BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang PT.Indonesia Plantation Sinergi adalah sebuah perusahaan perkebunan sawit yang tengah berkembang dan berencana membangun pabrik dan sekaligus pelabuhan untuk proses distribusi buah sawit dan minyak sawit di daerah Bual-bual, Sangkulirang, Kutai Timur.Peta bathymetry dalam aplikasinya memiliki banyak manfaat dalam bidang kelautan antara lain penentuan jalur pelayaran yang aman, perencanaan bangunan pinggir pantai, pendeteksian adanya potensi bencana tsunami di suatu wilayah, pertambangan minyak lepas pantai dan lain-lain. Pada proses produksi dari perkebunan kelapa sawit dibutuhkan area untuk mendukung pelaksanaan eksploitasi. Perkembangan teknologi pengukuran bathymetry juga diikuti
dengan
perkembangan
standardisasi/acuan
teknisyang
digunakan.
Standardisasi ini akan menjadi acuan agar hasil pengukuran memenuhi prasyaratan kualitas yang standar.Oleh karena itu, dibutuhkan suatu perencanaan yang baik dalam pembangunan dermaga,
maupun akses serta bongkar
muat
kapal
tongkang.Selain survei penentuan kedalaman, ada hal lain yang diperlukan dalam pemetaan bathymetry yaitu koordinat dari titik kedalaman dasar perairan. Koordinat titiik kedalaman dasar perairan diperlukan agar bentuk topografi dasar perairan dapat digambarkan menjadi peta. Untuk menyediakan data tersebut perlu dilakukan pemetaan bathymetry dan pengamatan pasang surut sehingga gambaran lokasi rencana pelabuhan dan jalur akses kapal tongkang dapat secara detil ditampilkan. Pemetaan bathymetry digunakan untuk mengetahui kontur kedalaman perairan, sehingga morfologi perairan dapat tergambarkan. Pekerjaan ini juga memanfaatkan SNI 7646:2010 sebagai acuan teknis pengukuran dan kontrol kualitas data.
3
I.2. Tujuan Membuat petabathymetrydi area perairanSangkulirang, Kalimantan Timur, melakukan analisis lajur perum menggunakan perangkat lunak Autocad Land Developement 2009 dan disamping itu pekerjaan ini juga bertujuan untuk melakukan analisis data hasil pengukuranbathymetrymengikuti aturan standar SNI 7646:2010 orde 1.
I.3. Batasan Masalah Lingkup proyek ini dikerjakan di area perairan Sangkulirang guna mendukung pengembangan dalam produksi minyak sawit di daerah Sangkulirang, Kalimantan Timur. Penentuan chart datumdidapat dari pengamatan pasangsurut harian lokal selama 30 hari di lokasi survei, analisis lajur perum dan volume pekerjaanpada daerah 0˚ 46’ 25,21” LS – 0˚ 46’ 00” LS dan 117˚ 57’ 20” BT – 117˚ 57’ 20”BT.Uji kualitas data yang dilakukan hanya pada data kedalaman saja. Evaluasi ketelitian data pada lajur utama dan lajur silang mengacu pada SNI 7646:2010 orde 1.
I.4. Landasan Teori I.4.1. Survei Bathymetry Survei bathymetry/surveihidrografi pada dasarnya merupakan kelanjutan dari survei topografi daratan. Perbedaannya terletak pada wahana, tempat, dan peralatan ukurnya. Dimana proses pengambilan data bathymetry ini disebut dengan pemeruman. Pemeruman adalah proses dan aktivitas yang ditujukan untuk memperoleh gambaran (model) bentuk permukaan (topografi) dasar perairan (seabed surface). Proses penggambaran dasar perairan tersebut (sejak pengukuran, pengolahan hingga visualisasinya) disebut sebagai survei bathymetry (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Gambaran dasar perairan dapat disajikan dalam garis-garis kontur atau model permukaan digital.Garis-garis kontur kedalaman atau model bathymetry diperoleh dengan menginterpolasikan titik-titik pengukuran kedalaman bergantung pada skala model yang hendak dibuat.Titik-titik kedalaman berada pada
4
lajur-lajur pengukuran kedalaman yang disebut sebagai lajur perum atau sounding line. Jarak antar titik-titik fiks perum pada suatu lajur pemeruman setidak-tidaknya sama dengan atau lebih rapat dari interval lajur perum. Saat ini, teknik perekaman data kedalaman sudah dapat dilakukan secara digital.Laju perekaman data telah mencapai kecepatan yang lebih baik dari 1 titik per detik (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). 1.4.1.1 Berbagai Jenis Kegiatan dan Survei Hidrografi. Jenis - jenis pekerjaan survei hidrografi dan penelitian hidrografi antara lain (Soeprapto, 1999): 1. Penentuan titik–titik dasar di darat (pantai). Titik-titik ini digunakan sebagai titik ikat (titik referensi) untuk penentuan posisi kapal (fix perum) dan untuk penentuan garis pantai. 2. Penentuan garis pantai. Garis pantai adalah batas antara air tertinggi dengan daratan.Posisi garis pantai direferensikan pada titik–titik dasar pemetaan yang telah dibuat terlebih dahulu. 3. Penentuan topografi dasar laut. Penentuan topografi dasar laut dilakukan dengan pemeruman. Dengan menggunakan posisi fix perum, maka dapat diketahui posisi topografi dasar laut (titik–titik detil kedalaman laut/ketinggian topografi dasar laut). Pemeruman merupakan salah satu pekerjaan terpenting dalam survei hidrografi. Dengan pemeruman yang dirancang dengan baik (lajur - lajur pemeruman, titik–titik fix perum) akan diperoleh gambaran topografi dasar laut yang mendekati dengan kenyataan. 1.4.1.2 Pengukuran Kedalaman.Pengukuran kedalaman dilakukan pada titik-titik yang dipilih untuk mewakili keseluruhan daerah yang akan dipetakan. Pada titik-titik tersebut juga dilakukan pengukuran untuk penentuan posisi.Titik-titik tempat dilakukannya pengukuran untuk penentuan posisi dan kedalaman disebut titik fiks perum (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005).Pemeruman dilakukan dengan membuat profil (potongan) pengukuran kedalaman.Lajur perum dapat berbentuk garis-garis lurus, lingkaran-lingkaran konsentrik, atau lainnya sesuai metode yang digunakan untuk penentuan posisi titik-titik fiks perumnya.Lajur-lajur perum didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan pendeteksian perubahan kedalaman yang lebih ekstrem. Untuk itu, desain lajur-lajur perum harus memperhatikan 5
kecenderungan bentuk dan topografi pantai sekitar perairan yang akan disurvei. Dari pengukuran kedalaman di titik-titik fiks perum pada lajur-lajur perum yang telah didesain, akan didapatkan sebaran titik-titik fiks perum pada daerah survei yang nilai-nilai pengukuran kedalamannya dapat dipakai untuk menggambarkan batimetri yang diinginkan. Berdasarkan sebaran angka - angka kedalaman pada titik - titik fiks perum itu bathimetri perairan yang disurvei dapat diperoleh dengan menarik garisgaris kontur kedalaman. Penarikan garis kontur kedalaman dilakukan dengan membangun grid dari sebaran data kedalaman. Dari grid yang dibangun, dapat ditarik garis-garis yang menunjukkan angka-angka kedalaman yang sama. 1.4.1.3 Metode Akustik Sebagai Metode Pengukuran Kedalaman.Gelombang akustik adalah merupakan suatu pancaran sinar yang merambat melalui suatu medium perantara, gelombang ini biasanya digunakan oleh echosounder untuk penentuan posisi kedalaman.Alat perum gema menggunakan prinsip pengukuran jarak dengan memanfaatkan gelombang akustik yang dipancarkan dari transduser. Tranduser adalah bagian dari alat perum gema yang mengubah energi listrik menjadi mekanik ( untuk membangkitkan gelombang suara) dan sebaliknya. Gelombang akustik tersebut merambat pada medium air dengan cepat rambat yang relatif diketahui atau dapat diprediksi hingga menyentuh dasar perairan dan dipantulkan kembali ke transduser.Penggunaan gelombang akustik untuk pengukuran-pengukuran bawah air merupakan teknik yang paling populer dalam hidrografi hingga saat ini. Gelombang akustik dengan frekuensi 5 kHz atau 100 Hz akan mempertahankan kehilangan intensitasnya hingga kurang dari 10% pada kedalaman 10 km, sedangkan gelombang akustik dengan frekuensi 500 kHz akan kehilangan intensitasnya pada kedalaman kurang dari 100 m (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Secara khusus, teknik ini dipelajari dalam hidroakustik.Untuk pengukuran kedalaman, digunakan echosounder atau perum gema yang pertama kali dikembangkan di Jerman tahun 1920.Alat ini dapat dipakai untuk menghasilkan profil kedalaman yang kontinyu sepanjang lajur perum dengan ketelitian yang cukup baik. I.4.1.4Penentuan muka surutan (chart datum).Muka surutan peta diartikan sebagai suatu bidang yang terletak di bawah permukaan air laut terendah di suatu wilayah perairan tertentu dalam jangka waktu yang cukup lama (Soeprapto, 2001). Muka surutan peta digunakan sebagai referensi untuk mengukur kedalaman di laut.Sistem 6
referensi adalah suatu sistem yang mendefinisikan ttik awal (titik nol). Hal ini mempunyai arti penting sehingga tidak memungkinkan terjadinya perbedaan tinggi antara satu proyek dengan proyek yang lain dalam satu wilayah didaerah perairan.Kedudukan muka surutan peta dan sounding datum digambarkan pada Gambar I.1. Kedudukan muka surutan dari Gambar I.1diukur dari bidang MSL (mean sea level) sampai dengan bidang tertentu. Terdapat beberapa model untuk menentukan muka surutan peta (chart datum).Untuk proyek-proyek pengukuran yang berada di perairan biasanya mempergunakanchart datum sebagai referensi.
. Gambar I.1. Kedudukan muka surutan peta dan sounding datum (Dimodifikasi dari Soeprapto, 2001) Persamaan umum yang digunakan untuk menghitung surutan peta (chart datum) adalah sebagai berikut:
Dengan: CD
: chart datum
So
: duduk tengah (MSL)
Zo
: jarak surutan peta
7
I.4.2. Lajur Pemeruman Berdasarkan fungsinya lajur perum dapat dibedakan menjadi 3 macam (Soeprapto, 2001) yaitu: lajur perum utama, lajur perum silang, dan lajur perum tambahan/investigasi. I.4.2.1. Lajur perum utama.Yaitu lajur perum yang direncanakan sedemikian rupa sehingga seluruh daerah survei dapat tercakup dan dapat digambarkan bentuk dasar perairannya (Soeprapto, 2001).Cara menentukan lajur perum utama dapat dilihat pada Gambar I.2, yaitu dengan ketentuan jarak antara lajur perum utama harus dipilih dengan memberikan prioritas terhadap puncak, lembah dan titik-titik perubahan kemiringan.
Gambar I.2Penentuan lajur perum utama(Harmoko, 2003)
Lajur perum utama mempunyai bentuk-bentuk antara lain (Harmoko, 2003): a. Lajur perum lurus sejajar b. Lajur perum lurus menyebar c. Lajur perum berbentuk busur lingkaran kosentrik d. Lajur perum berbentuk lengkungan hiperbola kofokus
8
Gambar I.3Penentuan lajur lurus sejajar(Harmoko, 2003)
Pada Gambar I.3. menggambarkan rencana lajur yang dibuat saat kapal melakukan pemeruman dengan bentuk lajur lurus sejajar. Kapal mulai melakukan pemeruman dari nomor 1 ke 2, 2 ke 3, dan seterusnya, kemudian angka menunjukan fix position kapal saat survei.
Gambar I.4. Lajur perum lurus menyebar(Harmoko, 2003)
9
Pada Gambar I.4. menunjukan lajur rencana kapal yang melakukan survei dengan bentuk lajur lurus menyebar. Bentuk lajur ini cenderung mengikuti bentuk garis pantai daerah survei. Kapal mulai melakukan pemeruman dari nomor 1 ke 2, 2 ke 3, dan seterusnya, kemudian angka menunjukan fix position kapal saat survei.
Gambar I.5 Lajur perum berbentuk busur lingkaran kosentrik(Harmoko, 2003)
Pada Gambar I.5. menggambarkan rencana lajur saat kapal melakukan pemeruman dengan bentuk lajur menyerupai busur lingkaran. Kapal mulai melakukan pemeruman dari nomor 1 ke 2, 2 ke 3, dan seterusnya, kemudian angka menunjukan fix position kapal saat survei.
Gambar I.6. Lajur perum berbentuk lengkungan hiperbola kofokus(Harmoko, 2003)
10
Pada Gambar I.6. menggambarkan rencana lajur saat kapal melakukan pemeruman dengan bentuk lajur lengkungan hiperbola kofokus. Angka 1,2,3 dan seterusnya menunjukan fix position kapal saat survei.
Gambar I.7. Lajur perum berbentuk silang(Harmoko, 2003)
I.4.2.2. Lajur perum silang.Yaitu lajur perum yang dijalankan memotong atau menyilang lajur perum utama.Tujuan diadakannya pemeruman silang ialah untuk memeriksa atau mendeteksi ada tidaknya kesalahan hasil pengukuran (baik posisi horizontal maupun kedalaman ukuran) pada sistem lajur utama. I.4.2.3. Lajur perum tambahan/investigasi. Yaitu lajur perum yang dijalankan apabila ada kelainan-kelainan (misalnya: adanya perubahan kedalaman yang mendadak, pusaran arus) atau mengisi bila terjadi gap (kekosongan akibat penyimpangan lajur perum utama) yang terdapat antara 2 lajur yang bersebelahan pada sistem lajur perum utama (Soeprapto, 1999).
I.4.3. Echosounder Echosounder adalah suatu alat ukur yang digunakan untuk mengukur penentuan posisi kedalaman di air, tapi seiring berkembangnya kemajuan teknologi maka sekarang echosounder dilengkapi dengan GPS sehingga bisa menentukan posisi secara 3 dimensi.Data yang diperoleh dari survei hidrografi, diolah dan 11
disajikan sebagai informasi geospasial terhadap posisi suatu obyek diatas, didalam maupun didasar perairan dengan sistem referensi tertentu.Pengetahuan mengenai akustik bawah air (underwater acoustics) merupakan suatu hal yang penting bagi surveyor hidrografi. Sifat–sifat perambatan gelombang akustik di medium air laut ini digunakan untuk mengukur kedalaman air laut.Salah satu jenis peralatan yang biasa digunakan untuk mengukur kedalaman adalah echosounder.Alat ini bekerja dengan menggunakan sifat–sifat perambatan gelombang akustik yang dipancarkan dengan arah vertikal dari permukaan laut ke dasar laut.Bila kemudian gelombang pantulnya (dipantulkan oleh dasar laut)diterima,dan dicatat waktu tempuhnya, maka kedalaman laut dapat ditentukan melalui hubungan sebagai berikut (Soeprapto, 1999):
dalam hal ini : d
: kedalaman laut yang terukur pada saat pengukuran,
v(t)
: cepat rambat gelombang suara di air,
t1 & t2 : waktu pada saat gelombang suara dipancarkan dan saat penerimaan gelombang pantulnya. Pada kenyataannya v(t) sulit ditentukan. Untuk mengatasi hal ini, pada pengukuran kedalaman dengan alat perum gema telah ditentukan suatu harga cepat rambat gelombang suara rata–rata, biasanya sekitar 1500 m/detik. Dengan diketahuinya besaran cepat rambat standar dan selang waktu selama saat gelombang suara dipancarkan dengan saat penerimaan kembali gelombang pantulnya, maka kedalaman laut pada saat pengukuran dapat ditentukan berdasarkan hubungan (Soeprapto, 1999):
Dimana : d
: kedalaman laut yang terukur pada saat pengukuran,
v(t)
: cepat rambat gelombang suara standar,
∆t
: selang waktu antara saat gelombang suara dipancarkan dan saat penerimaan gelombang pantulnya.
12
Gambar I.8Sketsa posisi alat tranduser (Neovanny, 2011) Hasil pengukuran kedalaman akan direkam sekaligus ditampilkan pada suatu gulungan kertas (roll paper) yang disebut sebagai echogram (kertas perum) atau direkam dan ditampilkan secara digital. Pada kertas perum akan terlukis profil kedalaman perairan sepanjang lajur survei (lajur perum). Jika pada titik-titik tertentu ditandai saat (waktu) pengukuranya dan pengukuran untuk penentuan posisi dilakukan secara continue dengan saat tercatat, maka hasil pencatatan waktu tersebut dapat digunakan untuk merekonstruksi posisi kapal saat melakukan pengukuran kedalaman dilakukan. Gambar 1.8 memperlihatkan contoh rekaman pengukuran kedalaman pada kertas perum (echogram). Garis-garis vertikal menunjukan saat-saat penentuan posisi dilakukan dan disebut sebagai garis-garis fix (fix mark). Pada garisgaris fix tersebut, waktu perekaman data juga harus dicatat untuk sinkronisasi dengan koreksi pasut.
Gambar I.9Rekaman pengukuran kedalaman pada kertas perum (Poerbandono dan Djunarsjah, E. 2005)
13
I.4.4.Penentuan posisi dengan GPS GPS adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat.Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh dunia tanpa tergantung waktu dan cuaca, kepada banyak orang secara simultan (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Dalam hal survei dan pemetaan serta penentuan posisi pada survei batimetri, GPS telah digunakan untuk keperluan survei hidro-oseanografi, survei seismik, penentuan posisi rambu–rambu dan peralatan bantu navigasi serta titik-titik pengeboran minyak lepas pantai, ataupun untuk mempelajari karakteristik arus, gelombang, ataupun pasut di lepas pantai.Bahkan beberapa peneliti di Amerika Serikat juga telah menggunakan GPS, dikombinasikan dengan sistem penentuan posisi akustik, untuk menentukan posisi titik-titik di dasar laut secara teliti, dalam rangka mempelajari dinamika lempeng-lempeng benua di bawah lautan. GPS juga telah digunakan untuk membantu proses pengerukan pelabuhan. Dalam kaitannya dengan aktivitas pemetaan batimetri, metode penentuan posisi yang digunakan umumnya adalah (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005): 1. Metode survei GPS : untuk penentuan posisi titik-titik kontrol di pantai; 2. Metode kinematik diferensial : menggunakan data pseudorange untuk aplikasi-aplikasi
yang
menuntut
ketelitian
menengah,
maupun
menggunakan data fase untuk ketelitian yang lebih tinggi; Sistem DGPS dan RTK : untuk aplikasi-aplikasi yang menuntut informasi posisi secara instan (real-time), dimana sistem DGPS umumnya digunakan untuk melayani aplikasi berketelititan menengah dan sistem RTK untuk aplikasi berketelitian lebih tinggi. 1.4.4.1 Penentuan Posisi Absolut.Penentuan posisi absolut adalah metode penentuan yang paling mendasar dari GPS.Posisi suatu titik direferensikan terhadap pusat dari sistem koordinat.Aplikasi metode penentuan posisi absolut pada survei dan pemetaan terbatas untuk tahap reconnaissance, yang artinya hanya pada tahap survei pendahuluan untuk mengetahui posisi area survei.Pada tahap ini dilakukan pencarian data koordinat pendekatan lokasi survei untuk keperluan perencanaan survei GPS diferensial statik.Peralatan yang digunakan berupa receiver tipe navigasi.Penentuan
14
posisi absolut adalah penentuan posisi suatu titik secara mandiri dengan menggunakan satu buah receiver.(Sunantyo, 2000).
Gambar I.10 Penentuan Posisi Absolut Keterangan gambar : O
= pusat sistem koordinat,
N
= jari-jari kelengkungan vertikal utama titik pengamatan,
p,
p,
hp
= koordinat geodetik titik P,
Xp, Yp, Zp
= koordinat kartesian 3D titik P,
Xi, Yi, Zi
= koordinat kartesian 3D satelit ke i,
R
= jarak dari receiver ke satelit.
1.4.4.2 Sistem RTK.RTK merupakan kependekan dari real time kinematic yaitu sistem penentuan
posisi dengan menggunakan prosedur differensial yang
menggunakan data fase dengan ketelitian mencapai centimeter. Stasiun referensi mengirim
data
fase
dan
pseudorange
kepada
pengguna
secara
langsungmenggunakansistem komunikasi tertentu (Abidin, 2000).Pada penentuan
15
posisi secara RTK, base station merupakan receiver GNSS yang berada pada lokasi tertentu dan berguna sebagai titik referensi untuk menetukan posisi dari titik-titik yang diamat oleh receiver GNSS yang lain (rover/pengguna). Dalam metode RTK ini, base station berfungsi untuk memancarkan sinyal koreksi, sedangkan rover station adalah receiver GNSS yang menerima koreksi RTCM dari stasiun referensi/ base station, yang bergerak dari lokasi satu ke lokasi lain selama pelaksanaan survei RTK (Atunggal, 2010).
Gambar I.11 Penentuan Posisi RTK Keterangan gambar : O
= pusat sistem koordinat,
N
= jari-jari kelengkungan vertikal utama titik pengamatan,
, ,h
= koordinat geodetik titik pengamatan,
Xp, Yp, Zp
= koordinat kartesian 3D titik P,
Xq, Yq, Zq
= koordinat kartesian 3D titik Q,
Xi, Yi, Zi
= koordinat kartesian 3D satelit ke i,
R
= jarak dari receiver ke satelit.
16
Ada 3 komponen penting dalam pengamatan menggunakan metode RTK yaitu stasiun referensi (reference station), sistem komunikasi data (data link) dan stasiun pengguna (rover) (Abidin, 2000): 1.
Stasiun referensi (reference station), stasiun referensi berfungsi mengolah data diferensial danmenghitung koreksi carrier phase dengan cara membandingkan koordinat stasiun yang telah diketahui sebelumnya denga koordinat hasil pengamatan carrier phase. Komponen di stasiun refernsi terdiri atas receiver dan antenna.
2.
Sistem hubungan data (data link), sistem ini berfungsi untuk mengirimkan koreksi carrier phase dari base station ke rover untuk pengolahan data secara real time. Sistem radio ini berupa radio modem UHF (ultrahigh frequency)/VHF (very high frequency)/HF (high frequency), modem telepon, GSM, satelit, dan internet.
3.
Stasiun pengguna (rover), stasiun ini berfungsi intuk mengidentifikasi satelit.
I.4.5. Kartografi Kartografi adalah ilmu, seni, teknik, dan teknologi pembuatan peta.Peta adalah gambar permukaan bumi dalam skala tertentu dan digambarkan diatas bidang datar melalui sistem proyeksi.Peta mengandunng arti komunikatif artinya merupakan suatu saluran antara pembuat dan pemakai peta.Dengan demikian peta digunakan untuk mengirim pesan yang berupa informasi tentang realita.Tujuan dari kartografi adalah mengumpulkan dan menganalisa data hasil ukuran berbagai unsur di permukaan bumi dan menyatakan unsur tersebut secara grafis dengan skala tertentu sehingga unsur tersebut dapat terlihat dengan jelas dan mudah dimengerti (Prihandito, 1989). Peletak dasar perkembangan ilmu kartografi adalah ilmuwan Yunani yang bernamaPtolemy, seorang pakar di bidang astronomi, matematika dan geografi, dan pemikirannyalah dikenal antara lain konsep hitungan posisi, proyeksi peta. Ilmu kartografi terus berkembang dengan ditemukanya teknologi cetak pada akhir abad ke 15, dan litografi diakhir abad ke 18 tersebut yang memperlihatkan keadaan muka bumi secara pasti mulai diperlukan orang terutama oleh para panglima perang untuk tujuan-tujuan militer. Pada abad ke 19, mulai diperlukan peta yang lebih teliti untuk pekerjaan-pekerjaan teknik sipil dan perencanaa.Pada tahap berikutnya orang mulai
17
membedakan jenis peta dalam bentuk peta topografi dan peta tematik.Secara tidak langsung “jenis” kartografi juga dibedakan, yaitu kartografi yang berurusan dengan pemetaan topografi (umumnya dikembangkan oleh para surveyor, fotogrametris), dan kartografi tematik yang dimotori oleh para geograf dan perencana.Salah satu produk yang dikenal yang berhubungan dengan masalah statistik/kuantitatif dan atlas (Soendjojo, 2000). Simbol adalah diagram, desain, huruf, karakter, atau singkatan yang ditempatkan pada peta yang mewakili kenampakan yang sebenarnya. Desain simbol bukan hanya melakukan rancangan simbol-simbol yang berada dari tiap objek dan ditampilkan di peta, akan tetapi merancang suatu simbol merupakan sebuah proses intelektual dari keselarasan simbol yang dirancang, sehingga menggambarkan secara tepat mengenai tipe, ciri-ciri/karakter dan lokasi dari suatu elemen peta (Riyadi, 1994). Untuk memudahkan pelaksanaan simbol dikelompokan menjadi : a. Simbol Titik. Simbol titik digunakan untuk menyajikan tempat atau data posisional seperti sebuah kota, gunung dan sebagainya. Simbol tersebut biasanya berupa dot, segitiga, segi empat, lingkaran dan sebagainya.Macam-macam simbol titik dapat dilihat pada gambar I.12.
Gambar I.12. Macam-macam simbol titik b. Simbol Garis. Simbol ini digunakan untuk menyajikan data-data geografis misalnya sungai, kontur, batas wilayah, jalan dan sebagainya.Macam-macam simbol garis dapat dilihat pada gambar I.13.
18
Gambar I.13. Macam-macam simbol garis b. Simbol Area. Simbol ini digunakan untuk menyajikan lokasi dan atribut-atribut data yang digunakan untuk merepresentasikan data suatu wilayah.Simbol luasan dapt dilihat pada gambar I.14.
Gambar I.14. Macam-macam simbol area d. Simbol huruf atau angka. Simbol ini merupakan simbol yang disusun atau dibentuk oleh huruf atau angka, biasanya digunakan untuk menyatakan unsur tertentu yang sangat khas.
Ds Kel
: Desa : Kelurahan
Gambar I.15. Simbol huruf Simbol huruf mempunyai kelebihan yaitu simbol huruf lebih mudah dalam penggambaranya. Ada beberapa kelemahan dari simbol huruf yaitu simbol huruf seringkali
membingungkan
dengan
teks
atau
angka
dipeta
dan
mudah
disalahtafsirkan dengan arti teks yang lain. Simbol huruf dapat dilihat pada gambar I.15. e. Variabel Tampak. Variabel tampak merupakan tujuh variasi gambar yang
19
mampu atau dapat diterima oleh mata sebagai pembentuk gambar dasar utama yang ditampilkan sebagai informasi Riyadi (1994). Perbedaan simbol yang satu dengan yang lain dibuat dengan menerapkan variabel tampak yaitu : 1. Posisi (X,Y). Posisi merupakan variabel tampak yang dipakai untuk memberikan informasi lokasi posisi (X,Y) dipeta. Variabel posisi dapat dilihat pada gambar I.16.
Gambar I.16. variabel posisi. 2. Bentuk. Perbedaan bentuk antara obyek yang satu dengan yang lain biasanya dijadikan dasar dalam pembuatan simbol karena kemudahan dalam penggambaran dan jumlah yang tidak terbatas. Variabel bentuk dapat dilihat pada gambar I.17.
Gambar I.17. variabel bentuk. 3. Orientasi. Orientasi adalah variabel tampak berupa arah suatu simbol yang digambarkan di peta yang digunakan oleh kartografer untuk membedakan simbol satu dengan yang lain. Gambar variabel orientasi dapat dilihat pada gambar I.18.
20
Gambar I.18. variabel orientasi. 4. Warna. Warna merupakan variabel tampak yang paling kuat dan sering digunakan dalam merancang simbol, karena perbedaan warna dapat digunakan untuk membedakan obyek satu dengan yang lain. Gambar variabel warna dapat dilihat pada gambar I.19.
Gambar I.19. variabel warna. 5. Tekstur. Tekstur merupakan variabel tampak yang digunakan untuk merepresentasikan wilayah yang menunjukan perbedaan-perbedaan kualitatif atau kuantitatif antara berbagai daerah wilayah terkait.Gambar variabel tekstur dapat dilihat pada gambar I.20.
Gambar I.20. variabeltekstur.
21
6. Value. Value merupakan variabel tampak yang digunakan untuk merepresentasikan
wilayah
yang
menunjukan
perbedaan-perbedaan
yang
ditempatkan kedalam tingkatan/tahapan yang jelas.Gambar variabel value dapat dilihat pada gambar I.21.
Gambar I.21. variabelvalue. 7. Ukuran. Ukuran merupakan simbol-simbol yang variabelnya dapat dipisah satu dengan yang lainnya oleh ukuran yang jelas.Gambar variabel ukuran dapat dilihat pada gambar I.22.
Gambar I.22. variabel ukuran.
Riyadi (1994), mengklasifikasikan sifat pemahaman dari suatu simbol menjadi 4 macam, yaitu sebagai berikut. 1. Pemahaman asosiatif, jika reaksi awal dari mata kita secara spontan melihat semua simbol yang dibuat sama pentingnya. Dalam arti tidak ada satu simbolpun yang terlihat lebih penting disbanding lainya. Meskipun wujud sifat pemahaman variabel simbol-simbol tersebut berbeda antara satu dengan lainya. 2. Pemahaman selektif, jika reaksi awal mata kita dalam melihat simbol dapat membedakan satu dengan yang lain secara cepat. 3. Pemahaman order, jika semua simbol dapat dibedakan secara spontan oleh variabel yang ditempatkan kedalam tingkatan/tahapan yang jelas. 22
4. Pemahaman kuantitatif, jika perbedaan sifat semua simbol-simbol secara variabel dapat dipisah satu dengan yang lainnya oleh jumlah yang jelas.
Table I.1. Sifat pemahaman variabel tampak
Keterangan : vv
: Sangat kuat
v
: Kuat
0
: Cukup
-
: Jelek
Penjelasan tabel diatas: misalnya, untuk simbol atau variabel tampak yang mempunyai perbedaan posisi, bentuk, orientasi, warna, tekstur, value, ukuran. Ketujuh perbedaan simbol diatas dapat digunakan dengan baik untuk menyampaikan beberapa informasi simbol yang sama penting. f. Teks pada peta. Teks pada peta harus mudah dibaca dan diidentifikasi, bahkan jika jarak spasi yang digunakan lebar. Style huruf yang dipilih dibedakan melalui perbedaan-perbedaan ini dipenuhi, persyaratan berikut bagi seleksi tipe huruf adalah sebagai berikut (Kraak, M.J dan Ormeling, F, 2003):
Tabel I.2. Perbedaan hierarki dan/atau nominal
23
g. Peta Laut. Peta laut adalah peta yang didalamnya terdapat informasi tentang Laut.Informasi yang dicantumkan pada peta laut setidaknya adalah angka kedalaman, garis pantai, bahaya-bahaya pelayaran dan lain-lain sesuai dengan maksud dibuatnya peta laut (Siregar, 1998).
I.4.6.Ketelitian posisi planimetris Ketelitian atau disebut juga dengan presisi adalah tingkat kedekatan dari nilainilai ukuran tersebut satu sama lain atau terhadap nilai rerata ukuran, yang dapat dihitung dari besar kecilnya harga varian atau simpangan baku dari pengamatan. Jika harga varian atau simpangan baku kecil maka pengamatan dapat dikatakan teliti(Neovanny, 2012). Rumus ketelitian (tingkat populasi):
Keterangan : σ
= simpangan baku (standar deviasi),
xi
= nilai ukuran ke i,
x
= nilai rerata ukuran,
n
= jumlah ukuran.
Rumus I.3 digunakan apabila data yang digunakan merupakan data populasi.Apabila data yang digunakan merupakan data sampel maka digunakan rumus I.4 dibawah ini. Rumus ketelitian (tingkat sampel):
Keterangan : σ
= simpangan baku (standar deviasi),
xi
= nilai ukuran ke i,
x
= nilai rerata ukuran,
n
= jumlah ukuran.
24
Jumlah ukuran dikurangi 1 (n-1) agar varian simpangan bakunya tidak berbias dengan varian simpangan baku populasi. Akurasi atau disebut juga dengan kesaksamaan adalah tingkat kedekatan dari nilai-nilai ukuran terhadap nilai yang benar.Apabila nilai-nilai ukuran semakin mendekati nilai yang benar maka penyimpangan atau kesalahan semakin kecil sehingga semakin tinggi akurasinya, dan berlaku sebaliknya. Pengamatan akan dianggap akurat jika rata-rata kesalahannya yang dihitung dengan kuadrat terkecil mendekati nol atau sama dengan nol. Nilai akurasi ditunjukan dengan nilai RMSE(Root Mean Square Error). Untuk menentukan nilai RMSE digunakan rumus I.6 berikut: Rumus akurasi:
Keterangan : xi
= nilai ukuran ke i,
μ
= nilai ukuran yang dianggap benar,
n
= jumlah ukuran.
I.4.7. Analisis Penyimpangan Posisi Fix Perum antara Rencana dengan Pelaksanaan Dalam survei bathimetri obyek yang diukur tidak dapat langsung dilihat, sehingga dalam pelaksanaan survei data yang diambil harus sebanyak mungkin. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan titik yang diukur dapat mewakili detil topografi dasar laut. Sebelum pelaksanaan pemeruman, agar sistematis maka harus dibuat lebih dahulu rencana jalur perum pada peta rencana survei dengan pertimbangan bahwa lajur perum tersebut dapat dibuat seekonomis mungkin namun tetap memadai untuk menggambarkan seluruh topografi dasar laut daerah survei dan juga sistem lajur perum yang dibuat tersebut harus dapat memberikan jaminan bahwa kecil kemungkinan adanya bahaya pelayaran yang terlewatkan.Toleransi penyimpangan dapat dilihat pada lampiran.Toleransi penyimpangan yang dapat diterima dalam survei hidrografi menurut SNI 7646:2010 batas penyimpangan navigasi pada area dengan kedalaman kurang dari 100 m dengan mengacu pada ketentuanadalah 2 m.
25
Dari lajur-lajur yang terekam selama pelaksanaan survei, nilai penyimpangan koordinat pengukuran dihitung dengan harga mutlak terhadap koordinat rencana maksudnya bahwa penyimpangan ke kiri dan ke kanan dihitung sama dan tidak memakai tanda positif atau negatif (Soeprapto, 1999).
I.4.8. Uji Kualitas Data Pemeruman Uji kualitas data pemeruman ini mengacu pada standar SNI dan disesuaikan dengan orde survei yang dilakukan. Nilai toleransi ini dihitung dengan persamaan (I.7) yang merupakan persamaan batas toleransi kesalahan nilai kedalaman yang ditetapkan SNI 7646:2010 dengan tingkat kepercayaan 95%. Batas toleransi kesalahan antara kedalaman titik fix perum pada lajur utama dan lajur silang dihitung dengan persamaan sebagai berikut (SNI 7646:2010):
Dalam hal ini : a = kesalahan independen (jumlah kesalahan yang bersifat tetap) b = faktor kesalahan kedalaman dependen (jumlah kesalahan yang bersifat tidak tetap) d = kedalaman terukur (b x d)
= kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan
kedalaman yang dependen). Nilai a dan b dalam persamaan I.7 tersebut di sesuaikan dengan orde survei.Selain itu untuk lebih membuktikan bahwa data kedalaman hasil pemeruman memenuhi standar toleransi dengan tingkat kepercayaan 95% ( ±1,96) dilakukan uji statistik. Pada uji ini digunakan uji sampling kecil dengan sample berpasangan dengan menggunakan tabel Z test. Uji ini dilakukan dengan mengasumsikan hipotesis bahwa Hu (kedalaman pada lajur utama) nilainya sama dengan Hs (kedalaman pada lajur silang) yang saling berpotongan. Oleh karena itu, dapat disajikan dalam persamaan (I.8) sampai dengan persamaan (I.12) (Widjajanti, 2011) seperti berikut:
26
a. Mean error :
b. Standard deviation:
Hipotesis :
Keterangan notasi: Hu : kedalaman lajur utama Hs : kedalaman lajur silang : Rata-rata beda nilai kedalaman : Beda nilai Kedalaman : Standar deviasi : Selisih kedalaman
27