BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Teknologi sangat berperan penting dalam perkembangan dan pekerjaan ilmu geodesi. Dahulu dalam pekerjaan Geodesi masih menggunakan pita ukur hingga saat ini telah diciptakan pengukur jarak elektronik yaitu EDM. Perkembangan teknologi ini sangat menguntungkan bagi para surveyor Geodesi baik di bidang terrestris maupun extra-terrestrial. Geodesi memiliki salah satu cabang ilmu yang juga berkembang pesat seiring dengan kemajuan teknologi yaitu cabang ilmu Penginderaan Jauh. Cabang ilmu ini mengupas tentang citra atau gambar tampilan dari permukaan bumi yang direkam melalui sensor yang diletakkan pada sebuah wahana, baik itu untuk perekaman wilayah darat, maupun air. Dalam pekerjaannya surveyor geodesi biasanya lebih fokus kepada foto udara yang dalam hal ini digunakan untuk pemetaan dengan cara interpretasi. Pekerjaan ini tidak mudah dilakukan tanpa bantuan teknologi yang ada, seperti satelit navigasi, remote sensing, sensor close range dan teknologi yang lainnya. Dalam perkembangannya, sensor yang dipasang pada sebuah wahana guna mendapatkan rekaman berupa data citra, kini sudah mampu merekam data berupa video, dan dapat dimanfaatkan untuk membuat model 3 dimensi yang selanjutnya akan sangat berguna untuk bidang pemetaan. Terkait dengan hal itu, maka surveyor di tuntut untuk bisa memahami bagaimana pekerjaan pembentukan model 3 dimensi secara menyeluruh. Dalam hal ini yang juga turut berkembang adalah satelit sebagai wahana dari sensor perekam data permukaan bumi, baik berupa citra maupun video. Indonesia sebagai negara berkembang, juga mengembangkan satelit yaitu sebuah satelit mikro yang diberi nama Satelit Tubsat-Lapan sebagai salah satu satelit yang dapat merekam keadaan permukaan bumi dengan baik. Satelit pertama milik Indonesia ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan satelit milik negara maju, yaitu ketika Gunung Merapi meletus satelit negara-negara maju mengalami kesulitan dalam pengambilan gambar gunung tersebut karena tertutup awan.
1
Ternyata satelit mini buatan Indonesia jauh lebih canggih dimana saat itu satelit ini mampu mengambil gambar Gunung Merapi karena satelit ini dapat digerakkan kesamping untuk mengambil gambar dari sisi lain gunung. Satelit ini berorbit polar atau mengelilingi bumi dengan melewati kutub. Satelit tersebut melewati wilayah Indonesia sebanyak dua kali per hari. Selain itu, untuk wilayah Indonesia khususnya, satelit yang telah mengorbit lebih dari empat tahun ini telah menghasilkan berbagai video pemantauan bencana misalnya gunung meletus, pemantauan kebakaran hutan, dan pemantauan perkembangan jembatan Suramadu. Dengan demikian, data yang berupa video yang berhasil direkam oleh satelit mini buatan Indonesia tersebut, tentu akan sangat berguna dalam aplikasi ilmu geodesi khususnya dalam pembentukan model 3 dimensi untuk suatu wilayah (Anonim, 2013a). Indonesi sebagai Negara Kepulauan yang memiliki banyak gunung berapi aktif yang tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia tentunya akan terbantu dengan adanya pemodelan 3 dimensi dari gunung tersebut. Bencana alam yang dapat terjadi suatu ketika misalnya seperti letusan gunung berapi mengakibakatkan masyarakat dan pemerintah harus selalu waspada dan siap siaga. Daerah berdampak aliran lahar dan penentuan titik aman serta jalur evakuasi bisa dilihat dan ditentukan melalui model 3 dimensi dari gunung yang bersangkutan. Bersama dengan adanya model 3D dari gunung tersebut akan diperoleh informasi terkait misalnya seperti visualisasi nyata dari sebuah gunung yang dapat ditampilkan sebagai informasi untuk pengguna, sehingga untuk penjelasan penanggulangan bencana pasca terjadi letusan dapat dijelaskan dengan mudah terhadap masyarakat dengan bantuan visualisasi 3D tersebut.
I.2 Lingkup Kegiatan 1. Video yang digunakan adalah data video daerah Gunung Bromo yang merupakan hasil rekaman dari satelit Tubsat-Lapan dengan tanggal perekaman 08 April 2009 dan 29 Juli 2011, yang diperoleh dari Pusat Teknologi SatelitLembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (PUSTEKSAT-LAPAN)
2
2. Menggunakan titik kontrol tanah yaitu Titik Dasar Teknik (TDT) orde 4 dan perapatannya, yang berada di sekitar Gunung Bromo, yang diperoleh dari Badan Pertanahan Nasioanal (BPN) Kantor Wilayah Jawa Timur 3. Frame video diasumsikan sebagai format foto tunggal atau dengan kata lain frame yang dihasilkan melalui pemotongan video diasumsikan sebagai satu buah foto, dan distorsi pada video diabaikan. 4. Pembentukan model 3D menggunakan data DEM dari SRTM90 dan pengolahannya menggunakan software Global Mapper 11 5. Hasil dari proyek ini hanya berupa visualisasi model tiga dimensi Gunung Bromo
I.3 Tujuan Tujuan pekerjaan ini adalah membentuk model tiga dimensi (3D) Gunung Bromo
dari
data
video
satelit
Tubsat-Lapan
yang
digunakan
untuk
mendokumentasikan Gunung Bromo.
I.4 Manfaat Manfaat dari kegiatan aplikatif ini adalah dapat mengetahui metode pembuatan model tiga dimensi (3D) dari data video. Secara umum hasil pemodelan tiga dimensi (3D) dapat dimanfaatkan sebagai dasar dokumentasi Gunung Bromo untuk keperluan terkait lebih lanjut. Hasil kegiatan aplikatif ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya, dengan menerapkan metode videogrametri di berbagai keperluan pemodelan tiga dimensi (3D), terutama pada penelitian yang memfokuskan pada pemanfaatan data video satelit.
I.5 Landasan Teori
1.5.1
Satelit Tubsat-Lapan Tubsat-Lapan adalah sebuah satelit mikro yang dikembangkan Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) bekerja sama dengan Universitas Teknik Berlin (Technische UniversitΓ€t Berlin; TU Berlin). Wahana ini dirancang
3
berdasarkan satelit lain bernama DLR-TUBSAT, namun juga menyertakan sensor bintang yang baru. Satelit Tubsat-Lapan yang berbentuk kotak dengan berat 57 kilogram dan dimensi 45 x 45 x 27 sentimeter ini digunakan untuk melakukan pemantauan langsung situasi di bumi seperti kebakaran hutan, gunung berapi, banjir, menyimpan dan meneruskan pesan komunikasi di wilayah Indonesia, serta untuk misi komunikasi bergerak. Tubsat-Lapan membawa sebuah kamera beresolusi tinggi dengan daya pisah 5 meter dan lebar sapuan 3,5 kilometer di permukaan bumi pada ketinggian orbit 630 kilometer serta sebuah kamera resolusi rendah berdaya pisah 200 meter dan lebar sapuan 81 kilometer. Manuver altitude ini dilakukan dengan menggunakan altitude control system yang terdiri atas 3 reaction wheel, 3 gyro, 2 sun sensor, 3 magnetic coil dan sebuah star sensor untuk navigasi satelit (Anonim, 2013b). Spesifikasi Tubsat-Lapan tergolong sederhana yaitu dengan Power System 4 solar panels, 432x243mm, 35 cells in series, max. 14 W 5 NiH2 batteries, 14V nominal voltage, 12 Ah Communication dan Data Handling: 2 TTCs, UHF, 1200 bps, 3.5W RF S-Band payload communication 2,220Ghz, 524 kB eksternal and 4 kB internal RAM, 524 kB EEPROM, 16 kB ROM, 38.4kbps SCI interfaces Attitude. Dan memiliki Control System 3 wheel/gyro pairs (RW 203 wheels + WDE, fiber optical gyros) Star Sensor Payload CCD color video camera with ~6m** ground resolution CCD color video camera with ~200m ground resolution Komponen-komponen inilah yang membedakannya dengan satelit mikro lain yang hanya mengandalkan sistem stabilisasi semi pasif gradien gravitasi dan magneto torquer, sehingga sensornya hanya mengarah vertikal ke bawah. Sebagai satelit pengamatan, satelit ini dapat digunakan untuk melakukan pemantauan langsung kebakaran hutan, gunung meletus, tanah longsor dan kecelakaan kapal maupun pesawat. Tapi pengamatan banjir akan sulit dilakukan karena kamera tidak bisa menembus awan tebal yang biasanya menyertai kejadian banjir. Satelit akan ditempatkan pada orbit lingkaran melalui kutub-kutub bumi pada ketinggian 630 km dan kemiringan terhadap ekuator sebesar 97,90. Pada ketinggian ini satelit mengorbit bumi sekali dalam 99 menit dan pergeseran setiap orbit akibat rotasi bumi diperkirakan sebesar 24,80. Dibidang teknologi satelit pertama buatan Indonesia ini ternyata tidak tertinggal jauh dengan negara maju,
4
satelit ini telah mengorbit 4 tahun diangkasa padahal perkiraan umur dari satelit mini ini hanya 2 tahun, ini membuktikan bahwa satelit Indonesia memiliki keunggulan tersendiri. Selain itu ketika Gunung Merapi meletus satelit negaranegara maju mengalami kesusahan dalam pengambilan gambar gunung tersebut karena tertutup awan. Ternyata, satelit mini buatan Indonesia jauh lebih canggih, satelit ini mampu mengambil gambar gunung merapi karena satelit ini dapat digerakkan kesamping untuk mengambil gambar dari sisi lain gunung pengambilan data satelit ini juga dapat berupa videogrametri sehingga dapat dipermudah dalam pengolahan dan pemanfaatan datanya.
Gambar I.1 Satelit Tubsat-Lapan (Anonim, 2013b)
I.5.1.1 Sistem Kamera Satelit Tubsat-Lapan. Satelit Tubsat-Lapan yang telah diluncurkan ini memiliki 2 buah kamera yaitu kamera Sony dan Kappa. Kamera Sony dengan prisma beam splitter sebagai filter warna yang mampu meningkatkan ketajaman warna gambar video dan dengan focal lenght 1000 mm, kamera ini dapat menghasilkan resolusi gambar permukaan hingga 5 meter dengan lebar sapuan hingga 3,5 kilometer. Kamera yang digunakan untuk melakukan pengamatan yang lebih luas yaitu kamera Kappa digunakan untuk orientasi satelit dengan focal lenght 50 mm dan lebar sapuan mencapai 81 kilometer. Analisis cakupan kamera sony adalah sebagai berikut: CCD kamera resolusi tinggi memiliki panjang fokus 5
1000mm dengan ukuran array 752x582 piksel, dengan ukuran piksel 8,6x8,3Β΅m dan CCD kamera resolusi rendah memiliki panjang fokus 50mm dengan ukuran array 752x582 piksel, dengan ukuran piksel 8,6x8,3Β΅m. Dengan menggunakan parameter-parameter tersebut maka dapat dihitung lebar sapuan dan ground resolution kamera sebagai berikut: Untuk kamera Sony: Swath Width
=
Ground Resolution
=
752 x 8,6Β΅m x 630km 1000π 8,6Β΅π π₯ 630 ππ 1000π
= 4,07 km
= 5,42 m
Untuk kamera Kappa: Swath Width
=
Ground Resolution
=
752 x 8,6Β΅m x 630km 50π 8,6Β΅π π₯ 630 ππ 50π
= 81,49 km
= 108,36 m
Gambar I.2 berikut menjelaskan mengenai ilustrasi luas area berdasarkan perhitungan diatas dan Gambar I.3 menjelaskan mengenai pola pengambilan gambar dari satelit Tubsat-Lapan.
Gambar I.2 Ilustrasi Luas Area Cakupan Kamera (Anonim, 2013b)
6
Gambar I.3 Pola Pengambilan Gambar (Anonim, 2013b)
I.5.1.2 Sistem Komunikasi Satelit Tubsat-Lapan. Sistem komunikasi yang dimiliki satelit ini pada dasarnya pada dasarnya digunakan untuk melakukan pengiriman data telemetri, data komando, dan juga sistem muatannya. Tabel I.1 Spesifikasi sistem komunikasi satelit Tubsat-Lapan (Judianto, 2010) Frekuensi Modulasi Daya RF Luaran (Output)
Frekuensi Tipe Return Loss Gain Polarisasi Lebar Pancaran (Beamwidth)
Frekuensi Daya RF Luaran Lebar pita (Bandwidth) Modulasi Indeks Modulasi Deviasi Frekuensi Konektor
Payload Data Communication 2220 MHz FM 5 Watt Sistem Antena 437,325 MHz Half dipole Antenna 25 dB β 1 % reflection β 1.2:1 (VSWR) 3 dB Linear Omni directional (typical 45o x 360o) TTC Transceiver 437,325 MHz 3.5 Watt (nom) 7,6 KHz (max, no guard band) FFSK 1.1 1,4 KHz for 1,2 KHz (FM) & 2 KHz for 1,8 KHz (FM) SMA
7
1.5.1.3 Stasiun Pendukung Operasi Satelit. Untuk mendukung operasi satelit LAPAN-TUBSAT yang saat ini sedang beroperasi maupun satelit LAPAN generasi berikutnya yaitu LAPAN-A2 dan LAPAN-A3 yang telah diluncurkan pada tahun 2011 secara bersamaan, maka ketersediaan dan kesiapan stasiun bumi kendali dan penerima data payload menjadi sesuatu yang mutlak dan harus dilakukan segera. Gambar I.4. memperlihatkan sistem konfigurasi stasiun bumi yang dimiliki LAPAN untuk mendukung program satelitnya.
Gambar I.4. Konfigurasi Stasiun Bumi Kendali dan Penerima Data Satelit LAPAN (Judianto, 2010)
Dalam konfigurasi jaringan stasiun bumi pada Gambar I.4 diatas, saat ini jaringan stasiun bumi pendukung misi satelit LAPAN terdiri dari 4 buah stasiun bumi. Stasiun bumi Rancabungur difungsikan sebagai pusat kendali satelit (Spacecraft Control Centre). Sebagai Pusat Kendali Satelit (Spacecraft Control Centre), tugas utama stasiun bumi kendali ini adalah melakukan pengamatan (monitoring) dan operasi kendali satelit (satellite control operations). Dalam melakukan fungsi pengamatan dan kendali satelit, stasiun bumi ini dilengkapi perangkat komunikasi, komputer hardware dan software (satellite tracking, telemetry data receiving dan antenna control). Selain itu tim dalam stasiun kendali ini akan menentukan dan menjalankan misi operasi satelit di orbit. 8
Dalam mendukung fungsi tersebut diatas, SCC Rancabungur terhubung dalam jaringan stasiun bumi lainnya. Secara rinci sistem yang dibangun pada setiap stasiun bumi yang dimiliki LAPAN saat ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Stasiun Bumi Rumpin (106o37β52ββ BT β 6o22β16ββ LS) Stasiun bumi satelit ini dilengkapi dengan sistem antena prime fokus berdiameter 4.5 meter dual band (S-band dan X-band) dengan mengandalkan sistem connical scan antena untuk melakukan penjejakan sinyal yang dipancarkan satelit. Cakupan penerimaan data telemetri melalui sistem antena UHF (437,325 MHz) bisa dilakukan ketika AOS (Aquisition of Signal) pada sudut elevasi 5o. Sedangkan penerimaan data video pada jalur frekuensi S band (2220 MHz) dapat mencakup sebagian besar Pulau Sumatera terutama Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, seluruh Pulau Jawa dan Bali. 2) Stasiun Bumi Rancabungur (106o42β04ββ BT β 6o32β09ββ LS) Stasiun bumi yang dilengkapi sistem kendali UHF (437,325 MHz) dan sistem antena penerima sinyal pita-S (2.220 MHz) berdiameter 2,8 meter dengan backup antena 4 meter cukup bisa diandalkan untuk menerima data video dan telemetri. Cakupan sinyal pita-S dapat dilakukan seperti halnya Stasiun Bumi Rumpin. Sehingga kedua stasiun ini saling backup dalam melakukan operasi satelit. 3) Stasiun Bumi Biak (136o06β07ββ BT β 1o10β41ββ LS) Stasiun bumi yang dilengkapi dengan antena UHF (437,325 MHz) dan parabola 4 meter pita-S (2220 MHz) dapat diandalkan untuk menerima data telemetri dan video analog untuk mencakupi seluruh daerah Papua hingga sebagian besar daerah Maluku dan juga bagian utara Australia. 4) Stasiun Bumi Kototabang (100o22β32ββ BT β 0o15β53ββ LS) Stasiun bumi yang berada di Sumatera Barat yang saat ini masih melakukan fungsi kendali satelit dengan mengambil data telemetri melalui jalur frekuensi UHF (437,325 MHz). Rencananya akan segera diintegrasi sistem antena S-band 3 meter dengan full system untuk melakukan penerimaan data Video dari puncak bukit
9
Kototabang, Sumatera Barat (Judianto, 2010)
1.5.1.4 Sistem Operasi Satelit. Sistem operasi satelit yag dilakukan melingkupi pengambilan data telemetri secara kontinu dari 4 stasiun bumi kendali yang beroperasi dan data video analog. Seperti yang dijelaskan diatas, penjadwalan operasi pengambilan data telemetri dilakukan sebagai berikut: 2 hari night pass untuk Stasiun Bumi Rancabungur; 2 hari night pass untuk Stasiun Bumi Rumpin; 2 hari night pass untuk Stasiun Bumi Biak; 2 hari night pass untuk Stasiun Bumi Kototabang.
Sesuai standar operasi, setiap operator akan menyimpan file data Long Telemetry
yang
diambilnya
dan
mengirimnya
langsung
ke
email
[email protected] setelah selesai melakukan operasi tracking. Seluruh data yang ada di email tersebut secara rutin akan diakses oleh tim analisis data untuk diproses. Pola ini akan dirubah setelah masing-masing stasiun bumi membangun server untuk menyimpan seluruh data (telemetri dan video) yang secara kontinu dapat diakses melalui file transfer protocol (ftp). Main server akan dibangun di Rancabungur Bogor sebagai pusat kendali dan operasi juga prosesing data payload satelit (Judianto, 2009). Untuk operasi pengambilan data video dilakukan secara mandiri oleh masing-masing stasiun bumi sesuai dengan area cakupannya. Kecuali untuk stasiun bumi yang memiliki area cakupan yang saling beririsan seperti stasiun bumi Rumpin, Rancabungur dan Kototabang. Untuk stasiun bumi ini penjadwalan tracking dilakukan secara bergantian setiap 2 hari sekali sehingga dalam satu minggu operasi satelit pengambilan gambar dapat dilakukan secara utuh. Operasi ini dilakukan sesuai target daerah yang telah ditentukan dan sesuai jadwal lintasan satelit. Pada umumnya target pengambilan gambar video yang dilakukan selama ini adalah daerah gunung, perkotaan, persawahan, hutan, objek vital (pelabuhan udara, laut, kilang minyak dll) juga target sesuai kondisi yang terjadi pada saat itu (bencana gempa, banjir, longsor atau karena adanya aktivitas Gunung Merapi)
10
I.5.2
Video dan Videogrametri Video adalah teknologi pengiriman sinyal elektronik dari suatu gambar
bergerak yang ditangkap oleh sensor dan direkam berupa kumpulan kumpulan gambar yang tersusun secara sistematis (Windari, 2014). Metode videogrametri merupakan metode pengukuran dengan menggunakan teknologi video sebagai alat perekam data. Pada dasarnya video merupakan kumpulan frame-frame yang direkam dalam jumlah yang sangat banyak dalam interval waktu yang sangat pendek sehingga menampilkan efek gerak suatu obyek. Mata manusia normal menangkap gerakan video minimal pada 24 frame per second (fps). Meskipun berbeda dalam hal alat perekam (sensor) yang digunakan, namun pada dasarnya metde videogrametri menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip fotogrametri yaitu prinsip kesegarisan. Prinsip kesegarisan merupakan penjelasan matematis tentang hubungan antar titik eksposur sensor, titik obyek pada sistem dua dimensi dan titik obyek pada sistem koordinat ruang. Dengan hubungan kesegarisan tersebut, maka informasi keruangan suatu obyek dapat diperoleh (Anonim, 2012)
I.5.3 Pengolahan Citra I.5.3.1 Mozaik Citra. Mosaik adalah teknik pengabungan dua atau lebih citra satelit dalam satu kenampakan yang selaras dan berkesinambungan, selaras dalam hal kontras warna dan berkesinambungan dalam hal obyek permukaan tersambung secara sempurna. Proses mosaik dan cloud remove hanya bisa dilakukan pada citra yang sudah terkoreksi geometrik dengan baik. Mosaik citra adalah proses menggabungkan / menempelkan dua atau lebih citra yang tumpang tindih (overlapping) sehingga menghasilkan citra yang representatif dan kontinyu. Beberapa teknik digunakan dalam menghitung transformasi yang berhubungan dengan penggabungan beberapa potongan citra menjadi citra yang utuh. Misalnya, penggabungan secara manual ditentukan 4 (empat) atau lebih titik yang bersesuaian antara dua potongan citra, yang cukup informasinya sehingga transformasi proyektif 2D dapat terselesaikan. Penggabungan dapat pula secara iterasi diatur posisi relatif dari citra masukan menggunakan komparator kedip (blink comparator), yang mempertukarkan antara dua citra dalam kecepatan tinggi, atau dengan transparansi.
11
Bila satu foto tidak meliput daerah yang cukup luas, atau bila tidak dapat diperbesar ke skala yang diinginkan, harus dibuat mosaik. Mosaik foto udara pada umumnya dibedakan menjadi tiga kelas yaitu mosaik terkontrol, mosaik semi terkontrol dan mosaik tak terkontrol (Paul, 1983). 1). Mosaik terkontrol memiliki ketelitian paling tinggi. Mosak terkontrol dibuat dari foto yang telah terektifikasi, yaitu semua foto telah dibuat tegak dan memiliki skala yang sama. Titik kontrol yang ada dalam masing-masing foto dibuat berimpit dengan posisinya. Penyusunan mosaik terkontrol harus dilakukan dengan hati-hati dan menggunakan kontrol medan agar mendapat hasil mosaik yang memiliki tumpang tindih yang baik dan skala mosaik yang konstan. 2). Mosaik tak terkontrol dibuat dengan meletakkan gambar berimpit dengan gambar pada foto berikutnya. Tidak ada kontrol medan, dan yang digunakan adalah foto udara tegak yang belum direktifikasi serta belum diseragamkan skalanya. Mosaik tak terkontrol dapat dibuat lebih mudah dan lebih cepat daripada mosaik terkontrol. Ketelitiannya tidak setinggi mosaik terkontrol, akan tetapi cukup memuaskan untuk berbagai penggunaan kualitatif. 3). Mosaik semi terkontrol atau setengah terkontrol disususn dengan menggunakan beberapa kombinasi mosaik terkontrol dan mosaik tak terkontrol. Mosaik setengah terkontrol dapat dibuat dengan menggunakan kontrol medan, teteapi menggunakan foto yang belum direktifikasi dan belum diseragamkan skalanya. Kombinasi lainnya berupa penggunaan foto yang direktifikasi tetapi tidak menggunakan kontrol medan. Mosaik terkontrol dipilih untuk dilakukan dalam kegiatan aplikatif pada penelitian ini, dengan tujuan agar citra hasil mosaik memiliki ketelitian yang tinggi.
I.5.3.2 Rektifikasi Citra. Data raster yang biasanya diperoleh dari hasil scaning citra, foto udara, dan citra satelit belum berisi informasi yang menunjukkan referensi spasial, baik yang tersimpan di dalam file atau yang disimpan sebagai suatu file terpisah. Proses georeferencing ke dalam sebuah sistem koordinat diperlukan agar penggunaan beberapa data raster secara bersamaan dengan data spasial yang sudah ada dapat dilakukan. Dalam pekerjaan koreksi geometrik terdapat satu tahap yang dikenal dengan nama rektifikasi. Rektifikasi ialah proses
12
untuk membuat foto tegak ekivalen dari negative foto sendeng. Foto tegak ekivalen yang dihasilkan disebut foto yang direktifikasi. Ada empat dasar rektifikasi yaitu (Paul, 1983): 1). Grafik. Teori rasio silang merupakan basis dari rektifikasi grafik. Rektifikasi dilakukan dengan menggunakan basis foto yang sudah terektifikasi. Titik kontrol yang ada pada foto terektifikasi disesuaikan dengan yang ada pada foto yang akan direktifikasi. 2). Analitik. Ada beberapa metode untuk melakukan rektifikasi analitik, salah satunya dengan metode numerik. Tiap metode numerik melakukan rektifikasi titik demi titik dan masing-masing foto memerlukan titik kontrol, masukan dasar lain yang diperlukan bagi tiap metode numerik ialah koordinat foto x dan y bagi semua titik kontrol dan titik-titik baru yang akan direktifikasi. Semua metode numerik yang terbaik harus dilakukan secara digital menggunakan computer karena banyak perhitungan yang diperlukan. 3). Optik mekanik. Pada prakteknya, metode optic-mekanik untuk rektifikasi paling banyak digunakan. Metode ini bergantung pada alat yang disebut rectifiers. Alat ini menghasilkan foto yang direktifikasi dan disesuaikan skalanya melalui proses fotografi, oleh karena itu proses ini harus dilakukan pada tempat gelap. 4). Elektro optik. Proses ini melibatkan suatu proses yang menggunakan mikrodensitometer penyiaman dan komputer elektronik. Elektro optic digunakan dengan cara kerja secara luas untuk menghasilkan foto yang direktifikasi. Kegiatan aplikatif yang dilakukan dalam penelitian ini akan menggunakan pengembangan dari metode analitik numerik, dimana rektifikasi dilakukan dengan cara digital menggunakan dua metode yaitu Image to Map dan Image to image. Metode Image to Map adalah metode rektifikasi yang dilakukan dengan memasukkan koordinat x dan y pada titik kontrol yang telah ditandai dalam foto, dengan menentukan jumlah minimal titik kontrol yang digunakan sesuai dengan metode yang digunakan. Image to Map yang digunakan yaitu metode Polynomial degree 1, dengan menggunakan minimal 6 GCP pada satu foto yang akan direktifikasi.
13
I.5.4
Pemodelan Tiga Dimensi Pemodelan 3D dapat diperoleh dengan cara pertampalan 2 buah gambar
yang
merupakan
sekumpulan
titik-titik
dimensi
(x,y,z)
yang
dapat
mempresentasikan bentuk suatu obyek. Proses pembentukan model 3 dimensi membutuhkan suatu proses yang dinamakan orientasi relative yang tujuannya untuk membuat garis-garis yang seasal bertemu atau menjadi suatu titik yang berpotongan (kesebidangan). Untuk bisa menampilkan kesan 3D maka dilakukan perekaman terhadap obyek sedikitnya dilakukan dari 2 kedudukan kamera. Jika obyek terdapat pada lebih dari 2 buah foto, titik 3D yang terbentuk dari perpotongan lebih dari 2 sinar maka mendapatkan posisinya digunakan
bundle solution. Untuk
merekonstruksi bangunan yang kompleks 2 buah foto saja tidak cukup sehingga dibutuhkan banyak foto yang mencakup seluruh bagian obyek (Sukoco, 2013). Pemodelan 3 dimensi sangat diperlukan dalam berbagai aplikasi misalnya aplikasi animasi, keperluan visualisasi, dan tampilan multimedia. Kebutuhan akan model 3 dimensi berubah seiring dengan perubahan kebutuhan
zaman yang
membutuhkan kualitas visual dari hasil perekaman video yang atau visualisasi nyata yang lebih akurat. Pemodelan 3D dapat diperoleh dengan menggunakan data foto, sensor jarak ataupun kombinasi keduanya bahkan bisa dimasukkan informasi lain seperti dari CAD, surveying, dan data GPS unruk membantu memodelkan (Remondino, 2006). Menurut ilmu fotogrammetri, suatu foto/citra/model dapat dibuat secara 3D dengan menggunakan konsep model stereo yaitu suatu model dari minimal dua sudut pandang terhadap titik/objek yang sama dengan kondisi base height ratio (B/H ratio) mendekati satu. Citra satelit 3D merupakan hasil pembentukan model stereo dari minimal dua sudut pandang berbeda terhadap objek sama dengan kondisi B/H ratio tertentu.
14
Gambar I.5 Prinsip pengambilan gambar foto udara dengan pertampalan (Gunadi dkk, 1993) Pemodelan 3D dapat dibangun melalui pertampalan foto stereo foto udara yang diambil melalui posisi kamera 1 dan posisi kamera 2 pada Gambar I.5 dengan masing-masing foto menggunakan geometri foto udara seperti pada Gambar I.6
Gambar I.6 Pertampalan foto udara (Gunadi dkk, 1993)
15
I.5.4.1. Base height ratio. Base height ratio (b/h) ratio adalah istilah yang digunakan dalam fotogrametri. Hal ini didefinisikan sebaga rasio pemisahan atau perbandingan antara jarak sepasang kamera dan jarak dari kamera ke permukaan (Gambar I.6). Base (B) adalah jarak antara kamera dengan kamera lainnya, sedangkan height (H) adalah jarak dari kamera ke permukaan (Alan, 2013)
Gambar I.7 Perbandingan jarak antara sepasang kamera dan jarak antara kamera terhadap obyek (Gunadi dkk, 1993)
I.5.5
Digital Elevation Model (DEM) SRTM 90 Digital Elevation Model (DEM) merupakan salah satu model untuk
menggambarkan bentuk topografi permukaan bumi sehingga dapat divisualisasikan kedalam tampilan 3D (tiga dimensi). SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) merupakan misi untuk membuat data topografi DEM dengan menggunakan sistem radar dari wahana pesawat ulang alik antariksa. Data DEM dari misi ini sudah tersedia untuk seluruh dunia dengan resolusi spasial 90x90 meter, sedangkan untuk resolusi 30x30 hanya tersedia beberapa wilayah saja. SRTM memiliki struktur data yang sama seperti format grid lainnya, yaitu terdiri dari sel-sel yang setiap sel memiliki wakil nilai ketinggian. Secara umum ketelitian yang dimiliki oleh data DEM SRTM 90 adalah dibawah 20 meter. Nilai ketinggian pada SRTM adalah nilai ketinggian dari datum WGS 84 (Kustiyo, 2005)
16
I.5.6
Titik Kontrol dan Titik Ikat Ground Control Point (GCP) atau titik kontrol tanah adalah titik lokasi yang
diketahui atau diientifikasi dalam ruang nyata (di tanah), dan GCP digunakan untuk verifikasi posisi vitur peta. GCP berfungsi sebagai titik sekutu antara sistem koordinat peta dan sistem koordinat foto. GCP pada umumnya dibuat menyebar dipinggiran foto dan diadakan dengan dua cara, yaitu (Harintaka dkk, 2008): 1. Pre-marking adalah mengadakan titik target sebelum pemotretan dilaksanakan 2. Post-marking adalah mengidentifikasi obyek yang terdapat pada foto, kemudian ditentukan koordinat petanya.
Tie point atau titik ikat adalah titik sekutu yang merupakan titik sekutu antar foto yang saling bertampalan. Tie point selalu dibuat dengan cara post-marking, yaitu mengidentifikasi obyek yang sama pada daerah foto yang bertampalan.
17