru pada elemen klausa induk. Perelatifan yang dilakukan terhadap Rema klausa induk membuatnya berstatus Tema pada klausa sematan dalam hubungan koreferensial. Ditinjau dari struktur informasi, Tema-Rema klausa induk merupakan informasi yang terberi, sedangkan Rema klausa sematan berstatus informasi baru. Tampaknya hubungan koreferensial dan kedekatan jarak mengizinkan elemen tersebut digantikan dengan pemarkah relatif. Komponen perelatifan sané, ané „yang (halus/biasa)‟ dapat digunakan secara bebas tanpa dipengaruhi oleh persona. Relasi hipotaktis juga dapat pula dinyatakan dengan klausa bersyarat yén “jika-maka”, seperti contoh berikut (Data A3/3/143, 246, 176, 190). (9.10) a. …Yén sampun indik pejatiné, titiang nunas mapamit mangkin… jika PERF PREP sarana, 1TG -minta -pamit Sirk „Jika pejati sudah diterima, saya mohon diri‟ b. …Yén durung Ida mapica, ngiring mapinunas malih… jika IMPERF 3 TG -beri, mari -minta lagi „Jika beliau belum mengabulkan, mari memohon kembali‟ c.
…Yén beli muatang, titiang jagi mapinunas… jika kakak -perlu, 1TG IMPERF -mohon „Jika anda mendesak, saya akan memohon‟
d. …Yén sampun pacuk, rapaté jagi tutup titiang… jika PERF ø-sepakat, rapat-DEF IMPERF ø-tutup 1TG „Jika semua sudah sepakat, rapat akan saya tutup‟
284
No
TEMA
REMA
TEMA
a
Yén
sampun indik pejatiné,
b
Yén
durung Ida mapica,
c
Yén
beli muatang,
d
Yén
sampun pacuk,
REMA nunas mapamit mangkin
titiang
ngiring mapinunas malih
(1 JM)
titiang
jagi mapinunas
rapaté
Pada relasi “jika-maka” di atas klausa
jagi tutup titiang
utama merupakan syarat bagi
tercapainya klausa sematan. Ketergantungan klausa sematan biasanya tidak mengacu pada sebuah komponen tertentu, tetapi pada keseluruhan klausa induk. Artinya, jika kondisi pada klausa induk telah terpenuhi, klausa sematan akan terpenuhi pula. Sebaliknya, jika kondisi yang dinyatakan klausa induk
tidak
terpenuhi, klausa sematan menjadi gagal. Distribusi penggunaan perelatifan ané, sané „yang‟ dan relasi yén “jika maka” sebagai
pembentuk relasi hipotaktis
ditampilkan di bawah ini. Tabel 9.1 Distribusi Perelatifan
Teks
Neduh
Nyelang galah Jumlah Persentase
A1 A2 A3 B1 B2 B3
Hipotaktis Perelatifan ané sané 7 14 3 9 9 24 4 18 5 12 2 10 30 87 20 % 56 %
Jika-Maka yén 4 2 7 13 6 4 36 24 %
285
Berdasarkan tabel (9.1) di atas tampak penggunaan relasi logika hipotaktis dengan perelatifan dengan sane lebih dominan daripada penggunaan ane. Leksikon bentuk hormat itu dipilih terkait dengan ranah percakapan formal religius. Frekuensi kemunculan proyeksi hipotaksis yang kecil mencerminkan bahwa pembicara cenderung memilih klausa sederhana. Penggunaan bentuk bersyarat mengindikasikan bahwa setiap langkah teks harus dikerjakan dengan prosedur yang telah disepakati. Jadi, kebermarkahan Tema yang dimunculkan pada fase persiapan TNNGB mengindikasikan adanya keinginan mengakomodasi kepentingan semantis, gramatikal, dan pragmatis dalam teks yang melahirkan struktur tema majemuk.
BAB X SISTEM REFERENSIAL
10.1 Pengantar Alat-alat kohesif menjalankan fungsi tekstual. Alat kohesi seperti referensi, ellipsis, dan konjungsi memungkinkan suatu unsur dijalin dengan unsur lain yang ada di kiri atau di kanan. Artinya, alat kohesi berfungsi membentuk hubungan dengan elemen yang muncul sebelumnya atau sesudahnya dalam jarak tertentu. Yang tergolong alat kohesi gramatikal adalah konjungsi, referensi, dan ellipsis dan substitusi. Referensi merupakan tipe alat kohesi yang mengandung makna yang sama dengan elemen yang diacu. Berbeda dengan konjungsi yang bersifat transisi antarklausa, referensi mengacu pada nomina, proses, atau adverbial. Dalam metafungsi, sistem referensi menjalankan fungsi membentuk hubungan antarklausa sehingga dua elemen yang berjauhan dapat dijalin. Referensi juga dapat menghubungkan butir informasi lama dihubungkan dengan informasi baru secara berkesinambungan (given and new information string). Berdasarkan teks berbahasa Inggris dinyatakan ada kecenderungan untuk mengacu kembali informasi lama setelah diendapkan beberapa saat dalam pikiran pendengar/pembaca. Halliday (2004: 552) memperkenalkan dua tipe referensi, yakni referensi yang berkaitan dengan lingkungan teks dan referensi internal teks. Referensi dengan lingkungan menghasilkan tipe referensi eksoforis, sedangkan referensi internal teks dinyatakan sebagai referensi endoforis. Referensi endoforis dapat 286
287
berupa acuan terhadap suatu kelompok nomina yang telah diketahui oleh pendengar/pembaca secara anaforis ataupun kataforis. Dengan demikian, pengacu dan anteseden yang diacu bersifat koreferensial (co-reference) dan dapat saling menggantikan.
Singkatnya,
referensi
endoforis
bersifat
referensial
atau
menemukan acuan di dalam teks secara logogenesis (sesuai sistem pemaknaan yang dianggap tepat) mendahului (kataforis) atau setelah anteseden (anaforis). Berdasarkan teks Bahasa Inggris, Halliday menemukan adanya kecenderungan untuk menggunakan referensi anaforis dibandingkan referensi kataforis. Artinya, secara alamiah manusia memilih memulai komunikasi dengan butir informasi yang telah dibagi dengan pendengar. Dari segi kemunculannya, sistem referensi dapat dipandang sebagai pengulangan atau penguatan (re-iteration) informasi tertentu. Artinya, semakin tinggi frekuensi kemunculan suatu nomina dalam sistem acuan mengindikasikan urgensi informasi tersebut terhadap organisasi teks (Halliday dan Hasan, 1975: 33). Akan tetapi, tidak setiap butir informasi yang dimiliki pembicara dapat dibagi dengan pelibat. Artinya, ada informasi yang disembunyikan, dinyatakan secara tersirat, atau tidak dibagi dengan pelibat lain. Perlakuan terhadap informasi semacam itu mengindikasikan bahwa pembicara mengendalikan informasi yang dimilikinya. Jadi, dibutuhkan kemampuan berbahasa yang baik untuk memahami makna tersirat.
288
10.2 Sistem Referensial Sistem referensi merupakan alat kohesi yang berfungsi menjaga kesinambungan tema.
Sistem referensi didefinisikan sebagai alat menata
pergerakan dari satu tema tertentu menuju tema berikutnya secara bertahap (Halliday, 1985: 48).
Ikatan kohesi digambarkan sebagai seutas tali yang
menghubungkan dua simpul (Hasan, 1985:73). Sekalipun demikian, tidak semua simpul menemukan acuan dalam teks secara leksikal, tetapi ada ikatan yang terbentuk secara tersirat. Tidak jarang interpretasi terhadap teks tidak diperoleh secara mudah di dalam teks, karena ada kemungkinan hubungan terselubung (opaque link) dengan teks lain. Teks seakan-akan mengalami keterbatasan tekstur. Dalam kasus demikian, referensi luar teks harus ditemukan. Perhatikan klausa berikut yang seakan-akan tanpa hubungan referensi. Dalam kasus demikian, harus digali referensi lingkungan (Diadopsi dari Halliday dan Hasan, 1975) (terjemahan oleh penulis).
(10.1) a. Stop doing that here berhenti lakukan DEM Sirk I‟m trying to work 1 TG coba kerja „Berhentilah melakukan itu di sini, saya sedang bekerja‟ b. I sent the lady a card and 1TG kirim-PAST ART perempuan ART kartu KONJ she wrote me a poem 3 TG tulis-PAST 1 TG ART puisi „Saya mengirimkan perempuan itu kartu dan dia menulis sebuah puisi untuk saya‟
289
Bila dicermati klausa (a) di atas, tampaknya leksikon that „itu‟ , dan here „di sini‟ tidak bertautan dengan I „saya‟ atau work „kerja‟. Oleh sebab itu, pertautan harus ditemukan pada aspek luar teks untuk menjelaskan hubungan dua klausa tersebut. Pada klausa (b) I sent the lady a card and she wrote me a poem „Saya mengirimkan wanita itu sebuah kartu dan dia menulis sebuah puisi untuk saya‟ bisa saja the lady dan she merupakan orang yang berbeda dengan fitur bersama [+ perempuan], tetapi berdasarkan konteks kalimat dapat disimpulkan bahwa she dan the lady mengacu pada orang yang sama. Oleh sebab itu, kalimat di atas dapat dipahami sebagai acuan yang menggambarkan hubungan sebab akibat.”Saya mengirimkan sebuah kartu” adalah penyebab dan “Dia menulis sebuah puisi untuk saya” adalah akibat. Untuk memperjelas sistem referensial ditampilkan gambar berikut (diadopsi dari Halliday, 2004: 553) (terjemahan penulis).
Referensi terhadap Lingkungan Eksoforis
Teks
Endoforis
Sebelum
Sedang
Sesudah
Eksoforis
Anaforis
alat referensi
Kataforis
Gambar 10.1: Tipe Referensi Berdasarkan gambar (10.1) dapat diketahui bahwa sistem referensi teks dapat bersifat internal teks ataupun di luar teks. Referensi endoforis dan referensi eksoforis menemukan acuannya di dalam teks, sedangkan referensi eksoforis memerlukan pertautan dengan teks di lingkungannya. Pilahan referensi endoforis
290
didasarkan kemunculan anteseden yang diacu. Dibandingkan dengan referensi kataforis, referensi anaforis dalam Bahasa Inggris cenderung dapat mengikat anteseden yang dimunculkan jauh sebelumnya (long chains). Penelitian Moreno (2003: 111) menemukan dua tipe kohesi anaforis yang didasarkan atas bentuk hubungan yang terjadi antara anteseden dan pengacu. Sistem kohesi anaforis
dipilah menjadi kohesi satu-satu dan kohesi tekstual.
Kohesi satu-satu ((point to point cohesion) adalah hubungan satu pengacu dengan satu kelompok nomina, sedangkan kohesi tekstual bersifat kohesi pengapsulan (encapsulisation). Artinya, suatu bentuk dapat mengacu pada serangkaian informasi yang sebelumnya, atau mengacu pada satu atau beberapa klausa di atasnya. Kohesi pengapsulan merupakan kohesi yang terjadi antara satu bentuk tertentu terhadap satu bentuk lainnya, misalnya suatu klausa dapat diacu oleh sebuah kata. Berikut contoh yang digunakan untuk mempertegas perbedaan dua tipe kohesi tersebut (Diadopsi dari Moreno, 2003: 111) (terjemahan oleh penulis).
(10.2)
a.
In my day, I was expected to PREP 1 TG-POS hari, 1 TG PAS harap-PAS
annonate tandai
scripts to explain my marks to the chief examiner. naskah jelaskan 1 TG-POS nilai PREP ART ketua penguji „Dalam tugas harian, saya diminta untuk menganalisis naskah dan menjelaskan penilaian saya kepada ketua penguji‟ Remove tanpa
that requirement, DEM persyaratan
and the examining process will only appear KONJ ART ujian proses FUT hanya tampak to be more open jadi lebih terbuka „Tanpa persyaratan itu, proses ujian akan lebih terbuka‟
291
b.
Wash and core six cooking apples. cuci KONJ kupas NUM apel „Cuci dan kupas enam apel‟ Put them into firefroof dish. taruh 3 JM-PRON PREP tahan panas piring „Letakkan di atas piring yang tahan panas‟
Remove that requirement pada contoh (a) bertautan dengan kalimat sebelumnya, yakni In my day, I was expected to annonate scripts to explain my marks to the chief examiner. Dengan demikian, that requirement dinyatakan sebuah bentuk pengapsulan atau bentuk kecil dari kalimat yang mendahuluinya. Sementara itu, klausa (b) yang dikutip dari Halliday, leksikon them merujuk pada frasa nomina six cooking apples. Kaitan konteks dapat menjelaskan bahwa apel yang diletakkan di atas piring tahan panas adalah apel yang sama. Dengan contoh di atas dapat ditarik simpulan bahwa refernsi pengapsulan memiliki anteseden berupa klausa atau beberapa klausa, sedangkan kohesi satu satu menunjukkan hubungan suatu kata terhadap sebuah kata atau kelompok kata. Jadi, referensi tidak saja mengaitkan nomina dengan suatu anteseden yang berupa kelompok nomina, tetapi dapat juga mengacu pada satu atau beberapa klausa.
10.3 Referensi Endoforis Sistem referensi endoforis mengacu pada anteseden yang dimunculkan internal teks. Keterpautan antara anteseden dan pengacu dapat terjadi pada dua klausa berbeda dengan posisi mendahului atau mengkuti anteseden.
292
Berdasarkan bentuk pengacu dan anteseden yang diacu, klausa TNNGB memunculkan referensi endoforik yang direalisasikan dengan
sinonimi atau
repetisi. Bentuk sinonimi dan repetisi sebagian atau seluruhnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 10.1 Bentuk Referensi Satu-Satu No 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7. 8.
Bentuk Wenara Petak kawula duéné gulem méga dedet nasi pawongwongan selem nasi pawongwongan putih ajengan duéné
Sinonimi
Makna
Frek.
Wenara Putih panjak druéné méga, mendung méga peteng nasi / saji pawongan ireng
kera putih rakyat, hamba mendung mendung pekat sajen berwarna hitam
6 kali 6 kali 6 kali 3 kali 4 kali
nasi /saji pawongan petak
sajen putih
berwarna 4 kali
nasi, saji druéné
nasi milik
4 kali 4 kali
Bila dalam Bahasa Inggris, anteseden yang diacu umumnya diganti dengan kata ganti, TNNGB cenderung memunculkannya dengan bentuk yang sama atau padanannya. Pengulangan
komponen tersebut mencerminkan signifikansi
komponen itu dalam teks. Berikut ditampilkan teks dengan referensi endoforis anaforis dan kataforis. Relasi anaforis ditunjukkan dengan panah ke atas, sedangkan endoforis kataforis ditunjukkan dengan panah ke bawah (Data A2/5.2/ 121-141).
293
No.
Klausa
6. 7.
Om pakulun (1) Ratu Sanghyang Agama, naweg (2) titiang tangkil ngaturang (4) bakti Sane mangkin (2) titiang nyelang pepatih (1) I Ratu sane maparab (3a) I Sampati taler (3b) I Wenara Petak Niki (2) titiang ngawentenang (4) bakti ajengan pawongwongan selem lan putih Saha (4) maulam tasik bawang jae. Santukan puniki (2b) kawulane ngawentenang (4) bakti jaga nunas (5) ujan Santukan niki (2b) kawulane tetanduran (2b) ipun sami layu. Maka lantaran (2b) ipun beras, jinah, canang mesari asep dupa
8. 9.
Manawi wenten kirang langkung rerehang ring pasar agung Rehning (2b) panjak (1) duéné kalintang tambet.
10.
(2b) Kawula (1) druene jagi nunas (5) ujan.
11.
Duaning (7) asapunika, (2a) titiang nyelang pepatih (1) duéné (3a) I Sampati mangda ngumpulang (6) guleme mangda kumpul ring ambara Taler (3b) I Wenara Putih mangda ngrauhang angin saking gunung anggen ngemenekang toya segarane ke ambara manadi (5) sabeh.
1. 2. 3. 4. 5.
12.
13. 14. 15. 16. 17.
18. 19. 20. 21.
Majeng ring (3a) I Sampati niki katurang nasi wongwongan ireng taler majeng (3b) I Wenara Petak katurang nasi wongwongan putih. Mangda sami pada ledang Mangda (1) I Ratu ledang mapica (5) sabeh. Inggih (1) Ratu Sanghyang Agama mangda ledang mapica (5) sabeh. Sane mangkin (3a) I Sampati dados bayangan ring nasi wongwongan selem muah (3b) I Wenara Petak ring nasi pawongwongan putih. (3a) I Sampati ngocak (9) toya segarane saha prasida nunggahang sekancan toya menadi entikan (6) gulem. (3b) I Wenara Petak mangda ngarawuhang angin saking gunung ngunggahang (9 toya segarane manadi (6)mendung. (3b) I Sampati ledang ngeberang sekancam entikan gulem mapulpul manadi (6) mega peteng Sane mangkin (3b) I Wenara Petak manadi angin nurunang (6) mega dedet manadi (5) sabeh kaanggen merta antuk (2b) kawula (1) druene sami.
294
„Ya Tuhan Yang Maha Benar, hamba menghadap menghaturkan bhakti. Hamba menghadap bermaksud meminjam patih paduka yang bergelar I Sampati dan I Wenara Petak. Kami persembahan nasi berbentuk manusia hitam dan putih dilengkapi dengan bawang dan jahe sebagai sarana memohon hujan karena tanaman rakyat paduka semua layu. Sebagai pelengkap, kami persembahkan beras, uang, canang sari dan dupa harum. Bila ada kekurangannya mohon dicukupkan karena hamba paduka sangat bodoh. Hamba bermaksud memohon hujan dan meminjam patih paduka. I Sampati agar mengumpulkan mendung dan I Wenara Petak agar mendatangkan angin dari gunung untuk mengangkat air laut ke angkasa menjadi hujan. Untuk I Sampati kami persembahkan nasi pawongwongan hitam dan nasi pawongwongan putih untuk I Wenara Petak. Semoga Engkau berkenan meluluskan permohonan kami‟ „Ya Tuhan hamba mohon hujan. Sekarang hamba meminjam dua patih paduka yakni I Sampati dan I Wenara Petak. I Sampati menjadi bayangan pada nasi pawongwongan hitam sedangkan I Wenara Petak menjadi bayangan pada nasi pawongwongan putih. I Sampati berkenan memutar air laut dan menaikkan sekalian air menjadi bahan mendung. I Wenara Petak berkenan mengundang angin dari gunung menaikkan sekalian air laut menjadi mendung. I Wenara Petak berkenan menerbangkan sekalian bahan mendung berkumpul di angkasa menjadi mendung tebal. Sekarang I Wenara Petak menjadi angin menurunkan mendung tebal menjadi hujan berkat bagi para hambanya‟.
Isi teks neduh di atas ditampilkan untuk menunjukkan keterkaitan antarklausa. Kaitan tersebut dapat dirunut dari panah penghubung dan penomoran. Bagian isi teks neduh di atas memunculkan referensi endoforis anaforis yang lebih dominan daripada endoforis kataforis. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya tanda panah ke atas mengacu pada kelompok kata yang dimunculkan sebelumnya. Informasi tentang Ratu Sanghyang Agama, I Sampati, dan
I Wenara
Petak bersifat terbatas pada teks. Teks hanya menyediakan informasi bahwa ketiga figur tersebut diposisikan sebagai termohon. I Sampati, dan
I Wenara
Petak merupakan patih dari Ratu Sanghyang Agama. Pendengar yang menyimak
295
teks dengan cermat pun belum dapat menyimpulkan identitas figur tersebut. Ditinjau dari struktur informasi,
identitas figur tersebut
dapat digolongkan
sebagai informasi yang tidak dibagi atau informasi yang disembunyikan. Oleh sebab itu, dibutuhkan teks lain yang menyediakan penjelasan tentang figur termohon itu. Pihak pemohon dinyatakan dalam pronomina titiang „1 TG‟ atau kawula, panjak „rakyat, hamba‟. Pada leksikon titiang, kawula dan panjak terkandung makna ekslusif pembicara, pembicara dan warga, atau kelompok petani. Leksikon titiang mengacu pada diri pamangku yangmengambil peran sebagai mediator permohonan. Pada klausa (1, 2), pamangku menyatakan diri sebagai perseorangan, tetapi pada klausa (3) dan seterusnya pamangku menunjukkan diri sebagai bagian dari kelompok atau perwakilan kelompok. Permohonan melibatkan (4) bakti „sarana‟ sebagai media untuk memohon (5) sabeh „hujan‟. Hal itu dapat dipahami sebagai kewajiban menghaturkan sesuatu dalam ritual permohonan dengan berpegangan pada prinsip keseimbangan. Skema budaya teks permohonan TNNGB dapat diilustrasikan seperti di bawah ini.
Termohon
Tujuan:
Sarana
Permohonan
a. sarana sajen b. sarana khusus Pemohon
Gambar 10.2: Skema Teks
296
Berdasarkan
gambar (10.2) di atas dapat dipahami bahwa TNNGB
merupakan teks permohonan yang diajukan oleh pemohon sebagai perorangan atau kelompok. Permohonan disampaikan dengan sarana tertentu sebagai simbol kesungguhan permohonan. Tampaknya, tidak ada satu permohonan pun yang bebas sarana, karena sarana dipandang sebagai media bakti. Sistem referensial yang ditunjuukan teks di atas, sebagian besar berupa referensi endoforis anaforis, sedangkan referensi kataforis dimunculkan dalam frekuensi yang kecil. Contoh referensi karaforik yang dimunculkan adalah pepatih „patih‟ pada klausa (2) dipertegas dengan nama I Sampati dan I Wenara Petak, bakti „sarana‟ pada klausa (3) dipertegas dengan nama dan jenis sarana berupa ajengan pawongwongan hitam dan putih, dan lantaran „sarana‟ pada klausa (7) dijelaskan dengan sarana penggenap, berupa beras, uang, dupa, dan canang sari. Sifat referensi kataforis cenderung memunculkan informasi besar terlebih dahulu, kemudian ditampilkan informasi pendukungnya yang lebih rinci. koherensi teks di atas dapat digambarkan sebagai berikut.
Skema
297
Ratu Sanghyang Agama
mohon ijin mengabulkan permohonan
K
Termohon
I Sampati
mengguncang air laut
O
I Wenara Petak
H
mengundang angin menerbangkan air ke langit
E
bakti R E
mengumpulkan mendung
nasi pawongwongan selem nasi pawongwongan putih
Sarana
pelengkap
N
beras, uang, benang canang sari dan dupa
S
kekurangannya
belikan di pasar agung mohon dimaafkan
I
Pemohon
pemohon
titiang „saya‟ kawula due „rakyat‟
tujuan
mohon hujan mengatasi tanaman layu
Gambar 10.3: Koherensi Teks
Koherensi teks seperti ditunjukkan gambar (10.3) mencerminkan jalinan antar klausa untuk membangun kepaduan informasi. Pesan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. (1) Melalui pamangku, rakyat memohon bantuan Ratu Sanghyang Agama (Tuhan Yang Maha Benar), dan dua patih beliau yang bergelar I Sampati dan
I Wenara Petak untuk menurunkan hujan, (2) Permohonan
diajukan karena rakyat mengalami kekeringan hingga tanaman layu akibat kekurangan hujan, dan (3) Sebagai sarana permohonan dipersembahkan bakti berupa nasi pawongwongan hitam dan putih, dan pelengkap sarana lainnya.
298
Kekurangan dan kekeliruan lain agar dimaafkan. Jadi, teks permohonan tersebut terdiri atas empat elemen, yakni (a) identitas pemohon, (b) tujuan, (c) termohon dan (d) sarana. Empat elemen itu tampaknya sudah diangkat sebagai tradisi teks permohonan komunitas Hindu Bali.
10.3.1 Referensi Anaforis Berdasarkan data (A2/5) di atas, terhitung pemakaian referensi endoforis mencapai 30 kali yang terdiri atas 27 referensi anaforis dan 3 referensi kataforis. Frekuensi endoforis tampak jauh lebih banyak digunakan untuk menghubungkan suatu informasi dengan informasi lainnya dalam teks secara bertahap. Referensi endoforis meliputi pemunculan sebelum
anteseden sebagai
informasi yang terberi
informasi baru yang ditambahkan. Tingginya frekuensi anaforis
mencerminkan kecenderungan kelompok penutur untuk menggunakan informasi yang sudah diperkenalkan sebelumnya sebagai acuan menuju pada informasi yang lebih mendalam. Jadi, referensi anaforis berperan sebagai upaya pendalaman informasi. Referensi anaforis ditemukan pada hampir semua klausa teks neduh di atas. Hal itu menunjukkan kebiasaan penutur memilih cara menambahkan informasi secara bertahap dari informasi yang sudah dibagi sebelumnya. Dengan kata lain, penambahan informasi dilakukan setelah informasi lama diendapkan pada memori pendengar atau pembaca. TNNGB memunculkan referensi anaforis yang menemukan antesedennya pada klausa di kirinya, baik satu klausa di atasnya maupun klausa yang lebih jauh. Anteseden pemilik, seperti pada idané, kawulané,
299
duéné,
druéné mengacu pada milik dari I Ratu Sanghyang Agama yang
dimunculkan pada klausa pertama yang berjarak empat hingga sepuluh klausa di atasnya. Jarak referensi yang berjauhan tidak menimbulkan ambiguitas karena I Ratu Sanghyang Agama merupakan satu-satunya kelompok kata yang memiliki fitur tinggi [+tinggi] sehingga berpeluang memiliki kepemilikan tertentu, dalam hal ini, patih dan kawula „rakyat, hamba‟. Sebagian besar referensi anaforis pada teks merupakan referensi satu-satu. Artinya, satu bentuk mewakili satu kelompok nomina yang berfungsi sebagai referennya. Meskipun demikian, referensi pengapsulan juga digunakan seperti tampak pada klausa (11). Bentuk deiksis asapunika „begitu‟ ternyata merujuk beberapa klausa di atasnya, yakni klausa (1-10). Leksikon asapunika mewakili seluruh situasi yang digambarkan klausa-klausa di atasnya yang memberi deskripsi
alasan permohonan, bentuk permohonan, sarana yang disiapkan,
kelengkapan sarana, dan permohonan maaf. Leksikon asapunika merupakan pengapsulan dari klausa-klausa yang menyatakan kondisi yang melatarbelakangi dilaksanakannya teks mohon hujan. Oleh sebab itu, pengapsulan anaforis dapat dipandang sebagai rangkuman dari rangkaian informasi sebelumnya, sedangkan referensi satu-satu merupakan pendalaman bertahap terhadap informasi tertentu yang sudah diberikan.
10.3.2 Referensi Kataforis Berbeda dengan referensi endoforis yang anteseden
memiliki ciri kehadiran
mendahului pengacu, anteseden referensi kataforis memunculkan
300
anteseden sesudah pengacu. Struktur informasi dalam referensi kataforis itu biasanya menampilkan informasi yang bersifat umum dan diikuti informasi yang lebih renik. Acuan kataforis dapat pula dilihat sebagai aplikasi sistem informasi umum-khusus. Anteseden cenderung menyediakan informasi umum dan pengacu menyediakan informasi lanjutan yang lebih rinci, seperti tampak pada klausa berikut (Data A2/5/ 202-203). (10.3) a. … Sané mangkin titiang nyelang pepatih idané sané Sirk 1 TG -pinjam patih 3TG-DEF REL maparab I Sampati taler I Wenara Petak… -nama NAMA KONJ NAMA „Sekarang saya meminjam pepatih beliau yang bergelar I Sampati dan I Wenara Petak‟ b. …Niki titiang ngawéntenang bakti ajengan pawongwongan DEM 1 TG -buat-BEN sarana NAMA sarana selem lan putih… hitam KONJ putih „Ini kami haturkan sajen berupa nasi pawongwongan hitam dan putih‟ Pada klausa (10.3) di atas referensi kataforis ditandai dengan cetak tebal, sedangkan anteseden digarisbawahi.
Leksikon pepatih idane (2) dijelaskan
dengan gelar dua patih, yakni I Sampati dan I Wenara Petak yang dimunculkan kemudian. Dengan kata lain, pepatih idané dapat menggantikan I Sampati dan I Wenara Petak. Demikian pula, bakti (3) dapat menggantikan kelompok kata ajengan pawongwongan hitam dan putih. Pada klausa itu, bakti mengacu pada sarana ritual yang dipertegas dengan jenis sajen yang dihaturkan. Jadi, bentuk pepatih, dan bakti dapat menyubstitusi kelompok nomina yang mengikutinya.
301
Jarak antara anteseden dan pengacu pada referensi kataforis cenderung bersifat ketat. Artinya, sebuah referensi kataforis akan segera menemukan antesedennya pada klausa yang bersangkutan. Hubungan acuan dan pengacu kataforis sangat erat terbukti dengan kemunculannya yang relatif berurutan dalam pola relasi satusatu (point to point). Referensi
pengapsulan
dimunculkan pada teks, seperti
kataforis
(cataforical
encapsulazion)
juga
puniki „begini‟ atau sapuniki „begini‟ seperti
ditampilkan di bawah ini (Data A3/1.3/ 11-17).
(10.4) a. …Puniki jero mangku. Gatra kewentenan indik pertaniane driki niki mangkin, tetandurane niki kirangan toya. Niki sane tunasang ring jero mangku, sapunapi antuk. Santukan gumine panes kanti tanduran kramane sami layu, nika wawinan tiang ngerauhin jero mangku. Punapi minab wenten galah jagi neduh sapunapi?... „Ya, begini jero mangku. Kabar keberadaan pertanian di sini saat ini, tanaman kekurangan air. Ini yang saya tanyakan pada anda, bagaimana caranya. Karena bumi panas hingga tumbuhan warga menjad layu, itu sebabnya saya mendatangi anda. Bagaimana apa mungkin ada waktu untuk mohon hujan?‟
b. …Nanging sapuniki dumun. Pang ten nyen kadi titiang mengambil sebuah keputusan ngeraga, nah manawi wenten semeton titiang makadi mangku druene taler, mekadi jero mangku Puseh, Desa, Prajapati mangda ada ajak titiang magendu wirasa nginggihang inggian padinan, pang ten titiang misang-misang raga, ten enak nika, becik dauhing mangku duéné dumun. Saja panes nak yakti sampun kelintang niki… „Oh, begitu. Ya, tetapi begini dulu. Agar saya tidak mengambil keputusan sendiri, karena masih ada saudara saya seperti mangku Puseh, Desa dan Prajapati, agar ada yang saya ajak untuk berdiskusi membicarakan hari baik. Supaya saya tidak seenaknya saja, sebaiknya undang mangku lainnya dulu. Memang benar, musim panas sudah melewati batas‟
302
Leksikon yang dicetak tebal puniki dan sapuniki „begini‟ di atas merupakan contoh referensi yang bersifat pengapsulan dari beberapa klausa yang mengikutinya. Deiksis puniki dan sapuniki itu dipakai sebagai titik awal rangkaian informasi baru yang akan diungkap. Sesuai dengan sifatnya, hubungan pengapsulan terjadi antara satu referensi dan serangkaian informasi yang mengikutinya. Berdasarkan contoh kalusa yang sudah diulas sebelumnya dapat disimpulkan bahwa TNNGB menggunakan empat jenis referensi endoforis, yakni anaforis satu-satu, anaforis pengapsulan, kataforis satu-satu dan kataforis pengapsulan. Karakteristik keempat tipe referensi endoforis itu dirangkum dalam tabel berikut. Tabel 10.2 Referensi Endoforis
No.
Endoforis
Posisi
Jarak dari Referen
Anteseden 1.
Anaforis satu-satu
kiri
satu atau lebih klausa
2.
Pengapsulan anaforis
kiri
satu atau lebih klausa
3.
Kataforis satu-satu
kanan
klausa yang sama
4.
Pengapsulan kataforis kanan
satu atau lebih klausa
Tabel di atas menunjukkan bahwa referensi endoforis yang bertipe hubungan satu-satu menggunakan satu bentuk referen untuk satu anteseden yang diacu, sedangkan hubungan pengapsulan menggunakan suatu bentuk untuk mengacu pada serangkaian informasi, baik yang sudah diberikan ataupun yang
303
akan diberikan. Jarak anteseden dan referen pada referensi anaforis satu-satu lebih longgar dibandingkan referensi yang sama pada tipe kataforis. Referensi endoforis anaforis dan kataforis dapat dilihat sebagai cara bahasa menambahkan informasi sejalan dengan prinsip pemercontohan. Artinya, tidak dimungkinkan untuk dapat menjelaskan suatu fenomena dalam sebuah klausa yang kompleks sekalipun, tetapi memerlukan pengelanan secara bertahap.
10.4 Referensi Eksoforis Tidak setiap kelompok nomina yang dipakai dalam teks dapat ditemukan acuannya dengan mudah di dalam teks. Frasa nomina yang sulit dipahami diprediksi
membutuhkan
referensi
eksoforis.
Artinya,
diperlukan
latar
pengetahuan yang memadai atau sama dengan penutur untuk memahaminya. Pada TNNGB nama-nama figur termohon yang dimintakan bantuan menyukseskan permohonan membutuhkan acuan luar teks secara eksoforis. Asumsi itu dibangun karena dengan membaca teks target saja, nama figur termohon belum dapat dikenali dengan baik, ditambah keengganan informan untuk membicarakannya. Memperbincangkan figur tidak kasatmata yang diharapkan membantu permohonan dipandang tabu dan dapat mendatangkan petaka. Oleh sebab itu dilakukan penggalian intertekstual dengan rekomendasi pamangku dan ditemukan bahwa figur Ratu Sanghyang Agama, I Sampati, dan I Wenara Petak bersumber pada konsep dualistik. Dalam konsep dualistik, perubahan bersifat alamiah, artinya, kondisi hujan dapat berubah menjadi terang,
304
atau sebaliknya atas perkenan Tuhan. Figur Dualistik yang dilibatkan memiliki identitas seperti di bawah ini. Tabel 10.3 Figur Dualistik
Nama Figur Dualistik No.
Fitur
I Sampati
I Wenara Petak
1.
Tipe
burung garuda
kera putih
2.
Warna
hitam
putih
3.
Kemampuan
mengatur air
mengatur angin
4.
Konotasi
kendaraan Hyang Wisnu
Sang Hyang Bayu
Tampak pada tabel (10.3) I Sampati I dan I Wenara Petak dipersepsikan sebagai
dua orang patih yang memiliki kesaktian tersendiri. I Sampati
diidentikkan dengan figur berupa burung garuda hitam, sedangkan I Wenara Petak adalah kera yang berbulu putih. Kedua patih itu akan menjalankan tugas dengan izin dari Ratu Sanghyang Agama „Tuhan, kebenaran‟. Status I Sampati dan I Wenara Petak sebagai abdi dari Ratu Sanghyang Agama dapat dipahami sebagai pelaksanaan permohonan harus diabdikan bagi kebenaran. Di sisi lain, TNNGB yang ditemukan pada wilayah berbeda menggunakan figur-figur yang bersumber pada ajaran persaudaraan. Hal itu dapat dilihat dari penggunaan nama I Gusti Wayan Teba, I Gusti Made Jelawung, I Gusti Nyoman Pengadangadang dan I Gusti Ketut Petung yang mengabdi pada I Ratu Ngurah Tangkeb Langit „Penguasa Langit, Tuhan‟. Prinsip ajaran persaudaraan adalah membina hubungan baik dengan empat entitas yang menemani proses kelahiran,
305
di antaranya darah, lendir, air ketuban, dan ari-ari. “Empat saudara” itu kelak dapat menjadi pengawal yang sangat sakti dan setia
melindungi
tuannya.
Pemerolehan kesaktian itu didapatkan melalui proses panjang (Indra, 2001 : 6). “Saudara Empat” dikenal sebagai pengasuh si janin selama masa prenatal. Pengasuhan oleh empat saudara itu memungkinkan si janin tumbuh dengan baik. Pengasuhan berlanjut hingga si bayi lahir dan sejak kelahiran
itu pengasuh
digelari babu „pengasuh‟ masing-masing babu Lembana, babu Abra, babu Ugyan dan babu Kere. Setelah bayi pupus pusar, ”saudara empat” mendapat gelar baru menjadi I Kala, I Pretta, I Dengen, dan I Yanta, seperti ditunjukkan tabel berikut (Indra, 2001 : 8). Tabel 10.4 “Saudara Empat” (1) No „“Saudara Empat”
Gelar (1)
Gelar (2)
1
Getih „darah‟
Babu Lembana
I Kala
2
Yeh nyom „air ketuban‟
Babu Abra
I Dengen
3
Lamad „lendir‟
Babu Ugyan
I Pretta
4
Ari-ari „ari-ari‟
Babu Kere
I Yanta
Tabel (10.4) menunjukkan proses perubahan gelar “saudara empat” yang berperan sebagai pengasuh setia si cabang bayi agar terhindar dari berbagai gangguan. Pada periode si anak bisa berlari dan berbicara (lumaku nyambat meme bapa babunta), “saudara empat” memperoleh gelar baru,
yakni I Jalahir, I
Salahir, I Makahir, dan I Mokahir. Nama-nama itu ditafsirkan tidak sepenuhnya berasal dari budaya Bali, tetapi menerima pengaruh dari budaya lain. Pada masa
306
itu, saudara empat meninggalkan si anak untuk berkelana amarah-marah desa „menjelajah desa‟ menuju empat arah angin. Proses pengembaraan berlangsung bertahun-tahun hingga diperoleh kesaktian setara detya „raksasa sakti‟. Tabel 10.5 “Saudara Empat” (2)
No
Gelar (3)
Arah Pengembaraan
Gelar (4)
1
I Jalahir
mangetan „ke timur‟
I Yanggapati
2
I Salahir
mangulon „ke barat‟
I Mrajapati
3
I Makahir
mangidul„ke selatan‟
I Banaspati
4
I Mokahir
mangulor „ke utara‟
I Banaspati Raja
Tabel (10.5) menunjukkan keempat bhuta yang sudah berubah nama menjadi I Jalahir, I Salahir, I Makahir, dan I Mokahir mengembara untuk memperoleh kesaktian. Dengan kemampuan yang diperoleh dalam pengembaraan, “saudara empat” dapat dipanggil masuk ke dalam tubuh atau ke luar dari tubuh sesuai jalan wasuk wtunya ‟masuk keluarnya‟ jika diperlukan. Klausa berikut menyatakan jalan masuk “saudara empat” (Indra, 2001: 9). (10.5) a.
…Ih Yanggapatti, manjingakna sira, ri cangkem, anrus ring papusuh... ART NAMA masuk-IMP 2TG PREP mulut KONJ PREP jantung „Ih Yanggapati, masuklah engkau melalui mulut terus ke jantung‟
b.
...Ih Mrajapatti, manjingakna sira ring irung, anrus ring ungsilan… ART NAMA masuk-IMP 2TG PREP hidung KONJ PREP ginjal „Ih Mrajapati, masuklah engkau melalui hidung terus ke ginjal‟
c.
…Ih Banaspati, manjingakna sira ring soca, anrus ring atti... ART NAMA masuk-IMP 2TG PREP mata KONJ PREP hati „Ih Banaspati, masuklah engkau melalui mulut terus ke hati‟
307
…Ih Banaspati Raja. manjingakna sira, ring karna, anrus ring ampru… ART NAMA masuk-IMP 2TG PREP telinga PREP empedu „Ih Banaspati Raja masuklah engkau melalui mulut terus ke empedu‟
d.
“Saudara empat” biasanya dipanggil masuk ke dalam tubuh untuk menghadang musuh, mengawal memasuki karang tenget „daerah kramat‟, membasmi sakit dalam tubuh, dan lain-lain. Setelah tugas diselesaikan, “saudara empat” dapat dikembalikan dengan saa berikut (Sudirga, 1996: 18). (10.6) a. …Ih Yanggapatti, mtu ring pepusuh, amargga ring cangkem… ART NAMA
keluar PREP jantung berjalan PREP mulut
„Ih Yanggapatti keluarlah dari jantung melalui mulut‟ b. … Ih Mrajapatti, mtu ring ART NAMA
ungsilan, amargga ring karnna…
keluar PREP ginjal
berjalan PREP telinga
„Ih Mrajapatti keluarlah dari ginjal melalui telinga‟ c. …Ih Banaspati, mtu ring hati, ART NAMA
amargga ring nétra…
keluar PREP hati berjalan PREP mata
„Ih Banaspati keluarlah dari hati melalui mata‟ d. …Ih Banaspati Raja, mtu ART NAMA
ring ampru
amrgga ring irung...
keluar PREP jantung berjalan PREP mulut
„Ih Banaspati Raja keluarlah dari empedu melalui hidung‟ Setelah periode itu, “saudara empat” memperoleh kemampuan yang lebih tinggi sehingga digelari Gusti (Arnita, 2001). Beliau digelari I Gusti Wayan Teba, I Gusti Made Jelawung, I Gusti Nyoman Pengadangadang dan I Gusti Ketut Petung. Keempat Gusti merupakan patih yang mengabdi pada I Gusti Ngurah Tangkeb Langit atau Ratu Ngurah Tangkeb Langit. Diprediksi I Ratu Ngurah Tangkeb Langit merujuk pada Tuhan sebagai sumber dan
penggerak (starter)
dari segala yang ada. Pada tahap berikutnya, keempat saudara dapat digelari
308
batara. Yang paling menonjol ialah “saudara empat” hanya dapat memenuhi permohonan atas perkenan Tuhan karena statusnya mengabdi pada kebenaran. Dengan
penggalian
eksoforis
dapat
diketahui
bahwa
TNNGB
menempatkan konsep duslistik dan persaudaraan sebagai acuan luar teks. Figur dualistik dan “saudara empat” turut berperan dalam menyukseskan permohonan. Meskipun demikian, tidak setiap pelaksanaan selalu berhasil. Teks yang belum terkabul biasanya dapat diulang kembali hingga Tuhan berkenan mengabulkan permohonan yang dimaksud. Jadi, Tuhan ditempatkan sebagai satu-satunya harapan yang dapat menjawab permohonan.
10.5 Interpretasi Sistem Referensial Terkait dengan sistem informasi, tampaknya
informasi yang bersifat
umum dimunculkan secara endoforis dan dibagi secara tersurat. Di sisi lain, informasi khusus cenderung dimunculkan secara eksoforis, atau disembunyikan dari pelibat lain. Kesenjangan itu menyebabkan teks tidak mudah dapat dipahami secara utuh oleh masyarakat umum. Sejauh ini, penguasaan teks terbatas pada pamangku saja, bahkan orang terdekatnya pun tidak mengetahui prihal teks secara lengkap.
Temuan acuan eksoforis mendukung pelabelan teks yang bersifat
spiritual magis karena memerlukan pertolongan makhuk tidak kasatmata, sesuai konsep
dualistik atau konsep persaudaraan. Akan tetapi, label teks sebagai
aktivitas sihir harus dikoreksi mengingat figur tidak kasatmata itu hanya boleh bergerak atas perkenan Tuhan. Jadi, keberhasilan permohonan sepenuhnya berada di tangan Tuhan.
309
Disamping penggunaan referensi endoforis dan eksoforis yang relatif tetap di atas, TNNGB juga menggunakan deiksis yang cenderung memiliki acuan yang berubah-ubah. Bentuk pronomina yang mengacu pada pelibat teks dimunculkan dalam bentuk titiang, tiang „saya (1TG/JM)‟, sedangkan orang kedua ditunjuk dengan jero „anda‟. Orang ketiga dimunculkan dengan Ida, atau ipun „dia‟. Teks juga memunculkan pronominal ekslusif, beli adi „kakak-adik‟ yang difungsikan sebagai pengganti orang pertama atau kedua dalam ragam akrab. Pronomina Demonstrativa yang digunakan untuk mengacu tempat atau jarak ialah driki „di sini‟, drika „di sana‟, niki, „ini‟, dan nika, „itu‟. Referensi komparatif bersifat menjelaskan persamaan atau perbedaan identitas. Artinya, suatu hal yang dibicarakan dibandingkan dengan hal lain yang dipandang cocok. Tabel berikut menampilkan bentuk deiksis yang digunakan. Tabel 10.6 Deiksis
Koreferensial Persona Pronomina
Komparatif Demonstratif
Posesif niki, driki
I
II III
titiang, beli, (n)-e) panjak, damuh, jero, adi, Ratu Ida, ipun
sapuniki, sekadi, minakadi sapunika
nika, drika
Deiksis yang berupa persona, demonstrativa, dan komparatif merupakan tipe referensi yang memiliki acuan yang cenderung tidak tetap dan berpindah-
310
pindah sesuai konteks. Perubahan acuan tidak berpengaruh terhadap pemahaman pelibat. Artinya, perubahan acuan dengan mudah dapat dipahami oleh pelibat langsung dibandingkan pelibat yang tidak terlibat dalam teks. Berdasarkan paparan acuan di atas dapat dipahami bahwa sistem referensial
TNNGB tidak hanya mencakup sistem refernsi yang bersifat tetap,
tetapi juga deiksis yang
berpindah-pindah. Sistem referensi TNNGB dapat
dirangkum dalam gambar berikut.
repetisi Posisi Acuan
R
Anaforik
sinonimi pengapsulan
E F
Endoforik
Kataforik
Tetap
R
Sifat acuan Acuan tidak tetap Deiksis
N S I
satu-satu pengapsulan
E
E
satu-satu
Eksoforik merujuk teks lain
Dualistik
Persaudaraan
Gambar 10.4: Sistem Referensi TNNGB
Gambar (10.4) merangkum sistem referensial yang dimunculkan dalam TNNGB. Teks menggunakan referensi anaforis satu-satu dalam frekuensi yang lebih dominan dibandingkan referensi anaforis pengapsulan. Pola acuan itu mengindikasikan bahwa komunitas transmigran lebih memilih struktur acuan yang
311
sederhana. Penggunaan referensi eksoforis dapat dilihat sebagai upaya untuk menjaga informasi khusus dari jangkauan publik atau ada informasi yang harus dirahasiakan. Tipe informasi yang signifikan disimpan dalam kognisi pembicara, dan tidak boleh dibagi. Dominasi
referensi anaforis dibandingkan eksoforis
sejalan dengan pola berbicara universal, yakni berawal dari satu informasi yang sudah dimiliki. Jadi, TNNGB merupakan teks yang mengambil acuan endoforis untuk butir informasi yang dapat dibagi, sedangkan informasi yang bersifat rahasia dimunculkan dalam sistem acuan eksoforis.
BAB XI TEMUAN BARU PENELITIAN
11.1 Pengantar Penelitian teks Neduh dan Nyelang Galah komunitas petani transmigran Bali di Sumbawa
ini dapat digolongkan sebagai penelitian rintisan karena
fenomena serupa belum pernah diangkat dalam suatu penelitan. Dengan mengaplikasikan teori Linguistik Sistemik Fungsional, teks tidak hanya dipandang berupa satuan linguistik, tetapi juga mengandung konsep nonlinguistik. Penelitian ini dilakukan secara maksimal untuk menjawab permasalahan terkait dengan skema tahapan dan struktur yang pada akhirnya merujuk pada temuan baru.
11.2 Temuan Baru Temuan baru yang dihasilkan dalam penelitian TNNGB bersifat temuan lapangan. Dua temuan yang dapat dipandang sebagai novelty dapat dipaparkan sebagai berikut. (1)
Konotasi yang disandang teks bersifat situasional. Artinya, faktor tempat atau waktu berdampak pada perbedaan konotasi komunitas di daerah asal dengan komunitas transmigran. Transmigran Bali di Sumbawa memandang teks tolak hujan sebagai teks yang nonfungsional. Teks tolak hujan bersifat melawan kepentingan umum, mengingat sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani tadah hujan.
Lahan yang diolah terbentang dari lembah
312
313
hingga punggung bukit yang berkontur miring. Pertanian lahan kering dan curah hujan yang kecil menyebabkan munculnya kekhawatiran bahwa pelaksanaan teks tolak hujan dapat menyebabkan hujan tidak akan turun untuk waktu yang lama. Lebih jauh, upaya menolak hujan dipandang dapat mendatangkan petaka bagi partisipan kunci. Menolak hujan diyakini mengandung tindakan ngamenékang panyarang „menaikkan pembocor‟ yang berdampak pada gagalnya persekutuan mendung. Sarang „bocor‟ yang terjadi pada alam dapat berdampak buruk pada partisipan kunci, di antaranya susah rejeki, boros, sakit nonmedis, kesulitan komunikasi, hingga cedek yusa „pendek usia‟. Pandangan negatif juga ditujukan pada terminologi nerang. Kata nerang dimaknai sebagai tindakan memaksa, egoistik, dan melawan alam.
Oleh sebab itu, terminologi nerang ditanggalkan
dan
diganti dengan nyelang galah yang mengandung makna koperatif
dan
permisif. Sebaliknya, teks panggil hujan diterima sebagai teks protektif fungsional. Transmigran menggunakan terminologi neduh „teduh, tidak panas‟, bukan untuk memohon perlindungan kepada dewa-dewa atas hama atau penyakit, tetapi
difokuskan untuk memohon hujan. Neduh bahkan
diyakini dapat mengubah karakter hujan badai menjadi sabeh merta „hujan yang memberkati‟. Dengan demikian, teks neduh tidak hanya dimaksudkan untuk menawar kemarau yang panjang, tetapi dapat memberkati hidup setiap orang. Tidak setiap orang diizinkan untuk memimpin teks tolak atau panggil hujan. Teks hanya boleh dilakukan oleh ketua paguyuban pamangku di tingkat desa adat atau pamangku lain yang ditunjuk. Ketua pamangku juga
314
harus dapat memberi bantuan penyembuhan secara tradisional, pencerahan rohani, dan ramalan. Kelebihan yang dimiliki membuat warga patuh, segan, apatis dan menjadi pengikut semata. Peran ketua pamangku tidak hanya bertanggung jawab ke dalam kelompok, tetapi harus dapat mengantisipasi isu dan tekanan dari kelompok lain. Penggunaan persembahan, banyak pura, dan keragaman cara kerap dipakai pembentuk label pemuja berhala dan ini berpotensi menjadi pembenar tindakan anarkhis. Dengan demikian, ketua pamangku diharuskan aktif memodifikasi tradisi dan penerapan nilai-nilai religius agar tidak memunculkan kecurigaan pihak lain. Jadi, peran ketua pamangku di wilayah transmigran menyangkut ritual keagamaan dan pencitraan di mata kelompok lain. (2)
TNNGB adalah teks prosedural yang didominasi oleh klausa imperatif. Akan tetapi, sebagian besar makna imperatif itu dinyatakan secara santun dengan modus
termodulasi. Gradasi kesantunan yang dimunculkan
mencerminkan pergerakan makna perintah menjadi makna relasional dan ketermilikan
abilitas.
Selanjutnya,
mitra
wicara
dikedepankan
(foregrounding) menjadi pihak yang sanggup dan berkenan melakukan sesuatu. Dalam proses itu, mitra wicara dipersilakan menunjukkan kemampuan yang dimiliki sejalan dengan permohonan. Gradasi kesantuan pada dialog satu arah itu menjembatani permohonan dan penerimaan. Jadi, menghadapi kesulitan yang tidak terjangkau, manusia dapat mengajukan permohonan dan siap menanggung keberhasilan/kegagalan. Tuturan yang ditujukan kepada Tuhan sebagian besar disampaikan dalam Bahasa
315
Sanskerta dan Jawa Kuna dengan diawali Om „Ya, Tuhan‟. Jalinan relasi horizontal dengan makhluk setara dituturkan dalam Bahasa Bali diawali kata sandang Ih atau I. Jadi, relasi ke atas dan ke samping dikodekan dengan bahasa yang berbeda. Harmoni segi tiga itu tampak sejalan dengan ajaran Tri Hita Karana, yang terdiri atas: (i) pawongan „menjaga hubungan harmonis antarmanusia‟, (ii) palemahan „menjaga hubungan harmonis dengan alam lingkungan‟, dan (iii) parahyangan „menjaga hubungan harmonis dengan Tuhan‟. Sejauh ini, teks tidak pernah ditujukan sebagai bentuk arogansi dan mencelakai orang lain, tetapi diabdikan untuk pemeliharaan hidup umat manusia. Di samping itu, ditemukan keterkaitan teks dengan konsep luar teks secara eksoforis. Konsep lingkungan teks yang diacu ialah konsep dualistik dan konsep persaudaraan. Tampak keberhasilan permohonan tidak dimonopoli oleh kemampuan seseorang tetapi membutuhkan pertolongan figur lain yang diberkati Tuhan. Figur dualistik hitam putih atau figur “saudara empat” merupakan figur yang banyak dilibatkan untuk membantu keberhasilan permohonan. Selanjutnya, atas bantuan itu dipersembahkan sajen sebagai wujud terima kasih. Tipe acuan eksoforis itu membuktikan bahwa TNNGB tidak dapat dilepaskan dari dukungan faktor spiritual yang memformulasikan makhuk tidak kasatmata. Meskipun demikian, konotasi teks sebagai aktivitas sihir tidak dapat dibenarkan sepenuhnya karena keberhasilan permohonan merupakan karunia Tuhan dan difungsikan bagi pemeliharaan hidup di tengah krisis air.
BAB XII SIMPULAN DAN SARAN
12.1 Simpulan Penelitian ini difokuskan untuk menemukan jawaban atas persoalan teks panggil dan tolak hujan sehingga berhasil menemukan jawaban yang memadai atas seluruh permasalahan yang diajukan yang kemudian dinyatakan sebagai simpulan penelitian. Permasalahan struktur skematis,
modus, transitivitas,
diatesis, tematis, dan sistem referensi dapat dideskripsikan secara maksimal melalui proses triangulasi yang berpedoman pada penelusuran data korpus, sintesa teori, dan konfirmasi partisipan kunci yang mengetahui seluk-beluk teks. Simpulan yang dapat ditarik dipaparkan di bawah ini. (1)
Analisis skema penahapan menunjukkan bahwa TNNGB merupakan teks yang memiliki empat lapis struktur, di antaranya, struktur kebahasaan, struktur formal, struktur makro, dan struktur fungsional. Dari segi kebahasaan, TNNGB merupakan teks yang mengombinasikan bahasa aktif dan bahasa pasif. Bahasa pasif, seperti Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna berperan pada bagian pembukaan teks, sedangkan inti permohonan disampaikan dalam
Bahasa
Bali
ragam
halus.
Pelapisan bahasa
diinterpretasikan sebagai upaya menjalin harmoni vertikal dan horizontal. Di samping itu, kombinasi bahasa aktif dan pasif dapat dipandang sebagai upaya menjaga kesakralan dan melestarikan penggunaan bahasa yang mengandung nilai historis religius. Secara formal, teks 316
neduh „mohon
317
hujan‟ merupakan teks yang dikehendaki oleh seluruh komunitas transmigran sehingga dapat dipraktikkan hingga tiga kali dalam satu kali musim tanam. Ketergantungan terhadap air hujan menyebabkan teks neduh „panggil hujan‟ diberi label teks fungsional. Struktur formal teks neduh terdiri atas marembug „diskusi‟, sangkep pengurus „rapat‟ , mapengarah „pemberitahuan‟, dan neduh „panggil hujan‟. Dalam kondisi mendesak, tahap sangkep „rapat‟ , dan mapengarah „pemberitahuan‟ dapat ditanggalkan. Struktur formal teks nyelang galah bersifat baku, artinya, tidak ada tahapan yang dapat ditanggalkan. Kegagalan pada tahap awal berdampak pada penundaan ritual. Struktur formal teks nyelang galah terdiri atas
tahap mapinunas „meminta bantuan‟, ngaturang pajatian
„menyerahkan sarana‟, nyelang galah „tolak hujan‟, dan panyineb „penutup‟. Selain tipe kerja atau jenis bantuan yang diharapkan
tidak
tampak perbedaan yang menonjol pada sarana persembahan maupun tuturan. Ditinjau dari tuturan yang dilantunkan pada fase puncak neduh dan nyelang galah, isi permohonan bersifat oposisional. Secara makro teks dikaitkan dengan aspek medan, pelibat dan cara. Fase persiapan dilakukan di rumah ketua pamangku dengan percakapan semuka, sedangkan fase puncak dan penutup dilaksanakan secara monolog. Pelibat yang terlibat langsung adalah ketua pamangku dan ketua adat. Secara fungsional, ada bagian teks yang berfungsi sebagai bagian pembukaan, isi, dan penutup. Tahapan pada fase persiapan dihubungkan dengan ungkapan transisional tanpa sisipan humor. Hal itu mengindikasikan bahwa masyarakat
318
transmigran lebih memilih pola berbicara yang menukik pada pokok permasalahan. Struktur unsur yang ada pada bagian pembukaan adalah salam, dan tegur sapa, sedangkan struktur isi mengandung inti atau pokok peristiwa, seperti pengenalan masalah, pembahasan, tanggapan, persetujuan dan simpulan. Struktur penutup mengandung ucapan terima kasih dan perpisahan. Bagian pembukaan fase puncak dan penutup terdiri atas fungsi purifikasi, mohon pengampunan, dan pujian. Bagian isi mengandung ungkapan permohonan, alasan, figur yang diharapkan dapat membantu, persembahan, dan ditutup dengan permohonan pengabulan dan ungkapan terima kasih. (2)
Teks panggil dan tolak hujan (TNNGB) memiliki komposisi Modus-Residu yang lebih sederhana dibandingkan komposisi Modus-Residu Bahasa Inggris. Hal itu terjadi karena klausa Bahasa Bali tidak mengenal Finit dan Kopula sehingga tidak dimungkinkan adanya fusi komponen Modus pada unsur Residu. Setiap unsur bersifat mandiri yang tidak menjangkau unsur lainnya. Modus terdiri atas Subjek, polaritas, dan modalitas. Komponen Residu mencakup Predikator, Komplemen, dan Adjung. Ditinjau dari tipe komoditas yang dipertukarkan, TNNGB lebih banyak mempertukarkan barang dan layanan dibandingkan pertukaran informasi. TNNGB lebih didominasi
oleh
Proposal
dibandingkan
Proposisi.
Artinya,
teks
memerlukan berbagai tindakan nyata para pelibat. Percakapan cenderung tidak mengharapkan jawaban uraian, melainkan jawaban nonverbal berupa tindakan fisik. Kategori Proposisi dan Proposal yang berkaitan erat dengan
319
komoditas pertukaran dan respons itu jarang mendapat sisipan modalitas. Dari sudut pandang pembicara, minimnya modalitas menunjukkan bahwa pesan yang dipertukarkan adalah benar dan mendapat respon positif. Dari sisi pendengar, minimnya modalitas dapat dilihat sebagai bentuk kepatuhan anggota terhadap pemimpin. Petunjuk yang diterima diyakini sangat tepat, dan harus dipatuhi. Dominasi Proposal menunjukkan bahwa perubahan tingkah laku menjadi orientasi utama dibandingkan perubahan sikap. Ditinjau dari modus percakapan, pemakaian modus yang paling produktif adalah modus deklaratif, baik dalam fungsi tipikal ataupun nontipikal. Makna memerintah sebagian besar dinyatakan secara halus dalam modus deklaratif termodulasi, sebagai bentuk
pertimbangan konteks dan
merealisasikan aspek kepatutan. Dengan cara itu, pendengar tidak merasa direndahkan, tetapi merasa berkewajiban dan dipersilakan melakukan hal tertentu. Gradasi kesopanan itu menempatkan pendengar sebagai partisipan sukarela yang melakukan tindakan tertentu sesuai dengan
kemampuan
yang dimilikinya. Dengan foregrounding semacam itu, pembicara memosisikan diri sebagai penerima bantuan. Di samping modus tipikal, teks juga memformulasikan beberapa klausa nontipikal. Pergeseran modus itu dikaitkan dengan ranah, relasi pelibat, dan kesantunan. Penggunaan modus nontipikal atau modus terrmodulasi dapat mengimplikasikan fungsi komunikasi pada lapis kedua. Struktur diatesis tidak dapat dilepaskan dari bentuk Predikator Bahasa Bali yang dapat berupa verba berprefiks {-} dan tanpa prefiks {-}. Konstruksi dasar klausa tersusun atas Subjek--
320
Predikator
(S--P)
yang
membentuk
struktur
Subjek/Aktor
dan
Komplemen/Medium. Verba tanpa prefiks {-} menghasilkan struktur turunan yang menempatkan Aktor pada posisi non-Subjek. TNNGB memunculkan diatesis Operatif, Reseptif, dan Medial. Diatesis Operatif memiliki Subjek/Agen pada proses aktif atau Subjek/Medium pada bentuk turunan. Proses aktif memiliki struktur kanonis yang dimarkahi prefiks nasal {-} dan dapat menurunkan struktur reversibilitas dengan verba tanpa prefiks {-}. Klausa reversibilitas memiliki struktur Subjek/Medium dan Komplemen/Agen.
Kedua struktur tersebut mengandung makna proses
aktif, tetapi berbeda dalam perlakuan terhadap Agen. Struktur kanonis menempatkan Agen pada posisi preverbal, sedangkan klausa struktur reversibilitas menempatkan pada posverbal. Pada klausa bervalensi dua, klausa reversibilitas memiliki struktur S/Med--P-K/Ag-A. Pada klausa bervalensi tiga dimunculkan struktur S/Med--P-K1/Ag-K2 atau S/Med--PK2/Ag-K1/OBL. Dengan demikian, klausa Operatif
Bahasa Bali dapat
berfokus pada Agen atau non-Agen. Pada proses pasif, diatesis Reseptif dimarkahi dengan {ka-} atau {-a}. Tipe Agen pada klausa yang dimarkahi {a-} cenderung mengacu pada orang ketiga, sedangkan pemarkah {ka-} bersifat lebih terbuka. Dalam pandangan Sistemik, kedua struktur itu dapat dinyatakan sebagai klausa berdiatesis Reseptif. Meskipun secara umum, klausa Reseptif
menghadirkan Agen secara manasuka, tetapi
Agen
inisiator yang bersifat kekuatan alam harus dimunculkan secara tersurat.
321
Pada klausa Titiang kabanda antuk galah „Saya diikat oleh waktu‟, Agen tidak dapat ditanggalkan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa strategi komunikasi etnis Bali tidak semata-mata mementingkan pelaku atau hasil kegiatan, tetapi kedua komponen tersebut dapat memperoleh Dikaitkan dengan tipe proses, diatesis Operatif
penekanan.
dibentuk oleh klausa
proses material, mental, dan verbal, sedangkan klausa proses relasional dan
eksistensional
menyatakan
makna
Medial.
Proses
perilaku
menunjukkan karakter yang berbeda, yakni dapat menyatakan makna Operatif, tetapi tidak memiliki peluang dipasifkan akibat keterbatasan jumlah argumen dan sifat Agen yang tidak dapat mengendalikan tindakan. Penggunaan diatesis Operatif dan Medial mendominasi teks sedangkan Diatesis Reseptif hanya dimunculkan pada tahap persembahan. Dominasi semacam
itu mencerminkan teks
yang mengedepankan tindakan,
keberadaan, dan relasi antaentitas. Dengan kata lain, keberhasilan teks membutuhkan berbagai tindakan nyata, eksistensi benda-benda, dan relasi antarentitas yang terjalin dengan harmonis. (3)
Analisis transitivitas yang merupakan penjabaran dunia pengalaman berkaitan dengan tipe proses, partisipan dan keterangan tentang proses. Proses pokok yang mencakup proses aktivitas, kesadaran, dan hubungan dijabarkan menjadi enam proses yang lebih spesifik. Berpedoman pada tipe proses yang dimunculkan, TNNGB didominasi oleh proses material yang mengindikasikan bahwa teks membutuhkan berbagai persiapan dan tindakan dari pelibat. Dominasi kedua diduduki oleh proses wujud atau
322
eksistensional yang mengindikasikan keterkaitan
berbagai benda dan
simbol terhadap teks. Tiga proses lainnya yakni proses relasional, verbal dan mental dimunculkan dalam frekuensi yang kecil. Artinya, proses relasional, verbal dan mental tidak berfungsi secara signifikan di dalam teks. Sementara itu, proses perilaku tidak dimunculkan sama sekali. Distribusi proses semacam itu mengindikasikan teks bernuansa formal sehingga perkataan, perilaku, dan pengindraan yang tidak berhubungan langsung dengan teks tidak boleh dimunculkan. Sebaliknya,
teks
memunculkan tipe proses verbal unik yang direalisasikan dengan leksikon nauhin, nanginin, dan ngarahin „memberitahukan‟. Proses verbal itu dapat dinyatakan sebagai proses dua dimensi yang menjangkau proses berkatakata dan proses material.
Perkataan tidak saja bersifat pemberitahuan,
tetapi menuntut Target untuk merealisasikan pesan dalam bentuk tindakan nyata. Sanksi dapat dijatuhi kepada pelibat yang mengabaikannya. Dengan kemunculan tipe proses dua dimensi itu dapat dipahami bahwa TNNGB merupakan teks yang membutuhkan partisipasi nyata pelibat semua strata sosial dalam kerangka kordinasi. (4)
Kajian
struktur
tematis
meneropong
komponen-komponen
yang
ditonjolkan. Penempatan komponen tertentu di awal klausa mencerminkan kehendak pembicara menonjolkan Tema. Selanjutnya, Tema dapat dikembangkan dengan tiga pola, masing-masing re-iterasi, zigzag, majemuk. Pengembangan secara re-iterasi berupa penguatan Tema yang berulang kali dimunculkan untuk pendalaman.
Pengembangan secara
323
zigzag memungkinkan setiap elemen mendapat pengembangan yang seimbang, sementara pola majemuk menitikberatkan pada elaborasi faktor pendukung Tema. Ditinjau dari jumlah Tema yang ditonjolkan dikenal Tema Tunggal dan Tema Majemuk. Tema Tunggal terbentuk atas Tema Topikal, yakni representasi makna eksperiensial, seperti fungsi Aktor, Tujuan, dan Sirkumtansi. Tema Majemuk dibentuk dengan munculnya tema antarpelibat dan
tema tekstual di samping Tema Topikal. Secara
distribusional, bagian besar klausa TNNGB merupakan klausa dengan Tema Majemuk dengan susunan tema tekstual^ antarpelibat^eksperiensial. Tema antarpelibat biasanya direalisasikan dalam bentuk vokatif, sedangkan tema tekstual dapat berupa Adjung kontinuitas atau konjungtif. Dengan demikian, struktur Tema Majemuk tergolong konstruksi bermarkah dalam konfigurasi metafungsi. Ditinjau dari potensi argumen non-Subjek menduduki Tema, tampak Adjung memiliki potensi yang lebih besar daripada
Komplemen. Potensi itu mencerminkan
keketatan relasi
Predikator terhadap Komplemen dibandingkan Adjung. Penempatan Komplemen sebagai Tema membutuhkan dukungan aspek suprasegmental. Pengedepan Komplemen/Tujuan dan Adjung/Sirkumtansi
pada struktur
bermarkah mengindikasikan bahwa budaya berbahasa etnis Bali dapat menonjolkan berbagai komponen. Ditinjau dari organisasi teks TNNGB dibangun melalui sistem referensi endoforis dan eksoforis. Secara endoforis tampak dominasi acuan anaforis dibandingkan kataforis.
Artinya, ada
kebiasaan masyarakat untuk menambah informasi berdasarkan butir
324
informasi yang telah dibagi di antara pelibat. Ditinjau dari jarak referen dan anteseden, referensi anaforis memiliki kemampuan mengacu yang kuat menjangkau anteseden pada beberapa klausa di atasnya yang berupa kelompok kata atau kelompok klausa. Sebaliknya, referensi kataforik menjangkau anteseden yang mendampinginya dalam klausa yang sama. Pilihan referensi kataforik dapat dilihat sebagai upaya menyiapkan pendengar atau pembaca untuk menerima informasi rinci sebagai salinan informasi besar sebelumnya. Dengan demikian, hubungan referen dengan anteseden bersifat saling menggantikan. Secara eksoforis, TNNGB berkaitan erat dengan ajaran “persaudaraan” dan konsep dualistik. Kedua teks itu dapat dilihat sebagai teks sumber yang menjelaskan seluk-beluk pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan dalam mempelajari teks. Hubungan eksoforis itu menegaskan bahwa TNNGB tergolong teks yang melibatkan kerjasama dengan makhluk tidak kasatmata. Akan tetapi, setiap figur tidak kasatmata itu hanya dapat membantu keberhasilan permohonan bila diperkenankan Tuhan. Dengan demikian, kurang tepat bila TNNGB dikategorikan sebagai aktivitas sihir mengingat keberhasilan permohonan sepenuhnya merupakan perkenan Tuhan dan diabdikan untuk pemeliharaan hidup.
12.2 Saran Penelitian ini dilakukan secara maksimal untuk mengungkapkan selukbeluk TNNGB. Meskipun demikian, penelitian ini masih membutuhkan
325
penelitian lanjutan untuk menjadikannya lebih sempurna. Misalnya, penelitian di daerah tadah hujan versi etnis Samawa, disandingkan dengan teks serupa di Bali, atau daerah transmigran lainnya. Peneliti berikutnya dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai pijakan dan selanjutnya dapat melakukan pengembangan sesuai bidang dan komunitas yang diteliti. Perlu disadari bahwa masyarakat pemukiman transmigran merupakan masyarakat plural dan kaya perbedaan pandangan. Kondisi demikian berpotensi menjadi daerah rawan konflik dengan mengoposisikan kelompok asli dengan kelompok pendatang. Oleh karena itu, peneliti yang mengambil objek komunitas transmigran sebaiknya menyadari dan mempelajari situasi setempat dan selanjutnya turut ambil bagian dalam mengedukasi masyarakat akan makna kebhinekaan. Secara teoretis, belum ditemukan kelemahan teori Sistemik dalam mengungkapkan seluk-beluk struktur TNNGB. Setiap butir permasalahan skematik dan gramatikal tidak menyisakan permasalahan baru. Oleh sebab itu, direkomendasikan pengaplikasian teori Sistemik untuk mengaji struktur teks bahasa daerah lintas etnis tanah air.
DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, Ch. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa Arfinal. 2004. ”Sistem Transitivitas pada Teks Pasambahan Kematian di Kota Padang”. Dalam Linguistika Vol.11. Denpasar: Program Studi Magister dan Doktor Universitas Udayana. Arnita, G. dkk. 2001. Kajian Alih Aksara dan Alih Bahasa Lontar Panugrahan Dalem. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali Artawa, K. 1998. ”Ergativity and Balinese Syntax”. Dalam Dardjowijoyo, S., dkk., ed. Nusa: Linguistics Studies of Indonesian and Other Languages in Indonesia. Volume 12. Austin, J. 1976. How to do Things with Words. Bristol: J.W. Arrow Smith Ltd. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa. 2011. Kabupaten Sumbawa dalam Angka 2010. Sumbawa Besar: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2012. Prakiraan Cuaca Indonesia. http://www.bmkg.go.id. Diunduh 12 Desember 2012. Badra, G. 2009. Bibliografi Budaya Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali. Badra, G. 2001. Alih Aksara Lontar 2001 Pragolan/Panerang. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali. Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta. Beratha, S. 2002. ”Evolusi Afiks Verba Bahasa Bali”. Dalam Bawa, W. dan Pastika, W., peny. Austronesia: Bahasa, Budaya dan Sastra. Denpasar: CV. Bali Media. Direktorat Bina Rencana Pemanfaatan Hutan Produksi. 2011. Potensi Sumber Daya Hutan Produksi Nusa Tenggara Barat. http: //www.litbang.deptan.go.id. Diunduh tanggal 11 Mei 2011. Bonvillain, N. 2003. Language, Culture and Communication: The Meaning of Messages. New Jersey: Pearson Education Inc. Bungin, B. 2008. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 326
327
Bungin, B. 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana. Coulthard, M. 1985. An Introduction to Discourse Analysis. Longman Group Ltd. Coupland, N. dan Jaworski, A. 1997. Sociolinguistics: A Reader and Coursebook. London: Macmilland Press Ltd. Dhanawaty, M. 2002. “Variasi Dialektal Bahasa Bali di Daerah Transmigran Lampung Tengah” (disertasi). Jogjakarta: Universitas Gajah Mada. Dijk, T. 1985. ”Introduction: Level and Dimensions of Discourse Analysis”. Dalam Dijk, T., ed. Dimensions of Discourse. Volume 2. Amsterdam: Academic Press. Dijk, T. 1985. “Semantic Discourse Analysis”. Dalam Dijk, T, ed. Dimensions of Discourse. Volume 2. Amsterdam: Academic Press. Donald, M. 1998. “Clause and Verbal Group System in Chinese: A Text Based Functional Grammar” (tesis). Dalam ASFLA (Australian Systemic Functional Linguistics Association). Sydney: Macquarie University. Djijosuroto, K. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Eggins, S. 1994. An Introduction to Systemic Functional Linguistics. London: Pinter Publisher Ltd. Eggins, S dan Slade, D. 1997. Analyzing Casual Conversation. London: Equinox Publishing Ltd. Fairclough, N. 1989. Language and Power. Longman Group UK Limited. Fairclough, N. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. New York: Longman Publishing. Gara, W. 2006. “Wacana Sumodana Usaba Sembah pada Masyarakat Tenganan Pegringsingan” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Givon, T. 1979. “Syntax and Semantics”. Dalam Givon, T., ed. Discourse and Syntax. Vol.12. Colorado: Academic Press. Halliday, M.A.K. 1985. Language as Social Semiotic. London: Edward Arnold. Halliday, M.A.K. dan Matthiessen. 1985. Grammar. London : Edward Arnold.
An Introduction to Functional
328
Halliday, M.A.K. 1973. Exploration in the Functions of Language. London: Edward Arnold. Halliday, M.A.K dan Hasan. 1985. Language, Context and Text: Aspects of Language in a Social-Semiotic Perspective. Victoria: Deakin University Press. Halliday, M.A.K. dan Hasan. 1975. Cohesion in English. Sydney: Longman. Halliday, M.A.K. 2004. An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold. Hasan dan Jonathan. 2005. Language, Society and Consciousness. London: Equinox Publishing Ltd. Hodge, R. dan Kress. 1988. Social Semiotics. Oxford: Polity Press. Hooykaas, J. 1961. Ritual Purification of a Balinese Temple. Amsterdam: N.V. Noord Hollandsche Uitgevers Maatschsppij. Hooykaas, J. 1980. Drawings of Balinese Sorcery. Leiden: E. J. Brill. Hopper, P. 1979. “Aspect and Foregrounding in Discourse”. Dalam Givon, T., ed. Syntax and Semantics. Volume 12. Los Angeles: Academic Press. Hornby, A.S. 1978. Oxford Student‟s Dictionary of Current English. Oxford: Oxford University Press. Indra, I.B. 2001. Kanda Mpat Dewa. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali. Jamarani, M. 2009. “A Study of Language and Cultures in Contact among Iranian Female Immigrants in Australia” (disertasi). Brisbane: University of Queensland SLCCS. Kantor Berita Antara. 2010. Teknologi Modifikasi Cuaca. http: //www. antaranews.co. Diunduh tanggal 11 Mei 2011. Kantor Berita Bali Post. 2010. Pawang Hujan Kawal Pelantikan Bupati Made Gianyar. http: //www.balipost.co.id. Diunduh tanggal 11 Mei 2011. Kantor Berita Sumbawa. 2008. Lombok antara Batur Bali dan Semeton Sasak. http: //www.sumbawanews.com. Dunduh tanggal 11 Mei 2011. Kantor Berita Kompas. 2010. Pawang Hujan untuk Membubarkan Demonstran. http: //www.kompas.com. Diunduh tanggal 11 Mei 2011.
329
Kardji, W. 1999. Ilmu Hitam dari Bali. Denpasar: CV Bali Media. Kearns, J. 1984. Using Language: The Structure of Speech Acts. Albany: State University of New York Press. Kovecses, Z. 2006. Language, Mind and Culture, New York: Oxford University Press, Inc. Kress, G. 1985. Ideological Structure in Discourse. Dalam Dijk, T,. ed. Dimension of Discourse. Volume 2. Amsterdam: Academic Press. Larson, M. 2010. Meaning-Based Translation. New York: University Press of America Inc. Levinson, S. 1987. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press. Luardini, M. 2007. “Wacana Air dalam Legenda Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Linguistik Universitas Udayana. Lucy, N. 1995. Social Semiotics: Course Study Guide and Reader, Perth; Murdoch University. Malini, L. 2011. “Dinamika Bahasa Bali di Daerah Transmigran di Provinsi Lampung” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Linguistik Universitas Udayana. Mbete, A. 1990. Rekonstruksi ProtoBahasa Bali-Sasak-Sumbawa. Dalam Linguistika. Denpasar: Program Studi Magister (S2) dan Doktor (S3) Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Mertha, P. 1997. Kanda Pat Rajapeni. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali Moreno, A. 2003. “The Role of Cohesion Devices as Textual Constraints on Relevance: A Discourse as Process View”. Dalam Scheu, Dagmar dan Lopez Maestre, ed. Journal of English Studies: Discourse Analysis Today. Spain: University of Murcia Vol. 3. Mulyawan, W. 2010. “Struktur Wacana Iklan Media Cetak: Kajian Struktur Van Dijk” Dalam Linguistika Vol. 17. Denpasar: Program Studi Magister (S2) dan Doktor (S3) Universitas Udayana. Netra, M. 2011. “Wacana Ritual Melong Pare Bulu Komunitas Petani Adat Bayan, Lombok Utara: Kajian Etnopragmatik” (disertasi). Denpasar: Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana.
330
Oktavianus. 2005. “Kias dalam Bahasa Minangkabau” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Padmadewi, N. 2005. ”Tuturan Masyarakat Buleleng dan Konstruksi Gender”. (disertasi). Denpasar: Program Studi Linguistik Pascasarjana Universitas Udayana. Palmer, G. 1996. Toward a Theory of Cultural Linguistics. Austin: University of Texas Press. Pastika, W. 1999. “Voice Selection in Balinese Narrative Discourse” (tesis Ph.D). Canberra: The National Australian University. Pastika, W. 2002. “Kesinambungan Topik pada Diatesis Bahasa-Bahasa Austronesia: Bali, Pilipina, Sulawesi, dan Indonesia”. Dalam Bawa, W. dan Pastika, W., peny. Austronesia: Bahasa, Budaya dan Sastra. Denpasar: CV Bali Media. Pekandelan, M. dan Yendra. 2007. Kanda Empat Sari: Sakti Tanpa Guru. Surabaya: Paramita Putra, I.B. 2010 ”Dharmayatra dalam Teks Dwijendra Tattwa: Analisis Resepsi” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Purwa, M. 1996. ”Telaah Kohesi Gramatikal dalam Wacana Bahasa Jurnalistik”. Dalam Aksara: Jurnal Bahasa dan Sastra. Denpasar: Balai Penelitian Bahasa. Rasna, W. 2010. ”Teks Aji Blegodawa: Sebuah Kajian Linguistik Sistemik Fungsional” (disertasi). Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ruddyanto, C. dkk. 2008. Kamus Bali Indonesia, Edisi ke-2. Jogjakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Satyawati, M. 2009. ”Valensi dan Relasi Sintaktik Bahasa Bima”. (disertasi). Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Setiawan, N. 1994. Satu Abad Transmigrasi di Indonesia: Perjalanan dan Pelaksanaan 1905-2005. Bandung: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Padjajaran. Schiffrin, D. 1994. Approaches to Discourse. Oxford: Blackwell Publishers Setia, E. 2008. ”Klausa Kompleks dan Realisasi Pengalaman dalam Teks Peradilan (Kasus Bom Bali I): Sebuah Analisis Linguistik Fungsional
331
Sistemik” (disertasi). Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Simpen, W. 2007. Kesantunan Berbahasa pada Penutur Bahasa Kambera di Sumba Timur. Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Sidemen, I.B. dkk. 2000. Kusumanjali: Persembahan kepada Dang Hyang Nirartha. Denpasar: Yayasan Darmopadesa. Subandia, M. 1993. Dasakanda. Denpasar: Kantor Pusat Dokumentasi Budaya Bali. Sudiarga, M. 1996. Krakahsari/ Kanda Mpatsari. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sugono, D., dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Suharno, I. 1982. ”Linguistik Kultural: Peranan Manusia dalam Telaah Bahasa”. Dalam Indonesian Journal of Cultural Studies. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Jogjakarta: Duta Wacana University Press. Sulaga, N. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali. Denpasar: Balai Penelitian Bahasa. Sunaryo, A. 2010. ”Penggunaan Tenaga Prana untuk Menolak Hujan” http://www.pranaindonesia.wordpress.com. Diunduh tanggal 11 Mei 2011. Sutama, P. 2010. “Teks Ritual Pawiwahan Masyarakat Adat Bali: Analisis Linguistik Sistemik Fungsional” (disertasi). Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Surpha, W. 1985. Kusuma Dewa. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Pusat. Sutjaja, I. G. M. 1988. Semantic Interpretation of the Nominal Group in Structure in Bahasa Indonesia (disertasi). Sydney: Department of Lingusitics University of Sydney.
332
Sutjaja, I G. M. 2005. Teks dan Rekayasa Teks. Dalam Linguistika Vol. 12. Denpasar: Program Studi Magister dan Doktor Linguistik Universitas Udayana. Suyadnya, I. G. N. 2006. Aywa Wera dan Pemahamannya. Denpasar: Paramita Tannen, D. 1994. Gender and Discourse, New York: Oxford University Usman, F. 2007. “Tawa dalam Pengobatan Tradisional Minangkabau: Sebuah Kajian Linguistik Antropologi”. (disertasi). Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Vallin, R. 2005. Exploring The Syntax-Semantics Interface. Cambridge: Cambridge University Press. Warna, W., dkk. 1988. Kamus Kawi - Bali. Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Bali. Warna, W., dkk. 1993 Kamus Bali - Indonesia. Denpasar: Dinas Pengajaran Daerah Tingkat I Bali. Windia, K. 1972. Kanda Empat. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali Wolf dan Liebert. 2001. ”The Sociohistorical Dynamics of Language and Cognition”. Dalam Fill, A. dan Muhlhaulsler, ed. The Ecolonguistics Reader. London: Creative Print and Design.
LAMPIRAN 1. Peta Lokasi Penelitian
(Sumber: Sumbawa dalam Angka 2010 (2010: xix, xxi))
333
334
2. Lambang dan Motto Daerah Penelitian
.
Motto Daerah Kabupaten Sumbawa "SABALONG SAMALEWA" Artinya: Membangun secara seimbang dan serasi antara pembangunan fisik material dengan pembangunan mental spiritual, antara pembangunan dunia dan akhirat
(Sumber: Sumbawa dalam Angka 2010 (2010: ix))
335
3. Daftar Informan 1. Nama Umur Pekerjaan Alamat Jabatan
Keterangan
: : : : :
I Nyoman Dastra 47 tahun Petani Br Kembang Sari Sepayung Pamangku Pura Dalem Sepayung Ketua Paguyuban Pamangku Sepayung Ketua PHDI Kecamatan Plampang : Informan Kunci
2. Nama Umur Pekerjaan Alamat Jabatan
: : : : :
I Made Suarya Dala, SH 50 tahun PNS pada Dinas Kehutanan Kota Sumbawa Ketua PHDI Kabupaten Sumbawa
3. Nama Umur Pekerjaan Alamat Jabatan
: : : : :
I Wayan Gampil 55 tahun Petani Br. Kembang Sari Sepayung Ketua Adat Sepayung
4. Nama Umur Pekerjaan Alamat Jabatan
: : : : :
I Made Madu 65 tahun Petani Dusun Wanagiri Utan Ketua pamangku Sebedo, Utan
5. Nama Umur Pekerjaan Alamat Jabatan
: : : : :
I Made Sutantra 65 tahun Petani Sukamaju Lunyuk Ketua PHDI Kecamatan Lunyuk
6. Nama Umur Pekerjaan Alamat Jabatan
: : : : :
I Made Suweca 46 tahun Petani Sukamaju Lunyuk Bendesa Sukamaju
7. Nama Umur Pekerjaan Alamat Jabatan
: : : : :
I Ketut Ribu 50 tahun Petani Sukamaju Lunyuk Ketua Paguyuban Pamangku Lunyuk
336
4. Teks Neduh (Kode A1) 1. Marembug ‘Diskusi‟ Tempat : Rumah Pamangku Dalem Pelibat : Ketua adat : I Nyoman Gampil Pamangku Dalem / Ketua payububan pamangku : I Nyoman Dastra Cara : Percakapan semuka Bahasa Bali halus Ketua adat Ketua pamangku
Ketua adat
Ketua pamangku
Ketua adat
Om Swastiastu , jero mangku „Salam, jero mangku‟ Nggih, Om Swastiastu. Yeh, nggih jero klian. Punapi gatra niki jero? Jeg sadah seken niki sesaputanné . Ngiring malinggih dumun. ‟Ya, salam. Oh, ya jero klian. Bagaimana kabar ini jero? Pakaian anda rapi tampaknya. Mari duduk dulu‟. Nggih… Puniki jero mangku. Gatra kewentenan indik pertaniané driki niki mangkin, tetandurane niki kirangan toya. Niki sané tunasang ring jero mangku, sapunapi antuk. Santukan guminé panes kanti tanduran kramané sami layu, nika mawinan tiang ngerauhin jero mangku. Punapi minab wénten galah jagi neduh sapunapi? „Ya, begini jero mangku. Kabar keberadaan pertanian di sini saat ini, tanaman kekurangan air. Ini yang saya tanyakan pada anda, bagaimana caranya. Oleh karena bumi panas hingga tumbuhan warga menjad layu, itu sebabnya saya mendatangi anda. Bagaimana apa mungkin ada waktu untuk mohon hujan? Oh kenten. Nggih. Nanging sapuniki dumun pang ten nyen kadi titiang mengambil sebuah keputusan ngeraga, nah manawi wenten semeton tityang makadi mangku druene taler, makadi jero mangku Puseh, Desa, Prajapati mangda ada ajak titiang magendu wirasa nginggihang inggian pedinaan, pang ten tityang misangmisang raga, ten enak nika, becik dauhing mangku duéné dumun. Saja panes nak yakni sampun kelintang niki. „Oh begitu. Ya. Tetapi begini dulu. Agar saya tidak mengambil keputusan sendiri, karena masih ada saudara saya seperti mangku Puseh, Desa dan Prajapati, agar ada yang saya ajak untuk berdiskusi membicarakan hari baik. Supaya saya tidak seenaknya saja, sebaiknya undang mangku lainnya dulu. Benar panas sudah melebihi ini‟. Inggih, nawegang dumun jero mangku. Tyang jagi
337
Ketua pamangku
nauhin jero mangku sane tiosan. Dina benjang tyang meriki malih ngiring ragane. Nggih, yen kenten, tyang nunas mepamit dumun jagi nauhin mangku sane lianan. „Ya, saya permisi dahulu jero mangku. Saya akan mengundang mangku lainnya. Besok saya datang lagi menyertai beliau. Ya, kalau begitu saya mohon diri dulu untuk mengundang mangku lainnya‟. Nggih, nggih margi „ya, ya silakan‟
Ketua adat
Tyang nunas mepamit jero mangku „Saya mohon diri, jero mangku‟
Ketua pamangku
Nggih, durus durus „Ya, silakan‟
2. Sangkep Pengurus „Rapat pengurus‟ Tempat: Rumah Pamangku Dalem Pelibat : Pengurus adat dan Paguyuban pamangku Cara : Percakapan semuka Bahasa Bali halus Ketua adat Ketua pamangku
Ketua adat
Ketua pamangku Bu Mangku
Bersama Ketua adat
Om Swastiastu „salam‟ Om Swastiastu. Yeh jero klian malih. Napi wenten malih niki? „Salam. Oh, jero klian lagi. Ada apa ini? Niki tiyang sampun nauhin jero mangku Kahyangan Tiga druene. Ngiring ngiring „Ini saya sudah mengajak jero mangku Kahyangan Tiga. Mari silahkan‟ Swastiastu jero mangku. Yeh pak pengurus taler rauh „Salam, jero mangku. Oh, pak pengurus juga datang‟ Ngiring ngiring malinggih driki. Mangku, Pak Klian Adat,Made lan Nengah ngajeng dumun. „Mari masuk, duduk di sini. Mangku, pak klian adat, Made dan Nengah mari makan dulu‟. Nggih, tyang sampun. „Ya, saya sudah‟ Nggih, niki malih tiyang rauh jero mangku ngelanturang bawose dibi niki. Indik mbigbagang keadaan desane niki kepanesan punapi antuk? Sampun rauh mangkin mangku Puseh, Desa lan Prajapati. Taler pengurus duéné sampun nyarengin. Mangkin tyang nunasang ring jero mangku malih pidan kadi dados? „Ya, ini saya datang lagi melanjutkan pembicaraan kemarin. Tentang keadaan desa kita yang kepanasan,
338
Ketua pamangku
Ketua pamangku
Anak Bu mangku Ketua pamangku Ketua pamangku
Mangku Puseh
bagaimana caranya. Sudah datang mangku Puseh, Desa dan Prajapati. Juga para pengurus adat menyertai. Sekarang saya bertanya pada jero mangku kapan ada waktu? Oh kenten. Nggih, puniki jero mangku sami taler jero pengurus, wenten pasadok jero adat kaping tityang wawu indik kemaro panjang niki. Dadosne tityang nunas mangda jerone rauh sami apang ada ajak tityang magendu wirasa. Yen becik iring ambil, yen kaon mangda wenten sane ngingetin. Kenten tujuanne. Indik galah, tityang nyingakin dedinaan dumun. „Oh begitu. Begini, jero mangku sekalian juga jero pengurus, ada penyampaian jero adat kepada saya tentang kemarau panjang ini. Jadi saya minta agar anda datang semua untuk saya ajak berdiskusi. Bila baik, mari kita ambil, bila keliru supaya ada yang mengingatkan. Begitu tujuannnya. Tentang waktu, saya melihat kalender dahulu‟ Dek, maiang kone tanggalane! Yeh, kacan bapake bin besik! „Dek, bawa kemari kalender itu. Oh ya, kacamata bapak juga‟ Ne pak „ini pak‟ (menyodorkan kalender dan kacamata) Niki wedange dumun. Jajane kanggiang kering „Ini kopinya diminum dulu. Maaf, kuenya kering‟ Durus durus pang ten nyem kopine jero „Silakan, agar kopinya tidak dingin‟. (setelah memeriksa kalender). Nggih, yen kenten niki jero klian. Pang ten kadat, tyang je masih niki medue tanduran sampun layu, napi malih semeton duéné. Nggih yen presida antuk niki jero klian, niki tanggal patlikur niki, Sukra pon niki sane marginin. Yen presida antuk ngaryanin sajen niki. Yeh malah nyen tyang manten, mangku sane tiosan sapunapi yen ngemargiang ring tanggal dua empat niki? „Ya, kalau begitu, supaya tidak terlambat, saya juga punya tanaman sudah layu, apalagi warga kita. Baik, bila memungkinkan tanggal 24 ini, Jumat pon ini kita laksanakan. Persiapan. Bila persiapan banten dapat diselesaikan. Oh ya, malah saya sendiri, mangku lainnya bagaimana bila dilaksanakan tanggal 24 ini ?‟ Nggih, nika margiang sampun cocok. Minabang mangku siosan taler kenten. „Ya, itu sudah cocok untuk dilaksanakan. Saya kira pamangku lain begitu juga‟
339
Mangku Prajapati Kadi mangku sane tiosan, tyang setuju nika. Pang gelis ada ujan, pedalem tandurane. „Seperti mangku lainnya, saya setuju itu. Supaya segera ada hujan, kasihan tanaman kita‟ Ketua pamangku Nggih, sareng sami setuju indik pedinan niki? „Ya, sudah semuanya setuju tentang waktu ini?‟ Mangku Desa Tyang patuh kadi mangku duéné, setuju ngemargiang peneduhan pang gelis wenten sabeh, merta. „Saya setuju seperti mangku lainnya, setuju melaksanakan peneduhan agar segera ada hujan berkah‟ Ketua pamangku Nggih.. yen sampun kenten berarti sampun didukung oleh segenap mangku sami. Kenten kocap jero klian tanggal patlikur puniki dina sukra pon nggih. „Ya, kalau sudah begitu berarti sudah didukung oleh segenap pamangku. Begitulah jero klian, tanggal 24 ini hari Jumat pon ini‟. Ketua adat Nggih, mangkin tiyang jagi nakenin serati due napi mresidayang ngaryanin banten niki. „Baik, sekarang saya menanyakan kesiapan tukang sajen‟ Ketua pamangku Niki, galah becik wenten bin petang rahina. Nuju, tanggal patlikure niki. Punapi bes joh paek? Kentenang biyang mangku dumun indik ngaryaning upakara sareng seratine. „Ini ada hari baik empat hari lagi. Tepatnya tanggal 24 ini. Bagaimana tentang jauh dekatnya? Katakan demikian pada bu mangku dulu untuk membuat sarana upakara‟. Ketua adat Nggih „ya‟ Ketua pamangku De, mai malu „De, kemarilah‟ (memanggil istrinya) Bu mangku Napi wenten? „ada apa?‟ Ketua adat Kenten, biyang jagi mekarya upakara peneduhan kadi sane sampun-sampun malih petang rahina niki. Mresidayang niki indik galah? „Begini. Anda diminta membuat sajen mohon hujan seperti yang sudah sudah lagi empat hari‟. Bisakah anda menyiapkan sajen dalam waktu tersebut?‟ Bu mangku Upakarane kadi ne sampun memargi gen niki? „Sarananya seperti yang sudah berjalan saja?‟ Ketua pamangku Nah, ten je bes makeh san. Anu gaenang pajatian nemnem cukup. „Ya, tidak banyak. Buatkan enam pajatian saja cukup‟ Bu mangku Kadi biasa nika, pajatiang ring pura Puseh, Desa, Dalem, Mrajapati lan Ring Pesiraman. „Seperti biasa. Pejati di pura Puseh, Desa, Dalem, Mrajapati dan di
340
Ketua pamangku Bu mangku Ketua pamangku
Ketua adat Ketua pamangku
pura Taman‟ Bin besik anggen upasaksi, biyang „Satu lagi untuk upasaksi, bu‟. Nggih, nyidang minab serati duéné ngarap nika. „Ya, saya pikir tukang banten bisa menggarapnya‟. Kenten sampun jero klian lan mangku sami, kadi iraga ngemargiang paneduhan, nunas sabeh sinah iraga mapiuning ring Kahyangan Tiga dumun, mangda Ida mapica waranugraha. Ida maring Pura Puseh, Desa kelawan Dalem taler Prajapati. Inggihan saji sane jagi katur, ring Pura Dalem karyanang tigang pajatian. Yen ring Puseh Desa taler ring gedong Dewi Danu. Dadosne nem pajatian tegepin antuk canang-canang sane tiosan. Ring Pura Taman, ring pesiraman puniki, ring genah iraga mapinunas ngelungsur sabeh puniki janten iraga ngaturang saji mantuk Ida Hyang Wisnu mangda mapica. Taler katur ring sesuhunan mantuk Ida Hyang Dewi Danu karyanang tigang pejati tegepin antuk srana sane siosan. Nggih? „Begitulah jero klian dan mangku semua, seperti biasa kita melaksanakan peneduhan, mohon hujan, tentu kita mempermaklumkan pada Kahyangan Tiga dulu agar beliau memberi anugrah. Beliau yang berstana di pura Puseh, Dalem, Prajapati. Mengenai sajen yang dihaturkan, di pura Dalem buatkan tiga pajatian. Untuk di pura Puseh dan gedong Dewi Danu. Jadi enam pajatian lengkapi dengan canang-canang yang lainnya. Di pura Taman, di permandian, tempat kita mohon hujan tentu kita haturkan sajen untuk DewaWisnu agar beliau berkenan. Juga persembahan untuk Dewi Danu buatkan tiga pejati dilengkapi sarana pelengkapnya. Ya? Nggih „ya‟ Nggih niki nak iraga sampun sering-sering ngemargiang niki ten je perlu ngaturang sedetail mungkin tapi yang jelas serati due sampun pada uning inggihan bebanten sane sampun biasa kemargiang, ten kenten? Serati due nak sube biasa mekarya banten sejumlah nika. Khan iraga saban tahun bahkan sebilang musim tanam iraga ngemargiang peneduhan bisa dua tiga kali. Nah nika tergantung keadaan cuaca. Nah kadi mangkin sampun, ping kuda nika, ping tiga sampun rauh Desember kanti mangkin. Nggih wantah amunika dumun jero klian, atur posisine sareng sami, dauhin kramane sami. „Ya, ini kita sudah sering melaksanakan ini, tidak perlu saya jelaskan secara rinci tapi yang jelas tukang banten
341
Ketua adat
Ketua pamangku Ketua adat
Juru arah
Pengurus adat
Bersama Ketua pamangku Ketua adat Ketua pamangku Ketua pamangku
sudah tahu tentang sarana yang biasa dupakai, yak an? Tukang banten sudah biasa membuat banten sejumlah itu. Kan kita setiap tahun bahkan setiap musim tanam kita melaksanakan ritual mohon hujan beberapa kal. Sudah tiga kali sejak Desember sampai sekarang. Ya, sekian saja dulu jero klian, atur posisi kita semua dan beritahukan warga semua‟ Nggih kenten sampun jero mangku. Mangkin nunas galah jagi ngenikain prajuru ngarah. „Baik, begitulah jero mangku‟. Sekarang saya minta waktu untuk menugaskan petugas untuk meneryskan kesepakatan ini‟ Inggih inggih. Lanturang sampun nika. „Ya, ya. Lanjutkan saja‟ Kene Ngah, ne nak kal neduh bin petang dina. Arahin kramane. Orahin masih juru arahe ane sibak kelod jak tengah. Sing suba jelas to busan. Dauhin kramane kayang sukra pone apang tedun ngaturang bakti ring Pura Taman. Ngaba sarana sembahyang. Be jelas to? „Begini Ngah. Ini akan ada ritual mohon hujan empat hari lagi. Beritahu juga juru arah bagian selatan dan tengah. Sudah jelas tadi, kan? Beritahu warga pada hari Jumat pon agar hadir menghaturkan bhakti di pura Taman. Membawa sarana sembahyang. Sudah jelas itu?‟ Nggih sampun jelas. Bin mani tyang mulai mejalan ngarah. „Ya, sudah jelas. Besok saya mulai memberitahukan warga‟ Nggih. Kenten sampun jero mangku sami, sampun molih tityang niki. Pacuk maka sami pengurus lan jero mangku indik ngmargiang peneduhan. Yen, kenten duaning galah pang ten liwat peteng, niki ngiring puputang dumun. „Ya, begitulah para mangku sekalian, sudah berhasil saya ini. Sepakat semua pengurus dan pamangku untuk menjalankan ritual mohon hujan. Kalau begitu, karena waktu supaya tidak terlalu larut, mari kita tutup dahulu‟ Nggih jero mangku, tiyang nas pamit. „Baik jero mangku, saya mohon diri‟ O kenten? Nggih nggih. „Oh, begitu? Silakan. Pamit jero „Saya mohon diri, jero‟ Nggih, margi. Sukma nyen jero klian. „Ya, ya. Terima kasih pak ketua adat‟ Yeh, bli mangku Desa, nyak seleg suba I Gede megae ? „Yeh! Kakak mangku Desa, rajinkah I Gede bekerja?
342
Mangku Desa
Anu nak magae di bengkel. Lantas ye ditu ngredit tegakan pang ada abana ulah ulih „Dia bekerja di bengkel, sekalian di sana mencicil motor untuk pulang-pergi‟ 3. Mapengarah „Pemberitahuan‟ Tempat : Rumah warga Pelibat : Juru arah (I Nengah Ardika) dan warga Cara : Percakapan semuka Bahasa Bali halus Juru arah Yan, .. Yan Swastiastu „Yan, salam‟ Warga Swastiastu. Engken Ngah? „Salam. Ada apa, Ngah? Juru arah Tiyang ngarah, ne Yan. Ne mapan kramane kal neduh bin puan, tyang ngarahin kramane apang tedun. Dadine Wayan jak makejang pang hadir je. „Saya membertitahu ini, Yan. Ini karena aka nada upacara mohon hujan dua hari lagi, saya memberitahu warga untuk hadir. Jadi Wayan dan keluarga agar hadir‟ Warga Ring bulakan ne? „ Di Bulakan tempatnya? Juru arah Ae, di pura Bulakan, Yan. Yeh ne pang sing engsap, nganggo pakean adat. „Ya, di pura Bulakan, Yan. Ya, supaya saya tidak lupa, pakai pakaian adat‟ Warga Ngaba banten kone? „Membawa sajen kah? Juru arah Indik banten suba kekaryanin jak biyang serati. Dadine ngaba bakti dogen. „Prihal banten sudah dibuat oleh tukang sajen. Jadi membawa sarana sembahyang saja‟ Warga Jam kuda ne? „Jam berapa?‟ Juru arah Yeh saja, ngaturang baktine sawetara jam 2 sore. „Oh ya, hadir sekitar jam 2 sore‟. Warga Nyoreang berarti to. Nah nah „Agak sore. Ya, ya‟ Juru arah Keto gen Yan, tyang dauhne malu sig pak Gedene „Sekian saja, Yan. Saya ke rumah sebelah selatan ke pak Gede dulu‟ Warga Nah, trimakasih, Ngah. Suksma „Nah, terima kasih, Ngah. Terima kasih‟ Juru arah Suksma mewali, pak Wayan. „Terma kasih kembali, pak Wayan‟
343
4. Neduh „Mohon hujan‟ Tempat : Pura Taman Pelibat : Warga Pemimpin : I Nyoman Dastra Cara : Percakapan monolog Bahasa Sansekerta, Jawa Kuna, dan Bali Pembukaan Aum awigenamastu nama siwa sidyam Aum padmasana ya namah suaha. Aum prasada stiti siwa suci nirmala ya namah suaha
Ya, Tuhan semoga tidak ada rintangan. Ya, Tuhan, hamba memujaMu sebagai Siwa. Ya Tuhan, berkatilah tindakan hamba.
Aum Ang Brahma suka ya nama suaha Aum dupa ya namah suaha. Aum Ang dupa dipastra ya namah suaha
Ya, Tuhan sebagai Brahma sumber kebahagiaan Ya Tuhan, hormat hamba kepada dupa, sinar suci kebahagaiaan
Om kara sudamam suaha Om kara hati ya namah suaha
Ya, Tuhan, bersihkanlah hamba dan jadikan lebih bersih
Om ang rah pat astra ya namah suaha Om pakulun Sanghyang Kawisuara, Sanghyang Guru Reke, Sanghyang Saraswati, suksma nugraha.
Ya, Tuhan, hamba memuja-Mu sebagai api yang menyala Ya, Tuhan yang Maha Pencipta, Maha Guru, dang Maha Tahu anugrahilah kami agar tindakan kami terhindar dari cacat, kesalahan, dusta dan kutukan.
Om sasolah salampah tan keneng lara rogo wiguna, danda utpata, tan kapadrawa dening Hyang Mami Om indah ta kita sang buta mangan mantra. Nini buta mantra antara murub Om sang buta kala dengen aturaken sarining ulun ripada Sanghyang Saraswati . Sira tinanggepan dening ingsun Weh akena kesidianku
Ya, Tuhan, hindarkan hamba dari gangguan para buta yang menguasai mantra. Ya, para buta serahkan kepandaianmu pada Sanghyang Saraswati untuk diterimakan kepadaku. Berikan aku kesidianmu.
344
Ong sa ba ta i, Ong na ma si wa ya Ong mang ung mang Ong sa ba ta i, Ong na ma si wa ya Ong ang ung mang Ong ang ung mang siwa sadasiwa, paramasiwa Om sabda bayu idep sudanta wiguna. Ong sidirastu serayusat prayoga ya namah suaha
Ya, Tuhan, hamba memuja-Mu dalam berbagai perwujudan-Mu. Ya, Tuhan, semoga tindakan hamba berhasil dan bermanfaat.
Ong ung rapat astra ya namah suaha Ong atma tatwatma sudamam suaha. Ong ksamam sampurna ya namah suaha Ong sri pasupati ya ong pat. Ong subem narwastu Ong purnam bawantu, Ong sukem bawantu, Ong sriem bawantu, Ong sapta werdi astu, tatastu suaha
Ya, Tuhan hamba memuja-Mu sebagai api yang menyala. Ya Tuhan, sucikanlah hamba.
Ong rang ring sah pramasiwa gangga amerta ya namah suaha Ong sang narmada ya namah suaha Ong sang sindu ya namah suaha Ong sang gangga ya namah suaha Ong sang saraswati ya namah suaha Ong sang erawati ya namah suaha Ong sang nadi sertah ya namah suaha Ong sang nadi suta ya namah suaha Ong sang garbadaya ya namah suaha Ong sang serayusca ya namah suaha
Ya, Tuhan, hamba memuja-Mu sebagai air amerta dari Paramasiwa. Hamba juga memujamu dalam gelar perwujudan sebagai penguasa mata air, pengetahuan, penguasa sungai besar dan kecil.
Ong rah pat astra ya namah suaha Ong Ong Ong Ong angkara suda siwa setah jagatnata hitangkarah abiwada wadumah genta sabda parikasiya
Ya, Tuhan hamba memuja-Mu sebagai api yang menyala. Ya, Tuhan yang Maha Mulia dan Maha Abadi, sumber segala kegembiraan dan kesejahteraan. Ya
Ya, Tuhan, ampunilah hamba Ya, Tuhan, sempurnakanlah tindakan hamba, sehinga tiada kekurangan, tetapi membawa kebahagiaan, kemakmuran dan kemajuan. Semoga.
345
tah Ong genta sabda maha sertah Ongkara parikirtitah candra nada windu nadakem, sapu lingga siwa tatwamca. Ong gentayur pujianta dewa, kabawa bawa kemersu, warada labda sandeah, wara sidi luir senggayum Ong ang ung mang Ong kang kasol kaya suarya ya namah suaha.
Om ksama suamem maha dewa sarwa prani hitangkarah, mamoca sarwa papebyah palayasca sada siwaya Om papaham papakarmaham, papatma papasambawah, trahimam pundari kaksa, sebahya biantara sucih. Om ksanta wiyah kayika dosah Om kesanta wiyah wacika mama, ksantawiyah manasa dosah, tat pramadat ksama swamem Om inak mantra inak padem, inak bakti tatwam ca inak bakti inak wali sada siwa namas stute. Om mantra inam bakti, inam karya inam yatpucitan maha dewa paripurnam tadastu inam.
Tuhan, Engkau raja dunia yang dipuja dalam nyanyian kehormatan, diiringi suara genta yang sangat merdu, mengagungkan nama Tuhan. Ya, Tuhan yang memenuhi alam dan angkasa dengan keindahan dan cahaya, kebenaran. Ya, Tuhan, Engkau adalah suara genta yang ada dalam setiap pekerjaan yang akan dan sudah dilakukan. Engkau pemberi anugerah pada setiap pekerjaan yang akan dilakukan karena suara genta sesungguhnya mengantarkan untuk memperoleh anugerah itu. Ya Tuhan, terimalah hormat hamba pada-Mu. Ya, Tuhan, ampunilah hamba oh Mahadewa yang menganugrahi keselamatan bagi semua. Ya Tuhan, bebaskanlah hamba dari semua papa, dan lindungilah hamba Oh Siwa. Ya, Tuhan, hamba sungguh papa, jiwa hamba papa, kelahiran hamba juga papa, maka ampunilah dosa perbuatan hamba. Ampuni dosa perkataan dan pikiran hamba. Ampunilah hamba dari kelainan dan cacat. Ya, Tuhan, hamba sungguh kurang dalam memahami mantra, kurang dalam hal bakti, dan kurang dalam hal kemajuan dan kebajikan. Hormat hamba pada Siwa. Ya, Tuhan, hamba sungguh kurang dalam mantra dan bakti, bahkan hina dalam kerja. Oleh karenanya, hamba memuja-Mu oh Dewa yang Agung Dewa yang Maha Sempurna.
346
Om apsu dewa pawitrani ganggadewi nama stuta, wiguna klesa winarsanam toyam parisudayate. Om sarwa papa winarsanam sarwa klesa winarsanam sarwa roga winarsanam sarwa boga napuniat Om panca aksara maha mertam pawitra, papanasanam papa koti sahasranam, agadem bawet segarem Om panca aksara prama Brahma pawitra, papanasanam mantra ta pradnyan, nama suka loka werdi subem. Om Gangga Dewi Saraswati sinam wisanam surya muna mahati sertah serayuce maha nadi. Om gangga sindu saraswati surya muna gadawari narmada kuweri mahendra tenaya cerman wati weruhem Om gangga dewi maha punyem, gangga somawa manggalem manggalem siwa keranam siwa kumba mahetanem Om tirta adnyanam maha merta, angga segara mara lataya, nareyana di aglo soropi, kumba tirta maha gangga
Ya, Tuhan sebagai air yang menyucikan, melenyapkan segala segala kotoran. Ya, Tuhan, Engkau bersihkan dan semua macam papa, kotoran, penyakit dari tubuh hamba. Engkau berikan segala yang menyenangkan. Ya, Tuhan, Engkau adalah lima aksara yang meresapi air suci hingga berkhasiat untuk membersihkan dan melenyapkan papa. Ia adalah obat bagaikan lautan bagi ratusan ribu penyakit. Ya, Tuhan sebagai lima aksara suci Brahman yang menyucikan dosa dan merupakan mantra akhir, tertinggi dan memenuhi alam siwa loka. Ya, Tuhan dalam berbagai perwujudan yang memancarkan keindahan, kebesaran, dan kemajuan ilmu pengetahuan. Ya, Tuhan yang berwujud Gangga yang berjasa, memberikan amerta dan berkah. Engkau merupakan bejana Siwa yang paling utama. Ya, Tuhan berkatilah tirta ini menjadi berkah, kebijaksanaan maha amerta. Aliran air Gangga adalah bejana air suci.
347
Om gangga duara prasciwa gangga segara senggama, sarwang gatra durlabata tribista dewayun serawa Om papaham papakarmaham papatma papa sambawa trahimam pundari kaksah sembahya biyantara suci Om gangga dewi nama aksarem ongkare pari kerti titem wigenem, sarwa klese winasanem, rogo dosa moksa sanem. Om ayu bale werdi sakti keranem, mertium jaya sesuwatem, roge diksaya kusta dusta kelusem candra praba baisuarem. Om ring tirtanca catur bujam, trinayana wiala pawitram, sitanca merta madya susangkem karem jiwa diksaya wiyaktangsangkem Om mertiun jaya dewa sia, ya nama nia nurketayat dirgayusa nawa panoti, sang rana dijayem bawet. Om sidirastu tatastu suaha Om ayu werdi yasa werdisca darma sentana werdisca sentuta, sapta werdiyah.
Ya, Tuhan, Engkau bagaikan hulu, aliran dan muara Gangga. Tiga tempat itu menjadikan bumi memperoleh kesempurnaan dan terbebas dari marabahaya. Ya, Tuhan, perbuatana hamba sungguh papa, jiwa hamba papa, kelahiran hamba juga papa, maka lindungilah hamba dari salah dan dengan banten suci ini. Ya, Tuhan, hamba memuja-Mu sebagai Dewi Gangga sebagai pelebur segala rintangan, cemar, penyakit, dan dosa Ya, Tuhan, semoga kekuatan hidup berkembang dan bersinar menghasilkan kemajuan pengetahuan dan kemampuan, menang atas dusta, dan kematian. Oh, Tuhan Siwa yang bertangan empat, bermata tiga, berselempang ular yang meresap ke dalam tirta amerta memelihara kebahagiaan dan kekuatan jiwa yang tak pernah luntur. Ya, Tuhan, kami percaya siapapun yang mengucapkan mantra puja kepada-Mu akan memperoleh kejayaan atas kematian, berumur panjang, dan menang dalam perselisihan. Semoga berhasil.
Om idam basma paran guyan Pawitra papa nasanem sarwa klesa winasanam.
Ya, Tuhan, semoga kebenaran berkembang sepanjang jaman, dalam diri dan tujuh keturunan. Ya, Tuhan, bhasma ini amat rahasia, menyucikan, menghilangkan papa dan segala bentuk cemar.
Om rah pat astra ya namah suaha. Om atma tatwatma sudamam suaha Om ksama sampurna ya namah suaha.
Ya, Tuhan hamba memuja-Mu dalam wujud api yang menyala. Sebagai hakekat atma yang suci maka sucikanlah hamba. Ya, Tuhan, hamba memuja-Mu
348
sebagai penyempurna setiap tindakan. Om sri pasupati ong pat Om sarwa balikem pertiwi brahma wisnu iswara anaking dewa putra sarwada sarwa nastu ya nama suaha
Om perajayeng sarwa doh suda mala suda klesa suda danda suda petaka suda rogah Om bayu putrastu ya namah suaha.
Ya, Tuhan, dalam berbagai perwujudan ampunilah kesalahan dan dosa hamba dan hindarilah hamba dari segala bentuk hukuman tetapi berikanlah hamba kecukupan hidup yang mendamaikan. Ya, Tuhan, hindarkan hamba dari bahaya, petaka, dan hukuman. Berikan hamba kesehatan dan kebahagiaan yang selayaknya.
Om Wisnu Wisnu rahadi triadi Sri Wisnu prajapati kasertah, warahe kalpa pretama kala yuga kala mangsa kala ita.
Ya, Tuhan, Engkau adalah Wisnu yang mengatur perputaran jaman, baik jaman permulaan, pertengahan dan akhir.
Om yuga naksatra nityam wabakten palem bakti kaminaya sarwa pratista karsia subagem astu tatastu suaha.
Ya, Tuhan, pada masa peralihan yang membingungkan, berikan hamba kecerdasan pikiran untuk mengikuti jalan-Mu.
Om ganapati namastute wiguna klesa winasanam sarwa kaya prasidantam nama karya prasidantu.
Ya, Tuhan, dalam perwujudan Ganapati hilangkanlah cemar dan rintangan sehingga setiap usaha dapat berhasil.
Om winayaken ganapati, sarwa wignena klesa winasanam mahe sakti karanam nityam, twam ganapati warapradam, dipata ya namah suaha
Ya, Tuhan, dalam perwujudan Ganapati yang baik. Engkau melemyapkan cemar dan rintangan sehingga setiap pekerjaan membawa hasil yang hebat. Hamba memuja-Mu sebagai pemberi anugerah dan penerangan. Ya, Tuhan, yang menyucikan hingga tahap ketujuh, semoga semua berbahagia.
Om pertama suda, dwitya suda, tritya suda, catur tasuda, panca misuda, sad tisuda, sapta misuda Om subem wariastu tatastu ya namah suaha. Om siwa amerta ya namah suaha. Om sada siwa amerta ya namah suaha. Om prama siwa amerta ya namah
Ya Tuhan, hamba memuja-Mu sebagai Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa dan perwujudan lain. Bersihkanlah hamba dan sucikanlah pikiran,
349
suaha. Om candra amerta ya namah suaha. Om gangga amerta ya namah suaha, Om siwa sudamam suaha, Om sudam suaha, Om suasti sudamam suaha. Ong rang ring sah parama siwa amerta ya namah suaha
perkataan dan perbuatan hamba. Hormat hamba pada Tuhan Yang Maha Pemberi.
Om jnana astra sarining empu wisesa Segau angluaraken tepung tawar amunahaken sebel kandel ya namah suaha
Ya, Tuhan Yang Maha Bijaksana. Sebagai sumber kebenaran Engkau dapat menghapus setiap cemar dan kotor.
Om adityasyaparam joti rakta teja namastute sweta pangkaja madhyasta bhaskara ya namostute
Ya, Tuhan dalam wujud sinar matahari merah di tengah teratai putih. Warnamu menyala hebat. Hamba menghormati dan memujaMu.
Om dewa dewi mahasidi yajnana nirmalatmaka, laksmi sidhisca dirgayuh, nirwigna sukha werdisca Om awignam astu nama sidayam.
Isi Om adi betara Wisnu, adi betara Brahma, adi betara Mahadewa, adi betara Iswara, Adi ngiring kemit ragan beline Beli nunasang jagat mangda sadia rahayu Diastun beli ngelah roban mangda sadia rahayu. Ngiring adi nguningang ring Ida.
Ya, Tuhan dalam perwujudan dewadewi yang maha sidi dan berjnana suci. Berikanlah hamba kebahagian, kesempurnaan dan panjang umur. Semoga terbebas dari rintangan, dan mendapat kebahagiaan dan kemajuan atas anugerah Tuhan. „Ya, Tuhan semoga apa yang hamba kerjakan menemui keberhasilan. Adik batara Wisnu, adik batara Brahma, adik batara Mahadewa, adik batara Iswara. Adik mari jaga raga kakak. Kakak memohonkan kebahagiaan jagat raya. Sekalipun kakak punya saudara semoga mereka bahagia. Mari adik memohonkan kepada beliau‟.
350
Titiang damuh cokor I Dewa titiang bakti, iwang antuk bakti titiang nglungsur sinampura Titiang nglungsur jagate sami mangda aman tentrem, mangda tan wenten kekacauan punapa punapi. Diastun titiang madue roban mangda mangguh kerahajengan. Mangda ledang ida ngicen kesidian Sane mangkin titiang nunas ring ida meraga Hyang Kuasa. Titiang nunas sarining paneduhan pingit. Titiang nunas sabeh merta santukan metetanduran panjak druene kirangan toya. Ih I Ratu Ngurah Tangkeb Langit ngadeg Titiang nunas ujan mangda dados merta. Titiang nyelang pepatih druene. Ngadeg Gusti Wayan Teba, ngadeg Gusti Gade Jelawung, ngadeg Gusti Nyoman Pengadangadang, ngadeg Gusti Ketut Petung. Titiang nunas tulung pacang nunas sabeh. Ih I Gusti Wayan Teba ngadeg Simpen genine ireng Medalang kerug tatit Unggahang empas segarane mangda ngebek penuh ring ambara. Gusti Wayan katuran ketipat dampulan mabe taluh mepanggang.
„Saya hamba paduka. Hamba bhakti. Kalaupun ada yang tidak berkenan mohon dimaafkan. Hamba memohon maaf karena berani mengajukan permohonan demi ketentraman dunia dan terhindar dari segala bentuk kekacauan. Begitupun sanak saudara hamba agar memperoleh kebahagiaan. Semoga Tuhan berkenan memberi kesidian‟ „Sekarang hamba mohon pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Hamba mohon anugerah kemampuan memanggil hujan yang jitu. Permohonan itu hamba peruntukkan bagi tanaman rakyat paduka yang layu, kekurangan air‟. „Wahai Ratu Ngurah Tangkeb Langit hadirlah. Hamba mohon hujan untuk menghidupkan. Hamba meminjam patih paduka. Hadirlah Gusti Wayan Teba Hadirlah Gusti Made Jelawung Hadirlah Gusti Nyoman Pengadangadang, Hadirlah Gusti Ketut Petung. Hamba mohon bantuan untuk mengundang hujan. Wahai Gusti Wayan Teba bangkitlah. Simpanlah api hitam. Keluarkan gemuruh dan kilat. Naikkan kura-kura laut agar memenuhi angkasa. Untuk Gusti Wayan hamba persembahkan ketupat dampulan dan telur panggang
351
Ih Gusti Made Jelawung ngadeg. Simpen genine bang Sehananing entikan gulem mangda tumbuh Gusti Made katurang ketipat kelanan mabe taluh mapindang.
Wahai Gusti Made Jelawung bangkitlah. Simpan api hitam. Semua bakal mendung agar tumbuh. Untuk Gusti Made dipersembahkan ketupat kelanan dan telur pindang
Ih Gusti Nyoman Pengadangadang, ngadeg Simpen genine kuning sehananing entikan gulem mangda tumbuh. Gusti Nyoman katuran ketipat gong mabe taluh bekasem.
Wahai Gusti Nyoman Pengadangadang bangkitlah. Simpan api kuning. Semua bakal mendung agar tumbuh. Untuk Gusti Nyoman dipersembahkan ketupat gong dan telur asin.
Ih Gusti Ketut Petung ngadeg. Simpen genine putih Tutup bayu bebiyunge, sehananing entikan gulem mangda mapulpul ring ambara Gusti Ketut katuran ketipat gangsa mabe taluh angsa maguling.
Wahai Gusti Ketut Petung bangkitlah. Simpan api putih. Hentikan putaran angin. Semua bakal mendung agar berkumpul di angkasa. Untuk Gusti Ketut dihaturkan ketupat gangsa dan telur angsa guling.
Ih Ratu Ngurah Tangkeb Langit, tutup sampun keluwung genine maring ambara, mangda tumbuh sehananing gulem ring ambara.
Wahai Gusti Ngurah Tangkeb Langit tutuplah pipa api di angkasa. Agar semua bakal mendung tumbuh di angkasa. Hamba mohon roda Sudarsana agar dinaikkan ke angkasa memutar semua mendung menjadi hujan. Untuk Ratu Ngurah dihaturkan saji punjung dan ayam betutu.
Titiang nunas cakra sudarsana mangda munggah ring ambara, muter sahananing gulem manadi hujan. Ratu Ngurah katuran saji punjung maiwak ayam sekuning mabetutu. Penutup Om sidhirastu tatastu werdiastu Om. Om shanti shanti shanti Om
Ya, Tuhan, semoga upaya ini berhasil dan memberi kebahagiaan pada semua. Ya, Tuhan, semoga semua mahluk hidup dengan damai.
352
5. Foto Penelitian
Genangan air dipompa untuk ladang
Dam Pelara, Lunyuk
Kerja bakti pembangunan pura
Bak penampungan air sumur
Akses jalan ke Buin Rare, Plampang
Teluk Santong
353
Neduh di Plampang
Sarana nyuh gadang dicemplungkan ke air
Rerajahan empas maongkara
Sembe layar
Nyelang Galah di Utan
Wawancara dengan informan