BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar belakang Pertumbuhan penduduk dan permukiman merupakan dua hal yang saling berkaitan, pertumbuhan jumlah penduduk ini mempengaruhi kebutuhan akan rumah sebagai tempat untuk bermukim. Rumah merupakan bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya serta aset bagi pemiliknya (Pasal 1 : UU no. 1 tahun 2011 Tentang Perumahan dan Permukiman). Tingginya kebutuhan akan rumah sebagai tempat tinggal yang dibarengi dengan keterbatasan lahan di perkotaan ini menyebabkan semakin sempitnya ruang yang tersedia untuk permukiman berikut utilitas yang memadai. Hal ini memunculkan permukiman kumuh (slum) ataupun permukiman liar (squatter) padat penduduk di suatu wilayah, yang mayoritas ditempati oleh masyarakat golongan menengah ke bawah. Oleh karena itu, permasalahan permukiman perlu mendapat perhatian yang serius oleh pihak manapun. Semarang merupakan salah satu dari kota – kota besar di Indonesia yang mengalami perkembangan cukup pesat. Kondisi ini ditandai dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, hal ini dibuktikan dengan jumlah penduduk yang mencapai 1.527.433 jiwa di tahun 2010 (Kota Semarang dalam Angka tahun 2010). Sebagai wilayah perkotaan, Semarang tidak luput dari permasalahan permukiman kumuh (slum) dan permukiman liar (squatter). Oleh karena itu, upaya memperbaharui suatu kawasan perkotaan dengan meningkatkan mutu lingkungan permukiman penduduk diwujudkan melalui pembangunan permukiman sebagai bentuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur (Pasal 5 : UU No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman). Pembaharuan kawasan perkotaan ini merupakan bentuk peremajaan kota sebagai solusi dalam perencaanaan tata ruang yang baik. Pemerintah Kota Semarang mengambil suatu kebijakan dalam peremajaan kota melalui pembangunan rumah susun, yang dituangkan dalam Perda Kota Semarang nomor 1
14 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 20112031 dalam pasal 80 poin B yang menyebutkan bahwa rencana pengembangan kawasan perumahan kepadatan tinggi salah satunya melalui peningkatan kualitas hunian di kawasan perumahan melalui pembangunan secara vertikal (rumah susun/apartemen). Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian – bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan – satuan yang masing – masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama (Pasal 1 : UU nomor 20 tahun 2011 Tentang Rumah Susun). Kota Semarang mengalami perkembangan cukup pesat, didukung pula sebagai kota transit yang menunjukkan bahwa Kota Semarang berpotensi dalam sektor perekonomian, bisnis dan jasa menyebabkan banyaknya investor yang berniat mendirikan bangunan rumah susun berskala besar dan modern. Hal ini perlu diantisipasi pemerintah Kota Semarang agar pembangunan rumah susun dapat sesuai target dan tepat sasaran. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Semarang berencana membuat Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang pembuatan rumah susun dan apartemen berikut dengan fasilitas umum dan sosial sebagai bukti bahwa pembangunan rumah susun merupakan bentuk perhatian Pemerintah Kota Semarang. Rencana pemerintah dalam membuat Peraturan Daerah (Perda) ini pernah tercantum dalam media Semarang Metro edisi 18 Mei 2012. Program pembangunan rumah susun di Indonesia pertama kali didirikan di Kebon Kacang, Jakarta sebagai eksperimen untuk menggantikan permukiman kumuh (Kuswartojo,dkk , 2005). Pembangunan rumah susun ini dinilai sebagai solusi efisiensi lahan karena pembangunan permukiman secara horisontal dianggap memakan banyak lahan dan menambah kesemrawutan kota, sehingga program ini mulai dikembangkan di kota – kota besar lainnya dan Kota Semarang salah satunya. Salah satu sasaran dalam pembaharuan lingkungan permukiman di Kota Semarang dengan membangun rumah susun percontohan bagi masyarakat golongan menengah ke bawah pada awal tahun 1990-an sebagai bentuk
2
peremajaan kota dan peningkatan kesejahteraan. Rumah susun tersebut yaitu rumah susun Pekunden dan Bandarharjo. Kedua rumah susun ini menggunakan sistim sewa dan ada juga yang merupakan sewa beli sebagai kompensasi pengganti dari proyek peremajaan permukiman kumuh dan liar. Rumah susun Pekunden berada di Kecamatan Semarang Tengah memiliki 5 blok hunian sejumlah 92 unit dengan tipe 81 m2, tipe 54 m2 dan tipe 27 m2. Perbedaan tipe hunian rumah susun ini dikarenakan adanya perbedaan karakteristik kondisi sosial dan ekonomi tiap penghuni sehingga pembangunan tipe hunian rumah susun diharapkan mampu sesuai dengan kondisi sosial ekonomi penduduk yang berada di kawasan Kelurahan Pekunden. Pembangunan rumah susun Pekunden ini ditujukan agar dapat menata permukiman kumuh dan liar yang berada di pusat kota, terlebih akibat kepadatan penduduk yang semakin meningkat di kota Semarang. Setelah itu pada awal 1992-1993 didirikan rumah susun Bandarharjo di Kecamatan Semarang Utara dengan jumlah 3 blok bangunan rumah susun yang masing – masing terdiri atas 90 unit, 30 unit, dan 90 unit dengan total 210 unit. Rumah susun ini memiliki tipe hunian yang terdiri dari tipe 54 m2, tipe 36 m2, dan tipe 27 m2. Kawasan ini merupakan kawasan yang sering terkena banjir rob dan merupakan tempat buangan limbah industri, sehingga permukiman yang berada di sekitar area tersebut nampak semrawut. Hal ini tidak membuat penduduk berencana pindah ke tempat yang lebih baik namun tetap memilih bertahan tinggal karena dekat dengan pusat kota yang dianggap memiliki aksesbilitas cukup memadai. Rumah yang semula berbentuk horizontal dan berubah menjadi fisik bangunan yang bersusun vertikal tentunya terdapat perubahan karakteristik penghuni dari hunian yang ditempati sebelumnya. Dilatarbelakangi aspek fisik, kondisi sosial ekonomi, dan budaya sehingga karakteristik tiap penghuni di masing – masing rumah susun berbeda.
I.2 Rumusan Masalah Sasaran penghuni dalam pembangunan rumah susun Pekunden dan rumah susun Bandarharjo di Kota Semarang adalah golongan menengah ke bawah. Kedua rumah susun didaerah kajian tersebut merupakan rumah susun yang
3
dibangun pertama kali di Kota Semarang dengan tujuan sebagai peremajaan kota dan peningkatan kesejahteraan. Pembangunan rumah susun memprioritaskan pada lokasi dan lingkungan bekas permukiman kumuh atau liar, oleh karena itu sasaran penghuninya adalah penghuni kampung kumuh yang mayoritas berpenghasilan rendah. Latar belakang penelitian ini juga karena perbedaan dalam lokasi kedua rumah susun, dimana letak rumah susun Pekunden berada pada jalur PandanaranTamrin-Pemuda yang merupakan kawasan pusat padat aktivitas dan fasilitas umum. Berbeda dengan rumah susun Bandarharjo yang berada pada kawasan pelabuhan dan industri kerapkali mengalami banjir rob sehingga menyebabkan kawasan ini sering tergenang banjir, hal ini membuat lingkungan di kawasan ini nampak kumuh. Meskipun kawasan Bandarharjo dekat dengan pusat kota namun fasilitas yang terdapat di daerah ini masih terbilang kurang memadai dibandingkan dengan daerah Pekunden. Perbedaan keberadaan kedua rumah susun tersebut juga menggambarkan perbedaan kondisi sosial ekonomi penghuni yang menempatinya. Kondisi sosial ekonomi tersebut merupakan salah satu faktor yang dipertimbangankan oleh penghuni dalam memilih menempati rumah susun di daerah kajian. Oleh karena itu rumusan masalah dari penelitian ini antara lain : 1. Bagaimanakah perbedaan karakteristik kondisi sosial ekonomi penghuni di kedua rumah susun? 2. Adakah hubungan antara kondisi sosial ekonomi dengan alasan penghuni menempati rumah susun? Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Studi Komparasi Karakteristik Kondisi Sosial Ekonomi Penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa (rusunawa) Pekunden dan Bandarharjo Semarang”.
I.3 Tujuan penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui, mengkaji, serta menganalisa :
4
1. Perbedaan karakteristik kondisi sosial ekonomi penghuni di kedua rumah susun. 2. Hubungan antara kondisi sosial ekonomi dengan alasan memilih tinggal di rumah susun.
I.4 Kegunaan Penelitian Manfaat yang ingin diberikan dalam penelitian ini adalah dapat dijadikan sebagai referensi dan menjadi bahan pertimbangan dalam penelitian selanjutnya yang memiliki keterkaitan tema penelitian, sehingga berguna bagi penelitian di masa datang. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbang saran untuk mengambil kebijakan permukiman terkait pembangunan berkelanjutan mengenai pengelolaan rumah susun yang diperuntukkan bagi golongan menengah ke bawah.
I.5 Tinjauan Pustaka I.5.1 Tinjauan teoritis Menurut Budiharjo (1984), tidak mengherankan kalau kota memiliki pengaruh terhadap lingkungan fisik. Jika sebuah kota berkembang diluar kemampuan sumberdaya alam untuk mendukungnya, terjadilah spekulasi pertumbuhan kota. Penentuan batas kota semakin luas, kota terus berkembang dan bertambah besar. Pertumbuhan penduduk yang memadati kota tidak saja tumbuh menurut deret ukur tetapi laju tumbuhnya bertambah besar. Kebutuhan akan tanah terus meningkat, sebagai dampak pemenuhan kebutuhan rumah bagi para penduduk. Mengingat pengadaan perumahan daerah perkotaan sangat terbatas, masalah pemenuhan perumahan sampai saat ini masih sulit terpenuhi terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut banyak anggota masyarakat berpenghasilan rendah terpaksa meningkatkan jumlah penghuni dalam rumah – rumah yang ada atau membangun gubug – gubug secara liar di daerah kumuh (Panudju, 1999). Selain itu, Turner (1972) mengemukakan bahwa rumah mengandung arti sebagai komoditi dan proses. Komoditi bersifat
5
ekonomis, yang menyebutkan bahwa rumah merupakan produk yang bernilai dalam hal ini dapat diperjualbelikan sesuai permintaan dan penawaran. Rumah sebagai proses dalam bentuk aktivitas dan interaksi sosial didalamnya. Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi masyarakat, rumah dijadikan sebagai tempat berlindung, perilaku sosial, juga memiliki fungsi ekonomi. Dalam hal ini, konteks rumah yang ditempati adalah rumah yang layak huni dengan tidak hanya dari segi kuantitas semata melainkan kualitas dan mutu rumah sebagai hunian, dikarenakan rumah juga berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Kebanyakan masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah di kota – kota di Indonesia menganggap rumah tidak sekedar tempat hunian semata – mata tetapi juga sebagai tempat bekerja untuk menambah penghasilan (Budihardjo, 1984). Kebutuhan perumahan akan terus meningkat dan oleh karena keterbatasan kemampuan masyarakat, kebutuhan akan perumahan yang begitu besar belum dapat dipenuhi dengan pembangunan perumahan baru yang seimbang,
mengakibatkan
tumbuh
dan
berkembangnya
permukiman
–
permukiman kumuh yang tidak dapat dikendalikan (Yudohusodo, 1991 : 10). Menurut Kuswartojo,dkk (2005) meskipun pembangunan perumahan di sekitar kota besar tersebut formal dan diorganisasikan, tetapi penempatannya dalam kawasan justru seperti tidak terkendali. Keadaan ini membuahkan sejumlah satuan permukiman yang meskipun jumlah penduduk yang dapat ditampung secara total mencapai skala kota besar, tetapi wujud nyatanya merupakan tebaran permukiman yang tidak terpadu sebagai satuan unit urban. Hal ini yang menimbulkan munculnya permasalahan permukiman kumuh dengan padat penduduk, kualitas kontruksi rendah, prasarana, dan pelayanan permukiman minim, sehingga kategori kekumuhan suatu permukiman identik dengan masyarakat miskin atau golongan menengah ke bawah. Permukiman kumuh merupakan permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat (Pasal 1 : UU nomor 20 tahun 2011 Tentang Rumah Susun).
6
Fenomena urbanisasi di Indonesia memang tidak bisa dijauhkan dengan seiring berkembangnya kota – kota besar. Kaum pendatang dari pedesaan menyerbu kota – kota besar dengan berbagai tujuan terutama ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Wujud nyata dari urbanisasi ini berupa permukiman yang mewadahi suatu kehidupan dilihat dari segi sosial, ekonomi dan budayanya mempunyai
sifat
kekotaan
(urban)
(Kuswartojo,dkk.
2005).
Akibatnya
memunculkan permasalahan mengenai lahan untuk bermukim. Perkotaan sulit menyediakan fasilitas pemenuhan dasar bagi penduduk terutama kebutuhan rumah. Burgess
menjelaskan
tentang
teori
struktur
internal
kota
yang
menyebutkan bahwa faktor – faktor lokasi penting bagi tingkat penghasilan. Umumnya masyarakat memilih hunian lebih menitikberatkan pada segi ekonomi, sehingga berusaha agar dapat mendekati pusat kegiatan aktivitasnya (Daldjoeni, 1996). Selain itu, Yeates dan Garner (1980) dalam Swasining (2010) juga turut mengemukakan bahwa dalam memutuskan untuk menentukan rumah hunian sebagai tempat tinggal, seseorang akan mempertimbangkan banyak faktor, antara lain faktor lingkup sosial ekonomi (pekerjaan, penghasilan, jumlah anggota keluarga, dll) serta lingkungan fisik. Hingga saat ini, tingkat ekonomi merupakan faktor pertama yang paling mendapatkan perhatian dari semua aspek yang menyebabkan permasalahan di sebuah kota (Friedmann dan Wulff, 1979). Dalam pengalaman penanganan pembangunan perumahan di daerah perkotaan, pada tahap penentuan lokasi yang dihadapi adalah masalah kesesuaiannya dengan rencana tata ruang kota dan perkotaan. Banyak usulan lokasi pembangunan permukiman, terutama yang berskala besar, berada di luar administratif kota, yang belum ada rencana tata ruangnya dan belum ada program penyediaan prasarana perkotaannya. Hal inilah yang menimbulkan kurang berfungsinya permukiman yang dibangun sesuai dengan fungsi kota yang diharapkan (Yudohusodo, 1991 : 321) . Menurut Yunus (2011) kepadatan penduduk kota yang tergolong tinggi dan terus menerus bertambah membawa konsekuensi spasial yang serius bagi kehidupan kota, yaitu adanya tuntutan akan space yang terus –menerus pula untuk
7
dimanfaatkan sebagai tempat hunian. Persoalan yang dihadapi pemerintah kota dimana mana sama, yaitu terbatasnya persediaan ruang terbuka di kota yang dapat dimanfaatkan untuk mengakomodasikan prasarana – prasarana kegiatan baru. Meningkatnya luasan permukiman kumuh di kota – kota, khususnya kota besar di Indonesia tidak terhindarkan lagi sehingga tidaklah berlebihan dikatakan bahwa saat ini sebagian besar permukiman di Indonesia adalah permukiman kumuh dalam arti sebenarnya. Permasalahan permukiman di perkotaan menyangkut hal – hal yang berkaitan dengan upaya penyediaan air bersih, sistem pembuangan sampah, sistem pembuangan kotoran, air limbah, tata bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya kebakaran, serta pencemaran air, udara dan tanah. Hal ini turut mempengaruhi kualitas hunian yang ditempati. Oleh karena itu perlu adanya usaha perbaikan kawasan lingkungan permukiman guna menyeimbangkan antara kuantitas permukiman dan kualitas permukiman layak huni. Perbaikan kawasan lingkungan permukiman di perkotaan merupakan bentuk dari peremajaan kota. Menurut Yudohusodo (1991 : 332), peremajaan kota adalah upaya pembangunan yang terencana untuk merubah atau memperbaharui suatu kawasan kota yang mutu lingkungannya rendah. Salah satu alternatif dalam hal ini adalah pembangunan permukiman dengan efisiensi lahan, yaitu mendirikan permukiman secara vertikal bersusun sebagai perumahan rakyat. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian – bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan – satuan yang masing – masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama (Pasal 1 : UU nomor 20 tahun 2011 Tentang Rumah Susun). Rumah susun merupakan harapan pemerintah daerah di berbagai kota besar yang padat penduduk juga sebagai instrumen pembangunan. Menurut Budihardjo
(1984
:
206),
kecenderungan
pembengkakkan
kota
yang
mengakibatkan susahnya pelayanan sarana dan prasarana kepentingan umum kiranya perlu dipikirkan penempatan lokasi rumah susun di periferi kota, atau sekaligus di luar kota sebagai embrio dari kota baru (new town) untuk mengurangi
8
beban dan tekanan terhadap kota besar. Upaya ini perlu diikuti dengan program terpadu dari instansi lain, terutama yang bersangkutan dengan lapangan kerja (industri dan perdagangan), pendidikan, kesehatan, perbelanjaan dan lain – lain agar lingkungan (kota) yang baru tersebut sedikit banyak bisa swasembada. DKI Jakarta sebagai kota yang pertama kali dilakukan eksperimen didirikannya rumah susun sebagi pengganti kawasan kumuh. Pembangunan rumah susun ini dinilai sebagai jawaban atas solusi keterbatasan lahan akibat alih fungsi menjadi permukiman padat penduduk di Ibukota. Pembangunan rumah secara vertikal ini diperuntukkan bagi warga yang golongan menengah ke atas ataupun menengah ke bawah. Hal ini kemudian diikuti oleh kota – kota besar lainnya seperti Surabaya, Bandung, dan Semarang. Bahkan saat ini pembangunan rumah susun sudah dilakukan di berbagai kota kecil seperti Cimahi dan Sukabumi ( Kuswartojo dkk, 2005). Semarang sebagai salah satu kota besar yang padat penduduk juga turut mencanangkan program pembangunan rumah susun yang diperuntukkan bagi golongan menengah ke bawah. Kebijakan rumah susun di Kota Semarang sebagaimana tercantum dalam peraturan daerah Kota Semarang nomor 14 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031 dalam pasal 80 poin B yang menyebutkan bahwa rencana pengembangan kawasan perumahan kepadatan tinggi salah satunya melalui peningkatan kualitas hunian di kawasan
perumahan
melalui
pembangunan
secara
vertikal
(rumah
susun/apartemen). Rumah susun tersebut adalah rumah susun yang diperuntukkan bagi golongan menengah ke bawah. Dalam hal penghuniannya pemerintah daerah Kota Semarang mengaturnya dalam Peraturan Walikota Semarang nomor 7 tahun 2009 tentang penghunian dan persewaan rumah sewa milik pemerintah Kota Semarang. Rumah susun yang dibangun oleh pemerintah memiliki beberapa lantai hunian dengan tipe hunian yang berbeda. Tipe hunian rumah susun ini dinyatakan dalam satuan pengukuran m2. Rumah susun yang dibangun dan diperuntukkan oleh golongan menengah kebawah, ditempati oleh penghuni dengan latar belakang kondisi sosial ekonomi yang berbeda. Hal ini yang membuat masing –
9
masing rumah susun memiliki keberagaman karakteristik penghuni yang menempatinya. Perbedaan karakteristik penghuni rumah susun ini salah satunya tercemin dalam aspek sosial ekonomi. Hal ini dikarenakan sosial ekonomi merupakan salah satu variabel yang berperan dalam alasan penghuni memilih menempati rumah susun sehingga terbentuk karakteristik penghuni rumah susun yang berbeda. Golongan menengah kebawah dikategorikan dengan kondisi sosial ekonomi penduduk yang tergolong rendah. Kondisi sosial ekonomi ini digambarkan dengan tingkat pendidikan yang berhasil ditamatkan, pekerjaan yang diperoleh, pendapatan, serta kepemilikan aset ekonomi, dan banyaknya anggota rumah tangga yang dimiliki. Indikator sosial ekonomi tersebut menggambarkan tingkat kesejahteraan rumah tangga. Tingkat kesejahteraan manusia digambarkan melalui tingkat pendidikan yang berhasil ditamatkan. Menurut BPS, pendidikan yang ditamatkan merupakan tingkat pendidikan yang dicapai seseorang setelah mengikuti pelajaran pada kelas tertinggi suatu tingkatan sekolah dengan mendapatkan tanda tamat (ijazah). Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pendidikan yang berhasil ditamatkan seseorang, maka semakin meningkat pula status sosialnya. Selain itu, tingkat ekonomi penduduk juga
digambarkan
melalui
kemampuan
memperoleh
pendapatan
dan
mengalokasikan dana kebutuhan rumah tangga agar pendapatan yang diperoleh tidak lebih sedikit dibandingkan pengeluaran. Dalam hal ini, pendapatan yang diperoleh salah satunya dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dimiliki, sehingga jumlah pendapatan dan kepemilikan aset ekonomi lainnya dapat menggambarkan kemampuan tingkat ekonomi seseorang.
I.5.2 Tinjauan Empiris Penelitian mengenai rumah susun telah banyak dilakukan oleh penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Aris Mustofa Mujiman (2010) dengan tujuan untuk mengetahui persepsi dan sikap partisipasi masyarakat terhadap pembangunan rumah susun sewa (rusunawa) warga di Kecamatan Jetis, Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa hubungan antara
10
persepsi dengan tingkat partisipasi warga memiliki korelasi yang rendah. Dikarenakan fasilitas masih kurang memadai sehingga partisipasi warga kurang terhadap pembangunan rumah susun. Penelitian yang dilakukan Aris Mustofa Mujiman ini didalamnya terdapat aspek sosial ekonomi dan meliputi kependudukan serta struktur perekonomian. Rumah susun yang diperuntukkan bagi golongan menengah ke bawah sebagai alternatif meminimalisir permukiman kumuh sekiranya bukan hanya kuantitasnya saja yang diperhatikan tetapi juga kualitas rumah dan lingkungan rumah susun. Penelitian mengenai topik tersebut dilakukan oleh Erma Dwi Purwantini (2010) yaitu peneliti melakukan komparasi antara kualitas rumah dan lingkungan rumah susun dengan kualitas rumah dan lingkungan bukan rumah susun.Peneliti menyoroti rumah susun sebagai inovasi baru dalam menangani kawasan permukiman pinggir sungai di perkotaan Yogyakarta. Dalam penelitiannya, peneliti juga memasukkan aspek sosial ekonomi sebagai variabel yang dipengaruhi oleh kualitas huniannya. Studi kasus mengenai rumah susun di Yogyakarta juga dilakukan oleh Dheni Pratiwi (2010) dengan tujuan untuk mengetahui peran rusunawa Cokrodirjan terhadap peningkatan kesejahteraan penghuninya, peneliti menyoroti kesejahteraan penghuninya sebelum tinggal di rumah susun dengan setelah tinggal di rumah susun. Kesejahteraan penghuni dapat dilihat dari salah satu aspek yakni aspek sosial ekonomi, yang disebutkan bahwa kualitas rumah dan lingkungan hunian yang ditempati akan menunjukkan tingkat sosial ekonomi penghuni yang menempatinya. Berbeda dengan penelitian Tantri Swasining (2010), penelitian yang dilakukan di rusun Pekunden, Plamongansari dan Kaligawe Semarang ini menyoroti tentang proses penghunian dan pengelolaan rumah susun agar dapat berfungsi secara optimal dengan melihat dari segi prosedur penghunian dan strategi dalam menghuninya. Penelitian ini tidak hanya secara dikaji dari aspek fisik dan lingkungan, namun terkait dengan sosial ekonomi dan budaya yang juga turut mempengaruhi proses penghunian dan pengelolaan rumah susun yang ditempati.
11
Penelitian yang dilakukan oleh Ernawati Purwaningsih (2011), menyoroti kasus penghuni di rumah susun Cokrodirjan Yogyakarta. Peneliti mengkaji mengenai penyesuaian diri penghuni rumah susun terhadap lingkungan tempat tinggal, yang diketahui bahwa bentuk penyesuaian diri penghuni ditunjukkan dengan pola adaptasi yang dilakukan baik pada lingkungan fisik maupun sosial. Penelitian ini juga menyoroti profil penghuni rumah susun yang dilihat dari kondisi sosial ekonomi, motivasi penghuni untuk memperoleh tempat tinggal setelah tidak tinggal di rumah susun, serta alasan utama penghuni memilih tinggal di rumah susun yang dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi penghuni. Ditinjau dari penelitian – penelitian sebelumnya, aspek sosial ekonomi sangat berperan dalam setiap penelitian yang terkait dengan rumah susun. Oleh karena itu, peneliti mencoba menyoroti kasus rumah susun yang berada di Kota Semarang. Kebijakan rusunawa Kota Semarang diambil sebagai alternatif dalam peremajaan kota sebagai penanganan adanya kawasan lingkungan permukiman padat penduduk yang menimbulkan kekumuhan. Kebijakan rusunawa pertama kali dituangkan dengan pembangunan rumah susun Pekunden dan rumah susun Bandarharjo. Perbedaan penelitian ini dengan sebelumnya adalah peneliti menyoroti perbedaan karakteristik sosial ekonomi penghuni yang juga berhubungan dengan alasan penghuni dalam memilih menempati rumah susun di daerah kajian. Aspek sosial ekonomi penghuni ditinjau dari tingkat ekonomi penghuni, pendidikan, jenis pekerjaan serta jumlah anggota rumah tangga yang menempati di satu unit rumah susun. Berikut dijelaskan dalam Tabel 1.1 matriks penelitian sebelumnya sebagai tinjauan empiris yang terkait dengan tema penelitian ini.
12
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian No 1
Judul Kajian Persepsi dan Sikap Partisipasi Masyarakat Terhadap Pembangunan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) warga di Kecamatan Jetis Yogyakarta
Peneliti Aris Mustofa Mujiman (2010)
Tujuan 1. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap pembangunan rusunawaJogoyudan di Kecamatan Jetis Yogyakarta. 2. Mengetahui sikap partisipasi masyarakat terhadap pembangunan rusunawa Jogoyudan di Kec. Jetis Yogyakarta. 3. Mengetahui bagaimana hubungan antara persepsi masyarakat terhadap pembangunan rusunawa jogoyudan dengan sikap partisipasi masyarakat terhadap pembangunan rusunawa jogoyudan
Metode Metode survey lapangan dengan tahap pemilihan daerah penelitian, pemilihan responden, pengumpulan data dan analisis data
Hasil 1. Tingkat persepsi terhadap pembangunan rusunawa tergolong sedang, dikarenakan fasilitas masih kurang memadai. 2. Hubungan antara persepsi dengan tingkat partisipasi memiliki korelasi namun rendah. Menunjukkan untuk mengubah sikap partisipasi yang kurang terhadap pembangunan rusunawa, maka harus memperbaiki persepsi masyarakat dalam aspek tujuan, dampak, dan bangunan rusunawa
2
Studi Komparatif Kualitas Rumah dan Lingkungan Rumah Susun dan Bukan Rumah Susun Dalam Upaya Peremajaan KotaYogyakarta
Erma Dwi Purwantini (2010)
1. Perbedaan kualitas rumah dan lingkungan rumah susun dan bukan rumah susun. 2. Perbedaan karakteristik sosial ekonomi penghuni Rusunawa Cokrodirjan (kampung rumah susun) dan Kampung Gemblakan Bawah (kampung bukan rumah susun)
1. Survey lapangan 2. Random sampling 3. Analisis kuantitatif dan kualitatif
1. Terdapat perbedaan kualitas rumah pada rumah susun dan lingkungan rumah susun dengan bukan rumah susun, dimana rumah susun Cokrodirjan memiliki kualitas yang tinggi sedangkan kampung Gemblakan bawah termasuk dalam kualitas rendah 2. Terdapat perbedaan karakteristik sosial ekonomi
13
Lanjutan 1. Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
3.
4.
Proses Penghunian Rumah Susun Sederhana di Kota Semarang. Lokasi rusun Pekunden, Plamongansari dan Kaligawe Peran Rusunawa Cokrodirjan terhadap peningkatan kesejahteraan penghuninya
Tantri Swasining (2010)
Dheni Pratiwi (2010)
3. Peningkatan pendapatan rumah tangga setelah menempati rumah susun sederhana sewa 1. Mengetahui proses penghunian dan pengelolaan rumah susun yang tepat agar berfungsi secara optimal
1. Mengetahui respon/tanggapan masyarakat terhadap kualitas hunian rusunawa Cokrodirjan 2. Mengetahui peran rusunawa Cokrodirjan terhadap peningkatan kesejahteraan penghuninya
14
3.Rusunawa mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga penghuninya setelah menempati rumah susun 1. Field Research Proses penghunian rumah susun 2. Studi kepustakaan dapat dilihat dari dua sisi yaitu 3. Analisis kualitatif dan prosedur penghunian dan strategi kuanitatif penghunian rumah susun. Organisasi penghuni rumah susun berkoordinasi dengan UPTD sehingga membantu meningkatkan kualitas hidup penghuni. 1. Survey lapangan 2. Analisis kuantitatif dan kualitatif, namun kuantitatif hanya sebagai data pendukung 3. Analisis deskriptif
1. Penghuni merasa nyaman menetap di rumah susun dibuktikan dengan banyak peminat meskipun harus mengantre 2. Penghuni merasa lebih sejahtera dibanding sebelum tinggal di rumah susun dibuktikan dari aspek fisik, sosial, ekonomi, kesehatan, dan psikologis
Lanjutan 2. Tabel 1.1 Keaslian Penelitian 5.
Penyesuaian diri Penghuni Rumah Susun terhadap Lingkungan Tempat Tinggal (Kasus Penghuni Rumah Susun Cokrodirjan Yogyakarta)
Ernawati Purwaningsih (2011)
6.
Studi Komparasi Karakteristik Kondisi Sosial Ekonomi Penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Pekunden dan Bandarharjo, Semarang
Yunita Trilestari (2013)
1. Mengetahui cara penghuni untuk mendapatkan hunian rumah susun 2. Mengetahui dan menganalisis penyesuaian diri penghuni terhadap lingkungan tempat tinggal baru 3. Mengetahui dan menganalisis motivasi penghuni untuk memperoleh tempat tinggal setelah selesai jangka waktu tinggal di rumah susun 1. Perbedaan karakteristik kondisi sosial ekonomi penghuni rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) Pekunden dan Bandarharjo, Semarang 2. Mengetahui hubungan antarapendapatan dengan alasan memilih tinggal di rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) Pekunden dan Bandarharjo, Semarang
15
1. Pendekatan kualitatif dan kuantitatif (triangulasi konkruen). 2. analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif
1. Sebagian besar penghuni mudah mendapatkan hunian di rumah susun 2. Sebagian besar penghuni mudah beradaptasi by reaction terhadap lingkungan fisik 3. Penyesuain diri terhadap lingkungan sosial berupa interaksi antarpenghuni setelah tinggal di rumah susun relatif agak berkurang
1. Survey lapangan 2. Stratifikasi Random Sampling, Analisis Statistik Deskriptif
1. Terdapat perbedaan karakteristik kondisi sosial ekonomi penghuni rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) Pekunden dan Bandarharjo, Semarang 2. Terdapat hubungan antara sosial ekonomi dengan alasan memilih menempati rumah susundi rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) Pekunden dan Bandarharjo, Semarang
I.6 Kerangka Pemikiran Pembangunan rumah susun dinilai dapat meminimalisir permukiman kumuh di Kota Semarang, yang diakibatkan dari semakin meningkatnya kepadatan penduduk. Perubahan yang terjadi tentunya tidak hanya secara kenampakan fisik bangunan, melainkan juga pada aspek lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya. Rumah susun ditempati oleh penghuni dengan keberagaman latar belakang, salah satunya adalah kondisi sosial ekonomi. Oleh karena itu, setiap rumah susun memiliki karakteristik penghuni yang berbeda. Objek penelitian yang diambil yaitu kedua rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang pertama kali dibangun di Kota Semarang, yaitu rumah susun Pekunden dan rumah susun Bandarharjo. Rumah susun Pekunden berada dekat dengan pusat pemerintahan dan semula merupakan kawasan dengan padat penduduk sehingga banyak permukiman padat penduduk yang tergolong kumuh dan liar. Rumah susun Bandarhajo merupakan kawasan pesisir, pelabuhan industri dan bangunan. Dikarenakan berada pada kawasan pesisir, daerah ini sering tergenang banjir sehingga menimbulkan kekumuhan. Oleh karena itu, didirikan rumah susun Bandarharjo. Berdasarkan latarbelakang tersebut terdapat karakteristik penghuni yang berbeda dalam menempatinya, terlebih dari segi aspek sosial ekonomi yang dinilai paling menggambarkan perbedaan yang ada pada setiap penghuni di masing – masing rumah susun. Selain sebagai program peremajaan kota dari permukiman padat penduduk,rumah susun ini juga menampung kaum pendatang yang ingin mengadu nasib di Kota Semarang sehingga tidak mendirikan bangunan permukiman di tengah keterbatasan lahan yang ada. Oleh karena itu, rumah susun ini dibangun dengan beberapa tipe hunian yang disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi penghuninya. Berlatarbelakangi kondisi tersebut maka hal ini menjadi fenomena yang menarik untuk diteliti. Penelitian ini menyoroti antar satu penghuni dengan penghuni lain terdapat variasi kondisi sosial ekonomi yang berhubungan dengan satuan unit rumah yang ditempatinya. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa terdapat perbedaan karakteristik kondisi sosial ekonomi penghuni di kedua rumah
16
susun yang berada pada tiap hunian satuan unit rumah susun yang ditempatinya. Berikut disajikan gambar diagram alir kerangka pemikiran penelitian ini dalam Gambar 1.1.
17
Rumah Susun Sederhana Sewa di Kota Semarang
Rumah Susun Pekunden
Rumah Susun Bandarharjo
Dibangun tahun 1990an. Berada dekat pusat pemerintahan Kota. Padat penduduk Proyek peremajaan permukiman kumuh Sasaran golongan menengah kebawah
Dibangun tahun 1991an. Merupakan kawasan industri, bangunan dan pelabuhan. Daerah rawa, buangan limbah, dan sering terkena banjir Sasaran golongan menengah kebawah
Pendapatan ART Alasan penghunian
Jumlah ART
Tingkat Pendidikan
Jenis Pekerjaan
Karakteristik Kondisi Sosial Ekonomi Penghuni Rumah Susun Sederhana (rusuna) Pekunden dan Bandarharjo Semarang
Gambar 1. 1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran
18
I.7 Hipotesis 1. Terdapat perbedaan karakteristik kondisi sosial ekonomi penghuni di rumah susun Pekunden dan kondisi sosial ekonomi penghuni di rumah susun Bandarharjo.
2. Terdapat hubungan antara kondisi sosial ekonomi dengan alasan penghuni menempati rumah susun.
19