BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Dewasa ini, telah banyak dikembangkan penelitian dalam rangka modifikasi substrat kaca dari kaca konvensional menjadi kaca fungsional. Kaca fungsional memiliki beberapa keunggulan sifat, diantaranya: (i) stabil terhadap kerusakan mekanis, (ii) anti bakteri, anti jamur, dan anti-UV, (iii) tidak mudah kotor dan mudah dibersihkan. Pada penggunaan kaca fungsional, pembersihan kaca secara berkala dibutuhkan untuk mempertahankan sifat konvensionalnya yaitu transparansi kaca. Di sisi lain, pada beberapa kondisi, pembersihan secara periodik pada kaca sulit untuk dilakukan. Pada gedung-gedung tinggi, terdapat resiko kecelakaan yang tinggi dalam proses pembersihan kaca, terutama pada permukaan kaca bagian luar gedung. Oleh karena itu, muncul kebutuhan terhadap kaca yang bersifat self-cleaning. Sifat self-cleaning pada kaca memberikan beberapa aplikasi yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Aplikasi kaca self-cleaning pada kaca mobil membuat kaca mobil lebih mudah dibersihkan, sehingga penglihatan para pengendara mobil menjadi lebih jelas. Selain itu, pada saat hujan, tetesan-tetesan air atau uap air yang menempel pada kaca tersebut juga cepat hilang sehingga tidak mengganggu penglihatan atau mengurangi jarak pandang pengendara. Keuntungan juga akan diperoleh untuk aplikasi kaca pada jendela rumah atau kantor, khususnya untuk bangunan-bangunan tinggi karena sifat self-cleaning pada kaca akan mempermudah proses pembersihan kaca secara periodik. Di samping itu, aplikasi kaca self-cleaning pada sel surya berperan dalam memaksimalkan intensitas sinar matahari yang diterima sel, karena debu-debu yang menempel pada sel surya menjadi lebih mudah dibersihkan. Sifat self-cleaning pada suatu permukaan dapat diperoleh melalui dua mekanisme, yaitu mekanisme permukaan hidrofilik dan hidrofobik. Kaca selfcleaning dengan permukaan hidrofilik melibatkan mekanisme fotokatalitik sehingga aktivitasnya memerlukan aktivasi menggunakan paparan sinar matahari
1
2
atau sinar UV-A untuk degradasi kotoran. Sedangkan kaca dengan permukaan hidrofobik mempunyai mekanisme self-cleaning yang lebih sederhana. Pada permukaan hidrofobik, tetesan – tetesan air akan membentuk bulatan-bulatan sempurna. Fenomena tersebut menyebabkan tetesan air dapat meluncur pada permukaan kaca tersebut sambil membawa kotoran-kotoran yang melekat pada permukaan kaca (Shang et al., 2011). Ditinjau dari mekanisme tersebut, kaca selfcleaning dengan mekanisme hidrofobik mempunyai potensi aplikasi yang lebih luas. Salah satu keunggulan dari mekanisme ini adalah tidak adanya ketergantungan aktivitas kaca fungsional terhadap ketersediaan paparan sinar matahari. Kaca fungsional hidrofobik telah secara luas diaplikasikan pada berbagai bidang seperti peralatan biomedis, pemisahan cairan, penurunan laju turbulensi pada pipa air, anti beku, dan permukaan anti korosi untuk transportasi ruang angkasa (Guo et al., 2011). Hidrofobisitas suatu permukaan dapat ditentukan dari besarnya sudut kontak air (water contact angle, WCA), yaitu sudut antara tetesan air dengan permukaan suatu benda pada suatu garis kontak (Mahltig et al., 2007). Jika sudut kontak air pada permukaan material lebih dari 90o, maka permukaan material tersebut disebut permukaan hidrofobik (Feng et al., 2002). Jika sudut kontak air melebihi 150 o, maka material itu bersifat superhidrofobik (Zairyou, 1996 dalam Nakajima et al., 2001). Selama ini, suatu permukaan hidrofobik dibuat dengan meniru konsep hidrofobisitas alami permukaan daun teratai (lotus effect). Suatu permukaan hidrofobik dapat diperoleh melalui modifikasi struktur hirarki mikro dan/atau nano pada suatu substrat atau dengan modifikasi struktur permukaan dengan material yang memiliki energi permukaan rendah (Guo et al., 2011). Energi permukaan yang rendah akan menurunkan wettability permukaan padatan sehingga akan dihasilkan permukaan dengan sifat hidrofobik (Nakajima, et. al., 2001). Selain itu, semakin kasar morfologi permukaan juga dapat menyebabkan kenaikan hidrofobisitas permukaan material tersebut. Wang et al. (2011) melakukan preparasi film hidrofobik dengan kombinasi sol silika dengan senyawa-senyawa silikon organik seperti metil-trimetoksisilan (MTMS), etil-
3
trietoksisilan (ETES), γ-methacryloxypropyl trimethoxy silane (MPMS), and hexamethyl disilizane (HMDS). Kombinasi antara energi permukaan yang rendah dari silikon organik dan kekasaran permukaan film yang lebih rendah dari 5nm menghasilkan film hidrofobik dengan sudut kontak bervariasi antara 70° – 130°. Pada aplikasinya untuk beberapa bidang seperti kaca jendela atau sel surya, kaca fungsional self-cleaning juga harus dapat mempertahankan sifat konvensionalnya yaitu transparansi. Sifat transparansi pada kaca fungsional bergantung pada, ketebalan lapisan, komposisi kimia material aktif pada permukaan kaca serta teknik pelapisan dalam proses modifikasi kaca. Selama ini, permukaan hidrofobik yang ideal, transparan dan tahan lama diperoleh dengan melakukan modifikasi permukaan kaca melalui pelapisan dengan menggunakan senyawa-senyawa yang mempunyai gugus –CF3 atau fluorokarbon (Guo et al., 2011). Preparasi material hidrofobik berbasis polisakarida telah dikaji melalui berbagai perlakuan kimia dan fisika untuk meningkatkan karakter hidrofobik permukaannya (Cunha dan Gandini, 2010a). Sudut kontak tertinggi (139–146°) dicapai melalui modifikasi kimia menggunakan senyawa terfluorinasi (Cunha dan Gandini, 2010a; Cunha dan Gandini, 2010b). Wi et al. (2009) melakukan modifikasi permukaan material menggunakan senyawa poli(tetrafluoroetilen) yang menghasilkan sudut kontak sebesar 126-134°. Hayn et al. (2010) melakukan grafting fluorosilan dengan radiasi gelombang microwave, menghasilkan material hidrofobik dengan sudut kontak 136-162°. Pada tahun 2011, Lee et al. melakukan modifikasi permukaan kaca menggunakan 1,1,2,2,-tetrahidrodesiltrimetoksisilan melalui teknik dip coating, menghasilkan permukaan superhidrofobik dengan sudut kontak >165°. Penggunaan senyawa-senyawa terfluorinasi dihindari memberikan efek negatif terhadap lingkungan, seperti kemungkinan pencemaran, bioakumulasi pada makhluk hidup, serta toksisitas yang cukup tinggi pada lingkungan (Prusty et al., 2009). Oleh karena itu, dalam perkembangan teknologi fabrikasi kaca hidrofobik, penggunaan senyawa-senyawa non-fluor lebih diutamakan karena sifatnya yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, telah dikaji bahwa sifat superhidrofobik pada alam sendiri dihasilkan bukan dari gugus CF3-, senyawa
4
silil, atau fluorokarbon. Hal ini menunjukkan bahwa energi permukaan yang rendah tidak menjadi faktor penentu untuk memperoleh efek water-repellent (Barthlott et al., 1997 dalam Guo et al., 2011). Beberapa senyawa berbasis silika telah banyak digunakan untuk menggantikan senyawa terfluorinasi, diantaranya adalah sol silika yang dimodifikasi
dengan
metiltrimetoksisilan
senyawa-senyawa
(MTMS),
silane,
oktiltrimetoksisilan,
diantaranya
yaitu
heksadesiltrimetoksisilan
(HDTMS), dan beberapa jenis polysiloxane (Mahltig et al., 2003). Zhang, et. al. (2005) menggunakan kombinasi antara SiO2 dengan dimethyldiethoxysilane sebagai
induktor hidrofobisitas substrat kaca yang dapat menghasilkan kaca
fungsional hidrofobik dengan sudut kontak air mencapai 123°. Linda et. al. (2006) berhasil melakukan modifikasi substrat kaca dengan menggunakan kombinasi antara partikel silika dengan polydimethylsiloxane yang menghasilkan kaca fungsional dengan sudut kontak air mencapai 133°. Senyawa-senyawa
berbasis
silika
terbukti
mampu
menggantikan
senyawa-senyawa terfluorinasi sebagai agen superhidrofobik. Namun, kelimpahan senyawa-senyawa silane dan polysiloxane cukup rendah. Senyawa dengan energi permukaan rendah dapat dijumpai pula dalam molekul surfaktan seperti polietilen glikol (PEG), cetil triammonium bromida (CTAB), dan dodesilamin (DDA). Vinogradov et al. (2010) melakukan preparasi kaca self-cleaning hidrofobik dengan mengkombinasikan surfaktan DDA dengan partikel titania dan alumina. DDA merupakan senyawa yang termasuk golongan surfaktan, sehingga memiliki sifat untuk menurunkan energi bebas antarmuka (Rosen, 2004). Meskipun demikian, DDA tidak dapat digunakan secara langsung sebagai induktor superhidrofobisitas. Struktur misel DDA mengalami kerusakan (collapse) saat perlakuan annealing film pada kaca. Hal tersebut mengakibatkan orientasi struktur misel DDA pada kaca bersifat tidak efektif untuk menghasilkan permukaan superhidrofobik sehingga tidak akan diperoleh kaca yang mempunyai aktivitas self-cleaning. Untuk mengatasi hal tersebut, partikel titania dan alumina digunakan sebagai matriks untuk menghubungkan struktur misel DDA dan substrat kaca sehingga orientasi struktur misel DDA dapat mengarah ke
5
permukaan kaca. Film hibrida titania-DDA yang dihasilkan mempunyai karakter superhidrofobik dengan sudut kontak air 146,4°. Sedangkan film hibrida aluminaDDA mempunyai sudut kontak air 152,8°. Febriyanti (2013) melakukan kajian pengaruh teknik lapis celup layer by layer (LbL) dalam pembentukan film hibrida TiO2–DDA. Dari kajian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa teknik deposisi lapis celup layer by layer (LbL) memberikan hasil yang lebih baik daripada teknik deposisi lapis celup satu tahap. Film hibrida TiO2–DDA yang dibuat dengan teknik lapis celup LbL mempunyai sudut kontak air yang menyamai film dari teknik satu tahap disertai dengan ketahanan film dalam kondisi udara ambien yang lebih baik. Namun, peningkatan jumlah lapisan film menyebabkan penurunan transparansi film hibrida nano TiO2–DDA. Di sisi lain, beberapa penelitian telah melaporkan penggunaan nanopartikel SiO2 sebagai matriks permukaan hidrofobik. Dalam penelitianpeneltian tersebut, kaca yang diperoleh bersifat hidrofobik dan transparan. Gurav et al. (2010) berhasil membuat kaca hidrofobik transparan dengan sudut kontak mencapai 165° melalui modifikasi kaca menggunakan partikel SiO2 dan heksametildisilazan (HMDZ).
Latthe et. al. (2009) menggunakan kombinasi
partikel SiO2 dengan trimetilklorosilan (TMCS) and heksametildisiloksan (HMDS). Kaca yang diperoleh bersifat transparan dengan sudut kontak air berturut-turut yaitu 162° dan 147°. Menurut Latthe et al. (2009), untuk memperoleh integrasi antara superhidrofobisitas dan transparansi optik dalam satu permukaan yang sama, maka dimensi kekasaran permukaan harus lebih rendah dari panjang gelombang sinar tampak. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa DDA mempunyai potensi besar untuk digunakan sebagai induktor hidrofobisitas kaca. Rantai karbon panjang pada strukturnya menjadikan DDA memiliki energi permukaan yang rendah. Sifatnya yang lebih ramah lingkungan menjadikan DDA bisa digunakan sebagai material alternatif pengganti senyawa-senyawa terfluoronasi. Untuk mengontrol agar struktur DDA efektif dalam meningkatkan hidrofobisitas, digunakan matriks berupa partikel SiO2 sebagai penopang struktur misel DDA.
6
Jika partikel SiO2 yang digunakan sebagai matriks memiliki dimensi kekasaran dalam skala nanometer, maka diharapkan kombinasi antara SiO2 dan DDA akan menghasilkan film hibrida yang hidrofobik dan dapat mempertahankan transparansinya. Dalam penelitian ini, film hibrida organo-anorganik nano DDA-SiO2 pada permukaan kaca dibuat melalui pengembangan teknik deposisi layer by layer. DDA yang mempunyai sifat lebih ramah lingkungan dimaksudkan untuk menggantikan senyawa-senyawa fluor sebagai induktor hidrofobisitas kaca. Struktur rantai karbon panjang dari DDA diharapkan mampu menurunkan energi permukaan film sehingga dihasilkan kaca yang bersifat hidrofobik. Penggunaan matriks berupa partikel SiO2 dimaksudkan agar orientasi struktur misel DDA dapat mengarah ke permukaan kaca. Selain itu, dengan penggunaan nanopartikel SiO2, diharapkan kaca dapat mempertahankan sifat transparansinya. Proses short annealing pada film SiO2 di tahap awal preparasi diharapkan dapat menghasilkan kaca superhidrofobik transparan yang bersifat self-cleaning dan memiliki ketahanan cukup baik. Pada penelitian ini dikaji pula kondisi optimum dalam preparasi film hibrida SiO2-DDA dengan mempertimbangkan hubungan antara komposisi kimia dalam film, karakter hidrofobisitas film, jumlah lapisan, serta transparansi kaca fungsional. Di satu sisi, semakin tinggi rasio mol SiO2-DDA dan semakin banyak jumlah lapisan material hibrida diperkirakan akan menghasilkan permukaan yang semakin kasar sehingga karakter superhidrofobiknya lebih baik dan lebih kuat namun hal tersebut dapat menurunkan transparansi kaca. Oleh karena itu, diperlukan kondisi optimum untuk mengetahui komposisi film hibrida dan jumlah lapisan yang mampu menghasilkan kaca superhidrofobik dengan sifat selfcleaning yang stabil tanpa mengurangi transparansi kaca. Selain itu, dalam penelitian ini dikaji pula pengaruh paparan udara luar dan air terhadap hidrofobisitas film hibrida.
7
I.2. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mempelajari pengaruh komposisi kimia film hibrida SiO2-DDA terhadap karakter hidrofobisitas dan transparansi substrat kaca 2. Mempelajari pengaruh jumlah lapisan film hibrida SiO2-DDA terhadap karakter hidrofobisitas dan transparansi substrat kaca 3. Mempelajari pengaruh paparan udara luar dan air terhadap karakter hidrofobistas kaca yang termodifikasi film hibrida SiO2-DDA.
I.3. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi baru serta menjadi rujukan dalam pengembangan dan preparasi kaca hidrofobik yang mudah, aman, dan ramah lingkungan.