BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Banyak orang yang tidak mengetahui apa penyakit Lupus atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE) sehingga cukup banyak juga yang beranggapan Lupus merupakan penyakit langka dan jumlah pasiennya sedikit. Kenyataannya pasien penyakit ini cukup banyak dan semakin meningkat. Tentunya orang akan bertanya: Berbahayakah penyakit ini? Atau apa saja yang dapat menyebabkan terkenanya penyakit dan siapa saja yang bisa terkena penyakit ini? Dan lain sebagainya. Jika tidak diketahui sejak dini, lupus sama bahayanya dengan kanker, jantung, maupun AIDS dan bisa mengancam jiwa juga menyebabkan kematian. Penyakit lupus lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti ras kulit hitam, Cina, dan Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita muda dengan puncak kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa reproduktif) dengan perbandingan wanita dan laki-laki 5:1. Penyakit ini sering ditemukan pada beberapa orang dalam satu keluarga. Penyakit lupus yang dalam bahasa kedokterannya dikenal sebagai Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang menyerang banyak sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut atau kronis, dan disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) digambarkan pertama kali oleh Cazenave dan Clausit di tahun 1852. Pada awal abab ke-20 William Osler dkk menggambarkan berbagai bentuk klinis yang melibatkan sendi, ginjal dan susunan syaraf pusat. Di tahun 1948 Hargreaves pertama kali
menemukan sel LE tetapi antibodi antinuklear baru ditemukan oleh Friou dkk dengan bantuan teknik imunofluoresen di tahun 1957-1958. Penyakit ini terutama menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi dengan rasio wanita dan laki-laki 6- 10:1.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pengertian Lupus adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan akut dan kronis bermacam-macam jaringan tubuh. Penyakit autoimun adalah penyakit-penyakit yang terjadi jika jaringan tubuh diserang oleh sistem imunnya sendiri. Sistem imun adalah sistem yang kompleks di dalam tubuh yang dirancang untuk melawan agen-agen infeksi, seperti bakteri dan mikroba-mikroba asing lain. Salah satu cara sistem imun melawan infeksi adalah dengan memproduksi antibodi yang mengikat mikroba. Pasien dengan lupus menghasilkan antibodi abnormal di dalam darahnya dimana jaringan targetnya adalah lebih ke tubuhnya sendiri dari pada agen infeksi asing. Karena antibodi bersama sel-sel inflamasi dapat mempengaruhi jaringan manapun di dalam tubuh, lupus berpotensi mempengaruhi berbagai area tubuh. Kadang-kadang lupus dapat menyebabkan penyakit kulit, jantung, paru-paru, ginjal, persendian dan atau sistem saraf. Jika hanya kulit yang terkena, kondisinya disebut lupus dermatitis atau cutaneous lupus erythematosus. Bentuk dari lupus dermatitis yang dapat diisolasi dari kulit, tanpa penyakit organ dalam, disebut discoid lupus. Jika organ dalam terlibat, maka disebut Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Keduanya, discoid dan systemic lupus lebih banyak pada wanita daripada pria (sekitar 8 kali lebih sering). Penyakit ini dapat mengenai semua umur tetapi lebih sering dimulai sejak usia 20 sampai 45 tahun. Statistik menunjukkan bahwa lupus sedikit lebih sering pada orang-orang Amerika dan orang-orang keturunan Cina dan Jepang.
Lupus merupakan penyakit kronik/menahun dan dikenal sebagai penyakit autoimun. Manusia membentuk antibody yang gunanya melindungi tubuh dari berbagai serangan virus, kuman, bakteri. Pada lupus, produksi antibody yang seharusnya normal menjadi berlebihan. Dan antibody ini tidak lagi berfungsi untuk menyerang virus, kuman, bakteri yang ada di tubuh, tetapi justru menyerang sel dan jaringan tubuhnya sendiri. Lupus dikatakan great imitator alias peniru ulung, atau juga disebut penyakit seribu wajah karena menyerupai penyakit lain (mimikri). Lupus Menyerang seluruh organ tubuh. Hampir separuh pasien lupus terserang organ vitalnya (ginjal, syaraf, jantung, paru,sendi, darah). Gejala lupus mulai ringan sampai berat.
II.2. Jenis-Jenis Penyakit Lupus Terdapat macam-macam jenis penyakit lupus:
Discoid Lupus – organ tubuh yang terkena hanya bagian kulit. Dapat dikenali dari ruam yang muncul dimuka, leher dan kulit kepala, ruam di sekujur tubuh, berwarna kemerahan, bersisik, kadang gatal. Pada Lupus jenis ini dapat didiagnosa dengan menguji biopsi dari ruam. Pada discoid lupus hasil biopsi akan terlihat ketidak normalan yang ditemukan pada kulit tanpa ruam. Dan, jenis ini pada umumnya tidak melibatkan organ-organ tubuh bagian dalam. Oleh karena itu, tes ANA (pemeriksaan darah yang digunakan untuk mengetahui keberadaan sistemik lupus hasilnya bisa saja bersifat negatif pada pasien pengidap discoid lupus. Akan tetapi pada sebagian besar pasien dengan jenis discoid lupus hasil pemeriksaan ANA-nya positif, tetapi masih dalam tingkatan atau titer yang rendah. 10% pasien Discoid dapat menjadi SLE.
Drug-Induced Lupus – lupus yang timbul akibat efek samping obat. Pada lupus jenis ini baru muncul setelah odapus menggunakan jenis obat tertentu dalam jangka waktu yang panjang. Ada 38 jenis obat yang dapat menyebabkan Drug Induced. Salah satu contoh faktor yang
mempengaruhi
DIL
adalah
akibat
penggunaan
obat-obatan
hydralazine( untuk mengobati darah tinggi ) dan procainamide ( untuk mengobati detak jantung yang tidak teratur ). Tapi tidak semua penderita yang menggunakan obat-obatan ini akan berkembang menjadi drug induced Lupus, hanya sekitar 4% orang-orang yang menggunakan obatobatan tersebut yang akan berkembang menjadi drug induced dan gejala akan mereda apabila obat-obatan tersebut dihentikan.Gejala dari druginduced lupus (DIL) serupa dengan sistemik lupus. Umumnya gejala akan hilang dalam jangka waktu 6 bulan setelah obat dihentikan. Pemeriksaan Tes AntiNuclear Antibody (ANA) dapat tetap positif.
Sistemic Lupus Erythematosus. Lupus ini lebih berat dibandingkan dengan discoid lupus, karena gejalanya menyerang banyak organ tubuh atau sistim tubuh pasien Lupus. Pada sebagian orang hanya kulit dan sendinya saja yang terkena, akan tetapi pada sebagian pasien lupus lainnya menyerang organ vital organ: Jantung, Paru, Ginjal, Syaraf, Otak. Lupus sistemik bisa masuk periode dimana, jika ada, gejalanya membaik (remisi), dan dilain waktu penyakit dapat menjadi lebih aktif (flare up). Gejala dari yang paling ringan sampai yang paling berat.
II.3. Penyebab Lupus Penyebab pasti abnormalitas autoimun yang mendasari lupus tidak diketahui. Gen yang diturunkan, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu mungkin juga ikut berperan. Faktor-faktor genetik meningkatkan kecenderungan terjadinya penyakit autoimun, dan penyakit-penyakit autoimun seperti lupus, rheumatoid arthtitis dan penyakit thyroid autoimun lebih sering di antara famili dari pasien dengan lupus dibandingkan dengan populasi pada umumnya. Beberapa ilmuwan meyakini bahwa sistem imun pada lupus lebih muda distimulasi oleh faktor-faktor eksternal seperti virus atau sinar ultraviolet. Kadang-kadang, gejala lupus dapat ditimbulkan atau diperburuk hanya oleh terkena cahaya matahari sebentar saja.
Telah diketahui juga bahwa beberapa wanita dengan SLE dapat mengalami pemburukan gejala sebelum periode menstruasinya. Fenomena ini, bersama dengan wanita dengan SLE predominan, menunjukkan bahwa hormon-hormon wanita mempunyai peran penting dalam ekspresi SLE. Hubungan dengan hormonal ini merupakan area aktif penelitian-penelitian yang sedang dilakukan oleh para ilmuwan. Penelitian terbaru menunjukkan adanya bukti bahwa kegagalan enzim kunci untuk membuang sel-sel mati juga berperan dalam terjadinya SLE. Enzym DNase1, normalnya mengeliminasi apa yang disebut “DNA sampah” dan sampah-sampah sel lainnya dengan membelahnya menjadi potongan-potongan yang mudah dibuang. Para peneliti mematikan gen DNase1 pada tikus-tikus percobaan. Tikus-tikus tersebut tampak sehat saat lahir, tetapi setelah 6 sampai delapan bulan, mayoritas tikus yang tidak mempunyai DNase1 menunjukkan tanda-tanda SLE. Jadi, mutasi genetik pada gen yang dapat mengganggu pembuangan sampah sel-sel tubuh mungkin terlibat dalam permulaan timbulnya SLE. Selain itu ada juga beberapa obat yang dapat memicu SLE. Namun, lebih dari 90% nya terjadi sebagai efek samping dari salah satu dari obatobat berikut : Hydralazine (digunakan untuk hipertensi), Quinidine dan procainamide (digunakan untuk irama jantung abnormal), Phenytoin (digunakan untuk epilepsi), Isoniazid (Nydrazid, Laniazid, digunakan untuk tuberculosis), d-penicillamine (digunakan untuk rheumatoid arthtritis). Obat-obatan
ini
diketahui
menstimulasi
sistem
imun
dan
menyebabkan SLE. Untungnya, SLE yang dipicu obat-obatan jarang
(kurang dari 5% dari seluruh pasien SLE) dan biasanya membaik jika obatobat tsb dihentikan.
II.4. Gejala dan Tanda Lupus Pasien dengan SLE dapat mengalami kombinasi yang berbeda dari gejala-gejala dan organ-organ yang terkena. Keluhan dan gejala tersering meliputi keletihan, demam ringan, kehilangan nafsu makan, nyeri otot, radang sendi, ulkus pada mulut dan hidung, rash di wajah (”butterfly rash”), sensitifitas yang berlebihan terhadap sinar matahari (photosensitivity), peradangan selaput paru-paru (pleuritis) dan selaput jantung (pericarditis), dan sirkulasi darah yang buruk pada jari-jari dan jempol kaki jika terpapar dingin (fenomena Raynaud). Komplikasi dari organ-organ yang terkena dapat menyebabkan gejala-gejala lanjut yang tergantung pada organ-organ yang terkena dan beratnya penyakit. Manifestasi kulit sering pada lupus dan kadang-kadang dapat menyebabkan parut. Pada discoid lupus, hanya kulit yang terlibat. Skin rash pada discoid lupus sering ditemukan pada wajah dan kulit kepala. Biasanya berwarna merah dan mempunyai tepi yang menaik. Rash pada discoid lupus, biasanya tidak sakit dan tidak gatal, tetapi parutnya dapat menyebabkan kerontokan rambut permanen. 5%-10% pasien dengan discoid lupus bisa menjadi SLE. Lebih dari separuh pasien dengan SLE mengalami rash khas yang datar dan berwarna merah pada wajah melewati hidung. Karena bentuknya maka disebut “Butterfly Rash”. Rash tersebut tidak sakit dan tidak gatal. Rash wajah, bersama dengan peradangan organ-organ lain, dapat ditimbulkan dan diperburuk oleh paparan cahaya matahari, yang dikenal dengan photosensitivity. Photosensitivity ini dapat bersama-bersama dengan pemburukan peradangan di sekujur tubuh, yang disebut dengan “nyala api (flare)”. Yang khas, rash ini dapat sembuh tanpa parut permanen dengan terapi.
Kebanyakan pasien SLE akan mengalami radang sendi (arthtritis) selama perjalanan penyakitnya. Arthritis pada SLE sering terdapat pembengkakan, nyeri, kekakuan, dan bahkan perubahan bentuk sendi-sendi kecil pada tangan, pergelangan tangan dan kaki. Kadang-kadang arthritis pada SLE dapat mirip dengan rheumatoid arthtritis (salah satu penyakit autoimun juga) Organ-organ yang lebih serius dapat mengalami peradangan seperti otak, hati dan ginjal. Sel darah putih dan faktor pembekuan darah juga dapat menurun pada SLE, dikenal dengan sebutan berturut-turut lekopeni dan trombositopeni.
Lekopeni
dapat
meningkatkan
resiko
infeksi
dan
trombositopeni dapat meningkatkan resiko perdarahan. Macam-macam peradangan yang dapat terjadi bagi penderita SLE:
Peradangan
otot (myositis) dapat menyebabkan nyeri otot dan
kelemahan. Ini dapat menyebabkan peningkatan kadar enzim otot dalam darah.
Peradangan pembuluh darah (vasculitis) yang mensuplai oksigen ke jaringan dapat menyebabkan perlukaan pada saraf, kulit, atau organ dalam. Pembuluh darah terdiri dari arteri yang dilalui darah yang kaya akan oksigen menuju jaringan tubuh dan vena yang mengembalikan darah yang kehabisan oksigen dari jaringan ke paru-paru. Vasculitis dicirikan oleh peradangan dengan kerusakan dinding berbagai pembuluh darah. Kerusakan tersebut menghalangi sirkulasi darah dan dapat menyebabkan perlukaan pada jaringan yang seharusnya disuplai oksigennya oleh pembuluh darah tersebut.
Peradangan selaput paru-paru (pleuritis) dan selaput jantung (pericarditis) dapat menyebabkan nyeri dada yang tajam. Nyeri dada tersebut diperburuk oleh batuk, menarik nafas dalam dan perubahan tertentu posisi tubuh. Otot jantung sendiri jarang mengalami peradangan
(carditis). Seorang wanita muda dengan SLE mempunyai resiko yang meningkat signifikan terhadap serangan jantung akibat penyakit arteri koroner.
Peradangan ginjal pada SLE dapat menyebabkan kebocoran protein ke dalam urin, retensi cairan, tekanan darah tinggi, dan bahkan gagal ginjal. Ini dapat menyebabkan keletihan berlebihan dan pembengkakan tungkai dan kaki. Dengan terjadinya gagal ginjal, mesin diperlukan untuk membersihkan darah dari racun-racun yang prosesnya disebut dialisis.
Terlibatnya otak dapat menyebabkan perubahan kepribadian, gangguan pikiran (psikosis), seizure, dan bahkan koma. Kerusakan saraf dapat menyebabkan mati rasa, rasa menggelenyar, dan kelemahan bagian tubuh atau ekstremitas yang terlibat. Keterlibatan otak disebut dengan lupus celebritis. Banyak pasien SLE mengalami kerontokan rambut (alopesia).
Sering, ini terjadi bersama-sama dengan peningkatan aktifitas penyakitnya. Kerontokan rambut dapat sebagian atau menyebar dan tampak lebih seperti penipisan rambut. Selain itu ada beberapa pasien SLE mengalami Raynaud’s phenomenon. Pada pasien-pasien ini, suplai darah pada jari-jari dan jempol kaki menjadi terganggu pada paparan dingin, menjadi memucat, memutih dan atau membiru, dan terasa sakit serta mati rasa pada jari-jari dan jempol kaki yang terkena.
BAB III PEMBAHASAN
III.1. Diagnosa Lupus Karena pasien SLE dapat mempunyai gejala yang bermacammacam dan mempunyai kombinasi yang berbeda dalam hal organ-organ yang terlibat, maka tidak ada satu tes yang dapat menegakkan diagnosa systemic lupus. Untuk membantu dokter memperbaiki akurasi diagnosa SLE, 11 kriteria telah ditetapkan oleh American Rheumatism Association. 11 kriteria itu sangat erat hubungannya dengan gejala-gejala yang telah didiskusikan diatas. Beberapa pasien yang disangka SLE mungkin tidak pernah mengalami kriteria untuk diagnosis pasti. Pasien yang lain mempunyai cukup banyak kriteria hanya setelah beberapa bulan atau tahun pengamatan. Jika seseorang mempunyai 4 atau lebih kriteria tersebut, diagnosa SLE bisa ditetapkan. Meskipun demikian, diagnosis SLE mungkin saja dibuat pada beberapa keadaan dimana pasien tsb hanya mempunyai sedikit kriteria klasik ini dan pengobatannya dapat ditetapkan pada tahap ini. Pada pasien dengan kriteria minimal, beberapa kemudian mengalami kriteria lain, tetapi banyak yang tidak mengalaminya. 11 kriteria yang digunakan untuk mendiagnosa Systemic Lupus Erythematosus adalah 1. Rash “Butterfly” malar (di wajah di atas pipi)
2. Rash kulit discoid (bercak kemerahan dengan hiperpigmentasi dan hipopigmentasi yang dapat menyebabkan parut). 3. Fotosensitifitas (rash kulit karena reaksi terhadap paparan cahaya matahari /sinar uv) 4. Ulkus selaput lendir (ulkus pada selaput mulut, hidung dan tenggorokan) 5. Radang sendi /arthritis (dua atau lebih pembengkakan, nyeri sendi ekstremitas) 6. Pleuritis atau pericarditis (peradangan selaput yang meliputi paru-paru atau jantung) 7. Ginjal abnormal (jumlah protein urin yang abnormal atau adanya sekumpulan
elemen
seluler
abnormal
yang
terdeteksi
pada
pemeriksaan air kencing) 8. Inisiasi otak (manifestasinya kejang dan atau psikosis) 9. Hitung jumlah darah yang abnormal (penurunan jumlah sel darah putih dan sel darah merah, atau trombosit pada pemeriksaan darah rutin) 10. Gangguan imunologi (tes imun yang abnormal meliputi antibodi antiDNA atau antibodi anti-Sm (Smith), positif palsu sifilis, antibodi antikardiolipin, lupus anticoagulant, atau tes LE prep positif) 11. Antibodi antinuklear (tes antibodi ANA positif [antibodi antinuklear dalam darah]) Di samping 11 kriteria tersebut, tes-tes lain dapat sangat membantu dalam mengevaluasi pasien SLE untuk menilai beratnya keterlibatan organ. Tes ini meliputi tes darah rutin untuk mendeteksi adanya peradangan
(misalnya, tes yang disebut angka pengendapan/ sedimentation rate dan protein C-reaktif), test kimia darah, analisis langsung cairan tubuh dan biopsi jaringan. Cairan tubuh dan sampel jaringan yang abnormal (biopsi ginjal, kulit dan saraf) dapat menunjang diagnosis SLE. Prosedur tes yang sesuai dipilih untuk pasien secara individual oleh dokter.
III.2. Pengobatan Lupus Tidak ada penyembuhan permanen untuk SLE. Tujuan pengobatan hanyalah menghilangkan gejala dan melindungi organ tubuh dengan menurunkan peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun tubuh. Banyak pasien dengan gejala ringan dapat memerlukan pengobatan atau hanya diberi obat-obat anti peradangan rutin terus-menerus. Mereka yang mengalami gejala yang lebih berat dengan melibatkan kerusakan organorgan dalam memerlukan dosis yang lebih tinggi kortikosteroid dengan dikombinasi obat-obat lain yang menekan sistem imun tubuh. Pasien dengan SLE memerlukan lebih banyak istirahat selama periode aktif penyakitnya. Para peneliti telah melaporkan bahwa jeleknya kualitas tidur merupakan faktor yang signifikan dalam munculnya keletihan (fatigue) pada pasien dengan SLE. Laporan ini menekankan pentingnya bagi pasien dan dokter untuk memperhatikan kualitas tidur dan pengaruh yang dilatarbelakangi depresi, kurangnya olahraga, dan strategi mengatasi perawatan diri pada kesehatan secara keseluruhan. Selama periode ini, penentuan latihan secara hati-hati masih tetap penting untuk memelihara kekuatan otot dan rentang gerakan sendi. Obat-obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID) sangat membantu mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi dan jaringan-jaringan lain. Contoh dari NSAID adalah aspirin, ibuprofen, Naproxen dan sulindac. Karena respon individu pada NSAID bervariasi maka biasa bagi seorang dokter untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan
satu yang paling efektif dengan efek samping paling kecil. Efek samping paling sering adalah rasa tidak enak pada perut, nyeri perut, ulkus dan bahkan perdarahan ulkus. NSAID biasanya diminum bersama dengan makanan untuk mengurangi efek samping. Kadang-kadang, obat pencegah ulkus, diberikan bersama NSAID untuk mengurangi efek samping, seperti misoprostol (cytotec). Kortikosteroid lebih kuat dibandingkan NSAID untuk mengurangi peradangan dan memperbaiki fungsi jika penyakitnya aktif. Kortikosteroid terutama sangat membantu jika organ-organ dalam terkena. Kortikosteroid dapat diberikan secara oral, disuntikkan langsung ke dalam sendi dan jaringan lain. Atau diberikan secara intravena. Sayangnya, kortikosteroid mempunyai efek samping yang serius jika diberikan dalam dosis tinggi selama periode yang lama, dan dokter akan berusaha memonitor aktifitas penyakit untuk keperluan menentukan dosis terendah yang aman. Efek samping kortikosteroid meliputi, penambahan berat badan, penipisan otot dan kulit, infeksi, diabetes, bengkak wajah, katarak dan kematian jaringan (nekrosis) sendi-sendi besar. Hydroxychloroquine (Plaquenil) adalah obat anti malaria yang diketahui mempunyai efektifitas tertentu pada pasien SLE dengan fatigue, masalah kulit, dan sakit sendi. Secara konsisten memakai Plaquenil dapat mencegah lupus flare-ups (nyala api). Efek samping jarang meliputi diare, rasa tidak enak pada perut, perubahan pigmen mata. Perubahanpigmen mata jarang tetapi memerlukan monitoring dari ahli optalmologi (spesialis mata) selama terapi dengan Plaquenil. Para peneliti menemukan bahwa Plaquenil secara signifikan menurunkan frekuensi pembekuan darah abnormal pada pasien dengan systemic lupus. Lebih lanjut, pengaruh yang tampaknya tidak tergantung pada supresi imun, menyebabkan Plaquenil dapat secara langsung mencegah pembekuan darah.
Penelitian yang menarik ini menekankan sebuah alasan penting bagi pasien dan dokter untuk mempertimbangkan Plaquenill untuk penggunaan jangka panjang, khususnya bagi mereka yang mempunyai resiko pembekuan darah pada vena dan arteri, seperti mereka yang dengan antibodi phospholipid (antibodi cardiolipin, antikoagulan lupus, dan tes laboratorium positif palsu penyakit kelamin). Ini artinya, tidak hanya Plaquenil menurunkan kemungkinan re-flare SLE, tetapi juga dapat menguntungkan dalam mencegah pembekuan darah abnormal yang luas. Plaquenil sering digunakan dalam kombinasi dengan terapi lain untuk lupus. Untuk penyakit kulit yang resisten, obat antimalaria lain, seperti chloroquine (Aralen) atau Quinacrine, dianjurkan dan dapat digunakan dalam kombinasi dengan hydroxychloroquine. Pengobatan alternatif untuk penyakit kulit meliputi dapsone dan retinoic acid (Retin-A). Retin-A sering efektif untuk penyakit kulit lupus bentuk wart-like (seperti kutil) yang jarang. Untuk penyakit kulit yang lebih berat, pengobatan imunosupresif dianjurkan menggunakan obat-obat yang menekan imunitas (obat-obat imunosupresif) juga disebut obat sitotoksik. Obat-obat imunosupresif digunakan untuk mengobati pasien dengan manifestasi SLE yang lebih berat, seperti kerusakan oragan dalam. Obat-obat imunosupresif tersebut contohnya, methotrexate (Rheumatrex, Trexall), azathioprine (Imuran), cyclophosphamide (Cytoxan), chlorambucil (Leukeran), dan cyclosporine (Sandimmune). Semua obat imunosupresif dapat secara serius menurunkan jumlah sel darah dan meningkatkan resiko infeksi dan perdarahan. Efek samping lain khas pada masing-masing obat. Contohnya, Rheumatrex dapat menyebabkan keracunan hati, sementara Sandimmune dapat memperburuk fungsi ginjal. Pada tahun-tahun terakhir, mycophenolate mofetil (Cellcept) telah digunakan sebagai obat yang efektif untuk lupus, khususnya jika berhubungan dengan penyakit ginjal. Cellcept telah sangat membantu
dalam memperbaiki penyakit ginjal lupus aktif (lupus renal disease) dan dalam
memelihara
perbaikan
setelahnya
dianjurkan.
Profil
efek
sampingnya yang lebih rendah menguntungkan bagi pengobatan imunsupresif tradisional. Pada pasien SLE dengan penyakit otak atau ginjal yang serius, plasmapheresis kadang-kadang dipakai untuk menghilangkan antibodi dan substansi imun lain dari darah untuk menekan imunitas. Jarang, pasien SLE dapat mengalami kadar platelet rendah yang serius yang dapat meningkatkan resiko perdarahan spontan dan luas. Karena limpa diyakini merupakan tempat utama dalam penghancuran platelet, pembedahan untuk membuang limpa kadang-kadang menyebabkan perbaikan kadar platelet. Pengobatan lain menggunakan plasmapheresis dan menggunakan hormon laki-laki. Plasmapheresis juga digunakan untuk membuang protein cryoglobulin yang dapat menyebabkan vasculitis. Kerusakan ginjal endstage pada SLE memerlukan dialisis dan atau transplantasi ginjal. Penelitian terbaru menunjukkan keuntungan dari rituximab (Rituxan) dalam pengobatan lupus. Rituximab merupakan antibodi yang diberikan melalui infus intravena yang akan menekan sel darah putih tertentu, yaitu sel B, dengan menurunkan jumlahnya dalam sirkulasi. Sel B telah diketahui berperan sentral dalam aktivitas lupus, dan jika ditekan maka penyakit akan cenderung membaik. Ini terutama sangat membantu pasien dengan penyakit ginjal. Selain itu menurut penelitian suplementasi diet dosis rendah dengan minyak ikan omega-3 dapat membantu pasien lupus dengan menurunkan aktifitas penyakit dan mungkin juga menurunkan resiko penyakit jantung.
III.3. Pencegahan Aktivitas Lupus SLE tanpa diragukan merupakan penyakit yang potensial serius yang melibatkan sejumlah sistem organ. Namun, penting untuk
mengetahui bahwa kebanyakan pasien SLE menjalankan hidup yang penuh, aktif dan sehat. Peningkatan periodik aktifitas penyakit (flare) biasanya dapat dikelola dengan bermacam-macam obat. Karena sinar ultraviolet dapat menimbulkan dan memperburuk flare, pasien dengan systemic lupus sebaiknya menghindari paparan sinar matahari. Sunscreen dan kain penutup ekstremitas (tangan dan kaki) dapat sangat membantu. Penghentian obat dengan tiba-tiba, khususnya kortikosteroid dapat juga menyebabkan flare dan harus dihindari. Pasien SLE mempunyai resiko tinggi
terjadinya
infeksi,
khususnya
jika
mereka
menggunakan
kortikosteroid atau obat-obat imunosupresif. Karena itu, demam kadangkadang dilaporkan dan harus dievaluasi. Kunci pengelolaan yang sukses untuk SLE adalah kontak dan komunikasi teratur dengan dokter, melakukan monitoring gejala, aktifitas penyakit dan pengobatan terhadap efek samping.
III.4. Pengaruh Lupus Terhadap Kehamilan dan Bayi Baru Lahir Pasien SLE yang menjadi hamil dinyatakan “resiko tinggi”. Wanita dengan SLE yang hamil memerlukan observasi yang ketat selama kehamilan, kelahiran dan periode pasca melahirkan. Hal ini meliputi monitoring fetus oleh ahli kandungan selama akhir kehamilan. Wanitawanita ini dapat mempunyai resiko tinggi terhadap keguguran (aborsi spontan) dan dapat mengalami flare selama hamil. Adanya antibodi fosfolipid, seperti antibodi cardiolipin atau lupus anticoagulan di dalam darah dapat mengindikasikan pasien dalam resiko terjadinya keguguran. Antibodi cardiolipin dihubungkan dengan kecenderungan terjadinya pembekuan darah. Pasien SLE yang mempunyai antibodi cardiolipin atau lupus anticoagulant memerlukan pengobatan pengenceran darah (aspirin dengan atau tanpa heparin) selama kehamilan untuk mencegah keguguran. Pengobatan lain yang telah dilaporkan adalah meliputi penggunaan gamma globulin intravena pada pasien-pasien yang mempunyai riwayat keguguran
prematur dan mereka yang mempunyai elemen pembekuan darah (platelet) yang rendah selama hamil. Wanita hamil yang mempunyai kejadian pembekuan darah sebelumnya dapat menguntungkan bila melanjutkan pengobatan dengan pengencer darah selama dan setelah hamil 6 sampai 12 minggu, dimana resiko pembekuan yang berhubungan dengan kehamilan nampak berkurang. Plaquenil sekarang ini diketahui aman untuk digunakan dalam pengobatan SLE selama kehamilan. Antibodi lupus dapat ditransfer dari ibu ke janin dan menyebabkan lupus pada bayi baru lahir (neonatal lupus). Ini meliputi terjadinya penurunan sel darah merah (anemia) dan atau jumlah sel darah putih dan platelet, dan rash kulit. Masalah dapat juga terjadi pada sistem kelistrikan jantung bayi (congenital heart block). Kadang-kadang, pacemaker jantung bayi diperlukan dalam hal ini. Neonatal lupus dan congenital heart block lebih sering pada bayi baru lahir dengan ibu yang menderita SLE yang membawa antibodi yang disebut anti-Ro (atau SS-A) dan anti-La (atau SSB). (bijaksana untuk dokter bayi baru lahir untuk hati-hati jika ibunya diketahui membawa antibodi ini, juga sebelum kelahiran. Resiko terjadinya blok jantung adalah 2%, resiko neonatal lupus 5%). Neonatal lupus biasanya hilang setelah 6 bulan, saat antibodi ibu pelan-pelan dimetabolisasi oleh bayi.
III.5. Masa Depan Pasien Lupus Secara keseluruhan, harapan pasien dengan systemic lupus semakin baik tiap tahun dengan berkembangnya tes monitoring dan pengobatan yang makin akurat. Peran sistem imun dalam menyebabkan penyakit dipahami dengan semakin baik melalui penelitian. Pengetahuan ini akan digunakan untuk mendisain metode pengobatan yang lebih aman dan efektif. Sebagai contoh, perbaikan lengkap sistem imun pada pasien dengan pengobatan yang sangat agresif yang secara temporal menghapus sistem imun telah dievaluasi. Penelitian terbaru melibatkan eradikasi imun
dengan atau tanpa penggantian sel yang dapat mengembalikan sistem imun (transplantasi stem sel). Perlu dicatat bahwa pasien SLE sedikit meningkat resikonya untuk terkena kanker. Resiko kanker paling dramatis pada kanker darah, seperti leukemia dan lymphoma, tetapi juga meningkat pada kanker payudara. Resiko ini mungkin terkait perubahan sistem imun yang khas pada SLE. Wanita dengan SLE tampaknya meningkat resikonya untuk penyakit jantung (penyakit arteri koroner) berdasarkan laporan terakhir. Wanita dengan SLE sebaiknya dievaluasi dan dinasehatkan untuk meminimalkan faktor-faktor resiko terjadinya penyakit jantung, seperti peningkatan kolesterol darah, berhenti merokok, tekanan darah tinggi dan obesitas. DHEA (dehydroepiandrosterone) telah sangat membantu mengurangi keletihan (fatigue), memperbaiki kesulitan berpikir, dan memperbaiki kualitas hidup pasien SLE. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa DHEA telah terbukti memperbaiki dan menstabilkan tanda-tanda dan gejala-gejala SLE. DHEA umum tersedia di dalam toko-toko makanan sehat, farmasi dan grosir. Penelitian yang penting telah menunjukkan dengan jelas bahwa kontrasepsi oral tidak meningkatkan angka terjadinya flare pada SLE. Penemuan penting ini telah membantah apa yang telah dipercaya bertahuntahun. Sekarang kita dapat meyakinkan kembali wanita dengan lupus bahwa jika ingin memakai pil kontrasepsi, mereka tidak mengalami peningkatan resiko terjadinya flare lupus. Dengan catatan pil kontrasepsi atau obat estrogen apapun sebaiknya tetap dihindari oleh wanita yang mempunyai resiko yang tinggi terhadap pembekuan darah, seperti wanita dengan lupus yang mempunyai antibodi fosfolipid (termasuk antibodi cardiolipin dan lupus anticoagulant).
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN IV.1 Kesimpulan Penyakit lupus atau penyakit autoimun adalah penyakit-penyakit yang terjadi jika jaringan tubuh diserang oleh sistem imunnya sendiri. Jenis-jenis penyakit lupus yaitu : discoid lupus, Drug-Induced Lupus, Sistemic Lupus Erythematosus. Penyebab pasti abnormalitas autoimun yang mendasari lupus tidak diketahui. Gen yang diturunkan, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu mungkin juga ikut berperan. lebih dari 90% nya terjadi sebagai efek samping dari salah satu dari obat-obat berikut : Hydralazine (digunakan untuk hipertensi), Quinidine dan procainamide (digunakan untuk irama jantung abnormal), Phenytoin (digunakan untuk epilepsi),
Isoniazid (Nydrazid, Laniazid, digunakan untuk tuberculosis), d-penicillamine (digunakan untuk rheumatoid arthtritis). Keluhan dan gejala tersering meliputi keletihan, demam ringan, kehilangan nafsu makan, nyeri otot, radang sendi, ulkus pada mulut dan hidung, rash di wajah (”butterfly rash”), sensitifitas yang berlebihan terhadap sinar matahari (photosensitivity), peradangan selaput paru-paru (pleuritis) dan selaput jantung (pericarditis), dan sirkulasi darah yang buruk pada jari-jari dan jempol kaki jika terpapar dingin (fenomena Raynaud). Komplikasi dari organ-organ yang terkena dapat menyebabkan gejala-gejala lanjut yang tergantung pada organ-organ yang terkena dan beratnya penyakit. 11 kriteria yang digunakan untuk mendiagnosa Systemic Lupus Erythematosus adalah : rash “butterfly” malar, rash kulit discoid, fotosensitifitas, ulkus selaput lendir, radang sendi, pleuritis atau pericarditis, ginjal abnormal, inisiasi otak, hitung jumlah darah yang abnormal, gangguan imunologi, antibodi nuklear. Tidak ada penyembuhan permanen untuk SLE. Tujuan pengobatan hanyalah menghilangkan gejala dan melindungi organ tubuh dengan menurunkan peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun tubuh. Terapi pengobatan penyakit lupus dengan memperhatikan kualitas tidur, mengurangi stress, berolahraga, penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid, kortikosteroid, plaqunil, retin-A, obat-obat imunosupresif, cellcept khusus jika berhubungan dengan penyakit ginjal, plasmapheresis untuk penyakit otak atau ginjal srius, rituxan serta diet dosisi rendah dengan minyak ikan omega 3. Pencegahan aktivitas lupus dengan menghindari paparan sinar matahari dan kontrol kesehatan secara rutin dengan dokter. Wanita hamil yang menderita lupus dapat mempunyai resiko tinggi terhadap keguguran. Antibodi lupus dapat di transfer dari ibu ke janin dan menyebabkan lupus pada bayi baru lahir (neonatal lupus) dan
kemungkinan terjadi masalah pada sistem kelistrikan jantung bayi (congenital heart block). Harapan pasien dengan systemic lupus semakin baik tiap tahun dengan berkembangnya tes monitoring dan pengobatan yang makin akurat. Peran sistem imun dalam menyebabkan penyakit dipahami dengan semakin baik melalui penelitian. Pengetahuan ini akan digunakan untuk mendisain metode pengobatan yang lebih aman dan efektif
IV.2 SARAN Dalam penulisan makalah ini masih perlu dilakukan pengumpulan data lebih lanjut mengenai penyakit Lupus, serta bagaimana cara pengobatannya
DAFTAR PUSTAKA
www.rsisultanagung.co.id
www.lupusindonesia.org
www.totalkesehatananda.com