BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan informasi di bidang kelautan (Soeprapto 2001). Survei batimetri memetakan topografi dasar laut dengan cara mengukur kedalaman pada titik-titik tertentu berdasarkan jalur yang telah direncanakan. Pengukuran posisi titik dan kedalaman dilakukan secara serentak sehingga diperoleh data koordinat horisontal (x dan y) dan nilai kedalaman (h). Survei batimetri menggunakan alat echosounder. Alat echosounder mengukur jarak antara alat yang ada di bawah kapal terhadap titik di bawah laut, sedangkan kedalaman laut dinyatakan sebagai jarak vertikal antara suatu bidang referensi tertentu dengan sebuah titik di dasar laut (Anonim 2013). Bidang referensi yang digunakan dalam survei batimetri adalah muka surutan (chart datum) yang ditentukan berdasarkan hasil pengamatan pasang surut. Salah satu jenis alat echosounder untuk survei batimetri adalah Multibeam Echosounder (MBES). Peralatan penentuan posisi yang digunakan pada MBES adalah GPS (Abidin 2000). MBES menggunakan jumlah beam yang dipancarkan lebih dari satu pancaran. Pola pancaran beam melebar dan melintang terhadap badan kapal. Setiap beam mendapatkan satu titik kedalaman. Titik-titik kedalaman tersebut saling terhubung dan membentuk profil dasar laut. Jika kapal bergerak maju, maka hasil sapuan MBES tersebut menghasilkan suatu luasan pada jangkauan tertentu yang menggambarkan permukaan dasar laut tersebut (Moustier 2005). MBES mengukur kedalaman dasar perairan menggunakan teknologi sonar (Sound Navigation and Ranging). Sonar menggunakan prinsip perambatan gelombang akustik dalam air untuk mendeteksi keberadaan suatu objek, objek yang
1
2
dimaksud adalah topografi dasar perairan. Prinsip kerja yang digunakan adalah suatu gelombang akustik dipancarkan ke arah dasar perairan oleh pemancar (transducer) pada multibeam echosounder. Gelombang akustik setelah mencapai dasar perairan kemudian dipantulkan dan diterima kembali oleh penerima (receiver) pada MBES. Dalam kondisi ideal, jarak yang ditempuh oleh gelombang akustik tersebut merupakan dua kali dari kedalaman perairan. Parameter untuk mendapatkan jarak tempuh adalah waktu tempuh dan kecepatan rambat gelombang. Oleh karena itu, akurasi perekaman waktu tempuh gelombang oleh instrumen pada MBES dan akurasi dari penentuan cepat rambat gelombang akustik dalam air mempengaruhi akurasi dari data kedalaman yang diperoleh. Kecepatan rambat gelombang akustik dipengaruhi salinitas, densitas dan temperatur dimana variabel tersebut dinamis sesuai kondisi dan kedalaman wilayah perairan. Identifikasi akurasi nilai kecepatan rambat gelombang akustik pada data MBES penting karena menentukan kualitas data kedalaman yang dihasilkan dari pengolahan data MBES. Identifikasi akurasi data kecepatan rambat gelombang akustik dilakukan pada saat post-processing data MBES. Software yang digunakan adalah MB-System dengan melakukan analisis visual pada hasil permukaan yang diperoleh. MB-System merupakan salah satu software opensource untuk keperluan penelitian dan kualitas data yang dihasilkan sama dengan software berlisensi. Penggunaan software MBSystem dilakukan karena kualitas akurasi data yang cukup baik dan bisa didapatkan secara gratis oleh siapapun tanpa membutuhkan lisensi untuk menjalankannya. MBSystem menampilkan kesalahan nilai kecepatan gelombang akustik dengan tampilan 3D yang mudah diketahui pada area yang landai. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penelitian ini mengkaji penentuan nilai dan pengaruh kecepatan gelombang akustik serta koreksi nilai kecepatan rambat gelombang akustik pada survei batimetri menggunakan alat MBES dengan menggunakan software MB-System. Area penelitian yang digunakan adalah Teluk Kabui dan Selat Sagewin yang memiliki karakteristik topografi yang berbeda untuk mengetahui pengaruhnya pada ketelitian data batimetri yang dihasilkan. Teluk Kabui terletak di tengah pulau sehingga tidak banyak mendapat
3
pengaruh luar dan topografi yang relatif landai, sedangkan Selat Sagewin terhubung pada samudra dan topografinya curam. I.2. Rumusan Masalah Kecepatan rambat
gelombang akustik merupakan unsur penting yang
mempengaruhi akurasi data MBES. Nilai kecepatan gelombang akustik wajib diketahui sebagai koreksi data kedalaman pada pengukuran batimetri. Saat ini belum diketahui secara detil besarnya kecepatan rambat gelombang akustik di dua area penelitian. Pengaruh koreksi kecepatan gelombang akustik serta cara koreksi nilai kecepatan rambat gelombang akustik belum teridentifikasi untuk mendapatkan hasil yang akurat dengan kenampakan topografi sebenarnya menggunakan software MB-System yang merupakan software open source. I.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Berapa nilai kecepatan rambat gelombang akustik menggunakan survei MBES di wilayah Selat Sagewin dan Teluk Kabui? 2. Bagaimana pengaruh nilai kecepatan rambat gelombang akustik terhadap akurasi posisi MBES? 3. Bagaimana koreksi nilai kecepatan gelombang akustik yang akurat dengan software MB-System? I.4. Tujuan Penelitian
Hal-hal yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Teridentifikasinya nilai kecepatan rambat gelombang akustik menggunakan survei MBES di wilayah Selat Sagewin dan Teluk Kabui. 2. Teridentifikasinya pengaruh kecepatan rambat gelombang akustik pada hasil pemetaan batimetri menggunakan survei MBES. 3. Teridentifikasinya koreksi kecepatan gelombang akustik yang paling akurat menggunakan software MB-System antara menggunakan data SVP hasil
4
pengukuran dengan kecepatan rambat gelombang akustik di masing- masing lajur pengukuran pada data batimetri MBES.
I.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin diperoleh dalam kegiatan penelitian ini, yaitu: 1. Sebagai suatu pertimbangan dalam pembuatan standar ketelitian dengan syarat nilai kecepatan gelombang akustik pada SNI pemetaan batimetri menggunakan alat MBES karena ketelitian SNI pemetaan batimetri saat ini hanya untuk Singlebeam Echosounder. 2. Teridentifikasi koreksi kecepatan gelombang akustik yang paling akurat pada wilayah yang memiliki topografi yang berbeda.
I.6. Lingkup Penelitian
Dalam kegiatan penelitian ini, ada beberapa lingkup penelitian yang ada yaitu: 1. Data survei batimetri yang digunakan adalah data MBES, Sound Velocity Profile (SVP), data pasang surut laut (menggunakan koreksi dari MBSystem) dan beberapa data pendukung lainnya yang merupakan hasil pengukuran oleh BPPT di daerah Teluk Kabui dan Selat Sagewin, Raja Ampat,
Papua
Barat.
Pengolahan
data
MBES
dilakukan
dengan
menggunakan software MB-System. 2. Metode yang digunakan adalah membandingkan nilai kedalaman pada wilayah pengukuran antara nilai kecepatan rambat saat pengukuran dan nilai kecepatan rambat yang telah terkoreksi, dengan ketelitian nilai residual kecepatan rambat gelombang akustik. 3. Hasil dari penelitian ini adalah visualisasi 2D pada wilayah dengan nilai kecepatan rambat gelombang akustik yang telah terkoreksi. 4. Uji kualitas data mengacu pada standar IHO pada IHO Special Publication 44 tahun 2008 pada orde satu dengan sampel sebanyak 40 pasang titik.
5
I.7 Tinjauan Pustaka
Kurnia (2014) melakukan pemrosesan data MBES menggunakan software MB-System dengan hasil akhirnya berupa Visualisasi peta tiga dimensi. Pembahasan yang dilakukan meliputi tahap pengolahan data batimetri, faktor-faktor yang mempengaruhi ketelitian dan akurasi data batimetri serta melakukan uji kualitas menggunakan IHO. Penelitian ini dilakukan di daerah Penajam Panser Utara Kalimantan Timur. Pada penelitian lebih difokuskan pada hasi akhir pemrosesan data MBES menggunakan software MB-System. Mangopo (2013) melakukan penelitian tentang pengaruh Sound Velocity Profiller (SVP) pada data MBES dengan menggunakan software CARIS. Topik yang dikaji adalah bagaimana mengidentifikasi akurasi data SVP pada pengolahan data MBES. Pengkajian menggunakan metode ketelitian kecepatan gelombang akustik. Kesimpulan penelitian adalah data SVP yang digunakan dalam pengolahan data tidak akurat. Hal ini karena adanya objek berupa gundukan merupakan pola yang disebabkan nilai SVP yang terlalu besar pada saat pengukuran bukan representasi topografi sebenarnya dari permukaan dasar laut. Parsons (2005) dalam makalahnya menjelaskan studi lapangan dari pemetaan MBES pada wilayah sungai. Data MBES dikombinasikan dengan data Acountic Doppler Current Profile (ADCP) untuk mengetahui informasi aliran sungai. Munculnya gundukan-gundukan pada morfologi hulu dengan perubahan puncak garis lengkung dan jalur puncak/persimpangan yang mempengaruhi bentuk gundukan hilir. Oleh karena itu, proses pembuatan peta batimetri diperlukan berbagai koreksi MBES, salah satunya koreksi pengaruh kecepatan gelombang akustik. Hasil data yang dihasilkan seharusnya merupakan data topografi sebenarnya bukan karena kesalahan dari kecepatan gelombang akustik. Simons, dkk (2008) pada penelitian ini menjelaskan tentang koreksi pengukuran batimetri karena kesalahan nilai SVP menggunakan koreksi teori inversi. Topik yang dikaji adalah mengkoreksi kesalahan nilai SVP pada wilayah pengukuran perairan tenang dengan menggunakan overlapping swath yang diperoleh dari pengukuran MBES. Metode ini didesain untuk mengkoreksi kesalahan yang disebabkan karena deviasi nilai SVP pada beam terluar dari MBES.
6
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Kurnia (2014) terletak pada hasil akhir yang didapatkan. Penelitian Kurnia berupa Visualisasi batimetri 3D sedangkan penelitian ini berupa pengaruh kecepatan rambat gelombang akustik pada hasil batimetri. Perbedaan pada penelitian yang dilakukan Mangopo (2013) terletak pada software yang digunakan. Penelitian yang dilakukan Parsons (2005) menghasilkan topografi dasar sungai dengan memasukkan nilai ADCP, sedangkan penelitian ini tidak menggunakan data ADCP. Penelitian yang dilakukan Simons,dkk (2008) perbedaannya terletak pada koreksi nilai kecepatan gelombang akustik yang digunakan. I.8 Landasan Teori
I.8.1. Pemetaan Batimetri Survei batimetri adalah survei topografi pada wilayah perairan. Proses pengambilan data Batimetri dikenal dengan pemeruman. Pemeruman adalah proses untuk memperoleh model topografi dasar perairan (seabed surface). Proses batimetri dimulai sejak pengambilan data, pengolahan hingga Visualisasinya (Poerbandono dkk., 2005). Tahapan pelaksanaan survei batimetri dimulai dengan pembuatan lajur pemeruman pada wilayah yang dipetakan. Lajur pemeruman merupakan jalur yang digunakan sebagai jalur jalannya kapal saat melakukan survei. Berdasarkan fungsinya, pemeruman dibedakan menjadi tiga macam yaitu lajur utama, lajur silang, dan lajur tambahan/investivigasi. Lajur yang biasa digunakan dalam pengukuran adalah lajur utama dan lajur silang. Lajur perum utama, yaitu lajur perum yang direncanakan
sehingga
seluruh
daerah
survei
dapat
tercakup
dan
dapat
menggambarkan topografi dasar perairanya. Lajur perum silang, yaitu lajur perum yang dibuat memotong lajur perum utama. Tujuan diadakannya lajur perum silang adalah untuk mendekteksi kesalahan hasil pengukuran baik secara horizontal maupun kedalaman pada sistem lajur utama (Soeprapto 2001). Namun demikian, sesuai standar IHO dalam pemetaan menggunakan MBES tidak diwajibkan menggunakan lajur silang (IHO SP 44 2008).
7
Pada pengumpulan data batimetri dilakukan kegiatan penentuan posisi titik pemeruman (x,y) dan penentuan kedalaman titik pemeruman (h). Penentuan posisi titik pemeruman menggunakan metode penentuan posisi dengan gelombang elektromagnetik (satellite receiver) yaitu penenetuan posisi menggunakan satelit GPS yang dipasang pada kapal survei. Penentuan kedalaman titik pemeruman untuk memperoleh nilai suatu kedalaman yang bertujuan untuk menghasilkan gambaran bentuk topografi dasar perairan. Pengukuran kedalaman pada survei batimetri salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan metode gelombang akustik (Poerbandono dkk., 2005). Alat survei batimetri yang menggunakan metode gelombang akustik ini adalah echosounder. Sistem dalam echosounder biasanya terdiri atas satu daya, transducer, hidrofon dan perekam data. Prinsip kerja sistem adalah transducer memancarakan pulsa akustik dengan frekuensi tertentu ke dasar perairan secara tegak lurus. Pulsa akustik dipantulkan oleh dasar perairan lalu diterima kembali oleh hidrofon. Data yang diperoleh dari proses itu adalah selang waktu gelombang mulai dipancarkan dan gelombang kembali diterima. Sonar adalah teknologi pemanfaatan perambatan gelombang akustik dalam air untuk mengetahui topografi dasar perairan. Terdapat dua macam tipe sonar yaitu tipe pasif dan aktif. Perbedaan dua tipe ini terletak pada gelombang akustik yang didapatkan. Tipe pasif hanya menangkap gelombang akustik yang dipancarkan oleh objek lain misal getaran pada mesin kapal, sedangkan untuk tipe aktif memancarkan dan menerima pancaran gelombang akustik jika mengenai suatu objek pada perairan.
a
8
b Gambar I.1 Perbedaan sonar aktif (a) dan sonar pasif (b) (Sumber: Waite 2002) MBES merupakan salah satu aplikasi dari teknologi sonar tipe aktif yang merupakan perpaduan dari komponen-komponen utama seperti tranducer, receiver, dan GPS. I.8.2.
Multibeam Echosounder ( MBES)
I.7.2.1. Pengertian multibeam echosounder (MBES). MBES pada dasarnya menggunakan prinsip yang sama dengan Singlebeam Echosounder (SBES). Perbedaan antara SBES dan MBES terletak pada jumlah beam dipancarkan serta pola pancarannya. MBES memiliki lebih dari satu pancaran gelombang dan pola pancarannya melebar dan melintang terhadap badan kapal. Setiap beam mendapatkan satu titik kedalaman. Titik-titik kedalaman tersebut dihubungkan dapat membentuk profil dasar laut (Moustier 2005). Pada Gambar I.2 dijelaskan visual perbedaan teknik pemacaran beam antara SBES dan MBES. Pada Gambar I.2 juga ditampilkan perbedaan hasil yang didapatkan pada pengukuran menggunakan SBES dan MBES.
9
a b Gambar I.2. Perbedaan antara SBES (a) dan MBES (b) (Sumber: Brenan 2009)
MBES juga terintegrasi dengan peralatan pendukung lainnya. Oleh karena itu sering disebut juga sebagai Multibeam Echosounder Sonar System (MBSS). Menurut Godin (1998), sistem pada MBSS merupakan sekumpulan sensor yang dipasang pada wahana survei yang digunakan secara bersamaan guna menentukan posisi koordinat (x,y) dan kedalaman (h). Instrumentasi dasar yang digunakan antara lain: 1. Tranducer digunakan untuk memancarkan gelombang akustik ke dasar perairan. 2. Tranreceiver/hidrofon digunakan untuk menangkap gelombang akustik yang telah dipantulkan kembali setelah mencapai dasar perairan. 3. Unit kontrol dan integrasi. 4. Unit referensi vertikal (sensor roll, pitch, yaw dan heave) digunakan untuk mengetahui nilai kesalahan kalibrasi saat pengukuran. 5. Positioning system (GPS) digunakan untuk menentukan posisi koordinat (x,y) titik pemeruman. Kelengkapan lainnya seperti monitor dan alat akuisisi digunakan untuk memantau hasil secara langsung atau realtime. Unit untuk akuisisi dan mencatat data (logging) juga terintegrasi dengan sistem. I.7.2.2. Prinsip kerja MBES. MBES memanfaatkan gelombang akustik yang dapat merambat dalam air. MBES memancarkan gelombang akustik atau beam kemudian
10
dipantulkan kembali ketika gelombang akustik tersebut menyentuh material di dasar perairan. Beberapa gelombang yang dipantulkan akan diterima kembali oleh sensor pada receiver dan akan dihitung beda waktu saat gelombang dipancarkan dan saat gelombang kembali diterima. Parameter inilah yang akan diproses menjadi informasi mengenai kedalaman air.
Gambar I.3. Prinsip kerja MBES (sumber: nautical.noaa.gov) Jika terdapat nilai cepat rambat dari gelombang tersebut maka dapat diketahui nilai kedalaman dengan menggunakan persamaan I.1. d = 1/2 .v.t ……………………………………………….... (I.1.) Dalam hal ini : d : kedalaman perairan (m) v : cepat rambat akustik dalam air (m/dt) t : waktu tempuh gelombang akustik (dt) I.7.2.2. Karakteristik dan akurasi MBES. MBES memancarkan beberapa beam sekaligus secara bersamaan, sehingga dapat digunakan untuk mengukur kedalaman permukaan dasar perairan lebih dari satu titik kedalaman dalam sekali ping. Satu ping terdiri atas beberapa beam yang dipancarkan secara melebar atau dikenal dengan istilah swath (dalam satuan derajat). Sistem swath bekerja dengan satu
11
pancaran gelombang yang memiliki lebar dan panjang yang membentuk sebuah kolom dan dapat juga dipakai sebagai Side Scan Sonar (SSS) (de Jong dkk 2002). Sistem swath menghasilkan area lebih besar pada perairan dalam, namun pada perairan dangkal menghasilkan cakupan area yang sama dengan menggunakan sweep. Sweep juga merupakan sistem pemancaran gelombang pada MBES, sistem ini memancarkan banyak gelombang single atau dengan kata lain merupakan multisingle beam. Pada Gambar I.4. ditampilkan cara kerja sistem swath.
Gambar I.4. Cara kerja sistem swath pada MBES (Sumber: Anonim, 2000) Pada MBES, konsep estimasi kedalaman pada setiap beam memiliki sedikit perbedaan karena arah beam yang berbeda-beda membentuk sudut tertentu terhadap garis nadir. Estimasi kedalaman pada setiap beam dilakukan perhitungan sesuai ilustrasi pada Gambar I.5. dan persamaan I.2. berikut.
Gambar I.5. Visualisasi perhitungan nilai kedalaman pada beam (Sumber: De Jong, 2002)
12
Depth(d) = S cos ϴ………………………………………………………...……(I.2)
Dalam hal ini : d
: kedalaman (m).
S
: jarak langsung tranducer terhadap target (m).
ϴ
: arah pancar beam terhadap nadir (°).
Setiap beam mendapatkan satu titik kedalaman. Titik-titik kedalaman dihubungkan membentuk satu profil dasar perairan pada proyeksi garis swath tersebut. Pada saat kapal bergerak maju dihasilkan satu luasan dari sapuan swath sepanjang arah gerak kapal, luasan tersebut terdapat titik titik kedalaman yang menggambarkan permukaan topografi dasar perairan.
Karakteristik utama MBES (Lekkerker dkk 2006) adalah: 1. Frekuensi gelombang akustik berselang antara 12 hingga 500 kHz. 2. Cakupan survei berselang antara 90° hingga 180° ( 2 hingga 12x kedalaman titik survei). 3. Lebar dari beam berselang antara 0.5° hingga 3°. 4. Resolusi jaraknya 1 hingga 15 cm tergantung kedalaman.
Faktor penentu akurasi MBES lebih kompleks dibanding SBES. Faktor tersebut diantaranya adalah kesalahan kecepatan gelombang akustik, kesalahan kalibrasi (time delay, pitch, roll, yaw), dan kesalahan posisi relatif transduser.
I.7.2.3. Akuisisi Data MBES. Komponen dasar yang digunakan pada proses akuisisi data yaitu: 1. Sistem penentuan posisi GPS (Global Positioning System) merupakan suatu sistem penentuan posisi atau navigasi berbasis satelit. Cara penentuan posisi sistem ini adalah dengan metode pengukuran jarak antar titik dengan satelit yang diketahui posisinya (pemotongan ke belakang). Tiga buah pengukuran jarak untuk mengikat posisi suatu titik di atas permukaan bumi, tetapi empat ukuran jarak
13
diperlukan untuk menghilangkan bias jam receiver (Abidin 2000). GPS baik dengan metode pseudo differential (DGPS) atau secara Real Time Kinematic (RTK) adalah sistem menentukan posisi saat menggunakan MBES.
Gambar I.6. Cara kerja GPS pada MBES (Sumber: Brennan, 2009)
2
Sensor montion and heading Sensor montion adalah komponen yang digunakan untuk mengukur besarnya pitch, roll, yaw dan heave. Heading sensor adalah komponen yang digunakan untuk menentukan besarnya arah kapal terhadap acuan tertentu (yaw), komponen ini juga terintegrasi dengan motion sensor. Besarnya heading diperoleh dari sistem GPS dual receiver.
Gambar I.7. Ilustrasi sensor motion dan heading (Sumber: Brennan, C.W 2009)
3
CTD (Condutivity Temperature Depth)
14
CTD digunakan untuk mengukur kecepatan rambat gelombang akustik pada tiap lapisan kedalaman perairan yang diturunkan dari tiga parameter utama yaitu kedalaman, temperatur, dan salinitas. Instrumen ini terdiri atas tiga sensor utama yaitu sensor tekanan untuk mengukur kedalaman, thermistor untuk mengukur suhu,dan sel induktif yaitu sensor konduktivitas untuk mengukur salinitas air. Teknis pengukuran dilakukan dengan cara menurunkan CTD perlahan pada suatu titik pengukuran hingga mencapai kedalaman tertentu. Setiap tahap penurunan tersebut merekam ketiga parameter kecepatan akustik hingga dihasilkan sejumlah data dalam bentuk per lapisan kedalaman.
I.7.2.4. Kalibrasi dalam MBES. Proses kalibrasi dilakukan sebelum melakukan survei terhadap MBES meliputi proses kalibrasi offset statik, uji keseimbangan kapal (roll, pitch, gyro) serta kecepatan rambat akustik (Mann dan Godin 1998).
1. Kalibrasi nilai offset Nilai offset digunakan untuk menentukan nilai posisi dari titik pemeruman. Hal ini karena dalam pengukuran, posisi GPS dan tranducer tidak berada pada satu garis lurus/posisi yang sama sehingga nilai offset menghitung posisi tranducer bukan posisi GPS. Gambar I.8. menjelaskan posisi alat yang terpasang pada kapal saat pengukuran dengan posisi x, y, dan z yang menyesuaikan bentuk dan ukuan kapal. Posisi x positif didefinisikan dari tengah ke kiri kapal, y positif dari tengah ke depan kapal dan z positif dari tengah ke bawah kapal.
15
Gambar I.8. Ilustrasi posisi pada kapal (Sumber: Anonim, 2000)
2. Kalibrasi patch test/keseimbangan kapal Kalibrasi dilakukan di suatu daerah pada dasar laut, karena area yang digunakan harus memiliki kontur relatif landai dan curam dengan kemiringan 1:2 atau 1:5. Parameter yang digunakan adalah roll, pitch, dan yaw (Lekkerkek, dkk, 2006): a. Kalibrasi roll Kalibrasi roll adalah kalibrasi yang digunakan untuk mengkoreksi kesalahan kedalaman akibat perubahan gerak kapal pada sumbu x. b. Kalibrasi pitch Kalibrasi pitch adalah kalibrasi untuk mengkoreksi kesalahan yang diakibatkan karena kesalahan anggukan kapal atau pergerakan kapal terhadap sumbu y, yang mengakibatkan pergeran lajur. c. Kalibrasi yaw (gyro) Kalibrasi yaw adalah kalibrasi untuk mengurangi kesalahan akibat perubahan dari heading kapal pada saat survei. 3. Kalibrasi kecepatan rambat akustik Kalibrasi dilakukan karena adanya perbedaan parameter seperti salinitas, suhu dan tekanan di setiap kolom air mengakibatkan adanya perbedaan kecepatan rambat akustik di setiap kolom tersebut. Untuk itu pengukuran kecepatan rambat akustik diukur menggunakan alat Sound Velocity Profiler.
16
I.8.3. Pasang Surut (Pasut) Pengamatan pasut merupakan komponen koreksi utama untuk menghasilkan peta batimetri. Pasut laut adalah pergerakan air laut secara periodik, dimana perioda dan amplitudo gerakannya berhubungan/disebabkan gaya-gaya geofisik periodik. Gaya-gaya pembangkit pasut adalah resultan gaya tarik bulan, matahari dan gaya sentifugal. Pasut biasanya diamati sebagai gerakan verikal naik turun dari lautan yang mempunyai periode 12,4 jam atau 24,8 jam (de Jong dkk 2002). Pengamatan Pasut biasa dilakukan bersamaan dengan pengukuran batimetri. Menurut de Jong dkk (2002) terdapat empat macam jenis pasang surut yaitu: 1. Diurnal
: memiliki satu puncak high water dan satu lembah low water.
2. Semi-diurnal : memiliki dua puncak high water dan dua lembah low water. 3. Campuran, condong diurnal : mempunyai dua puncak high water dan low water yang tidak penuh dengan spasi tidak tetap antar satu bulan penuh atau hanya satu puncak high water dan low water dalam satu hari. 4. Campuran condong semi-diurnal : memiliki dua puncak high water dan low water antara satu bulan penuh dengan tinggi dan interval waktu yang tidak teratur. Pengamatan pasut untuk keperluan praktis dilakukan selama 15 atau 29 hari (Djunarsjah 2005). Pengamatan pasut dapat digunakan dengan menggunakan alat pengamat pasut seperti rambu pasut, tide gauge, radar gauge ataupun alat pengamat pasut lainnya. Penentuan nilai pasut digunakan sebagai referensi ketinggian ortometrik mengacu pada geoid yang merupakan model bumi yang berhimpit dengan nilai Mean Sea Level (MSL). MSL pada model geoid merupakan nilai rata-rata dari nilai pasut pada perode 18,6 tahun. Nilai chart datum yang digunakan sebagai referensi dalam peta batimetri merupakan nilai muka surutan terendah air laut.
17
I.8.4. Kecepatan Rambat Gelombang Akustik MBES bekerja dengan menggunakan gelombang akustik yang ditembakkan pada area perairan. Komponen utama dalam mekanisme perambatan gelombang akustik dalam air adalah intensitas gelombang, frekuensi gelombang, panjang gelombang dan kecepatan rambat gelombang. Intensitas gelombang ditunjukkan oleh amplitudo dari gelombang yang mempengaruhi jangkauan atau daya tembus dari gelombang. Frekuensi dan panjang gelombang berkaitan dengan resolusi dan daya tembus dari gelombang akustik. Karakteristik MBES adalah besar frekuensi gelombang akustik berbanding terbalik dengan jangkauan atau daya tembusnya. Hal tersebut berlaku sebaliknya untuk panjang gelombang. Ketiga komponen yaitu intensitas, frekuensi, dan panjang gelombang dipengaruhi oleh sumber atau pemancar gelombang akustik yaitu dipengaruhi oleh transmitter pada transducer yang nilainya telah ditentukan pada spesifikasi instrumen yang digunakan. Ketiga komponen tersebut tidak dilakukan kalibrasi, seperti yang dilakukan pada kecepatan rambat gelombang. Menurut Lurton (2002) gelombang akustik secara normal merambat dalam air dengan kecepatan sekitar 1500 m/dt. Pada beberapa kondisi kecepatan ini mengalami perubahan yang disebabkan karena perbedaan salinitas, suhu, serta tekanan yang mengakibatkan perbedaan pada setiap kolom air. Ketiga hal tersebut merupakan karateristik medium yang dilalui dalam perambatannya di air. Menurut Lurton (2002) temperatur, kedalaman, dan salinitas dapat dijabarkan seperti berikut ini: a. Temperatur (T) Temperatur perairan menurun dimulai dari permukaan hingga dasarnya. Ada beberapa variasi lokal akibat faktor lokasi dan waktu. Variasi maksimal terdapat pada lapisan dangkal yaitu tempat terjadinya pertukaran air, pemanasan akibat matahari, dan arus. Variasi lokal berkurang pada lapisan yang semakin dalam hingga akhirnya pada kedalaman tertentu variasi tersebut sangat kecil sehingga temperatur makin stabil tidak bergantung pada lokasi dan waktu.
18
b. Kedalaman (D) Kedalaman perairan mempengaruhi kecepatan rambat gelombang akustik terkait dengan tekanan hidrostatik dimana semakin besar tekanan hidrostatik maka kecepatan rambat gelombang akustik semakin meningkat. Tekanan hidrostatik meningkat sekitar 0,017 per meter kedalaman.
c. Salinitas (S) Variasi salinitas atau kadar garam bergantung pada kondisi hidrologi suatu perairan dan dinyatakan dalam persentasi kandungan garam terlarut (NaCl, MgSO4) dalam air. Secara garis besar pengaruh yang disebabkan oleh ketiga parameter tersebut menurut Schmidt, dkk (2003) adalah perubahan kecepatan gelombang akustik yang nilai kecepatannya dapat meningkat seiring peningkatan salinitas, suhu dan tekanan. Kecepatan meningkat 3 m/dt setiap kenaikan suhu, 1,2 m/dt setiap kenaikan 1 part per thousand (ppt), dan naik 0,5 m/dt setiap perubahan 30 m kedalaman. Hal tersebut disebabkan perambatan gelombang akustik dalam air tidak pernah konstan. Ketiga parameter tersebut digunakan untuk menentukan besarnya kecepatan rambat gelombang akustik dalam air.. Salah satu model parametrik yang secara resmi digunakan dalam industri survei dan pemetaan adalah model Chen dan Millero (Unesco) persamaan I.3 dan model koefisien pada persamaan I.4 (Lekkerkerk,dkk 2006): Chen and Millero (Unesco) ………………………………………………………(I.3) c = (((C00 + C01T + C02T2 + C03T3 + C04T4 + C05T5 ) + ( C10 + C11T + C12T2 + C13T3 + C14T4)P + ( C20 + C21T + C22T2 + C23T3 + C24T4)P2 + ( C30 + C31T + C32T2 )P3) + ( A00 + A01T + A02T2 + A03T3 + A04T4) + ( A10 + A11T + A12T2 + A13T3 + A14T4)P + ( A20 + A21T + A22T2 + A23T3 )P2 + ( A30 + A31T + A32T2 )P3)S + ( B00 + B01T +( B10 + B11T)P)S3/2 + D00+D10P)S2
19
KOEFIEN CHEN MILLERO……………………………….…………... (I.4)
Dalam hal ini: T : temperatur (°C) S : Salinitas ( °/°°) C : Cepat rambat gelombang akustik (m/dt) P : Tekanan (bar)
Pada model I.4 tekanan (P) merupakan fungsi dari nilai kedalaman massa jenis, dan percepatan gravitasi. Nilai A, B, C dan D merupakan koefisien perhitungan yang dikalkulasi oleh Chen berdasarkan skala suhu internasional tahun 1990. Parameter yang paling mempengaruhi variasi kecepatan rambat gelombang akustik adalah temperatur. Perubahan temperatur dipengaruhi oleh pemanasan matahari, akibatnya kecepatan rambat gelombang akustik bergantung pada waktu dilakukannya pengukuran atau pengambilan data. Grafik pada Gambar I.9 menunjukkan perubahan kecepatan rambat gelombang akustik akibat perubahan ketiga parameter utama (Lekkerkerk.dkk 2006), dimana tampak bahwa perubahan
20
pada nilai temperatur lebih signifikan pengaruhnya terhadap nilai kecepatan
Kecepatan gelombang akustik
gelombang akustik dibanding ketiga parameter lainnya.
Gambar I.9. Grafik perubahan kecepatan gelombang akustik akibat salinitas, temperatur, dan kedalaman (Sumber: Lekkerkerk, dkk. 2006)
Pada Gambar I.9. tampak perubahan bentuk setiap kenaikan kedalaman. Suhu, salinitas dan tekanan konstan seiring bertambahnya kedalaman. Pada suatu daerah survei yang memiliki variasi kolom kedalaman semakin banyak yang mempengaruhi kecepatan dari gelombang akustik yang ditembakkan. Perbedaan kolom kedalaman menyebabkan perbedaan salinitas, temperatur dan suhu. Semakin dalam, nilai suhu semakin turun dan tekanan makin meningkat sedangkan salinitas bergantung dari komponen yang dikandung pada perairan tersebut. Arah dari perambatan gelombang akustik dalam air berubah seiring dengan perubahan dari kecepatan gelombang akustik tersebut. Ketika gelombang akustik merambat dari area dengan kecepatan yang tinggi mengarah ke kecepatan yang rendah maka arah dari gelombang akan membelok ke arah bawah dan begitu juga sebaliknya (Anonim 2000). Penjelasan tersebut dapat dilihat pada Gambar I.11
21
Gambar I.10. Perubahan arah gelombang akustik karena pengaruh perbedaan kolom kedalaman (Sumber: Anonim, 2000) Profil kecepatan gelombang akustik dapat mempengaruhi hasil pemetaan MBES. Jika ada kesalahan, jalur pemetaan menjadi melengkung. Kesalahan ini dapat terjadi karena salah dalam menentukan nilai kecepatan rambat gelombang akustik dalam sebuah perairan yang dapat menggangu penghitungan waktu tembakan dan penerimaan beam. Akibatnya kesalahan ini maka kedalaman yang tercatat bukan merupakan kedalaman yang sesungguhnya. Tranducer menghitung waktu perjalanan gelombang dalam air. Apabila terdapat kesalahan dalam menentukan kecepatan gelombang akustik kedalaman yang dihitung mengalami perambatan kesalahan dari nilai kecepatan rambat gelombang tersebut. Bila nilai kecepatan rambat gelombang akustik terlalu kecil, nilai kedalaman bisa menjadi lebih dari yang sebenarnya. Bila terlalu besar maka nilai kedalaman bisa saja kurang dari yang sebenarnya. Pengukuran kecepatan rambat akustik menggunakan alat SVP. Sistem kerja SVP adalah dengan reflektor yang diletakan di dasar laut dan kemudian dipantulkan sinyal akustik dari SVP yang dipasang pada kapal. Kecepatan rambat SVP dibagi menjadi kecepatan downward untuk kecepatan rambat dari SVP ke reflektor dan upward untuk
22
kecepatan rambat dari reflekor menuju SVP. Kecepatan rambat kemudian dirata-rata dan didapatkan profil dan koreksi dari kecepatan rambat akustik di setiap kolom air laut pada area survei.
Untuk menentukan SVP dilakukan pengukuran menggunakan CTD. Alat CTD diturunkan ke dalam perairan dan pengukuran dilakukan di setiap interval kedalaman tertentu hingga mencapai kedalaman maksimal perairan di lokasi dilakukan survei MBES. Pengukuran SVP dilakukan bersamaan dengan waktu dilaksanakannya survei MBES dan dilakukan pada area yang memiliki kedalaman maksimal agar SVP dapat mencakup semua lapisan kedalaman dari area survei. Perbedaan nilai kecepatan gelombang akustik pada setiap lapisan perairan menyebabkan terjadinya fenomena refraksi atau pembelokan arah dari gelombang akustik yang merambat. Mekanisme dan besarnya perubahan arah gelombang gelombang akustik terlihat pada Gambar III.11 dan persamaan I.5.
Gambar I.11. Grafik perubahan kecepatan (c) dan arah gelombang (ϴ) pada tiap lapisan layer kedalaman ( M-13 IHO) (Sumber: Lekkerkerk, dkk, 2006)
23
…………………………………………………...……. (I.5)
Pada Gambar I.11. ditunjukkan bahwa fenomena refraksi gelombang gelombang akustik dapat mempengaruhi estimasi nilai kedalaman (h) pada setiap beam dan posisi relatifnya (x) terhadap transducer atau sumber gelombang. Pengukuran SVP dilakukan untuk mengkoreksi nilai kedalaman dan posisi titik kedalaman akibat adanya refraksi tersebut. Proses koreksi dilakukan pada saat post processing data MBES. Efek familiar yang ditemui untuk mengidentifikasi ketidakakuratan data SVP pada MBES adalah dengan adanya bentukan yang disebut dengan istilah smile dan frown. Pada Gambar I.12. ditampilkan bagaimana bentuk lajur jika ada kesalahan kecepatan rambat gelombang akustik. Kecepatan gelombang Kecepatan akustik terlaluakustik besar Gelombang terlalu besar Permukaan refrensi
Kecepatan gelombang akustik terlalu kecil
Gambar I.12. Kenampakan lajur saat adanya kesalahan kecepatan rambat gelombang akustik (Sumber: Brenan 2009) Bentuk smile menunjukkan bahwa nilai cepat rambat gelombang akustik terlalu besar, yang mengakibatkan kedalaman yang dihasilkan menjadi lebih pendek dari yang seharusnya. Efek ini bisa dilihat pada ujung-ujung beam menjadi lebih pendek dari yang seharusnya, begitu pula sebaliknya pada bentuk frown. Bentuk lengkung pada kedua lajur menentukan bagian overlap antara dua lajur pengukuran yang berdekatan. Pemodelan yang dilakukan menggunakan prinsip least-
24
squares. Nilai seharusnya adalah mendekati nilai sama dengan nol, dengan fungsi persamaan I.6. S
N
X2 = ∑ ∑ (tk,i – Tk,i)2 k=0 i=0 σ2
………….……………………………….. (I.6)
Dalam hal ini : N : jumlah beam yang dipancarkan, S : jumlah swath yang dipancarkan, tk,i : pemodelan dua waktu perjalanan, Beam pada posisi terluar berpotensi mengalami kesalahan terbesar akibat fenomena refraksi yang tidak terkoreksi dengan benar. Hal tersebut disebabkan karena tidak akuratnya data variasi spasial dan temporal dari kecepatan rambat gelombang akustik dalam hal ini SVP. Efek kesalahan SVP pada data batimetri dapat dilihat pada Gambar I.13.
Gambar I.13. Efek batimetri yang mengandung kesalahan nilai SVP (Sumber: Peyton dkk, 2009)
25
Koreksi nilai SVP seharusnya dilakukan pada total area karena nilai SVP dinamis secara spasial maupun waktu. Prakteknya pada saat survei MBES pengukuran SVP hanya dilakukan pada satu atau beberapa titik saja sebagai sampel. I.8.5. Software MB-System Post-processing data MBES merupakan kegiatan pengolahan data yang dilakukan setelah pelaksanaan survei selesai. Proses ini meliputi pembersihan data (filtering), pengkoreksian data, pembuatan mosaik citra dasar perairan, dan pada teknik tingkat lanjut dapat dilakukan klasifikasi sedimen dasar perairan (Kongsberg Maritime 2014). Proses post-procesing dapat dilakukan dengan menggunakan software yang dibuat oleh produsen atau vendor pembuat instrumen MBES itu sendiri. Perbedaan software terdapat pada format raw data yang dapat dibaca oleh software tersebut. Salah satu software yang mendukung beberapa format raw data adalah MB-System (software open source dengan OS Linux). MB-System adalah sebuah paket software open sources yang digunakan untuk mengolah dan menampilkan data citra batimetri, backscatter dari MBES, Interferometry dan SSS (Ferreira 2013). Awalnya MB-System dikembangkan di Lamont-Doherty Earth Observatory of Columbia University (L-DEO). Seiring berkembangnya teknologi kini L-DEO berkolaborasi dengan Monterey Bay Aquarium Reasearch Institute (MBARI). Kini MB-System telah didukung pula perkembangannya oleh SeaBeam Instrumen dan juga National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Pengolahan data yang dilakukan oleh software ini adalah berupa filterisasi data atau pembersihan data dari data outlier atau data spike. Namun beberapa fitur tersembunyi dapat digunakan untuk melakukan pemrosesan data lebih dari hal tersebut.
26
I.8.6. Standar Orde Ketelitian Survei Hidografi
Pengukuran batimetri memiliki standar resmi yang digunakan untuk menjaga kualitas data pengukuran, baik skala international dan nasional. Pemetaan MBES menggunakan standar International Hydrograpic Organization (IHO) karena belum tersedianya dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). Standar teknis pelaksanaan survei batimetri menggunakan standar IHO untuk data pengukuran MBES. Klasifikasi derajat ketelitian yang dibedakan menjadi beberapa orde ketelitian sebagai berikut (IHO SP-44 tahun 2008): a.
Orde khusus Orde khusus survei hidrografi mendekati standar ketelitian survei rekayasa. Orde
khusus digunakan secara terbatas di daerah-daerah kritis pada kedalaman di bawah laut sangat minim dan karakteristik dasar airnya berpotensi membahayakan kapal. Daerah-daerah kritis tersebut ditentukan secara langsung oleh instansi yang bertanggung-jawab di dalam masalah kualitas survei. Sebagai contoh ialah pelabuhan-pelabuhan tempat sandar dan alur masuknya. Semua sumber kesalahan harus dibuat minimal. Orde khusus memerlukan penggunaan yang berkaitan dengan scan sonar, multi transducer arrays atau MBES dengan resolusi tinggi dengan jarak antar lajur perum yang rapat untuk mendapatkan gambaran dasar air 100%. Setiap benda dengan ukuran lebih besar dari satu meter persegi dapat terlihat oleh peralatan perum yang digunakan. Penggunaan side scan sonar dan MBES mungkin diperlukan di daerah-daerah dimana benda-benda kecil dan rintangan bahaya mungkin ditemukan, atau survei untuk keperluan investigasi. b.
Orde satu Orde satu survei hidrografi diperuntukkan bagi pelabuhan-pelabuhan, alur
pendekat, haluan yang dianjurkan, alur navigasi dan daerah pantai dengan lalu lintas komersial yang padat. Kedalaman di bawah laut memiliki luas cukup memadai dan kondisi geofisik dasar lautnya tidak begitu membahayakan kapal (misalnya lumpur atau pasir).
27
Survei orde satu berlaku di daerah dengan kedalaman kurang dari 100 m. Pada daerah daerah ini, kedalaman sampai dengan 40 m. Benda-benda dengan ukuran lebih besar dari 2 m2, atau pada kedalaman lebih dari 40 m, benda-benda dengan ukuran 10% dari kedalaman harus dapat digambarkan oleh peralatan perum yang digunakan. Pembagian orde I dibagi menjadi orde Ia dan orde Ib. Perbedaan antara orde Ia dan Ib terletak pada spesifikasi yang dibutuhkan dalam standar pengukuran hidrografi.
c. Orde dua Orde dua survei hidrografi diperuntukkan di daerah dengan kedalaman kurang dari 200 m yang tidak termasuk di dalam orde khusus maupun orde satu. Gambaran batimetri secara umum sudah mencukupi untuk meyakinkan bahwa tidak terdapat rintangan di dasar laut yang akan membahayakan tipe kapal yang lewat atau bekerja di daerah tersebut. Kriteria penggunaannya di bidang kelautan, sangat beraneka ragam, dimana orde hidrografi yang lebih tinggi tidak dapat diberlakukan. Pemeriksaan dasar laut mungkin diperlukan pada daerah-daerah tertentu dimana karakteristik dasar air dan resiko adanya rintangan berpotensi membahayakan kapal I.8.7. Uji Kualitas Data Pemeruman Pada data MBES pengujian kualitas data dilakukan pada daerah yang bertampalan pada masing-masing lajur. Data MBES pengujian kualitas data dilakukan menggunakan standar IHO untuk menguji tingkat kepercayaan 95% dengan persamaan I.7 sebagai berikut: √𝑎2 + (𝑏 𝑥 𝑑)2 ………………………………………………………. (I.7)
Dalam hal ini: a
: kesalahan independen,
b
: faktor kesalahan kedalaman yang dependen,
28
d
: kedalaman rata-rata,
(b xd) : kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan yang dependen).
Konstanta a dan b yang digunakan dalam persamaan tersebut harus disesuaikan dengan orde survei yang telah diatur oleh IHO.
Tabel I.1. Konstanta ketelitian kedalaman Orde
Spesial
1a
1b
2
Konstanta
a = 0,25
a = 0,5
a = 0,5
a = 1,0
b = 0,0075
b = 0,013
b = 0,013
b = 0,023
(Sumber: IHO SP- 44 2008)
Berdasarkan standar IHO SP-44 tahun 2008, uji kualitas dilakukan dengan mengambil 40 pasang sampel acak pada area pertampalan dua lajur yang berdekatan. Sampel yang digunakan merupakan sampel minimal pada uji statistik menggunakan tabel z. Sampel merupakan dua titik beda lajur yang berdekatan tersebut yaitu Hn dan Hn-1 diasumsikan memiliki kedalaman yang sama. Kemudian dicari selisih antara Hn dan Hn-1, dari selisih tersebut dicari nilai rata-rata dan rata-rata absolut, kemudian nilai standar deviasinya. Pada persamaan (I.8) disajikan persamaan untuk rata-rata dan persamaan (I.9) adalah persamaan standar deviasi. a. Rata-rata Ĥ=
∑(𝐻𝑛− 𝐻𝑛−1 )
…………………………………..…………………(I.8)
𝑛
b. Standar deviasi S=
√∑(𝐻𝑖 − Ĥ)2 𝑛−1
…………………………………...………………… (I.9)
Dalam hal ini nilai: S
: standar deviasi,
29
Hn
: kedalaman lajur 2,
Hn-1
: kedalaman lajur 1,
Ĥ
: rata-rata,
Hi
: beda nilai kedalaman antara lajur 1 dan lajur 2,
n
: banyaknya sampel.
Kemudian dihitung nilai kesalahan beda kedalaman dengan tingkat kepercayaan 95% yang mengacu pada IHO SP-44 tahun 2008 yaitu sebesar 1,96 x S. Kualitas di uji berdasarkan hasil dari nilai kesalahan beda kedalaman tersebut, jika hasilnya masih dibawah toleransi maka hasil tersebut dapat diterima.
I.8 Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka dari penelitian sejenis dan merujuk pada teori yang ada maka hipotesis dari penelitian ini yaitu; 1. Nilai kecepatan rambat gelombang pada wilayah Selat Sagewin dan Teluk Kabui adalah 1500 m/dt dengan nilai residual 0 m. Nilai tersebut merupakan nilai yang digunakan pada kondisi ideal perairan yaitu kondisi salinitas, temperatur, dan tekanan yang memiliki nilai perubahan tidak signifikan. Nilai yang dianggap tepat dapat digunakan untuk mengkoreksi nilai kesalahan kecepatan rambat gelombang akustik pada wilayah tersebut. 2. Pengaruh kesalahan kecepatan gelombang akustik mengakibatkan hasil pengukuran tidak menunjukkan topografi yang sebenarnya dan kedalaman yang sebenarnya serta tidak diterima hasil pengukuran dengan standar IHO. 3. Cara koreksi paling akurat yang digunakan untuk kecepatan gelombang akustik adalah menggunakan nilai SVP pada pengukuran karena nilai SVP yang sudah benar yaitu 1500 m/dt dengan residual 0 m serta memudahkan dalam pengolahan data MBES.